Anda di halaman 1dari 18

PENATALAKSANAAN PEMERIKSAAN MRI BRAIN PADA

KASUS SPACE OCCUPYING LESION(SOL) DENGAN


MENGGUNAKAN MRI BRIVO GE 0,3 T
DI RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
A. Tinjauan Teori
1. SOL ( Space Occupying Lesion )
a. Pengertian
SOL ( Space Occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah tentang adanya
lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang
dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio cerebri, hematoma, inark, abses
otak dan tumor intra cranial ( Long C, 1996 :130 ).
Tumor otak adalah sebuah lesi yang terletak pada intra cranial yang men empati
ruang di dalam tengkorak. (http://www.tumor_otak/2008.com).
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak / ganas yang
tumbuh di otak, meningen dan tengkorak (Lombardo, Mary Caster 2005 : 1183 )
Neoplasma atau tumor adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel
yang tumbuh secara terus menerus secara tidak terbatas , tidak terkoordinasi
dengan jaringan sekitar dan tidak berguna bagi tubuh (Tim FKUI : 1996)
Tumor otak diklasifikasikan menjadi :
1. Tumor yang berkembang di dalam atau diatas saraf cranial ; ex.: neuroma
acustic
2. Tumor yang muncul dari pembungkus otak (meningen) ; ex. : meningioma
3. Tumor yang berasal dari jaringan otak ; ex. : glioma
4. Lesi metastatic yang berasal dari bagian tubuh lainnya.
Berdasarkan jenis tumor dapat dibedakan menjadi :
1. Jinak ( benigna )
Ex : acoustic neuroma, meningioma, pituitary adenoma
2. Ganas ( maligna )
Ex : astro cytoma, oligodendiglioma
Berdasarkan lokasinya, tumor dapat dibedakan menjadi ;
1. Tumor intra dural
a. Tumor intra cranial extra cerebral, ex: neuroma, tumor hipofise,
meningioma
b. Tumor intracranial intra serebral, ex: glioma , astrocytoma, ganglioma
2. Tumor ekstra dural
Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, paru, ginjal dan
lambung.
b. Manifestasi Klinis
Peningkatan tekanan intracranial yang menyebabkan ;
1. Nyeri kepala
Nyeri kepala yang bersifat dalam, terus-menerus, dan kadang bersifat hebat
sekali, biasanya paling hebat pada pagi harridan diperberat saat beraktivitas
yang menyebabkan peningkatan TIK, yaitu batuk, membungkuk dan mengejan.
2. Nausea/ mual dan muntah , akibat rangsangan pada medulla oblongata
3. Papil edema
4. Gangguan keseimbangan/ jalan sempoyongan
c. Pemeriksaan Diagnostik

1.
2.
3.
4.

Foto rontgen cranium posisi AP dan Lateral


EEG
CT Scan
MRI

2. Dasar-dasar MRI
a. Cara Kerja MRI
Magnetic Resonance Imejing (MRI) adalah gambaran potongan penampang tubuh
yang diambil dengan menggunakan daya medan magnet kuat yang mengelilingi tubuh.
Cara kerja MRI struktur atom hidrogen (H) dalam tubuh manusia saat di luar medan
magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian
saat diletakkan dalam alat MRI, maka atom H sejajar dengan arah medan magnet .

Gambar 2.1 Cara kerja MRI (J. Hornak, 2004)


Demikian juga arah spinning sejajar dengan arah medan magnet. Saat diberikan
frekuensi radio, maka atom H7 mengabsorpsi energi dari frekuensi radio tersebut.
Akibatnya dengan bertambahnya energi, atom H mengalami pembelokan, sedangkan
besarnya pembelokan arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio frekuensi
yang diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan sejajar kembali
dengan arah medan magnet . Pada saat kembali inilah, atom H akan memancarkan
energi yang dimilikinya. Kemudian energi yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan
detektor

yang

merekonstruksi

khusus

dan

diperkuat.

citra berdasarkan sinyal

(www.wikipedia.com)
b. Instrument dasar MRI

Selanjutnya
yang

komputer

diperoleh

mengolah

dari berbagai

dan
irisan.

