Anda di halaman 1dari 18

Bab 8

Mengenal Magnetic Resonance


Imaging

Saat ini, berbagai kelainan pada jaringan otak dan sekitarnya

S sangatlah beragam. Kelainan-kelainan tersebut sering kali


menunjukkan gejala sama pada penyakit yang berbeda. Oleh
sebab itu, pemeriksaan penunjang khususnya imaging atau pencitraan
sangatlah berperan penting untuk membantu tegaknya diagnosis suatu
penyakit (Rasad, 2006).

8.1 Apakah MRI Itu?


Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan salah satu alat
penunjang diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan
pada jaringan otak dan sekitarnya. Penemuan MRI ini membuka era baru

109
dalam diagnosis noninvasif lesi suatu organ. MRI memiliki keunggulan
yaitu mampu melakukan 3 macam irisan dan dapat membedakan
jaringan lunak dibandingkan dengan alat pencitraan yang lain (Rasad,
2006 dan Rao, 1999).

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 8.1 Mesin MRI yang siap digunakan.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu teknik


penggambaran penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik
inti atom hidrogen. Tehnik penggambaran MRI relatif kompleks karena
gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Alat
tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan koronal,
sagital, aksial, dan oblik tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila
pemilihan parameternya tepat, kualitas gambaran detil tubuh manusia
akan tampak jelas sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat
dievaluasi secara lebih teliti (Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004).

8.2 Peranan MRI pada Stroke


MRI tidak terlalu sensitif terhadap perubahan yang berhubungan
dengan stroke iskemia sebelum 8-12 jam. Pengembangan water-diffusion
sequences di akhir tahun 1990-an telah menjadikan MRI sebagai teknik
pencitraan stroke iskemia akut. Perfusion-weighted imaging (PWI)
memberikan informasi semi kuantitatif tentang CBF dan mengidentifikasi
area yang mengalami hipoperfusi. Diffusion-weighted imaging (DWI) dan
nilai kuantitatif dari koefisien difusi diperkirakan dapat mengidentifikasi
kerusakan inti yang irreversible akibat infark. Perbedaan antara kedua
hal tersebut di atas dapat digunakan sebagai estimasi penumbra iskemia
(Rasad, 2006).

110 Pencitraan pada Stroke


Akhir-akhir ini, terbukti bahwa beberapa lesi DWI dapat reversible.
Normalisasi dalam koefisien difusi nyata setelah transient ischemic
attacks (TIA) atau trombolisis dengan rekanalisasi awal telah terbukti.
Saat aliran darah dalam otak dan di sekitar inti iskemia menurun, daerah
oligemicca masih ada dan jaringan otak tetap fungsional dan tidak
terpengaruh. Hal ini tidak dapat dideteksi oleh PWI semikuantitatif.
Sebuah studi yang membandingkan antara MRI-PWI (median transit
time, time to peak, dan CBF (cerebral flow volume)) dengan PET pada
stroke akut telah dipublikasikan. Distribusi relatif dari variabel perfusi
sangat mirip antara perfusi MRI dan PET. Hal ini menunjukkan bahwa
MRI dan PET secara teknik dapat digunakan untuk pemilihan pengobatan
stroke akut (Rasad, 2006).
Bentuk dari fungsi input arteri mengandung banyak informasi
yang berguna. Namun, perubahan sinyal mungkin secara proporsional
berbeda antar jaringan dibandingkan dengan arteri yang lebih besar. Nilai
dekomposisi tunggal, teknik dekonvolusi non parametrik, memungkinkan
estimasi aliran independen relatif yang mendasari struktur pembuluh
darah dan volume pembuluh darah, bahkan pada rasio signal-noise
yang rendah, terkait dengan dekonvolusi per piksel. Akhir-akhir ini,
dijelaskan adanya teknik MRI baru menggunakan pengukuran waktu
relaksasi transversal dan bercirikan hilangnya sinyal yang disebabkan
oleh susceptibility lokal (T2). Urutan ini tergantung pada tingkat
deoxyhemoglobin lokal dan hal ini dianggap mencerminkan respon
metabolisme jaringan apabila terjadi defisit perfusi dan meningkatkan
informasi 'vaskular'. Hal ini merupakan suatu laporan awal yang perlu
konfirmasi lebih lanjut dalam suatu studi independen (Rasad, 2006).
Bahkan dengan kekurangan ini, mismatch antara MRI PWI/DWI
merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi
jaringan otak yang berisiko pada fase awal stroke akut (Rasad, 2006).

