Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Dasar MRI

1. Inti Atom Hidrogen Dasar Pencitraan MRI

Berdasarkan sifat magnetik yang dimiliki inti atom adalah

bahwa setiap inti atom terdiri dari dua tipe partikel yaitu proton dan

netron. Ini berarti sebuah inti yang mempunyai jumlah proton dan

netron genap akan mempunyai momen magnetik yang bernilai nol.

Sedangkan untuk inti dengan jumlah proton dan netron ganjil akan

mempunyai nilai momen magnetik yang dikenal dengan MR nuklei

aktif. Beberapa contoh dari MR nuklei aktif adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 MR nuklei aktif (Westbrook, 1999)

Atom No Atom
Hidrogen 1
Karbon 13
Nitrogen 15
Oksigen 17
Fluorin 19
Sodium 23
Phosphor 31

Alasan digunakannya atom hidrogen dalam pemeriksaan

MRI karena atom hidrogen yang merupakan 80% penyusunan

tubuh manusia adalah atom yang bermuatan tunggal yang

mempunyai nilai magnetisasi yang sangat kuat. Oleh karena itu

maka inti atom hidrogen mempunyai peranan yang sangat besar

pada MRI.

7
8

2. Presesi dan Frekuensi Larmor

Inti atom mengalami perputaran yang menyerupai gerakan

sebuah gasing. Gasing berputar dan bergoyang di atas sumbu

bidang vertikal yang bergerak seperti sebuah kerucut. Pergerakan ini

disebut dengan presesi.

(A) (B)
Gambar 2.1 Gerakan proton hidrogen, (A) Spin, (B) Presesi
(Hashemi, 1997)

Frekuensi presesi satu proton sebanding dengan kekuatan

medan magnet eksternal dan tergantung dari nilai gyromagnetic inti

atom. Walaupun dalam suatu medan magnet eksternal yang sama

(misalnya 1 Tesla) akan tetapi karena masing-masing atom

mempunyai gyromagnetic yang berbeda maka masing-masing atom

mempunyai frekuensi presesi yang berbeda pula. Sebaliknya

walaupun atomnya sama (misalnya atom hidrogen), namun bila

diletakkan dalam medan magnet eksternal dengan kuat medan

magnet yang berbeda maka akan menghasilkan frekuensi presesi

yang berbeda pula. Misalnya inti atom hidrogen akan mempunyai

frekuensi presesi sekitar 42,6 MHz pada medan magnet eksternal 1

Tesla dan 63,2 MHz pada 1,5 Tesla. Frekuensi presesi ini disebut

juga dengan frekuensi Larmor yang menjadi dasar terjadinya

resonansi dalam MRI (Westbrook, 1998).


9

3. Resonansi

Resonansi nuklei hidrogen terjadi bila hidrogen tersebut

dikenai pulsa radiofrekuensi (RF) yang memiliki frekuensi yang sama

dengan frekuensi Larmor atom hidrogen tersebut. Apabila tubuh

pasien diletakkan di dalam medan magnet eksternal yang sangat

kuat, maka Net Magnetization Vektor (NMV) inti-inti atom hidrogen

akan berlawanan arah dengan medan magnet luar. Kemudian bila

dikenai pulsa RF 90 o dengan frekuensi sama dengan frekuensi

Larmor atom hidrogen, maka inti-inti atom itu akan mengalami

perpindahan dari suatu tingkatan energi ke tingkat energi yang lain.

Proses perpindahan energi ini seringkali merubah arah dari Net

Magnetization Vector (NMV) sesuai dengan besarnya sudut pulsa

RF 90o. Akibatnya vektor dapat berubah arah dari arah longitudinal

atau paralel dengan arah medan magnet luar, ke arah transversal.

