Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dunia perindustrian bergerak dan berkembang sangat cepat, hal ini menyebabkan
persaingan yang semakin kompetitif. Banyak kesulitan dan tantangan yang akan dihadapi
perusahaan saat bertahan ditengah persaingan bisnis. Berdasarkan data riset IHS Markit ada
beberapa masalah yang dialami perusahaan manufaktur di penghujung kuartal ke-III tahun
2019 (Rahayu, 2019). Masalah-masalah tersebut seperti adanya tekanan biaya jual karena
perusahaan memberikan diskon untuk meningkatkan volume penjualan, terdapat kenaikan
harga bahan baku sehingga perusahaan mengurangi aktivitas pembelian, dan inventaris yang
menumpuk di tengah penjualan melemah (Rahayu, 2019). Stabilitas produksi di industri
manufaktur juga terganggu akibat pandemi COVID-19 ini. Banyak bahan baku impor seperti
dari negara China dan negara-negara lain menerapkanlockdown sehingga pendistribusian
bahan baku terkendala. Melemahnya nilai rupiah terhadap dolar juga menjadi pertimbangan
perusahaan dalam mengontrol harga pokok produk.

Ketika perusahaan tidak dapat mengikuti perkembangan jaman dan tidak dapat
mengatasi kesulitan yang terjadi, akan berdampak pada pendapatan yang akan dihasilkan di
masa yang akan datang. Kesulitan dalam mendapatkan penghasilan akan menyebabkan
kekurangan modal usaha yang nantinya berimbas juga pada operasi bisnis perusahaan yang
akan terhambat. Perusahaan yang tidak dapat mengatasi kesulitan keuangan (financial
distress) yang terjadi dan tidak dapat memperbaiki kinerjanya akan berdampak pada
kelangsungan usahanya dimasa mendatang.

Keberadaan Corporate Governance menjadi faktor penting yang menentukan kinerja


perusahaan. Corporate Governance memiliki keterkaitan yang sangat penting dalam
memberikan kesinambungan pada perusahaan yang di mana dapat memberikan value yang
baik secara jangka panjang. Pengelolaan operasional suatu perusahaan dapat dikatakan baik
jika memiliki struktural administrasi yang beroperasi sesuai dengan proses yang telah
ditentukan. Tata kelola perusahaan memiliki lima faktor yaitu transparansi, akuntabilitas,
tanggung jawab, independensi dan kewajaran, yang menjadi pedoman bagi perusahaan untuk
menghindari krisis ekonomi, ketidakpercayaan investor, financial distress ataupun korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) yang nantinya dapat mengakibatkan penurunan atau bahkan
kebangkrutan pada perusahaan. Dengan penerapan tata kelola yang sesuai dengan
prosedurnya, hal ini dapat meminimalisir kemungkinan apabila sampai terjadi kesulitan
dalam keuangan atau terjadinya financial distress, serta pada saat yang sama tidak akan
menyimpang dari proses yang sudah ditentukan. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik
akan mengarah pada peningkatan pengawasan dan kemampuan mengambil keputusan yang
cepat dan akurat (Arbaina, 2010). Manajemen perusahaan akan selalu memiliki tujuan
mengenai kinerja keuangan yang sehat. Oleh karena itu, perusahaan harus menerapkan
prosedur tata kelola yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Jika suatu perusahaan
menerapkan tata kelola yang baik, maka dipastikan akan memiliki posisi keuangan yang
sehat dan operasional yang meningkat. Jika suatu perusahaan mengalami kesulitan keuangan,
maka dapat dikatakan perusahaan tersebut memiliki tata kelola yang buruk. Tata kelola yang
lemah atau buruk akan menyebabkan memicu potensi terjadinya masalah kesulitan keuangan
(financial distress) (Cinantya & Merkusiwati, 2015).

Kemungkinan terbesar bagi sebuah perusahaan jika tidak dikelola dengan baik adalah
kesulitan keuangan. Financial distress adalah situasi di mana dapat membuat perusahaan
memburuk dalam kondisi keuangan dan akan bangkrut dalam waktu yang cepat atau lambat.
Perusahaan yang dinyatakan tertekan secara finansial seringkali tidak dapat memenuhi urusan
keuangan yang terkait dengan usaha tersebut. Dalam hal ini, perusahaan tidak lagi mampu
memenuhi kas atau keuangan, untuk membayar kewajiban atau hutang jangka pendek dan
jangka panjang. Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Penyebab
kesulitan keuangan dapat ditelusuri dengan mengkaji penerapan tata kelola perusahaan, di
mana tata kelola perusahaan berperan dalam membimbing dan mengendalikan operasi bisnis.
Di dalam tata kelola perusahaan yang baik memiliki tujuan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan melalui struktur pengawasan, keuangan perusahaan, pembiayaan perusahaan, dan
perilaku pemegang saham.

Corporate Governance adalah seperangkat aturan yang mengatur perilaku pemilik


perusahaan, direksi dan manajer dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam tata kelola
perusahaan. Tata kelola perusahaan dibutuhkan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan
berada ditangan manajemen dan juga untuk menciptakan sistem yang efektif dalam hal
pembagian kekuasaan dengan mekanisme check and balance, diantara pemegang saham,
dewan direksi, maanjemen dan juga stakeholder lainnya. Tata kelola perusahaan merupakan
mekanisme pengawasan terhadap penilaian tanggungjawab dan akuntabilitas perusahaan
melalui dewan direksi, komite auditee, manajemen dan auditor dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan para investor (Rezaee dan Riley, 2010 dalam John & Ogecukwu,
2018). Tata kelola perusahaan juga membantu dalam menciptakan hubungan yang
bermanfaat dan bertanggung jawab di antara komponen perusahaan (dewan direksi, dewan
komisaris, dan pemegang saham) guna meningkatkan kinerja perusahaan. Tata kelola
perusahaan mengontrol perilaku para pemimpin bisnis sehingga mereka bisa bertindak tidak
hanya untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga untuk kepentingan semua pemangku
kepentingan di suatu perusahaan tersebut, termasuk pemilik perusahaan. Tata kelola
perusahaan dalam lingkungan bisnis saat ini terus menjadi fokus utama regulator, investor,
kreditur dan juga pemangku kepentingan lainnya di pasar keuangan dunia (Ho dan Wong,
2001).

. Salah satu strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk mencapai tujuannya
adalah dengan menerapkan sebuah tata kelola perusahaan yang baik di dalamnya (Perdana
dan Rahardja, 2014). Salah satu penyebab dalam terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
menurut Hamdani (2016: 1) adalah lemahnya tata kelola perusahaan dan etika yang
mendasarinya. Kehadiran Corporate Governance dalam pemulihan yang saat itu menjadi
permasalahan yang krisis di Indonesia mutlak diperlukan, sebagaimana Corporate
Governance memerlukan manajemen yang baik dalam suatu organisasi. Pemerintah dan
investor mulai memberikan perhatian khusus pada praktik yang baik tentang tata kelola
perusahaan.

. Dalam tata kelola perusahaan yang baik, terdapat mekanisme pengawasan dan
pengendalian yang harus dijalankan. Dalam hal ini, ketika praktik tata kelola perusahaan
lemah, maka akan mendevaluasi perusahaan sehingga mengancam kelangsungan investasi
yang akan ada di perusahaan (Perdana dan Raharja, 2014). Beberapa penelitian seperti yang
dilakukan oleh (Alba Maria Priego, 2016) yang mengeksplorasi beberapa mekanisme tata
kelola perusahaan (kepemilikan dan karakteristik dewan) di perusahaan yang terdaftar di
Spanyol dan dampaknya terhadap kemungkinan kesulitan keuangan. Mendapatkan hasil
bahwa konsep kebangkrutan yang lebih luas digunakan untuk mendefinisikan kegagalan
bisnis. Mempekerjakan beberapa model logistik bersyarat, serta studi lain sebelumnya
tentang kebangkrutan, hasilnya mengkonfirmasi bahwa dalam situasi sulit sebelum
kebangkrutan, dampak kepemilikan dewan dan proporsi direktur independen pada
kemungkinan kegagalan bisnis serupa dengan yang diberikan dalam situasi yang lebih
ekstrim.
Kemudian (Noriza Mohd Nasir and Mazurina Mohd Ali, 2011) Menyatakan bahwa
board size perusahaan sehat lebih besar dibandingkan dengan perusahaan financial distress.
Selain itu, untuk aktivitas dewan, lebih signifikan pada 1% untuk aktivitas dewan perusahaan
yang mengalami kesulitan keuangan dan perusahaan yang tidak mengalami tekanan
keuangan. Hal ini mengungkapkan bahwa lebih banyak pertemuan diadakan oleh perusahaan
dalam situasi kesulitan keuangan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami
tekanan keuangan.

Penelitian selanjutnya (Wulan Maulidiss Sa’diah, 2021) dengan Hasil penelitian


menunjukkan bahwa dewan komisaris independen dan dewan direksi berpengaruh negatif
signifikan terhadap financial distress, sedangkan kepemilikan manajerial dan komite audit
tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Hasil penelitian ini mendukung teori
agensi yang menyatakan bahwa peran monitoring dewan komisaris independen dan dewan
direksi dapat meminimalisir terjadinya konflik agensi di perusahaan.