MRI memiliki instrument-instrument yang merupakan hardware pada MRI yang


terdiri dari :
1)

Magnet Utama
Magnet utama pada MRI digunakan untuk membangkitkan medan magnet
berkekuatan besar yang dapat menginduksi jaringan tubuh sehingga menimbulkan
magnetisasi. Magnet utama terdiri dari magnet permanen, magnet resistif dan magnet
super conducting.

2)

Gradien Koil
Gradien koil merupakan magnet resistif yang memiliki fungsi berbeda. Gradient
koil digunakan untuk membangkitkan medan magnet gardien yang berfungsi untuk
menentukkan irisan, pengkodean frekuensi, dan pengkodean fase. Terdapat tiga
medan yang saling tegak lurus, yaitu bidang X,Y, dan Z. Peranannya akan saling
bergantian berkaitan dengan potongan yang dipilih, aksial,sagital, koronal. Secara
sumbu koordinat ruang (x,y,z) kumparan gradien dibagi tiga, yaitu : kumparan gradien
pemilihan irisan (slice) disebut Gz, kumparan gradien pemilihan fase disebut Gy, dan
kumparan gradien pemilihan frekuensi (pembacaan) disebut Gx. Gradien ini biasanya
digunakan untuk pemilihan slice / irisan dan prosesing citra.

3)

Koil Radiofrekuensi
Koil radiofrekuensi terdiri dari koil pemancar (transceiver) dan koil penerima
(receiver). Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti
yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi, sedangkan koil penerima berfungsi untuk
menerima signal output dari sistem setelah proses eksitasi terjadi Sedangkan koil
penerima digunakan untuk meningkatkan sensifisitas citra (Woordward, 1997).

4)

Sistem Komputer
Sistem komputer pada MRI digunakan sebagai pengendali dari sebagian besar
peralatan MRI. Dengan kemampuan piranti lunaknya yang besar komputer dapat
melakukan banyak tugas-tugas, diantaranya adalah operator input, pemilihan
potongan, kontrol sistem gradien, kontrol signal RF dan lain-lain. Komputer berfungsi
untuk merekontruksi signal radio menjadi citra MRI.

c. Prinsip Fisika MRI


1)

Atom Hidrogen dan Presesi


Teori fisika menyatakan atom terdiri atas inti atom dan orbit electron. Inti atom
terdiri dari proton yang bermuatan positif dan neutron yang tidak memiliki muatan
sedangkan electron bermuatan negatif. Nomor atom menunjukan jumlah proton di
dalam inti atom sedangkan masa atom menunjukan jumlah proton dan neutron dalam
inti atom. Dalam MRI, bagian atom yang dimanfaatkan adalah proton, terutama
proton pada atom hidrogen (H). Atom hidrogen terdapat pada sebagian besar tubuh
dan memiliki moment dipole magnetic yang kuat. Selain itu, atom hidrogen memiliki
nomor atom dan masa atom 1 (proton ganjil dan tanpa neutron). Hal-hal di atas
menyebabkan signal atom hidrogen lebih besar dari atom lainnya, sehingga atom

hidrogen digunakan sebagai sumber signal dalam pencitraan MRI (Westbrook dan
Kaut 1999).
Magnetic field

Proton

Gambar 2.2 Presesi atom Hidrogen ( Gould, 1998)


Perputaran atom (hidrogen) pada sumbunya disebut presesi. Dalam keadaan
tidak dipengaruhi medan magnet luar, gerakan presesi atom-atom hidrogen acak,
sehingga tidak dihasilkan medan magnet. Apabila atom tersebut berada di medan
magnet luar (B0), gerakan presesi atom akan terpengaruh, baik besar ataupun
arahnya. Begitu juga apabila dikenai radio frekuensi (RF). Bila hal ini terjadi berulangulang dan signal elektrik tersebut ditangkap kemudian diproses dalam satu komputer
akan dapat disusun menjadi suatu gambar (Westbrook dan Kaut, 1999).
2)

Resonansi
Spin ditembak oleh sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan
frekuensi Larmor, maka resonansi akan terjadi. Resonansi atom Hidrogen (H) terjadi
bila atom H tersebut dikenai pulsa Radiofrekuensi (RF) yg memiliki frekuensi yang
sama dengan frekuensi Larmor atom hidrogen tersebut. Apabila tubuh pasien
diletakkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat maka Net Magnetitaion
Vektor (NMV) inti-inti atom H akan berlawanan arah dengan medan magnet luar.
Kemudian blia dikenai pulsa RF 900 dengan frekuensi sama dengan frekuensi Larmor
atom H, maka inti-inti atom itu akan mengalami perpindahan dari suatu tingkatan
energi ke tingkat energi lain. Proses perpindahan energi ini seringkali merupakan
arah dari NMV sesuai dengan besar sudut pulsa 90 derajat. Hasil dari resonansi
adalah adanya perubahan arah NMV pada magnetisasi longitudinal ke arah
magnetisasi transversal dalam keadaan in phase (Westbrook dan Kaut, 1999).

