Akuntansi konvensional dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi, akan tetapi dapat dilihat
bahwa ideologi yang paling dominan mempengaruhinya adalah ideologi kapitalisme. Hal ini
terlihat dari beberapa pendapat ahli akuntansi yang menjelaskan mengenai hal tersebut.
Diantaranya, Harahap (2001) menyatakan bahwa ilmu akuntansi konvensional yang
berkembang saat ini dilandasi jiwa kapitalisme dan sebaliknya perkembangan ekonomi
kapitalisme sangat dipengaruhi oleh perkembangan akuntansi konvensional. Bahkan
Triyuwono (2001) mengatakan bahwa akuntansi saat ini sudah bukan berbau kapitalis lagi,
tetapi ia (akuntansi) adalah kapitalisme murni dalam pendapatnya.
Sistem kapitalisme didasari oleh individualisme yang kuat, hal ini dapat dilihat dari pendapat
Adam Smith dalam bukunya The Wealth Of Nations, yang mengatakan bahwa sistem
ekonomi yang efisien dan harmonis dapat diciptakan pada saat pasar menjalankan fungsinya
tanpa intervensi dari pemerintah dan apabila pemerintah mampu menjamin hak milik
individu. Ia menyatakan bahwa dengan memberikan kebebasan yang mutlak kepada individu
untuk memenuhi keinginan pribadinya, kesejahteraan social akan terwujud. Dengan
terjaminnya hak untuk mengelola kekayaan individual, akan timbul “invisible hand” yang
akan menjamin tercukupinya kebutuhan-kebutuhan semua warga masyarakat karena
produsen akan berproduksi dalam kapasitas penuh.
Sistem kapitalisme menempatkan laba sebagai nilai tertinggi. Keuntungan itu sendiri sangat
penting karena jika laba besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan ketat
dengan pengusaha lain. Secara sederhana, tujuan sistem kapitalis ini adalah uang. Semakin
banyak keuntungan sebuah perusahaan, semakin kuat kedudukan di pasar, dan sebaliknya
(Suseno, 1999:164)
Akuntansi konvensional yang selama ini berkembang, telah mengakar dalam arah pemikiran
dunia bisnis di seluruh dunia. Gambaran keadaan ini meliputi sifat akuntansi, aliran-aliran
akuntansi Barat, dan implikasi teori dan praktik akuntansi dalam laporan keuangan.
Bagaimanapun besarnya manfaat laporan keuangan, seorang pengguna laporan akuntansi
harus memahami sifat dan kelemahan yang dimiliki laporan keuangan konvensional agar
dalam membaca dan memanfaatkannya tidak menimbulkan salah tafsir dan salah
penggunaan. Berbagai sifat yang ada didalamnya memberikan kontribusi terhadap
keterbatasan atau kelemahan informasi keuangan. Berbagai kelemahan akuntansi
konvensional ini telah disorot oleh berbagai pihak. Beberapa isu yang sangat ditentang antara
lain adalah:
1. Metode penilaian historical cost yang dianggap tidak memberikan informasi yang
relevan bagi investor apalagi pada masa inflasi
2. Sistem alokasi yang dinilai subjektif dan arbiter sehingga bisa menimbulkan
penyalahgunaan akuntansi untuk melakukan penipuan untuk kepentingan pihak
tertentu yang dapat merugikan pihak lain.
3. Prinsip konservatisme yang dianggap menguntungkan pemegang saham dan
merugikan pihak lain
4. Perbedaan standar dan perlakuan untuk mencatat dan memperlakukan transaksi atau
pos yang berbeda. Misalnya penilaian pada surat berharga, persediaan, yang tidak
konsisten dengan aktiva tetap. Yang pertama dapat menggunakan Lower of cost or
market (Yang lebih rendah dari biaya atau pasar), sedangkan yang terakhir
menggunakan cost (biaya). Bahkan ada yang boleh menggunakan market (pasar).
5. Demikian juga perbedaan dalam pengakuan pendapatan, ada yang menggunakan
“accrual basis” ada “cash basis”.
6. Adanya perbedaan dalam pengakuan pendapatan atau biaya. Misalnya dalam hal
pengakuan pendapatan apakah pada saat barang selesai diproduksi, pada saat dijual,
atau pada saat dilakukan penagihan. Perlakuannya tidak konsisten untuk semua jenis
pos dan transaksi (Harahap, 2001).
Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh para kapitalis, mereka juga merumuskan metode untuk
mempertahankan kemapanan kapitalisme itu sendiri dengan melakukan ekspansi, baik itu
ekspansi wilayah hingga ekspansi hasrat. Ekspansi wilayah dibungkus dengan apik melalui
kebijakan-kebijakan internasional yang menempatkan posisi negara-negara kapitalis tersebut
sebagai pahlawan penerang bagi negara-negara “dunia ketiga”. Terciptalah kemudian kelas-
kelas dunia yang diukur dari seberapa besar tingkat pendapatan per-kapita yang terlalu
general dalam mengukur kesejahteraan manusia.
Masyarakat menghabiskan waktu untuk bekerja lima hari dalam seminggu demi
mengumpulkan pundi-pundi kapital untuk para kapitalis. Sedangkan mereka menghabiskan
upah yang mereka peroleh dengan menikmati fasilitas-fasilitas yang diciptakan oleh kapitalis
dua hari di akhir pekan. Bangunan-bangunan restoran fast food yang didirikan oleh kapitalis
untuk pengefisienan waktu buruh agar bisa kembali bekerja untuk mereka dibuat megah dan
semenarik mungkin demi menciptakan citra di masyarakat untuk menunjukkan status sosial
mereka. Orang-orang mengkonsumsi tidak lagi di dasarkan pada kelasnya akan tetapi pada
kemampuan konsumsinya. Alhasil siapapun bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu jika
sanggup mengikuti pola konsumsi kelompok tersebut. Jika Marx mengatakan kapitalisme
akan melahirkan sebuah keterasingan antara produk dengan buruh, Realitanya kapitalisme
hari ini telah menciptakan keterasingan baru antara manusia dengan dirinya sendiri.