Kemudian (Shoukat Ali, 2021) mengungkapkan bahwa keragaman dewan


mengurangi kemungkinan kesulitan keuangan, dan asing kepemilikan institusional
memediasi hubungan ini. Selanjutnya, diterapkan GMM dua tahap untuk menyelesaikan
kemungkinan masalah endogen, dan model yang kuat juga diverifikasi hasil. Pertama, temuan
studi berkontribusi terutama dalam konteks Cina bahwa keragaman dewan berhubungan
positif dengan kesulitan keuangan, menunjukkan hal itu dewan yang beragam sangat
membantu untuk mengurangi kemungkinan kesulitan keuangan. Kedua, asing kepemilikan
tertarik melalui peningkatan keragaman dewan. Ketiga, kapal pemilik asing memiliki dampak
substansial dalam membentuk efek keragaman dewan pada kemungkinan kesulitan keuangan.
Temuan studi adalah novel dan menyiratkan bahwa perusahaan memiliki beragam dewan
menarik kepemilikan institusi asing dengan mengurangi informasi asimetris. Selanjutnya,
investor institusi asing membantu mengurangi keuangan kemungkinan kesusahan.

Penelitian Wardhani (2006) menyatakan semakin besar jumlah direksinya maka


semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi tekanan keuangan. Namun hasil
berbeda terjadi pada penelitian Emrinaldi (2007) yang menyatakan semakin besar jumlah
dewan direksi semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan. Bukti yang menyatakan
efektifitas ukuran dewan masih baur karena terjadi perbedaan hasil temuan. Dari hasil yang
berbeda-beda tersebut mungkin dapat dikatakan bahwa pengaruh ukuran direksi terhadap
kinerja perusahaan tergantung dari karakteristik dari masing-masing perusahaan (Wardhani,
2006).

(Hanafi dan Breliastiti, 2016) dalam penelitianya menemukan bahwa Komisaris


Independen memiliki pengaruh yang positif terhadap kemungkinan terjadinya Financial
Distress. Artinya semakin besar Komisaris Independen maka kemungkinan Financial Distress
semakin besar. Selanjutnya Mahdania Nadjib (2018) menunjukkan bahwa ukuran komite
audit tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress pada perusahaan perbankan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Independensi komite audit berpengaruh signifikan
terhadap financial distress pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Berdasarkan uraian peneltian terdahulu diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat


pengaruh Good Corporate Governance terhadap terjadinya Financial Distress. Dalam hal
implikasi atau dampak dari Covid-19 salah satu industry yang mengalami dampak besar
terkait hal tersebut adalah industri manufaktur, maka dari itu Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah tata kelola perusahaan berjalan dengan baik atau tidak dalam
menciptakan keseimbangan di dalam perusahaan. Hasil penelitian akan memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu manajemen keuangan, terutama mengenai peran tata
kelola perusahaan yang baik dalam mengawasi upaya mitigasi kesulitan keuangan.

Kerugian yang berkelanjutan akan mempengaruhi kondisi keuangan yang membuat


perusahaan berpotensi mengalami Financial Distress. Berdasarkan latar belakang yang sudah
diuraikan diatas, maka penelitian ini mengangkat dengan judul “Analisi Pengaruh Corporate
Govrnance Dalam Upaya Pencegahan Terjadinya Financial Distress”.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan dibuatnya latar belakang permasalahan yang telah disampaikan diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

1) Apakah Ukuran Dewan Direksi Berpengaruh terhadap Financial Distress?


2) Apakah Komisaris Independen Berpengaruh terhadap Financial Distress?
3) Apakah Komite Audit Independen Berpengaruh terhadap Financial Distress?
4) Apakah Kepemilikan Institusional Asing Berpengaruh terhadap Financial Distress?
1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah diuraikan sebelumnya
maka dibuat tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pengaruh Ukuran Dewan Direksi terhadap Financial Distress
2) Untuk mengetahui pengaruh Komisaris Independen terhadap Financial Distress
3) Untuk mengetahui pengaruh Komite Audit terhadap Financial Distress
4) Untuk mengetahui pengaruh Kepemilikan Institusional Asing terhadap Financial
Distress
4.1. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk penelitian selanjutnya


serta bagi para pembaca yang berupa:

1) Bagi penulis

Manfaat bagi penulis untuk menerapkan ilmu dan teori-teori yang telah didapat
selama proses pembelajaran ketika diperkuliahan serta menambah pengetahuan dan wawasan
yang lebih luas mengenai peranan Corporate Governance dalam upaya pencegahan
terjadinya Financial Distresss.

2) Bagi pembaca

Manfaat bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami dan menambah


pengetahuan lebih mengenai pengaruh Corporate Governance dalam upaya pencegahan
terjadinya Financial Distress serta mungkin nantinya dapat digunakan sebagai rujukan dalam
penelitian selanjutnya yang mengambil permasalahan yang sama.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan


Teori agensi merupakan hubungan kontrak antara principal dan agent,
dimana principal adalah pihak yang memperkerjakan agent agar melakukan tugas
untuk kepentingan principal, sedangkan agent adalah pihak yang menjalankan
kepentingan principal (Scott, 2012) . Principal dan agent bekerja sama dalam
pengelolaan perusahaan. Principal atau pemegang saham perusahaan memberikan
instruksi kepada agent untuk mengelola perusahaan sesuai dengan yang
diinginkan untuk keberhasilan perusahaan. Sedangkan manajemen sebagai agent
kadang melakukan tindakan sesuai keinginannya sendiri tidak sesuai dengan yang
diperintahkan oleh principal, yang lebih dipentingkan agent adalah untuk
pencapaian hasil yang lebih baik dari pada mentaati perintah yang diberikan
principal.

Teori keagenan, hubungan agent muncul ketika satu orang atau lebih
memperkerjakan orang lain untuk memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Baik
principal maupun agent merupakan pemaksimuman kesejahteraan diri sendiri,
sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan
terbaik principal (Jensen and Meckling dalam Widyasaputri, 2012). Inti dari
hubungan keagenan adalah terdapat pemisahan antara kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan. Pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan
untuk memperkecil asimetris informasi dan untuk memastikan bahwa pengelolaan
dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang
berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency cost yaitu biaya
yang mencakup pengeluaran untuk pengawasaan oleh pemegang saham dan biaya
yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan
(Kusanti, 2015).
Dapat disimpulkan bahwa teori keagenan muncul karena adanya konflik
kepentingan didalam perusahaan antara principal dan agent untuk menguntungkan
diri sendiri, konflik dapat terjadi karna asimetri informasi yaitu hanya satu pihak
saja yang lebih banyak mengetahui tentang informasi yang ada dalam perusahaan.
Untuk mengurangi terjadinya masalah keagenan dapat diatasi dengan menerapkan
good corporate governance sehingga tidak terjadi masalah yang berkelanjutan.

2.2 Struktur Good Corporate Governance


Good corporate governance adalah tata kelola dalam perusahan yang

dijalankan oleh seluruh anggota perusahaan agar perusahan dapat berjalan


dengan baik untuk mencegah masalah yang bisa menyebabkan terjadinya
kesulitan keuangan karna tata kelola perusahaan yang buruk, maka dibutuhkan
mekanisme corporate governance untuk mengatur perusahaan. Good corporate
governance diharapakan dapat meminimalkan masalah antara principal dan agent
agar pemegang saham yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi
mereka.

Menurut FCGI (dalam Darwis, 2009) Penerapan corporate governance


memberikan empat manfaat yaitu : (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui
terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan
efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders, (2)
mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada
akhirnya akan meningkatkan corporate value, (3) mengembalikan kepercayaan
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan (4) pemegang saham
akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan
shareholders values dan dividen. Menurut (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2006), prinsip-prinsip umum GCG yang meliputi transparan,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan keadilan sangatlah penting untuk
mencapai keberlanjutan perusahaan yang disertai ketertarikan pada stakeholder.
Princip-princip tersebut adalah :
 Transparency (keterbukaan informasi), yaitu perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang
mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan
harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
 Accountability (akuntabilitas), yaitu Perusahaan harus dapat
mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk
itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
 Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu perusahaan harus mematuhi
peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporate citizen.
 Independency(kemandirian),yaitusuatukeadaandimanaperusahaandikelola
secara professional secara independen tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat.
 Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu Dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan elemen-elemen dari good
corporate governance. Elemen-elemen yang digunakan struktur corporate
governance dalam penelitian ini adalah:

1. Kepemilikan institusional
2. Kepemilikan manajerial
3. Jumlah dewan komisaris
4. Jumlah dewan direksi dalam perusahaan dalam pengukuran
5. Proporsi dewan komisaris independen
6. Komite audit dalam perusahaan
7. Biaya agensi manajerial

2.2.1 Kepemilikan Institusional


Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham yang dimiliki oleh
pemerintah, perusahaan asuransi, investor luar negeri atau bank kecuali
kepemilikan individual investor (Dewi dan Jati, 2014). Kepemilikan institusional
merupakan jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau organisasi.
Kepemilikan institusional termasuk faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah
perusahaan karna berfungsi dalam monitoring, fungsi monitoring yang dilakukan
institusional membuat perusahaan lebih efisien dalam melakukan pengawasan
oleh pemilik perusahaan dilakukan dari luar perusahaan sehingga dapat
menghindarkan perusahaan dari kesalahaan pemilihan strategi yang dapat
menyebabkan kerugian perusahaan.

Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan


monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang
signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka
untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang sama, biaya untuk keluar dari
investasi yang mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko
saham akan terjual pada harga diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusional
ownership lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku
manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi (Deviacita, 2012). Jika
kepemilikan institusional dalam perusahaan itu besar, maka keadaan tersebut akan
mendorong pengawasan yang lebih efektif dan akan semakin besar kepemilikan
oleh institusi untuk mengawasi manajemen sehingga kinerja perusahaan semakin
baik dan meningkat.

2.2.2 Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh
manajemen yang mengelola perusahaan. Kepemilikan saham yang dimiliki
manajer dalam perusahaan membuat manajer menjalankan perusahaan sebagai
pemilik perusahaan dan merangkap sebagai pengelola perusahaan. Sehingga
perusahaan yang biasanya hanya diawasi oleh pemilik perusahaan ikut turun
dalam mengelola perusahaan hingga membuat laporan keuangan sendiri. Menurut
Sujoko dan Soebiantoro (2007) Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan
saham oleh manajemen perusahaan diukur dengan persentase jumlah saham yang
dimiliki oleh manajemen.

Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan didalam manajemen


perusahaan baik sebagai kreditor maupun sebagai dewan komisaris disebut
sebagai kepemilikan manajerial. Adanya kepemilikan saham oleh manajemen
akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan- kebijakan yang diambil
oleh manjaemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga diartikan sebagai
presentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir
tahun untuk masing-masing periode pengamatan (Deviacita, 2012). Pemilik
sebagai pengelola menjalankan perusahaan tersebut dengan sebaik mungkin agar
dapat meningkatkan keefektifan perusahaan sekaligus mengurangi kecurangan
kerja dari manajemen perusahaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.

2.2.3 Dewan Komisaris


Dewan Komisaris adalah dewan yang bertugas mengawasi kinerja
perusahaan dan memberikan nasihat atau pendapat terhadap direktur. Dewan
Komisaris dapat diamanatkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu direktur,
apabila direktur berhalangan hadir. Menurut KNKG (2006) mendefinisikan dewan
komisaris sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi yang bertanggung
jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberi masukan
kepada direksi serta memasktikan bahwa perusahaan melakukan good corporate
governance. Sesuai dengan Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia, pelaksanaan tugas dewan komisaris perlu dipenuhi prinsip-prinsip
berikut : Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan
keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen;
Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki
kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk
memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku
kepentingan; Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris
mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian
sementara.

Peran komisaris diharapkan mampu meminimalisir permasalahan agency


yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Oleh karena itu dewan
komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja direksi sehingga kinerja yang
dihasilkan sesuai degan kepentinga pemegang saham.

2.2.4 Dewan Direksi


Dewan direksi adalah orang yang bertanggungjawab memimpin kegiatan
dalam suatu perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan
tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan
wewenangnya. Menurut Effendi (2016) dalam penelitian Syafitri, Nuzula dan
Nurlaily (2018) Dewan direksi dalam suatu perusahaan berperan sebagai agent
atau pengelola perusahaan yang kedudukannya bertanggung jawab secara penuh
atas kegiatan operasional perusahaan. Dewan direksi merupakan sekelompok
direktur-direktur yang diketahui oleh presiden direktur. Dewan direksi juga harus
memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang
diajukna oleh dewan komisaris.

Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, perlu


dipenuhi prinsip- prinsip berikut sesuai dengan Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indoneisa:

 Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan


pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat
bertindak independen.
 Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman
serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
 Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat
menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan
usaha perusahaan.
 Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Fama dan Jensen (1983) direktur memiliki dua fungsi utama,
yaitu (1) berfungsi sebagai pembuat keputusan manajemen (strategi perusahaan
dalam jangka pendek, kebijakan investasi dan keuangan), (2) berfungsi dalam
mengendalikan keputusan (kompensasi manajerial, pengawasan alokasi modal).

2.2.5 Proporsi Dewan Komisaris Independen


Dewan komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris yang
memiliki tanggung jawab untuk mendorong diterapkannnya prinsip tata kelola
perusahaan yang baik didalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan
komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
direksi secara efektif. Menurut Ernawati dan Puspitasari (2010) Komisaris
independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan
keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan hubungan keluarga dengan
anggota dewan komisaris lainnya, direksi atau pemegang saham pengendali atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.

Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia memberikan


aturan bahwa jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar
mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan
perundangundangan dan salah satu dari komisaris independen harus mempunyai
latar belakang akuntansi atau keuangan. Keberadaan komisaris independen
diperlukan dalam perusahaan untuk menengahi atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat benturan berbagai kepentingan yang mengabaikan kepentingan
pemegang saham publik (pemegang saham minoritas) serta stakeholder lainnya,
terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat di
dalam pembiayaan usahanya (KNKG, 2006).

Sesuai dengan ketentuan di Pasar Modal dalam Surat Direksi PT. Bursa
Efek Jakarta Nomor : KEP-399/BEJ/07-2010 tentang Ketentuan Umum
Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa poin C yang mengatur hal-hal mengenai
komisaris independen, komite audit, dan sekretaris perusahaan, menjelaskan
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perisahaan yang baik (good
corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen
yang jumlahnya secara proposional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki
oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris.
Kriteria komisaris independen yang telah diatur dalam peraturan BEJ, Kep
316/BEJ/062000 tanggal 30 Juni 2000 adalah :

1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang


saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling
shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.
2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.
3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan
lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.
4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham
minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan
controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

2.2.6 Komite Audit


Komite audit merupakan salah satu bagian dari mekenisme tata kelola
perusahaan dalam melakukan pengendalian internal dan merupakan salah satu
elemen kunci dalam struktur corporate governance yang membantu
mengendalikan dan mengawasi manajemen (Kristanti dan Syafruddin, 2012).
Pada umumnya dewan komisaris membentuk komite-komite dibawahnya sesuai
dengan kebutuhan perusahaan dan peraturan perundangan yang berlaku untuk
membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tanggungjawab dan
wewenangnya secara efektif. Komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
tersebut adalah komite audit, komite kebijakan risiko, komite remunerasi dan
nominasi, komite kebijakan corporate governance (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2006). Namun, menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam
No:KEP-339/BEJ/2001, yang sifatnya wajib dimiliki oleh perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek hanya komite audit.

Tugas komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk mengawasi


kinerja perusahaan dengan penelaahan risiko yang dihadapi perusahaan.
Keberadaan komite audit menjadi sangat penting sebagai salah satu perangkat
utama dalam penerapan good corporate governance.

1. Struktur Komite Audit


Struktur komite audit di Indonesia diatur dalam Keputusan KetuaBapepam
No. Kep-41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 tentang Peraturan Nomor IX.1.5
: Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit adalah sebagai
berikut:

 Anggota komite audit diangkat dan diberhentikan oleh dewan komisaris


dan dilaporkan kepada rapat umum pemegang saham (RUPS).
 Anggota komite audit yang merupakan komisaris independen bertindak
sebagai ketua komite audit. Dalam hal ini komisaris independen yang
menjadi anggota komite audit lebih dari satu orang maka salah satunya
bertindak sebagai ketua komite audit.
Dalam rekomendasi yang dibentuk oleh Forum for Corporate Governance
in Indonesia (FCGI, 2002) adalah penting bahwa perusahaan harus
memperhatikan karakteristik yang dimiliki oleh setiap anggota komite auditnya.
Hal ini disebabkan karakteristik komite audit akan berpengaruh pada peran komite
audit dalam pemberian bantuan kepada dewan komisaris dalam melaksanakan
tugasnya tentang pengendalian internal dan pelaporan keuangan dan manajemen.
2. Independensi Komite Audit
Anggota komite audit dipersyaratkan berasal dari pihak ekstern perusahaan
yang independen, harus terdiri dari individu-indidvidu yang independen dan tidak
terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan,
serta memiliki pengalaman untuk melasanakan fungsi pengawasan secara efektif.
Salah satu dari alasan utama independensi ini adalah untuk memelihara integritas
serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang
diajukan oleh komite audit, karena individu yang independen cenderung lebih adil
dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan (FCGI,
2002).