3)

Radiofrekuensi (RF)
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki frekuensi
antara 1 80 MHz (Bushong, 1996). Pulsa RF akan meresonansi gerakan presesi
proton. Resonansi dapat terjadi apabila besarnya frekuensi RF yang ditembakkan
sama

dengan

besarnya

frekuensi

Larmor

dari

atom.

Peristiwa

mengakibatkan NMV berada pada bidang transversal (Westbrook, 1998).


4)

T1 Recovery dan T2 Decay

resonansi

Secara umum dapat dikatakan semakin besar densitas proton akan semakin
besar intensitas image yang dihasilkan. Kembalinya NMV ke posisi semula sebelum
diberikan pulsa RF yang berikutnya dapat menunjukan komposisi dari jaringan. Ini
dapat dikarakteristikkan sebagai dua waktu konstan yang berhubungan atau disebut
dengan proses spin lattice relaksasi (T1) dan proses spin relaksasi (T2).

Gambar 2.3 Spin lattice relaxation / T1 (IMAIOS, 2010)


Spin lattice relaksasi (T1) adalah waktu yang diperlukan untuk kembalinya 63%
magnetisasi longitudinal setelah pulsa 90. Pada jaringan lunak tubuh, nilai T1 akan
pendek yaitu sekitar 100 ms untuk jaringan lemak dan panjang yaitu sekitar 200 ms
untuk cairan dalam tubuh misalnya Liquor Cerebro Spinal (LCS). Secara umum
dikatakan bahwa untuk pembobotan T1, jaringan dengan nilai T1 pendek akan
tampak terang sedangkan dengan T1 panjang akan tampak gelap, walaupun
sebenarnya intensitas pixel pada MRI adalah suatu fungsi yang komplek pada waktu
relaksasi T1, dimana gelap dan terangnya piksel tergantung dari pulse sekuens yang
dipergunakan (Westbrook dan Kaut, 1999).
T2 atau proses spin relaksasi adalah waktu yang diperlukan oleh magnetisasi
transversal untuk meluruh 37% dari nilai awalnya (Snopek, 1992). Pada umumnya
waktu T2 lebih singkat daripada T1, untuk intensitas pixelnya, secara umum pada
pembobotan T2, jaringan dengan T2 panjang akan tampak terang dan jaringan
dengan T2 pendek akan tampak gelap (Westbrook dan Kaut, 1999).

Gambar 2.4 Spin relaxation / T2 (IMAIOS, 2010)

5)

Free Induction Decay (FID)


Transversal decay diiringi oleh pelepasan energi oleh proton ke lingkungan
yang dikenal dengan peristiwa Free Induction Decay (FID). Energi yang dilepaskan
proton berupa signal yang selanjutnya ditangkap oleh koil penerima sebagai data
awal proses pembentukan citra.

d. Parameter-parameter MRI
1)

Time Repetition (TR) dan Time Echo (TE)


Time Repetition (TR) adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang
sama. Pemberian TR yang panjang dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang
lebih banyak serta Signal to Noise Ratio (SNR) yang lebih baik, namun menyebabkan
waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh data menjadi lebih lama. TR yang pendek
dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang
dievaluasi menjadi sedikit dan SNR menjadi rendah.
Time Echo (TE) adalah interval waktu dari saat terakhir pada RF diberikan
sampai terdeteksinya sinyal MR maksimum. Sinyal MR maksimum tersebut
merupakan sinyal spin echo. TE disebut pendek, jika waktunya kurang dari 30 ms.
Pemberian TE dengan panjang waktu sekitar tiga kali lipat TE pendek disebut TE
panjang. Pemilihan panjang dan pendeknya akan mempengaruhi intesitas sinyal
yang didapat.

