52
Selanjutnya pada tahun 2014 terjadi lonjakan tertinggi defisit APBN
Indonesia hingga mencapai peningkatan sebesar 898,48%. Peningkatan defisit
APBN Indonesia yang sangat tinggi ini dipicu oleh banyak faktor diantaranya,
adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis
penurunan komoditas, terjadinya penyusutan penerimaan pajak dan penerimaan
bukan pajak yang signifikan dan diikuti dengan belanja negara yang tidak terjaga
yang diakibatkan oleh biaya subsidi subsidi BBM maupun listrik. Lifting minyak
pun disebut sebagai salah satu pengurang penerimaan. Akibat adanya pelemahan nilai
tukar rupiah, realisasi lifting yang menurun dan harga minyak mentah Indonesia
(ICP) memicu pembengkakan subsidi, termasuk subsidi listrik yang dapat
melambung Rp35,7 triliun.
Menurut Bambang (2014), Perubahan nilai tukar rupiah, menjadi penyebab
utama seluruh asumsi makro meleset dan berakibat memburuknya defisit anggaran
jika pemerintah tidak melakukan perubahan. Nilai tukar yang terdepresiasi
membuat negara membayarkan bunga cicilan semakin membengkak sehingga
memicu peningkatan defisit APBN Indonesia. Efek inflasi dan lain-lainnya
dianggap berdampak kecil pada pelebaran defisit anggaran negara. Hal lain yang
menyebabkan defisit APBN Indonesia ini meningkat adalah melambatnya
pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan
dan pelemahan impor menjadi penyebab rendahnya raihan pendapatan.
Kemudian di tahun 2015 defisit APBN Indonesia kembali menurun sebesar
7,86%. Penurunan ini terjadi karena penerimaan negara meningkat lebih besar
dibandingkan dengan perkiraan perubahan dari sisi pengeluaran. Adapun penyebab
rendahnya pengeluaran: pertama, tertundanya penyelesaian anggaran; kedua,
rendahnya pembiayaan subsidi dan pembayaran bunga utang luar negeri yang
diikuti dengan lebih cepatnya apresiasi rupiah; tertundanya beberapa penarikan
pinjaman luar negeri; keempat, terlambatnya otorisasi pembelanjaan dana-dana
proyek. Pada saat itu pemerintah berkomitmen mempertahankan kebijakan makro
ekonomi yang mengedepankan prinsip kehati-hatian.
53
Tabel 5.1 Perkembangan Defisit APBN Indonesia Tahun 2000-2021 (Milliar
Rupiah)
54
Pandemi telah membatasi mobilitas perekonomian dan berdampak pada lesunya
roda perekonomian yang kemudian berefek pada penerimaan negara yang menurun.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan biaya yang besar untuk pemulihan
kesehatan dan bantuan sosial lainnya.
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
-200.00
Defisit APBN
55
ini disebabkan oleh pandemi covid-19 yang berdampak pada munculnya gejolak
besar pada ekonomi global, kegiatan perdagangan terganggu dan menurunkan
tingkat kesejahteraan masyarakat serta menurunnya daya beli masyarakat. Namun,
pada tahun 2021 paritas daya beli Indonesia meningkat signifikan seperti yang
ditunjukkan pada grafik 5.2. Peningkatan paritas daya beli ini didukung oleh adanya
pemlihan ekonomi pasca Covid-19. Pada saat itu pemerintah mulai menerapkan
berbagai kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki perekonomian termasuk
perdagangan internasional.
Tabel 5.2 Perkembangan Paritas Daya Beli Indonesia Tahun 2000 – 2021
(Miliar US$)
Tahun Paritas Daya Beli Indonesia Perkembangan (%)
2000 1.002,27 7.30
2001 1.062,19 5,98
2002 1.127,28 6,13
2003 1.204,48 6,85
2004 1.299,04 7,85
2005 1.416,04 9,01
2006 1.540,03 8,76
2007 1.682,01 9,22
2008 1.817,36 8,05
2009 1.913,67 5,30
2010 2.057,21 7,50
2011 2.229,51 8,38
2012 2.413,43 8,25
2013 2.535,04 5,04
2014 2.622,25 3,44
2015 2.647,71 0,97
2016 2.744,90 3,67
2017 2.894,12 5,44
2018 3.116,59 7,69
2019 3.331,57 6,90
2020 3.302,10 -0,88
2021 3.566,26 8,00
Rata-Rata 2160,23 6.31
Sumber : World Bank, 2023
56
Gambar 5.2 Grafik Perkembangan Paritas Daya Beli Indonesia Tahun 2000 -
2021
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
-2.00
57
Tabel 5.3 Perkembangan Inflasi Indonesia Tahun 2000-2021 (Persen)
Tahun Inflasi Indonesia
2000 4,8
2001 12,6
2002 10
2003 5,1
2004 6,4
2005 17,1
2006 6,6
2007 6,59
2008 11,1
2009 2,78
2010 6,96
2011 3,78
2012 4,34
2013 8,4
2014 8,36
2015 8,35
2016 4,7
2017 4
2018 3,5
2019 3,5
2020 3,1
2021 3
Rata-Rata 6,59
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022
Dari grafik 5.3 terlihat bahwa peningkatan inflasi yang signifikan terjadi pada
tahun 2005 yang mana pada tahun sebelumnya di tahun 2004 masih sebesar
6,4% dan selanjutnya naik hingga mencapai 17,1% pada tahun 2005.
