Anda di halaman 1dari 6

Kami berpindah tempat setelah Gordon menjentikkan jarinya.

Ruangan aula istana yang luas dan terang


serta ramai berubah menjadi padang rumput luas dengan semak dan pohon di beberapa tempat.
Teleportasi kami pun dibagi menjadi beberapa kelompok dengan satu penyihir di hadapanku. Aku dan
Lucas bahkan berbeda kelompok walau kami saat itu bersebelahan. Kelompokku terdiri dari 9
Pendatang - 5 laki-laki dan 4 perempuan - dan 1 penyihir yang kemungkinan umurnya masih 25
tahunan.

"Sebenarnya aku malas melakukan ini. Tapi mau tidak mau aku harus mengikuti perintahnya," gumam
penyihir itu.

Dia menghentakkan tongkatnya ke tanah. Batu berukuran lumayan besar muncul dari dalam tanah.
Penyihir itu pun mendudukkan dirinya di atas batu.

"Berbarislah. Kalian tidak mungkin tidak paham arti berbaris kan?" perintahnya dengan nada malas.

"Dimana sopan santunmu? Mengapa kau menyuruh kami dengan nada bicara seperti itu? Jika kau di
dunia kami, kau harus menjaga perilakumu." Salah seorang perempuan berambut pendek dan berkaca
mata membentaknya.

"Duniamu ya duniamu. Duniaku ya duniaku. Turuti saja perintahku dan aku akan menyelesaikannya
dengan cepat." Penyihir itu menatapnya tajam dengan bola mata hitamnya. Membuat perempuan itu
diam tidak bergeming.

Kami bersembilan pun membuat 3 baris dengan 3 orang di setiap barisannya. Aku tepat berada di
tengah-tengah para Pendatang di kelompokku. Penyihir di hadapanku itu masih saja duduk sambil
menatap malas kami semua.

"Semoga saja tidak ada masalah dengan bakat kalian. Baiklah yang kupanggil harap segera maju."
Penyihir itu menutup matanya sambil berkata "Analize!"

Ia membuka matanya dan bola matanya menjadi biru bercahaya. Dia menatap satu persatu dengan
konsentrasi penuh. Lalu menunjuk seseorang di depanku.

"Kau Kevin. Berdiri di sebelah kiriku."

Orang yang bernama Kevin di depanku pun berjalan ke samping kiri penyihir. Pena melayang di
belakangnya lalu menulis sesuatu di buku. Mencatat apa yang dilihat oleh Penyihir tersebut. Sepertinya
mata itu bisa mengetahui identitas dan bakat seseorang dengan mudah.

"Kau memiliki bakat anti sihir. Semua sihir yang tertuju padamu akan dinetralisir secara langsung. Itu
sangat berguna dalam pertarungan."

Lalu penyihir beralih ke barisan kembali. Menunjuk perempuan berkacamata yang sempat
membentaknya.

"Kau Evelyn. Berdiri di sebelah kiriku." Perempuan bernama Evelyn itu maju dengan wajah yang masih
kesal. Namun penyihir itu tidak peduli.

"Harusnya kau tidak memerlukan kacamata itu lagi. Bakatmu adalah mata elang. Pandanganmu akan
sangat tajam. Bisa melihat ke tempat yang sangat jauh dan sangat terfokus." Penyihir itu meliriknya
sejenak. "Dan mungkin saja kau bisa membunuh musuhmu hanya dengan tatapan marahmu."

"Cih," cibir Evelyn. Ia melepas kacamatanya dan terdiam sejenak. Lalu menatap sekeliling padang
rumput dengan wajah tidak percaya. Ia telah membuktikan bahwa ucapan penyihir itu benar. Bakatnya
adalah mata elang.
Penyihir itu kembali memanggil 2 orang lainnya. Mereka berdiri di kiri penyihir dengan bakat yang sama-
sama mengagumkan. Melangkah di udara dan ahli berpanah. Dan giliranku terpanggil pun datang.

