Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

a. Pengertian

Magnetik Resonasi Imaging (MRI) adalah suatu alat

kedokteran dibidang pemeriksaan radiodiagnostik yang menghasilkan

rekaman gambar potongan penampang anatomi tubuh dengan

menggunakan medan magnet berkekuatan 0.064 – 3 Tesla (1 Tesla =

10.000 gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hydrogen.

Komponen MRI terdiri dari magnet utama, Shim coil dan Gradient coil,

Radiofrequency (RF), dan computer.22

b. Prinsip Dasar MRI

Teori fisika MRI berdasar pada sifat magnetik yang dimiliki

oleh setiap inti atom. Inti atom terdiri dari dua partikel yaitu proton dan

netron. Ini berarti sebuah inti yang mempunyai jumlah proton dan

netron genap akan mempunyai momen magnetik yang bernilai nol.

Sedangkan untuk inti dengan jumlah proton dan netron ganjil akan

mempunyai nilai momen magnetik. Atom hidrogen yang mempunyai

80 % penyusun tubuh manusia adalah atom yang bermuatan tunggal

yang mempunyai nilai magnetisasi yang sangat kuat. Oleh karena itu

maka inti atom Hidrogen mempunyai peranan yang sangat besar pada

MRI. Prinsip dasar MR adalah inti atom yang bergetar dalam medan

15
16

magnet. Prinsip ini pertama kali ditemukan oleh Bloch dan Purcell pada

tahun 1946. Pada prinsip ini proton yang merupakan inti atom hidrogen,

bila atom hidrogen ini ditembak tegak lurus pada intinya didalam

medan magnet berfrekuensi tinggi secara periodik, maka proton

tersebut akan bergetar dan bergerak. Dan bila medan magnet ini

dimatikan, maka proton akan kembali ke posisi semula dan akan

menginduksi dalam satu kumparan untuk menghasilkan sinyal elektrik

yang lemah.Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik

tersebut ditangkap kemudian diproses dalam satu komputer akan dapat

disusun menjadi suatu gambar.10

c. Dasar Pencitraan MRI

Berdasarkan sifat magnetiknya inti atom terdiri dari proton dan

neutron. Pergerakan presisi pada sumbu (spinning) muatannya seperti

bumi, sehingga mempunyai kutub utara dan kutub selatan yang akan

menghasikan medan magnet eksternal. Spinning inilah yang

menghasilkan moment dipole magnetic disebut juga dengan spin.

Pemanfaatan atom hidrogen pada MRI karena hidrogen

merupakan jaringan yang mendominasi jaringan biologi tubuh.

Disamping itu hidrogen juga hanya mempunyai satu proton, tanpa

neutron oleh karena itu dapat dimungkinkan adanya momen dipole

magnetik yang kuat dan akan membuat fenomena resonansi.

Hal tersebut menyebabkan sinyal hidrogen yang dihasilkan

1000 kali lebih besar dari lainnya. Dalam keadaan normal, spinning
17

proton atom hidrogen adalah random sehingga orientasi dalam jaringan

tubuh manusia tidak menimbulkan nilai magnetisasi atau sama dengan

nol.

Gambar 2.1 Menunjukkan arah medan magnet atom hidrogen pada


saat berada di luar medan external dan pada saat diaplikasikan
medan magnet. 24
Jika spinning proton diletakkan dalam medan magnet eksternal

yang sangat kuat, akan dihasilkan suatu orientasi proton yang searah

(proton dengan kuat energi yang lebih rendah) dan proton yang

berlawanan arah orientasinya (proton dengan kuat energi lebih tinggi),

sehingga terbentuk suatu nilai magnetisasi longitudinal (searah sumbu

z).

Proton individual setiap inti tidak berorientasi pada sumbu z,

tapi pada dirinya sendiri sementara kecepatan frekuensi presisi proton

atom H tergantung pada kuat medan magnet eksternal semakin kuat

medan magnet eksternal, semakin cepat presisi proton.


18

1) Presisi dan Frekuensi Larmor

Kecepatan atau frekuensi presisi proton atom hidrogen

tergantung pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan

dan nilai gyromagnetis inti atom. Semakin besar kuat medan

magnet dan nilai gyromagnetic rasio maka semakin cepat presisi

proton. Frekuensi presisi atom dapat diketahui melalui sebuah

persamaan yang disebut persamaan Larmor :

ω=γB
dimana ω = frekuensi Larmor proton (MHz)
γ = koefisien gyromagnetic (MHz/T)
B = medan magnet eksternal (T)

Gambar 2.2 Gerakan Presesi Proton dan Resonansi oleh RF


Besarnya frekuensi larmor atom hydrogen adalah 42,6
MHz/tesla.25
19

Frekuensi presisi disebut juga dengan frekuensi Larmor

yang merupakan dasar terjadinya resonansi pada MRI.

2) Resonansi

Resonansi terjadi apabila pada obyek diberikan gangguan

berupa gelombang radio yang mempunyai frekuensi yang sama

dengan frekuensi presisi Larmor obyek. Untuk keperluan klinis,

pembentukan citra didasarkan pada pemanfaatan atom hydrogen

dalam tubuh dengan kata lain agar fenomena resonansi terjadi

gelombang radio (RF) yang diberikan harus mempunyai frekuensi

Larmor yang sama dengan frekuensi larmor hidrogen, yaitu

42,57MHz. Pengaplikasian gelombang radio (RF) yang

menyebabkan resonansi terjadi eksitasi sebagai hasil dari

fenomena resonansi Nett Magnetitation Vector (NMV) menjadi

terotasi dari bidang longitudinal kebidang transversal xy.

