Anda di halaman 1dari 9

STANDAR LINGKUNGAN HIDUP & KEHUTANAN

BADAN STANDARDISASI INSTRUMEN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan


Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

TINGKAT INSTRUMEN: NOMOR DOKUMEN:


Standar [SBSI] SBSI. Pustarhut.1

KATEGORI INSTRUMEN:
Pengelolaan & Pengendalian Kerusakan Hutan

KELAS RISIKO:
Menengah Rendah REVISI: 0

KELAS PENGGUNA:
Usaha/Kegiatan Risiko Menengah Rendah TANGGAL BERLAKU:

KLUSTER KEGIATAN: JUMLAH HALAMAN:


PRA KONSTRUKSI - TEKNIS

NAMA:
PENEBANGAN UNTUK IBU KOTA NUSANTARA
(IKN)

STANDAR PENEBANGAN UNTUK IBU KOTA NUSANTARA


UNTUK USAHA/KEGIATAN RISIKO MENENGAH RENDAH

A. URAIAN KEGIATAN STANDARDISASI


Penebangan untuk IKN bertujuan untuk memanfaatkan hasil kayu tebangan semaksimal
mungkin guna mendukung pembangunan sarana IKN. Kegiatan penebangan
dilaksanakan dengan sistem tebang pilih (untuk Forest City) dan tebang habis untuk
mendukung pembangunan sarana IKN.

B. URAIAN STANDAR

B.1. BESARAN DAMPAK


Pelaksanaan penebangan disesuaikan dengan peruntukan tujuan kawasan yang akan
dibangun. Penebangan yang tidak mengikuti standar dapat menimbulkan pada
pemborosan sumberdaya dan kerusakan lingkungan sehingga mengakibatkan
kerusakan prasarana

90
B.2. STANDAR PENGELOLAAN & PENGENDALIAN KERUSAKAN HUTAN
B.2.1. Bentuk Pengelolaan dan Pengendalian
▪ Perencanaan penebangan (peta kondisi kawasan, peta potensi tegakan dan peta
kondisi areal)
▪ Tenaga penebang yang kompeten
▪ Peralatan penebangan yang memadai
▪ Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
▪ Pelaksanaan penebangan termasuk penyaradan dan pengangkutan
▪ Komitmen pengelola untuk menjaga kelestarian melalui kaidah penebangan sesuai
standar
▪ Kerjasama dengan tim pemanfaatan kayu

B.2.2. Lokasi
Areal kegiatan dan/atau usaha

B.2.3. Periode Pengelolaan


Selama operasi kegiatan dan/atau usaha

B.3. STANDAR PEMANTAUAN PENEBANGAN

B.3.1. Bentuk Pemantauan


▪ Memantau perencanaan dan pelaksanaan penebangan
▪ Indikator kualitas tingkat efisiensi pemanfaatan kayu maksimal
▪ Survey biaya produksi dan dampak kerusakan lingkungan

B.3.2. Lokasi
Areal terkena dampak kegiatan dan/atau usaha

B.3.3. Periode Pemantauan


satu kali dalam satu tahun

91
STANDAR & PERATURAN YANG TERSEDIA
PENEBANGAN UNTUK IBU KOTA NUSANTARA

Tim Penyusun:
Prof (Ris). Ir. Dulsalam, MM
Ir. Soenarno, M.Si
Ir. Sona Suhartana,IPU
Yuniawati, S.TP, M.Si
Sarah Andini, S.Hut, M.Si
Mutia Herni Ningrum, S.Hut, M.Sc

1. Peta kondisi kawasan, peta potensi tegakan dan peta kondisi areal dengan
standar Skala peta yang digunakan berdasarkan SNI 7645-1:2014 Klasifikasi
penutup lahan Bagian 1: skala kecil dan menengah
2. Perencanaan penebangan, penebangan, biaya produksi
a. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
nomor 8 tahun 2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi
b. Buku Teknik penebangan pohon hutan alam (2019) Soenarno,
Dulsalam,Yuniawati, Sona Suhartana & Sukadaryati. IPB Press
3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
a. Kode praktis ILO K3 Editor Prof. Dr Elias
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
- Alasan: Pekerjaan hutan khususnya pemanenan hutan memiliki resiko
tinggi dari lingkungan kerja yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan
kerja maupun penyakit akibat kerja
- Deskripsi:
a. Pasal yang mewajibkan penggunaan alat pelindung diri (APD):
▪ Pasal 3 Ayat 1 butir f (butir a-r): “Dengan peraturan perundangan
ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberi alat-alat
perlindugan diri pada para pekerja”.