"Kau Max." Penyihir itu mengernyit. Lalu ia memegang dahinya. "Mengapa pasti saja ada orang yang
memiliki bakat sampah. Berdiri di kananku."

Bakat sampah? Apa maksudnya? Aku pun berjalan dan berdiri di kanannya. Terlihat penyihir itu
menghela napasnya. Kemudian menatapku. "Kau ingin tahu apa bakatmu?"

"Tentu," jawabku. Sedikit penasaran untuk mendengarnya. Memangnya bakat penyembuhku adalah
sampah? batinku.

"Bakatmu adalah intuisi emosional. Bakat yang tidak akan berguna saat pertarungan tetapi justru malah
bisa menghambat dan beban bagimu dan rekanmu kelak," katanya dengan pandangan mata malasnya.

Tunggu? Bakatku sebenarnya bukan penyembuh tetapi intuisi emosional?

***

Dari kesembilan orang hanya aku yang berdiri di sisi kanan penyihir. Orang-orang setelahku memiliki
bakat yang berguna dalam pertarungan. Hanya di sisi kanan dia lah yang bakatnya tidak sesuai untuk
bertarung sepertiku. Aku ingin mengatakan bahwa aku juga bisa menyembuhkan luka tetapi kuurungkan
ketika melihat wajahnya yang seperti ingin segera menyelesaikan ini dan pulang dengan nyaman.
Matanya pun kembali ke bola mata hitamnya.

"Akhirnya tugas ini selesai juga. Kalian yang di sisi kiriku. Setelah ini cepat melapor ke kerajaan. Kalian
akan mendapatkan pelatihan khusus untuk melatih kemampuan dan bakat kalian. Dan kau Max. Ikut
denganku."

Tepat setelah mengatakan itu penyihir menghentakkan lagi tongkatnya. Pintu batu muncul dari dalam
tanah. Kami semua memasuki pintu itu dan tiba-tiba sudah berada di area istana. Teknik portal.

8 orang langsung berlari ke dalam istana. Sementara aku mengikuti penyihir itu berjalan ke luar gerbang
istana. Tidak ada yang berbicara selama perjalanan membuatku sedikit bosan.

"Siapa namamu tuan penyihir?" tanyaku sopan.

"Untuk apa kau menanyakan namaku?" ia balik bertanya.

"Aku hanya ingin tahu saja. Apa itu salah?"

Penyihir itu menghela napas panjang. "Dengar Max. Penyihir istana sebenarnya dilarang memberitahu
namanya karena bisa jadi ada sihir yang bisa membunuh cukup dengan menuliskan nama target
mereka." Ia berbalik dan mengulurkan tangannya. "Namun karena kau adalah Pendatang, kuberitahu
sekali saja. Namaku Harry. Harry Luvius." Aku menjabat tangannya kemudian kami kembali berjalan.

Harry menjelaskan tujuan kami adalah ke kota pusat Paradania, Truni. Perlu waktu 15 menit untuk
sampai ke sana dari area istana. Aku tentu tahu tempat ini. Kota yang ada tepat sebelum kami
memasuki istana. Ramai dengan para petualang dan masyarakat yang saling berbaur.

Aku mengikuti Harry di belakang. Sesekali melirik ke kanan dan kiri. Tidak ada mobil maupun motor.
Kendaraan yang sering terlihat adalah kuda dengan kereta yang ditariknya. Sisanya berjalan kaki.
Pakaian mereka yang terlihat sangar cukup membuatku bergidik. Di sisi lain mereka pun melihatku
dengan tatapan aneh. Mungkin karena pakaianku yang kotor dan bukan dari dunia mereka. Namun ada
beberapa orang pula yang menundukkan kepala ketika kami lewat. Sepertinya karena Harry yang
menggunakan jubah penyihir istana. Mereka seakan menghormati orang-orang yang bekerja bersama
raja.
Harry terus berjalan dan masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai pakaian beserta aksesorisnya.
Penjual toko langsung menunduk memberi hormat. Begitu pula beberapa petualang yang sedang
menentukan pakaian.