Magnetisasi pada bidang ini dikenal dengan magnetisasi

transversal. Mxy sudut perotasi dikenal dengan flip angle.

Gambar 2.3 Arah magnetisasi longitudinal dan transversal.26


20

Hasil resonansi adalah adanya perubahan arah NMV pada

magnetisasi longitudinal kearah magnetisasi transversal dan

magnetic moment pada magnetisasi transversal dalam keadaan in

phase.

3) Sinyal MRI

Jika receiver coil ditempatkan pada area medan magnet

yang bergerak (NMV pada transverse plane) maka voltage akan

terinduksi dalam receiver coil. Voltage ini merupakan MR signal,

bila masih banyak NMV akan menimbulkan signal yang kuat dan

tampak terang pada gambar. Bila NMV lemah akan sedikit

menimbulkan signal MR dan akan tampak gelap pada gambar.Pada

saat pulsa RF dihentikan magnetic moment pada bidang transversal

yang dalam keadaan in phase akan berubah menjadi de phase yang

menyebabkan magnitude magnetisasi pada bidang transversal akan

menurun sehingga induksi pada koil penerima juga akan semakin

melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID).

Sinyal FID ini agar dapat terdeteksi diperlukan aplikasi pulsa RF

sebesar 1800.
21

Gambar 2.4 Sinyal FID dengan aplikasi pulsa RF 180.24

d. Komponen Sistem MRI

Komponen utama dalam sistem MRI, yaitu magnet utama, koil

gradien, koil pemancar, koil penerima dan komputer.

Gambar 2.5 Komponen utama yang adapada system MRI.27

1) Magnet Utama

Magnet utama digunakan untuk memproduksi medan

magnet yang besar, yang mampu menginduksi jaringan atau obyek

sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek.

Beberapa jenis magnet utama adalah:

a) Permanen Magnet.

Magnet dibuat dari bahan-bahan ferromagnetic. Umum

digunakan sebagai pembuat magnet permanen adalah


22

campuran antara alumunium, nikel, dan kobalt, disebut juga

alnico. Permanen magnet tidak memerlukan listrik,

kadangkala dirancang dengan model terbuka dan sangat umum

digunakan pada pasien-pasien klaustrophobia, obesitas,

ataupun pasien dengan pemeriksaan musculoskeletal dan

teknik intervensional yang sulit dilakukan dengan MRI yang

tertutup.10

b) Resistive Magnet.

Magnet jenis ini dibangkitkan dengan memberikan

arus listrik melalui kumparan. Resistive magnet lebih ringan

dibandingkan dengan permanen magnet, sementara kuat

medan magnet maksimum yang dihasilkan kurang dari 0,3

Tesla.

c) Super Conducting magnet.

Super conducting magnet menggunakan bahan yang

terbuat dari miobium dan titanium. Bahan tersebut akan

menjadi superconductive pada temperatur 4K (Kelvin) dengan

memberikan arus listrik melalui kumparan-kumparan. Untuk

menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur yang

sangat dingin. Biasanya digunakan helium cair yang disebut

juga dengan cryogenbath. Kuat medan magnet yang dihasilkan

berkisar antara 0,5-4 Tesla untuk pencitraan diagnostik.


23

2) Koil Gradien

Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan

magnet yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan

magnet utama. Gradien digunakan untuk memvariasikan medan

pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus

antara ketiganya, yaitu bidang x, y, dan z. Fungsi yang berbeda-

beda sesuai dengan irisan yang dipilih (axial, sagital, atau koronal),

gradien ini digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang yaitu

Gradien pemilihan irisan (slice selection) yaitu Gz, Gradien

pemilihan fase (phase encode), yaitu Gy dan Gradien pemilihan

frekuensi (frequency encode), yaitu Gx.

Gambar 2.6 Kumparan gradien pada MRI menunjukkan tiga


kumparan gradien yang saling tegak lurus pada bidang x, y, dan
z.28

3) Koil Radiofrekuensi

Pada pulsa RF mengubah energi proton sehingga dapat

menyebabkan transisi dan pemberian frekuensi radio dengan waktu

yang singat disebut pulsa frekuensi radio yang merupakan


24

gelombang elektromagnetik, pulsa RF yang diberikan sama dengan

frekuensi Larmor yang dimiliki proton. Pada keadaan tersebut

proton yang sedang berpresisi akan mendapat tambahan energi.

Dalam pemberian frekuensi radio proton pada tingkat energi

rendah akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi,

peristiwa ini disebut resonansi magnetik. Pulsa RF yang

menggerakkan magnetisasi (M) dari posisi setimbang ke bidang

transversal disebut pulsa 90º. Pulsa RF yang menggerakkan M

dengan arah yang berlawanan dengan arah asalnya dinamakan

180º. Kedua pulsa tersebut merupakan pulsa yang mempunyai

persamaan yang sangat besar dan penting dalam metode MRI.

Beberapa masalah RF dalam gambar MRI tidak disebabkan oleh

gangguan luar melainkan oleh masaah dengan komponen internal

dari sistem seperti kerusakan dari pemancar RF, sambungan listrik

yang buruk, atau kegagalan sirkit terkait dengan kumparan

penerima.