8.3 Inilah Komponen MRI


Sebuah alat MRI yang lengkap terdiri dari:
1. Sistem magnet untuk menghasilkan medan magnet,
2. Kumparan shimming untuk membuat medan magnet sehomogen
mungkin,
3. Sebuah koil radiofrequency (RF) untuk mengirimkan sinyal radio ke
dalam bagian tubuh yang dicitrakan,
4. Koil penerima untuk mendeteksi sinyal radio yang kembali,
5. Kumparan gradien untuk memberikan lokalisasi sinyal spasial,
6. Komputer untuk merekonstruksi sinyal radio ke dalam gambar akhir,
dan
7. Tenaga listrik dan sistem pendingin
(Hesselink, J.R., 2015)

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 111


Bagian-bagian alat MRI

Koil Pasien
radio
frekuensi

Meja pasien

Koil
gradien

Magnet

Pemindai

Sumber: Viet Can, 2010

Gambar 8.2 Komponen MRI.

Agar dapat mengoperasikan MRI dengan baik, kita perlu mengetahui


tentang tipe magnet, efek medan magnet, magnet shielding dan
kumparan shimming dari pesawat MRI tersebut. Sistem pencitraan
berfungsi membentuk citra yang terdiri atas tiga buah kumparan koil,
yaitu gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagital, gradien
koil Y, untuk membuat citra potongan koronal, dan gradien koil Z untuk
membuat citra potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja
secara bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik. Sistem frekuensi
radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi serta
mendeteksi sinyal. Sistem komputer berfungsi untuk membangkitkan
sekuens pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan
memori beberapa citra. Selain itu, juga terdapat sistem pencetakan citra
yang berfungsi untuk mencetak gambar pada film rongent atau untuk
menyimpan citra (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

112 Pencitraan pada Stroke


Koil magnetik
Koil Frekuensi Koil gradien
Radio

Pemancar Catu daya Penerima


frekuensi radio gradien frekuensi radio

Komputer
Protokol Pengendali
proses
rekonstruksi
gambar
Papan tombol operator
Sumber: Sprawls, P., 2015

Gambar 8.3 Sistem MRI.

8.4 Ada Berapa Macam Tipe MRI?


Di dunia kedokteran, ada dua tipe utama MRI yaitu MRI terbuka
(low-field) yang memiliki kekuatan medan magnet sekitar 1,0 tesla (T)
dan MRI tertutup (high-field) yang memiliki kekuatan sekitar 1,5 T
sampai 3 T. MRI terbuka memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan
ruang yang luas, sementara itu MRI tertutup memiliki kerangka (gantry)
biasa yang berlorong sempit (NHS, 2015).

(a) Sumber: dokumentasi pribadi (b) Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 8.4 MRI terbuka (a) dan MRI tertutup (b).

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 113


Sebuah MRI scan tertutup biasanya terdiri atas scanner berbentuk
silinder yang tidak nyaman untuk pasien yang berbadan besar dan
membuat beberapa pasien menjadi sesak. Bagi banyak pasien, MRI
terbuka dapat meminimalkan kecemasan dan claustrophobia karena
desainnya yang berbentuk huruf "C" sehingga menawarkan tempat
yang luas dan pasien terletak di antara dua piringan. MRI terbuka juga
digunakan untuk pencitraan intraoperatif atau gambar untuk panduan
intervensi yang merupakan akses mudah yang diperlukan pasien
(NHS, 2015).
Kelemahan utama MRI terbuka yaitu sekuen yang diperlukan lebih
lama (panjang waktu untuk mendapatkan gambar), rasio sinyal-ke-bunyi
lebih rendah, dan resolusi spasial lebih rendah. Akibatnya, untuk analisis
bagian tubuh yang lebih kecil seperti sendi (pergelangan tangan, jari
tangan, dan kaki), selalu disarankan untuk menggunakan MRI tertutup
karena kualitas dan detail gambar akan lebih bagus. Selain itu, kekuatan
medan magnet terbuka berkurang secara signifikan dan mungkin tidak
memadai untuk beberapa tujuan scanning (NHS, 2015).
Sebaiknya, suatu rumah sakit memilih MRI yang memiliki tesla tinggi
karena alat tersebut dapat digunakan untuk teknik fast scan yaitu suatu
teknik yang memungkinkan satu gambar irisan penampang dibuat dalam
hitungan detik sehingga kita dapat membuat banyak irisan penampang
yang bervariasi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan banyaknya
variasi gambar, membuat suatu lesi menjadi menjadi lebih spesifik
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