Peningkatan ini terjadi dikarenakan adanya kenaikan BBM dan kenaikan harga
pangan sehingga mendorong perubahan indeks harga konsumen. Selain naiknya
harga BBM, tingkat inflasi yang cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 terjadi
karena adanya bulan Ramadhan yang jatuh pada awal bulan sehingga mengerek
inflasi pada kelompok bahan makanan naik.
58
Kenaikan harga BBM domestik, konversi minyak tanah ke LPG dan
tingginya harga komoditas internasional memberikan kontribusi terbesar pada
inflasi 2008 karena terdapat indikasi awal tekanan dari permintaan domestik yang
memberikan tekanan pada inflasi inti. Sedangkan perkembangan inflasi terendah
terjadi pada tahun 2009 dan tahun 2021, dimana pada tahun 2009 inflasi mengalami
penurunan dari 11,1% turun menjadi 2,78% yakni karena dampak krisis ekonomi
global yang menyebabkan permintaan dunia menurun. Seperti sektor perdagangan,
hotel dan restoran (PHR) terus melambat terutama yang diduga disebabkan oleh
menurunnya permintaan karena melemahnya daya beli masyarakat
Hal itu disebabkan karena pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan
berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat kontraksi
ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Sehingga kondisi tersebut menurunkan
kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi
menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun
sebelumnya. Sehingga saat kondisi perekonomian global yang masih mengalami
tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada sejumlah
tantangan yang tidak ringan selama tahun 2009.
Selanjutnya selama 3 periode pada 2019-2021 arah perkembangan inflasi
menurun. Kondisi penurunan inflasi ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu: Pertama,
pasok produksi yang memadai dengan permintaan pasar. Kedua, koordinasi
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BI dalam memenuhi ketersediaan dan
keterjangkauan bahan pangan juga mempengaruhi inflasi serta beberapa komoditas
justru mengalami deflasi. Ketiga, inflasi rendah dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah
yang bergerak stabil karena nilai tukar rupiah yang stabil bahkan terapresiasi
membuat tekanan harga dari eksternal dan global rendah.
Dengan begitu, inflasi bisa bertahan di level rendah sepanjang 2019.
Perkembangan inflasi terendah kedua selama periode penelitian terjadi pada tahun
2021 dan pada tahun 2021 mengalami perkembangan hingga 3%. Inflasi yang
rendah pada tahun 2021 tersebut dipengaruhi oleh permintaan domestik yang belum
kuat sebagai dampak pandemi Covid-19, pasokan yang memadai, dan sinergi
59
kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah
dalam menjaga kestabilan harga
Inflasi Indonesia
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Inflasi (%)
60
Tabel 5.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah per USD Tahun 2000-2021
(Rp/US$)
Nilai Tukar Rupiah per
Tahun Perkembangan (%)
USD
2000 7.000,00 -6.67
2001 10.241,00 46,30
2002 9.311,00 -9,08
2003 8.577,00 -7,88
2004 8.939,00 4,22
2005 9.705,00 8,57
2006 9.164,00 -5,57
2007 9.140,00 -0,26
2008 9.691,00 6,03
2009 10.408,00 7,40
2010 9.087,00 -12,69
2011 8.779,00 -3,39
2012 9.380,00 6,85
2013 10.460,00 11,51
2014 11.869,00 13,47
2015 13.392,00 12,83
2016 13.900,00 3,79
2017 13.300,00 -4,32
2018 13.400,00 0,75
2019 15.000,00 11,94
2020 14.312,00 -4,59
2021 14.600,00 2,01
Rata-Rata 10893,41 3,69
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023 (data diolah)
Berdasarkan tabel 5.4 dan grafik 5.4 dapat dilihat bahwa perkembangan nilai
tukar rupiah per USD mengalami fluktuasi selama periode penelitian.
