Anda di halaman 1dari 64

DIKTAT KULIAH

ILMU NEGARA

Disusun oleh:
Tim Penyusun Modul
Mata Kuliah Ilmu Negara

1
Fakultas Hukum Universitas Trisakti - Jakarta

I. JUDUL : DIKTAT KULIAH ILMU NEGARA

II. KODE MATA KULIAH : HUH 303/ HUH 6303

III. BEBAN SKS : 3 sks

IV. DESKRIPSI SINGKAT :

Ilmu Negara adalah mata kuliah yang memberikan kemampuan analisis kepada
mahasiswa mengenai asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang
negara pada umumnya. Dalam kurikulum Fakultas Hukum, mata kuliah Ilmu Negara
merupakan mata kuliah dasar bagi mahasiswa semester pertama sebagai pengantar
untuk mempelajari ilmu hukum lain yang obyeknya juga Negara, yaitu Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara. Obyek pembahasan pada mata kuliah Ilmu
Negara bersifat abstrak, yaitu Negara yang tidak terikat pada waktu dan tempat
tertentu. Dengan demikian Ilmu Negara bersifat teoritis, abstrak, umum dan universal,
berlaku pada setiap Negara, sehingga tidak dapat langsung diterapkan dalam praktek
kenegaraan. Ilmu Negara sebagai ilmu

V. BAHAN KAJIAN DAN SUB BAHAN KAJIAN


1. Pendahuluan
a. Pengertian dan definisi Ilmu Negara
b. Kedudukan Ilmu Negara dalam kurikulum Fakultas Hukum
c. Metode pembelajaran Ilmu Negara
2. Aliran-aliran dalam Ilmu Negara
a. Pengertian aliran dalam Ilmu Negara
b. Pendapat-pendapat Filsuf dan sarjana mengenai aliran dalam Ilmu Negara
c. Perbedaan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
3. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Pengetahuan yang lain
a. Perkembangan Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri
b. Sistematika Ilmu Kenegaraan menurut Georg Jellinek (Bapak Ilmu Negara)
c. Letak Ilmu Negara dalam sistimatika Ilmu Kenegaraan

2
d. Pendapat sarjana mengenai fokus pembelajaran Ilmu Negara
4. Pengertian negara
a. Penjelasan mengapa pengertian negara itu selalu berubah-ubah
b. Pendapat-pendapat sarjana mengenai pengertian negara
c. Sifat hakikat negara pada umumnya
5. Teori-teori Pembenar kekuasaan Negara
a. Teori teokratis
b. Teori kekuasaan
c. Teori Yuridis
6. Tujuan Negara
a. Urgensi adanya tujuan negara
b. Pendapat-pendapat sarjana mengenai tujuan negara
7. Teori Pertumbuhan Negara
a. Teori pertumbuhan primer dan contoh negara-negaranya
b. Teori Pertumbuhan sekunder dan contoh negara-negaranya
8. Tipe-tipe pokok negara
a. Tipe negara Timur Purba
b. Tipe negara Yunani Purba
c. Tipe Negara Romawi Purba
d. Tipe negara Abad Pertengahan
e. Tipe Negara Modern
9. Unsur-unsur negara
10. Kekuasaan negara dan hukum
a. Pengertian kekuasaan
b. Pengertian dan macam-macam kewibawaan yang berkaitan dengan negara
c. Pengertian kedaulatan dan macam-macam kedaulatan berdasar sejarah
d. Hubungan antara kekuasaan, kewibawaan, dan kedaulatan.
11. Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistim Pemerintahan
a. Bentuk Negara Pada Jaman Yunani Kuno
b. Bentuk Negara Pada Jaman Pertengahan
c. Bentuk Negara Pada Jaman Sekarang

3
d. Paham yang Membahas Bentuk Negara Atas Dua Golongan, yaitu Demokrasi
dan Diktatur Demokrasi

12. Konstitusi
a. Pengertian Konstitusi
b. Sifat Konstitusi
c. Fungsi Konstitusi
d. Nilai Konstitusi
13. Bangunan Negara dan Kerjasama Antar Negara
a. Negara Kesatuan
b. Negara Federal
c. Kerjasama antar negara
14. Fungsi Negara

VI. BAHAN PUSTAKA


a. Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, cet. 1 Jakarta: UI Press, 1995;
b. Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. 4, edisi revisi, Jakarta:
Penerbit Gaya Media Pratama, 2000 ;
c. Satya Arinanto, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, cet. 1, Jakarta: Dasamedia
Utama, 1993;
d. Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1992;
e. Soehino, Ilmu Negara, cet. 7, Yogyakarta: Liberty, 2005;
f. Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tatanegara, terjemahan oleh Suwirjadi,
Jakarta: PT Pustaka Rakyat, 1961;
g. R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, terjemahan oleh B. Sabaroedin dan J.B.
Wolters, Jakarta, Groningen, 1955
h. Diktat ILMU NEGARA, Fakultas Hukum Univeersitas Trisakti

4
BAB I
PENDAHULUAN

1. Definisi Ilmu Negara


Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pengertian-pengertian
pokok serta asas-asas atau sendi-sendi pokok tentang Negara pada umumnya,
2. Kedudukan Mata Kuliah Ilmu Negara Dalam Kurikulum Fakultas Hukum
Mata Kuliah Ilmu negara merupakan mata kuliah dasar bagi mahasiswa semester
pertama sebagai pengantar untuk mempelajari ilmu hukum lain yang obyeknya juga
negara, yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
3. Perkembangan Pembelajaran Ilmu Negara
Secara historis, Ilmu Negara sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Yunani Kuno. . Hal
ini dapat dilihat dari adanya tulisan serta pemikiran tentang Negara yang disusun oleh
sarjana-sarjana dari Yunani. Sebagai contoh, Plato dalam bukunya “Politeia” telah
membahas masalah Negara, meskipun pemikirannya bersifat renungan dan amat ideal.
Aristoteles dalam bukunya “Politica” mencoba mengumpulkan dan membandingkan
berbegai konstitusi dari beberapa polis (Negara kota) di Yunani, sehingga
pembahasannya sudah bersifat empiris. Pada akhir abad XIX, Georg Jellinek mencoba
membahas teori ilmu Negara secara menyeluruh dan kemudian menyusunnya secara
sistimatis dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Staatslehre”. Ia kemudian
dianggap sebagai Bapak Ilmu Negara karena merupakan orang pertama yang
menyelidiki serta membahas ilmu pengetahuan tentang Negara secara menyeluruh,
kemudian menyusunnya secara sistimatis.

5
BAB II
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU NEGARA

1. Pengertian aliran-aliran
Yang dimaksud dengan aliran dalam Ilmu Negara ialah paham-paham atau pendapat-
pendapat yang pada suatu waktu dalam perkembangan sejarah manusia mempunyai
pengaruh besar terhadap ketatanegaraan. Yang menyebabkan timbulnya paham-paham
tersebut ialah pandangan hidup dari masyarakat yang berbeda.
2. Aliran yang ada pada jaman Yunani Kuno
a. Socrates
Menurut Socrates Tugas Negara adalah mendidik warga Negara dalam keutamaan,
yaitu memajukan kebahagiaan para warga Negara. Seorang penguasa harus
mempunyai pengertian tentang “yang baik”. Keahlian yang sungguh-sungguh menjamin
kesejahteraan Negara adalah pengenalan tentang yang baik.
Negara bukan organisasi yang dibuat manusia untuk kepentingan diri sendiri, tetapi
Negara adalah susunan obyektif yang berdasar pada hakikat manusia, dank arena itu
bertugas untuk melaksanakan hukum-hukum yang obyektif yang mengandung keadilan
bagi umum dan tidak hanya melayani kebutuhan penguasa yang berganti-ganti
orangnya.
b. Plato
Plato menyamakan Negara dengan manusia yang mempunyai 3 (tiga) kemampuan
jiwa, yaitu:
1) Akal Pikiran
2) Kehendak
3) Perasaan

6
Sesuai dengan 3 (tiga) kemampuan jiwa yang ada pada manusia tersebut, maka di
dalam Negara juga terdapat 3 (tiga) golongan masyarakat yang mempunyai
kemampuannya masing-masing.

1) Golongan yang memerintah ~ merupakan otak Negara, yang menggunakan akal


pikirannya
2) Golongan ksatria/prajurit ~ menjaga keamanan Negara, disamakan dengan
kemauan hasrat manusia
3) Golongan rakyat biasa ~ petani, pedagang, disamakan dengan perasaan manusia
Paham Plato ini hanya angan-angan saja, karena sifat manusia tidak sempurna.
Bentuk maksimal yang dapat dicapai adalah bentuk Negara Hukum
c. Aristoteles
Aristoteles membedakan bentuk Negara yang sempurna. Pada Negara sempurna,
tugas Negara adalah menyelenggarakan kepentingan umum, tetapi pada kenyataannya
terdapat bentuk kemerosotan karena penyelewengan pihak penguasa.
Bentuk Sempurna Bentuk kemerosotan
Monarki Despotie, Tiranie
Aristokrasi Oligarchi, Plutokrasi
Politiea Demokrasi

d. Thomas Aquinas
Kedudukan Negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia sebagai
makhluk masyarakat (animal social), di samping manusia sebagai makhluk politik
(animal politicum). Manusia sebagai makhluk masyarakat menurut kodratnya, tidak bisa
hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa mencari masyarakat itu.
Masyarakat yang memiliki kewibawaan adalah manusia yang menurut kodratnya
dianugerahi oleh Tuhan.
Tugas Negara adalah menyempurnakan tertib hukum kodrat. Pada saat itu orang
sedang mencari hukum yang lebih sempurna dari hukum positif, yaitu Hukum Alam

7
yang sifatnya lebih abadi, tidak berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Selain
bertugas menyempurnakan tertib hukum, Negara juga harus menyelenggarakan
kesejahteraan umum warga negaranya.

Negara tidak boleh mencampuri urusan perseorangan, keluarga, dan masyarakat.


Namun apabila kepentingan umum dirugikan, Negara harus campur tangan antara
masyarakat hukum yang satu dengan yang lainnya. Ini disebut asas subsidair.
Tugas Negara adalah terbatas, dan paham ini bertentangan dengan paham otoriter.
e. Aliran Calvinis (John Calvin)
Mendasarkan ajarannya pada Kedaulatan Tuhan, dan mengembalikan semua
kekuasaan pada Tuhan. Aliran ini tidak mengakui Gereja sebagai perantara Tuhan dan
tidak mengakui kekuasaan Paus. Kekuasaan Negara merupakan pemberian Tuhan
yang dipegang oleh Raja. Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan keluarga
dan masyarakat. Asas yang dianut adalah kedaulatan di dalam lingkungannya
sendiri. Ajaran Calvinis ini bertentangan dengan paham otoriter.
f. Hegel
Negara merupakan kesimpulan dari 2 (dua) unsure yang berlainan, yaitu:
Masyarakat individualis-masyarakat Negara.
Manusia adalah warga dalam masyarakat, dan sebagai sifat perseorangan, selalu
ingin mendahulukan kepentingannya. Kemudian individu-individu itu berbentuk
masyarakat yang belum teratur, oleh karena itu perlu suatu badan yang mengaturnya,
yaitu Negara. Karena Negara merupakan perwujudan dari cita-cita manusia yang
mutlak, maka Negara adalah satu- satunya badan dalam masyarakat yang paling
sempurna dan harus dijunjung tinggi. Ajaran Hegel mengandung ajaran yang mutlak
dan disebut absolute idealisme. Ajaran ini melahirkan paham Kedaulatan Negara, yang
menganggap bahwa semua kekuasaan bersumber pada Negara.
g. Aliran Marxisme
Sebagai dasar untuk menentukan Negara adalah Negara kelas. Buku “Das
Komunistische Manifest “ (1848). Negara akan tetap ada sebagai suatu organisasi
akibat dari suatu penjelmaan dari sejarah dan sebagai hasil dari kehidupan manusia itu

8
sendiri jika kemajuan-kemajuan dalam proses produksi dan pembagian kerja terdapat
dan selama hak milik memegang peranan yang penting. Sejak itu Negara disebut
sebagai Negara kelas. Negara ini lama kelamaan akan hilang dengan ditiadakannya
hak milik terhadap lat-alat produksi yang sebelumnya ada pada tangan suatu kelas
ekonomi di dalam masyarakat. Negara sebagai alat kekuasaan untuk menindas dan
menguasai golongan yang lain akan lenyap dan berubah menjadi masyarakat yang
tidak bernegara dan tidak berkelas.
Ajaran Marx ini disebut sebagai Sosialisme Ilmiah, yaitu sosialisme yang telah
memperoleh penilain sebagai ilmu pengetahuan karena jarannya mengandung
kebenaran bagi kaum komunis.
h. Bakunin
Menghendaki hilangnya Negara di muka bumi karena Negara menrupakan suatu
penyakit (kwaad) bagi masyarakat. Negara merupakan alat bagi siapa saja yang
berkuasa untuk menindas golongan yang dikuasainya. Sebagai gantinya, Negara
dibentuk perserikatan- perserikatan dari individu-individu yang bebas dari segala
macam tekanan. Individu bebas memerintah dirinya sendiri. Paham ini disebut
Anarkhisme, yang tidak berkembang dalam Ilmu Negara
i. Fascisme
Ajaran ini menolak adanya Negara hukum yang demokratis, dan tidak mengakui
pembagian kekuasaan yang bertujuan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang.
Kedaulatan tertinggi terletak pada Negara, dan tidak diakui adanya kekuasaan yang
lebih tinggi dari Negara. Tidak boleh ada pendapat yang bertentangan dengan Negara.
Pemegang kekuasaan adalah Duce, pemimpin atas Capodel Governo. Dalam Negara
hanya diakui satu partai terbesar sebagai elit Negara adalah satu dan sama. Cirinya
adalah otoriter, totaliter, dan korporatif. Individu tidak ada artinya, dan merupakan
bagian dari korporasi. Negara mengatur segala segi kehidupan manusia dengan disiplin
yang keras. Tujuan akhir dari ajaran Facis adalah menaklukkan Negara-negara sekitar.
Ajaran ini tidak memiliki nilai ilmiah.
j. Liberalisme
Aliran ini timbul sebagai reaksi atas paham Merchantilis (abad XV-XIX) di Negara-
negara Barat yang melaksanakan politik ekonomi berdasarkan sistim perdagangan

9
yang menguntungkan. Liberalisme ditujukan pada kebebasan di bidang ekonomi dan
politik, sehingga Negara harus bebas dari campur tangannya. Adam Smith
mempelopori ajaran ini di bidang ekonomi. Penggagas dari paham ini adalah
Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan rakyat dari campur tangan
pemerintah dengan mengemukakan unsure-unsur yang penting dalam Negara
hukum seperti hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan Negara. Paham
ini membiarkan setiap individu mengembangkan bakatnya masing-masing tanpa
paksaan apapun. Lahirlah prinsip free fight competition yang berdampak pada segala
sector dalam masyarakat.