2)

Number of Exitacion (NEX) atau Number of Signal Average (NSA)


Number of Exitacion (NEX) atau Number of Signal Average (NSA) adalah nilai
yang menunjukkan jumlah pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan
amplitudo dan fase enkoding yang sama. NSA mengontrol sejumlah data yang
masing-masing disimpan dalam lajur K space. Data tersebut terdiri dari signal dan
derau (noise). K space merupakan area frekuensi spasial dimana signal berupa
frekuensi yang berasal dari pasien akan disimpan. (Westbrook, 1998).
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan SNR adalah dengan
meningkatkan jumlah total akuisasi planar tiap phase encoding (Nacq = NSA = NEX.
Intinya, proses koleksi data diulang tanpa mengubah kekuatan gradien fase
encoding. Signal akan meningkat secara linier, sedangkan noise yang bersifat acak
juga akan menambah inkohorenitas, sehingga SNR akan dinyatakan sebagai akar
dari faktor NSA atau NEX ( SNR Nacq . Ini berarti jika kita menggandakan /
mendobelkan NSA, signal akan bertambah hanya 2 atau 41 %. NSA juga digunakan
untuk menghitung waktu pencitraan, sehingga dengan mendobelkan NSA maka
waktu juga akan bertambah dua kalinya. Untuk mendapatkan SNR 100%, paling tidak
menggunakan NSA 4, hal ini juga harus mempertimbangkan keadaan pasien, karena
waktu yang dibutuhkan relatif lebih lama (Woordward dan William, 1997).
Keuntungan meningkatkan NSA adalah meningkatkan SNR pada semua
jaringan tubuh dan mengurangi flow artifacts

seimbang dengan sinyal rata-rata,

sedangkan kerugiannya adalah Waktu pencitraan akan semakin meningkat secara


proporsional. Keuntungan menurunkan NSA adalah menurunkan waktu pencitraan

secara proporsional, sedangkan kerugiannya adalah menurunkan SNR pada semua


jaringan dan meningkatkan flow artifacts sejalan dengan berkurangnya sinyal
(Westbrook dan Kaut, 1999).
3)

Slice Thickness
Slice thickness adalah tingkat ketebalan irisan/potongan. Besarnya slice
thickness akan mempengaruhi resolusi spasial gambar yang dihasilkan. Slice
thickness yang tipis akan menghasilkan resolusi yang baik, namun pada besar FOV
yang sama akan membutuhkan waktu akuisisi data yang lebih lama (Westbrook dan
Kaut, 1999).

4)

Slice Interval
Slice interval adalah besarnya jarak antar slice. Slice interval dibutuhkan untuk
menghindari cross contamination. Adanya overlapping RF antar slice dapat
mempengaruhi proses spasial resolusi sehingga dapat menurunkan SNR.

5)

Field Of View (FOV)


FOV adalah luas anatomi yang akan dijadikan gambaran. Menurut Nesseth
(2000), FOV adalah diameter area obyek yang akan direkonstruksi ke dalam matriks.
Besarnya berpengaruh pada scan time kualitas pencitraan. FOV yang besar akan
menghasilkan pixel yang besar, meningkatkan FOV berarti menurunkan spasial
resolusi.

e. Pulsa sekuenss MRI


1)

Spin echo (SE)


Spin echo (SE) ini dilakukan dengan mengaplikasikan pulsa 90 eksitasi, diikuti
dengan aplikasi pulsa 180 rephasing. SE merupakan pulsa sekuenss gold standard
untuk banyak gambaran yang biasa digunakan pada setiap pemeriksaan. Gambar
pembobotan T1 digunakan untuk menampakkan anatomi karena memiliki SNR yang
tinggi bersamaan dengan kontras enchancement yang dapat menampakkan patologi.
Pembobotan T2 dapat menampakkan patologi (Westbrook dan Kaut, 1999).
Keuntungan SE adalah kualitas gambar baik, sangat serbaguna dan
pembobotan T2 yang sensitive pada patologi, sedangkan keterbatasan SE yaitu
waktu scanning relatif lama (Westbrook dan Kaut, 1999).