Karena itu, dalam satu dekade terakhir muncul desakan dari berbagai pihak agar paradigma
akuntansi konvensional yang lebih menekankan pada aspek-aspek Akuntansi Keuangan
segera direformasi dan ditransformasikan ke Akuntansi Hijau (Green Accounting).
Tujuannya, agar proses akuntansi, yaitu pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan,
peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi, dapat mengintegrasikan
aspek-aspek keuangan, sosial dan lingkungan secara terpadu dalam satu paket pelaporan
sehingga bisa menghasilkan informasi akuntansi keuangan, sosial dan lingkungan secara utuh
dan terintegrasi. Proses akuntansi dan pelaporan secara terpadu tersebut tentu saja akan
meningkatkan relevansi, reliabilitas dan kebermanfaatan informasi akuntansi bagi para pihak
dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi yang lebih ramah
terhadap lingkungan dan masyarakat.
Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesia karena negeri
ini juga sedang menghadapi fenomena pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan dan
bencana lingkungan, krisis energi dan krisis sosial yang makin serius. Hal ini penting karena
akuntansi juga dituding turut memicu dan memacu terjadinya kompleksitas krisis tersebut.
Alasannya, karena informasi akuntansi keuangan yang dihasilkan dalam proses akuntansi
selama ini dinilai tidak menyajikan informasi akuntansi sosial dan lingkungan yang memadai
dan akurat, dan bahkan cenderung salah kaprah.
Akibatnya, selain menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilan keputusan,
ketiadaan informasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut juga telah menyebabkan para
pihak stakeholder berperilaku serakah dan tamak dalam memaksimalkan nilai laba dan
ekuitas pemilik serta aset mereka. Mereka mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak
lingkungan serta mengekploitasi sumberdaya ekonomi masyarakat secara serakah dan tamak
demi mewujudkan hasrat ekonomi mereka. Akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal
dalam mengembangkan rerangka konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari
praktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan (Lako, 2016a,b)
Selain itu, reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi Hijau juga kian
penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir kepedulian dari pemerintah
untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam model Pembangunan
Berkelanjutan nasional makin serius. Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap
gerakan “tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang
bersifat sukarela, tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat
wajib, dan bisnis hijau (green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin
meningkat.
Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa konsekuensi serius
bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya ekonomik (aset) dan daya-upaya
(efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini, secara akuntansi pengorbanan sumberdaya
ekonomi (costs) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakan CSR, TJSLP, green business,
green corporation dan green governance umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya
periodik (expense) yang mengurangi aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya,
banyak pelaku usaha yang telah melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip green
business dalam tatakelola korporasi dan praktik bisnisnya meminta insentif pajak dan
kompensasi lainnya dari pemerintah.
Pada akhirnya, semua manfaat ekonomi dan nonekonomi tersebut akan meningkatkan
pendapatan, laba, ekuitas dan aset, meningkatkan harga saham dan nilai pasar perusahaan,
serta mendorong pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan korporasi dalam jangka panjang.
Singkatnya, perusahaan atau entitas korporasi sesungguhnya mendapat manfaat berlipat
ganda dari pengorbanan sumberdaya ekonomi dan nonekonomi untuk melaksanakan TSJLP,
CSR dan green business.
Di Indonesia, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) telah menyusun suatu standar pengungkapan
akuntansi lingkungan dalam pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) No. 32 dan 33.
Ketua PSAK ini mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk melaporkan item-item
lingkungannya dalam laporan keuangan. Selain itu, Indonesia juga telah memiliki suatu
kerangka kerja intuk konservasi lingkungan yakni dengan di terbitkannya UU No. 23 Tahun
1997 tentang pengelolan lingkungan hidup yang merupakan revisi peraturan sebelumnya tahu
1982 tentang manajemen lingkungan. Lebih lanjut, suatu noda kesepahaman tahun 2005 yang
lalu sebagai tindak lanjut dari peraturan Bank Indonesia No 7/2/BI/2005.
Dalam penerapan Green Accounting, perusahaan melakukan berbagai upaya pengelolaan dan
pelestarian lingkungan untuk mencapai kinerja lingkungan yang hijau dan baik. Bentuk
upaya-upaya yang dilakukan adalah:
Aspek lingkungan menjadi salah satu variabel penentu dalam pemberian kredit dan kinerja
lingkungan yang dikeluarkan oleh KLH melalui PROPER (program penilai peringkat
perusahaan) adalah tolak ukur mereka. Di sisi lain per tahun 2018, di Indonesia terdapat
kurang lebih 40 NGO (Non Governmental Organization) yang dibentuk untuk
mengendalikan dampak lingkungan di indonesia. Meskipun demikian, praktik akuntansi
lingkungan di Indonesia sampai saat ini mungkin belum efektif. Cepatnya tingkat
pembangunan di masing-masing daerah dengan adanya otonomi ini terkadang
mengesampingkan aspek lingkungan yang disadari atau tidak pada akhirnya akan menjadi
penyebab utama terjadinya permasalahan lingkungan. Para aktivis lingkungan di Indonesia
menilai kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini disebabkan oleh ketidakkonsistenan
pemerintah dalam menerapkannya.