Fungsi utama dari coil radiofrekuensi adalah untuk

mengeksitasi magnetisasi dan untuk menerima sinyal dari

magnetisasi yang tereksitasi. Kedua fungsi ini dapat dilakukan

dengan menggunakan receiver coil (penerima) dan transmitter

(pemancar) yang berbeda. Namun sebagai alternatif, coil yang

sama dapat digunakan sebagai receiver dan transmitter sekaligus.


25

Pemilihan coil radiofrekuensi ini bervariasi sesuai dengan objek

yang ingin diperiksa.

Koil yang umum digunakan, yaitu koil penerima dan koil

pemancar - penerima (transceiver coil). Dengan medan magnet

yang tinggi akan lebih efisien menggunakan koil transceiver jika

dibandingkan dengan penggunaan koil penerima saja, karena koil

transceiver hanya membutuhkan energi Radiofrekuensi (RF) yang

kecil untuk menghasilkan magnetisasi transversal, sehingga SAR

(Specific Absorbtion Rate) terhadap pasien dapat dikurangi.

Koil pemancar berfungsi memancarkan gelombang radio

pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil

penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari system

setelah eksitasi terjadi.

Menurut Kuperman (2000), coil RF yang diperlukan

bervariasi tergantung tujuan dari pemeriksaan MRI, misalnya

pencitraan otak diperlukan coil yang menghasilkan radiofrekuensi

yang homogen, akan tetapi jika keseragaman radiofrekuensi

tersebut tidak begitu diperlukan seperti pemeriksan columna

vertebralis menggunakan surface coil / coil permukaan yang

tersedia dalam berbgai ukuran dan bentuk geometri.

Beberapa jenis koil diantaranya :


26

a) Koil Volume

Koil volume dapat digunakan secara eksklusif sebagai

koil penerima atau kombinasi koil pengirim atau penerima.

Koil volume ditandai dengan kualitas sinyal homogen. Tipe

lain dari volume koil kumparan tubuh, yang merupakan bagian

integral dari sebuah scanne MR dan biasanya terletak di dalam

lubang magnet itu sendiri.

Koil volume mengelilingi keseluruhan anatomi dan

juga bisa digunakan untuk pemeriksaan kepala, ekstremitas

atau body imaging. Koil kepala dan koil body yang merupakan

konfigurasi bird-cage digunakan untuk pencitraan yang relatif

berarea luas dan menghasilkan SNR yang seragam dari

keseluruhan volume imaging. Meskipun koil volume dapat

menghasilkan keseragaman eksitasi pada area yang luas tetapi

karena ukurannya yang besar koil ini pada umumnya

menghasilkan citr dengan SNR yang rendah dibandingkan

dengan tipe koil yang lain(10).

b) Surface coil

Surface Coil ditempatkan dekat dengan objek (sumber

sinyal). Keuntungan dari coil jenis ini adalah memiliki SNR

yang tinggi untuk pencitraan struktur superficial. Circular

surface coil adalah salah satu contoh dari surface coil. Medan

radiofrekuensi yang dihasilkan surface coil tidak homogen,


27

sehingga digunakan sebagai coil penerima. Kedua,

sensitifitasnya cepat menurun dengan semakin jauh jaraknya

dari pusat coil. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa suface

coil digunakan hanya untuk pencitraan yang coilnya

ditempatkan didekat daerah yang akan dicitrakan dan coil yang

kecil memberikan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan

dengan coil yang besar.

Pada surface coil yang berbentuk lingkaran

jangkauannya hanya sekeliling area coil. Apabila

menggunakan coil radiofrekuensi yang berukuran besar area

penerimaan sinyal luas dan lebih mudah memposisikan coil ke

pasien sehingga pasien lebih nyaman. Akan tetapi aliasing

akan meningkat dengan menggunakan FOV yang kecil, SNR

dan spasial resolusi rendah. Biasanya digunakan dalam

pemeriksaan dada dan perut. Sebaliknya, pada penggunaan

coil radiofrekuensi kecil artefak aliasing akan berkurang, SNR

dan spasial resolusi meningkat. Kekurangannya jika

menggunakan coil ini adalah daerah penerimaan sinyal kecil,

posisi coil terhadap pasien kurang nyaman. Digunakan pada

pemeriksaan pergelangan tangan, tulang belakang dan lutut.

Misalnya coil RF yang digunakan pada pemeriksaan MRI

cervical.10
28

c) Koil Linier

Merupakan coil yang sensitif terhadap perubahan arah

medan magnet atau perubahan medan magnet sepanjang axis.

d) Koil Kuadrat

Merupakan coil yang sensitif terhadap perubahan

medan magnet sepanjang axis ganda.

e) Phase Array Coil

Disebut juga multi coil yang dapat mencakup objek

lebih besar tanpa menimbulkan noise. Phased Array Coil

terdiri dari beberapa coil permukaan. Coil permukaan

mempunya SNR tertinggi. Dengan menggabungkan 4 atau 6

coil permukaan adalah mungkin untuk menciptakan coil

dnegan daerah sensitive yang besar. Pada coil phased array,

masing-masing coil tidak saling berhubungan sehingga SNR

tidak terganggu. Kondisi tersebut sangat menguntungkan

dalam mencakup objek yang lebih panjang, seperti pada kasus-

kasus multilevel metastasis, karena tidak perlu memanipulasi

pasien terlalu banyak sehingga penderita tidak merasa

kesakitan.

e. Sistem Komputer

Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian besar

operasional peralatan MRI. Dengan kelengkapan perangkat lunaknya,

computer mampu melakukan tugas-tugas mulai dari input data,


29

pemilihan protokol pemeriksaan, pemilihan irisan, mengontrol seluruh

sistem, pengolahan data, penyimpanan data, pengolahan citra, display

citra sampai rekam data.