8.5 Bagaimana Cara Kerja MRI?


Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas
atom hidrogen atau proton. Bila atom hidrogen ini ditembakkan tegak
lurus pada intinya dengan radio frekuensi tinggi dalam medan magnet
secara periodik kemudian beresonansi maka proton tersebut akan
bergetar/bergerak menjadi searah/sejajar. Jika radio frekuensi tinggi ini
dimatikan maka proton yang bergetar tadi akan kembali ke posisi semula
dan akan menginduksi dalam satu kumparan untuk menghasilkan sinyal
elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik
tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer maka akan dapat
disusun menjadi suatu gambar (Rasad, 2006).
Metode ini dipakai karena tubuh manusia mempunyai konsentrasi
atom hidrogen yang tinggi (sekitar 70%). Untuk menghasilkan sebuah
gambar dari proton, minimum dibutuhkan tenaga medan magnet 0,064
Tesla. Untuk suatu medan magnet yang rendah 0,2 Tesla dibutuhkan
kumparan yang normal dimana tenaga listrik diubah menjadi panas.
Untuk suatu medan magnet di atas 0,3 Tesla dibutuhkan suatu kumparan
istimewa/super. Kumparan ini sangat ekstrim dinginnya yaitu –269ºC
sehingga tahanannya tidak sama sekali nol. Oleh karena itu, kumparan

114 Pencitraan pada Stroke


super ini tidak memakai listrik. Kumparan ini sangat mahal. Saat ini, alat
MRI yang digunakan mulai dari 0,64 Tesla sampai 3 Tesla (Rasad, 2006).
Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan
memanfaatkan radio frequency pulses (gelombang radio), mesin MRI
mampu mendapatkan gambaran anatomik secara detail dengan mengacu
proton atom hidrogen pada setiap jaringan tubuh. Struktur atom hidrogen
dalam tubuh manusia saat di luar medan magnet mempunyai arah yang
acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian saat diletakkan
dalam alat MRI (gantry) maka atom H akan sejajar dengan arah medan
magnet. Demikian juga arah spinning dan processing akan sejajar
dengan arah medan magnet. Saat diberikan frekuensi radio dengan
panjang gelombang tertentu maka atom H akan mengabsorpsi energi
dari frekuensi radio tersebut. Akibatnya, dengan bertambahnya energi,
atom H akan mengalami pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan
arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio frekuensi yang
diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan
sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah,
atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian energi
yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus dan
diperkuat. Selanjutnya, komputer akan mengolah dan merekonstruksi citra
berdasarkan sinyal yang diperoleh dari berbagai irisan (Rasad, 2006).

Bidang
magnetik
eksternal
Atom hidrogen acak Atom hidrogen sejajar
Tidak ada bidang eksternal
Sumber: Rasad, 2006

Gambar 8.5 Atom hidrogen yang semula acak, akan mensejajarkan diri
setelah pemberian medan magnet luar.

