Anda di halaman 1dari 21

MANAJEMEN LABA DALAM PRESPEKTIF ISLAM

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laporan keuangan adalah bentuk pertanggung jawaban dari manajer kepada para pemilik
perusahaan. Laporan keuangan perusahaan memberikan informasi penting mengenai kondisi
keuangan perusahaan dan merupakan cerminan kinerja dari manajemen perusahaan.
Informasi tersebut mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan,kebijakan akuntansi yang
digunakan dan arus kas perusahaan.

Agar berguna bagi para pemakai, maka kualitas laporan keuangan perlu dijaga. Dalam
PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Pelaporan Keuangan, disebutkan empat
karakteristik kualitatif laporan keuangan yang berkualitas. Empat karakteristik kualitatif
tersebut adalah dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat diperbandingkan.

Laporan keuangan perusahaan memegang peranan penting sebagai suatu alat informasi dari
manajemen kepada para pihak yang mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan
yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
ekonomi.Salah satu informasi yang sangat penting untuk pengambilan keputusan adalah laba.
Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No. 1, informasi laba
merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen.
Selain itu informasi laba juga membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings
power perusahaan di masa yang akan datang. Adanya kecenderungan lebih memperhatikan
laba ini disadari oleh manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan
informasi laba tersebut, sehingga mendorong timbulnya perilaku menyimpang, yang salah
satu bentuknya adalah earnings management.

Dewasa ini,manajemen laba menjadi sebuah fenomena umum yang banyak terjadi di
sejumlah perusahaan. Sistem manajemen laba dilakukan untuk mempengaruhi angka-angka
laba dapat dilakukan secara legal ataupun tidak legal. Jika melakukan Praktik legal dalam
manajemen laba, berarti usaha untuk mempengaruhi angka laba tidak melanggar aturan
pelaporan keuangan didalam Prinsip-Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU),
khususnya dalam Standar Akuntansi, yaitu dengan cara memanfaatkan peluang untuk
membuat estimasi akuntansi, melakukan perubahan metode akuntansi, dan menggeser
periode pendapatan atau biaya. Sedangkan manajemen laba yang dilakukan secara ilegal
(disebut juga dengan financial fraud), maka menejemen laba dilakukan dengan cara-cara
yang tidak diperbolehkan oleh Pedoman Akuntansi Berterima Umum (PABU), yaitu dengan
tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga akan menghasilkan laba pada nilai/tingkat
tertentu ataupun mungkan dengan melaporkan transaksi-transaksi pendapatan atau biaya
yang fiktif dengan cara menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi.
Kasus manajemen laba yang dilakukan dengan cara illegal (financial fraud) telah banyak
terjadi di sejumlah perusahaan, seperti Enron Corporation, Xerox Corporation, WordCom,
Walt Disney Company, PT Lippo Tbk,PT Kimia Farma Tbk dan lainnya.

Persoalan manajemen laba sebetulnya bukan hal yang baru dalam praktik pelaporan
keuangan (financial reporting) pada suatu entitas bisnis. Hal ini disebabkan oleh kejamnya
pasar kepada perusahaan yang tidak mampu memenuhitarget atau meleset dari yang
diperkirakan oleh pasar. Tekanan untuk membuat keuntungan ini kerap terasa dampaknya
pada perolehan pendapatan (income) bagi manajemen,sehingga manajemen melakukan
manajemen laba untuk mempengaruhi angka laba yang menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas laporan keuangan perusahaan bersangkutan. Penurunan kualitas laporan keuangan
merupakan dampak utama yang diakibatkan dari adanya manajemen laba, di samping
dampak-dampak lainnya. Suwardjono menyatakan bahwa kemajuan dan reputasi suatu
perusahaan harus ditunjukkan dengan kinerja yang sebenarnya bukan semata-mata dengan
permainan angka-angka. Untuk mengatasi fluktuasi laba tahunan, cara terbaik adalah
menerbitkan serangkaian laporan laba rugi tahunan seperti apa adanya dan bukan serangkaian
laporan yang diratakan (manajemen laba).

Penelitian ini membahas manajemen laba (earnings management) ditinjau dari sudut
pandang etika Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan etika Islam mengenai
manajemen laba. Saat ini,konsep materialitas menjangkau lebih besar dalam lingkungan
ekonomi dan bisnis dibandingkan konsep spiritual. Tidak dapat di pungkiri bahwa kekayaan
dan kekuasaan menjadi tolak ukur dari penilaian sukses atau tidaknya seorang pebisnis.
Sehingga banyak diantara mereka melupakan nilai moral dan etika dalam menjalankan bisnis
nya.