2)

Fast spin echo (FSE)


Fast spin echo (FSE) adalah salah satu pengembangan dari sekuens spin
echo. FSE dilakukan untuk mempercepat waktu scan, dengan mengaplikasikan
beberapa kali pulsa 1800 rephasing dalam satu TR. FSE atau Turbo spin echo (TSE)
digunakan hampir 40-60% dalam pemeriksaan MRI. FSE banyak digunakan untuk
pembobotan T2 karena waktu bisa lebih singkat (Westbrook dan Kaut, 1999).
Keuntungan FSE adalah waktu scanning menurun, high resolution matriks dan
multiple NEX dapat digunakan, meningkatkan kualitas gambar dan meningkatkan
infromasi T2. Keterbatasan FSE adalah meningkatnya motion dan flow artefact,
Meningkatkannya flow artefact dan motion incompatible dengan beberapa opsi

imaging, lemak tampak terang pada pembobotan T2, Image blurring dapat terjadi
karena koleksi data dilakukan dengan TE yang berbeda-beda dan mengurangi efek
suspectibility, tapi tidak sensitive untuk hemorage (Westbrook dan Kaut, 1999).
3)

Inversion Recovery (IR)


Inversion Recovery (IR) merupakan pulsa sekuens dimana urutan pulsanya
dimulai dengan inverse RF 180 yang dilanjutkan dengan pulsa RF 90 eksitasi lalu
pulsa 180 rephase. Inverse NMV melalui 1800 dalam full saturasi. Ketika inverse
pulsa berpindah, NMV relaksasi kembali menuju B0. IR digunakan untuk
menghasilkan pembobotan T1 dengan kontras tinggi untuk menampakkan anatomi
(Westbrook dan Kaut, 1999).
Keuntungan IR adalah SNR bagus karena TR panjang dan kontras T1 sangat
bagus. Kekurangan IR adalah waktu scanning panjang kecuali menggunakan fast
spin echo (Westbrook dan Kaut, 1999).

4)

Short Tau Inversion Recovery (STIR)


Short Tau Inversion Recovery (STIR) merupakan pulsa sekuenss Inversion
Recovery yang menggunakan TI untuk menghasilkan waktu yang diteruskan lemak
recovery secara penuh ke bidang transversal kemudian tidak magnetisasi ke bidang
longitudinal pada lemak. Ketika aplikasi pulsa eksitasi 900, vector lemak kembali
melalui 900 sampai 1800 dengan full saturasi, kemudian signal pada lemak adalah
nulled.
Dengan pembobotan T1 dibutuhkan waktu 0,69 kali waktu relaksasi T1 untuk
men-supress sinyal jaringan. STIR dapat juga digunakan dengan Fast Spin Echo
(FSE), dengan mengaplikasikan pulsa 180 inversi, diikuti pulsa 90 eksitasi dan
setelah itu diikuti dengan beberapa pulsa 180 rephrasing yang disebut dengan echo
train length (ETL), sehingga waktu scan dapat lebih pendek jika dibandingkan dengan
konvensional STIR (Westbrook dan Kaut 1999).

5)

Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR)


Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) merupakan salah satu variasi
sekuenss inversion recovery (IR) dengan menullkan signal CSF (cerebro spinal fluid)
dengan memilih Tau Inversion (TI) yang sesuai dengan waktu recovery CSF dari
pulsa 180 ke arah bidang transversal sehingga tidak terjadi magnetisasi longitudinal
pada CSF. Ketika diaplikasikan pulsa 90 eksitasi, vector CSF disudutkan melewati
90 sampai mencapai saturasi penuh kembali sehingga CSF menjadi nol. FLAIR
digunakan untuk menekan signal CSF pada pembobotan T2 dan proton density
sehingga kelainan-kelainan patologis dapat tervisualisasi lebih jelas. TI yang
digunakan 1700-2200 ms ( Westbrook and kaut,1999).

f. Kualitas gambar MRI


Kualitas gambar pada MRI diperangaruhi beberapa faktor yaitu (Westbrook dan
Kaut, 1999) :

1)

Signal to Noise Rasio (SNR)