10
BAB III
ILMU NEGARA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU
POLITIK DAN ILMU KENEGARAAN

Munculnya Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri adalah berkat jasa
Georg Jellinek dalam bukunya “Algemeine Staatslehre”. Dalam buku tersebut Jellinek membagi
ilmu kenegaraan atas 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Ilmu Kenegaraan dalam arti sempit (Staatswissenschaften)
2. Ilmu Pengetahuan Hukum (Rechtswissenschaften)
Ilmu pengetahuan hukum adalah hukum public yang menyangkut soal kenegaraan,
misalnya Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Antar
Negara, dan sebagainya. Ilmu Negara sendiri merupakan bagian dari Ilmu Kenegaraan dalam
arti sempit. Selanjutnya Ilmu Kenegaraan dalam arti sempit mempunyai 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Beschreibende Staatswissenschaft
2. Theoritische Staatswissenschaft
3. Praktische Staatswissenschaft

Beschreibende Staaswissenschaft
Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif, yang hanya menggambarkan dan menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan Negara. Peristiwa-peristiwa itu
merupakan salah satu gejala dalam masyarakat yang ditetapkan dan disusun dalam suatu
rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah, tetapi tidak diterangkan apakah sebab musababnya
yang menimbulkan peristiwa itu dan bagaimana hubungannya satu terhadap lainnya. Hasil
penyelidikan ilmu kenegaraan ini dapat merupakan bahan-bahan bagi penyelidikan lebih lanjut

11
dalam mencari ketentuan-ketentuan lebih lanjut (wetmatigheiden) yang menerangkan
hubungan antara peristiwa-peristiwa serta sebab musababnya.
Teoritische Staatswissenschaft
Menyelidiki lebih lanjut tentang bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Beschreibende.
Dengan mengadakan analisa-analisa dan memisahkan mana yang mempunyai cirri-ciri khusus,
teoritische staatswissenschaft mengadakan penyusunan tentang hasil-hasil penyelidikannya
dalam satu kesatuan yang teratus sistimatis. Ini merupakan ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, yang juga disebut Erklarande Staatswissenschaft.
Praktische Staatswissenschaft
Tugasnya mencari upaya bagaimana hasil dari penyelidikan teoritische staatswissenschaft
dapat dilaksanakan dalam praktek, dan pelajaran-pelajaran yang diberikan itu semata-mata
mengenai hal-hal yang berguna untuk praktek. Karena tidak dapat berdiri sendiri, maka disebut
Angwandle Staatswissenschaft, dan karena tujuannya untuk praktek kenegaraan, maka ilmu
pengetahuan ini disebut ilmu pengetahuan politik.
Selanjutnya Georg Jellinek berdasar teoritische staatswissenscahft mengadakan
pembagian sebagai berikut:
1. Algemeine Staatslehre
2. Besondere Staatslehre
Algemeine staatslehre menyelidiki Negara-negara pada umumnya, sedangkan Besondere
Staatslehre menyelidiki suatu Negara tertentu. Dan dari tiap-tiap bagian tersebut, Jellinek
mengadakan penyelidikan dari sudut sosiologis dan yuridis.
Selain Jellinek, Herman Heller dalam bukunya “Staatslehre” lebih menitikberatkan
pengertian ilmu Negara dari sesuatu Negara yang lebih menyesuaikan dirinya dengan
perkembangan dan mempunyai cirri-ciri yang khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh Negara-
negara lain. Heller menunjukkan pengaruh-pengaruh alam serta kebudayaan sekitar (Natur und
Kulturbendingungen).
Berkat ajaran dari August Comte, penyelidikan tentang Negara menggunakan metode
empiris analitis, yang melihat kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat (sosiologis).
Hans Kelsen menyelidiki Negara dan hukum hanya dengan metode yuridis saja. Kelsen
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hukum teleh merosot disebabkan metode syncretismus
(metode yang mencampuradukkan berbagai macam metode), oleh karena metode yang

12
dipakai seharusnya ditentukan oleh sifat obyek yang diselidiki. Kelsen menyimpulkan bahwa
Negara identik dengan hukum. E Niemeyer menganggap ini sebagai kelemahan Kelsen,
dengan mengatakan Staatslehre ohne Staat, Rechtislehre ohne Recht . Maksudnya adalah
bagaimana orang dapat membuat ilmu pengetahuan Negara tanpa Negara dan ilmu
pengetahuan hukum tanpa hukum. Niemeyer berpendapat bahwa Negara dan hukum
berhubungan erat dengan masyarakat, dan penyelidikannya tidak dapat dilepaskan dari factor
masyarakat.
Sejak Herman Heller, di Eropa mulai timbul ilmu pengetahuan politik yang berdiri sendiri. Di
Belanda telah didirikan fakultas ketujuh (Zeven de Fakultas), dan ilmu politik merupakan salah
satu mata pelajaran pokok. Barents dalam karangannya Wetenschapter der politiek telah
merumuskan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan dari Negara.
Hoetink mengatakan bahwa ilmu politik merupakan semacam sosiologi dari Negara.
Hoetink berpenndapat bahwa Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara menyelidiki kerangka
yuridis dari Negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagian yang ada di sekitar kerangka itu.
Sehingga dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara ilmu Negara dengan ilmu politik,
karena obyek penyelidikannya sama, yaitu Negara. Bedanya hanya terletak pada metode yang
dipergunakannya. Ilmu Negara menggunakan metode yuridis, dan ilmu politik menggunakan
metode sosiologis.
Di Negara-negara Anglo Saxon, ilmu politik lebih terkenal daripada ilmu Negara. Meskipun
ilmu politik banyak dikembangkan oleh para ahli, namun Jean Bodin merupakan orang yang
pertama sekali menggunakan istilah ilmu politik (“ science politique”) dalam bukunya “Les Six
Livres de la Republique”.
Perbedaan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Ilmu Negara Ilmu Politik
1. Lebih teoritis, mementingkan 1. Lebih bersifat praktis
normative
2. Lebih statis, mempelajari lembaga 2. Lebih mementingkan sifat-sifat
3. Negara yang resmi dinamis Negara
4. Lebih tajam konsepnya, dan lebih 3. Lebih konkrit dan mendekati realitas
terang Metodologinya
5. Banyak dikaji ahli hukum 4. Banyak dikaji ahli sejarah dan

13
sosiolog

BAB IV
PENGERTIAN NEGARA

1. Pengertian Negara Selalu Berubah-Ubah


Dalam sejarah ketatanegaraan, pengertian-pengertian tentang Negara selalu berubah-
ubah, karena pengertian-pengertian itu dilahirkan menurut jamannya dan alam pikiran
penciptanya tidak bebas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya, seperti agama, dan
paham-paham lainnya
2. Pendapat-Pendapat Mengenai Negara
a. Aristoteles
Pada jaman Yunani Kuno, Aristoteles dalam buku “ Politica” merumuskan pengertian
Negara, yang masih terikat pada wilayah yang kecil, yang disebut Polis.
b. Agustinus
Agustinus (350-450M) membagi Negara atas 2 (dua) bagian, yaitu Civitas Dei (Negara
Tuhan) dan Civitas Terrena/Civitas Diaboli (Negara duniawi). Negara duniawi ini ditolak
oleh Agustinus. Pelaksana dalam suatu Negara adalah gereja, yang mewakili Negara
Tuhan.
c. Macchiavelli
Paham Agustinus ini ditentang pada abad Renaissance, diantaranya oleh Macchiavelli
(1469-1527) dalam bukunya “Il Principle”, yang mengartikan Negara sebagai Negara
kekuasaan. Dalam buku Il Principle tersebut diajarkan bagaimana Raja harus
memerintah sebaik-baiknya. Kelemahan raja dalam memerintah adalah agama yang
menanamkan rasa susila dan rasa keadilan. Raja boleh bertindak kejam, dan untuk

14
mencapai tujuan-tujuannya harus mempunyai semua alat-alat kekuasaan fisik (tujuan
dapat menghalalkan segala macam alat yang dipakainya).
d. Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Rousseau (1712-1778)
mengartikan Negara sebagai badan atau organisasi hasil perjanjian masyarakat. Dalam
keadaan belum ada Negara, Hobbes menyamakan manusia itu terhadap manusia
lainnya seperti serigala (Homo Homini Lupus). Jika keadaan ini tidak dapat
dipertahankan lagi, maka kemungkinan akan timbul perang semesta yang disebut
bellus omnium contre omnes. Negara dibentuk melalui perjanjian masyarakat, dan
dalam perjanjian itu rakyat menyerahkan hak-haknya baik sebagian maupun
seluruhnya kepada pihak penguasa. Ajaran Hobbes melahirkan bentuk monarchi
mutlak, sedangkan ajaran John Locke melahirkan bentuk Negara monarchi
konstitusional. Menurut Rousseau, yang berdaulat di dalam Negara adalah rakyat, dan
penguasa merupakan mandataris dari rakyat. Ajaran dari ketiga sarjana ini hanya
mempunyai nilai teoritis, karena dalam sejarah perjanjian masyarakat, hal itu tidak
pernah terjadi dan memang tidak pernah ada.
e. Logemann
Logemann dalam bukunya Over De Theorie Van Een Stellig Staatsrecht mengatakan
Negara sebagai organisasi kewibawaan. Negara adalah suatu organisasi
kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta
menyelenggarakan suatu masyarakat. Yang terpenting adalah kewibawaan dari Negara
itu sendiri, tidak tergantung kepada siapa yang memerintah. Dapat diartikan di sini
bahwa kewibawaan ialah kekuasaan yang dapat diterima oleh rakyatnya.
f. Kranenburg
Kranenburg dalam bukunya Algemeine Staatslehre mengartikan Negara sebagai suatu
organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan/bangsanya sendiri.
g. Roger H Soltau
Roger H Soltau merumuskan Negara adalah alat agency atau wewenang/authority
yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama
masyarakat.
h. Harold J Laski

15
Harold J Laski mengatakan bahwa Negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara
sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja
sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat
merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh
asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan
mengikat.

i. Max Weber
Max Weber berpendapat bahwa Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah.
j. Robert Mac Iver
Robert Mac Iver merumuskan Negara sebagai asosiasi yangmenyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan
system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud
tersebut diberi kekuasaan memaksa.
k. Miriam Budiardjo
Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang
rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
3. Sifat Hakikat Negara
Terlepas dari pengertian-pengertian tentang Negara, perlu diketahui apakah sifat
hakikat Negara. Sifat hakikat Negara selalu sama walau bagaimanapun corak Negara itu.
Miriam Budiardjo menguraikan sifat hakikat Negara sebagai berikut:
a. Sifat memaksa
Agar undang-undang ditaati, maka Negara mempunyai alat seperti polisi dan tentara
untuk menciptakan ketertiban, bahkan dapat menggunakan kekerasan fisik secara
legal. Misalnya kewajiban membayar pajak.
b. Sifat monopoli

16
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
Dalam rangka ini Negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau
aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, karena dianggap bertentangan
dengan tujuan masyarakat.
c. Sifat mencakup semua (all-encompasing, all-embracing)
Semua undang-undang berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.

BAB V
TEORI-TEORI PEMBENARAN KEKUASAAN NEGARA

17
Teori pembenaran Negara adalah teori yang memberi dasar untuk membenarkan adanya
organisasi Negara, termasuk memberi dasar untuk membenarkan adanya kekuasaan yang
amat besar dalam Negara. Negara mempunyai beberapa kewenangan tertentu, seperti
memungut pajak, mencetak uang, menyatakan perang/damai, menjatuhkan hukuman mati, dan
sebagainya.

1. Teori teokrasi
Teori ini bersifat absolute dan sulit untuk dibantah, terutama bagi masyarakat yang
berdasar agama. Hal ini disebabkan karena pembenaran Negara dikembalikan pada
kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia, yaitu Tuhan. Para sarjana yang membahas teori
ini adalah Agustinus dan Thomas van Aquino. Teori ini terbagi atas teori Teokrasi langsung
dan tidak langsung.
a. Teori Teokrasi Langsung
Menurut teori Teokrasi yang langsung, adanya Negara dikembalikan pada
kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia, yaitu kehendak Tuhan. Jadi yang berkuasa
di dalam negara adalah langsung Tuhan, adanya Negara atas kehendak Tuhan,
sehingga yang memerintah adalah Tuhan. Negara yang pernah menganut teori ini di
antaranya adalah Yunani Kuno, Jepang sebelum Perang Dunia II, Tibet, dan Mesir.
Pada jaman Yunani Kuno, adanya Negara dapat dibenarkan karena merupakan
kehendak dari dewa Zeus, yang dianggap sebagai Tuhan mereka.
Teori teokrasi ini pada intinya hendak membenarkan adanya Negara yang didirikan
atas kehendak Tuhan dan yang diperintah oleh Tuhan sendiri walaupun Tuhan itu
berwujud sebagai seorang raja. Ajaran Teokrasi yang langsung ini adalah untuk
menanamkan kepercayaan pada rakyat, dan dengan kepercayaan ini diharapkan rakyat
akan bersatu sehingga menjadi bangsa yang kuat. Raja dalam hal ini menjadi alat
pemersatu, dan untuk itu ia harus dipuja sebagai Tuhan agar tetap berwibawa.
b. Teori Teokrasi Tidak Langsung
Dalam teori ini, yang memerintah suatu Negara bukan Tuhan sendiri, melainkan
Raja atas nama Tuhan. Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia.