3. Pertemuan Komite Audit


Pertemuan komite audit berfungsi sebagai media komunikasi formal
anggota komite audit dalam mengawasi proses corporate governance, memastikan
bahwa manajemen senior membudayakan corporate governance, memonitor
bahwa perusahaan patuh pada code of conduct, mengerti semua pokok persoalan
yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja keuangan atau nonkeuangan
perusahaan, memonitor bahwa perusahaan patuh pada tiap undang-undang dan
peraturan yang berlaku, dan mengharuskan auditor internal melaporkan secara
tertulis hasil pemeriksaan corporate governance dan temuan lainnya.

2.2.7 Biaya Agensi Manajerial


Biaya agensi manajerial adalah biaya yang dikeluarkan oleh pemilik untuk
mengatur dan mengawasi kinerja para manajer sehingga mereka bekeraja untuk
kepentingan perusahaan (Fadhilah dan Syarifuddin, 2013). Manajer yang
merupakan pengelola perusahaan cenderung menggunakan sumber daya
perusahaan secara berlebihan untuk memenuhi tujuan mereka dan memungkinkan
terjadinya financial distress, sehingga pemegang saham membutuhkan mekanisme
pengawasan yang efektif untu mengawasi kinerja pengelola saham maka
diperlukan biaya agensi manajerial untuk menghindari konflik keagenan tersebut .
Menurut Williandri (2011) biaya agensi (agency cost) adalah biaya yang berkaitan
dengan pemantauan tindakan manajemen guna menjamin agar tindakan tersebut
konsisten dengan kesepakatan kontrak diantara manajer, pemegang saham, dan
kreditor.

Biaya agensi (agency cost) akan muncul ketika terjadinya masalah


keagenan. Masalah keagenan terjadi karena adanya pemisahan fungsi kepemilikan
dan fungsi pengelolaan perusahaan yang menyebabkan konflik (Jensen dan
Meckling, 1976). Konflik keangenan ini disebabkan pengelola perusahaan yang
kadang ingin memperoleh dana yang lebih besar tanpa memperdulikan perintah
pemilik perusahaan. Karena adanya masalah keagenan tersebut pemegang saham
harus mengeluarkan biaya agensi untuk mengurangi masalah keagenan dan
menyakinkan manajer untuk bekerja dengan baik untuk kepentingan pemegang
saham.

Dengan adanya masalah agensi yang disebabkan karena masalah


kepentingan dan adanya asimetri informasi hal ini menimbulkan biaya agensi
(agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari:

 The monitoring expenditure by the principle. Biaya monitoring


dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, termasuk juga
usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget
restriction dan compensation policies.
 The bonding expenditure by the agent. The bonding cost dikeluarkan oleh
agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan
tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa
prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
 The residual loss yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan
prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.

2.3 Pengertian Financial distresses


Financial distress merupakan tahap paling awal saat perusahaan dalam
masa kesulitan keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan. Menurut Yati dan
Patunrui (2017) Financial distress didefinisikan suatu kondisi keuangan
perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga
perusahaan tidak mampu menjalankan operasi dengan baik. Salah satu penyebab
kesulitan keuangan menurut Brigham dan Daves (2004) adanya serangkaian
kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan
yang saling berhubungan yang dapat menyumbang secara langsung maupun tidak
langsung kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi
kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan. Hal
ini memberikan kesimpulan bahwa tidak menjamin perusahaan besar dapat
menghindari masalah ini, sebab financial distress berkaitan dengan keuangan
perusahaan dimana setiap perusahaan pasti akan beurusan dengan keuangan untuk
menjaga kelangsungan operasinya.

Financial distress adalah suatu situasi dimana arus kas operasi perusahaan
tidak memadai untuk melunasi kewajiban-kewajiban lancar (seperti hutang
dagang atau beban bunga) dan perusahaan terpaksa melakukan tindakan perbaikan
(Hapsari, 2012). Kebangkrutan adalah situasi dimana perusahaan mengalami
kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan
usahanya, akibat yang lebih serius dari kebangkrutan adalah berupa penutupan
usaha atau likuidasi. Menurut Platt dan Platt (dalam Almilia, 2004) menyatakan
kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress adalah:

1. Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah


sebelum terjadinya kebangkrutan pada masa yang akan datang
2. Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau take over
perusahaan yang lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola
perusahaan dengan baik
3. Memberikan tanda peringatan awal adanya kebangkrutan
Penyebab kesulitan keuangan biasa dibagi menjadi dua yaitu faktor
internal perusahaan maupun eksternal baik yang bersifat khusus yang berkaitan
langsung dengan perusahaan maupun yang bersifat umum. Faktor internal yang
bisa menyebabkan financial distress perusahaan meliputi: manajemen yang tidak
efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya
menyebabkan perusahaan tidak mampu membayar kewajibannya, pemborosan
dalam alokasi biaya kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen, modal
yang dimiliki dengan jumlah utang piutang yang dimiliki, utang yang terlalu besar
akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan
bisa mengakibatkan kerugian, piutang yang terlalu besar juga akan merugikan
karena aset yang mengganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan
pendapatan pemegang saham atau investor (Munawir, 2012 dalam Febriani,
2013). Jadi financial disstres adalah kondisi yang menggambarkan keadaaan
sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan, artinya
perusahaan berada dalam posisi yang tidak aman dari ancaman kebangkrutan atau
kegagalan pada usaha perusahaaan tersebut. Dalam penelitian ini menghitung
financial distress dengan menggunakan metode Altman Z-Score.

2.3.1 Cara Menganalisis Financial Distress


Banyak cara untuk mengitung financial distress dalam perusahaan, namun
didalam penelitian ini menggunakan model Almant Z-score untuk memprediksi
apakah perusahaan itu sehat, berpotensi bangkrut atau berada di grey area. Model
analisis Almant Z-score berfungsi untuk mengukur kesehatan keuangan
perusahaan dan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada
sebuah perusahaan.

Analisis kebangkrutan Z-score ditemukan oleh Edward I. Almant yang


bertujuan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan
sejumlah rasio keuangan dalam suatu metodologi statistik multideskriminan.
Analisis kebangkrutan Zscore digunakan untuk meramalkan tingkat kebangkrutan
suatu perusahan dengan menghitung nilai dari beberapa rasio lalu kemudian
dimasukkan dalam suatu persamaan diskriminan (Gamayuni, 2011). Model almant
Z-score merupakan indikator untuk mengukur potensi kebangkrutn suatu
perusahaan. Sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui kegunanaan analisis
rasio keuangan dalam memprediksi kegagalan atau kebangkrutan suatu
perusahaan. Dasar pemikiran Almant menggunakan analisis diskriminan bermula
dari keterbatasan analisa rasio yaitu metedologinya pada dasarnya bersifat suatu
penyimpangan yang artinya setiap rasio diuji (Yati dan Patunrui, 2017). Seiring
dengan berjalannya waktu Almant membuat modifikasi terhadap perusahaan
manufaktur dan nonmanufaktur dibedakan dari rasio yang digunakan, di
perushaan manufaktur menggunakan 5 rasio tetapi untuk manufaktur Almant
mengeliminasi rasio X5 karena rasio sangat bervariasi dengan ukuran aset yang
berbeda-beda. Berikut adalah persamaan Z-score untuk masing-masing
perusahaan.

Untuk perusahaan manufaktur, menggunakan formula yang terdiri dari 5


koefisien, yakni: :

Z-score = 1,2 (X1) + 1,4 (X2) +3,3 (X3) + 0,6 (X4) + 1 (X5)

1. Z-Score > 3,00 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat


2. Z-Score < 1,80 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berpotensi
bangkrut
3. Z-Score = 1,81 - 3,00 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan pada
grey area (Altman, 2000).
Untuk perusahaan non-manufaktur, menggunakan formula yang terdiri
dari 4 koefisien , yakni:

Z-score = = 6,56 (X1) + 3,26 (X2) +6,72 (X3) + 1,05 (X4)

1. Z-Score > 2,60 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat


2. Z-Score < 1,10 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berpotensi
bangkrut
3. Z-Score = 1,10 - 2,60 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan pada
grey area (Altman, 2000).
Rasio-rasio yang digunakan adalah sebagai berikut :

Rasio X1 = Modal kerja x 100%

Total aset
Rasio X2 = Laba ditahan x 100%

Total aset

Laba sebelum pajak x 100%


Rasio X3 =
Total aset

Nilai pasar saham modal x 100%


Rasio X4 =
Nilai buku hutang

Penjualan x 100%
Rasio X5 =

Total aset

Menurut Gamayuni (2011) Model Z-score sangat efektif untuk


memprediksi kebangkrutan 2 tahun sebelum terjadinya kebangkrutan yang
sebenarnya dan untuk bebrerapa kasus model ini dapat memprediksi kebangkrutan
4 atau 5 tahun sebelumnya. Selain dapat memprediksi kebangkrutan perusahaan
manufaktur secara tepat 2 tahun sebelum terjadinya kebangkrutan yang
sebenarnya, Z-score juga dapat digunakan untuk :

 Memeriksa kembali calon perusahaan yang akan diakuisisi oleh pemasok


dan perusahaan lain untuk mendeteksi masalah keuangan yang timbul dari
perusahaan-perusahaan tersebut yang kemungkinan akan mempengaruhi
bisnis perusahaan.
 Mengukur tingkat kesehatan keuangan sutu perusahaan melalui informasi
yang diperoleh dari laporan keuangan.

