Anda di halaman 1dari 6

KAWASAN LINDUNG DAN METODE

SKORING (KELERENGAN, TANAH,


HUJAN) FUNGSI KAWASAN HUTAN
JUNI 26, 2013 BY DWI PUTRO SUGIARTO

I. Bermula dari SK Menteri Pertanian.


Metode skoring untuk penentuan fungsi kawasan hutan diawali penerbitan
beberapa peraturan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan tahun
1980-an. Beberapa aturan terkait kriteria fungsi kawasan hutan tersebut
sebagai berikut :
1. Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung diatur dalam
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80.
2. Kriteria dan tata cara penetapan hutan suaka alam dan hutan
wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor
681/Kpts/Um/8/81.
3. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi konversi diatur
dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/81.
4. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi diatur dalam
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81.
5. Penetapan Batas Hutan Produksi diatur dalam SK Menteri Kehutanan
Nomor 83/KPTS/UM/8/1981.
Kriteria hutan produksi dan lindung yang ditetapkan oleh Menteri
Pertanian memberikan kriteria fungsi kawasan hutan berdasarkan sistem
skoring. Faktor-faktor yang dinilai mencakup 3 komponen utama :
Kelerengan
Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan
Curah hujan rata-rata (mm/hari hujan)
II. Nilai Skor Parameter dan Kriteria Area
Tiga komponen utama (kelerengan, jenis tanah, curah hujan) diberi angka
penimbang (bobot) masing-masing sebagai berikut : faktor kelerengan =
20, jenis tanah = 15 dan intensitas hujan = 10. Adapun skor parameter

menurut aturan-aturan di atas untuk tiap komponen faktor sebagai berikut


:

Skor setiap kelas kelerengan sesui SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80


(diolah)

Skor setiap kelas jenis tanah sesui SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80


(diolah)

Skor setiap kelas curah hujan sesui SK Mentan Nomor


837/Kpts/Um/11/80 (diolah)
Untuk membuat rekomendasi fungsi kawasan hutan, hal pertama yang
perlu dilakukan adalah penentuan batas area yang akan dianalisis. Area
tersebut dapat berstatus sebagai kawasan hutan atau calon kawasan
hutan. Idealnya, kawasan yang akan dilakukan proses skoring (hutan
produksi tetap dan hutan produksi terbatas) hendaknya berada di luar
kawasan lindung sesuai aturan yang berlaku, seperti :
1. Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan > 40 %
2. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian lapangan di atas
permukaan laut 2.000 m atau lebih.

3. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol,
organosol, renzina dengan lereng lapangan > 15 %
4. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya
100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air
5. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari
200 meter di sekeliling mata air
6. Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat di
bagian hulu sungai dan rawa
7. Daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik
pasang tertinggi ke arah darat
8. Memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan konservasi, seperti
Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dll.
9. Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri
sebagai hutan lindung.
Berkenaan pengecualian tersebut maka area-area yang memenuhi syaratsyarat di atas secara otomatis memenuhi kriteria kawasan lindung dan
tidak memerlukan sistem skoring untuk rekomendasi fungsi kawasan
hutan. Langkah-langkah penentuan fungsi kawasan hutan secara umum
dapat digambarkan oleh bagan alir berikut ini :

Adapun nilai skor masing-masing fungsi kawasan hutan (hutan lindung,


hutan produksi dan hutan produksi terbatas) adalah sebagai berikut :
1. Skor >= 175, maka dicadangkan sebagai hutan lindung.
2. Skor 125-174, maka dicadangkan sebagai hutan produksi terbatas.
3. Skor <= 124, maka dicadangkan sebagai hutan produksi tetap.
Kawasan yang memenuhi kelayakan skor hutan produksi tetap dapat saja
dicadangkan sebagai kawasan hutan produksi konversi dengan
pertimbangan khusus, seperti pengembangan transmigrasi, permukiman,
pertanian, dan perkebunan.
Tutorial langkah-langkah dalam menyusun analisis spasial (metode
skoring) dengan ArcGIS dapat dibaca pada artikel ini : Tahapan Skoring
Fungsi Kawasan Hutan dengan ArcGIS 10
III. Bahan Diskusi