18
Dalam sejarah kenegaraan pada jaman kuno, pada saat Alexander the Great (dissebut
juga Iskandar Zulkarnain) akan menguasai Yunani, para penasihatnya menyatakan
kepada rakyat Yunani bahwa Aleander the Great adalah anak dari Dewa Zeus, yaitu
Dewa Ammon, (dalam kepercayaan rakyat Yunani, kekuasaan raja Yunani berasal dari
Dewa Zeus) dan sudah memperoleh restu dari Dewa Zeus untuk melaksanakan
kekuasaannya di Yunani. Dalam abad modern sekarang ini, satu-satunya Negara yang
masih menggunakan teori theokrasi tidak langsung adalah Negara Vatikan.

2. Teori kekuasaan
Teori Kekuatan membenarkan adanya Negara berdasarkan pada adanya kekuatan
tertentu yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, apakah itu merupakan kekuatan
jasmani, kekuatan rohani, maupun kekuatan materi
a. Teori Kekuasaan Jasmani
Teori ini membenarkan adanya Negara, jika penguasa mempunyai kekuatan jasmani,
baik secara fisik besar dan kuat, maupun memiliki kemahiran dalam menggunakan
senjata perang. Dengan kekuatan jasmaninya tersebut, maka ia akan mampu
menaklukkan serta menguasai orang lain, bahkan penguasa lain, sehingga ia
dibenarkan untuk menjadi Raja. Contohnya adalah Voltaire yang mengatakan bahwa
De eerste Koning was een gelukkigsoldaat, yang artinya adalah raja yang pertama
adalah orang yang beruntung dapat mengalahkan prajurit-prajurit lain, sehingga dengan
demikian ia menjadi Raja.
b. Teori kekuatan Ekonomi
Menurut teori kekuasaan ekonomi/materi, seorang penguasa bagaimanapun kuat
jasmani dan rohaninya, tetapi bila tidak memiliki kekuatan ekonomi, maka ia tidak
mampu memerintah dalam Negara. Beberapa sarjana yang membahas teori ini
diantaranya adalah Karl Marx dan Harold J. Laski
c. Teori kekuatan rohani
Menurut teori ini, penguasa dalam Negara, selain harus memiliki kekuatan jasmani, ia
juga harus memiliki kekuatan rohani. Keadaan ini dapat dijumpai pada jaman Romawi
dalam masa principaat. Pada masa itu kekuasaan dalam kerajaan berdasar asas
“terkemuka di antara yang sama” (asas primus interpares). Demikian pula pada masa

19
dominaat, dimana terdapat paham yang menyatakan bahwa yang dibenarkan menjadi
penguasa dalam Negara adalah mereka yang mempunyai kekuatan rohani.
3. Teori Yuridis
Pembahasan teori pembenaran Negara secara yuridis terbagi dalam dua segi
peninjauan, yaitu segi Hukum Perdata dan Hukum Publik. Dari segi hukum perdata,
pembahasannya meliputi teori Hukum Keluarga, Hukum Benda, dan Hukum Perjanjian.

a. Dari Segi Hukum Perdata


1) Teori Hukum Keluarga (Patriarchaal)
Menurut teori ini, adanya negara disebabkan suatu pertumbuhan dari
keluarga/family, yang terjadi secara bertingkat atau melalui beberapa fase. Pada
tingkatan pertama keadaan keluarga/family masih sangat sederhana, tetapi telah
memiliki kebiasaan-kebiasaan (custom), kekuasaan berdasarkan pada kebiasaan
tersebut, dan juga telah memiliki penguasa yang disebut Peter-familias (Patriarch).
Fase selanjutnya adalah keluarga tersebut berkembang menjadi lebih besar,
menjadi klan, yang dipimpin oleh seorang kepala klan atas dasar primus interpares,
yang lama kelamaan memiliki kekuasaan yang benar-benar nyata. Selanjutnya, ia
akan menunjuk keturunannya untuk menggantikannya memegang kekuasaan,
sehingga muncul suatu system jabatan yang sifatny trun temurun. Di dalam
perkembangannya dari keluarga menjadi Negara (from the family to the state)
berjalan melalui beberapa proses seperti peperangan atau penaklukan terhadap
keluarga lain. Proses ini juga dapat terjadi melalui perkawinan antar anggota
keluarga, sehingga terjadi penggabungan keluarga. Dengan demikian keluarga
menjadi tambah besar dan kedudukan kepala klan menjadi kuat, sehingga
mencapai jabatan Raja yang sifatnya turun temurun.
2) Teori Hukum Benda (Patrimonial)
Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang artinya hak milik. Pembenaran
adanya Negara adalah hak milik atas suatu benda, yaitu tanah. Tanah merupakan
alat dari manusia untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, bila
seseorang memiliki tanah, maka ia juga memiliki hak sebagai penguasa. Raja

20
mempunyai hak milik atas suatu daerah, sehingga penduduk harus tunduk
kepadanya. Raja dapat memberikan hak miliknya kepada para bangsawan yang
telah memberikan bantuan kepada raja pada saat peperangan, sehingga para
bangsawan yang menerima hadiah yang berupa tanah tersebut mempunyai
kekuasaan untuk memerintah semua yang ada di atas tanah itu.
3) Teori Hukum Perjanjian
Menurut teori hukum perjanjian, Negara merupakan hasil perjanjian dua pihak
dengan dua kepentingan yang berbeda, sehingga bersifat dualistis dan timbal balik.
Mengenai hal ini, Cicero, seorang sarjana dari Romawi berpendapat bahwa Negara
itu dibentuk untuk melindungi hak milik penduduk. Caranya adalah dengan
mengadakan perjanjian yang sifatnya timbal balik. Rakyat sebagai pihak yang
dikuasai, untuk melindungi hak miliknya mengadakan perjanjian dengan pihak
penguasa. Sebagai imbalan memberikan perlindungan, maka pihak penguasa
berhak memungut pajak dari rakyat. Dengan demikian ada hak penguasa dan hak
yang dikuasai yang bersifat timbal balik.
b. Dari segi Hukum Publik
Negara berdasar teori hukum public merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat
dengan satu tujuan, yaitu membentuk Negara. Perjanjian ini disebut perjanjian
masyarakat yang bertujuan untuk memilih siapa yang akan menjadi penguasa, juga
menjadi dasar untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Beberapa teori perjanjian
dikenal sejak jaman Romawi, yaitu teori golongan Caesarismus dan golongan
Monarchomachen pada Abad Pertengahan, sebagai reaksi atas adanya kekuasaan
yang absolute.
Teori perjanjian juga dikemukakan oleh 3 (tiga) orang tokoh, yaitu Thomas Hobbes,
John Locke, dan JJ Rousseau. Ketiga-tiganya hendak mengembalikan kekuasaan raja
pada waktu pemindahan manusia-manusia yang hidup dalam status naturalis kepada
status civilis melalui suatu perjanjian masyarakat. Antara ketiganya terdapat persamaan
dan perbedaan. Persamaannya terletak pada perjanjian masyarakatnya yang
memindahkan manusia dari status naturalis ke status civilis. Perbedaannya hanya
terletak pada isi dan akibatnya.

21
BAB VI
TUJUAN NEGARA

Setiap Negara mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Apa yang menjadi tujuan bagi suatu
Negara, ke arah mana suatu organisasi Negara ditujukan adalah masalah penting, sebab
tujuan inilah yang bakal menjadi pedoman tentang bagaimana Negara disusun dan
dikendalikan, dan bagaimana kehidupan rakyatnya diatur sesuai dengan tujuan itu.
1. Shang Yang

22
Bukunya yang penting adalah “ A Classic of the Chinese School of Law” yang oleh
Prof.Duyvendak dipaparkan dalam bukunya “The Book of Lord Shang” yang sampai di
Indonesia pada tahun 1928. Menurut Lord Shang, di dalam setiap Negara terdapat subyek
yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu Pemerintah dan Rakyat. Pemerintah
sebaiknya lebih kuat, sehingga tidak timbul kekacauan dan anarkis. Menurut Shang, rakyat
lemah berarti Negara kuat, dan Negara kuat berarti rakyat lemah. Oleh karena itu, Negara
yang mempunyai tujuan yang betul, hendaklah bertindak melemahkan rakyat. Shang Yang
menganjurkan supaya dikumpulkan kekuasaan yang sebesar-besarnya di pihak Negara,
dan inilah satu-satunya tujuan bagi Negara. Tujuan ini hanya bisa dicapai dengan jalan
menyiapkan militer yang kuat, berdisiplin, dan sedia menghadapi segala kemungkinan
bahaya. Menurutnya kebudayaan adalah melemahkan rakyat, karena dengan kebudayaan
itu rakyat tidak berani berperang, lebih-lebih karena ilmu pengetahuan, rakyat tidak berani
mati. Oleh karena itu, untuk menjadikan Negara kuat, rakyat dibuat lemah. Tujuan yang
utama ialah suatu pemerintah yang berkuasa penuh terhadap rakyat. Kalau dilihat
sejarahnya, maka akan dapat dibenarkan, mengingat kondisi pada waktu itu banyak
Negara yang dihancurkan oleh Negara-negara yang kuat. Itulah sebabnya Shang Yang
mempunyai tujuan Negara sebagai Negara kekuasaan untuk dapat mengatasi segala
kekacauan yang timbul pada waktu itu.
2. Niccolo Macchiavelli
Dalam bukunya “Il Principle” (1513) dan terbit pertama kali 1532, Macchiavelli
mengartikan pemerintahan itu sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan dan
menjalankan kekuasaan itu. Hampir sama dengan Shang Yang, Macchiavelli tidak setuju
dengan moral, kebudayaan, agama, dan sebagainya, karena semua hal tersebut akan
melemahkan raja dalam memerintah negaranya. Penguasa sebagai pemimpin Negara
harus mempunyai sifat sebagai serigala dan singa.
Menurut Macchiavelli, pemerintah harus selalu berusaha agar tetap berada di atas
segala aliran-aliran yang ada, dan bagaimanapun lemahnya pemerintah, harusia
perlihatkan bahwa ia tetap lebih berkuasa. Kalau yang demikian tercapai, maka banyak
harapan akan terciptanya kemakmuran. Inilah tujuan utama bagi Negara. Tercapainya
kemakmuran inilah yang menjadi keistimewaan cita-cita Macchiavelli, berbeda dengan
ajaran Lord Shang yang hanya sekedar mencapai kekuasaan Negara.

23
Dengan tegas tujuan Negara menurut Machiavelli adalah mengusahakan
terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketentraman. Selain itu, tujuan Negara dalam
konteks waktu itu adalah untuk mempersatukan Italia yang terpecah-pecah. Machiavelli
berupaya mengkonsepsikan kemakmuran bersama untuk seluruh wilayah Italia. Hal ini
hanya akan dapat dicapai oleh pemerintahan seorang raja yang mempunyai kekuasaan
absolute dan harus mengabaikan etika dan moralitas. Kekuasaan harus dipisahkan secara
tegas dari moral atau etika. Inilah esensi dari ajaran Machiavelli, sehingga setiap politikus
yang mengabaikan etika kekuasaan pada masa kini dapat disebut Machiavellian atau
Machiavelis.
3. Dante Alleghiere
Dante mempunyai cita-cita tentang tujuan Negara, bahwa seluruh Negara-negara di
dunia menjadi satu kekuasaan seorang raja. Pendapatnya itu dituangkan dalam buku “De
Monarchie Libri III” (1313). Buku ini disusun di tengah-tengah suasana kacau di Italia,
dimana sedang terjadi perebutan kekuasaan dan pengaruh antara raja dengan partai,
golongan. Bangsa, dan antara kota-kota yang memerosotkan perekonomian. Untuk
menjaga stabilitas, Dante tidak menginginkan paus campur tangan. Tujuan yang dimaksud
oleh Dante tidak untuk memperoleh kekuasaan yang mutlak, tetapi dengan mempersatukan
semua Negara-negara di bawah satu kekuasaan untuk membawa kemajuan umat manusia
di seluruh dunia, terutama dalam mencapai kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Dalam bukunya tersebut, Dante memberikan saran bagaimana seharusnya
pemerintahan diorganisir, dan siapa yang sepantasnya memerintah. Menurutnya, yang
menjadi tujuan bagi Negara adalah menciptakan perdamaian dunia, dengan jalan
menciptakan undang-undang yang seragam bagi seluruh umat manusia. Di samping itu,
harus dijamin pula adanya suasana yang damai dan aman. Selama banyak raja-raja yang
berkuasa dalam Negara-negara, maka suasana aman dan damai tidak akan ada, karena
mereka akan saling berperang dan berebut kekuasaan. Kekuasaan sebaiknya terpusat di
tangan seorang monarch, agar perdamaian dan keamanan dapat terjamin. Perebutan
kekuasaan dan pengaruh harus disapu bersih. Negara harus bersifat progresif mengejar
kemajuan bagi rakyat, bukan untuk kepentingan perseorangan.
4. Immanuel Kant

24
Dalam bukunya “Kritik des Reinen Vernunft”, Kant mengecam adanya perbedaan-
perbedaan dalam masyarakatnya, dan memberi saran untuk mengurangi perbedaan-
perbedaan itu. Dalam bukunya yang lain, yaitu “Zum Ewigen Frieden”, Kant memuat
masalah usaha mencapai perdamaian abadi. Kant tidak lagi mendasarkan tatanegaranya
atas paham-paham rasionalistik, tetapi sudah cenderung pada idealisme dan beranggapan
bahwa dengan rasio manusia hanya dapat mengenal ujud suatu benda, tapi belum
mengenal sifatnya, dan bahwa hanya Tuhanlah yang mengerti akan rahasia yang sebsar-
besarnya dari alam. Dengan pemikiran seperti ini, Kant telah memasukkan ajaran theology
di samping berfikir secara rasionil.
Kant berpendapat bahwa manusia dilahirkan sederajat, dan segala kehendak dan
kemauan dalam masyarakat Negara harus melalui dan didasarkan pada undang-undang,
dan bahwa setiap orang harus menghadapi orang lain di samping mempergunakan hak
miliknyasendiri. Tujuan Negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum, yang
hendak menjamin kedudukan hukum dari individu-individu di dalam masyarakat. Jaminan
itu juga meliputi kebebasan dari warga Negara, yang berate tidak boleh ada paksaan dari
pihak penguasa agar warga negaranya tunduk pada undang-undang yang belum
disetujuinya. Selain itu juga berate bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan
sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak penguasa.
Untuk mencapai tujuan Negara itu, maka Negara harus mengadakan pemisahan
kekuasaan, dimana masing-masing kekuasaan itu mempunyai kedudukan yang sama tinggi
dan sama rendah, tidak boleh saling mempengaruhi, tidak boleh saling campur tangan dan
bisa saling menguji.
5. Kaum Sosialis
Pola pikir dasar dari kaum sosialis adalah bahwa manusia dilahirkan dengan hak-hak
yang sama dan berhak atas perlakuan yang sama. Karena itu tujuan bernegara bagi kaum
sosialis adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi tiap
manusia. Kebahagiaan itu hanya dapat terwujud jika setiap manusia mempunyai mata
pencaharian yang memberi penghasilan yang layak, dan adanya jaminan bahwa hak-hak
asasi dan kebebasan manusia tidak dilanggar. Oleh karena manusia itu bersifat egois,
maka pemberian rejeki yang layak dan jaminan-jaminan atas hak dan kebebasan itu tidak
akan terwujud dengan sendirinya di dalam masyarakat, jika tidak diusahakan dan diatur

