Anda di halaman 1dari 21

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Slamet Subiyantoro, M. Si.


DEFINISI ISTILAH
Modernisme dan postmodernisme berurusan dengan:
• Formasi budaya dan pengalaman budaya,
misalnya modernisme sebagai pengalaman kultural
dan postmodernisme sebagai kepekaan kultural
yang dikaitkan dengan modernitas yang tinggi atau
postmodernitas;
DEFINISI ISTILAH
• Modernisme dikaitkan dengan filsafat pencerahan
Jean-Jacques Rousseau dan Francis bacon
bersama dengan teori sosio-ekonomi dari Marx,
Max Weber, Jurgen Habermas dan lainnya.
Postmodernisme dalam filsafat dikaitkan dengan
para pemikir yang berbeda-beda seperti Lyotard,
Baudrillard, Foucault, Rorty, dan Zygmunt Bauman.
Pemikiran pencerahan berusaha mencari
kebenaran-kebenaran universal, sedangkan
postmodernisme menunjuk kepada spesifitas
sosio-historis dan linguistik “kebenaran.”
• Modernitas adalah periode sejarah setelah Abad
Pertengahan. Inilah tatanan post-tradisional yang
ditandai dengan perubahan, inovasi, dan dinamisme.
Modernitas adalah tentang kebenaran absolut, seni
murni, keteraturan, kepastian, dan harmoni (Bauman,
1991)
Revolusi Industri
• Revolusi industri di Inggris mengubah masyarakat pra-
industri yang tadinya berproduktivitas rendah menjadi
memiliki produktivitas tinggi dan pertumbuhan yang terus
meningkat. Antara tahun 1780 dan 1840 ekonomi Inggris
berubah secara signifikan. Produksi dalam negeri
digunakan secara langsung ke produksi massal untuk
diperdagangkan, memanfaatkan peralatan kapital.
Perubahan-perubahan juga terjadi dalam kehidupan
personal, sosial, dan politik. Terjadi pergeseran dari
kehidupan pedesaan ke kehidupan perkotaan.
Dinamisme Modernitas Kapitalis
• Organisasi-organisasi industrial modernitas telah lama
diatur sejalan dengan alur-alur kapitalis. Proses-proses
kritis dan inovasi yang menandai modernitas adalah
tunduknya kekuatan-kekuatan alam terhadap manusia,
mesin-mesin, penerapan ilmu kimia dalam industri dan
pertanian, pelayaran menggunakan mesin uap, telegraf
listrik, pembabatan hutan dan pembersihan lahan untuk
perkebunan, kanalisasi sungai-sungai, tercerabutnya
manusia dari hubungannya dengan tanah (Marx dan
Engel, 1967:12).
MODERNISME DAN BUDAYA