Semangat yang ingin ditunjukkan oleh sistem skoring ini adalah upaya
untuk tetap mempertahankan fungsi-fungsi ekologis pada kawasankawasan yang rentan terhadap kerusakan/bencana khususnya terkait
degradasi lahan (erosi, penurunan kesuburan tanah) dan fungsi tata air.
Ini terlihat pada penggunaan parameter sistem skoring yang
menggambarkan tingkat kerentanan area. Pemilihan 3 parameter fisik
(kelerengan, jenis tanah, curah hujan) merupakan penyederhanaan dari
sekian banyak parameter yang diduga paling berpengaruh terhadap
kerentanan lahan saat itu (tahun 1980-an), dimana ketiga data ini perlu
disediakan untuk mendukung penunjukkan fungsi kawasan hutan pada
TGHK.
Dengan adanya perkembangan jaman, kriteria penetapan kawasan hutan
telah berkembang. Ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, ketersediaan data-data lapangan yang lebih baik serta
penelitian-penelitian relevan yang dapat mendukung optimalisasi fungsi
kawasan hutan. Lahirlah aturan penyempurnaan seperti Keputusan
Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
serta berbagai peraturan yang muncul setelahnya.
Sesuai Kepres tersebut, dikenal beberapa jenis kawasan lindung, yaitu
kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan
perlindungan setempat, Kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam dan
kawasan rawan bencana. Dalam konsep ini, kawasan lindung
mengakomodir klausal mengenai kriteria sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya disamping kriteria mengenai kondisi fisik kawasan.
Semangat yang ingin diwujudkan tetap sama, yaitu bagaimana kawasankawasan yang rentan terhadap kerusakan/bahaya dan memiliki fungsi
lindung yang tinggi tetap terjaga dan secara ekologis berfungsi optimal
(pencegahan erosi, kesuburan tanah, pengaturan tata air, dll).
Pengelolaan kawasan lindung pada prakteknya sering terintegrasi dengan
pengelolaan kawasan non lindung, seperti kawasan lindung sekitar sungai
atau mata air yang berada di dalam kawasan hutan produksi. Untuk kasus
seperti ini, kawasan lindung berada di dalam cakupan pengelolaan hutan
produksi, sehingga dalam operasi spasial kawasan hutan produksi tidak

dikurangkan oleh kawasan lindung. Hanya saja dalam sistem pengelolaan,


kepentingan kawasan lindung diakomodir.
Penyempurnaan kriteria kawasan lindung ke depan tentu akan terbuka
lebar seiring dengan kebutuhan untuk mempertahankan salah satu kaki
dalam pembangunan keberlanjutan, yaitu pilar ekologis disamping pilar
ekonomi dan sosial. Pilar ini paling rentan tergerus akibat adanya
peningkatan jumlah penduduk, aktivitas pemanfaatan SDA dan
pembangunan infrastruktur (termasuk di dalamnya pemukiman dan pusat
aktivitas perekonomian). Indikasi ini terlihat pada fenomena kesulitan
kawasan perkotaan (kota besar) untuk menyediakan RTH minimal 30 %
sesuai amanat UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kriteria kawasan lindung selain memperhatikan karakteristik kerentanan
biofisik yang ada di dalamnya, juga perlu dipandang dalam perspektif
lebih luas dengan melihat keterkaitannya terhadap aspek sosial-ekonomi,
politik serta penataan ruang wilayah. Kebutuhan penetapan kawasan
lindung (khususnya di perkotaan) seiring makin padatnya area terbangun
seharusnya perlu mendapat perhatian. Dalam konteks ini kawasan lindung
diperlukan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dalam hal
tata air. Terjaminnya keberadaan RTH dengan sebaran dan luasan yang
memadai dan proporsional menjadi poin penting perlunya pencadangan
sebagian RTH dalam bentuk kawasan lindung.
Di sisi lain, pembahasan mengenai kriteria kawasan lindung belakangan
juga makin menarik dengan hadirnya argumentasi tentang peran
teknologi dalam memitigasi dampak kerusakan kawasan lindung. Ini
terlihat misalnya pada pembangunan tanggul penahan erosi dimana
infrastruktur ini dapat meningkatkan kesesuaian lahan untuk aktivitas
budidaya pertanian di area kelerengan > 40 %. Sejauh mana regulasi
kawasan lindung mengakomodir argumentasi-argumentasi tersebut, ini
masih menjadi polemik. Tentunya harapan banyak pihak, kriteria-kriteria
yang ada akan semakin baik seiring dengan kebutuhan untuk
mempertahankan fungsi-fungsi ekologis disamping fungsi ekonomi dan
sosial.

Anda mungkin juga menyukai