Islam berbeda dengan materialisme,islam tidak memisahkan ekonomi dengan etika. Muslim
baik individu maupun kelompok, diberika kebebasan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Tetapi tetap terikat dengan imannya,sehingga tetap berpegang pada moral
dan etika serta niali-nilai islam . Etika bisnis Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau
buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam
aktivitas bisnis baik dalam lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran
Islam. Sehingga penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan memberi
judul “EARNINGS MANAGEMENT DALAM PERSPEKTIF ETIKA ISLAM”.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian:
Apakah Earnings Management merupakan tindakan yang etis atau wajar dalam perspektif
etika Islam?

Tujuan Penelitian

enelitian ini bertujuan untuk : Menganalisis etis atau wajarnya Earnings Managementdalam
nilai etika Islam.

Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini adalah :

Manfaat teoritis

Dapat menambah dan memperluas pengethuan terkait penelitian,serta dapat menjadi


tambahan referensi mengenai hal-hal terkait ddenga penelitian .

Manfaat praktis

Dapat menjadi pengingat bagi para praktisi agar dapat menjalankan bisnis namun tetap
berpegang pada prinsip-prinsip islami.
Kajian literatur

Sirman Dahwal, “Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif)

Bahwa secara normative, etika bisnis menurut hukum Islam memperlihatkan adanya struktur
yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur
etika dalam agama Islam lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik
pada tataran niat atau ide hingga perilaku dan perangai. Nilai moral tersebut tercakup dalam
empat sifat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Serta etika bisnis menurut hukum
Islam harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip-prinsip kesatuan (unity),
keadilan/keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas/ikhtiar (free will),
pertanggungjawaban (responsibility) dan kebenaran (truth), kebajikan (wisdom) dan
kejujuran (fair). Kemudian harus memberikan visi bisnis masa depan yang bukan semata-
mata mencari keuntungan yang bersifat sesaat melainkan mencari keuntungan yang
mengandung hakikat baik yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat
manusia.

Azharsyah Ibrahim, “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap Laporan


Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal Media Syariah Vol. XII
No. 24, Juli 2010.

Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sudut pandang etika secara umum ada dua pendapat
yang bertolak belakang yaitu yang menganggap wajar; dan yang menganggap tidak etis.
Akan tetapi pendapat kedua lebih kuat. Praktik yang dilakukan pun memberi pengaruh yang
signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan karena mempengaruhi jumlah laba yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan, yang efeknya dapat mengelabui stakeholder terhadap
kondisi keuangan perusahaan tersebut.

yafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal HI Volume 9,


Nomor 2, Desember 2011.

Bahwa Islam mengakui motif laba, namun juga mengikat motif itu dengan syarat-syarat
moral, social, dan temperance (pembatasan diri). Sehingga kalau ajaran Islam itu
dilaksanakan, pemakaian motif laba seorang individu/perorangan, tidak sampai menjadikan
individualism yang ekstrem, yaitu manusia yang hanya ingat akan kepentingan diri tanpa
memperdulikan masyarakat. Sistem Ekonomi Islam jika diikuti dan dilaksanakan,
merupakan imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat.

Astri Faradila dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada Perbankan
Syariah” Jurnal RAK Vol 4 No. 1, Februari 2013.

Penelitian ini mencari dan menganalisis adanya praktik manajemen laba pada bank syarah,
menggunakan 11 BUS, dengan menggunakan Model Jones Modifikasi. Hasil menunjukkan
bahwa nilai accrual discretioner pada sampel 11 Bank Umum Syariah masih berkisar di
bawah angka 0 (nol), hal ini berarti bank syariah melakukan manajemen laba dengan cara
menurunkan laba.

Sri Astuti, Pengaruh Return On Assets (ROA), Net Interest Margin(Nim), LeverageDan
Ukuran Perusahaan Terhadap Praktek Manajemen Laba Di Bank Umum Syariah,
(Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013)

Penelitian yang dilakukan Sri Astuti tentang pengaruh return on assets (ROA), Net Interest
Margin(NIM), Leverage dan ukuran perusahaan terhadap praktek manajemen laba di
BANK UMUM SYARIAH, dengan hasil penelitian menunjukkan bahwaukuran perusahaan
dan leveragetidak berpengaruh, sedangkan return on assets (ROA) berpengaruh positif
signifikan dan net interest margin (NIM)berpengaruh negatif signifikanterhadap praktek
manajemen laba di Bank Umum Syariah. Hal ini ditunjukkan dengan probabilitas yang lebih
rendah dibanding dengan nilai signifikansinya.