Perkembangan nilai tukar rupiah per USD yang tertinggi terjadi pada tahun 2001
sebesar 46,30% atau dari Rp7.000,00 pada tahun 2000 menjadi Rp10.241,00 pada
tahun 2001 artinya nilai tukar pada tahun 2001 melemah (terdepresiasi).
Melemahnya nilai tukar ini disebabkan oleh adanya krisis moneter pada tahun 1997
yang melanda hampir di semua negara Asia yang mulai mengguncang
perekonomian negara Indonesia dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah per USD
yang disebabkan oleh bertambahnya peredaran uang primer sehingga barang ekspor
dan impor menjadi mahal.
61
Perkembangan tertinggi kedua terjadi pada tahun 2014 sebesar 13,47% atau
dari Rp10.460,00 tahun 2013 meningkat menjadi sebesar Rp11.869,00 di tahun
2014, artinya nilai tukar pada tahun 2014 terdepresiasi. Banyak faktor yang
mempengaruhi depresiasi ini, diantaranya adalah wacana tapering off yang
dilakukan Amerika Serikat tahun 2014 serta dampak lanjutan dari tapering off
tersebut, yaitu diperkirakan The FED akan menaikkan suku bunga. Kemudian
faktor selanjutnya adalah nilai subsidi bahan bakar yang terus membengkak akibat
dari peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia terutama kendaraan
roda dua, sehingga defisit APBN 2014 terus meningkat. Faktor lainnya yang
memiliki andil dalam depresiasi nilai per USD ini yaitu Indonesia mulai menjadi
net importir. Hal ini dapat dilihat dari neraca transaksi berjalan Indonesia yang
negatif yang mengindikasikan bahwa Indonesia lebih banyak melakukan impor,
baik barang jadi maupun impor bahan baku.
Gambar 5.4 Grafik Perkembangan Nilai Tukar Rupiah per USD Tahun 2000
- 2021
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
-10.00
-20.00
Nilai Tukar
Perkembangan nilai tukar terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar -12,69%
atau sebesar Rp9.087,00, artinya nilai tukar pada tahun 2010 menguat (terapresiasi).
Hal tersebut dapat dilihat dari grafik 5.4 yang mana pada tahun sebelumnya tahun
62
2009 perkembangan nilai tukar sebesar 7,4 turun menjadi 12,69% di tahun 2010.
Penyebab terapresiasinya nilai tukar Rupiah per USD ini adalah adanya pemulihan
ekonomi di kawasan Asia, serta semakin kuatnya fundamental ekonomi domestik
yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor dan investasi yang terus
mendorong apresiasi rupiah dan termasuk meningkatkan cadangan devisa. Aliran
modal asing yang membanjiri kawasan Asia sejak awal tahun 2010 mendorong
berlanjutnya penguatan nilai tukar Rupiah per USD . Kondisi fundamental ekonomi
domestik yang tetap positif, disertai dengan imbal hasil investasi yang relatif lebih
menarik dibandingkan negara lain mendorong berlanjutnya aliran dana asing ke
pasar keuangan domestik. Selain faktor aliran dana asing, penguatan nilai tukar juga
ditopang oleh fundamental perekonomian domestik yang solid. Sedangkan rata-
rata perkembangan nilai tukar Rupiah per USD selama periode 2000-2021 adalah
sebesar 4,19 %.
63
Salah satunya meningkatnya permintaan minyak mentah maupun produk
minyak mentah dari China setelah dilakukan pencabutan kebijakan pembatasan
aktivitas di negara tersebut kondisi ini disebabkan oleh stok minyak mentah
Amerika Serikat turun serta adanya penambahan kuota impor China untuk
memenuhi kebutuhan beberapa kilang di China.