Pulsa RF ini harus mempunyai frekuensi tertentu sesuai dengan

frekuensi Larmor untuk dapat berperan dalam proses transisi dan

harus disesuaikan dengan kekuatan medan magnet eksternal. Agar

terjadi resonansi pada atom hidrogen pada magnet dengan kekuatan

1 Tesla (10.000 Gauss), maka frekuensi RF yang diperlukan

untuk atom hidrogen adalah 42,6 MHz sedang untuk magnet dengan

kekuatan 1,5 Tesla diperlukan 63,2 MHz (Westbrook, 1998).

4. Sinyal MRI

Pada saat magnetik moment dalam keadaan in phase

pada bidang transversal maka akan terjadi induksi dari medan

magnet terhadap koil penerima yang akan tercatat sebagai sinyal.


10

Magnitude sinyal tergantung dari kuat lemahnya magnetisasi pada

bidang transversal. Kuat dan lemahnya magnetisasi pada bidang

transversal ini akan berpengaruh terhadap sinyal gelap dan terang

pada MRI. Bila magnitude magnetisasi pada bidang transversal kuat

akan menghasilkan sinyal yang terang, dan bila magnitude

magnetisasi pada bidang transversal lemah akan menghasilkan

gambar yang gelap.

Bila pulsa RF dihentikan, magnetik moment pada bidang

transversal yang dalam keadaan in phase, akan berubah

menjadi dephase yang menyebabkan magnitude magnetisasi

pada bidang transversal akan menurun sehingga induksi pada koil

penerima juga akan semakin melemah yang dikenal dengan

sinyal Free Induction Decay (FID). Sinyal FID ini agar dapat

o
dimonitor dalam MRI diperlukan aplikasi pulsa RF 180 (Westbrook,

1998).

5. Fenomena T1 Recovery

Disebabkan oleh inti-inti atom yang memberikan energinya

pada lingkungan sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice

relaksasi. Energi yang dibebaskan pada sekeliling lattice

menyebabkan inti-inti atom untuk recoveri ke magnetisasi

longitudinal. Rate recoveri adalah proses eksponensial dengan waktu

yang konstan yang disebut T1. T1 adalah waktu pada saat 63%

magnetisasi longitudinal untuk recovery (Westbrook, 1998).


11

Gambar 2.2 Kurva karakteristik T1 (Westbrook, 1998)

6. T2 Decay

Disebabkan oleh pertukaran energi inti atom dengan atom

yang lain. Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan magnet dari

tiap-tiap inti atom berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali di

namakan spin-spin relaksasi dan menghasilkan decay atau hilangnya

magnetisasi transverse. Rate decay juga merupakan proses

eksponensial, sehingga waktu relaksasi T2 dari jaringan soft tissue

konstan. T2 adalah waktu pada saat 37% magnetisasi transverse

menghilang (Westbrook, 1998).

Gambar 2.3 Kurva Karakteristik T2 (Westbrook, 1998)


12

B. Kualitas Citra MRI (Westbrook, 1998)

Tiga karakteristik yang bisa digunakan untuk mendefinisikan

kualitas citra MRI adalah kontras citra, spatial resolusi dan signal to noise

ratio. Hasil dari citra harus dapat memperlihatkan anatomi yang tepat

sesuai dengan pembobotan yang dilakukan.

1. Noise dan Signal To Noise Ratio (SNR)

Noise adalah sinyal yang superposisi dengan citra (sinyal

yang tidak diinginkan. Ini disebabkan karena nilai pixel rata-rata lebih

mendominasi sinyal yang sebenarnya, sehingga pixel dapat lebih

terang atau gelap dari nilai rata-rata yang dindikasikan. Hal ini berarti

bahwa citra yang mempunyai noise yang cukup dapat menyamarkan

ketajaman dari suatu jaringan. Perbedaan intensitas sinyal yang kecil

pada jaringan, yang kemungkinan adalah hal yang penting, karena

adanya noise ini dapat menjadi tidak terlihat.