Gambar 2.7 Instrumentasi Dasar MRI.31

f. Pulse Sequence

Beberapa pulse sequence yang sering digunakan antara lain :

1) Spin Echo

Spin echo merupakan pulse sequence yang paling sering

digunakan pada pemeriksaan MRI . Sequence ini dilakukan dengan

mengaplikasikan pulsa 90° eksitasi, diikuti dengan aplikasi pulsa

180° rephasing (Basic sequence: 90 – phase encode – 180 –

frekwensi encode) yang dikenal dengan single echo yang

menghasilkan T1. Pembobotan T1 pada sequence ini sangat baik

untuk mendemonstrasikan anatomi, karena memiliki SNR yang

tinggi, serta mendemonstrasikan kelainan patologis dengan

enhancement media kontras, sementara dalam pembobotan T2

dapat dengan jelas dilihat adanya kelainan-kelainan berupa oedema


30

dan pembuluh darah. Hal tersebut disebabkan karena komponen air

dalam jaringan tersebut meningkat sehingga akan memberikan

sinyal yang tinggi dan mudah diidentifikasi.32

2) Fast Spin Echo

Fast spin echo dilakukan untuk mempercepat waktu scan,

dengan mengaplikasikan beberapa kali pulsa 180° rephasing dalam

satu TR. Pengaplikasian beberapa pulsa 180° dalam satu TR

menghasilkan rangkaian echo yang disebut dengan ETL (Echo

Train Length) atau dalam istilah lain adalah TSE (Turbo Spin

Echo). Disamping keunggulan, sequence FSE juga mempunyai

keterbatasan, diantaranya berkurangnya jumlah slices, adanya

Contrast Overaging (K-space overaging) sehingga CSF (Cerebro

Spinal Fluid) menjadi lebih terang pada pembobotan proton

density dan multiple sclerosis serta lesi-lesi kecil tidak dapat dilihat

serta adanya bluring akibat pemilihan TSE yang digunakan.

Semakin besar TSE, pembobotan T2 akan semakin tinggi. Hal

tersebut menyebabkan bluring. Kelemahan-kelemahan tersebut

dapat ditanggulangi dengan pengurangan TSE. Keterbatasan lain

dalam sequence FSE adalah diperlukannya TR yang jauh lebih

panjang dibandingkan dengan konvensional spin echo.

Pengaplikasian pulsa 180° memerlukan waktu. Kadang untuk

pemenuhan kebutuhan jumlah irisan akan meningkatkan nilai TR,


(10)
sebagai akibatnya pembobotan menjadi berkurang . Fast spin
31

echo sequence sangat bermanfaat pada hampir semua pemeriksaan,

sebagaimana pada spin echo, motion artefak dapat

diminimalisasikan. Adanya rephrasing pulse dapat membuat

distorsi pada obyek metalik dapat dihilangkan.32

b. Parameter-parameter MRI

Parameter yang mempengaruhi kontras citra MRI yang

dikategorikan menjadi dua kategori umum, yaitu parameter

inherensi jaringan dan parameter teknis. Parameter inherensi

jaringan adalah jumlah densitas proton relative dan inherensi waktu

relaksasi T1 dan T2 merupakan faktor yang mempengaruhi sinyal,

sedangkan parameter teknis adalah pemilihan nilai parameter teknis

yang ditentukan oleh radiographer antara lain flip angle, tebal irisan

(Slice thickness), FOV (field of view), ukuran matriks, NSA (number

of signal averages).23

Pemilihan nilai parameter teknis yang tepat akan sangat

membantu dalam menghasilkan kontras citra yang baik karena

parameter inherensi jaringan dapat dimaksimalkan. Hal ini disebut

conspicuity T1 dan T2 sebagai contoh adalah pada perbedaan waktu

relaksasi densitas proton antara tumor dan white matter pada organ

kepala akan dapat dihasilkan kontras citra yang dapat

dimaksimalkan oleh manipulasi parameter teknis yang digunakan

pada saat diagnosa, sementara ketidaksesuaian dalam penggunaan


32

nilai parameter teknis akan menghasilkan efek hasil citra yang sulit

untuk dideteksi perbedaan lesi dengan jaringan normal sekitarnya .

Inversion Recovery (IR) merupakan pulsa sekuens dimana

urutan pulsanya dimulai dengan inverse RF 180 yang dilanjutkan

dengan pulsa RF 90 eksitasi lalu pulsa 180 rephase. Tujuan

digunakan IR adalah untuk menghasilkan citra dengan

pembobotan T1WI kontras tinggi. Lamanya waktu dari aplikasi

pulsa RF 180 dengan aplikasi pulsa RF 90 dikenal dengan waktu

inversi atau Time Inversion (TI). Kemudian diaplikasikan kembali

pulsa RF 180 agar sinyal tersebut dapat dicatat dan diolah menjadi

citra MRI sehingga dihasilkan citra Spin Echo Inversion

Recovery. 32

1) Parameter intrinsik T1 dan T2 (10)

Secara umum dapat dikatakan semakin besar densitas

proton akan semakin besar intensitas image yang dihasilkan.