64
Selanjutnya perkembangan harga minyak terendah terjadi pada tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 49,01%. Penurunan tersebut dapat dilihat dari grafik
5.5. Adapun penyebab terjadinya penurunan harga minyak mentah Indonesia
menurut Kementerian ESDM (2015), Penurunan harga minyak mentah Indonesia
tersebut sejalan dengan perkembangan harga minyak mentah utama di pasar
Internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu berdasarkan publikasi
OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) bulan Juni 2015 bahwa
pasokan minyak mentah OPEC di bulan Mei 2015 mengalami peningkatan. Faktor
lainnya adalah peningkatan ekspor minyak mentah Iran selama bulan Juni 2015
mencapai 3,20 juta barel per hari disebabkan kemungkinan dihapuskannya sanksi
ekonomi terkait kesepakatan nuklir Iran, kekhawatiran melemahnya perekonomian
Eropa akibat potensi gagal bayar utang Yunani kepada IMF dan kebijakan baru dari
Pemerintah Amerika Serikat yang mengizinkan ekspor kondensat. Untuk kawasan
Asia Pasifik, penurunan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh menurunnya
pertumbuhan ekonomi Cina menjadi 7% pada kuartal I 2015 dibandingkan tahun
2014 sebesar 7,4% yang merupakan laju pertumbuhan terendah sejak tahun 2009
dan meningkatnya freight rates mengakibatkan pengapalan kondensat di kawasan
Asia cenderung berkurang.
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
-20.00
-40.00
-60.00
65
5.1.6. Perkembangan Penerimaan Pajak
Penerimaan negara merupakan pemasukan yang diperoleh negara untuk
membiayai dan menjalankan program-program pemerintah. Penerimaan negara
Indonesia salah satunya bersumber dari penerimaan pajak. Secara sederhana
penerimaan pajak diartikan sebagai seluruh penerimaan negara yang terdiri atas
pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional.
Untuk melihat kondisi perkembangan penerimaan pajak Indonesia dapat dilihat
pada tabel dan grafik 5.6.
66
Penurunan penerimaan pajak hanya terjadi 2 tahun selama periode penelitian,
namun terlihat pada grafik 5.6 arahnya cenderung menurun. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan perkembangan penerimaan pajak tidak terlalu
signifikan. Perkembangan penerimaan pajak yang signifikan selama periode
penelitian terjadi pada tahun 2001 sebesar 66,33% seperti yang terlihat pada grafik
5.6 menunjukkan arah peningkatan. Peningkatan tersebut terutama berkaitan
dengan : membaiknya pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan intensifikasi dan
ekstensifikasi perpajakan, dan penyempurnaan berbagai peraturan perpajakan.
Selain karena pengaruh perkembangan kondisi ekonomi makro, peningkatan
penerimaan tersebut juga merupakan hasil dari upaya-upaya : ekstensifikasi wajib
pajak terutama melalui program penyisiran (canvassing) wajib pajak, intensifikasi
pemungutan pajak, terutama melalui pengawasan yang lebih intensif terhadap wajib
pajak potensial, dan peningkatan penegakan hukum (law enforcement). Selanjutnya
perkembangan penerimaan pajak tertinggi kedua terjadi pada tahun 2005. Menurut
Purnomo (2005) penerimaan pajak meningkat sebesar 26,51% dikarenakan adanya
perubahan dari PPh migas dan PPh non migas yang semakin meningkat.
Penerimaan perpajakan terus mengalami pertumbuhan positif hingga tahun
2016, namun sejak tahun 2017 pertumbuhan tersebut tidak seiring dengan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mengalami penurunan akibat
turunnya harga minyak mentah atau disebut Indonesian Crude Oil Price (ICP).
Kondisi tersebut menyebabkan beban kebutuhan penerimaan pajak menjadi lebih
besar berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan belanja negara yang juga
semakin meningkat setiap tahunnya.
Kemudian penurunan penerimaan pajak di tahun 2021 cukup signifikan sebesar
22,57% seperti yang terlihat pada grafik 5.6. Menurut Mulyani (2021), kondisi
penurunan penerimaan pajak tersebut disebabkan oleh empat faktor yaitu : pertama,
tekanan aktivitas usaha akibat pembatasan sosial pada kondisi pandemi Covid-19
berdampak pada terjadinya kenaikan biaya tak terduga yang dikeluarkan untuk
menanggulangi wabah Covid-19 dan dana bantuan kepada mayarakat agar bisa
bertahan pada masa pandemi. Kedua, dampak perlambatan ekonomi dan
pemanfaatan insentif pajak terlihat pada pertumbuhan negatif pada hampir seluruh
67
jenis penerimaan pajak. Ketiga, kontraksi juga terlihat pada setoran pajak dari
sektor utama perekonomian sebagai dampak perlambatan ekonomi dan turunnya
harga komoditas. Keempat, insentif fiskal Covid-19 dalam rangka program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mulai dimanfaatkan dan juga adanya
restitusi pajak yang dipercepat turut mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak.