Signal to Noise Rasio (SNR) adalah rasio amplitudo signal yang diterima pada
average amplitudo dari noise. Signal diterima dari koil penerima dari presesi pada
NMV bidang transversal. Signal dapat ditingkatkan dan diturunkan untuk noise yang
relatif. Meningkatkan signal dapat meningkatkan SNR, sebaliknya menurunkan signal
dapat menurunkan SNR. Beberapa faktor yang mempengaruhi SNR adalah
(Westbrook dan Kaut, 1999) :
a) Proton density
Jumlah proton pada area bawah pemeriksaan terdapat amplitudo dari signal
yang diterima. Area dengan proton densiti rendah (seperti lungs), memiliki signal
rendah dan SNR rendah. Sebaliknya area dengan proton densiti tinggi (seperti
pelvic), memiliki signal tinggi dan juga SNR tinggi.
b) Volume voxel
Suatu gambaran digital terdiri dari pixel. Brightness dari pixel mewakili
jumlah dari signal MRI yang dihasilkan dari seluruh unit volume suatu jaringan
tubuh pasien atau voxel. Voxel mewakili dari volume suatu jaringan dalam pasien
dan ini disebut area pixel dan slice thickness. SNR propostional untuk volume
voxel dan beberapa parameter dengan mengubah ukuran voxel yang mengubah
SNR. Menurunkan ukuran voxel akan menurunkan SNR.
c) TR, TE dan Flip angle
Walaupun TR, TE dan flip angle biasanya merupakan parameter yang
mempengaruhi kontras gambar, ini juga mempengaruhi SNR dan keseluruhan
kualitas gambar. Flip angle rendah menghasilkan SNR rendah, TR yang panjang
dapat meningkatnkan SNR dan TR yang pendek dapat mengurangi SNR,
sedangkan TE yang panjang dapat mengurangi SNR dan TE yang pendek dapat
meningkatkan SNR.
d) Number of Signal Average (NSA)
Jumlah dari waktu data mengumpul dengan amplitudo yang sama dari
kemiringan phase encoding. NSA dapat dikontrol dengan jumlah data dari K
space. Data terdiri dari signal dan noise. Meningkatkan NSA akan mengurangi
motion artefact.
e) Receive bandwidht
Receive bandwidht adalah luas dari frekuensi dengan sampel saat aplikasi
dari gradient. Mengurangi receive bandwidht menghasilkan noise yang sedikit
dengan signal yang relative. SNR meningkat karena receive bandwidht diturunkan.
Mengurangi receive bandwidht dapat meningkatkan chemical shift artefact.
f) Tipe koil
Tipe koil yang digunakan mempengaruhi signal yang diterima dan SNR. Dua
koil dapat meningkatkan SNR karena dua koil digunakan untuk menerima signal.
Permukaan koil ditempatkan diluar dan dibawah area pemeriksaan akan
meningkatkan SNR.

Cara meningkatkan kualitas gambar SNR dengan cara (Westbrook dan Kaut,
1999) :
a) Menggunakan pulsa sekuens spin echo bila memungkinkan
b) Tidak menggunakan TR yang sangat pendek dan TE yang sangat panjang
c) Menggunakan koil yang tepat
d) Menggunakan matrik kasar
e) Menggunakan FOV yang besar
f) Memilih ketebalan slice
g) Menggunakan NSA tinggi jika memungkinkan
2)

Contrast to Noise Ratio (CNR)


CNR adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang
baik dapat menunjukan perbedaan daerah yang patologis daerah yang sehat. Dalam
hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan cara (Westbrook dan Kaut, 1999) :
a) Menggunakan media kontras
b) Menggunakan pembobotan gambar T2
c) Memilih magnetisasi transfer
d) Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral pre-saturasi

3)

Spasial resolusi (Westbrook dan Kaut, 1999)


Besarnya matriks akuisisi mengontrol resolusi citra dan waktu scanning. Spasial
resolusi dapat diperoleh dengan menentukan jumlah pixel (picture element) atau
satuan pembentuk gambar yang ditampilkan dalam Field Of View (FOV).
Resolution berhubungan dengan Signal to Noise Ratio (SNR). Umumnya,
resolusi citra sebanding dengan pemilihan ukuran jaringan dalam arah frekuensi
encoding. Ukuran matriks pada sumbu frekuensi dapat dipilih dari 256 sampai 64
satuan. Ada banyak cara untuk mempertinggi spasial resolusi, salah satunya dengan
menggunakan pixel-pixel kecil yang memiliki suatu matriks pencitraan yang besar,
namun nilai SNR akan berkurang. Hal ini karena besarnya sinyal yang sama harus
diditribusikan keseluruh pixel yang banyak jumlahnya, sehingga setiap pixel
menerima sinyal yang kecil. Makin besar ukuran matriks maka waktu pengambilan
citranya semakin lama.
Faktor lain yang mempengaruhi spasial resolusi adalah ketebalan irisan. Irisan
yang tebal cenderung menghasilkan pembagian volume yang lebih besar, dimana hal
ini dapat menyarankan pembatasan obyek-obyek yang lebih kecil. Penggunaan irisan
tipis dapat mengatasi keadaan tersebut, tetapi menyebabkan SNR berkurang karena
berkurangnya sinyal pixel. Jadi penambahan ketebalan irisan akan memperoleh SNR
yang lebih baik dan dapat mencakup suatu volume jaringan yang besar, tetapi
resolusi spasialnya kecil. Sebaliknya irisan yang tipis memberikan resolusi yang lebih
tinggi tetapi volume yang dapat dicakup lebih kecil.