"Tidak perlu hormat kepadaku, Sainz," ucap Harry kepada penjual toko tersebut.

"Bagaimanapun kau tetap penyihir istana, Harry. Ada yang bisa kubantu?" tanya Sainz. Dari cara
mereka berbicara, sepertinya mereka akrab.

"Anak ini bernama Max. Dia butuh pakaian baru. Lihatlah, dia begitu kotor dan ada beberapa bercak
darah di beberapa bagian. Seperti terlibat perkelahian namun tak ada luka sama sekali di tubuhnya. Aku
akan membayarnya nanti. Dan Max, ini adalah temanku Sainz. Dia pun memiliki bakat sampah
sepertimu," ucapnya.

Sejenak aku terkejut karena Harry tiba-tiba meminta pakaian baru untukku dan disaat yang bersamaan
menghina bakat temannya sendiri saat memperkenalkan padaku. Tetapi Sainz hanya tersenyum
mendengarnya. Seakan menerima saja perkataan kasar Harry.

"Kenapa kau tiba-tiba membelikanku pakaian? Dan mengapa kau menghina temanmu sendiri?" tanyaku
yang tidak tahan dengan ucapannya. Namun Harry malah mengambil kursi. Duduk sambil membaca
buku yang ia selalu bawa dengan cara membiarkannya melayang.

"Biarkan saja dia, Max. Dia memang seperti itu."

Sainz mendekatiku. Mengangkat jari telunjuknya ke atas. Sebuah portal hitam yang hanya bediameter 5
cm muncul dan mengeluarkan meteran pengukur baju. Aku terkagum dengan bakatnya seperti itu. Ia
pun mulai mengukur tinggi dan lebar tubuhku.

"Kau punya bakat yang hebat Sainz!" pujiku. Sainz terkekeh.

"Hanya dengan lubang 5 cm saja apa yg bisa kau perbuat? Sebenarnya bakatku adalah penyimpanan.
Aku bisa menyimpan apapun dan berapapun dengan syarat benda itu harus bisa muat melewati lubang
itu," kata Sainz.

"Dan karena itulah bakatnya hanya sampah," komentar Harry yang masih saja membaca buku.

"Harry!" Bentakku. Tidak peduli aku akan terlihat seperti anak remaja yang berani marah ke seorang
penyihir kerajaan.

"Biarkan saja, Max. Sekasar-kasar omongannya dia, dia memiliki hati yang baik. Toko dan bisnis ini
bermula dari sarannya. Ia menyesuaikan bakat yang kumiliki dengan kemampuanku untuk menjahit
baju," sela Sainz. Ia menuliskan perhitungannya dalam buku dan kembali mengukur lingkar dada dan
perut.

"Tapi ... mengapa kau tidak melatihnya saja agar portal tersebut dapat terbuka lebih lebar?" tanyaku.
Membuat Sainz terdiam sejenak.

"Hei anak muda. Sepertinya kau tidak tahu apa-apa soal bakat. Namun ya sudah pasti kau tidak tahu
karena baru menginjakkan kaki di dunia ini pagi tadi." Harry menutup bukunya lalu menatapku.

"Biar kujelaskan. Bakat. Kemampuan spesial yang tidak semua orang miliki. Bakat pun tidak seperti sihir
yang dipelajari sendiri. Itu murni dari lahir. Kecuali untuk para Pindahan sepertimu yang termasuk kasus
khusus. Bakat tidak memerlukan mana atau energi sihir saat dikeluarkan. Kau pun bisa melakukannya
kapanpun kau mau. Seperti saat kau bernapas, kau tak perlu mengeluarkan energi. Bakat pun seperti
itu. Tetapi untuk meningkatkan kemampuan bakat, bisa dikatakan sangat mustahil. Ibarat kau bisa
bernapas di darat dan sekarang kau ingin bernapas di air," jelas Harry.