Penerimaan pajak
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
2008
2010
2019
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2009
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2020
2021
-20.00
-40.00
Penerimaan pajak
68
Tabel 5.7 Hasil Regresi Linear Berganda
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -741510.4 204116.7 -3.632777 0.0022
PD 774.0066 102.6185 7.542561 0.0000
INF 370.0754 6583.610 0.056212 0.9559
NT 15.37611 28.19654 0.545319 0.5931
HM -2840.449 1058.799 -2.682708 0.0163
PJ -0.818620 0.134853 -6.070438 0.0000
Sumber : hasil olahan software EViews 12
Berdasarkan hasil olahan data yang dilakukan dengan software EViews 12
mengenai pengaruh paritas daya beli Indonesia, inflasi Indonesia, nilai tukar Rupiah
per USD, harga minyak mentah Indonesia, penerimaan pajak terhadap defisit
APBN Indonesia tahun 2000-2021 diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap
variabel penelitian dengan persamaan sebagai berikut :
DAt = β0 + β1t - β2 INFt + β3 NTt + β4 HMt + β5 -PJt ...................................... (5.1)
DAt = -741510.4 + 774.0066 PDt + 370.0754 INFt + 15.37611 NTt – 2840.449
HMt – 0.818620 PJt ............................................................................. (5.2)
Dimana :
DA = Defisit APBN Indonesia
PD = Paritas Daya Beli Indonesia
INF = Inflasi Indonesia
NT = Nilai Tukar Rupah per USD
HM = Harga Minyak Mentah indonesia
PJ = Penerimaan Pajak
69
2. Variabel paritas daya beli Indonesia mempunyai koefisien regresi sebesar
774,0066. Hal ini memiliki arti bahwa paritas daya beli Indonesia
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan
bahwa setiap terjadi kenaikan 1US$ paritas daya beli Indonesia dalam satu
tahun, dengan asumsi variabel lain tidak berubah/tetap maka akan
meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar Rp774,0066 Miliar. Hasil
temuan penelitian ini berbeda dengan hipotesis yang diajukan di awal yang
mengatakan bahwa paritas daya beli Indonesia berpengaruh negatif terhadap
defisit APBN Indonesia.
3. Variabel inflasi Indonesia mempunyai koefisien regresi sebesar 370,0754.
Hal ini memiliki arti bahwa inflasi Indonesia berpengaruh positif terhadap
defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1
persen inflasi Indonesia dalam satu tahun, dengan asumsi variabel lain tidak
berubah/tetap maka akan meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar
Rp370,0754 Miliar. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal yang menyatakan bahwa inflasi Indonesia berpengaruh
positif terhadap defisit APBN Indonesia.
4. Variabel nilai tukar Rupiah per USD mempunyai koefisien regresi sebesar
15,37611. Hal ini memiliki arti bahwa nilai tukar Rupiah per USD
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan
bahwa setiap terjadi peningkatan (depresiasi) 1 Rupiah\US$ nilai tukar
Rupiah per USD dalam satu periode, dengan asumsi variabel lain tidak
berubah/tetap maka akan meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar
Rp15,37611 Miliar. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal yang menyatakan bahwa nilai tukar Rupiah per USD
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia.
5. Variabel harga minyak mentah Indonesia mempunyai koefisien regresi
sebesar -2840.449. Hal ini memiliki arti bahwa harga minyak mentah
Indonesia berpengaruh negatif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini
menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1 US$/Barel harga minyak mentah
Indonesia dalam satu tahun, dengan asumsi variabel lain tidak berubah/tetap
70
maka akan menurunkan defisit APBN Indonesia sebesar Rp2840,449 Miliar.
Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan di awal
yang menyatakan bahwa harga minyak mentah Indonesia berpengaruh
negatif terhadap defisit APBN Indonesia.
6. Variabel penerimaan pajak mempunyai koefisien regresi sebesar -0,818620.
Hal ini memiliki arti bahwa penerimaan pajak berpengaruh negatif terhadap
defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1
Milliar Rupiah penerimaan pajak dalam satu tahun, dengan asumsi variabel
lain tidak berubah/tetap maka akan menurunkan defisit APBN Indonesia
sebesar Rp0,818620 Milliar Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan
hipotesis yang diajukan di awal yang menyatakan bahwa penerimaan pajak
berpengaruh negatif terhadap defisit APBN Indonesia.