4)

Waktu Pencitraan (scan time)

Waktu pencitraan, dipengaruhi oleh Time Repetition (TR), jumlah phase


encoding (Ny), dan NEX. Sehingga untk mengurangi waktu dilakukan dengan cara
(Westbrook dan Kaut, 1999) :
a)

TR sependek mungkin

b)

Matriks yang kasar

c)

NEX sekecil mungkin

B. Pemeriksaan MRI Kepala Pada Kasus SOL


Untuk mengevaluasi kepala/otak menggunakan koil kepala atau head coil yang
direkomendasikan. Protokol gambar pembobotan dapat divariasi untuk memperlihatkan
area di dalam kepala dengan pertimbangan waktu scanning. Media kontras paramagnetik
digunakan pada pemeriksaan MRI kepala pada kasus SOL (Neseth 2000).
Di RSUD Dokter Soedarso modalitas imejing yang digunakan adalah MRI Brivo 0,3
Tesla produksi General Elektrik (GE) yang menggunakan magnet permanen.
a. Persiapan Pasien :
Lakukan screening kepada pasien sesuai ceklist yang tersedia untuk memastikan
pasien tidak menggunakan logam di tubuhnya. Pasien melepaskan semua aksesoris
yang ada di daerah kepala, ex: anting-anting, gigi palsu, kalung, jepit rambut.
Pasien dipersilakan buang air kecil sebelum pemeriksaan dilakukan. Untuk persiapan
pemberian kontras media maka pasien/keluarga harus menanda tangani informed
concern (persetujuan tindakan) sebelum pemeriksaan dimulai.
b. Posisi pasien :
Pasien diposisikan supine dan head first, dengan midsagital plane pada pertengahan
garis titik glabela paralel dengan garis lampu indikator longitudinal. Garis lampu indikator
horizontal sesuai dengan garis yang ada pada head coil. Berikan pengganjal dibawah
knee jika diperlukan untuk membuat pasien merasa nyaman. Gunakan busa yang
disediakan untuk fiksasi kepala untuk meminimalkan gerakan kepala pasien. Beritahu
pasien untuk diam selama pemeriksaan berlangsung. Selimuti pasien agar merasa
nyaman. Gunakan FOV segiempat dengan matriks yang bagus dan dapat menurunkan
waktu scanning (Neseth, 2000).
- Masukkan data pasien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, no rekam medis.
- Pilih object yang diperiksa dalam hal ini head
- Kemudian pilih head coil
- Pilih sekuens yang akan digunakan yaitu :
3 plane localizer
Axial T 2
Axial T 1
Axial FLAIR
Axial DWI
Sagital T 1
Coronal T 2
Kemudian untuk post contras dipilih sekuen :
Axial T1 contrast
Sagital T 1 contrast
Coronal T1 contrast

c. Parameter pada sekuens yang digunakan di MRI Brivo 0,3 T


1)
Sekuens Axial T2-FSE
a) TR : 2829
b) TE : 100
c) Slice thickness : 6 mm
d) Slice gap : 2 mm
e) Phase encoding gradient : FH
f) FOV : 240 mm
g) Matriks : 256 x 216

Gambar Axial T 2

2)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Sekuens Axial T1- SE


TR : 380
TE : 13
Slice thickness : 6 mm
Slice gap : 2 mm
Phase encoding gradient : AP / FH
FOV : 240 mm
Matriks : 256 x 192

Gambar Axial T 1
3)

Sekuens FLAIR T2-FSE Axial


a) TR : 8240
b) TE : 90
c) Flip angle : 900

d)
e)
f)
g)