Jadi hasil perhitungan dari Z-score dapat dijadikan literatur untuk


perusahaan agar dapat memperbaiki kinerja perusahaan jika dalam keadaan
kesulitan keuangan.

2.3.2 Dampak Financial distress

Salah satu dampak financial distress adalah dapat membawa perusahaan


mengalami kesulitan dalam membayarkan kewajiban yang ditanggung. Menurut
Gitman (2009), ada tiga hal yang paling terlihat ketika perusahaan mengalami
financial distress, yaitu :
1. Business Failure (kegagalan bisnis), dapat diartikan sebagai :

Keadaan dimana realized rate of retrun dari modal yang diinvestasikan secara
signifikan terus menerus lebih kecil dari rate of retrun pada investasi sejenis.

 Suatu keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi biaya


perusahaan.
 Perusahaan diklasifikasikan kepada failure, perusahaan mengalami
kerugian operasional selama beberapa tahun atau memiliki retrun
yang lebih kecil dari pada biaya modal

2. Insolvency (tidak solvable), dapat diartikan sebagai:


 Technical insolvency timbul apabila perusahaan tidak dapat memenuhi
kewajiban pembayaran hutangnya pada saat jatuh tempo.
 Accounting insolvency, perusahaan memiliki negative networth, secara
akuntansi memiliki kinerja buruk (insolvent), hal ini terjadi apabila nilai
buku dari kewajiban perusahaan melebihi nilai buku dari total harta
perusahaan tersebut.

3. Bankruptcy, yaitu kesulitan keuangan yang mengakibatkan perusahaan


memiliki negative stockholders equity atau nilai pasiva perusahaan lebih
besar dari nilai wajar harta perusahaan.

Berdasarkan tiga macam kategori financial distress di atas, penelitian ini


menggunakan poin pertama untuk mengkategorikan perusahaan yang dianggap
mengalami financial distress, yaitu ketika perusahaan mengalami kegagalan bisnis
yang terlihat dari pendapatan perusahaan yang tidak dapat menutupi biaya
perusahaan yang timbul. Berarti jika terjadi hal demikian, perusahaan sedang
mengalami kerugian, yang berimbas pada kewajiban perusahaan untuk menutupi
kekurangan biaya yang terjadi dengan sumber pendanaan yang lain.

2.3.3 Faktor Penyebab Financial distress

Menurut Hanafi (2013) dalam Thohari, Sujana dan Zahroh (2015)


kebangkrutan yang terjadi sebenarnya dapat diprediksi dengan melihat beberapa
indikator yang ada yaitu:

1. Dilihat dari aliran kas sekarang/untuk saat ini atau dimasa yang akan
datang
2. Strategi perusahaan yaitu dilihat dari analisis yang dilakukan oleh
perusahaan dalam fokus menghadapi persaingan.
3. Kualitas dari manajemen perusahaan dalam operasional.
4. Kemampuan manajemen dalam mengendalikan biaya.
Financial distress dapat timbul karena adanya pengaruh dari dalam
perusahaan sendiri (internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal). Damodaran
(2001) menyatakan, faktor penyebab financial distress dari dalam perusahan lebih
bersifat mikro, faktor-faktor dari dalam perusahaan tersebut adalah :

1. Kesulitan arus kas

Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil operasi


perusahaan tidak cukup untuk menutupi bebab-beban usaha yang timbul atas
aktivitas operasi perusahaan. Kesulitan arus kas juga disebabkan adanya kesalahan
manajemen ketika mengelola aliran kas perusahan untuk pembayaran aktivitas
perusahaan yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan

2. Besarnya jumlah hutang

Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya yang


timbul akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan
untuk mengembalikan hutang di masa depan. Ketika tagihan jatuh tempo dan
perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk membayar tagihan-tagihan
yang terjadi maka kemungkinan yang dilakukan kreditur adalah mengadakan
penyitaan harta perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran tagihan
tersebut.

Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa tahun


Kerugian operasional perusahaan menimbulkan arus kas negatif dalam
perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena beban operasional lebih besar dari
pendapatan yang diterima perusahaan. Jika perusahaan mampu menutupi atau
menanggulangi, belum tentu perusahaan tersebut dapat terhindar dari financial
distress.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan variabel yang berbeda-beda


dalam menganalisis pengaruh terhadap kesulitan keuangan. Berikut ini adalah
hasil penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai rujukkan dalam penelitian ini
ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu
No Nama Variabel Penelitian Metode Hasil Penelitian
Peneliti
Analisis
(Tahun)
1 Wardhani Variabel Dependen: Regresi Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa
(2006) Financial Distress Logistik
ukuran dewan
Variabel direktur, turnover
Independen: direksi mempunyai
pengaruh signifikan
ukuran dewan direksi terhadap financial
& dewan komisaris, distress, sedangkan
independensi dewan keberadaan
komisaris, turn over komisaris
direksi, dan struktur independen dan
kepemilikan. struktur kepemilikan
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
financial distress.
2 Nur DP Variabel Dependen: Regresi Hasilnya adalah
kepemilikan
(2007) Financial Distress Logistik manajerial,
kepemilikan
Variabel
institusional,
Independen:
ukuran dewan
Kepemilikan direksi, komisaris
manajerial, independen
kepemilikan signifikan
institusional, ukuran mempengaruhi
dewan direksi, kondisi
komisaris independen financial
distress, hanya
jumlah komite
audit yang

terbukti tidak
mempengaruhi
terjadinya
financial distress.
3 Kurniasari Variabel Dependen: Regresi Hasil dari
(2009) penelitian tersebut
Financial Distress Logistik tidak berhasil
membuktikan
Variabel
satupun hubungan
Independen:
antara variabel
kepemilikan independen dan
manajerial, dependennya.
kepemilikan
institusional,
komisaris
independen,
managerial agency
cost, dan opini audit
going concern.
variabel kontrol yaitu
financial leverage,
likuiditas, dan profit
margin

4 Bodroastuti Variabel Dependen: Regresi Jumlah dewan direksi


dan jumlah dewan
(2009) Financial Distress Logistik komisaris memiliki
pengaruh positif yang
Variabel
signifikan terhadap
Independen:
financial distress
-Jumlah Dewan sementara
Direksi kepemilikan publik,
jumlah direksi keluar,
-Jumlah Dewan kepemilikan
Komisaris institusional, serta
kepemilikan direksi
-Kepemilikan Publik dan komisaris tidak
-Jumlah Direksi memiliki pengaruh
Keluar yang signifikan
terhadap financial
-Kepemilikan distress.
Institusional
-Kepemilikan Direksi
dan Komisaris
5 Fadhilah dan Variabel Dependen: Regresi Hasil penelitiannya
Syarifuddin logistik menunjukkan bahwa
Financial Distress konsentrasi
(2013)
kepemilikan,
kepemilikan
Variabel manajerial, proporsi
Independen komisaris independen,
biaya agensi
Konsentrasi manajerial dan opini
kepemilikan, audit berpengaruh
kepemilikan terhadap financial
manajerial, distress, sedangkan
kepemilikan kepemilikan
pemerintahan, pemerintahan tidak
berpengaruh terhadap
proporsi komisaris
financial distress.
independen, biaya
agensi manajerial dan
opini audit

6 Triwahyuni Variabel Dependen: Regresi


logistik
ningtias Financial Distress Hasil
(2012) penelitiannya
menunjukkan
bahwa
Variabel
kepemilikan
Independen manajerial,
Kepemilikan kepemilikan
manajerial, institusional,
kepemilikan ukuran dewan
dreksi, likuiditas
institusional, dewan
berpengaruh
direksi, dewan
negatif dan
komisaris, komisaris signifikan
independen, terhadap financial
likuiditas, dan distress.
leverage Sedangkan
leverage
berpengaruh
positif signifikan
terhadap financial
distress.

Sumber : Berbagai jurnal


2.5 Hipotesis
2.5.1 Pengaruh Dewan Direksi Terhadap Financial Distress

Dewan direksi merupakan salah satu mekanisme corporate governance yang


diperlukan untuk mengurangi agency problem antara pemilik dan manajer
sehingga timbul keselarasan kepentingan antar pemilik dan manajer (Mayangsari,
2015). Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang
akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun
jangka panjang. Dewan direksi ini merupakan salah satu mekanisme yang sangat
penting dalam corporate governance, dimana keberadaannya menentukan kinerja
perusahaan (Triwahyuningtias, 2012). Hasil penelitian Nur DP (2007)
menjelaskan bahwa ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan
kemungkinan suatu perusahan akan mengalami tekanan keuangan. Hal ini berarti
bahwa semakin besar jumlah dewan direksi maka kemungkinan perusahaan akan
mengalami tekanan keuangan akan semakin kecil. Maka dapat disimpulkan
hipotesis sebagai berikut.