8.6 Parameter Dasar dan Gambaran Pencitraan MRI


Ada empat parameter dasar dari gambaran pencitraan MRI yaitu
sebagai berikut (Heggie, 1997).
1. Densitas proton

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 115


2. Longitudinal relaxation time (T1)
3. Transvers relaxation time (T2)
4. Perfusi dan difusi
(Heggie, 1997).
Densitas proton adalah konsentrasi proton dalam jaringan dalam
bentuk air dan makromolekul (protein, lemak, dlan lainnya). Waktu
relaksasi T1 dan T2 menentukan cara proton kembali ke tempat
istirahatnya setelah dorongan RF awal (Hesselink, J.R. 2015).
Setelah semua proses dilakukan maka kita akan peroleh gambaran
hasil pencitraannya. Adapun gambaran yang dihasilkan dapat berupa
beberapa hal berikut ini.
1. Low signal intensity, dihasilkan sinyal listrik yang lemah berupa
sinyal void (kosong/hitam) dan sinyal yang lebih rendah (gelap)
dari otot.
2. Intermediate signal intensity, dapat merupakan sinyal yang sama
dengan otot dan sinyal yang lebih tinggi dari lemak subkutan
(lebih terang).
3. High signal intensity, dihasilkan sinyal elektrik yang kuat berupa
sinyal yang sama dengan jaringan subkutan (terang) dan sinyal
yang lebih tinggi dari jaringan lemak subkutan (sangat terang)
(Rasad, 2006).

Ada 3 macam intensitas yaitu hipointens, isointens, dan hiperintens.


Setiap jaringan mempunyai karakteristik yang khas pada T1 dan T2
sehingga bila ada perbedaan intensitas dari jaringan normal, akan mudah
diketahui bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan. Bila didapatkan
T1 yang panjang maka akan didapatkan gambaran hipointens dan bila
T1 pendek akan didapatkan gambaran hiperintens. Sebaliknya, bila
didapatkan T2 pendek maka akan didapatkan gambaran hiperintens dan
bila T2 panjang akan didapatkan gambaran hipointens. Sementara itu,
pada densitas proton yang dinilai adalah kepadatan proton pada jaringan.
Semakin banyak jumlah proton maka semakin tinggi intensitas gambar
yang dihasilkan (Rasad, 2006).

Tabel 8.1 Interpretasi dasar pada MRI


Jenis intensitas T1 T2
Hipointens • Tulang • Tulang
• Kalsifikasi • Kalsifikasi
• Air
Hiperintens • Lemak • Lemak
• Darah • Darah
• Air
Sumber: Rasad, 2006

116 Pencitraan pada Stroke


Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan
bagian otak yang putih. Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih
sedikit air dibandingkan dengan otak yang abu-abu. Akan tetapi, bagian
yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak yang
abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih
mempunyai waktu T1 yang pendek dan T2 yang pendek (Rasad, 2006).
Pada saat meninjau MRI, cara termudah untuk menentukan urutan
pulsa yang digunakan atau "bobot" dari gambar adalah dengan melihat
cerebrospinal fluid (CSF). Jika CSF cerah (sinyal tinggi) maka itu harus
menjadi gambar T2-weighted. Jika CSF gelap, itu adalah gambar T1.
Setelah itu, perhatikan intensitas sinyal struktur otak. Pada MRI otak,
faktor penentu utama pada intensitas sinyal dan kontras adalah T1 dan
T2 relaxation times. Kontras jelas berbeda pada gambar T1 dan T2-
weighted. Selain itu, patologi otak memiliki beberapa karakteristik sinyal
yang umum (Hesselink, J.R. 2015).

8.7 Kelebihan dan Kekurangan MRI


Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT
scan yaitu:
1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan
lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan
difusi, perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan
CT Scan.
4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring
tanpa mengubah posisi pasien.
5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Notosiswoyo, M., Susy
Suswati, 2004).

Selain mempunyai kelebihan, di satu sisi MRI juga mempunyai


kekurangan misalnya harga MRI lebih mahal daripada CT scan.
Pemeriksaan MRI memerlukan waktu lebih lama sehingga pasien harus
lebih sabar dan ketidaknyamanan ini terkadang menimbulkan masalah.
Scanning MRI tidak aman untuk pasien dengan beberapa implan logam
dan benda asing lainnya. Perhatian terhadap langkah-langkah keamanan
diperlukan untuk menghindari cedera serius pada pasien dan staf. Hal ini
memerlukan peralatan MRI peralatan khusus dan kepatuhan yang ketat
untuk protokol keamanan (Hesselink, J.R. 2015).
Sebenarnya, CT scan dan MRI merupakan sama-sama sebagai lini
pertama modalitas pencitraan untuk stroke (Kidwell et al., 2004). Akurasi
klinis dalam mendeteksi ICH pada CT scan tergantung pengalaman,
berkisar antara 73-87% (Merino & Warach, 2010). Jika MRI dapat
dilaksanakan secepat CT scan, pilihan modalitas jatuh pada MRI (Kidwell
et al., 2004).

