3. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol,
organosol, renzina dengan lereng lapangan > 15 %
4. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya
100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air
5. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari
200 meter di sekeliling mata air
6. Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat di
bagian hulu sungai dan rawa
7. Daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik
pasang tertinggi ke arah darat
8. Memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan konservasi, seperti
Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dll.
9. Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri
sebagai hutan lindung.
Berkenaan pengecualian tersebut maka area-area yang memenuhi syaratsyarat di atas secara otomatis memenuhi kriteria kawasan lindung dan
tidak memerlukan sistem skoring untuk rekomendasi fungsi kawasan
hutan. Langkah-langkah penentuan fungsi kawasan hutan secara umum
dapat digambarkan oleh bagan alir berikut ini :
Semangat yang ingin ditunjukkan oleh sistem skoring ini adalah upaya
untuk tetap mempertahankan fungsi-fungsi ekologis pada kawasankawasan yang rentan terhadap kerusakan/bencana khususnya terkait
degradasi lahan (erosi, penurunan kesuburan tanah) dan fungsi tata air.
Ini terlihat pada penggunaan parameter sistem skoring yang
menggambarkan tingkat kerentanan area. Pemilihan 3 parameter fisik
(kelerengan, jenis tanah, curah hujan) merupakan penyederhanaan dari
sekian banyak parameter yang diduga paling berpengaruh terhadap
kerentanan lahan saat itu (tahun 1980-an), dimana ketiga data ini perlu
disediakan untuk mendukung penunjukkan fungsi kawasan hutan pada
TGHK.
Dengan adanya perkembangan jaman, kriteria penetapan kawasan hutan
telah berkembang. Ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, ketersediaan data-data lapangan yang lebih baik serta
penelitian-penelitian relevan yang dapat mendukung optimalisasi fungsi
kawasan hutan. Lahirlah aturan penyempurnaan seperti Keputusan
Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
serta berbagai peraturan yang muncul setelahnya.
Sesuai Kepres tersebut, dikenal beberapa jenis kawasan lindung, yaitu
kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan
perlindungan setempat, Kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam dan
kawasan rawan bencana. Dalam konsep ini, kawasan lindung
mengakomodir klausal mengenai kriteria sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya disamping kriteria mengenai kondisi fisik kawasan.
Semangat yang ingin diwujudkan tetap sama, yaitu bagaimana kawasankawasan yang rentan terhadap kerusakan/bahaya dan memiliki fungsi
lindung yang tinggi tetap terjaga dan secara ekologis berfungsi optimal
(pencegahan erosi, kesuburan tanah, pengaturan tata air, dll).
Pengelolaan kawasan lindung pada prakteknya sering terintegrasi dengan
pengelolaan kawasan non lindung, seperti kawasan lindung sekitar sungai
atau mata air yang berada di dalam kawasan hutan produksi. Untuk kasus
seperti ini, kawasan lindung berada di dalam cakupan pengelolaan hutan
produksi, sehingga dalam operasi spasial kawasan hutan produksi tidak