• Modernisme mengacu pada bentuk-bentuk budaya


manusia yang terikat dengan modernisasi (Berman,
1982). Modernisme budaya adalah pengalaman, dimana
“Semua yang padat meleleh ke udara,” artinya adalah
adanya perubahan, ketidakpastian, dan risiko. Industri,
teknologi, dan sistem-sistem komunikasi mengubah
dunia manusia dengan kecepatan yang luar biasa.
Transformasi-transformasi semacam itu menjanjikan
berakhirnya kelangkaan material. Semua transformasi
itu juga membawa sisi gelap tersendiri. Barang-barang
elektronik sebagai basis dari teknologi informasi modern
telah dipersonalisasi. Barang-barang seperti itu menjadi
landasan bagi sistem-sistem persenjataan modern serta
teknik-teknik pengawasan dan kegiatan mata-mata oleh
negara, mulai dari rudal-rudal balistik antar benua, dan
pesawat pesawat tempur tanpa awak, hingga kamera
CCTV dan perangkat lunak untuk meretas dan
menyadap telepon.
• Kalangan modernis telah memperlihatkan keyakinan
optimistik terhadap kekuatan ilmu pengetahuan,
rasionalitas, dan industri untuk mengubah dunia kita ke
arah yang lebih baik. Sebaliknya, dinamisme
modernitas dibangun di atas premis revisi terus-menerus
terhadap pengetahuan. Lembaga-lembaga modern
didasarkan pada prinsip keraguan. Semua pengetahuan
dibentuk sebagai hipotesis yang terbuka terhadap
perbaikan dan revisi (Giddens, 1990, 1991). Penanda-
penanda modernism adalah:
ambiguitas, keraguan, risiko, perubahan terus-menerus.
Sisi Gelap Modernitas
• Citra diri modernism adalah: keseruan dan keasyikan
yang terus-menerus, janji akan adanya kemajuan
teknologi dan sosial, tersingkirnya tradisi dan digantikan
dengan hal-hal baru, perkembangan yang bersifat urban,
terungkapnya diri. Akan tetapi, modernitas juga ditandai
dengan: kemiskinan dan kumuhnya kota-kota
industri, perang dunia yang sangat destruktif, kamp-
kamp kematian, ancaman pemusnahan
global. Meskipun di satu sisi, kebebasan individual
meningkat, orang-orang juga diwajibkan untuk tunduk
kepada disiplin yang kaku dan ketat serta anonimitas
urban (Simmel, 1978).
Kritik terhadap Pencerahan
• Adorno dan Horkheimer (1979) berpendapat bahwa
rasionalitas pencernaan adalah logika dominasi, penuh
penjajahan, dan penindasan. Dorongan untuk
menguasai dan mengendalikan alam melalui ilmu
pengetahuan dan rasionalitas, menurut mereka, adalah
dorongan untuk menguasai, mengendalikan, dan
menjajah umat manusia. Adorno dan Horkheimer
mencirikan pemikiran pencerahan sebagai meletakkan
sebuah “identitas” di antara pemikiran dan objeknya
yang berusaha memotret dan mencakup semua yang
berbeda dari dirinya sendiri. Mereka menganggap nalar
pencernaan mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas
dan penipuan karena mengeliminasi cara-cara berpikir
yang saling bersaing dan mengklaim dirinya sendiri
sebagai hal yang paling mendasar bagi kebenaran.
Foucault
• Foucault berhutang kepada filsuf Nietzsche yang
menganggap bahwa pengetahuan adalah sebentuk
“keinginan untuk berkuasa“. Ide tentang pengetahuan
murni tidak dimungkinkan karena nalar dan kebenaran
“tidak lebih dari praktikalitas ras dan spesies tertentu -
kebergunaan mereka adalah satu-satunya kebenaran
mereka” (Nietzsche, 1967). Nietzsche menjelaskan
kebenaran sebagai sebuah pasukan bergerak yang
tersusun dari metafora-metafora dan metonim-
metonim. Artinya kalimat-kalimat adalah satu-satunya
hal yang dapat menjadi benar atau salah.
Foucault
Pengetahuan bukanlah persoalan penemuan yang benar,
tetapi konstruksi yang terdiri dari interpretasi-interpretasi
tentang dunia yang dianggap benar. Bagi Nietzsche,
kebenaran bukanlah sekumpulan fakta. Yang ada hanyalah
interpretasi-interpretasi dan tidak ada batas bagi “cara-cara
yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan dunia”.
Akibatnya, Nietzsche menolak filsafat pencerahan
kemajuan dan nalar universal.
Arkeologi Foucault
Karya-karya awal Foucault menggunakan sebuah
pendekatan metodologis yang disebut arkeologi. Yang
dimaksud dengan arkeologi ini adalah eksplorasi terhadap
kondisi-kondisi sejarah yang pasti dan tertentu yang di
dalamnya pernyataan-pernyataan dipadukan dan diatur
untuk membentuk dan mendefinisikan satu bidang
pengetahuan/objek-objek tentang yang khas. Ranah
pengetahuan ini menuntut adanya seperangkat konsep
tertentu yang membongkar batasan-batasan “rezim
kebenaran” yang spesifik (yaitu apa yang dianggap
sebagai kebenaran). Foucault berusaha untuk
mengidentifikasi kondisi-kondisi sejarah dan menentukan
serta menetapkan aturan aturan untuk membentuk cara-
cara yang teratur, untuk membicarakan objek-objek; yaitu,
praktik-praktik diskursif dan formasi-formasi diskursif.
Foucault (1972, 1973) berpendapat bahwa dalam transisi
dari satu periode sejarah ke periode sejarah yang lain,
dunia sosial tidak lagi memahami, menggambarkan,
menjelaskan, mengklasifikasikan, dan dikenal dengan cara
yang sama. Artinya, diskursus itu tidak berkesinambungan.
Diskursus itu ditandai dengan keterputusan-keterputusan
sejarah dalam pemahaman, perubahan-perubahan dalam
cara objek-objek konseptualisasikan dan dipahami.
Periode-periode sejarah yang berbeda-beda ditandai
dengan epistem-epistem, atau konfigurasi konfigurasi
pengetahuan yang berbeda-beda pula, yang membentuk
praktik-praktik sosial dan tatanan sosial pada periode-
periode sejarah tertentu.
Postmodernisme sebagai Berakhirnya Narasi-narasi
Besar
Foucault tidak menganggap diri sendiri sebagai seorang
pemikir postmodern. Akan tetapi, penulis-penulis lainnya,
terutama Lyotard, telah memeluk konsepsi perspektifal
tentang pengetahuan dan istilah post-modern dengan
semangat yang lebih besar lagi. Lyotard berpendapat bahwa
kebenaran dan makna dibentuk oleh tempat kebenaran dan
makna itu dalam permainan-bahasa lokal yang spesifik dan
tidak mungkin bersifat universal. Bagi Lyotard, kondisi-
kondisi postmodern bukanlah sebuah konsep periodisasi;
artinya, postmodern bukanlah sebuah masa atau periode
dalam sejarah. Konsep itu juga tidak mengacu pada
parameter-parameter kelembagaan modernitas dan
postmodernitas.
Bagi Lyotard, pengetahuan modern terletak pada
ketertarikannya terhadap berbagai metanarasi, yaitu cerita-
cerita sejarah besar yang mengklaim validitas universal.
Sebaliknya, postmodern, dalam menyatakan bahwa
pengetahuan bersifat spesifik pada setiap permainan-kata,
merangkul pengetahuan-pengetahuan, plural, dan
heterogen. Kondisi postmodern melibatkan hilangnya
kepercayaan terhadap skema-skema mendasar yang
pernah membenarkan proyek-proyek rasional, ilmiah,
teknologi dan politis dunia modern. Lyotard menolak teror
dogma-dogma yang menghakimi semacam itu dan
menggantikannya dengan merayakan perbedaan dan
pemahaman-pemahaman yang terletak didalam rezim-
rezim pengetahuan tertentu.
Berakhirnya Epistemologi
Bagi postmodernisme, tidak mungkin ada satupun
epistemologi yang menguniversalkan karena semua klaim
kebenaran dibentuk di dalam diskursus. Tidak ada
landasan-landasan filosofis universal bagi pikiran dan
tindakan manusia. Semua kebenaran terikat dengan
budaya yang berkaitan dengannya.