25
dalam undang-undang. Karena itu dalam ketatanegaraan harus diwujudkan system
perekonomian yang memungkinkan pembagian rejeki yang merata di kalangan rakyat.
Perwujudan pembagian rejeki yang merata di kalangan rakyat itu dapat berakibat
mengurangi hak-hak asasi seseorang atas hartanya yang berlebihan dan yang
menghalangi pembagian rejeki jauh merata itu.
Keadilan sosial hanya dapat dicapai dengan mengubah cara perekonomian liberal
dengan perekonomian kekeluargaan di bawah pimpinan Negara. Untuk melakukan itu
semua, alat-alat produksi dan distribusi yang penting-penting yang menguasai hidup orang
banyak harus dimiliki Negara (dimiliki tidak sama dengan dikuasai Negara)
6. Kaum Kapitalis
Pola pikir dasarnya adalah bahwa tiap-tiap orang lebih berbakti kepada masyarakat jika
masing-masing mencoba mencapai tujuannya sendiri-sendiri. Kebahagiaan untuk semua
orang hanyatercapai, kalau setiap orang mencoba mencapai kebahagiaannya sendiri-
sendiri. Sesuai dengan falsafah itu, kaum kapitalis memperjuangkan gerak hidup yang
bebas (liberal) dengan persaingan yang bebas pula, dan sesuatunya itu dalam rangka tata
susila yang beradab dan undang-undang
7. Fascisme
Negara fascis merupakan bangunan tertinggi di dalam masyarakat. Bukan bangsa yang
membentuk Negara, melainkan Negara yang membentuk bangsa Italia. Bangsa Italia
merupakan suatu kesatuan moral, politik, ekonomi, yang bersatu dalam Negara. Negara
merupakan pusat dari segala kegiatan orang Italia dengan suatu disiplin yang kuat,
sehingga individu-individu itu tidak mempunyai gerak yang bebas. Tujuan untuk
mengembangkan individu-individu yang lebih tinggi tidak ada, melainkan hanya merupakan
bagian dari bangsa Italia yang bagi diri sendiri tidak berarti.

26
BAB VIII
TERJADINYA NEGARA

Teori terjadinya Negara terbagi atas dua segi peninjauan, yaitu terjadinya Negara secara
primer dan secara sekunder. Secara primer, pembahasannya bersifat teoritis logis, yang
dihubungkan dengan kondisi unsure-unsur Negaranya. Maksudnya dari masyarakat yang
sederhana kemudian berkembang dengan melalui tahap-tahap tertentu sampai menjadi
Negara. Sedangkan teori terjadinya Negara secara sekunder merupakan pembahasan
mengenai terjadinya Negara dalam lingkungan Negara-negara lain yang sudah ada.
1. Teori Pertumbuhan Primer
Pertumbuhan primer ialah pertumbuhan Negara dalam bentuk sederhana sekali dan
kemudian berkembang melalui tingkat-tingkat yang lebih maju menjadi Negara modern.
Teori ini membahas tentang terjadinya Negara tidak dihubungkan dengan Negara yang
telah ada sebelumnya. Walaupun di dalam sejarah tidak dapat ditentukan kapan dan kapan
Negara itu dimulai, tetapi lazimnya orang mengambil sebagai titik pangkal untuk
menerangkan pertumbuhan Negara dari masyarakat-masyarakat hukum yang masih
sederhana yang hidup dalam kelompok-kelompok keluarga yang besar.
Pertumbuhan Negara secara primer terjadi melalui 4 (empat) phase, yaitu:
a. Phase Genootshaap (Genossenschaft)
b. Phase Reich (Rijk)
c. Phase Staat
1) Phase Democratische Natie

27
2) Phase Dictatuur (Dictatum)
2. Teori Pertumbuhan Sekunder
Yang dimaksud dengan teori pertumbuhan Negara sekunder adalah teori yang
membahas tentang terjadinya Negara yang dihubungkan dengan Negara-negara yang
telah ada sebelumnya. Jadi yang penting dalam pembahasan terjadinya Negara sekunder
ini adalah masalah pengakuan atau erkening. Pertumbuhan sekunder Negara disebabkan
karena penaklukan, pemisahan, perpecahan, penyatuan atau penggabungan yang
berakibat hilangnya Negara yang lama dan diganti dengan Negara yang baru. Jika terjadi
sesuatu Negara baru karena penaklukan atau penggabungan itu, yang menjadi persoalan
mengenai terjadinya Negara baru itu sebenarnya tidak ada, karena yang dimaksud dengan
Negara yang baru adalah Negara yang menang. Yang menarik perhatian adalah
munculnya Negara-negara baru karena pemberontakan yang tujuannya menggulingkan
kekuasaan yang ada untuk diganti dengan kekuasaan yang baru.
3. Masalah Pengakuan Negara Lain
Mengenai masalah pengakuan atau erkening ini ada 3 (tiga) macam, sebagai berikut:
a. Pengakuan de Facto
Yang dimaksud dengan pengakuan de facto adalah pengakuan yang bersifat
sementara terhadap munculnya atau terbentuknya suatu Negara baru, karena
kenyataannya Negara baru itu memang benar ada, namun apakah prosedurnya melalui
hukum, hal ini masih dalam penelitian hingga akibatnya pengakuan yang diberikan
adalah bersifat sementara. Pengakuan de Facto ini dapat meningkat kepada
pengakuan de Jure apabila prosedur munculnya Negara baru itu melalui proseur
hukum yang sebenarnya.
b. Pengakuan de Jure (pengakuan yuridis)
Yang dimaksud dengan pengakuan de Jure adalah pengakuan yang seluas-luasnya
dan bersifat tetap terhadap munculnya atau timbulnya atau terbentuknya suatu Negara,
dikarenakan terbentuknya Negara baru adalah berdasarkan yuridis atau berdasarkan
hukum.
c. Pengakuan atas Pemerintahan de Facto
Pengakuan atas pemerintahan de Facto ini diciptakan oleh seorang sarjana Belanda
Van Haller pada saat proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Yang

28
dimaksud dengan pengakuan terhadap pemerintahan de facto adalah suatu pengakuan
hanya terhadap pemerintahan, sedangkan terhadap wilayahnya tidak diakui.
Pengakuan ini tidak berarti, karena unsure-unsur Negara harus ada rakyat, wilayah,
dan pemerintahan yang berdaulat.
4. Masalah Hilangnya Negara
Suatu Negara dapat saja runtuh/hilang, karena:
a. Karena factor alam
b. Karena factor sosial

BAB VIII
TIPE-TIPE POKOK NEGARA

Teori tipe-tipe Negara bermaksud membahas tentang penggolongan Negara didasarkan


kepada cirri-ciri yang khas/dominan dalam Negara sepanjang sejarah kenegaraan. Dalam
sejarah pertumbuhan Negara, tipe-tipe pokok Negara dapat dibagi atas 5 (lima) bagian, yaitu:
1. Negara Timur Purba/Kuno
2. Negara Yunani Purba/Kuno
3. Negara Romawi Purba/Kuno
4. Negara Abad Pertengahan
5. Negara Modern/Negara Hukum
Pengelompokan kelima tipe pokok Negara ini berdasar pada cirri-ciri pokok yang dominant
dalam Negara sepanjang sejarah kenegaraan. Sumber pembahasan adalah pendapat para
sarjana dari Negara-negara Eropa, sehingga peninjauannya juga bersifat Eropa Centris.
1. Negara Timur Purba/Kuno
Tipe Negara Timur Purba merupakan Negara teokrasi yang berdasar pada faham
keagamaan. Raja dianggap sebagai dewaatau wakil Tuhan, sehingga ditinjau dari sudut
kewibawaan Negara bersifat absolute dan despotisme. Kekuasaan berada pada raja-raja
yang mempunyai kekuasaan absolute, bersifat lalim, kejam, dan sewenang-wenang.
2. Negara Yunani Purba
Negara Yunani Kuno mempunyai tipe sebagai Negara kota atau polis ( City State),
seperti Sparta dan Athena. Besarnya Negara Kota hanya satu kota yang dilingkari benteng

29
pertahanan. Penduduknya sedikit dengan pemerintahan demokrasi langsung. Dalam
pelaksanaan demokrasi langsung rakyat diberikan pelajaran ilmu pengetahuan atau
encyclopaedie yang artinya lingkaran pengetahuan. Pemerintahan diselenggarakan dengan
mengumpulkan rakyat di satu tempat yang disebut ecclesia. Dalam rapat dikemukakan
kebijaksanaan pemerintah untuk dipecahkan bersama, sehingga rakyat ikut serta
memecahkan masalah. Pemerintah selalu dipegang ahli-ahli filsafat. Namun demikian,
secara keseluruhan cirri utama tipe Negara Yunani adalah negaranya merupakan Negara
kota/polis, rakyatnya mengenal dan menghayati arti zoon politicon, system
pemerintahannya demokrasi langsung sehingga seluruh rakyat turut aktif dalam kegiatan
(status aktif).
3. Negara Romawi Purba/Kuno
Tipe Negara Romawi Purba digambarkan sebagai suatu imperium yang mempunyai
wilayah luas sekali karena jajahan-jajahannya. Di Romawi banyak ajaran kebudayaan
Yunani sebagai akibat proses akulturasi, juga karena Romawi bekas jajahan Yunani.
Namun ajaran tentang demokrasi dari Yunani tidak berlaku, karena yang berkuasa di
Romawi adalah Caesar yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan dapat
bertindak sekehendak hatinya (tiran).
Ajaran yang dibawa dari Yunani tidak membawa pengaruh terhadap susunan
pemerintahan di Romawi. Kedaulatan rakyat dikonstruksi menjadi paham Caesarismus,
yaitu suatu paham yang menganggap bahwa Caesar menerima seluruh kekuasaan dari
rakyat berdasatkan kepercayaan rakyat kepadanya. Setelah rakyat menyerahkan
kekuasaannya, maka Caesar menjadi wakil-wakil rakyat yang bertindak atas namanya.
Perjanjian penyerahan kekuasaan itu diletakkan dalam Lexregia, yaitu suatu undang-
undang yang memberi hak kepada Caesar, sehingga akhirnya Caesar berkuasa penuh dan
mutlak. Imperium Romawi meliputi Lautan Tengah, Asia Muka, Inggris, Perancis, Rumania,
Jerman, dsb.
Secara keseluruhan tipe kerajaan Romawi terbagi dalam empat fase, yaitu fase
Kerajaan, Republik, Principaat, dan Dominaat.
4. Negara Abad Pertengahan
Secara keseluruhan, cirri-ciri dari Negara pada Abad Pertengahan adalah:

30
a. Bersifat dualistis, karena adanya dua macam hak yang menjadi dasar terbentuknya
Negara, yaitu hak raja (Rex) dan hak rakyat (Regnum) yang sifatnya berlawanan.
b. Feodalisme, yaitu kekuasaan yang berdasar pada teori patrimonial.
c. Adanya pertentangan antara gereja dan Negara yang menimbulkan teori teokrasi.
Selain itu juga timbul teori sekularisme yang memisahkan antara urusan kenegaraan
dan urusan keagamaan.
d. Standenstaats, artinya sifat Negara berdasarpada lapisan-lapisan yang ada dalam
masyarakat, misalnya bangsawan, gereja, rakyat, dan kota. Dari lapisan-lapisan itu
muncul idea perwakilan yang kemudian dilengkapi dengan teori-teori tentang concili-
concili yang diadakan oleh gereja Katolik.
5. Negara Modern/Negara Hukum
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada Negara modern, ditemukan cirri-ciri:
a. Berlaku asas demokrasi
b. Dianutnya paham Negara hukum
Setelah mengalami perkembangan, maka yang menjadi cirri-ciri Negara hukum adalah:
1. Adanya pengakuan hak asasi manusia (HAM)
2. Adanya pembagian kekuasaan
3. Adanya undang-undang bagi tindakan pemerintah
4. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri
Sebutan lain untuk Negara hukum yang berdasarkan kedaulatan hukum adalah “ rule of
law” menurut paham Dicey, yang unsure-unsurnya:
1. Equality before the law (kedudukan sama di depan hukum)
2. Supremacy of law (kekuasaan tertinggi terletak pada hukum)
3. Pengakuan hak asasi manusia
Ini adalah pengaruh dari ajaran John Locke yang berpendapat bahwa pemerintah harus
melindungi hak-hak asasi rakyat, dank arena itu hak-hak asasi itu dicantumkan dalam UUD.
6. Negara menurut Perkembangan Sejarahnya
Di samping pembagian tipe-tipe Negara menurut sejarahnya, terdapat beberapatipe
Negara apabila ditinjau dari sisi hukum. Tipe ini diperoleh dengan melihat hubungan antara
penguasa dan rakyat.
a. Tipe Negara Policie (Polizei Staat)

31
Pada tipe ini Negara bertugas menjaga tertib hukum saja (Negara Jaga Malam).
Pemerintah bersifat monarchi absolute. Pengertian policie adalah welvaartzorg, yang
mencakup dua arti:
1) Penyelenggara Negara positif (bestuur)
2) Penyelenggara Negara negative (menolak bahaya yang mengancam keamanan
Negara)

b. Tipe Negara Hukum (Rechtstaat)


Tindakan penguasa dan rakyat harus berdasarkan hukum. Ada 3 (tiga) bentuk tipe
Negara hukum:
1) Tipe Negara Hukum Liberal
Tipe ini menghendaki agar Negara berstatus pasif, yaitu warga Negara harus
tunduk pada peraturan-peraturan Negara. Penguasa bertindak sesuai hukum.
Kaum liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasasi ada suatu
persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menguasai penguasa.
2) Tipe Negara Hukum Formil
Negara Hukum Formil yaitu Negara hukum yang mendapat pengesahan dari
rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus
berdasar undang-undang. Bentuk ini disebut juga Negara demokratis yang
berlandaskan Negara hukum. Menurut Stahl, Negara hukum formil harus memenuhi
4 (empat) unsure:
a) Adanya jaminan hak asasi manusia
b) Adanya pemisahan kekuasaan
c) Pemerintahan berdasar undang-undang
d) Peradilan administrasi yang berdiri sendiri
3) Tipe Negara Hukum Materiil
Negara Hukum Materiil sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari
Negara hukum formil. Dalam hal ini berlaku asas opportunitas dalam hal-hal yang
mendesak
c. Tipe Negara Kemakmuran (Wohlfaart Staats)

32
Negara mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat, dan Negara merupakan alat
satu-satunya untuk menyelenggarakan kemakmuran rakyat. Negara aktif dalam
menyelenggarakan kemakmuran warganya, untuk kepentingan seluruh rakyat dan
Negara. Jadi tugas Negara semata-mata adalah menyelenggarakan kemakmuran
rakyat yang semaksimal mungkin.