"Mungkin itu karena kau tidak pernah mencobanya," selaku.


"Terserah kau saja. Percuma aku katakan pada seseorang dengan bakat sampah sepertimu," ucapnya.
Aku pun diam tidak membalas perkataan Harry.

"Nah sudah selesai, kau bisa menunggu sebentar." Sainz pergi ke ruangan produksinya. Aku pun duduk
di kursi tunggu dekat Harry yang masih sibuk membaca bukunya sendiri.

"Sudah selesai?" tanyanya tanpa menoleh.

"Sainz masih membuatnya."

"Oh."

Kami pun diam tak berbicara kembali. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sisi bangunan toko baju
ini. Masih kagum dengan desain interiornya yang dominan terbuat dari kayu yang diukir. Hanya sebentar
saja, suasana canggung itu kembali dirasakan sampai Sainz datang mengalihkan perhatian kami
sembari membawa tas yang terbuat dari anyaman dedaunan panjang.

"Ini bajumu Max. Kuharap kau menyukainya." Dia menyerahkan tas itu. Aku menerima dan
membukanya. Tas itu ternyata tidak hanya berisi satu set pakaian. Namun terisi sampai 4 set pakaian
lengkap dengan ...

"Itu set pakaian dalam untukmu. Bonus dariku karena kuyakin kau tidak membawa apapun ke dunia ini."
Sainz mengangkat ibu jarinya. Aku hanya tersenyum kikuk.

"Ma-makasih."

"Jadi berapa semuanya?" tanya Harry pada Sainz.

"Total dari seluruhnya bisa mencapai 76 koin perunggu, tapi untukmu kuberi 30 koin perunggu saja."

Harry mengeluarkan satu koin dari sakunya. Koin berwarna perak yang ia berikan pada Sainz.

"Terima saja dan ambil kembaliannya." Harry pun pergi meninggalkan toko. Aku pun mengikutinya dari
belakang. Sainz hanya memegang kepalanya dan menggeleng.

"Selalu saja seperti ini," gumam Sainz.

***

Aku tetap mengikuti Harry berjalan ke pusat kota. Aku sama sekali tidak mengetahui tujuannya. Orang-
orang yang kami lewati selalu menunduk, begitupun dengan para petualang. Cukup membuatku agak
terganggu.

"Kita akan kemana Harry?" tanyaku.

"Ke Bar Shelia. Salah satu bar paling terkenal di kota ini."

Tidak terlalu lama kami berjalan terlihat salah satu bangunan dengan tinggi 3 lantai dan terlihat ramai.
Tertulis di plang kayu depan pintu masuknya 'Bar Shelia'.

Harry mendorong pintu kayu itu. Semerbak harum bunga yang menyegarkan langsung tercium di
hidungku. Yang kukira bar hanya akan berbau alkohol pekat ternyata tidak. Padahal dulu Agam pernah
mengajakku sekali ke salah satu bar kecil saat di kota tetapi aku tidak tahan dengan baunya. Namun ini
cukup membuatku betah.
"Wah lihat siapa yang datang ini, sang penyihir kerajaan nan tampan dan gagah." Seorang perempuan
dengan pakaian yang cukup terbuka di bagian paha dan dadanya. Aku sontak mengalihkan
pandanganku darinya.

"Cukup basa-basinya, Shelia. Aku hanya ingin bertanya apakah kau masih memiliki kamar kosong untuk
tempat tinggal anak ini?" tanya Harry.

Shelia menghembuskan napasnya panjang. "Kau benar-benar tidak tertarik dengan pesonaku ya
penyihir H. Pantas saja kau disebut si penyihir es. Sikapmu saja dingin begini." Shelia melirik padaku
dan tersenyum. "Atau kau lebih menyukai anak-anak daripada aku?"

"Buang pikiran kotormu itu."