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 117


Namun demikian, MRI tidak dapat dilaksakan pada pasien yang
memiliki prosthesis logam (Magistris, 2013). Sekitar 10% pasien yang
masuk ke IRD AS memiliki alat pacu jantung dan prosthesis logam
(Smith, et al., 2011). MRI juga tidak dapat digunakan pada pasien
dengan klaustrofobia (Lovbald & Pereira, 2013).
CT unggul dalam menunjukkan ekstensi perdarahan ke intaventrikel,
sementara itu MRI menunjukkan edema dan herniasi dengan lebih
baik. Karena saat ini dalam praktiknya CT scan lebih tersebar luas dan
permintaan pencitraan CT scan umumnya dapat dilaksanakan dengan
lebih cepat sehingga CT scan menjadi modalitas pencitraan stroke
yang lazim dilaksanakan. CT scan memiliki spesifisitas hampir 100%
dalam mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi. MRI saat ini umumnya
digunakan sebagai follow up dan mencari penyebab perdarahan atau
iskemia, misalnya malformasi vaskular atau cerebral amyloidosis
(Magistris, 2013).
Dalam membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia, CT
scan terbukti memiliki cost-benefit ratio paling tinggi (Smith, et al.,
2011). Meskipun terbukti untuk saat ini, CT scan merupakan modalitas
yang paling sering digunakan, namun demikian MRI terus berkembang
untuk membuktikan diri sebagai modalitas unggulan lainnya yang
dalam penggunaannya saling melengkapi dengan CT scan (Lovbald &
Pereira, 2013).

A B C

D E F

Sumber: Lovbald & Pereira, 2013

Gambar 8.6 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bahwa modalitas CT


scan (8.6 A) menunjukkan adanya pendataran sulcii yang menjadi tanda
stroke. Pada CT perfusi, tampak area hipoperfusi. MRI menegaskan hal ini
yang ditunjukkan dengan adanya lesi hiperdens pada sekuens T2 (8.6 C).

118 Pencitraan pada Stroke


Sekuens Diffuse Weighted Image (DWI) (8.6 D) dengan tegas menyatakan
adanya area stroke. CT scan daerah leher (8.6 B) menunjukkan adanya
kalsifikasi pada arteri karotis kiri yang dibuktikan lebih lanjut sebagai area
stenosis melalui Digital Angiography Substraction (DSA) (8.6 E). CT scan
setelah trombolisis (8.6 F) menunjukkan adanya luxury perfusion, tanpa
ekstravasasi darah.

8.8 Pemeriksaan MRI Kepala


Pada pemeriksaan MRI kepala, pasien selalu diposisikan supine
dengan meletakkan kepala di dalam koil kepala dan memberi bantal di
bawah kaki (Moeller, 2003).
Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien, antara lain sebagai
berikut.
• Pasien dianjurkan untuk ke kamar kecil sebelum dilakukan
pemeriksaan.
• Menjelaskan prosedur pemeriksaan.
• Pasien mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara untuk
mengetahui apakah ada sesuatu yang membahayakan pasien bila
dilakukan pemeriksaan MRI, misalnya: pasien menggunakan alat
pacu jantung, logam dalam tubuh pasien seperti IUD, sendi palsu,
neurostimulator, dan klip anurisma serebral, dan lain-lain.
• Menawarkan pelindung telinga apabila diperlukan.
• Meminta pasien untuk mengenakan baju pemeriksaan.
• Meminta pasien untuk melepas segala sesuatu yang mengandung
logam (gigi palsu, alat bantu mendengar, jepit rambut, perhiasan,
dan benda lainnya).
• Jika diperlukan bisa dipasang infus intravena (misalnya adanya
kecurigaan tumor atau multiple sclerosis).
• Pastikan pasien memahami prosedur pemeriksaan dan mengisi
kuisioner dengan benar (penekanan terutama terhadap benda-benda
yang mengandung logam) (Moeller, 2003).