Kembalinya NMV ke posisi semula sebelum diberikan pulsa RF

yang berikutnya dapat menunjukan komposisi dari jaringan. Ini

dapat dikarakteristikkan sebagai dua waktu konstan yang

berhubungan atau disebut dengan proses spin llattice relaxion

(T1) dan proses spin relaxion (T2).

Spin lattice relaxation (T1) adalah waktu yang

diperlukan untuk kembalinya 63% magnetisasi longitudinal

setelah pulse 90º. Pada jaringan lunak tubuh, nilai T1 akan


33

pendek yaitu sekitar 100 ms untuk jaringan lemak dan panjang

yaitu sekitar 200 ms untuk cairan dalam tubuh misalnya Liquor

Cerebro Spinal (LCS). Secara umum dikatakan bahwa untuk

pembobotan T1, jaringan dengan nilai T1 pendek akan tampak

terang sedangkan dengan T1 panjang akan tampak gelap,

walaupun sebenarnya intensitas piksel pada MRI adalah suatu

fungsi yang komplek pada waktu relaxasi T1, dimana gelap dan

terangnya piksel tergantung dari pulse sekuens yang

dipergunakan.

Gambar 2.8 Kurva karakteristik T1.33

T2 atau proses spin relaxation adalah waktu yang

diperlukan oleh magnetisasi transversal untuk meluruh 37% dari

nilai awalnya. pada umumnya waktu T2 lebih singkat daripada

T1, untuk intensitas pikselnya, secara umum pada pembobotan

T2, jaringan dengan T2 panjang akan tampak terang dan jaringan

dengan T2 pendek akan tampak gelap.


34

Gambar 2.9 Kurva Karakteristik T2.33


a) Time Repetition (TR)

TR adalah rentang waktu yang diperlukan untuk

terjadinya longitudinal magnetization setelah pemancaran

RF. TR akan menentukan banyak sedikitnya relaksasi yang

terjadi antara aplikasi pulsa yang satu dengan aplikasi pulsa

berikutnya. TR yang digunakan dalam MRI bisa dipilih oleh

mulai dari 200 ms hingga lebih dari 2000 ms tergantung

pembobotan yang dipilih. T1 kontras baik didapatkan

dengan nilai TR yang pendek karena cukup untuk

longitudinal recovery sedikit jaringan. TR panjang akan

menghasilkan nilai kontras yang baik pada T2 Weighted.

b) Time Echo (TE)

TE adalah rentang waktu yang dimulai dari aplikasi

RF hingga munculnya echo. Echo dihasilkan dari aplikasi

pulsa RF 90 sampai dengan sinyal terkuat dari aplikasi

rephrase pulsa RF 180 saat menginduksi koil. Time Echo

menentukan seberapa banyak decay paa magnetisasi


35

transversal sebelum sinyal tersebut dibaca. Waktu TE

mempengaruhi waktu relaksasi T2 yang terjadi. Waktu TE

dapat diubah-ubah oleh radiographer tergantung

pembobotan citra yang dikehendaki. Waktu TE berkisar

antara 10 ms hingga lebih dari 80 ms.

c) Number of Signal Average (NSA)

Number of Signal Average (NSA) atau Number of

Exitation (NEX) adalah nilai yang menunjukkan jumlah

pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan

amplitude dan fase encoding yang sama. NEX mengontrol

sejumlah data yang masing-masing disimpan dalam lajur K

space. Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise). K

space merupakan area frekuensi spasial simana sinyal

berupan frekuensi yang berasal dari pasien akan disimpan.10

NEX adalah ara yang umum digunakan dalam

meningkatkan Signal to Noise Ratio (SNR). Peningkatan

NEX berarti akan menambah sinyal secara linier sehingga

menambah NEX sebesar 2 kali hanya akan menambah SNR

sebesar √2 kali, atau SNR = √NEX.

d) Slice Thickness

Slice thickness adalah tingkat ketebalan

irisan/potongan. Besarnya slice thickness akan

mempengaruhi resolusi spasial gambar yang dihasilkan.


36

Slice thickness yang tipis akan menghasilkan resolusi yang

baik, namun pada besar FOV yang sama akan membutuhkan

waktu akuisisi data yang lebih lama.

e) Slice Interval

Slice interval adalah besarnya jarak antar slice. Slice

interval dibutuhkan untuk menghindari cross contamination.

Adanya overlapping RF antar slice dapat menurunkan SNR.

Slice interval yang digunakan adalah 20% dari slice

thickness.

f) Field of View (FOV)

Field of View adalah luas anatomi yang akan

dijadikan gambaran. FOV adalah diameter area obyek yang

akan direkonstruksi ke dalam matriks. Besarnya FOV

berpengaruh pada scan time kualitas pencitraan. FOV yang

besar akan menghasilkan pixel yang besar, meningkatkan

FOV berarti menurunkan resolusi spasial. 34

g) Flip Angle (FA)

Filp Angle (FA) adalah sudut yang ditempuh Net

Magnetization Vektor (NMV) pada wkatu relaksasi. Nilai

FA akan mempengaruhi kekontrasan gambar, dimana besar

kecilnya dapat dibagi menjadi :

(1) Sudut balik kecil (5°-30°)


37

Sudut balik kecil menghasilkan magnetisasi

longitudinal besar setelah aplikasi pulsa RF sehingga

dapat mempersingkat waktu. Sudut kecil juga

menyebabkan magnetisasi transversal bernilai kecil

sehingga komponen steady state kecil pula. Keadaan

seperti ini akan mengurangi pembobota T2*. Hasil

gambar lebih didominasi oleh pembobotan Proton

Density (PD) jika TR panjang dan TE pendek. Oleh

karena itu untuk memperoleh pembobotan T2GE TR dan

TE harus panjang.