BAB IX
UNSUR-UNSUR NEGARA

Yang dimaksud dengan unsure-unsur Negara adalah bagian-bagian yang menjadikan


Negara itu ada, atau hal-hal yang diperlukan untuk terbentuknya Negara (elemen daripada
Negara). Pembahasannya dapat dilihat dari empat macam penggolongan, yaitu penggolongan
secara klasik, secara yuridis, secara sosiologis, dan penggolongan menurut politik
internasional.
1. Penggolongan Secara Klasik
Menurut penggolongan secara klasik, unsure-unsur Negara terdiri atas tiga bagian
utama, yaitu unsure bangsa/rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga
unsure itu menurut Oppenheim dan Lauterpacht merupakan unsure-unsur Negara yang
pokok dan mutlak harus ada untuk kelengkapan suatu Negara, sehingga merupakan
unsure pembentuk atau unsure konstitutif.
Konvensi Hukum Internasional di Montevideo tahun 1933 menetapkan bahwa unsure
konstitutif suatu Negara meliputi unsure rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan
kemampuan untuk berhubungan dengan Negara lain (dalam bidang politik, ekonomi, dan
keamanan). Sedangkan unsure pengakuan dari Negara lain merupakan unsure yang
deklaratif.
Ikatan seseorang yang menjadi warga Negara itu menimbulkan hak dan kewajiban
baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan seorang warga Negara menurut
Georg Jellinek dapat disimpulkan dalam 4 (empat) hal, yaitu:
a. Status Positif

33
Tiap warga Negara berhak menuntut tindakan positif dari Negara mengenai
perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan, dan sebagainya. Oleh karena itu
Negara membentuk pengadilan, kejaksaan, kepolisian.
b. Status Negatif
Tiap warga Negara dijamin bahwa Negara tidak boleh campur tangan terhadap hak-hak
asasi warga negaranya, dan kalaupun ada sangat terbatas, demi kepentingan umum

c. Status Aktif
Tiap warga Negara berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan, yaitu mempunyai hak
dipilih dan memilih.
d. Status Pasif
Merupakan kewajiban bagi setiap warga Negara untuk mentaati dan tunduk kepada
segala perintah negaranya.
Berdasarkan pada 4 (empat) kedudukan di atas, maka seorang asing dibedakan dari
warga Negara, karena tidak ada ikatan hak dan kewajiban bagi warga Negara asing.
Ada 2 (dua) asas kewarganegaraan, yaitu:
a. Ius Sanguinis
Status kewarganegaraan berdasarkan keturunan
b. Ius Soli
Status kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran
Dalam rangka kewarganegaraan ini, dikenal adanya dwi kewarganegaraan (bipatride),
atau tanpa kewarganegaraan (apatride), karena adanya perbedaan system yang dianut
oleh dua Negara.
2. Penggolongan Secara Yuridis
Logemann mengemukakan unsure-unsur Negara secara yuridis, yang terdiri dari:
a. Gebiedsleer (wilayah hukum: darat, laut, udara, serta orang dan batas wewenangnya)
b. Persoonleer (subyek hukum, yaitu pemerintah yang berdaulat)
c. De leer van de rechtsbetreking (hubungan hukum)
Yaitu hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, serta hubungan internasional.
Yang menjadi subyek hukum dalam Negara adalah unsure pemerintahan yang berdaulat

34
apabila dihubungkan dengan penggolongan unsure Negara secara klasik. Sedangkan
unsure wilayah hukum mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu wilayah tentang orang
(bangsa), wilayah tertentu tentang ruang yang mencakup darat, laut, dan udara, serta
wilayah yang mengatur batas wewenang dari Negara. Mengenai unsure/perikatan hukum
sebenarnya termasuk dalam bidang Hukum Tata Negara, yaitu mengenai hubungan-
hubungan hukum yang timbul antara Negara dengan rakyatnya.

3. Penggolongan Secara Sosiologis


Rudolf Kjellin mengemukakan unsure-unsur Negara secara sosiologis, yaitu:
a. Faktor sosial, yang meliputi:
1) Unsur masyarakat atau sosial, yang menimbulkan socio politik
2) Unsur ekonomis, yang menimbulkan ilmu eko politik
3) Unsur penguasa, yang menimbulkan ilmu politik
b. Faktor alam, yang meliputi:
1) Unsur wilayah, yang merupakan ruang hidup Negara. Apabila dihubungkan denan
unsure geografis, akan menimbulkan geo politik yaitu strategi politik suatu Negara
berdasar pada letak wilayah Negara
Unsur bangsa, yang menimbulkan ilmu tentang bangsa/ethno politik.

4. Penggolongan Menurut Politik Internasional


Menurut Hans J Morgenthau agar dapat dianggap sebagai Negara yang secara nyata
mempunyai kekuatan (power), maka harus memenuhi delapan unsure yang disebut
“elements of national power”. Sedangkan hukum internasional beranggapan setiap Negara
harus mendapat pengakuan atas pemerintahannya di sampingf unsure-unsur lainnya.
Dengan demikian dibutuhkan sembilan unsure Negara menurut penggolongan politik
internasional meliputi:
a. Wilayah
b. Sumber-sumber alam
c. Kapasitas industri
d. Jumlah penduduk yang memadai sesuai dengan luas wilayahnya

35
e. Pemerintahan yang stabil
f. Angkatan bersenjata yang kuat baik dari segi moril dan materiil
g. Memiliki kepribadian nasional
h. Merupakan bangsa yang bermoral
i. Kualitas diplomasi, dalam arti aktif dalam kegiatan internasional

BAB X
KEKUASAAN NEGARA DAN HUKUM

1. Kekuasaan
Secara umum, kekuasaan sering diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain/kelompok lain sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri. Miriam
Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai “kemampuan seseorang atau kelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai kekuasaan itu.
Max Weber mengartikan kekuasaan sebagai kesempatan dari seseorang atau
sekelompok orang-orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya
sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari
orang-orang atau golongan tertentu.
Mac Iver mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tingkah
laku orang lain, baik secara langsung dengan memebri perintah, maupun secara tidak
langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.
Bila dihadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa
kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja. Bila persoalan kekuasaan
itu diartikan dalam bidang politik saja, maka kekuasaan itu disebut monoform. Akan tetapi
dalam kenyataan yang hidup di masyarakat, dikenal juga kekuasaan-kekuasaan lain seperti
kekuasaan dalam hubungan antara orang tua dan anak-anaknya, guru dan muridnya,

36
majikan dengan buruhnya, sehingga kekuasaan itu tidak berbentuk satu, melainkan
banyak, yang disebut polyform atau multiform.
Beeling dalam bukunya “Kratos, Men en Macht”, membagi kekuasaan poliform menjadi
3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Sifat kekuasaan yang fundamental
Selama manusia masih ada, maka kekuasaan itu selalu menjadi dasar bagi manusia
untuk melaksanakan kehendaknya terhadap orang lain.

b. Sifat kekuasaan yang abadi


Selama manusia masih ada, kekuasaan tidak akan hilang
c. Sifat kekuasaan yang multiform
Kekuasaan tidak hanya dikenal dalam politik saja.
Selanjutnya Beeling mengatakan bahwa kekuasaan itu amsih netral sifatnya selama
masih dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang baik dan bermoral tinggi. Sebaliknya, jika
kekuasaan itu untuk tujuan yang tidak baik, maka akan berakibat kerugian bagi masyarakat
dan Negara.
Von Yhering menghubungkan kekuasaan dengan Negara, karena Negara memiliki hak-
hak istimewa dalam mempergunakan kekuatan jasmaniahnya, seperti peraturan dan
sanksi, wajib bela Negara, dan penentuan mata uang yang berlaku, pungutan pajak, dan
lain-lain.
Kekuasaan Negara adalah kekuasaan politik. Miriam Budiardjo mengartikan kekuasaan
politik sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah), baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan
itu sendiri.
Penggunaan kekuasaan bukan tanpa penyakit. Lord Acton mengetengahkan dalil yang
amat popular, yaitu “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”, yang
artinya kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti
disalahgunakan.
2. Kewibawaan

37
Yang pokok dalam melaksanakan kekuasaan ialah bila kekuasaan itu diterima oleh
masyarakat dan dipatuhi. Kalau sudah dipatuhi, maka segala kekuasaan berubah menjadi
kewibawaan. Dengan pengertian bahwa rakyat yang menerima kekuasaan yakin akan
kebenaran kekuasaan itu.
Kekuasaan dalam arti kewibawaan diartikan bahwa pemegang kekuasaan memiliki sifat-
sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan sebagian warga masyarakatnya.
Kewibawaan ini tidak sama pada setiap pemegang kekuasaan, karena itu dikenal beberapa
macam kewibawaan. Max Weber membagi kewibawaan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Kewibawaan yang kharismatis


Terdapat pada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang tinggi dan
istimewa. Contoh: nabi terhadap pengikutnya
b. Kewibawaan yang bersifat tradisional
Biasanya dimiliki oleh seorang raja karena hak warisnya, meskipun kadang-kadang raja
tersebut tidak pandai, tetapi mempunyai kewibawaan sebagai symbol dari kerajaannya
c. Kewibawaan yang bersifat rasional
Didasarkan atas pertimbangan akal pikiran manusia yang banyak terdapat pada
organisasi-organisasi modern
Logemann membagi kewibawaan menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
1. Kewibawaan berdasarkan ‘magic’ atau kekuasaan gaib
2. Kewibawaan berdasar dinasti atau hak keturunan
3. Kewibawaan berdasar charisma
4. Kewibawaan yang berdasarkan “kehendak rakyat melalui perwakilan”
5. Kewibawaan elite (the ruling class)
3. Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan secara yuridis. Mula-mula kedaulatan diartikan sebagai
kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak. Namun dengan adanya pergaulan dan perjanjian
internasional, maka kedau;atan Negara ke luar menjadi berkurang. Kedaulatan ke dalam
dibatasi hokum positifnya, sehingga arti kedaulatan menjadi relative.

38
Jean Bodin (1530-1596) pertama kali mengemukakan teori kedaulatan, yang
mendefinisikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap para warga Negara dan
rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang. Raja tidak terikat undang-undang, yang
mempunyai imperium/hak berkuasa, sehingga Negara sama dengan raja. Dengan kata lain,
rajalah yang berdaulat.
Menurut urutan waktunya, ada beberapa macam kedaulatan:
1. Kedaulatan Tuhan
2. Kedaulatan Raja-raja
3. Kedaulatan Rakyat
4. Kedaulatan Negara
5. Kedaulatan Hukum
4. Negara Hukum
Pengertian Negara hokum sebenarnya sudah lama ada, seperti dalam tipe Negara
ideal yang dikemukakan Palto dan Aristoteles. Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung
angan-angan (cita-ciat) manusia yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak, yang
disebut:
a. Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idée der warheid)
b. Cita-cita untuk mengejar kesusilaan (idée der zodelijkheid)
c. Cita-cita manusia untuk mengejar keindahan (idée der schonheid)
d. Cita-cita untuk mengejar keadilan (idée der gerechtigheid)
Aristoteles merumuskan Negara hokum sebagai engara yang berdiri di atas hokum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Warga Negara ikut dalam
permusyawaratan Negara (ecclesia). Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan
rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga Negara yang baik. Peraturan
yang sebenarnya adalah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi warga negaranya.
Maka menurutnya, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran
yang adil yang tertuang dalam peraturan hokum, sedangkan penguasa hanya memegang
hokum dan keseimbangan saja. Ajaran ini sampai sekarang masih menjadi idaman untuk
menciptakan Negara hokum.
5. Negara Hukum Menurut Eropa Kontinental

39
Dipelopori oleh Immanuel Kant, yang menyebarkan paham “laissez faire laizzes aller”,
yang artinya biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri
kemakmurannya, jangan Negara ikut campur tangan. Dalam bidang hokum dan
kenegaraan, aliran ini berpendapat bahwa Negara harus bersifat pasif, yang hanya
mengawasi dan bertindak apabila terjadi perselisihan antara anggota masyarakat dalam
menyelenggarakan kepentingannya. Tujuan Negara hokum menurut Kant adalah menjamin
kedudukan hokum dari individu-individu dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini,
maka Negara harus mengadakan pemisahan kekuasaan yang masing-masing mempunyai
kedudukan yang sama tinggi dan sama rendah, tidak boleh saling mempengaruhi dan tidak
boleh campur tangan satu sama lain (pengaruh Rousseau).