"Ya, ya aku hanya bercanda saja." Shelia mendekatiku dan mendekatkan wajahnya padaku. "Siapa
namamu anak manis? Kau tampan juga jika dilihat-lihat."

"Max. Max Steadfast," jawabku singkat.

"Nama yang indah. Apakah dia seorang Pindahan?" tanyanya pada Harry. Harry hanya mengangguk.

"Baiklah, karena kakak laki-laki bodohmu ini tidak mau mengurusmu biar aku sebagai kakak
perempuanmu yang mengambil alih. Masih ada 2 kamar kosong disini. Ada pula 2 orang Pindahan yang
sudah kemari dari sejam yang lalu. Sebaiknya kalian saling berkenalan nantinya," ucap Shelia ramah
sambil tersenyum.

Ia mengangkat tangannya ke arah pelayan yang sedang membersihkan meja bar. Laki-laki muda
berambut putih. Dari wajahnya dan perawakannya kemungkinan dia berumur sama sepertiku. Apakah
dia seorang Pindahan yang dimaksud Shelia?

"Raven kemarilah. Bisa kau antarkan Max ke kamar kosong?"

Anak bernama Raven itu terdiam sejenak lalu mengangguk. Ia kemudian berjalan pergi menuju lantai 2
bar.

"Dia akan menunjukkan kamarmu. Maaf aku belum bisa mengantarmu karena aku masih ada urusan
sebentar dengan penyihir es ini."

Aku menoleh ke arah Harry. Dia mengisyaratkan aku untuk pergi terlebih dahulu. Baiklah, jika itu
maunya.

Aku pun berjalan mengikuti Raven. Dia berjalan menyusuri lorong lalu berhenti di pintu nomor 7.
Mengambil kunci pintu berwarna perak dari sakunya, memasangkannya, lalu membuka pintu. Bunyi
derak pintu kayu seperti menyambut penghuni ruangan ini. Lumayan luas dengan kamar berukuran 5x5
meter dengan kamar mandi di dalam. Furnitur seperti meja, kursi, lemari pakaian, lemari kecil dan kasur
pun sudah tersedia. Terdapat jendela di sebelah kanan kasur. Saat kubuka angin sejuk perkotaan
mengisi seluruh ruangan. Pemandangan alun-alun kota bisa terlihat dari atas sini. Benar-benar sangat
berbeda dengan kamar kos ku dulu.

"Ini benar-benar keren, Raven. Terimakasih sudah mengantarkanku. Oiya ngomong-ngomong berapa
nomor kamarmu?"

"Empat. Aku izin kembali ke bar." Raven pun meninggalkanku sendiri di kamar. Padahal aku masih ingin
berbicara dengannya sejenak. Namun dia masih ada pekerjaan aku bisa memakluminya. Tapi mengapa
seorang Pendatang sepertinya bisa tiba-tiba bekerja disini?

"Halo Max. Urusanku dengan si penyihir es itu sudah selesai." Shelia tiba-tiba saja masuk ke kamarku
dan duduk di kursi kayu yang ada. Aku menoleh padanya.
"Dimana dia?" tanyaku tentang keberadaan Harry padanya.

"Dia sudah kembali ke istana. Masih banyak pekerjaan yang harus diurus terlebih dulu. Dia
menitipkanmu padaku. Dan... kau tahu? Kau mendapatkan kamar ini tentu tidaklah gratis," ucapnya
sambil mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.

"Kalau kau membutuhkan uang, aku tidak bisa mem-"

"Aku tidak butuh uang. Aku membutuhkan yang lain. Asalkan kau secara sukarela menuruti syaratku,
kau bisa tinggal disini ditambah makan 3 kali sehari bahkan lebih," ujarnya masih sambil tersenyum.
Membuatku agak merasa waspada jika dia melakukan hal-hal aneh.

"Ba-baiklah, apa syaratnya?" tanyaku.

Shelia tersenyum senang dengan maksud tersembunyi.

***

Anda mungkin juga menyukai