71
5.2.3.2. Uji Parsial (Uji t)
Uji t dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independent terhadap
variabel dependen secara parsial (individu). Untuk mengetahui apakah variabel
independen berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen maka
digunakan alpha 5%, jika nilai prob < 0,05 maka signifikan (Gujarati, 1995).
Tabel 5.9 Uji Parsial (Uji t)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -741510.4 204116.7 -3.632776 0.0022
PD 774.0066 102.6186 7.542559 0.0000
INF 370.0754 6583.611 0.056212 0.9559
NT 15.37611 28.19654 0.545319 0.5931
HM -2840.449 1058.799 -2.682707 0.0163
PJ -0.818620 0.134853 -6.070437 0.0000
Sumber : hasil olahan software EViews 12
Adapun hasil olahan data menunjukan uji t sebagai berikut:
1. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel paritas daya beli Indonesia adalah sebesar 0.0000 < 0.05
maka secara parsial variabel paritas daya beli Indonesia berpengaruh
signifikan terhadap variabel defisit APBN indonesia. Ini berati H0 ditolak dan
Ha diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menemukan bahwa paritas daya beli
Indonesia yang awalnya di duga berpengaruh negatif dan signifikan tetapi
hasilnya menunjukkan bahwa paritas daya beli Indonesia berpengaruh positif
dan signifikan, berarti dalam kasus penelitian ini di Indonesia selama periode
2000-2021 memberikan temuan yang berbeda dari dugaan awal.
2. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel inflasi Indonesia adalah sebesar 0.9559 > 0.05 maka secara
parsial variabel inflasi Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap
variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 diterima dan Ha ditolak. Hasil
pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa secara teori arah hubungannya
sama dengan hipotesis awal yang diajukan, dimana dugaan awalnya inflasi
Indonesia berpengaruh positif. Tetapi secara statistik tidak berpengaruh
signifikan.
3. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
72
t statistik) variabel nilai tukar Rupiah per USD adalah sebesar 0.5931 > 0.05
maka secara parsial variabel nilai tukar Rupiah per USD tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 diterima
dan Ha ditolak. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa secara teori
arah hubungannya sama dengan hipotesis awal yang diajukan, dimana dugaan
awalnya nilai tukar Rupiah per USD berpengaruh positif. Tetapi secara
statistik tidak berpengaruh signifikan.
4. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel harga minyak mentah Indonesia adalah sebesar 0.0163 <
0,05 maka secara parsial variabel harga minyak mentah Indonesia
berpengaruh signifikan terhadap variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati
H0 ditolak dan Ha diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa
variabel harga minyak mentah Indonesia sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal, dimana dugaan awalnya harga minyak mentah Indonesia
berpengaruh negatif dan signifikan. berarti dalam kasus penelitian ini di
Indonesia selama periode 2000-2021 memberikan temuan yang sama dari
dugaan awal.
5. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel penerimaan pajak adalah sebesar 0.0000 < 0.05 maka
secara parsial variabel penerimaan pajak berpengaruh signifikan terhadap
variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 ditolak dan Ha diterima. Hasil
pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa variabel penerimaan pajak sesuai
dengan hipotesis yang diajukan di awal, dimana dugaan awalnya harga
minyak mentah Indonesia berpengaruh negatif dan signifikan. Berarti dalam
kasus penelitian ini di Indonesia selama periode 2000-2021 memberikan
temuan yang sama dari dugaan awal.
73
hanya 1 saja (biasa disebut dengan Regresi Linier Sederhana), sedangkan Adjusted
R-Square digunakan pada saat variabel bebas lebih dari satu. Dalam menghitung
nilai koefisien determinasi pada penelitian ini penulis menggunakan Adjusted R-
Square karena variabelnya lebih dari 3.
0 Jarque-Bera 1.125711
-100000 -50000 0 50000 100000 Probabi l i ty 0.569580
74
Hasil olahan data diatas menunujukan gambar uji normalitas yang memiliki
nilai Jarque-Berra sebesar 1,125711 dan probability (p-value) sebesar 0,569580 >
0,05 sehingga hasil olahan data di atas berdistribusi normal.
C 4.17E+10 174.8360 NA
PD 10530.57 233.8024 27.58500
INF 43343921 10.18604 2.278312
NT 795.0449 413.6868 17.77999
HM 1121056. 21.68102 3.705466
PJ 0.018185 86.49767 24.58440
Dari hasil olahan data diatas dapat dilihat bahwa nilai VIF (Variance Inflation
Factors) variabel inflasi dan harga minyak memiliki nilai VIF yang lebih kecil dari
10. Hal ini berati tidak ada masalah multikolineaitas. Sedangkan variabel paritas
daya beli Indonesia, nilai tukar Rupiah per USD dan penerimaan pajak memiliki
nilai VIP yang lebih besar dari 10. Hal ini berati terdapat masalah multikolinearitas
yang ditemukan pada ketiga variabel tersebut.