Kant berpendapat bahwa unsure Negara hokum ada 2 (dua), yaitu:


a. Adanya perlindungan hak asasi manusia
b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara
Dalam perkembangannya, Negara hokum juga bertugas menyelenggaraan
kesejahteraan rakyat, sehingga menurut Stahl, unsure Negara hokum yang dikemukakan
Kant perlu ditambah lagi, yaitu:
a. Setiap tindakan Negara harus berdasar undang-undang yang telah dibuat
b. Peradilan administrasi yang memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Tidak berat sebelah
2) Personil yang ahli dalam bidangnya
Dengan adanya tambahan dua unsure tersebut, maka muncullah tipe Negara hokum
yang disebut “Negara Kesejahteraan” atau “Social Servise State” atau “Walfahrt Staat”.
6. Negara Hukum Menurut Negara Anglo Saxon
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hokum atau rechtstaat tetapi menganut
“the rule of the law” atau pemerintahan oleh hokum atau Government of Judiciary”
AV Dicey mengemukakan 3 (tiga) unsure rule of the law, yaitu:
a. Supremacy of the law
b. Equality of law
c. Hak asasi manusia yang tidak tercantum dalam konstitusi, tapi sejak manusia lahir.

40
Negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris, tidak mengenal peradilan administrasi.
Sebagai konsekuensinya di Inggris dikenal adanya rezim administrasi yang baik, yang
merupakan garansi bahwa penyelewenangan bias dicegah atau kalaupun ada ditekan
sekecil mungkin. Karena adanya rezim administrasi yang baik, maka pelanggaran hak
asasi manusia berkurang, dan kalau ada perselisihan/pelanggaran, maka peradilan biasa
akan mengadilinya.

BAB XI
BENTUK NEGARA, BENTUK PEMERINTAHAN, DAN SISTIM PEMERINTAHAN

1. Pendahuluan
Bentuk Negara merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan peninjauan
secara yuridis mengenai negara. Disebut peninjauan secara sosiologis apabila Negara
dilihat secara keseluruhan (ganzhit) tanpa melihat isinya dan sebagainya. Sedangkan
dikatakan peninjauan yuridis apabila Negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya.
Teori bentuk Negara bertujuan untuk membahas sistim penjelmaan politis dari unsure-
unsur Negara. Teori bentuk pemerintahan meninjau bentuk Negara secara yuridis, yang
bermaksud mengungkapkan sistim yang menentukan hubungan antara alat-alat
perlengkapan tertinggi dan tinggi dalam menentukan kebijaksanaan kenegaraan.
2. Bentuk Negara Pada Jaman Yunani Kuno
Bentuk Negara pada jaman Yunani Kuno lebih menitikberatkan pada peninjauan secara
ideal (filsafat). Plato mengemukakan 5 (lima) macam bentuk Negara yang sesuai dengan
sifat tertentu dan jiwa manusia, yaitu:
a. Aristokrasi
b. Timokrasi

41
c. Oligarkhi
d. Demokrasi
e. Tirani
Aristoteles mengemukakan 3 (tiga) bentuk Negara ideal dan pemerosotannya.
a. Monarchi
Pemerintahan oleh 1 (satu) orang guna kepentingan seluruh rakyat
b. Tirani
Pemerintahan oleh 1 (satu) orang untuk kepentingannya sendiri
c. Aristokrasi
Pemerintahan oleh sekelompok cendekiawan guna kepentingan seluruh rakyat
d. Oligarkhi
Pemerintahan oleh sekelompok orang guna kepentingan kelompoknya sendiri

e. Plutokrasi
Pemerintahan oleh sekelompok orang kaya guna kepentingan orang kaya
f. Politea
Pemerintahan oleh seluruh orang guna kepentingan seluruh rakyat
g. Demokrasi
Pemerintahan dari orang-orang yang tidak tahu sama sekali tentang pemerintahan
Ketujuh bentuk tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan satu
dengan yang lainnya, sehingga merupakan suatu siklus. Dari siklus bentuk-bentuk Negara
ini, maka muncullah teori revolusi dari Aristoteles. Ajaran Aristoteles ini juga menimbulkan
teori kuantitas dan kualitas, digambarkan sebagai berikut:

Monarkhi

(Ideal) Tirani / Despotie


Demokrasi
(Pemerosotan)
(Pemerosotan)

Politea
Aristrokrasi
(Ideal) Oligarkhi atau
Plutokrasi (Ideal)

(Pemerosotan)
42
Keterangan:
a. Monarkhi adalah bentuk yang ideal
b. Tirani/Despotie adalah bentuk pemerosotan dari monarchi, sehingga muncul
c. Aristokrasi sebagai bentuk yang ideal, dan merosot lagi menjadi
d. Oligarkhi/Plutokrasi, kemudian muncul lagi
e. Politea sebagai bentuk yang ideal, kemudian merosot lagi menjadi
f. Demokrasi, lalu kembali ke bentuk Monarkhi
Negara yang ideal adalah berdasarkan kuantitas dan pemerosotannya berdasarkan
kualitas. Ajaran ini hanya dianut oleh Polybios dengan sedikit perubahan, yaitu mengganti
ideal Politea dengan Demokrasi, dan bentuk pemerosotan atau demokrasi menjadi
aristokrasi.
3. Bentuk Negara Pada Jaman Pertengahan
Niccolo Macchiavelli dalam bukunya “Il Principle” memberikan bentuk Negara Republik
dan Monarchi. Bentuk Negara itu kalau bukan Republik, pastilah kerajaan. Jellinek dalam
bukunya “Algemeine Staatslehre” membedakan bentuk Negara republic dan monarchi
berdasarkan pembentukan kemauan Negara. Bila cara pembentukan kemauan Negara itu
ditentukan oleh seorang saja, maka terjadilah monarchi, sedangkan bila kemauan Negara
itu ditentukan oleh lebih dari satu orang, maka terjadilah republic. Paham ini sekarang tidak
dianut lagi, misalnya seperti yang terjadi di Inggris.
Leon Duguit dalam bukunya “Traitede Droit Constitutionel” membedakan republic
dengan kerajaan berdasarkan cara pengangkatan kepala Negara. Apabila kepala Negara
ditunjuk oleh tatanan penggantian secara keturunan yang telah ditetapkan, maka disebut
monarchi, sedangkan apabila tidak berdasar keturunan, maka disebut republic. Pendapat
ini tidak dipergunakan, dengan mengingat kasus di Malaysia.

43
Otto Koellreuter menambahkan satu bentuk Negara, yaitu Negara otoriter ( authoritarian
fuhrerstaat), di samping monarchi dan republic. Menurut Otto, monarkhi dalam Negara
modern dikuasai oleh asas ketidaksamaan seperti dinasti, sebaliknya republic dikuasai oleh
asas persamaan pemimpin. Negara pemimpin yang otoriter didasarkan atas pandangan
otoritar Negara. Pimpinan Negara tidak didasarkan dinasti, dan pandangan persamaanpun
tidak dianut, sehingga menurut Otto perbedaan monarchi dan republic tidak berarti lagi.
Otto seolah menerima bahwa Negara otoriter ini didasarkan pada kekuasaan pemimpin,
yang dianggapnya sebagai dasar kemauan Negara.
Aristoteles meninjau bentuk Negara itu berdasarkan ukuran kuantitas untuk bentuk
ideal, dan ukuran kualitas untuk bentuk pemerosotan. Jadi Aristoteles memperhatikan
banyaknya yang memerintah, hingga menghasilkan bentuk ideal dan bentuk pemerosotan.

4. Bentuk Negara Pada Jaman Sekarang


Uraian di atas belum menunjukkan bentuk Negara yang sebenarnya. Karena itu para
sarjana mencari perumusan bentuk Negara yang lebih mendekati kenyataan, sehingga
muncullah 3 (tiga) aliran yang didasarkan pada bentuk Negara yang sebenarnya, yaitu:
a. Paham yang menggabungkan persoalan bentuk Negara dengan bentuk
pemerintahan
b. Paham yang membahas bentuk Negara itu atas 2 (dua) golongan, yaitu demokrasi atau
dictator
c. Paham yang mencoba memecahkan bentuk Negara dengan ukuran-ukuran/ketentuan
yang sudah ada.
Bentuk pemerintahan adalah suatu sistim yang berlaku dalam mengatur alat-alat
perlengkapan Negara dan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan Negara itu.
Menurut paham ini, ada 3 (tiga) bentuk pemerintahan, yaitu:
1) Hubungan eksekutif dan legislative erat
2) Terdapat Pemisahan Yang Tegas Antara Eksekutif-Legislatif-Yudikatif
3) Bentuk Pemerintahan Dengan Pengaruh/Pengawasan Yang Langsung dari
Rakyat Terhadap Badan Legislatif

44
Bentuk pemerintahan ini sering juga disebut sistim pemerintahan rakyat yang
representative. Dalam sistim ini badan legislative tunduk pada control langsung rakyat.
Kontrol langsung dari rakyat ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaituinisiatif rakyat dan
referendum.
a) Inisiatif Rakyat
Yaitu hak rakyat untuk mengajukan/mengusulkan suatu rancangan undang-undang
kepada badan legislative dan eksekutif.
b) Referendum
Adalah permintaan/persetujuan pendapat rakyat, apakah setuju atau tidak terhadap
kebijaksanaan yang telah, sedang, atau yang akan dilaksanakan oleh badan legislative
dan eksekutif.
Referendum ini ada 3 (tiga) bentuk, yaitu:
(1) Referendum Obligatoir (wajib)
(2) Referendum Fakultatif
(3) Referendum Consultatif
5. Paham yang Membahas Bentuk Negara Atas Dua Golongan, yaitu Demokrasi dan Diktatur
Demokrasi
Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Bonger menyebutkan bahwa demokrasi
bukanlah suatu bentuk pemerintahan yang timbul dengan sendirinya, tetapi tumbuh dan
berkembang seperti semua lembaga-lembaga masyarakat, maksudnya evolusi. Demokrasi
yang pertama dikenal ialah demokrasi langsung, dimana keseluruhan warga Negara
dengan nyata ikut serta dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
atau undang-undang. Demokrasi tidak langsung merupakam sifat yang hakiki dari
demokrasi modern, dan cara yang paling sederhana untuk mengklasifisikan demokrasi
adalah menurut bentuk dan luasnya asas perwakilan. Asas perwakikan inilah yang
mendasari lembaga legislative.
Dari sekian banyak ide atau praktek tentang demokrasi, paling tidak dapat
diketengahkan dua paham yang paling penting, yaitu Demokrasi Konstitusional, Demokrasi
Rakyat, serta demokrasi Pancasila.

Dikatator atau Autokrasi

45
Diktator atau autokrasi adalah bentuk modern dari tirani. Menurut Logemann, bentuk ini
sebenarnya masih dapat digolongkan dalam bentuk demokrasi. Kranenburg menyatakan
bahwa bentuk-bentuk modern dari autokrasi secara formal tidak melenyapkan perwakilan
rakyat, walaupun perwakilan-perwakilan mempunyai kehidupan bayangan dan cara
kerjanya tidak berarti seluruh kekuasaan berpusat pada pemerintah dan pemerintah adalah
wakil kekuasaan Negara seluruhnya, sedangkan legislative dan yudikatif adalah lembaga
sekunder dan tugasnya terbatas. Contoh Negara autokrasi asalah Jerman (Nazi) dan Italia
(Facis). Kedua paham ini telah lenyap, dan sekarang hanya menjadi pembahasan teoritis
saja.

Aliran-aliran yang Mencoba Memecahkan Bentuk Negara Dengan ukuran-ukuran/Kriteria


yang Sudah Ada
Aliran ini dipelopori oleh CF Strong. Kriterianya ada 5 (lima) macam, yaitu:
a. Melihat bangunan Negara itu, apakah kesatuan atau serikat
b. Melihat apakah konstitusinya terletak pada satu naskah atau tidak
c. Mengenai susunan badan perwakilan
d. Melihat tanggung jawab parlemen dan pembatasan masa jabatan
e. Bagaimana hukum yang berlaku di Negara itu

46
BAB XII
KONSTITUSI

1. Pengertian
Konstitusi adalah seperangkat peraturan yang mengatur mengenai tata cara bernegara
suatu bangsa. Dengan kata lain konstitusi itu memuat atau menggambarkan bagaimana
keadaan organisasi suatu Negara.1 Pendapat lain menyatakan bahwa istilah konstitusi
pada umumnya digunakan untuk menggambarkan keseluruhan system ketatanegaraan,
yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah Negara,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam prkatek kenegaraan, istilah konstitusi (verfassung) sering diartikan sama dengan
Undang-Undang Dasar (Grundgesetz). Hal ini terjadi karena pengaruh paham kodifikasi
yang menghendaki semua peraturan hokum harus tertulis untuk mencapai kesederhanaan,
kesatuan, dan kepastian hokum. Pada dasarnya konstitusi mempunyai pengertian yang
lebih luas dariUndang-Undang Dasar karena meliputi peraturan-peraturan baik tertulis
1
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, cet 2, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h 67.