Ada dua jenis dari noise. Pertama, hal yang dapat diatur,

adalah noise yang berasal dari variasi sinyal yang terdapat pada

substansi pada tubuh. Ini disebabkan oleh pergerakan suhu pada

penghantar listrik jaringan, menyebabkan resistensi atau perlawanan,

sehingga menghasilkan background pada sinyal RF yang kembali.

Pada klinisnya, jaringan memiliki sinyal yang dominan dibanding

noise.

Yang kedua, noise yang disebabkan (ditimbulkan) oleh

sistem. Noise ini tidak dapat diatur dengan parameter yang ada.

Seperti pada koil receiver. Koil yang sedekat mungkin dengan obyek
13

atau organ yang akan diperiksa akan meningkatkan SNR secara

signifikan.

Signal to Noise Ratio (SNR merupakan hal yang paling

menjadi perhatian pada kualitas MRI. Istilah ini didefinisikan sebagai

perbandingan amplitudo dari sinyal yang diterima oleh koil dengan

amplitudo dari noise. Jika sinyal yang sebenarnya relatif lebih kuat

dari pada noise maka SNR akan meningkat, dan kualitas gambar

akan lebih baik. SNR dapat ditingkatkan dengan cara sebagai

berikut :

a. Densitas Proton daerah yang diperiksa, dimana semakin tinggi

densitas proton, semakin tinggi nilai SNR-nya.

b. Tebal irisan, dimana semakin besar ukuran ketebalan irisan atau

potongan akan menghasilkan voxel yang besar, maka semakin

tinggi pula nilai SNR.

c. TR, TE dan Flip Angle. TR yang panjang dapat meningkatkan

SNR dan TR yang pendek akan mengurangi nilai SNR, TE yang

panjang dapat mengurangi SNR dan TE yang pendek dapat

meningkatkan SNR, sedangkan Flip Angle yang rendah

menghasilkan SNR yang kecil.

d. NEX, dimana jika NEX bertambah maka jumlah data yang

tersimpan pada K-Space juga bertambah. Hubungan lebih rinci

yaitu NEX digandakan maka hanya meningkatkan SNR sebesar

1,4.

e. recieve Bandwidth, semakin kecil bandwith maka noise akan

berkurang
14

f. Penggunaan koil yang dipasang sedekat mungkin dengan obyek.

Sinyal berhubungan dengan kekuatan medan sistem operasional

dan meningkat sejalan dengan aktivitas perubahan energi pada atom

(inti hidrogen). Meningkatkan kekuatan medan 2 (dua kali, secara

teori akan mendobelkan SNR. Densitas proton relatif sama pada

jaringan lunak, pada suhu tertentu, sehingga faktor yang

mempengaruhi SNR pada jaringan adalah jumlah nuklei per voxel,

sehingga dengan meningkatkan ukuran voxel dapat meningkatkan

kekuatan sinyal.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi SNR. Ada faktor yang

memungkinkan untuk diatur, tetapi ada juga faktor yang tidak dapat

diatur, misalnya kekuatan medan magnet, homogenitas medan

magnet dan densitas proton (Westbrook, 1998).

Sedangkan parameter yang dapat mempengaruhi SNR yang

dapat diatur atau memilihnya adalah volume voxel, jenis sekuens

pulsa, NEX atau NSA, Jumlah phase-encoding (PE, jumlah sampel

data, bandwidth. Optimisasi dari parameter tersebut dapat dilakukan

untuk mendapatkan citra MRI yang lebih bagus. Dengan menaikkan

SNR juga akan memperlihatkan perbedaan yang kecil pada jaringan,

sehingga dapat meningkatkan contrast to noise pada gambar.


15

Gambar 2.4 Grafik yang menggambarkan pengaruh meningkatnya


SNR pada gambar. (A). SNR yang rendah. (B). SNR yang tinggi
(Woodward, 2001)

Menurut NessAiver, ada bebepa metode pengukuran SNR yaitu :

a. Metode 1 : dengan mengukur sinyal dan background

noise pada strip diluar phantom pada satu gambar

b. Metode 2 : dengan dua gambar, pertama, mengukur

sinyal didalam phantom dan mengukur noise dari sekuens

dengan flip angle 0.