Persamaan dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada tema penelitian, yaitu ada yang
membahas mengenai etika bisnis Islam dan juga ada yang membahas mengenai manajemen
laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya ialah pada penelitian
ini mengkaji fenomena manajemen laba yang kerap terjadi pada entitas bisnis syariah ditinjau
dari segi etika bisnis menurut Islam, karena sejauh ini telah banyak sekali penelitian yang
mengkaji perihal manajemen laba dan faktor-faktor yang mempengaruhinya namun tidak
dikaitkan secara langsung terhadap tataran atau nilai-nilai Islam. Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengaitkan secara langsung bagaimana etika bisnis menejemen laba
menurut Islam.

Pembahasan:

KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM

Etika

Menurut kajian ilmu etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno “ethikos” yang
mempunyai arti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah
laku manusia yang baik. Dalam perkembangannya etika sangat erat mempengaruhi
kehidupan manusia. Dengan menerapkan etika yang benar maka manusia mempunyai
orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Bisa
dikatakan bahwa etika sangat berperan bagi manusia untuk mengambil sikap dan tindakan
secara tepat dalam menjalani hidup.

Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang harus diambil diantara
sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah ditafsiri sebagai sesuatu yang
merampas kebebasan manusia dalam berbuat. Malah etika sangat erat kaitannya dengan
kebebasan namun kebebasan yang bertanggung jawab.

Rafik Issa Beekun, dalam Veithzal Rivai (2012) dalam Islam, istilah yang paling dekat
berhubungan dengan istilah etika dalam al- quran adalah khuluq. Al-quran juga
menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khair
(kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), „adl (kesetaraan dan keadilan), haqq
(kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan).
Tindakan yang terpuji disebut sebagai shalihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai
sayyi’at.

Johan (2009) Terdapat dua macam etika, yaitu:

Etika Deskriptif
Adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia,
secara apa yang dikejar setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya
etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai
dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya.

Etika Normatif

Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan
tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma
yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang
buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Etika Bisnis

Pengertian etika bisnis menurut Velasquez (2005) Etika bisnis merupakan studi yang
dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar
moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.

Definisi etika bisnis menurut Faisal (2005) ialah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar,
salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip moralitas. Atau dapat disebut juga prinsip
dan norma dimana para pelaku binis harus commit padanya dalam bertransaksi, berperilaku,
dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.

Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis
dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-
kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Etika Bisnis Islam


Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik
atau buruk, benar atau salah, serta halal atau haram dalam dunia bisnis berdasarkan pada
prinsip-prinsip moralitas Islam.

Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam ialah sebuah pemikiran atau refleksi
tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi
dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis Islam mengatur
tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau
tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam lingkup individu maupun
organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam.

Syed Nawaib (2003) Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk
bertindak dan bertanggungjawab karena kemahakuasaan Tuhan. Hanya saja kebebasan
manusia itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang terbatas. Dengan kebebasan tersebut
manusia mampu memiih antara yang baik dan jahat, benar dan salah, halal dan haram.

Bambang Trim (2008) Bisnis memberikan banyak dampak dalam kehidupan karena
merupakan pilar ekonomi. Karena itu, bisnis juga menjadi wilayah hukum yang diatur oleh
Islam dengan turunnya wahyu mengenai muamalah maupun hadits dan sunnah dari Nabi
Muhammad saw. Seperti Nabi saw pernah bersabda bahwa sembilan dari sepuluh pintu
rezeki terdapat dalam aktivitas dagang alias bisnis.

Persamaan antara etika bisnis Islam dengan Konvensional ialah pada etika bisnis
konvensional hubungannya hanya kepada sesama individu, selama tidak ada yang
mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan orang lain, maka hal itu dianggap sah-sah saja.
Lain halnya dengan pada sistem etika bisnis Islam, yang hubungannya tidak hanya kepada
sesama manusia, namun juga pada Allah. Segala perbuatannya ialah akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga dalam melakukan bisnis dan
transaksi akan berdampak pada kehidupannya di dunia dan akhirat.