47
maupun yang tidak tertulis. Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi bersifat mengikat dan
mengatur mengenai cara-cara menyelenggarakan kegiatan kenegaraan dalam suatu
masyarakat.
Bahwa konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dapat dilihat dari pendapat
Herman Heller yang dalam bukunya berjudul “Verfassungslehre” membagi konstitusi dalam
tiga tingkat, yaitu:
a. Konstitusi sebagai pengertian social politik
b. Konstitusi sebagai pengertian hokum (rechtsfervassung)
c. Konstitusi sebagai suatu peraturan hokum
Apabila teori Herman Heller ini dijadikan ukuran untuk pengertian konstitusi, maka
terlihat bahwa konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-Undang
Dasar, karena selain yang tertulis, konstitusi juga mempunyai pengertian sosiologis, politis,
dan yuridis. Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan sebagian dari konstitusi, yaitu
konstitusi yang tertulis.
Menurut pendapat Lasalle dalam bukunya “Uber Verfassungwesen” (sifat konstitusi),
konstitusi dibagi dalam dua pengertian:
a. Konstitusi antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (factor kekuatan riil),
misalnya kepala Negara, angkatan bersenjata, partai-partai, pressure group, buruh,
tani, dan sebagainya.
b. Konstitusi adalah apa yang ditulis dia atas kertas mengenai lembaga-lembaga
Negara dan prinsip-prinsip memerintah dari suatu Negara, sama dengan paham
kodifikasi.
Pengertian lain dari konstitusi diberikan oleh seorang sarjana Jerman bernama Carl
Schmitt, yang termasuk dalam Mazhab Politik Berlin (DPS). Carl Schmitt membahas
konstitusi (verfassung) dengan mengemukakan empat pengertian dari konstitusi, yaitu:
a. Konstitusi dalam arti absolute
b. Konstitusi dalam arti relative
c. Konstitusi dalam arti positif
d. Konstitusi dalam arti ideal
2. Sifat Konstitusi
a. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

48
Konstitusi dapat dibedakan antara konstitusi dalam arti material dan konstitusi
dalam arti formal. Dalam arti material berarti menekankan pada segi isinya, yaitu
konstitusi memuat hal-hal yang fundamental seperti mengenai dasar Negara, bentuk
Negara, atau mengenai cara-cara untuk merubah konstitusi. Sedangkan konstitusi
dalam arti formal menekankan pada bentuknya, yaitu berada pada satu naskah
tertentu, sehingga menimbulkan istilah grondwet atau grundgezets. Oleh karena itu
beberapa sarjana menghendaki agar konstitusi tidak lagi dibedakan sebagai konstitusi
tertulis dan tidak tertulis, tetapi lebih menyukai sebutan konstitusi yang berada dalam
satu naskah tertentu dan tidak berada dalam satu naskah tertentu.
Pada konstitusi dalam arti formal, selain memuat hal-hal yang fundamental juga
mengenai hal-hal yang dianggap penting untuk Negara. Hal yang dianggap penting
dalam suatu Negara tergantung pada kondisi masing-masing Negara. Mungkin saja
bagi suatu Negara suatu hal dianggap penting dan perlu tercantum dalam konstitusi,
bagi Negara lain cukup diatur dengan undang-undang saja. Selain itu proses
pembentukan maupun perubahan konstitusi dalam arti formal harus melalui prosedur
tertentu dan badan khusus tertentu pula.
Secara teoritis dikenal arti konstitusi sebagai hokum dasar yang terdiri dari hokum
dasar tertulis disebut Undang-Undang Dasar dan hokum dasar tidak tertulis. Sebagai
hokum dasar tidak tertulis disebut konvensi yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara. Dalam praktek kenegaraan karena
prosedur perubahan konstitusi yang rumit, maka tidak seluruh masalah yang berkaitan
dengan organisasi Negara dimuat dalam Undang-Undang Dasar (konstitusi tertulis).
Karena itu dalam menyelenggarakan kegiatannya Negara membutuhkan konvensi. Hal
ini menimbulkan gagasan mengenai living constitution yaitu suatu konstitusi yang hidup
dalam masyarakat dan tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, tetapi juga
meliputi konvensi-konvensi. Mengenai konstitusi tidak tertulis atau tidak dalam satu
naskah tertentu ternyata banyak dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Hal ini dapat
dijumpai di Negara Inggris yang dianggap sebagai satu-satunya Negara di dunia yang
tidak berada dalam satu naskah tertentu.

49
Menurut Dicey konstitusi di Negara Inggris terbagi dalam dua golongan besar, yaitu
Hukum Konstitusi (The Law of the Constitution) dan Konvensi (The Convention of the
Constitution). Hukum Konstitusi terdiri dari beberapa unsure, yaitu:
1) Historic Docoments (dokumen-dokumen sejarah), seperti Magna Charta 1215
dan Bill of Rights 1689
2) Parliamentary Statutes (Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen), misalnya
undang-undang yang membatasi kekuasaan raja, undang-undang yang menjamin
hak-hak sipil.
3) Judicial Decission (Keputusan-keputusan Pengadilan), yang menentukan arti
serta member batasan pada undang-undang dan traktat.
The Convention of the Constitution (Konvensi-konvensi), yang unsure-unsur
utamanya adalah kelaziman (habits), tradisi (traditions), kebiasaan (customs), dan
praktek-praktek (practices). Hukum konstitusi merupakan hokum yang diakui dan dapat
dipaksakan berlakunya oleh pengadilan, sedangkan konvensi meskipun penting, tidak
dapat dipaksakan berlakunya oleh badan peradilan.
Suatu konstitusi yang berada pada satu naskah tertentu dan tidak berada pada satu
naskah, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan. Misalnya konstitusi
yang berada pada satu naskah kelebihannya adalah mempunyai kepastian hokum dan
pada umumnya Negara dapat berjalan stabil karena jaminan yang lebih jelas dari
ketentuan-ketentuan dalam konstitusi. Kelemahannya adalah konstitusi tidak mudah
mengikuti perkembangan kesadaran hokum dari masyarakat. Sedangkan konstitusi
yang tidak berada dalam satu naskah tertentu, kelebihannya adalah mudah mengikuti
perkembangan kesadaran hokum masyarakat, dan kelemahannya siapa yang dapat
atau berhak menentukan bahwa kebiasaan baru dalam masyarakat merupakan hokum
yang baru.
Seorang sarjana dari Inggris bernama Bryce menyatakan bahwa perkembangan
sejarah menunjukkan ada beberapa hal yang menumbuhkan kesadaran masyarakat
bahwa untuk organisasi Negara perlu konstitusi yang berada pada satu naskah
tertentu, yaitu:

50
1) Pada jaman Abad Pertengahan, rakyat menghendaki agar hasil perjanjian
antara rakyat dengan penguasa yang berisi jaminan hak-hak dasar rakyat
diletakkan dalam satu naskah tertentu yang disebut Legez Fundamentalis
2) Pada jaman Abad Pertengahan, perjanjian antara pihak penguasa dengan
rakyat yang merupakan dua pihak yang mempunyai dua kepentingan yang berbeda
menghendaki agar perjanjian yang sifatnya timbale balik tersebut diletakkan dalam
satu naskah tertentu.
3) Suatu naskah tertentu juga diperlukan untuk menunjukkan adanya keinginan
untuk membentuk suatu organisasi Negara yang baru.
4) Dalam Negara-negara serikat ada kebutuhan dari Negara-negara yang
bergabung untuk merumuskan apa yang menjadi dasar kerja sama dan tujuan dari
organisasi Negara.
Menurut Bryce, konstitusi yang berada pada satu nasakah tertentu memberi
jaminan agar konstitusi tidak mudah dirubah, juga untuk lebih memberikan kepastian
hokum. Oleh karena itu ada empat cara untuk merubah konstitusi, yaitu:
1) Harus ada badan khusus untuk merubahnya
2) Dengan mengadakan referendum umum pada seluruh rakyat
3) Meminta jumlah suara terbanyak dari Negara-negara yang bergabung
4) Melalui suatu konvensi/kebiasaan khusus atau special convention.
b. Fleksibel dan Rigid
Fleksibel atau rigidnya suatu konstitusi tergantung dari tiga hal, yaitu:
1) Mudah atau tidak mudah diubah
Mudah atau tidak mudah diubah, tergantung dari pasal-pasal itu sendiri (yuridis
formal). Artinya bagaimana konstitusi itu akan diubah, ditentukan dalam pasal-pasal
konstitusi itu sendiri. Ada konstitusi yang menentukan syarat-syarat ketat untuk
terselenggaranya perubahan, namun ada juga yang tidak mencantumkan syarat-
syarat yang berat.
2) Mudah dan tidak dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat.
Mudah atau tidak dalam menyesuaikan diri tergantung dari isi dan banyaknya
pasal-pasal dari konstitusi itu sendiri. Isi dari konstitusi adalah mengenai garis-garis
besar atau yang pokok atau yang dasar tentang kehidupan Negara dan

51
masyarakat. Jadi kalau konstitusi itu mengatur hal-hal yang pokok, yang dasar,
yang merupakan garis-garis besar saja, biasanya jumlah pasalnya sedikit. Hal-hal
lain yang penting akan diatur dalam peraturan-peraturan yang lebih rendah.
Perubahan kebutuhan dari masyarakat tidak perlu menyentuh konstitusi, cukup
dengan membuat peraturan yang lebih rendah atau peraturan pelaksanaan. Apabila
konstitusi itu mudah menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat
disebut flexible, sedangkan apabila sulit mengikuti perkembangan masyarakat
disebut rigid. Konstitusi yang mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan
jaman, biasanya terdiri dari sedikit pasal, dan konstitusi yang tidak mudah
menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, biasanya terdiri dari banyak
pasal.
3) Tergantung kekuatan yang nyata, yang ada dalam masyarakat.
Suatu konstitusi dikatakan fleksibel atau rigid, juga tergantung dari kekuatan-
kekuatan yang terdapat dalam masyarakat Negara bersangkutan. Ini adalah
pengertian politis. Yang dimaksud dengan kekuatan dalam masyarakat diantaranya
adalah angkatan bersenjata, buruh, tani, pressure group, partai politik, dan
sebagainya. Kalau kekuatan-kekuatan dalam masyarakat itu tidak sering berubah,
maka konstitusi bias bertahan dan ini disebut rigid. Namun sebaliknya, kalau
kekuatan dalam masyarakat sering berubah, maka konstitusinya akan mudah
berubah juga, sehingga disebut fleksibel. Idealnya, konstitusi suatu Negara
seharusnya tidak sering berubah, sebab kalau sering berubah mengakibatkan
kemerosotan dari kewibawaan konstitusi itu sendiri.
Georg Jellinek membedakan perubahan konstitusi dalam dua hal, yaitu
verfassungsanderung dan verfassungwandlung. Verfassungsanderung adalah
perubahan konstitusi yang dilakukan dengan sengaja sesuai dengan ketentuan
yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Verfassungwandlung adalah
perubahan konstitusi dengan cara yang tidak disebutkan dalam konstitusi tersebut,
tetapi melalui cara istimewa seperti revolusi, coup d’etat, konvensi, dan sebagainya.
3. Fungsi Konstitusi
Bila dilihat dari fungsinya, maka fungsi konstitusi dapat dibagi dua, yaitu:
a. Membagi kekuasaan dalam Negara

52
b. Membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara
Bagi mereka yang memandang Negara dari sudut kekuasaan dan menganggap
sebagai organisasi kekuasaan, maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau
kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa
lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislative, badan eksekutif, dan badan
yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja
sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam Negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa konstitusi itu berfungsi serta mengatur pembagian
kekuasaan dalam Negara dalam dua bentuk:
a. Secara vertical
Yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan
antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J Friedrich memakai istilah pembagian
kekuasaan secara territorial (territorial division of power). Pembagian kekuasaan ini
dengan jelas dapat dilihat kalau dibandingkan antara Negara kesatuan, Negara federal,
serta konfederasi.
Karena perbedaan cara konstitusi membagi kekuasaan dalam Negara, maka akan
dikenal beberapa macam fungsi konstitusi di antara tingkat pemerintahan tersebut. Di
samping itu konstitusi juga mengatur pembagian kekuasaan dalam Negara. Macam-
macam konstitusi tersebut adalah:
1) Konstitusi unitaris (konstitusi Negara kesatuan)
Disebut konstitusi unitaris, apabila pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat
dan daerahnya tidak sama dan tidak sederajat, dan kekuasaan pusat merupakan
kekuasaan yang menonjol. Kekuasaan yang ada di daerah bersifat derivative (tidak
langsung), dan sering dalam bentuk yang luas (otonom). Dengan demikian tidak
dikenal adanya badan legislative dari pemerintah pusat dan daerah yang
kedudukannya sederajat, melainkan sebaliknya. Karena itu juga dalam Negara
tersebut dikenal satu Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang Dasar
kesatuan.
2) Konstitusi federalistis

53
Jika kekuasaan dibagi antara pusat dan bagian pada suatu Negara sedemikian
rupa, maka masing-masing bagian bebas dari campur tangan satu sama lain, dan
hubungannya sendiri-sendiri, begitu pula hubungan bagian-bagian terhadap pusat.
Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan sendiri dan bebas dalam bidangnya
sendiri serta bebas dari pengawasan pihak pemerintah Negara bagian, dan begitu
pula sebaliknya. Kekuasaan-kekuasaan yang ada sama dan sederajat.
Nampaknya perbedaan antara bentuk konstitusi Negara kesatuan dan Negara
federal masih bersifat formal, artinya masih tetap pada peraturan konstitusi itu
sendiri dan belum menggambarkan bagaimana kenyataan yang hidup dalam
masyarakat Negara itu sendiri. Titik tolak pada konstitusi federalis ialah bahwa ada
kebebasan yang sama tinggi dan sama rendah antara pemerintah Negara bagian
dan pemerintahan federal.
3) Konstitusi konfederalistis
Negara konfederasi adalah bentuk serikat dari Negara-negara berdaulat, tetapi
kedaulatannya tetap dipegang oleh Negara-negara bersangkutan. Diragukan juga
apakah Negara konfederasi ini juga diragukan apakah konfederasi ini mempunyai
konstitusi.
b. Secara Horizontal
Yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian kekuasaan ini
menunjukkan pula perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislative, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politica. Di dalam
Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, maka
konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan
sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak sewenang-wenang.
Dengan demikian diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi. Gagasan
ini disebut konstitusionalisme.
4. Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein memberikan tiga tingkatan nilai pada konstitusi, yaitu:
a. Nilai yang bersifat normative
b. Nilai yang bersifat nominal
c. Nilai yang bersifat semantic

54
BAB XIII
BANGUNAN NEGARA DAN KERJASAMA ANTAR NEGARA

1. Negara kesatuan
Disebut Negara Kesatuan apabila kekuasaan pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat merupakan
kekuasaan yang menonjol dalam Negara, dan badan legislative pusat tidak mempunyai
saingan dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan pemerintah yang di daerah bersifat
derivative (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonom yang luas, sehingga tidak
dikenal adanya badan legislative pusat dan daerah yang sederajat, melainkan sebaliknya.
Menurut CF Strong, cirri Negara Kesatuan adalah bahwa kedaulatan tidak terbagi, atau
dengan perkataan lain kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi, karena Konstitusi
Negara Kesatuan tidak mengakui badan legislative lain, selain dari badan legislative pusat.