Kedua metode tersebut menghasilkan hasil yang serupa. Jika ada

perbedaan besar pada hasil keduanya, mengindikasikan adanya

masalah pada hardware.


16

Gambar 2.5 Metode pengukuran SNR (Nessaiver, 1996)

Perhitungan SNR adalah dengan membagi sinyal rata-rata

dengan standar deviasi dari noise, menurut Michael Lipton, 2007,

persamaan untuk menghitung nilai SNR adalah sebagai berikut:

2. Contrast to Noise Ratio (CNR)

CNR adalah perbedaan SNR antara organ yang saling

berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan daerah

yang patologis dan daerah sehat. Dalam hal ini, CNR dapat

ditingkatkan dengan cara :

a. Menggunakan kontras media

b. Menggunakan pembobotan gambar T2

c. memilih magnetization transfer

d. Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral

presaturation.

3. Spatial Resolution

Spatial resolution adalah kemampuan untuk membedakan antara

dua titik secara terpisah dan jelas. Spatial resolution dikontrol oleh

ukuran voksel. Semakin kecil ukuran voksel resolusi akan semakin

baik. Spatial resolution dapat ditingkatkan dengan :

a. Irisan yang tipis

b. Matriks yang halus atau kecil

c. FOV kecil
17

d. Menggunakan rectanguler/asymetric FOV bila

memungkinkan

4. Scan time

Waktu scanning dipengaruhi oleh TR (time repetition), jumlah

phase encoding, dan NEX (Westbrook, 2008). Untuk mengurangi

scan time dilakukan dengan cara:

a. TR dibuat sependek mungkin

b. Matrix yang kasar

c. NEX sekecil mungkin.

C. Gradient Echo atau Gradient Recalled Echo (GRE)

1. Pengertian

Gradient echo adalah urutan pulsa yang menggunakan variasi

eksitasi pulsa RF sehingga sudut pergerakan yang dilalui NMV dapat

bermacam-macam (tidak hanya 90º). Sinyal FID yang dihasilkan

sangat dipengaruhi oleh ketidakhomogenan medan magnet, oleh

karena itu dephasing T2* terjadi. Selanjutnya, gradien akan melakukan

rephasing momen magnetik ini sehingga menghasilkan sinyal yang

disebut gradient echo (Westbrook, 1998)


18

Gambar 2.6 Pulsa Sekuens gradien echo


(Everty, 2004)

Keterangan gambar 2.6 :


1) Memilih irisan dengan GSS.
2) Transver pulse eksitasi.
3) Phase encode.
4) GRO aktiv, polaritas negative dan kemudian berubah menjadi
polaritas positif.
5) Shinyal shample selama GRO.

Gradient echo dikembangkan pada pertengahan tahun 1980

dengan tujuan mengurangi waktu pencitraan secara dramatis. Urutan

pulsa gradient echo dirancang menggunakan pulsa RF eksitasi alpha

flip, kemudian diikuti pembalikan gradient untuk mendapatkan formasi

echo. (Woodward, 1995)

2. Keuntungan dan Kerugian

Keuntungan tehnik gradient echo adalah kecepatan waktu

pencitraan yang tinggi, sangat sensitif terhadap flow, cairan di

persendian dan dapat dipergunakan untuk akuisisi volume.

(Westbrook, 1998)
19

Sedangkan kerugiannya SNR yang rendah pada akuisisi dua

dimensi, timbulnya artefak karena suseptibilitas magnet dan timbulnya

suara keras dari sistem gradient.

D. Parameter MRI (Everty, 2004)

1. TR ( Time Repitation )

Repetition Time (TR) Pengulangan Waktu adalah waktu antara

dua pulsa eksitasi, Meningkatkan TR memiliki efek sebagai berikut

pada gambar :

a. Menaikan SNR

b. Menambah slices number

c. Menurunkan pembobotan pada T1 weighted

d. Menambah waktu scan.