H1 : Jumlah dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.5.2 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Financial Distress

Dewan direksi merupakan mekanisme corporate governance yang

diperlukan untuk mengurangi masalah yang terjadi didalam perusahaan. Dewan

komisaris berperan untuk memonitoring dari implementasi kebijakan direksi.

Dewan komisaris bertanggung jawab mengawasi tindakan direksi dan

memberikan nasehat kepada direksi jika dipandang perlu (Triwahyuningtias,

2012). Dewan komisaris adalah pengawas perusahaan yang bertugas

mengawasi manajemen dalam pelaksanaan strategi perusahaan dewan

komisaris bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan

memberikan nasehat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan

melaksanakan good corporate governance.


Penelitian ini didukung dengan penelitian Wardhani (2006) menyatakan

bahwa jumlah dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap kesulitan

keuangan perushaan, dimana pengaruh tersebut bertanda negatif, artinya bahwa

dengan bertambah banyak dewan komisaris maka akan menurunkan

kemungkinan perusahaan mengalami tekanan keuangan. Menurut Deviacita

(2012) menyatakan bahwa semakin tinggi proporsi dewan komisaris maka akan

semakin meningkatkan monitoring atau pengawasan kinerja perusahaan yang

dampaknya rendahnya kemunginan financial distress. Maka dirumuskan

hipotesis sebagai berikut.

H2 : Jumlah dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.5.3 Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen Terhadap


Financial Distress

Komisaris independen merupakan mekanisme corporate governance

yang dapat mengurangi masalah dalam teori agensi. Selain adanya pengawasan

pengambilan keputusan manajemen oleh dewan komisaris, pengawasan juga

dilakukan oleh pihak eksternal yang independen agar keputusan yang diambil

tepat dan menjauhkan perusahaan dari kemungkinan mengalami kesulitan

keuangan (Triwahyuningtias, 2012). Berdasarkan teori keagenan menilai bahwa

komisaris independen dibutuhkan para dewan komisaris untuk mengawasi dan

mengontrol tindakan-tindakan direksi sehubungan dengan perilaku oportunistik

mereka (Jensen dan Meckling, 1976). Teori keagenan menilai bahwa semakin

besar proporsi komisaris independen pada dewan komisaris maka semakin baik

mereka bisa memenuhi peran mereka dalam mengawasi dan mengontrol

perusahaan. Elloumi dan Gueyie (2001) menyatakan bahwa persentase anggota


dari luar dewan dewan komisaris pada perusahaan yang mengalami financial

distress secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada perusahaan sehat

yang berarti besarnya proporsi komisaris independen pada jajaran dewan dapat

menaikan tingkat kesehatan perusahaan. Penelitian Wardani (2006)

membuktikan bahwa komisaris independen ternyata tidak signifikan

mempengaruhi financial distress. Hal ini menunjukan bahwa berapapun

proporsi dewan omisaris independen tidak berpengaruh terhadap financial

distress pada perusahaan.

Dalam perspektif keagenan, kemampuan dewan komisaris dalam

mekanisme pengawasan yang efektif tergantung pada indepedensinya terhadap

manajemen menurut Beasley (1996) dalam Fadhilah (2013). Karena dengan

adanya komisaris independen dalam perusahaan ini, dapat menghindari

Assymetric Information antara kedua belah pihak yang dapat menimbulkan

kemungkinan kondisi kesulitan keuangan.

H3 : Proporsi dewan direksi independen berpengaruh negatif terhadap financial

distress.

2.5.4 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Financial Distress

Kepemilikan manajerial mampu mengurangi masalah keagenan yang

timbul pada suatu perusahaan yang apabila terjadi masalah keuangan terus

menerus dapat menimbulkan financial distress pada perusahaan. Menurut

penelitian Nur DP (2007), dengan terjadinya peningkatan pada kepemilikan

manajerial maka akan mampu mendorong turunnya potensi kesulitan keuangan.

Hal ini terjadi karena apabila manajer memiliki proporsi kepemilikan saham
perusahaan yang semakin besar, maka hal tersebut akan mendorong manajemen

untuk meningkatkan kinerja perusahaan, karena mereka juga memiliki

perusahaan. Ketika seorang manajer merasa bahwa dirinya juga memiliki

perusahaan maka akan menyatukan kepentingan antara pemegang saham dan

manajer sehingga mampu menurunkan kemungkinan terjadinya

kondisi financial distress pada perusahaan.

Struktur kepemilikan merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kondisi perusahaan dimasa yang akan datang. Kemungkinan suatu

perusahaan berada pada posisi tekanan keuangan juga banyak dipengaruhi oleh

struktur kepemilikan perusahaan tersebut. Struktur kepemilikan menjelaskan

komitmen dari pemiliknya untuk untuk menyelamatkan perusahaan (Wardhani,

2006). Menurut Mayangsari (2015) Kepemilikan saham manajerial oleh manajer

dalam perusahaan membuat manajer mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai

pemilik perusahaan sekaligus pengelola perusahaan tersebut. Sehingga manajer

pemilik saham tersebut akan mempunyai hak untuk memberikan tekanan atau

saran bagi perusahaan untuk berjalan kearah yang dikehendaki. Berdasarkan

penelitian terdahulu maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

H4 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kemungkinan

terjadinya kondisi financial distress.


2.5.5 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Financial Distress

Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja perusahaan, karena dengan adanya kepemilikan oleh

investor institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih

optimal terhadap kinerja manajemen. Semakin besar kepemilikan oleh institusi

keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan institusi

kuangan untuk mengawasi manajemen sehingga kemungkinan perusahaan

menghadapi kondisi kesulitan keuangan dapat diminimalkan (Mayangsari, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bodroastuti (2009), membuktikan bahwa

kepemilikan institusional tidak signifikan terhadap kemungkinan terjadinya

kesulitan keuangan. Kepemilikan institusional diharapkan akan mendorong

peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen,

sehingga biaya agensi dapat diminimalkan. Nur DP (2007) menyatakan bahwa

kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kesulitan keuangan perusahaan.

Hal ini berarti bahwa peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan

akan mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan. Keadaan tersebut

disebabkan semakin besar kepemilikan institusional akan semakin besar monitor

yang dilakukan terhadap perusahaan yang pada akhirya akan mampu mendorong

semakin kecilnhya potensi kesulitan keuangan. Maka dihasilkan hipotesis sebagai

berikut.

H5 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.5.6 Pengaruh Komite Audit Terhadap Financial Distress


Jumlah komite audit merupakan mekanisme good corporate governance

yang dapat menghindari terjadinya permasalahan keuanagan karena keberadaan

komite audit yang efektif dapat mengubah kebijakan yang berbeda dalam

pencapaian laba akuntansi beberapa tahun kedepan. Efektivitas komite audit dapat

akan meningkat jika ukuran komite meningkat, karena komite memiliki sumber

daya lebih untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi perusahaan (Fuad,

2013). Untuk membuat komite audit yang efektif dalam mengelola perusahaan,

komite harus memiliki anggota yang cukup dan berkompeten untuk melaksanakan

tanggung jawab perusahaan. Menurut Hanifah (2013) komite audit merupakan

mekanisme corporate governance yang diasumsikan mampu mengurangi masalah

keagenan yang timbul pada suatu perusahaan apabila terjadi terus menerus dapat

menimbulkan financial distress pada perusahaan. Berdasarkan argumen diatas,

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H6 : Komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.5.7 Biaya Agensi Manajerial Terhadap Financial Distress

Biaya agensi (agency cost) adalah biaya yang berkaitan dengan

pemantauan tindakan manajemen guna menjamin agar tindakan tersebut konsisten

dengan kesepakatan kontrak diantara manajer, pemegang saham, dan kreditor

(Williandri, 2011). Biaya agensi manajerial muncul akibat adanya pemisahan

pengendalian dan kepemilikan. Pelaksanaan corporate governance yang buruk

dapat meningkatkan biaya agensi manajerial dan menyebabkan infisiensi ekonomi

pada perusahaan. Manajer yang merupakan agen pemegang saham cendrung

menggunakan sumber daya secara eksploitatif untuk memenuhi tujuan mereka.


Penggunaan sumber daya secara besar-besaran oleh manajer tidak menjamin

tercapainya tecapainya kinerja yang baik dan memungkinkan terjadinya moral

hazard, selain itu apabila penggunaan sumber daya berlebihan tidak seimbang

dengan peningkatan kinerja perusahaan dapat menyebabkan stabilitas perusahaan

terganggu (Fadhilah, 2013). Menurut Fadhilah dan Syarifuddin (2013) Biaya

agensi manajerial mecakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham, biaya

yang dikeluarkan oleh manjemen untuk menghasilkan laporan yang transparan,

termasuk biaya audit independen dan pengendalian internal serta biaya yang

disebabkan karena menurunnya nilai kepemilkikan pemegang saham.

Biaya agensi manajerial yang berlanjut dapat membebani keuangan perusahaan

dan mengakibatkan terjadinya financial distress. Maka dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut.