Tujuan Bisnis Islam


Setiap manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, dan salah
satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan cara bekerja. Islam mewajibkan Muslim
untuk bekerja. Dan Allah melapangkan bumi dan seisinya dengan berbagai fasilitas yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencari rezeki, antara lain seperti dalm firman Allah
swt. QS Al-Mulk : 15

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu , maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”

Selanjutnya, firman-Nya dalam QS.Al-A‟raf : 10

Artinya: “Sesungguhya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami
adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan”

Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan atau mewajibkan aspek
kehalalan, baik dari segi perolehan maupun pendayagunaannya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bisnis Islam dapat diartikan sebagai berbagai macam bentuk aktivitas
bisnis yang tidak dibatasi, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendanan hartanya.

Di dalam Islam, manusia berhak dan diperbolehkan untuk bekerja dan mencari rezeki sesuka
hatinya, namun dibatasi pada kerangka yang boleh dan tidak boleh, seperti yang tidak
diperbolehkan itu diantaranya adalah penipuan, kecurangan, sumpah palsu, dan perbuatan
bathil lainnya. Dalam melakukan bisnis juga antara pihak yang bertransaksi harus mencapat
kesepakatan suka sama suka, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzalimi. Semua jalan
yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-merelakan
dan adil, adalah dibenarkan. Prinsip ini telah ditegaskan dalam QS. An-Nisa : 29-30

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian
ituadalah mudah bagi Allah.
Dapat diambil kesimpulan dalam ayat ini ialah perdagangan boleh dilangsungkan dengan dua
hal, yaitu perdagangan harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak. Tidak
boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak yang lain; tidak boleh saling
merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sebab, hal ini seolah menghisap
darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri, misalnya mencuri, menyuap,
berjudi, menipu,mengaburkan, mengelabui, riba, atau pekerjaan lain yang diperoleh dengan
jalan yang tidak dibenarkan.

Sedangkan manajemen laba ialah suatu tindakan yang banyak menuai kontroversi, dan dapat
dikatakan sebagai praktik manipulasi yang dapat merugikan pihak lainnya bila diteliti.
Jikalau seseorang memiliki kode etik dan prinsip-prinsip etika bisnis islam di dalam dirinya,
maka sejatinya ia takkan berbuat praktik yang dapat menyesatkan pengguna laporan
keuangan seperti manajemen laba.

KONSEP MANAJEMEN LABA

Laporan Keuangan

Laporan keuangan perusahaan memberikan informasi penting mengenai kondisi keuangan


perusahaan dan merupakan cerminan kinerja dari manajemen perusahaan. Informasi tersebut
mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan,kebijakan akuntansi yang digunakan dan arus
kas perusahaan. Laporan keuangan adalah bentuk pertanggung jawaban dari manajer kepada
para pemilik perusahaan.

Agar berguna bagi para pemakai, maka kualitas laporan keuangan perlu dijaga. Dalam
PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Pelaporan Keuangan, disebutkan empat
karakteristik kualitatif laporan keuangan yang berkualitas. Empat karakteristik kualitatif
tersebut adalah dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat diperbandingkan.

Henry (2009) Laporan keuangan ialah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan
sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Dapat dikatakan bahwa laporan keuangan adalah suatu
alat informasi yang menghubungkan perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan,
yang menunjukkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan dan kinerja perusahaan. Tujuan
khusus laporan keuangan adalah menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum mengenai posisi keuangan dan hasil usaha.

Agency Theory

Menurut Jensen dan Meckling ( 1976), konflik keagenan disebabkan oleh adanya pemisahan
kepemilikan dan pengendalian dalam suatu perusahaan. Teori keagenan (agency theory)
mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara agen dan principal. Manajer bertindak
sebagai agen yang diberikan wewenang oleh pemegang saham (principal). Manajer harus
mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemegang saham.

Agen maupun principal memiliki tujuan yang berbeda. Pemegang saham (principal)
menginginkan pengembalian yang tinggi atas invetasi yang mereka tanamkan pada
perusahaan sedangkan manajer mnginginkan bonus maksimal atas hasil pekerjaan mereka.
Pertentangan tujuan tersebut menimbulkan conflict of interest antara agen dan principal.
Manajer sebagai agen mendapat tekanan dari principal untuk menaikan kinerja perusahaan,
dan manajer berusaha untuk menaikan kinerja perusahaan dengan harapan mendapatkan
apresiasi dari principal (rationalization). Manajer memiliki informasi dan akses yang luas di
perusahaan oleh karena itu manajer dapat mengetahui kondisi perusahaan yang sebenarnya
apakah perusahaan dalam kondisi sehat atau tidak, dengan wewenangan yang dimilikinya
manajer mempunyai kesempatan (opportunity) untuk menaikan laba agar kinerja perusahaan
terlihat baik.