Gambar 2.7 Time repitation (Everty, 2004)

Keterangan Gambar 2.7 :


A. TR ditentukan dari RF 900 sampai dengan kembali ke posisi 900.
B. Kurva karakteristik dengan mengatur TR

2. TE ( Time Echo )
20

Time Echo adalah waktu antara pulsa eksitasi dan echo. Ini

menjadi parameter yang penting karena pilihan dari TE

mempengaruhi kontras gambar secara drastis pada semua sekuen,

Meningkatkan TE akan memiliki efek sebagai berikut :

a. T2 lebih kontras. Peningkatan TE memungkinkan untuk lebih

dephasing.

b. Kurang sinyal.

c. Kemungkinan pertukaran kontras.

Gambar 2.8 Time echo (Everty, 2004)

Keterangan Gambar 2.8 :


A. TE ditentukan dari pemberian RF 900, 1800, dan echo.
B. Kurva karakteristik dari pengaturan TE.

4. FA ( Flip angle = sudut balik )

FA adalah sudut yang ditempuh NMV pada waktu relaksasi. Flip

Angle menentukan seberapa banyak Net Magnetic Vector yang

berputar terhadap bidang XY. Dalam sequence SE dan IR sering kali

memiliki nilai FA 90°. Pada sequence GE, bagaimanapun juga, FA


21

bisa mempunyai nilai pada rentang 1°~90°. Nilai FA pada sequence

GE, disamping TE, berpengaruh pada kontras citra. (Everty, 2004)

Tabel 2.2. Pembobotan T1, T2* dan Proton Density (Westbrook,


1998)
Pembobotan FA Waktu akuisisi
Proton Density FA kecil, 5º-20º Beberapa detik
hingga menit
T1 FA besar, 750- Idem
900 / 70º-110º
T2* FA kecil, 5º-20º Idem

Nilai FA akan mempengaruhi kekontrasan gambar, dimana besar

kecilnya dapat dibagi menjadi:

a. Sudut balik kecil ( 5° – 20° )

Sudut balik kecil menghasilkan magnetisasi longitudinal besar

setelah aplikasi pulsa RF sehingga dapat mepersingkat waktu.

Sudut kecil juga menyebabkan magnetisasi transversal bernilai

kecil sehingga komponen steady state kecil pula. Keadaan seperti

ini akan mengurangi pembobotan T2*. Hasil gambar lebih

didominasi oleh pembobotan PD jika TR panjang dan TE pendek.

Oleh karena itu untuk memperoleh pembobotan T2* TR dan TE

harus panjang.

b. Sudut balik besar

Sudut balik besar 75°– 90°, menurut (Hashemi, 1997) dan 70°-

110°, menurut (Westbrook, 1999 ) akan menghasilkan perbedaan

T1 karakteristik dua jaringan dengan baik. Untuk memperoleh

pembobotan T1 maka perbedaan T1 jaringan harus maksimal dan

perbedaan T2 nya harus minimal. Pemulihan penuh (full recovery)


22

harus dihindari. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur parameter

FA besar, TR dan TE pendek.

c. Sudut balik sedang ( 30° – 60° )

Jika pada pembobotan T1 memerlukan FA yang besar, maka pada

pembobotan T2* diperoleh dengan peningkatan steady state. Oleh

karena itu faktor TR harus dipertimbangkan. Jika TR pendek ( + 10

milidetik) maka NMV tidak cukup untuk melakukan peluruhan

magnetisasi transversal sebelum pulsa berikutnya. Sehingga sisa

magnetisasi transversal berkontribusi terhadap sinyal berikutnya.

TR pendek meningkatkan pembobotan T2*, sedangkan TE yang

pendek akan mengurangi pembobotan T2*.

Tabel 2.3. Perubahan Parameter TR, TE, dan FA (Woodward, 1997)


Parameter Perubahan SNR CNR Resolusi Waktu
-
turun
- Tidak ada
TR Naik Naik Naik
naik efek
-
naik
-
naik Tidak ada Tidak
TE Naik Turun
- efek ada efek
turun
Tidak
-
Tidak ada beruba,
FA Naik Naik -
efek kecuali
turun
TR naik
naik
Tidak
Nacq Naik sebesar Naik Naik
ada efek

23

Gambar 2.9 Perbedan gambaran pada FA 100 dan FA 700 (Everty,


2004)

4. TI ( Time Inversion )
Time Inversion adalah waktu antara pulsa eksitasi 180° dan 90°.

TI hanya digunakan dalam sekuen IR dan jenis khusus pada sekuens

GE (TurboGE). TI mempunyai efek tertinggi pada kontras image

dalam sekuen IR. Menaikan TI akan menimbulkan efek-efek sebagai

berikut :

a. Kontras T1 berubah

b. Sinyal lebih bayak.


24

Gambar 2.10 Time inversion (Everty, 2004)

Keterangan gambar 2.10 :


A. TI waktu pemberian RF 1800 terlebih dahulu sebelum RF 900
diberikan.
B. Kurva karakteristik dari pengaturan TI.

5. Jumlah Akuisisi Data NA atau NEX

Gambar MRI direkonstruksi dari k-space, Untuk mendapatkan

citra yang baik dari k-space perlu di isi sepenuhnya dari atas ke

bawah, ketika k-space telah terisi sepenuh nya maka bias dikatakan

telah memperoleh satu akuisisi data. Dengan menaikkan NA maka

akan terjadi hal berikut :

a. Sinyal lebih (√NA)

b. berkurangnya noise.

c. Sedikit artefak karena sinyal rata-rata.

d. Meningkatkan waktu scan.

Gambar 2.11 NA atau NEX (Everty, 2004)

6. Matrix

Matrix aquisisi menentukan resolusi spasial citra image. Matrix

A memiliki dua sisi MXPE dan MXRO, matrix hanya memiliki dua

jenis ukuran yaitu 256 dan 512. Meningkatkan matrix akan

berpengaruh sebagai berikut :


25

a. sinyal rendah SNR turun

b. spatial resolusi tinggi

c. menambah waktu scan.

Gambar 2.12 Pemilihan matrix (Everty, 2004)

7. FOV (Field Of View)

FOV menentukan berapa banyak informasi akan kita lihat.

Semakin kecil FOV memperlihatkan kurang dari ukuran FOV yang

lebar. Ini adalah sangat secara langsung. Meningkatkan ukuran FOV

juga meningkat ukuran voxel. Menaikan FOV akan menyebabkan :

a. Menaikan SNR

b. Menambah informasi anatomi

c. Mengurangi resolusi

d. Mengurangi kemungkinan terjadinya aliasing.


26

Gambar 2.13 Field of view (Everty, 2004)

8. Slice thickness

Slice Thickness mempengaruhi jumlah sinyal, serta ketajaman

gambar, dengan mengubah ST dari 10 mm sampai 5 mm kita

kehilangan sinyal 50% yang artinya akan mengurangi nilai SNR dan

volume dari objek yang diperiksa akan dipersempit. Dengan demikian

resolusi pun akan naik dan waktu pemeriksaan akan bertambah. Tambahan

gambaran dengan SNR rendah mungkin masih berguna asalkan

menunjukan patologi.

Gambar 2.14 Slice thickness (Everty, 2004)

9. Reciver Bandwith
27

Sebuah bandwidth yang lebih kecil dapat diartikan dengan

pengambilan sampel yang lebih lambat, diperlukan waktu lebih lama

untuk mengumpulkan jumlah poin yang sama pada data.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan FOV yang lebih kecil perlu

menurunkan bandwidth atau meningkatkan kekuatan GRO (atau

keduanya). Walaupun memakai bandwith yang rendah maka nilai TE

minimum akan ikut naik.

Gambar 2.15 Menunjukkan adanya perbedaan SNR, TE dan


chemical shift dalam kaitannya dengan bandwidth rendah dan tinggi.
(Everty, 2004)

E. Struktur Karakteristik dari Brain

1. White Matter

White matter otak tersusun oleh serabut saraf myelin yang

menghubungkan daerah gray matter dan tersusun oleh unsur air

(70%), protein (10%) dan phospholipid (20%). White matter pada

telencephalon dan diencephalon tampak dalam irisan axial, sagital dan

coronal, kecuali bagian corpus callosum dan fornix. Dalam irisan axial

tampak centrum semiovale, cortex gray matter dan lateral ventricle.


28

Sedangkan pada irisan coronal, tampak jalur serabut white matter

mengarah keinferomedial menuju internal capsul dan corpus callosum.

Dalam irisan coronal ini juga, corpus callosum terpotong axial

sedangkan internal capsul dikelilingi oleh basal ganglia dan thalamus

dari gray matter. Corpus callosum juga tampak dalam irisan sagital.

Sedangkan jalur white matter dalam mid brain dan brain stem, tampak

sangat baik dalam irisan axial. (Fatimah, 2008)

2. Gray Matter

Cortex gray matter secara khas berupa konfigurasi gyrus dapat

dilihat dengan MRI dari berbagai irisan. Dalam bagian tengah otak

gray matter dikelilingi oleh white matter sehingga dapat dengan mudah

dikenali. Insula tampak jelas karena adanya kontras gambaran white

matter di bagian medial dan cairan cererebrospinal dalam fisura sylvii,

substantia nigra, red nucleus di bagian lateral mid brain dan dentate

nucleus cerebellum tampak dikelilingi oleh jalur white matter. Gray

matter tersusun dari air (80%), protein (10%) dan phospholipids (9%).

Secara umum karena white matter memiliki kandungan air yang lebih

sedikit maka waktu relaksasi T1 dan T2 akan lebih cepat dari pada

gray matter. Pada T1WI gray matter tampak gambaran intermediate

(abu-abu) yang lebih gelap dari white matter. Sedangkan pada T2WI

gray matter tampak lebih terang dari white matter (lihat pada gambar di

bawah ini).
29

Gambar 2.16 Citra MRI Brain sekuens, (A) T2WI dan (B) T1WI
(Mitchell,1999)

3. Cerebrospinal Fluid (CSF)

Cairan cerebrospinal (CSF) memiliki konsentrasi air yang tinggi

sehingga waktu relaksasi T1 dan T2 sangat panjang. Pada citra T1WI,

CSF akan tampak gelap dan pada citra T2WI akan tampak terang.

CSF yang berada dalam sulcus, cisterna maupun ventricle

memberikan kontras yang lebih baik pada organ-organ sekitarnya.

Hampir semua proses patologis pada otak akan meningkatkan

kandungan air pada sel dan area disekitarnya karena mengalami

edema. Karena waktu relaksasi T2 air yang panjang, maka keadaan

patologis tersebut akan tampak terang pada citra T2WI seperti

gambaran CSF, sehingga lebih mudah dikenali. Sedangkan pada

T1WI, edema akan tampak gelap hingga intermediate. (Bushong,1996)


30

F. Kerangka Teori

Kualitas Gambar MRI

Spatial Resolusi Scan Time


SNR T1W CNR
GE

Coil
RBw TI

ST
FA

FOV
TE

Matrix
TR

NEX

G. Hipotesis

Ha : Ada pengaruh variasi Flip Angle (FA) terhadap Signal To Noise

Ratio (SNR) pada sekuen T1 Weighted Gradient Echo

pemeriksaan MRI Brain irisan Axial.

Ho : Tidak ada pengaruh variasi Flip Angle (FA) terhadap Signal To

Noise Ratio (SNR) pada sekuen T1 Weighted Gradient Echo

pemeriksaan MRI Brain irisan Axial.

Anda mungkin juga menyukai