H7 : Biaya agensi manajerial berpengaruh positif terhadap kemungkinan terjadinya

kondisi financial distress.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian

3.1.1. Variabel independen

3.1.1.1. Ukuran Dewan Direksi

Dewan direksi sangat penting di dalam corporate governance yang bertugas dan

bertanggungjawab secara penuh dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota

direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas

dan wewenangnya (Wardhani, 2006). Ukuran dewan direksi dilihat dari laporan tahunan

perusahaan masing-masing. Dewan direksi dalam penelitian ini diukur dengan menghitung

jumlah anggota dewan direksi yang ada dalam perusahaan.

3.1.1.2. Ukuran Dewan Komisaris

Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, jumlah anggota

dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap

memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, ukuran

dewan komisaris diukur dengan menghitung jumlah dewan komisaris yang ada dalam

perusahaan pada perode t (Wardhani, 2006). Mengukur dewan komisaris dilihat dari laporan

tahunan perusahaan yang mencatat berapa jumlah dewan komisaris pada perusahaan.

3.1.1.3. Proporsi Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen diperlukan untuk mengawasi jalannya perusahaan dan untuk

memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan corporate governance. Komisaris


independen merupakan anggota komisaris perusahaan yang bukan pemegang saham

mayoritas, tetapi dapat sebagai penengah dalam masalah keagenan. Variabel ini diukur

berdasarkan persentase komisaris independen dalam struktur dewan komisaris perusahaan.

Komisaris independen : Jumlah komisaris independen x 100%

Total anggota dewan komisaris

3.1.1.4. Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai kepemilikan saham yang dimiliki oleh

manajer, direktur, dan komisaris yang diukur dari jumlah saham manajemen. Variabel ini

diukur dengan menggunakan rasio antar jumlah saham yang dimiliki manajer ataudireksi dan

dewan komisaris terhadap total saham yang beredar (Rustendi dan Jimmi, 2008). Menurut

Wardhani (2006) kepemilikan manajerial diukur dari persentase tingkat kepemilikan dewan

direksi dan dewan komisaris.

Kepemilikan manajerial : Jumlah saham pihak manajerial x 100%

Total saham beredar

3.1.1.5. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh institusi atau

pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik. Kepemilikan institusional diukur

dengan menggunakan rasio antara jumlah lembar saham yang dimiliki oleh institusi terhadap

jumlah lembar saham perusahaan yang beredar secara keseluruhan (Ujiyantho dan

Pramuka,2007).

Kepemilikan institusional = Jumlah saham yang dimiliki x 100%

Total saham beredar


3.1.1.6. Komite Audit

Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris yang bertugas untuk

membantu dewan komisaris untuk menjalankan tugas dalam penelitian laporan keuangan dan

tanggung jawab pengawasan dalam perusahaan. Didalam komite audit harus ada salah satu

anggota yang mempunyai kemampuan akuntansi dan keuangan. Penelitian ini mengukur

komite audit dengan membandingkan banyaknya komite audit independen dengan seluruh

komite

audit.

Komite Audit = jumlah anggota komite audit independen x 100%

jumlah seluruh anggota komite audit

3.1.1.7. Biaya Agensi Manajerial

Biaya agensi manajerial muncul akibat adanya pemisahan pengendalian dan

kepemilikan. Pelaksanaan corporate governance yang buruk dapat meningkatkan biaya

agensi manajerial dan menyebabkan inefisiensi ekonomi pada perusahaan (Fadhilah,2013).

Dalam penelitian ini pengukuran biaya agensi manajerial berdasarkan rasio beban

administrasi dan umum terhadap total penjualan. Biaya yang dikeluaran pemegang saham

untuk menghindari konflik keagenan semuanya masuk kedalam biaya administrasi. Maka

diukur dengan menggunakan biaya administrasi dengan pendapatan/ penjualan.

Biaya Agensi Manajerial = biaya administrasi x 100%

penjualan atau pendapatan


3.1.2. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah financial distress atau kesulitan

keuangan. Model Altman Z-score dipergunakan untuk membantu memprediksi bagaimana

perusahaan yang diteliti ditahun yang akan akan. Artinya Altman Z-score berguna untuk

memprediksi kebangkrutan disuatu perusahaan. Model Z-score dikembangkan oleh Edward

I. Almant pada tahun 1986, sehingga disebut dengan sebutan Almant Z-score. Model ini

merupakan model multivariate dan dikenal dengan sebutan Multivariate Discriminant

Analysis. Model ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu perusahaan berpotensi

mengalami kebangkrutan atau tidak. Model ini mengalami pembaharuan pada tahun 1984

yaitu menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dibeberapa negara (Supardi dan Mastuti, 2003).

Pengukuran financial distress menggunakan model Almant Z-score yaitu model

prediksi kebangkrutan yang mempunyai 3 kategori yaitu perusahaan sehat, berpotensi

bangkrut atau perusahaan pada grey area. Dalam penelitian Christyan (2017) Model Z-Score

menggunakan metode Multiple Discriminant Analysis dengan lima jenis rasio keuangan

yaitu:

1. Working Capital to Total Assets Ratio (X1) adalah proporsi modal kerja bersih (selisih

aktiva lancar dengan hutang lancar) terhadap total aktiva, dan diukur dalam satuan persen.

Rumus (Gamayuni, 2011) :

Working Capital to Assets Ratio = (Current Assets – Current Liabilities) x 100%

Total Assets

2. Retained Earning to Total Assets Ratio (X2) adalah proporsi laba ditahan terhadap total

aktiva, dan diukur dalam satuan persen.Rumus (Altman, 2000) :

Retained Earning to Assets Ratio = Retained Earning x 100%

Total Assets
3. Earning Before Interest and Taxes to Total Assets Ratio (X3) adalah proporsi laba sebelum

bunga dan pajak terhadap total aktiva, dan diukur dalam satuan persen. Rumus (Altman,

2000) :

Earning Before Interest anf Tax to Total Assets Ratio= EBIT x 100%

Total Assets

4. Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (X4) adalah proporsi nilai pasar

sekuritas tehadap nilai pasar utang, dan diukur dalam satuan persen.

Rumus (Altman, 2000) :

Market Value of Equity to Book Value of Liabilities = Market Value of Equity x 100%

Book Value of Total Liabilities

5. Sales to Total Assets (X5) adalah proporsi penjualan terhadap total aktiva dan diukur

dalam satuan persen. Rumus (Almant, 2000) :

Sales to Total Assets = Sales x 100%

Total Asset

3.2 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder ,dimana data berupa laporan

keuangan tahunan perusahaan BUMN yang terdaftar di BEI pada periode 2014-2016. Data

tersebut dapat diperoleh dengan mengkases situs web www.idx.co.id dan situs perusahaan

yang bersangkutan.

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi penelitian ini adalah perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

pada tahun 2014-2016. Pemilihan sampel penelitian didasarkan pada metode purposive
sampling, yaitu dengan menggunakan beberapa kriteria tertentu yang harus dipenuhi

perusahan agar dapat digunakan sebagai sampel. Kriteria penarikan sampel yang diterapkan

adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan BUMN yang terdapat di BEI pada Tahun 2014 - 2016.

2. Perusahaan yang memiliki data laporan keuangan yang telah diaudit periode yang

berakhir 31 Desember 2014-2016.

3. Menggunakan mata uang rupiah sebagai mata uang dalam pelaporannya. Terdapat 20

perusahaan BUMN yang akan diteliti sebagai sampel.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data berasal dari laporan keuangan tahunan perusahaan BUMN yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) setiap akhir tahun selama masa penelitian yaitu dari

tahun 2014 sampai 2016. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mengumpulkan data

empiris dan studi pustaka. Pengumpulan data empiris dilakukan dengan mengumpulkan

sumber data yang dibuat oleh perusahaan seperti laporan tahunan perusahaan. Studi pustaka

menggunakan beberapa literatur seperti jurnal, artikel, dan literatur lain yang berhuibungan

dengan pembahasan dalam penelitian ini.

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskriptif suatu data yang dapat

dilihat dari nilai rata-rata (mean), deviasi standar, maksimum, dan minimum. Pada penelitian

ini analisis statistik dilakukan pada variabel dependen yaitu kesulitan keuangan dan variabel

independen yaitu dewan direksi, dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen,

kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komite audit dan biaya agensi manajerial

yang merupakan mekanisme corporate governance.


3.5.1 Analisis Regresi Linier Berganda (Multiple Regression Analysis)

Dalam upaya menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka digunakan analisis
regresi linear berganda (Multiple Regression). Analisis regresi pada dasarnya adalah studi
mengenai ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel
independen (variabel penjelas/bebas), dengan tujuan untuk mengestimasi dan/atau
memprediksi rata-rata populasi atau nilainilai variabel dependen berdasarkan nilai variabel
independen yang diketahui (Ghozali, 2005).