Asimetri ini nantinya akan memberikan informasi yang berbeda dengan yang sebenarnya
terjadi pada perusahaan. Agen selaku pemegang otoritas menjalankan perusahaan memiliki
informasi yang lebih banyak daripada shareholder dan stakeholder sehingga besar
kemungkinan manajemen akan memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk
memaksimalkan utilitasnya bagi dirinya. Prinsipal dapat membatasinya dengan
menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk
membatasi aktivitas agen yang menyimpang.

Manajemen Laba

Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut


"Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is
natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the
market value of the firm". Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manajemen laba
merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan
secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan.

Scott (1997) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistic manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi,kontak utang, dan political costs (Opportunistic Earnings
Management).

Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient
Earnings Management), di mana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper(1989) dalam
Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi
dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal,untuk memperoleh
beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari
proses tersebut).

Menurut Healy (1985), penggunaan angka akuntansi dalam kontrak bonus akan mendorong
manajer untuk menyesuaikan tingkat laba agar dapat memaksimalkan bonus yang diperoleh.

Menurut Healy dan Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
judgment dalam pelaporan keuangan dan melakukan manipulasi transaksi untuk mengubah
laporan keuangan, baik untuk menyesatkan beberapa stakeholders tentang kinerja
perusahaan atau untuk mempengaruhi kontrak yang bergantung pada angka-angka dalam
laporan keuangan. Manajemen laba merupakan tindakan manajemen untuk memilih
kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu untuk mempengaruhi laba yang akan terjadi.

Sugiri (1998) menjelaskan bahwa definisi earning management dibagi dalam dua definisi,
yaitu:
1. Definisi Sempit

Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Earning management dalam arti sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk
“bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings.

2. Definisi Luas

Earning management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba


yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab tanpa
mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit
tersebut.

Menurut Gunny (2005) manajemen laba dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu
fraudalent accounting, accrual earning management dan real earning management.
Fraudalent accounting merupakan pilihan akuntansi yang melanggar General Accepted
Accounting Principle (GAAP), sedangkan accrual earning management merupakan pilihan
GAAP yang menutupi kinerja ekonomi yang sebenarnya dan real earning management
terjadi ketika manajer melakukan tindakan yang menyimpang dari praktek yang sebenarnya
untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.

Jadi,dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan tindakan dari para manajer untuk
menaikan (menurunkan) laba pada suatu periode dengan menyajikan laporan keuangan dari
suatu perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya demi mencapai suatu tujuan tertentu.

Motivasi Manajemen Laba

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya manajemen laba tersebut telah banyak diuraikan
oleh para pakar dan telah banyak dilakukan penelitian empiris untuk mendukung adanya
korelasi antara faktor-faktor pendorong tersebut terhadap praktek manajemen laba, baik di
luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Menurut Watts and Zimmerman (1986), tiga
hipotesis PAT (Positive Accounting Theory) dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan
manajemen laba, yaitu sebagai berikut:

a. The Bonus Plan Hypothesis

Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih
memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga
dapat menaikkan laba saat ini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah, yaitu bogey (tingkat
laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di
bawah bogey tidak ada bonus yang diperoleh manajer. Sebaliknya, jika laba berada di atas
cap manajer tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey,
manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada
periode berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap. Jadi, hanya jika laba bersih
berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan.

b. The Debt to Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)

Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan
dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana
tambahan dari pihak kreditor, bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.

c. The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)

Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih
metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke
periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Biaya politik
muncul karena profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan
konsumen.

Menurut Scott (1997 ), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba
adalah sebagai berikut :

Rencana bonus (Bonus scheme)


Pemberian bonus seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada tahun
yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian rupa sehingga
dapat memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiliki informasi atas laba
bersih perusahaan yang sebenarnya akan bertindak oportunis untuk melakukan manajemen
laba dengan memaksimalkan laba saat ini ataupun menyimpannya untuk tahun-tahun yang
akan datang.