Untuk persiapan pelaksanaan pemeriksaan perlu dilakukan beberapa


hal berikut ini.
1. Persiapan console yaitu memprogram identitas pasien seperti nama,
usia dan lain-lain, mengatur posisi tidur pasien sesuai dengan objek
yang akan diperiksa. Memilih jenis koil yang akan digunakan untuk
pemeriksaan, misalnya untuk pemeriksaan kepala digunakan head
coil. Setelah itu, memilih parameter yang tepat, misalnya untuk
citra anatomi dipilih parameter yang repetition time dan echo time
pendek sehingga pencitraan jaringan dengan konsentrasi hidrogen
tinggi akan berwarna hitam. Untuk citra pathologis dipilih parameter
yang repetition time dan echo time panjang sehingga misalnya untuk
gambaran cairan serebro spinalis dengan konsentrasi hidrogen tinggi
akan tampak berwarna putih. Untuk kontras citra antara, dipilih

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 119


parameter yang time repetition panjang dan time echo pendek
sehingga gambaran jaringan dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan
tampak berwarna abu-abu.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 8.7 Penggunaan head coil untuk pemeriksaan kepala.

2. Untuk mendapatkan hasil gambar yang optimal, perlu penentuan


center magnet (land marking patient) sehingga koil dan bagian
tubuh yang diamati harus sedekat mungkin ke center magnet,
misalnya pemeriksaan MRI kepala, pusat magnet pada hidung.

Untuk menentukan bagian tubuh dibuat scan scout (panduan


pengamatan) dengan parameter, ketebalan irisan dan jarak antar irisan
serta format gambaran tertentu. Hal ini merupakan gambaran 3 dimensi
dari sejumlah sinar yang telah diserap. Setelah tergambar scan scout
pada TV monitor, maka dibuat pengamatan-pengamatan berikutnya
sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan MRI yang menggunakan kontras media, hanya pada
kasus-kasus tertentu saja. Salah satu kontras media untuk pemeriksaan
MRI adalah gadolinium DTPA yang disuntikkan intra vena dengan dosis
0,0 ml/kg berat badan (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Tahapan pengambilan gambar pada MRI kepala (Moeller, 2003)


Potongan standar untuk mengevaluasi otak pertama kali dibuat
potongan aksial. Dibuat scout tiga potongan (atau sagital dan aksial saja).
Potongan aksial dibuat dengan orientasi pada garis yang melalui batas
anterior dan posterior dari korpus kallosum pararel terhadap garis yang
melewati komisura anterior dan posterior, dibuat potongan pada seluruh

120 Pencitraan pada Stroke


otak dari vertex hingga serebellum, biasanya hingga foramen magnum
dengan ketebalan irisan 5–6 mm.

Sumber: (Moeller, 2003)

Gambar 8.8 Scout potongan aksial standar untuk otak.

Pada tahap ini akan dibuat gambar T2 dan T1 weighted serta proton
density. Selanjutnya, dilakukan pengambilan potongan koronal dengan
orientasi pada potongan aksial. Potongan aksial dan koronal umumnya
dengan ketebalan irisan 6 mm.

a b
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.9 Scout potongan koronal standar untuk otak (a) dan scout
potongan sagital untuk otak (b).

Untuk mendapatkan hasil yang simetris maka sebagai patokan


dengan berorientasi pada septum nasi dan meletakkan bantal di bawah
lutut. Pada pasien kifosis bisa diletakkan bantal di bawah pinggul
demikian juga dengan rasa tidak nyaman pada leher bisa diletakkan
bantal di bawahnya. Bisa diletakkan kaca di atas coil kepala untuk
mengurangi claustrophobia (Moeller, 2003).

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 121


Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.10 Irisan aksial T1WI, T2WI, dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.11 Irisan sagital T1WI, T2WI, dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.12 Irisan koronal T2WI dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.13 Irisan aksial proton densitiy dan scoutnya.