Untuk regresi yang variabel independennya terdiri atas dua atau lebih, regresinya
disebut juga regresi berganda. Oleh karena variabel independen diatas mempunyai variabel
yang lebih dari dua, maka regresi dalam penelitian ini disebut regresi berganda. Persamaan
Regresi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel
independen atau bebas.

Persamaan uji regresi linier berganda :

Y = α + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+b5X5+ b6X6+b7X7+e

Keterangan:

Y = Financial Distress

X1 = Dewan Direksi

X2 = Dewan Komisaris

X3 = Proporsi Dewan Komisaris Independen

X4 = Kepemilikan Manajerial

X5 = Kepemilikan Institusional

X6 = Komite Audit

X7 = Biaya Agensi Manajerial

α = Konstanta
b1, b2,b3,b4.. = Koefisien regresi

e = Standar eror
3.5.2 Uji (Parsial) t

Uji t yaitu suatu uji untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel bebas secara parsial

atau individual terhadap variabel terikat. Kriteria yang digunakan adalah :

a) H0: suatu variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

b) H1 : suatu variabel independen berpengaruh positif terhadap variabel dependen.

Sedangkan kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut :

a) Taraf signifikan (a = 0,05).

b) Distribusi t dengan derajat kebebasan (n – k).

c) Apabila thitung> ttabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.

d) Apabila thitung< ttabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak.

3.5.3 Koefisien Determinasi Berganda

Uji koefisien determinasi berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh

semua variabel independen terhadap variabel dependen. Dengan pengolahan data melalui

SPSS, koefisien determinasi ganda (R²) adalah angka yang menunjukkan berapa % variabel

terikat yang dipengaruhi oleh variabelvariabel independen, atau dari 100% variabel l-

variabel yang berpengaruh terhadap variabel dependen, sekian % dipengaruhi oleh variabel

dependen, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diketahui karena tidak

dimasukan kedalam data. Semakin besar nilai koefisien determinasi ganda (R²), maka sangat

kuat dan sempurna model tersebut. Sebaliknya jika semakin kecil (0) nilai koefisien

determinasi ganda (R²), maka semakin buruk model tersebut. Secara umum dapat dikatakan

bahwa besarnya koefisien determinasi ganda (R²) berada 0 sampai 1 atau 0 < R² < 1.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. N. (2006). Board structure and ownership in Malaysia: the case of distressed
listed companies. Corporate Governance, 6(5), 582–594.
https://doi.org/10.1108/14720700610706072
Agustini, N. W., & Wirawati, N. G. P. (2019). Pengaruh Rasio Keuangan Pada Financial
Distress Perusahaan Ritel Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). E-
Jurnal Akuntansi, 26, 251. https://doi.org/10.24843/eja.2019.v26.i01.p10
Ahmad, A. R., Azhar, Z., & Wan-Abu-Bakar, W. A. (2010). Cash-flows ratios as predictors
of corporate failure. ISIEA 2010 - 2010 IEEE Symposium on Industrial
Electronics and Applications, October, 255–258.
https://doi.org/10.1109/ISIEA.2010.5679459
Alimilia, L. S., & Kristijadi. (2017). Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kondisi
Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta.
JAAI, 7(2), 183–210. https://doi.org/10.23969/jrbm.v10i2.445
Altman, E. I. (2002). Revisiting Credit Scoring Models in a Basel 2 Environment. NYU
Working Paper, May. Andre, O., & Taqwa, S. (2014). Pengaruh Profitabilitas,
Likuiditas, dan Leverage Dalam Memprediksi Financial Distress. Wahana Riset
Akuntansi, 2(1).
Armadani, Fisabil, A. I., & Salsabila, D. T. (2021). Analisis Rasio Kebangkrutan Perusahaan
pada Masa Pandemi. Jurnal Akuntansi, 13(1), 99–108.
Assaji, J. P., & Machmuddah, Z. (2019). Rasio Keuangan Dan Prediksi Financial Distress.
Jurnal Penelitan Ekonomi Dan Bisnis, 2(2), 58–67.
https://doi.org/10.33633/jpeb.v2i2.2042
Aznedra, A., & Putra, R. E. (2020). Analisis Laporan Keuangan Untuk Menilai Kinerja
Perusahaan Menggunakan Analisis Rasio Profitabilitas Pada Pt Putra Kundur
Transportasi Batam. Measurement: Jurnal Akuntansi, 14(1), 55–62.
https://doi.org/10.33373/mja.v14i1.2438
Bachri, S., Susono, J., Alethea, M., Habibah, S., & Darwis, I. (2021). The Effect of Leverage,
Profitability, Agency Cost, and Inflation Rate in Predicting Company Factor of
the Financial Distress with Interest Rate Volatility as Moderating Variable. The
International Journal of Social Sciec, 3(1), 86–97.
https://doi.org/10.5281/zenodo.4551656
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020). Analisis Hasil Survei Dampak COVID-19. BPS RI.
Brigham, E. F., & Houston, J. F. (2019). Fundamentals of Financial Management (15th ed.).
CENGAGE Learning.
Casey, C. J., & Bartczak, N. J. (1984). Cash Flow—It’s Not the Bottom Line. Harvard
Business Review, 6. https://hbr.org/1984/07/cash-flow-its-not-the-bottom-line
Cinantya, I. G. A. A. P., & Merkusiwati, N. K. L. A. (2015). Pengaruh Corporate
Governance, Financial Indicators, dan Ukuran Perusahaan pada Financial
Distress. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 10(3), 897–915.
Diakomihalis, M. N. (2012). The Accuracy of Altman’s Models in Predicting Hotel
Bankruptcy. International Journal of Accounting and Financial Reporting, 2(2),
96. https://doi.org/10.5296/ijafr.v2i2.2367
Dirman, A. (2020). Financial distress: the impacts of profitability, liquidity, leverage, firm
size, and free cash flow. International Journal of Business, Economics and Law,
22(1), 17–25.
Dwijayanti, P. F. (2010). Penyebab, Dampak, dan Prediksi dari Financial Distress serta Solusi
untuk Mengatasi Financial Distress. Jurnal Akuntansi Kontemporer, 2(2), 191–
205.
Fahlevi, M. R., & Marlinah, A. (2019). The Influence of Liquidity, Capital Structure,
Profitability 732 Aurellie Zulfa Islamy dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan
Auditing, Vol. 2, No. 3, Desember 2021, hal 710-734 and Cash Flows on the
Company’S Financial Distress. Jurnal Bisnis Dan Akuntansi, 20(1), 59–68.
https://doi.org/10.34208/jba.v20i1.409
Fathonah, A. N. (2016). Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Financial
Distress. Jurnal Ilmiah Akuntansi, 1(2), 133–150.
Fitri, M. A., & Dillak, V. J. (2020). Arus Kas Operasi, Leverage, Sales Growth Terhadap
Financial Distress. Jurnal Riset Akuntansi Kontemporer, 12(2), 60–64.
https://doi.org/10.23969/jrak.v12i2.3039
Ghozali, I. (2020). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 25 (IX).
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Giarto, R. V. D., & Fachrurrozie, F. (2020). The Effect of Leverage, Sales Growth, Cash
Flow on Financial Distress with Corporate Governance as a Moderating Variable.
Accounting Analysis Journal, 9(1), 15–21.
https://doi.org/10.15294/aaj.v9i1.31022
Hapsari, E. I. (2012). Kekuatan Rasio Keuangan dalam Memprediksi Kondisi Financial
Distress Perusahaan Manufaktur di BEI. Jurnal Dinamika Manajemen2, 3(2),
101–109.
Hilman, C., & Laturette, K. (2021). Analisis Perbedaan Kinerja Perusahaan Sebelum dan Saat
Pandemi COVID-19. BALANCE: Jurnal Akuntansi, Auditing Dan Keuangan,
18(1), 91–109.
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency
Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3, 305–360.
Kamaluddin, A., Ishak, N., & Mohammed, N. F. (2019). Financial distress prediction through
cash flow ratios analysis. International Journal of Financial Research, 10(3), 63–
76. https://doi.org/10.5430/ijfr.v10n3p63
Kieso, D. E., Weygandt, J. J., & Warfield, T. D. (2002). Intermediate Accounting (2nd ed.).
Wiley.
Komarudin. (2020). Hotel Terkenal di Malaysia Tutup Setelah 41 Tahun Beroperasi Akibat
Pandemi Corona COVID-19. Liputan6.
Spence, M. (1972). Job Market Signaling. Quarterly Journal of Economics, 355–374.
Sudaryanti, D., & Dinar, A. (2019). Analisis Prediksi Kondisi Kesulitan Keuangan dengan
Menggunakan Rasio Likuiditas, Profitabilitas, Financial Leverage dan Arus Kas.
Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Ekonomi Asia, 13(2), 101–110.
https://doi.org/10.32812/jibeka.v13i2.120
Sugiyono, S. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). ALFABETA, cv.
Syuhada, P., Muda, I., & Rujiman. (2020). Pengaruh Kinerja Keuangan dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Financial Distress Pada Perusahaan Property dan Real
Estate di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Dan Keuangan, 8(2), 319–
336.

Anda mungkin juga menyukai