Dalam pemberian bonus berdasarkan atas laba ini, dikenal dua istilah, bogey (batas bawah)
yang terkadang juga disebut floor dancap (batas atas). Bogey adalah target laba minimum
yang menjadi syarat agar manajer dapat memeroleh bonus atas kinerjanya. Besarnya bonus
yang diperoleh tersebut akan meningkat secara proporsional seiring dengan meningkatnya
laba tahun yang bersangkutan, selama laba tersebut berada dalam batasan atau di
antara bogey dan cap. Sedangkan cap adalah target laba maksimum dimana jika laba tahun
yang bersangkutan melebihi target laba ini, manajer tidak akan mendapat tambahan bonus
secara proporsional atas selisih laba dengan target laba ini.

para manajer akan cenderung memaksimalkan bonusnya dengan memanipulasi data


keuangan dalam rangka meningkatkan laba, misalnya dengan memindahkan laba periode
mendatang ke periode saat ini, selama laba tersebut dalam batasan bogey dan cap. Jika laba
(sebelum direkayasa) berada di atas cap, maka manajer akan cenderung menurunkan laba
agar dapat menyimpannya dan menggunakannya untuk memeroleh tambahan bonus pada
tahun-tahun berikutnya. Jika laba (sebelum direkayasa) berada di bawah bogey, maka ada
dua kemungkinan manipulasi yang dilakukan manajer. Pertama, saat laba (sebelum
direkayasa) berada tidak terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer mungkin akan
meningkatkan laba untuk memeroleh bonus. Namun, jika laba (sebelum direkayasa) berada
terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer akan cenderung menurunkan laba agar dapat
menyimpannya untuk memeroleh tambahan bonus pada tahun-tahun berikutnya, selama laba
yang dilaporkan masih positif. Jika laba (sebelum direkayasa) berada di
antara bogey dan cap, manajer akan cenderung meningkatkan laba untuk mengoptimalkan
bonus yang mereka terima.
Kontrak utang jangka panjang (debt covenant)

Pelanggaran atas perjanjian utang secara potensial menghadapi berbagai pinalti keuangan,
seperti kemungkinan percepatan jatuh tempo utang, peningkatan dalam tingkat bunga,
penyerahan jaminan, ataupun negosiasi ulang masa utang. Dalam rangka menghindari risiko
berbagai pinalti tersebut, manajer akan cenderung menaikkan laba bersih untuk mengurangi
kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran atas perjanjian utang. Semakin dekat
suatu perusahaan ke pelanggaran hutang, manajemen akan cenderung memilih prosedur
akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan, yang
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran atas
perjanjian utang.

Motivasi politik (political motivation)

Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak akan cenderung menurunkan
labanya untuk mengurangi visibilitasnya, misalnya dengan menggunakan praktik atau
prosedur akuntansi, khususnya selama periode kemakmuran tinggi.

motivasi politis lain mungkin menjadi sebab perusahaan melakukan manajemen laba dengan
menurunkan laba bersih yang dilaporkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar perusahaan
tidak terlihat mencolok bagi masyarakat ataupun pemerintah sebagai regulator sehingga
mendorong munculnya peraturan yang lebih ketat. Motivasi ini terutama terjadi pada
perusahaan-perusahaan besar pada industri strategis.

Penawaran saham perdana (Initial Public Offering)

Pada penawaran saham perdana dan penawaran saham musiman, laporan keuangan
merupakan sumber informasi utama yang penting bagi calon investor. Manajer perusahaan
yang go public akan cenderung melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang
lebih tinggi atas saham perdananya dengan harapan mendapatkan respons positif dari
investor terhadap peramalan laba sebagai sebuah sinyal dari nilai perusahaan, begitu pula
dalam hal penawaran saham musiman.

Pergantian CEO (Chief Executive Officer)

Banyak motivasi yang muncul berkaitan dengan CEO. CEO yang mendekati masa pensiun
akan berusaha meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba. CEO yang kurang
berhasil memperbaiki kinerjanya, berusaha menghindari pemecatannya dengan
meningkatkan laba. CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya dan
membuka peluang agar laba periode mendatang meningkat, membebankan biaya periode
mendatang pada periode berjalan yang otomatis akan menurunkan laba periode berjalan. Hal-
hal tersebut pun dapat menjadi motivasi manajer untuk melakukan praktik-praktik
manajemen laba.

Motivasi perpajakan (taxation motivation)

Perpajakan merupakan salah satu motivasi mengapa perusahaan mengurangi laba yang
dilaporkan. Tujuannya adalah untuk dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar
(Boyton, 1992).

Mekanisme Manajemen laba

Menurut Scott (1997 ), pola manajemen laba dapat dilakukan sebagai beikut.