55
Strong menyebutkan adanya 2 (dua) cirri yang mutlak melekat pada suatu Negara
Kesatuan, yaitu:
a. Desentralisasi
b. Dekonsentrasi
Wolhoff mengatakan dalam Negara Kesatuan yang desentralisasi, pada dasarnya
seluruh dimiliki oleh Pemerintah Pusat, sehingga peraturan-peraturan sentrallah yang
menentukan bentuk dan susunan pemerintah daerah-daerah otonom. Pemerintah Pusat
tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom itu. Contoh
Negara kesatuan adalah Indonesia, Selandia baru, Perancis, Inggris, Jepang.
2. Negara Federal
Disebut Negara Federal apabila kekuasaan itu dibagi antara Pusat dan Daerah/Bagian
dalam Negara itu sedemikian rupa, sehingga masing-masing daerah/bagian dalam Negara
itu bebas dari campur tangan satu sama lain dan hubungannya sendiri-sendiri terhadap
Pusat. Pemerintah Pusat mempunyai kekuasaannya sendiri, demikian pula Daerah masing-
masing mempunyai kekuasaan yang tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya.
Kekuasaannya masing-masing sama dan sederajat. Pemerintah Pusat mempunyai
kelebihan dalam bidang pertahanan keamanan, urusan luar negeri, mata uang, pos, dan
sebagainya.
Menurut CF Strong, ada 3 (tiga) cirri Negara federal, yaitu:
a. Adanya supremasi dari konstitusi dimana federal itu terwujud
b. Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dengan Negara-negara bagian.
c. Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu perselisihan
antara perintah federal dengan pemerintah Negara-negara bagian.
Kranenburg menyebutkan perbedaan antara Negara kesatuan dengan Negara federal.

Negara Kesatuan Negara Federal


Kekuasaan legislative di tangan Pusat Negara Bagian mempunyai kewenangan
membuat konstitusi
Peraturan yang dibuat Pusat sangat umum Kekuasaan pembuat undang-undang
disebut satu persatu

3. Negara Konfederasi

56
Negara Konfederasi adalah bentuk serikat dari Negara-negara bersangkutan.
Diragukan apakah konfederasi merupakan suatu Negara, dan diragukan pula apakah
Konfederasi mempunyai konstitusi. Menurut jellinek, perbedaan konfederasi dengan
federasi terletak pada “kedaulatan” (souverenitet). Pada Konfederasi, kedaulatan terletak
pada Negara-negara yang berserikat, sedang pada Federasi kedaulatan terletak pada
Negara secara keseluruhan. Kranenburg tidak menyetujui pendapat ini, karena menurutnya
apabila kedaulatan dipandang dalam arti absolute, yaitu kekuasaan mutlak sebagai
kelengkapan semua kekuasaan, maka dalam konfederasi, kedaulatanpun tidak seluruhnya
terletak dalam tangan Negara-negara yang berserikat dan selalu masih terlihat sedikit
kekuasaan pada konfederasi tersebut.
Kranenburg berpendapat bahwa perbedaan antara Federasi dan Konfederasi dapat
dilihat dalam ukuran terikat atau tidaknya kawula Negara-negara yang berserikat secara
langsung dengan peraturan-peraturan dari Negara konfederasi tersebut. Dalam Negara
federal, alat-alat pusat mempunyai kekuasaan dan kewajiban langsung mengenai rakyat
atau warga negaranya, sedang dalam Konfederasi alat-alat perlengkapannya mempunyai
kekuasaan-kekuasaan dan kewajiban-kewajiban terhadap Negara-negara yang berserikat
yang telah teratur itu, tidak terhadap rakyatnya. Karena itu sistim konfederasi sendiri lebih
lemah dari sistim federal.
Menurut L Oppenheim, konfederasi terdiri dari beberapa Negara yang berdaulat penuh,
yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar
perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat
perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota
konfederasi, tetapi tidak terhadap warga Negara dari Negara yang mengadakan
konfederasi tersebut.
4. Kerjasama/ Hubungan Antar Negara
Kerjasama antar Negara adalah suatu hubungan dari Beberapa Negara yang dalam
hubungan itu terjalin kerjasama dari Negara-negara yang berkedudukan sama dan sejajar.
Hubungan kerjasama dan hubungan antar Negara diatur dalam perjanjian internasional
Negara-negara serta melahirkan pula organisasi internasional, seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). PBB membentuk badan-badan khusus seperti ILO, FAO, UNESCO,
WHO, IMF, dan sebagainya. Di samping itu di tingkat regional ada ASEAN, Organisasi

57
Negara-negara Afrika, dan sebagainya. Semua hubungan yang dijalin melahirkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban baik bagi organisasi maupun para pihak. Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tersebut ditata dan dilaksanakan serta dikenai sanksi-sanksi atas pelanggaran-
pelanggarannya yang diatur dalam Hukum Internasional Publik.

BAB XIV
FUNGSI NEGARA
Teori fungsi Negara adalah teori yang membahas apa sebenarnya tugas dari organisasi
Negara. Hal ini penting karena berkaitan erat dengan lembaga pendukungnya, sehingga
pembagian tugas dalam organisasi Negara memang merupakan hal yang hakiki.
Menurut sejarahnya, fungsi Negara yang pertama dikenal adalah 5 (lima) fungsi yang
diperkenalkan di Perancis pada abad XVI, yaitu:
1. Fungsi diplomatic
2. Fungsi Defencie
3. Fungsi Financie
4. Fungsi Justicie
5. Fungsi Policie

58
Fungsi-fungsi di atas hanyalah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah yang waktu itu
masih bersifat dikatator, dan kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang, hampir sama
dengan deparemen-departemen. Dalam prakteknya, kelima fungsi tersebut seluruhnya berada
dalam kekuasaan Raja. Kondisi ini tentu saja menimbulkan sikap sewenang-wenang, tidak
adanya jaminan kepentingan rakyat. Gambaran mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya
semboyan terkenal di Negara Perancis pada waktu itu, yaitu L’etat Cest Moi yang artinya
Negara adalah saya. Hal ini menimbulkan kekuasaan absolute pada Raja yang
berlangsunghingga abad XVIII.
Di Negara-negara Eropa Barat, sebagai reaksi atas kekuasaan yang absolute tersebut,
muncul teori-teori pemisahan kekuasaan dalam tiga fungsi Negara. Teori pemisahan
kekuasaan dalam tiga lembaga Negara dikenal dengan sebutan teori Tri Praja. Teori ini
pertama kali dikemukakan oleh seorang filosof dari Inggris bernama John Locke dalam
bukunya yang berjudul Two Traeaties on Civil Government. John Locke membagi fungsi
Negara menjadi:
1. Fungsi legislative, untuk membuat peraturan dan undang-undang
2. Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan undang-undang, termasuk di dalamnya
kekuasaan mengadili, karena fungsi mengadili termasuk dalam tugas melaksanakan
undang-undang;
3. Fungsi federatif, meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan Negara dalam
hubungannya dengan Negara lain atau merupakan tugas untuk mengurusi urusan luar
negeri dan urusan perang dan damai.
Menurut John Locke, apabila fungsi federative tidak berjalan dengan baik, barulah muncul
fungsi pertahanan/defencie. Teori John Locke ini disempurnakan oleh Montesquieu, yaitu
masing-masing fungsi dilaksanakan oleh lembaga yang terpisah, untuk mencegah timbulnya
tindakan sewenang-wenang dari penguasa, dan tidak member kemungkinan timbulnya
pemerintahan yang absolute. Pemisahan kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu
yaitu:
1. Fungsi Legislatif, membuat undang-undang
2. Fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang
3. Fungsi yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (mengadili)

59
Ajaran Montesquieu ini terkenal dengan nama “Trias Politica”. Oleh Montesquieu fungsi
federatif dimasukkan dalam fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili berdiri sendiri, demi
melindungi hak asasi manusia.
Dalam praktek kenegaraan, teori pemisahan kekuasaan ini ternyata sulit untuk
dilaksanakan secara murni sesuai dengan kehendak penciptanya. Sebagai contoh, dalam
perkembangannya badan legislative ternyata tidak mampu menjadi satu-satunya lembaga yang
melaksanakan tugas membuat undang-undang. Hal ini karena tidak seluruh anggota yang
duduk dalam badan legislative merupakan orang-orang yang ahli atau memahami masalah
pembentukan undang-undang. Dengan demikian tugas membuat rancangan undang-undang
sebagian diserahkan kepada lembaga eksekutif yang lebih memahami mana undang-undang
yang harus dicabut, dikurangi, atau disempurnakan.
Prof Jennings membedakan teori pemisahan kekuasaan dalam dua bentuk, yaitu:
1. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil, yaitu mempertahankan pemisahan kekuasaan
dalam Negara secara tegas (separation of power)
2. Sistim pemisahan kekuasaan dalam arti formil, yang tidak secara tegas mempertahankan
pemisahan kekuasaan. Jadi lebih merupakan pembagian kerja dan tanggung jawab dalam
Negara (division of power).
Van Vollenhoven membagi fungi Negara menjadi 4 (empat), yang terkenal dengan sebutan
“Catur Praja”.
1. Regeling (membuat peraturan)
2. Bestuur (menyelenggarakan pemerintahan)
3. Rechspraak (fungsi mengadili)
4. Politie (fungsi ketertiban dan keamanan)
Teori fungsi Negara terus berkembang, terutama adanya penambahan pada lembaga
eksekutif. Teori baru mengenai fungsi Negara dikemukakan oleh Goodnow, yang terkenal
dengan sebutan “Dwi Praja” atau “dichotomy”, yaitu:
1. Policy making
Adalah kebijaksanaan Negara untuk waktu tertentu, bagi seluruh masyarakat
2. Policy executing
Adalah kebijaksanaan yang harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making.

60
Timbulnya ajaran Goodnow ini adalah sebagai reaksi terhadap suatu ajaran yang
menghendaki cara penggantian orang-orang dalam pemerintahan. Ajaran ini terkenal sebagai
spoil system yang diperkenalkan oleh Andrew Jackson, yang berpendapat bahwa apabila suatu
pemerintahan berganti, maka harus semua pegawai diganti oleh penguasa yang baru,
maksudnya untuk kelancaran jalannya pemerintahan tanpa adanya kemungkinan dari mereka-
mereka yang tidak sepaham.
Goodnow melihat fungsi Negara itu secara prinsipiil. Menurutnya terhadap policy makers
boleh dilaksanakan system Andrew Jackson, sedang untuk policy executors tidak perlu dipakai,
tapi yang dijalankan adalah berdasarkan keahlian. Ajaran Goodnow ini disebut Merit Sistem,
karena mengutamakan kegunaannya.
Fungsi Negara
Fungsi Negara dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan selalu berubah. Setiap Negara,
terlepas dari ideologinya menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu:
1. Melaksanakan penertiban (law and Order)
2. Menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya
3. Pertahanan
4. Menegakkan keadilan
5. Komponen procedural yang berhubungan denngan gaya suatu system hokum seperti rule
of law atau Negara hukum
6. Konsep keadilan substansial
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Definisi Ilmu Negara................................................................................. 5
2. Kedudukan Mata Kuliah Ilmu Negara Dalam Kurikulum Fakultas Hukum 5
3. Perkembangan Pembelajaran Ilmu Negara............................................. 5

BAB II ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU NEGARA

61
1. Pengertian Aliran-Aliran .......................................................................... 6
2. Aliran Yang Ada Pada Jaman Yunani Kuno............................................. 6

BAB III ILMU NEGARA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU POLITIK


DAN ILMU KENEGARAAN............................................................................
11

BAB IV PENGERTIAN NEGARA


1. Pengertian Negara Selalu Berubah-Ubah................................................. 14
2. Pendapat-Pendapat Mengenai Negara..................................................... 14
3. Sifat Hakikat Negara................................................................................. 16

BAB V TEORI-TEORI PEMBENAR KEKUASAAN NEGARA


1. Teori Teokratis.......................................................................................... 18
2. Teori Kekuasaan....................................................................................... 19
3. Teori Yuridis.............................................................................................. 19

BAB VI TUJUAN NEGARA


1. Shang Yang.............................................................................................. 22
2. Niccolo Macchiavelli.................................................................................. 23
3. Dante Alleghiere....................................................................................... 24
4. Immanuel Kant.......................................................................................... 24
5. Kaum Sosialis........................................................................................... 25
6. Kaum Kapitalis.......................................................................................... 26
7. Fascisme.................................................................................................. 26

BAB VII TERJADINYA NEGARA


1. Teori Pertumbuhan Primer........................................................................ 27
2. Teori Pertumbuhan Sekunder................................................................... 27
3. Masalah Pengakuan Negara Lain............................................................. 28
4. Masalah Hilangnya Negara....................................................................... 28

62
BAB VIII TIPE-TIPE POKOK NEGARA
1. Tipe Pokok Negara Timur Purba/Kuno..................................................... 29
2. Tipe Pokok Negara Yunani Purba............................................................. 29
3. Negara Romawi Purba/Kuno.................................................................... 30
4. Tipe Pokok Negara Abad Pertengahan.................................................... 30
5. Tipe Pokok Negara Modern/Negara Hukum............................................. 31
6. Tipe-tipe Negara menurut Perkembangan Sejarahnya............................. 31

BAB IX UNSUR-UNSUR NEGARA


1. Penggolongan Secara Klasik.................................................................... 33
2. Penggolongan Secara Yuridis................................................................... 34
3. Penggolongan Secara Sosiologis............................................................. 35
4. Penggolongan Menurut Politik Internasional............................................. 35

BAB X KEKUASAAN NEGARA DAN HUKUM


1. Kekuasaan................................................................................................ 36
2. Kewibawaan............................................................................................. 37
3. Kedaulatan................................................................................................ 38
4. Negara Hukum.......................................................................................... 39

BAB XI BENTUK NEGARA, BENTUK PEMERINTAHAN, DAN SISTIM PEMERINTAHAN


1. Pendahuluan............................................................................................. 41
2. Bentuk Negara Pada Jaman Yunani Kuno................................................ 41
3. Bentuk Negara Pada Jaman Pertengahan................................................ 43
4. Bentuk Negara Pada Jaman Sekarang..................................................... 44
5. Negara Demokrasi dan Diktatur Demokrasi..............................................
45

BAB XII KONSTITUSI


1. Pengertian................................................................................................ 47

63
2. Sifat Konstitusi.......................................................................................... 48
3. Fungsi Konstitusi...................................................................................... 52
4. Nilai Konstitusi.......................................................................................... 54

BAB XIII BANGUNAN NEGARA DAN KERJASAMA ANTAR NEGARA


1. Negara kesatuan...................................................................................... 55
2. Negara Federal......................................................................................... 55
3. Negara Konfederasi.................................................................................. 56
4. Kerjasama/ Hubungan Antar Negara........................................................ 57

BAB XIV FUNGSI NEGARA.......................................................................................... 58

64

Anda mungkin juga menyukai