122 Pencitraan pada Stroke


a b
Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.14 Pada kasus kecurigaan infark akut A: (T2-weighted image


irisan aksial) tampak area hiperintens pada sentrum semiovale kiri. B:
(diffusion weighted image irisan aksial) tampak hiperintens.

8.9 Interpretasi MRI Kepala


Sistematisasi evaluasi MRI kepala yang normal adalah sebagai
berikut.
 Fissure interhemisfer serebri pada garis tengah. Kortikal sulki serebri
dan serebelli normal.
 Korteks dan white matter menunjukkan perkembangan yang normal
dengan intensitas sinyal yang normal (maturasi sesuai dengan usia)
dan homogen. Anatomi hemisfer serebri dan midbrain dievaluasi
pada potongan sagital dan koronal T1WI MRI. Gray dan white matter
paling baik dievaluasi pada T2WI.
 Korteks serebri tidak tampak lesi hiperintens patologis (demielinisasi,
edema, perdarahan) atau hipointens patologis (kalsifikasi, per-
darahan). Tidak tampak area yang terpisah dari kalvaria. Tidak
tampak akumulasi cairan (konveks atau konkaf) di antara korteks
serebri dan kalvaria).
 Sella dan pituitari bentuk dan ukurannya normal, intensitas sinyal
sebelum dan sesudah pemberian kontras normal. Struktur parasella
(khiasma optikum, sisterna suprasella, karotid siphon, sinus
kavernosus tidak tampak adanya kelainan.
 Basal ganglia, kapsula interna-eksterna, thalamus, korpus kallosum
intensitas sinyal normal, bentuk, dan ukuran normal. Tidak tampak
fokus demielinisasi maupun massa.
 Sudut serebelopontin simetris normal. Kanalis akustikus internus
berukuran lebar yang normal.
 Sisterna subarachnoid normal.
 Ventrikel bentuk dan ukurannya normal, simetris (tidak tampak
pelebaran unilateral/bilateral), ventrikel IV tidak melebar, tidak tampak

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 123


tanda-tanda peningkatan intrakranial (sulcal effacement, ventrikel
yang melebar/menyempit) dengan sirkulasi cairan serebrospinal
yang normal.
 Ukuran ventrikel:
 Sella media index: B/A > 4 normal.
 Kornu anterior ventrikel lateralis (setinggi foramen monro):
 Di bawah 40 tahun < 12 mm
 Di atas 40 tahun < 15 mm.
 Lebar ventrikel III:
 < 5 mm pada anak-anak
 < 7 mm pada dewasa di bawah 60 tahun
 < 9 mm pada dewasa di atas 60 tahun.
 Batang otak dan serebellum ukuran dan intensitas sinyal normal,
tidak tampak kelainan fokal.
 Pembuluh darah intrakranial posisi dan ukuran normal, tidak tampak
dilatasi maupun kalsifikasi.
 Sinus paranasalis dan aircell mastoid perkembangan dan pneumati-
sasinya normal, ketebalan mukosa normal.
 Kavum nasi pneumatisasi baik, septum nasi di tengah, ukuran concha
nasi normal (Moeller, 2003).

8.10 Artefak pada MRI dan Upaya Mengatasinya


Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut
jenisnya dapat terdiri atas kesalahan geometrik, kesalahan algoritma,
kesalahan pengukuran attenuasi. Sementara itu, menurut penyebabnya
terdiri atas:
a. Artefak yang disebabkan oleh pergerakan fisiologi, misalnya karena
gerakan jantung, gerakan pernapasan, gerakan darah dan cairan
serebrospinal. Gerakan yang terjadi secara tidak periodik seperti
gerakan menelan, berkedip dan lain-lainnya.

Gambar 8.15 Arah kiri ke


kanan adalah fase encoding
yang telah dipilih untuk sebuah
penelitian pada kepala bagian
aksial sehingga artefak gerakan
orbital tidak melampaui batas
ke otak.
Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014.

b. Artefak yang terjadi karena perubahan kimia dan pengaruh magnet.