Taking a bath

Pola ini terjadinya pada periode sulit, kondisi buruk yang tidak menguntungkan dan tidak
dapat dihindari lagi pada periode tersebut, ataupun pada saat terjadi reorganisasi, termasuk
pengangkatan CEO baru. Manajer melaporkan kerugian, mungkin dalam jumlah yang besar,
sebagai akibat dari penghapusan aktiva dan/atau pembebanan biaya-biaya masa depan
sekaligus pada periode tersebut dengan harapan laba pada periode-periode mendatang dapat
meningkat karena berkurangnya beban periode mendatang.

Income minimization
Pola ini dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan cara seperti
pada pola taking a bath, yaitu mempercepat penghapusan atas barang modal dan aktiva tak
berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi
untuk biaya eksplorasi, dan mengakui pengeluaran-pengeluaran lain sebagai biaya periode
tersebut. Hal ini dilakukan pada saat profitabilitas tinggi dengan maksud agar tidak mendapat
perhatian secara politis sekaligus sebagai upaya menyimpan laba sehingga jika laba periode
mendatang mengalami penurunan drastis dapat diatasi dengan mengambil simpanan laba
periode berjalan.

Income maximization

Pola ini dilakukan pada saat laba mengalami penurunan. Kebalikan dari income
minimization, income maximization dilakukan dengan cara mengambil simpanan laba
periode sebelumnya ataupun menarik laba periode yang akan datang, misalnya dengan
menunda pembebanan biaya. Pola ini dilakukan atas dasar motivasi bonus, motivasi
penghindaran pelanggaran perjanjian utang, pada saat penawaran saham perdana dan
musiman, ataupun untuk menghindari turunnya harga saham secara drastis.

Income smoothing

Income smoothing dilakukan dengan meratakan laba antar periode yang dilaporkan untuk
tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor yang pada umumnya lebih menyukai laba
yang relatif stabil. Income smoothing bisa dikatakan pola perpaduan antara income
minimization dengan income maximization antar periode, dimana pada periode laba yang
tinggi, laba akan disimpan untuk digunakan pada periode laba yang rendah.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN MANAJEMEN LABA DALAM TINJAUANETIKA


BISNIS ISLAM

Terdapat perbedaan pemahaman etis dan tanggung jawab sosial antara satu orang dengan
orang lain dalam memahami suatu peristiwa tertentu. Perbedaan ini membuat apa yang
dihasilkan antara satu orang dengan orang lain berbeda meski kedua orang ini melakukan
atau menilai suatu hal yang sama. Alasan ini yang menjelaskan mengapa laporan keuangan
disebut sebagai cermin perilaku etis dan tanggung jawab sosial orang yang menyusun
informasi tersebut. Alasan ini pula yang menjadikan orang-orang memiliki penilaian yang
berbeda terhadap praktik manajemen laba.

Masalah utama dalam manajemen laba terdapat pada kecenderungan manusia untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingannya sendiri. Karena manusia cenderung
memanfaatkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki guna mendapatkan tujuannya
masing-masing. Teknik dan kebijakan akuntansi hanyalah alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Yang dapat membedakan apakah legal atau tidaknya, etis atau tidaknya, baik atau
buruknya sebuah praktik manajemen laba ialah motivasi dan perilaku manusia di
belakangnya.

Seorang manajer yang melakukan manajemen laba tidak selalu disebabkan oleh nilai-nilai
etika yang dipegangnya rendah. Manajemen laba bisa terjadi karena adanya tekanan
keuangan yang ditanggung oleh seorang manajer meskipun manajer tersebut memegang
teguh nilai etika. Kaitannya dengan kasus tersebut, mungkin manajer tersebut memahami
etika secara baik, namun etika yang ia pegang terkalahkan oleh tekanan keuangan. Akhirnya
seorang manajer melakukan manajemen laba meskipun apa yang ia lakukan tersebut
sebenarnya tidak sesuai jika dilihat dari kacamata etika (etika bisnis Islam).

Etika bisnis Islam merupakan suatu sistem etika yang menjunjung nilai -nilai
luhur,sedangkan manajemen laba banyak memberikan dampak negatif. Konsep tauhid dan
unity merupakan konsep yang menghindari tindakan yang tidak etis. Keadilan, equilibrium
menghendaki kehidupan yang seimbang, menghasilkan keteraturan, keamanan sosial,
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, dan tidak menimbulkan kerugian pada salah
satu pihak, tidak merugikan dan dirugikan. Sedangkan manajemen laba memberikan dampak
negatif pada perekonomian, mikro, makro, bahkan internasional. Adil juga diartikan sebagai
keterbebasannya dari unsur gharar dan kezaliman, namun justru dalam manajemen laba
timbul informasi yang tidak jelas, informasi yang unknowm to one party serta ada pihak-
pihak yang mendapatkan kezaliman dari pihak lain karena informasi yang tidak fair tadi.
Konsep free will and responsibility menghendaki kebebasan yang dimilki manusia digunakan
secara bertanggungjawab serta masih dalam koridor aturan Allah, namun kasus-kasus yang
terjadi menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki digunakan untuk memenuhi
kepentingan pribadi dan melakukan penipuan terhadap pihak lain (lihat PT Kimia Farma
Tbk., Enron, Xerox, dll).