75
5.2.5.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menemukan apakah di dalam persamaan
regresi terdapat masalah autokorelasi atau tidak. Apabila nilai Prob.chi-square >
0.05 maka tidak terjadi masalah autokorelasi. Sebaliknya apabila nilai Prob.chi-
square < 0,05 maka terdapat masalah autokorelasi. Adapun hasil olahan data
menunjukan hasil uji autokerasi sebagai berikut.
Pada data hasil olahan eviews di atas, nilai Prob chi-square adalah 0.2223 >
0,05. Hal ini berarti dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat
masalah autokorelasi.
76
Berdasarkan hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa nilai Prob.Chi-
squared sebesar 0.3557 > 0,05 artinya tidak terjadi heteroskedastisitas.
77
negara juga semakin sedikit. Penurunan pendapatan ini akan mendorong semakin
tingginya defisit APBN Indonesia.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Hidayat, dkk (2019) dengan judul “Determinan Defisit Anggaran Pemerintah dan
Dampaknya Terhadap Utang Luar Negeri Indonesia”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap defisit APBN. Penelitian
ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnah (2015) yang
menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap defisit
APBN. Dengan demikian hasil olahan data ini sesuai dengan hipotesis di awal tetapi
tidak signifikan. Kemudian ternyata inflasi Indonesia tidak ada pengaruh signifikan
terhadap defisit APBN Indonesia. Penyebab inflasi Indonesia tidak signifikan
disebabkan oleh adanya kebutuhan pokok masyarakat yang tetap harus dipenuhi
meskipun harga barang-barang meningkat seperti bahan pangan, sehingga
meskipun inflasi tinggi maka masyarakat tetap membeli barang tertentu. Sehingga
akan berdampak pada sumber penerimaan negara yang tetap terjaga yang nantinya
akan menurunkan defisit APBN Indonesia.
5.3.3. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah per USD Terhadap Defisit APBN
Indonesia
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel nilai tukar Rupiah
per USD berpengaruh positif namun tidak signifikan. Nilai tukar Rupiah per USD
dengan defisit APBN Indonesia memiliki hubungan yang positif. Apabila nilai
tukar Rupiah per USD meningkat (terdepresiasi) maka akan menyebabkan neraca
perdagangan defisit karena pada saat nilai tukar meningkat (terdepresiasi) biaya
produksi yang berasal dari impor akan semakin mahal, apabila biaya produksi
mahal, maka produsen juga akan meningkatkan harga barang yang dijual baik itu
di dalam negeri maupun diluar negeri. Dampak kenaikan harga jual tersebut
membuat barang tidak kompetitif atau bersaing dan akan mengurangi permintaan
dari pelanggan atau membeli barang dengan jumlah yang lebih sedikit
dibandingkan pada saat harga turun atau tetap. Turunnya penjualan eksportir akan
menyebabkan penerimaan dari Pph semakin sedikit sehingga defisit APBN
Indonesia juga akan meningkat.
78
Dengan demikian hasil olahan data ini sesuai dengan hipotesis awal yang
diajukan bahwa apabila nilai tukar Rupiah per USD meningkat (terdepresiasi) maka
defisit APBN Indonesia akan naik sebaliknya, apabila nilai tukar Rupiah per USD
menurun (terapresiasi) maka defisit APBN Indonesia juga akan menurun. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuntadi (2023) dengan
judul “Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Defisit Anggaran”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh positif terhadap defisit APBN.
Namun ternyata, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa nilai tukar
Rupiah per USD tidak ada pengaruh signifikan terhadap defisit APBN Indonesia
selama kurun penelitian. Menurut penulis, hal tersebut terjadi karenan meskipun
nilai tukar meningkat (terdepresiasi) maka tidak berpengaruh terhadap defisit
APBN Indonesia karena kondisi terdepresiasinya nilai tukar Rupiah per USD
tersebut masih bisa dimanfaatkan oleh eksportir untuk mendapatkan keuntungan
sementara (jangka pendek) yang cukup besar dengan cara, menggunakan bahan-
bahan lokal atau ekspor bahan mentah yang kemudian di ekspor ke luar negeri.