124 Pencitraan pada Stroke


c. Artefak yang terjadi karena letak gambaran tidak pada tempat yang
seharusnya.
d. Artefak yang terjadi akibat dari data pada gambaran yang tidak
lengkap.
e. Artefak sistem penampilan yang terjadi misalnya karena perubahan
bentuk gambaran akibat faktor kesalahan geometri, kebocoran dari
tabir radiofrequens.
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Sumber: Anvekar’s, B., 2012

Gambar 8.16 Sebuah artefak sinyal


tinggi di ruang Csf karena efek para
magnetik akibat menghirup oksigen,
"Pseudo SAH"

Akibat adanya artefak-artefak tersebut maka akan mengakibatkan


gambaran menjadi kabur, terjadi kesalahan geometri, tidak ada gambaran,
gambaran tidak bersih, terdapat garis–garis di bawah gambaran,
gambaran bergaris-garis miring, dan gambaran tidak beraturan.
Upaya untuk mengatasi artefak pada gambaran MRI antara lain
dilakukan dengan cara antara lain waktu pemotretan dibuat secepat
mungkin, memeriksa keutuhan tabir pelindung radio frekuensi,
menanggalkan benda-benda yang bersifat feromagnetik bila memungkinkan,
dan perlu kerja sama yang baik dengan pasien (Notosiswoyo, M. , Susy
Suswati, 2004).

8.11 Tindakan yang Perlu Dilakukan Bila Terjadi


Kecelakaan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
kecelakaan selama pemeriksaan MRI. Bila terjadi keadaan gawat
pada pasien, segera hentikan pemeriksaan dengan menekan tombol
ABORT. Langkah selanjutnya yaitu pasien segera dikeluarkan dari
pesawat MRI dengan menarik meja pemeriksaan dan segera berikan
pertolongan dan apabila tindakan selanjutnya memerlukan alat medis
yang bersifat feromagnetik harus dilakukan di luar ruang pemeriksaan
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).
Seandainya terjadi kebocoran helium yang ditandai dengan bunyi
alarm dari sensor oksigen, tekanlah EMERGENCY SWITCH. Setelah itu,

Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging 125


segera membawa pasien keluar ruang pemeriksaan. Kemudian buka pintu
ruang pemeriksaan agar terjadi pertukaran udara karena pada saat itu,
ruang pemeriksaan kekurangan oksigen (Notosiswoyo, M., Susy Suswati,
2004).
Apabila terjadi pemadaman (quenching) yaitu hilangnya sifat medan
magnet yang kuat pada gantry (bagian dari pesawat MRI) secara tiba-
tiba, tindakan yang perlu dilakukan yaitu buka pintu ruangan lebar-lebar
agar terjadi pertukaran udara dan pasien segera dibawa keluar ruangan
pemeriksaan. Hal itu perlu dilakukan karena quenching menyebabkan
terjadinya penguapan helium sehingga ruang pemeriksaan MRI tercemar
gas helium. Selama pemeriksaan MRI untuk anak kecil atau bayi,
sebaiknya ada keluarganya yang menunggu di dalam ruang pemeriksaan
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014

Gambar 8.17 Emergency run


down unit sederhana. Anda
harus membuka kotak plastik dan
melepaskan penutup tombol untuk
memulai. Pemadaman magnet akan
terjadi dalam waktu 2 menit.

Alat di atas digunakan sebagai kontrol untuk mengendalikan dan


mematikan medan magnet. Alat ini biasanya berupa tombol merah besar
yang terletak di dinding ruang magnet dekat pintu. Pada alat ini bisa diberi
label "Magnet Stop" atau "Emergency Run Down". Tombol ini seharusnya
hanya digunakan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa, seperti
pasien diselamatkan dari dalam scanner akibat benda logam atau api di
gantry magnet (Questions and Answers in MRI, 2014).

Rangkuman
1. Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik
tertentu pada gambar Tl dan T2 maupun proton density.
2. Intensitas jaringan biasanya berbeda pada gambar Tl dan T2,
kecuali lemak, darah segar, kalsifikasi, maupun peredaran darah
yang cepat. Intensitas jaringan tersebut mulai dari hipo, iso dan
hiper intensitas terlihat jelas pada T1 dan T2.
3. Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas
atom hidrogen atau proton.

126 Pencitraan pada Stroke

Anda mungkin juga menyukai