Konsep ihsan, benevolence menghendaki kemanfaatan dunia dan akhirat, sedangkan


manajemen laba justru banyak menimbulkan ketidakbermanfaatan banyak pihak. Selain itu
manajemen laba yang diungkapkan mengurangi kualitas laporan keuangan, menurunkan
kualitas laba, dan timbulnya informasi yang tidak simetris dirasa tidak sesuai dengan shiddiq,
amanah, tabligh, fathonah yang mengandung arti transparan , akuntabilitas(accountability),
terbuka(disclosure), kredibilitas (credible),benar, jujur, andal (reliability), keadilan,
peduli,kesadaran,terpercaya,bertanggungjawab, setia kepada komitmen, sosialisasi,
internalisasi,komunikasi,informasi,kepemimpinan, keteladanan, transfer knowledge,
empati,konsisten,kompetensi (competence).

SOLUSI ETIKA BISNIS ISLAM TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA

Sehubungan dengan motivasi manajemen laba, hendaknya secara etika bisnis Islam,
manajemen laba yang dilakukan tidak semata-mata untuk meningkatkan keuntungan pribadi
manajemen, tidak untuk mendapatkan bonus yang besar semata tapi lebih bagaimana
mencerminkan realitas ekonomi perusahaan. Tidak untuk meminimalkan pajak yang harus
dibayar perusahaan, pajak hendaknya dibayarkan sesuai kewajiban pajak perusahaan yang
sebenarnya, hal ini justru bisa menciptakan ikon jujur pada perusahaan yang akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan itu sendiri. Sehubungan motivasi utang, menjaga perjanjian
utang hendaknya tidak dilakukan dengan cara manipulasi melalui manajemen laba namun
bagaimana perusahaan menjalankan operasinya secara riil. Begitu juga dengan motivasi
perusahaan dalam penjualan saham, tidak dengan mengelabuhi calon investor dengan
menyajikan kinerja yang seakan-akan bagus. Manajemen laba yang diharapkan memberikan
dampak positif terhadap perusahaan tidak dilakukan dengan motivasi-motivasi yang buruk
atau motivasi yang dapat menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Manajemen
laba yag positif dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat bagi semua stakeholder
dan dilakukan tanpa melanggar etika bisnis Islam yang tidak hanya menghendaki keuntungan
sebesar-besarnya namun bagaimana aktivitas bisnis juga memberikan berkah, dan
manajemen laba yang dilakukan seharusnya tidak secara sengaja mengurangi kualitas
laporan keuangan dan laba yang dilaporkan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:

Manajemen laba dalam tinjauan etika Islam harus dilakukan berdasarkan spirit Islam dengan
dilakukan melalui proses Islami dan memberikan dampak dan implikasi yang bermanfaat
bagi semua pihak. Spirit Islami dalam manajemen laba dilakukan dengan cara
mengorientasikan tujuan manajemen laba kepada utilitas yang tidak hanya bersifat materi
tetapi juga utilitas nonmateri, sehingga upaya maksimalisasi keuntungan sebagai satu-
satunya tujuan manajemen laba akan bertentangan dengan etika Islam.

Manajemen laba yang baik dapat dilakukan dengan cara manajemen operasi yang baik,
misalnya manajemen produksi, manajemen keuangan dan investasi,manajemen pemasaran,
atau manajemen bidang lainnya.

Tidak ada ketentuan mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan oleh syariat
Islam. Hanya saja menurut Fatwa DSN-MUI bagi Lembaga Keuangan Syariah, Income
Smoothing diperbolehkan dengan kondisi tertentu dengan motif menghindari penarikan dana
besar-besaran oleh nasabah, dan yang diperbolehkan juga berdasarkan transparansi dan atas
seizin nasabah DPK. Namun hal ini tidak berkaitan langsung dengan praktik bentuk
manajemen laba keseluruhan yang dilakukan. Sehingga tidak ada ketentuan mengenai bentuk
manajemen laba yang diperbolehkan.

Anda mungkin juga menyukai