(2) Sudut balik besar

Sudut balik besar (75°-90°), menurut Hashemi

(1997), dan (70°-110°) menurut Westbrook (1998) akan

menhasilkan perbedaan T1 karakteristik dua jaringan

dengan baik. Untuk memperoleh pembobotan T1 maka

perbedaan T1 jaringan harus maksimal dan perbedaan T2

nya harus minimal. Pemulihan penuh (recovery) harus

dihindari. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur

parameter FA besar, TR dan TE pendek.

(3) Sudut balik sedang (30°-60°)

Jika pada pembobotan T1 memerlukan FA yang

besar, maka pada pembobotan T2* diperoleh dengan

peningkatan steady state. Oleh karena itu factor TR harus


38

dipertimbangkan. Jika TR pendek (±10 milisekon) maka

NMV tidak cukup untuk melakukan peluruhan

magnetisasi transversal sebelum pulsa berikutnya.

Sehingga sisa magnetisasi transversal berkontribusi

terhadap sinyal berikutnya. TR pendek meningkatkan

pembobotan T2GE, sedangkan TE yang pendek akan

mengurangi pembobotan T2GE.

h) Matriks

Matriks adalah jumlah elemen gambar (pixel) dalam

satu FOV. Ukuran matriks ditentukan oleh dua sisi gambar,

yaitu sisi yang berhubungan dengan jumlah sampel frekuensi

yang di ambil, dan sisi yang berhubungan dengan fase

encoding yang dibentuk. Misalnya matriks 256 x 192, ini

berarti bahwa ada 256 sampel frekuensi yang diambil selama

readout sebanyak 192 fase encoding yang dibentuk.

Banyaknya sampel frekuensi dan fase encoding menetukan

banyaknya pixel dalam FOV, sedangkan matriks halus

berarti memiliki pixel dalam FOV.10

i) Bandwitdh

Bandwitdh adalah rentang frekuensi yang digunakan

untuk akuisisi data. Lebar bandwitdh ditentukan oleh

kekuatan gradient readout dan data sampling rate yang

secara khusus berpengaruh pada system MRI. Bandwitdh


39

tidak mempengaruhi kekuatan sinyal, tetapi berhubungan

erat dengan banyaknya derau. Jadi SNR dapat dipengaruhi

oleh bandwidth.

g. Kualitas Citra MRI

Kualitas pencitraan MRI sangat mempengaruhi kemampuan

untuk memberikan gambaran kontras pada jaringan lunak. Kualitas ini

sangat dipengaruhi oleh faktor alat dan faktor struktur atom penyusun

tubuh. Dalam memilih parameter diupayakan agar gambar yang

dihasilkan optimal dalam scanning yang singkat.

Optimisasi pada pemeriksaan MRI sangat perlu diketahui oleh

seorang radiographer dengan cara mengetahui factor apa saja uang

mempengaruhi kualitas gambar. Kualitas gambar MRI yang optimal

ditentukan oleh tiga karakteristik, yaitu contrast to noise ratio (CNR),

spasial resolusi dan signal to noise ratio (SNR).

1) Signal to Noise Ratio (SNR)

Signal to Noise Ratio (SNR) merupakan hal yang paling

menjadi perhatian pada kualitas MRI. Istilah ini didefinisikan

sebagai perbandingan amplitude dari sinyal yang diterima oleh koil

dengan amplitude dari noise. Jika sinyal yang sebenarnya relative

lebih kuat daripada noise maka SNR akan meningkat dan kualitas

gambar akan lebih baik.


40

2) Contrast to Noise Ratio (CNR)

CNR adalah perbedaan SNR antara organ yang saling

berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan antara

daerah patologis dengan daerah yang sehat. Dalam hal ini, CNR

dapat ditingkatkan dengan cara :

a) Menggunakan media kontras.

b) Menggunakan pembobotan gambar T2.

c) Memilih magnetization transfer.

d) Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan sprectral pre-

saturation.

3) Spatial Resolution

Besarnya matriks akuisisi mengontrol resolusi citra dan

waktu pencitraan (scan time). Spatial Resolution dapat diperoleh

dengan menentukan jumlah pixel atau satuan pembentuk gambar

yang ditampilkan dalam FOV.

Spatial Resolution dapat dilukiskan sebagai berikut,

penggunaan pixel-pixel yang mewakili besarnya frekuensi encoding

mengontrol waktu scan. Resolusi, dalam arah frekuensi encoding

terdapat pada window width yang membaca data jaringan yang

dipilih. Misalnya, banyaknya data yang diambil menentukan resolusi

vertical.

Resolution juga berhubungan dengan SNR. Umumnya,

resolusi citra sebanding dengan pemilihan ukuran jaringan dalam


41

arah frekuensi encoding. Ukuran matriks pada sumbu frekuensi

dapat dipilih dari 256 sampai 64 satuan. Ada banyak cara untuk

mempertinggi spatial resolution, salah satnya dengan menggunakan

pixel-pixel kecil yang memiliki suatu matriks pencitraan yang besar,

namun harga SNR akan berkurang. Hal ini karena besarnya sinyal

yang sama harus diditribusikan keseluruh pixel yang banyak

jumlahnya, sehingga setiap pixel menerima sinyal yang kecil. Makin

besar ukuran matriks maka waktu pengambilan citranya semakin

lama.