Rorty berpendapat bahwa konsep tentang kebenaran tidak


memiliki kekuatan untuk menjelaskan. Pandangan tentang
kebenaran paling banter mengacu pada satu derajat
kesepakatan sosial didalam suatu tradisi tertentu. Rorty
menganjurkan agar kita meninggalkan epistemology,
mengakui “kebenaran” sebagai satu bentuk rekomendasi
sosial (1989,1991a) –kondisi yang Foucault gambarkan
sebagai “berada dalam yang benar”.
Berakhirnya Epistemologi
Bagi postmodernisme, tidak mungkin ada satupun
epistemologi yang menguniversalkan karena semua klaim
kebenaran dibentuk di dalam diskursus. Tidak ada
landasan-landasan filosofis universal bagi pikiran dan
tindakan manusia. Semua kebenaran terikat dengan
budaya yang berkaitan dengannya.

Rorty berpendapat bahwa konsep tentang kebenaran tidak


memiliki kekuatan untuk menjelaskan. Pandangan tentang
kebenaran paling banter mengacu pada satu derajat
kesepakatan sosial didalam suatu tradisi tertentu. Rorty
menganjurkan agar kita meninggalkan epistemology,
mengakui “kebenaran” sebagai satu bentuk rekomendasi
sosial (1989,1991a) –kondisi yang Foucault gambarkan
sebagai “berada dalam yang benar”.
Kennet Gergen (1994) sepakat bahwa tidak ada posisi
epistemologis yang mampu memberikan landasan
universal untuk klaim-klaim kebenarannya sendiri. Hal ini
termasuk ilmu pengetahuan modern dan postmodernisme.
Akan tetapi, dia juga berargumen bahwa konsekuensi-
konsekuensi dari tindakan mengadopsi sebuah
epistemologi modern atau postmodern itu berbeda.
Menurut Gergen, klaim-klaim kebenaran modern bersifat
menguniversalkan. Klaim-klaim itu memaksakan
kebenaran-kebenarannya bagi semua orang di semua
tempat. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi
atau akibat-mendisiplinkan yang berpotensi merusak di
mana para pengusung “kebenaran” itu menjadi pihak yang
paling tahu segalanya.
Relativisme atau Posisionalitas?
Postmodernisme sering diyakini sebagai suatu bentuk
relativisme. Artinya, klaim-klaim kebenaran dikatakan memiliki
status epistemologis yang sama atau setara. Akibatnya, kita
tidak bisa membuat penilaian-penilaian di antara berbagai
bentuk pengetahuan. Gergen menganut istilah “relativisme”,
dengan argumen bahwa kebenaran memang adalah hasil dari
perdebatan-perdebatan di antara klaim-klaim yang saling
bersaing. Rorty menolak relativisme karena dianggapnya
kontradiktif dalam dirinya sendiri, dan ali-alih mendukung watak
kebenaran yang terikat pada budaya, sesuatu yang kajian
budaya disebut dengan istilah posisionalitas. Bagi Rorty, yang
benar dan yang baik dinilai sebagai pragmatisme yaitu akibat-
akibat dari mengadopsi macam-macam pemahaman tertentu.
Penilaian semacam itu hanya dapat dibuat dengan mengacu
pada nilai-nilai kita dan bukan dengan mengacu pada
kebenaran transendental.
Postmodernisme dan Runtuhnya Batas-batas Kultural
Lash (1990) menengarai adanya pergeseran dari yang “diskursif” ke
yang “figural” sebagai inti dari awal postmodern. Artinya, logika-logika
pemaknaan modern dan postmodern bekerja dengan cara yang
berbeda. “Rezim” pemaknaan modernis, antara lain:
 lebih mementingkan kata-kata dibandingkan gambar-gambar;
 menyebarluaskan pandangan dunia yang rasionalis;
 mengeksplorasi makna-makna teks-teks budaya, dan menciptakan
jarak antara penonton dan objek budaya.

Sebaliknya, “figural” postmodern:


 lebih bersifat visual;
 mengambil dari kehidupan sehari-hari;
 menentang pandangan-pandangan rasionalisme tentang budaya;
 melarutkan penonton dalam gairahnya terhadap objek budaya.

Anda mungkin juga menyukai