Slice thickness :6 mm
Slice gap : 2 mm
FOV : 180-200 mm
Matrix : 256 x 192

Gambar Axial FLAIR


4)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

5)
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Sekuen Axial DWI


TR : 150
TE : 125
Flip angle : 900
Slice thickness :6 mm
Slice gap : 2 mm
FOV : 240 x 182 mm
Matrix : 96 x 96

Sekuens Coronal T2
TR : 3000
TE : 100
Slice thickness : 7 mm
Slice gap : 2 mm
FOV : 250 x 200
Matriks : 256 x 216

Gambar coronal T 2
6)
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Sekuens Sagital T 1
TR : 380
TE : 13
Slice thickness : 6 mm
Slice gap : 2 mm
FOV : 250 x 213
Matriks : 256

Gambar Sagital T 1

Setelah sekuens precontras selesai maka dilakukan penyuntikan kontras media Gadovist
dengan dosis 0,2 ml/kg Berat Badan. Penyuntikan dilakukan secara Intra Vena.

Selesai penyuntikan kontras media kemudian dilakukan pengambilan sekuens post contras
yaitu :
1) Sekuens Axial T1- SE Contrast
a) TR : 380
b) TE : 13
c) Slice thickness : 6 mm
d) Slice gap : 2 mm
e) Phase encoding gradient : AP / FH
f) FOV : 240 mm
g) Matriks : 256 x 192

Gambar Axial T 1 post contrast


2)

Sekuens Sagital T1- SE Contrast


a) TR : 380
b) TE : 13
c) Slice thickness : 6 mm
d) Slice gap : 2 mm
e) FOV : 250 x 213 mm
f) Matriks : 256 x 224

Gambar Sagital T 1 Contrast

3) Sekuens coronal T1- SE Contrast


a) TR : 400
b) TE : 13
c) Slice thickness : 7 mm
d) Slice gap : 2 mm
e) FOV : 250 x 200 mm
f) Matriks : 256 x 224

Gambar Coronal T 1 Contrast

Setelah semua sekuens selesai dibuat dan gambar yang dihasilkan baik maka pemeriksaan
dapat diakhiri, pasien diturunkan dari meja pemeriksaan dan diperbolehkan keluar dari ruang
pemeriksaan untuk kemudian menunggu sekitar 15 menit di ruang tunggu untuk memastikan
tidak ada reaksi dari kontras media. Jika semua aman maka pasien diperbolehkan pulang atau
kembali ke ruangan perawatan untuk pasien rawat inap.

C. Hasil Expertise Pemeriksaan

INSTALASI RADIOLOGI
HASIL PEMERIKSAAN MRI
Nomor /MR
:
DESEMBER 2015
Nama
:NY L / 35 TH
KUMARA

Pontianak , 09
Pengirim : dr.

Ruangan : RUANG O
TS.YTH .
Telah dilakukan pemeriksaan MRI kepala tanpa kontras potongan axial
T1, T2 , FLAIR, DWI dan sagital T1,coronal T2 dan dengan kontras T 1
axial , coronal dan sagital dengan hasil sbb :
DWI tampak mencurigakan SOL di CPA kanan. Tampak lesi hipointens T 1 di
CPA kanan yang pada T2 dan FLAIR menjadi hiperintens inhomogen dan
menyangat inhomogen pada pemberian kontras . Lesi tampak berbatas tegas
dengan uk. kurang lebih 2,36 x 2.81 x 2,9 cm dan tampak berhubungan /
tampak tail ke os petrosum kanan dan mendesak pons dan ventrikel IV
Differensiasi white and gray matters baik, tidak tampak shift dari midline
struktur. Susunan ventrikel ditengah,simetris, Ventrikel III dan lateral tampak
melebar. Perifer sulci, sulcus Sylvii dan basal cisterna tidak melebar.

Sella tursica dan cerebello-pontine angle kiri


baik.
Orbita tidak tampak
kelainan. Tampak lesi hiperintens T 2 pada sinus sphenoid
Kesan : SOL di CPA kanan sugestif acoustic neurinoma
( Schwannoma )
DD/ Meningioma
Hydrocephalus obstruktif
Sinusitis sphenoid

Terima kasih
( dr. Nurprasetyo.Sp. Rad)

Anda mungkin juga menyukai