2. Patologi Soft Tissue Tumor

a. Pengertian

Soft Tissue Tumor (STT) atau Soft Tissue Sarcomas (STS)

merupakan salah satu jenis sarkoma, yaitu kelompok tumor heterogen

yang berasal dari mesoderm embrio, dan merupakan tumor ganas yang

jarang terjadi(17). Sarkoma yang paling sering terjadi adalah sarkoma

tulang (osteosarkoma dan kondrosarkoma), sarkoma Ewing, tumor

neuroektodermal, dan STT. Pada tahun 2004, sekitar 8.680 kasus baru

STT didiagnosis di Amerika Serikat dan diperkirakan terdapat 3.660

kematian akibat STT.19

STT dapat ditemukan di mana saja pada tubuh, sebagian besar

banyak ditemukan pada ekstremitas (59%), batang tubuh (19%),

retroperitoneum (15%) dan kepala serta leher (9%)(19). Saat ini, lebih

dari 50 jenis histologis telah teridentifikasi, yang paling sering terjadi


42

adalah Malignant Fibrous Histiocytoma (28%), leiomyosarkoma

(12%), liposarkoma (15%), sarkoma sinovial (10%), dan Malignant

Peripheral Nerve Sheath Tumor (6%).1

Gambar 2.10. Distribusi lokasi Soft Tissue Tumor berdasarkan


Subtipe Histologi.21

b. Gejala Klinis

Keluhan yang paling sering timbul dan rasakan oleh pasien

adalah terabanya suatu massa. Tumor yang terdapat pada ekstremitas

bawah biasanya berukuran kecil ketika ditemukan, sedangkan tumor

yang ditemukan di ekstremitas atas dan retroperitoneum biasanya

ukurannya cukup besar. STT tumbuh secara sentrifugal dan menekan

jaringan normal disekitarnya, tapi jarang melakukan infiltrasi pada

tulang atau jaringan neurovaskular. Sedangkan STT di daerah

retroperitoneal biasanya merupakan massa besar asimtomatik, jarang

menunjukkan gejala obstruktif gastrointestinal atau gejala neurologis

yang berhubungan dengan kompresi lumbal atau saraf daerah panggul.1


43

c. Pencitraan Radiologi

Pencitraan radiologi sangat penting dilakukan untuk

menentukan ukuran tumor, staging, panduan biopsi, dan membantu

dalam diagnosis. Pencitraan juga penting dalam memantau atau

mengevaluasi perubahan tumor setelah pengobatan, terutama setelah

kemoterapi pra-operasi, kemoterapi pra-radiasi dan dalam mendeteksi

kekambuhan setelah reseksi bedah.22

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah modalitas

pencitraan pilihan untuk Extremity-STT/ESTT. MRI secara akurat

dapat menggambarkan kelompok otot, membedakan tulang, struktur

pembuluh darah, dan tumor. Selain itu, MRI dapat membantu

membedakan lesi jinak seperti lipoma, hemangioma, schwannoma,

neurofibroma, dan myxomas intramuskular dengan lesi ganas. Sebelum

memulai kemoterapi, penyangatan kontras T1-weighted MRI dapat

digunakan untuk menentukan keberadaan dan tingkat nekrosis intra-

tumoral. MRI juga berguna untuk mengidentifikasi kekambuhan tumor

setelah operasi; MRI biasanya dilakukan tiga bulan setelah operasi.22

3. Teknik Pemeriksaan MRI Ekstremitas Soft Tissue Tumor

a. Persiapan Alat

1) Koil RF

2) Pads dan straps untuk mengurangi mobilisasi pasien

3) Ear plug untuk mengurangi kebisingan36

4) Selimut
44

b. Persiapan Pasien

1) Pasien dipersilahkan untuk ke toilet sebelum pemeriksaan di

lakukan

2) Pasien diberikan penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan yang

akan dilakukan dan menandatangani inform consent yang

disediakan

3) Pasien berganti baju yang sudah di sediakan

4) Melepaskan benda-benda logam yang dapat mengganggu

gambaran dan dapat tertarik dalam magnet.

c. Posisi Pasien

1) Pasien tidur terlentang di atas meja pemeriksaan.

2) Pasang ear plug pada pasien untuk mengurangi kebisingan

3) Pasang selimut dan pastikan pasien merasa nyaman untuk waktu

yang lama pada posisinya

4) Pasang pads dan strap untuk mengurangi pergerakan pasien

d. Posisi Objek

1) Objek di letakkan tepat pada pertengahan koil RF.

2) Pasang pengait koil dengan benar.

3) Posisikan pertengahan koil pada isocenter gantry MRI.