Karena pada tahun 2017 eksportir komoditas kopi di Indonesia mendapatkan devisi
yang sangat besar sehingga dapat menguntungkan berbagai pihak. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilai Tukar Rupiah, Pertumbuhan
Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Harga Minyak”. Hasil penelitiannya memiliki
arah hubungan yang sama yaitu nilai tukar Rupiah per USD berpengauh positif
terhadap defisit APBN Indonesia. Ketika nilai tukar rupiah Indonesia meningkat
(terdepresiasi), maka nilai pinjaman yang pembayarannya jatuh tempo juga naik.
Hal ini membebani anggaran negara karena jumlah uang yang dibelanjakan untuk
pembayaran utang (pembayaran pokok ditambah bunga) akan melebihi jumlah
yang semula dialokasikan untuk tujuan ini. Akibat kenaikan suku bunga utang luar
negeri, defisit anggaran negara akan meningkat.
79
hipotesis di awal yang menjelaskan apabila harga minyak mentah Indonesia
meningkat maka defisit APBN Indonesia akan semakin menurun, sebaliknya
apabila harga minyak mentah Indonesia menurun maka defisit APBN Indonesia
akan meningkat. Harga minyak mentah Indonesia atau disebut juga dengan
Indonesia Crude Oil Price (ICP) merupakan harga rata-rata minyak mentah
Indonesia di pasar internasional yang digunakan dalam perhitungan dan
penyusunan APBN.
Harga minyak mentah Indonesia menjadi salah satu sumber penerimaan
negara melalui hasil eksplorasi dan penjualan minyak bumi yang merupakan salah
satu komponen di dalam postur APBN serta besarannya ditentukan oleh
perkembangan harga minyak dunia baik itu pada penerimaan pajak penghasilan
migas maupun penerimaan bukan pajak. Semakin tinggi ICP maka akan semakin
tinggi pendapatan negara dan begitu pula sebaliknya apabila ICP menurun akan
diikuti dengan penurunan penerimaan negara (Kementerian Keuangan, 2022).
Apabila harga minyak mentah Indonesia naik dan penerimaan negara naik maka
defisit APBN Indonesia akan menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuntadi (2022) dengan judul “Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Defisit Anggaran : Nilai Tukar Rupiah, Pertumbuhan
Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Harga Minyak”. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa harga minyak mentah Indonesia berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap defisit APBN Indonesia. Semakin tinggi defisit APBN
Indonesia maka akan diikuti dengan penurunan defisit APBN Indonesia, begitu juga
sebaliknya.
80
optimal sesuai kebutuhan pemerintah, sehingga apabila penerimaan pajak pajak di
suatu negara lancar maka akan berdampak pada sisi penerimaan negara menjadi
meningkat dengan asumsi belanja negara tetap maka defisit APBN indonesia juga
akan mengalami penurunan, sebaliknya jika penerimaan pajak rendah maka akan
membebani negara yang mengakibatkan defisit APBN Indonesia mengalami
peningkatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Olivia, dkk
(2018) dengan judul “Defisit Anggaran Indonesia”. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa penerimaan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
defisit APBN. Tingginya penerimaan pajak mampu menurunkan defisit APBN
Indonesia, begitu juga sebaliknya ketika penerimaan pajak menurun maka defisit
APBN Indonesia akan meningkat karena penerimaan negara menjadi berkurang.
81
3. Kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah per USD
dengan mengeluarkan kebijakan intervensi ganda baik di pasar valuta asing
(valas) maupun pemberian SBN dari pasar sekunder. Menguatnya nilai tukar
Rupiah per USD membantu mengurangi utang luar negeri, sehingga dapat
mengurangi defisit APBN Indonesia. Sehingga penting untuk selalu
memperhatikan kestabilan mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
4. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak mampu
mengurangi defisit APBN Indonesia. Untuk meningkatkan penerimaan
negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas tax base (jenis barang dan
jasa yang dikenai pajak), tax ratio, dan menaikan PPN (pajak pertambahan
nilai) dari semula 10 persen menjadi 12 persen.
5. Kebijakan pemerintah dalam menjaga penerimaan negara melalui harga
minyak mentah Indonesia dapat dilakukan dengan cara memperhatikan stok
minyak dunia seperti menjual lebih banyak minyak mentah Indonesia ke
pasar internasional ketika harga meningkat, sebaliknya menjual atau
menyimpan sebagian stok ketika harga minyak mentah di pasar internasional
menurun, sehingga mampu mengurangi defiist APBN Indonesia.
82