92
▪ Pasal 9 Ayat 1 butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan
menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD
▪ Pasal 12 Butir b “Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan
atau hak tenaga kerja untuk memakai APD”
▪ Pasal 14 Butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma-
Cuma
c. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- Alasan: penggunaan alat berat seperti chainsaw, bulldozer, maupun
eksavator memberikan paparan kepada pekerja terhadap faktor tempat
kerja seperti faktor fisika terutama kebisingan dan getaran dan factor kimia
terutama debu dan asap.
- Deskripsi:
▪ Dalam peraturan tersebut diatur juga tentang nilai ambang batas (NAB)
yang merupakan standard faktor bahaya di tempat kerja yang mencakup
faktor fisika dan faktor kimia di bagian lampiran.
4. Peraturan tentang operator chainsaw (tenaga teknis perencanaan hutan, PWH,
pemanenan hutan, dst):
a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008 tentang Kompetensi
dan Sertifikasi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 144 Tahun 2013
Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Golongan Pokok Kehutanan dan
Penebangan Kayu, Golongan Jasa Penunjang Kehutanan, Sub Golongan Jasa
Penunjang Kehutanan
Deskripsi:
▪ Peraturan tersebut mengatur tentang kualifikasi kompetensi dan sertifikasi
semua tenaga teknis PHPL (GANISPHPL) dan pengawas GANISPHPL
(WAS-GANISPHPL)
5. Peraturan lain terkait RTRW kawasan pemukiman/hutan

93
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan
dalam Pasal 29 Ayat 2 bahwa “proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota
paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota”
- Peraturan terkait skroing peruntukan kawasan
6. Peraturan terkait rencana tata kelola hutan:
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi
- Alasan: Untuk kegiatan tata kelola hutan dan kawasan hutan produksi termasuk
HTI mengacu pada aturan ini
- Deskripsi:
a. Tata hutan meliputi kegiatan:
▪ inventarisasi Hutan;
▪ perancangan Tata Hutan;
▪ penataan batas dalam unit pengelolaan Hutan;
▪ pemetaan Tata Hutan; dan
▪ partisipasi para pihak melalui konsultasi publik
b. Pasal 5 Ayat 1 (b) disebutkan tentang PWH yaitu bahwa “perancangan tata
hutan dilakukan dengan PWH untuk jalan hutan, sarana, dan prasarana”
c. Berbagai ukuran skala peta yang diperlukan:
▪ Pasal 4 Ayat 3 hasil inventarisasi hutan berupa data dan informasi yang
meliputi: “data pokok berupa potensi tegakan kayu dan HHBK, potensi
sumber daya tumbuhan non kayu potensi Pemanfaatan Kawasan, potensi
jasa lingkungan dan disajikan pada peta hasil kegiatan dengan skala
paling kecil 1:50.000 (satu berbanding lima puluh ribu); dan “data
penunjang berupa infrastruktur yang mendukung pengelolaan Hutan,
kondisi social ekonomi dan budaya masyarakat, informasi kondisi daerah
aliran sungai dan sub daerah aliran sungai, informasi jenis tanah,
kelerengan, curah hujan, dan kawasan hidrologis gambut”.
▪ Pasal 7 Ayat 1 Pemetaan tata hutan “dilakukan dengan penyusunan
rancangan Tata Hutan dalam bentuk peta Tata Hutan yang menggunakan

94
Peta Dasar dan sumber data spasial lainnya dengan skala peta paling
kecil 1:50.000 (satu berbanding lima puluh ribu)”.
▪ Penyajian peta menurut Pasal 7 Ayat 1 tsb diatas dengan ketentuan untuk:
➢ wilayah KPH < 50.000 Ha skala peta paling kecil 1:50.000
➢ wilayah KPH 50.000-100.000 Ha (seratus ribu hektare) skala peta
paling kecil 1:100.000
➢ wilayah KPH lebih > 100.000 Ha skala peta paling kecil 1:250.000
▪ Pasal 43 Ayat 2 untuk permohonan penggunaan koridor terhadap jalan
angkutan wajib melengkapi persyaratan salah satunya adalah “peta trase
koridor yang akan dimohon dengan skala 1:25.000 (satu berbanding dua
puluh lima ribu) dan disertai dengan data digital dalam format shape file
(shp), serta penjelasan panjang dan lebar koridor”.
7. Peraturan tentang sistem silvikultur:
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem
Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Produksi
- Alasan: sistem pemanenan dan sistem silvikultur saling berhubungan satu
sama lain
- Deskripsi:
a. Pasal 2 disebutkan bahwa sistem silvikultur dipilih dan diterapkan
berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan
b. Berdasarkan umur:
▪ Seumur: Tebang Habis Permudaan Buatan & Tebang Habis Permudaan
Alami > LoA atau bias juga menerapkan TPTI
▪ Tidak seumur, tebang pilih:
➢ Individu: Tebang Pilih Tanam Indonesia → virgin forest atau LoA
➢ Kelompok: Tebang Rumpang → virgin forest atau LoA
➢ Jalur: Tebang Pilih Tanam Jalur → LoA
c. Berdasarkan sistem pemanenan hutan: tebang habis dan tebang pilih
8. Meminimalkan kerusakan hutan
Permen LHK Nomor P.59/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/10/2019 tentang
penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS

95
- Penanaman Rehabilitasi DAS adalah penanaman di dalam dan di luar
kawasan hutan yang merupakan salah satu kewajiban pemegang izin pinjam
pakai kawasan hutan dan pemegang Keputusan Menteri tentang Pelepasan
Kawasan Hutan akibat tukar menukar kawasan hutan sebagai upaya untuk
memulihkan,mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS
- Untuk mengatisipasi adanya areal yang tidak dapat ditanami, luas lokasi
penanaman ditambah paling banyak 25%
- Proporsi luas calon lokasi penanaman rehabilitasi DAS paling sedikit 75% dari
total kewajiban penanaman di dalam kawasan hutan, dan paling banyak 25%
berada di luar kawasan hutan
- Penanaman dilakukan dengan pola intensif dan agroforestri
Teknik Konservasi Tanah Balai Penelitian Tanah

9. Pemanenan yang minimalisir kerusakan


PP No 6 Tahun 2017 tentang tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan
a. Pemanfaatan hasil hutan kayu dapat dilakukan dengan satu atau lebih
sistem silvikultur sesuai karakteristik sumber daya hutan dan lingkungan
b. Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi tidak bersifat limitatif dan dapat
diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan :
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan
d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam

96
Permen LHK No 23 Tahun 2021 tentang pelaksanaan rehabilitasi hutan dan
lahan
a. Kolam Retensi/Embung
- Sasaran lokasi kolam retensi/embung adalah pada hutan dan lahan
yang termasuk dalam Lahan Kritis dan kekurangan air (defisit).
- Topografi bergelombang dengan kemiringan <30%.
- Air tanah sangat dalam.
- Diutamakan tanah liat berlempung atau lempung berdebu.
- Pembangunan kolam retensi/embung diprioritaskan di dekat lokasi
pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan.
- Lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang rawan
kebakaran dan kekeringan.
Standarisasi penebangan, penyaradan dan pengangkutan kayu dari hutan
Prosiding PPI Standarisasi 2009
a. Penebangan
- Pengimasan dilakukan 1 bulan sebelum penebangan
- Menggunaka gergaji kelas sedang
- Pengupasan kulit sekitar 5 cm dari tanah hingga 4-8 meter dari
pangkal pohon
- Kulit kayu, ranting dan cabang yang tidak terpakai diletakkan di jalur
sarad secara merata
- Menyisakan bahan organik untuk pemeliharaan kesuburan tanah
b. Penyaradan
- Menggunakan alat sarad lebih kecil atau dengan cara dipikul dan
digotong
- Tidak melakukan penyaradan sewaktu hujan karena merusak kayu
dan lingkungan
- Kayu yang disarad tidak berbanir dan cabang telah dipotong dengan
panjang maksimum batang 20 m
- Tidak membuang puntung rokok yang berpotensi menyebabkan
kebakaran hutan
c. Pengangkutan

97
- Pengangkutan menggunakan truk, rakit, ponton yang ditarik tug boat
dan truk yang ada diatas ponton yang ditarik tug boat
- Truk pendek untuk kayu yang tidak terlalu panjang disusun
melintang
- Truk panjang untuk dolok agak panjang disusun memanjag
- Truk gandeng untuk dolok > 12 meter disusun memanjang
- Pembuatan jalan angkut dengan panjang dan lebar seckupnya
dengan sistem drainase di kiri kanan jalan agar tidak terjagi
genangan saat hujan
- Jalan diperkeras dengan quary yang diambil dari lokasi tersebut
- Pembuatan jalan diupayakan tidak banyak menyebabkan galian dan
timbunan, tanjakan dan turunan minimal, serta tikungan tidak terlalu
tajam dan kecil
- Pemeliharaan jalan dengan tumbuhan rambat dan gulma secara
berkala

98

Anda mungkin juga menyukai