45

e. Parameter Pemeriksaan37

Tabel 2.1 Parameter Pemeriksaan

Sequen Matrix Slice Intersection TR TE Flip


thickness gap (mm) (msec) (msec) Angle
(mm) (degress)
T2W- 256 x 5 2 4730 153 -
TSE 256
T1W- 254 x 5 2 616 11 -
TSE 384
T1W- 254 x 5 2 616 11 -
TSE with 384
contrast
T1W- 128 x 5 2 6.06 4.30 30
gradient 100
echo

4. Penilaian Soft Tissue Tumor pada Citra MRI

Terdapat beberapa aspek dalam menganalisis Soft Tissue Tumor

pada citra MRI. Pertama, kualitas gambar yang diperoleh dengan setiap

sequen pencitraan MRI (T1-weighted, T2-weighted) yang telah didapat

(nondiagnostic, nondiagnostic dengan 25% -50% artefak, terdiagnosa

dengan 25% artefak, atau terdiagnosa tanpa artefak substansial). Kedua,

lokasi lesi (leher, dada, perut, panggul, paha, betis, kaki, lengan, atau

tangan), lapisan jaringan (superfisial atau subkutan, deep intramuskuler,

deep intermuskular, atau campuran (tumor sebagian subkutan dan sebagian

intramuskuler) , dan ukuran lesi (dimensi linear terbesar dari tumor,

dikategorikan sebagai, >5 cm atau ≥5 cm). Aspek berikut diamati pada

gambar yang non enhancement (T1-weighted dan T2-weighted): intensitas

sinyal (hypointense, isointense, atau hyperintense dibandingkan dengan

otot di sekitarnya), intensitas sinyal heterogenitas (homogen, <25%


46

heterogen, 25% - 75% heterogen, atau >75% heterogen), dan margin tumor

(tidak jelas [>75% margin tidak jelas], margin campuran [10% -25%

margin tidak jelas], atau didefinisikan dengan baik [>90% margin jelas]).
14

5. Matrix Laboratory (Matlab)

Matrix Laboratory (Matlab) adalah suatu program untuk analisis

dan komputasi numerik dan merupakan suatu bahasa pemrograman

matematika lanjutan yang dibentuk dengan dasar pemikiran menggunakan

sifat dan bentuk matriks. Matlab merupakan interface untuk koleksi rutin-

rutin numeric dari proyek linpack dan eispack, dan dikembangkan

menggunkan bahasa fortran.

6. Intensity Transfer Function (ITF)

Pengolahan citra adalah suatu proses yang dilakukan pada suatu citra

dengan masukan berupa citra dan keluaran berupa citra yang telah

ditingkatkan kualitasnya sehingga mudah untuk diinterpretasikan atau

dilakukan analisis lebih lanjut. Salah satu cakupan pengolahan citra adalah

image enhancement (perbaikan kualitas citra). Perbaikan kualitas citra

(image enhancement) merupakan salah satu proses awal dalam pengolahan

citra (image preprocessing). Perbaikan kualitasdiperlukan karena

seringkali citra yang dijadikan objek pembahasan mempunyai kualitas

yang buruk, misalnya citra mengalami derau (noise) padasaat pengiriman

melalui saluran transmisi, citra terlalu terang/gelap, citra kurangtajam,

kabur, dan sebagainya. Melalui operasi pemrosesan awal inilah kualitas


47

citra diperbaiki sehingga citra dapat digunakan untuk aplikasi lebih

lanjut,misalnya untuk aplikasi pengenalan (recognition) objek di dalam

citra.13

Pada citra medis hasil MRI, tidak semua nilai keabuan cocok

ditampilkan secara langsung. Cara yang paling mudah untuk memperoleh

rentang nilai keabuan untuk ditampilkan adalah transformasi linier dari

nilai keabuan sehingga nilai keabuan yang maksimum dan nilai keabuan

yang minimum dari citra sesuai dengan jangkauan data dari piksel untuk

ditampilkan (35). Ketika melakukan pergeseran nilai abu-abu dari suatu citra

dapat mempengaruhi kecerahan dan kontras citra tersebut. Untuk

memvisualisasikan hubungan antara nilai-nilai abuabu di gambar asli dan

gambar yang sudah dimodifikasi menggunakan Intensity Transfer Function

(ITF) atau fungsi transfer intensitas yang hanya merupakan kurva yang

menyampaikan kisaran skala abu-abu. Pada dasarnya ITF hanya mengubah

dari suatu rentang skala keabuan ke rentang skala keabuan yang lain.35

Metode yang digunakan untuk mentransformasi intensitas citra adalah

dengan suatu transformasi linier yang diberikan pada formula berikut:

p−p min
𝑝́ = X ωtarget + ρ́min (1)
p max−p min

ṕ = intensitas piksel hasil transformasi

ρ́min = intensitas piksel hasil transformasi minimum

p = intensitas piksel citra asli

pmin = nilai keabuan minimum dalam citra asli

pmax = nilai keabuan maksimum dalam citra asli


48

ωtarget = jangkauan target ruang intensitas

Pada persamaan (1) diberikan formula untuk mentransformasi

intensitas citra. ω merupakan jangkauan target ruang intensitas yang dituju.

Nilai intensitas piksel hasil transformasi sangat dipengaruhi oleh nilai

intensitas maksimum dan nilai intensitas minimum dari citra asli.


49

B. Kerangka Teori

Pemeriksaan MRI Ekstremitas Pengolahan Data


Soft Tissue Tumor

Penyimpanan
Data
Magnet Utama Koil Gradien Koil RF Sistem Komputer
Pengolahan Citra
Abdomen Coil

Display Citra
Intensitas Sinyal
Parameter
Matrix Laboratory
(Matlab) : TR
Citra MRI
Intensity Transfer TE
Function (ITF)
NEX
Informasi Citra MRI Ekstremitas dengan Kualitas Citra
klinis soft tissue tumor
Signal to Noise Ratio Slice
Intensitas tumor (SNR) thickness

Contrast to Noise FOV


Margin Tumor
Ratio (CNR)

Ukuran Tumor
Spatial Resolution

Struktur Scan time


Vaskularisasi

Gambar 2.11 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai