Anda di halaman 1dari 31

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Deskriptif


5.1.1. Perkembangan Defisit APBN Indonesia
Defisit APBN Indonesia diartikan sebagai selisih kurang antara penerimaan
negara dengan belanja negara, dalam hal ini pengeluaran rutin lebih besar dari
tabungan yang dimiliki pemerintah. Berdasarkan tabel dan gambar 5.1 diketahui
bahwa defisit APBN Indonesia tahun 2000-2021 selama kurun waktu 22 tahun
terakhir mengalami fluktuasi, namun cenderung meningkat dengan total rata-rata
mencapai sebesar 62,14 %. Fluktuasi ini dapat dilihat pada tahun 2000-2012 defisit
APBN Indonesia masih stabil namun cenderung meningkat. Perkembangan
terendah defisit APBN Indonesia terjadi pada tahun 2000 dimana defisit APBN
Indonesia menurun sebesar 44,37 seperti yang terlihat pada grafik 5.1. Penurunan
tersebut disebabkan karena pada tahun 2000 pemerintah mulai membuat kebijakan
baru sehingga ekonomi dapat pulih dan membaik.
Namun pada tahun 2013 -2021 terlihat bahwa defisit APBN Indonesia
mengalami fluktuasi yang besar dimana pada tahun sebelumnya 2012 defisit APBN
Indonesia meningkat sebesar 26,03% yang disebabkan oleh situasi ekonomi
nasional dan global yang masih tidak menentu menyebabkan perekonomian
Indonesia hanya mampu tumbuh dibawah asumsi yang dipatok. Hal ini disebabkan
oleh defisit neraca perdagangan pada tahun 2012. Hingga pada tahun 2013 defisit
APBN Indonesia turun sebesar 87,28% sekaligus perkembangan terendah pada
periode penelitian. Kondisi penurunan defisit APBN Indonesia ini disebabkan oleh
pemerintah berusaha memperkuat perekonomian domestik dan peningkatan
perluasan kesejahteraan rakyat serta pada dasarnya pemerintah bertujuan untuk
meningkatkan daya saing dan daya tahan perekonomian domestik. pemerintah
mengambil kebijakan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk
tujuan menyehatkan perekonomian nasional. Selain itu inflasi juga berada pada
tingkat yang aman dan wajar.

52
Selanjutnya pada tahun 2014 terjadi lonjakan tertinggi defisit APBN
Indonesia hingga mencapai peningkatan sebesar 898,48%. Peningkatan defisit
APBN Indonesia yang sangat tinggi ini dipicu oleh banyak faktor diantaranya,
adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis
penurunan komoditas, terjadinya penyusutan penerimaan pajak dan penerimaan
bukan pajak yang signifikan dan diikuti dengan belanja negara yang tidak terjaga
yang diakibatkan oleh biaya subsidi subsidi BBM maupun listrik. Lifting minyak
pun disebut sebagai salah satu pengurang penerimaan. Akibat adanya pelemahan nilai
tukar rupiah, realisasi lifting yang menurun dan harga minyak mentah Indonesia
(ICP) memicu pembengkakan subsidi, termasuk subsidi listrik yang dapat
melambung Rp35,7 triliun.
Menurut Bambang (2014), Perubahan nilai tukar rupiah, menjadi penyebab
utama seluruh asumsi makro meleset dan berakibat memburuknya defisit anggaran
jika pemerintah tidak melakukan perubahan. Nilai tukar yang terdepresiasi
membuat negara membayarkan bunga cicilan semakin membengkak sehingga
memicu peningkatan defisit APBN Indonesia. Efek inflasi dan lain-lainnya
dianggap berdampak kecil pada pelebaran defisit anggaran negara. Hal lain yang
menyebabkan defisit APBN Indonesia ini meningkat adalah melambatnya
pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan
dan pelemahan impor menjadi penyebab rendahnya raihan pendapatan.
Kemudian di tahun 2015 defisit APBN Indonesia kembali menurun sebesar
7,86%. Penurunan ini terjadi karena penerimaan negara meningkat lebih besar
dibandingkan dengan perkiraan perubahan dari sisi pengeluaran. Adapun penyebab
rendahnya pengeluaran: pertama, tertundanya penyelesaian anggaran; kedua,
rendahnya pembiayaan subsidi dan pembayaran bunga utang luar negeri yang
diikuti dengan lebih cepatnya apresiasi rupiah; tertundanya beberapa penarikan
pinjaman luar negeri; keempat, terlambatnya otorisasi pembelanjaan dana-dana
proyek. Pada saat itu pemerintah berkomitmen mempertahankan kebijakan makro
ekonomi yang mengedepankan prinsip kehati-hatian.

53
Tabel 5.1 Perkembangan Defisit APBN Indonesia Tahun 2000-2021 (Milliar
Rupiah)

Tahun Defisit APBN Indonesia Perkembangan (%)


2000 29.761,00 -44.37
2001 54.727,00 83,89
2002 40.453,70 -26,08
2003 34.436,30 -14,87
2004 26.271,60 -23,71
2005 24.943,80 -5,05
2006 39.983,90 60,30
2007 58.285,30 45,77
2008 94.503,30 62,14
2009 129.844,90 37,40
2010 133.747,70 3,01
2011 150.836,70 12,78
2012 190.105,30 26,03
2013 24.186,30 -87,28
2014 241.494,30 898,48
2015 222.506,90 -7,86
2016 296.723,90 33,35
2017 397.235,70 33,87
2018 325.936,60 -17,95
2019 296.000,20 -9,18
2020 307.225,90 3,79
2021 1.006.379,40 227,57
Rata-Rata 187,526.80 58.73
Sumber : Bank Indonesia, 2022

Pada tahun 2020-2021 perkembangan defisit APBN Indonesia kembali


melonjak tinggi, yang mana pada tahun 2020 defisit APBN meningkat sebesar
3,79% menjadi sebesar 227,57%. Lonjakan defisit APBN ini disebabkan oleh
terjadinya pandemi Covid-19 yang berdampak buruk pada keuangan negara.
Terjadinya pandemi Covid-19 ini mengakibatkan krisis ekonomi secara global.
Implikasi dari pandemi membawa perekonomian Indonesia masuk ke jurang resesi.

54
Pandemi telah membatasi mobilitas perekonomian dan berdampak pada lesunya
roda perekonomian yang kemudian berefek pada penerimaan negara yang menurun.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan biaya yang besar untuk pemulihan
kesehatan dan bantuan sosial lainnya.

Gambar 5.1 Perkembangan Defisit APBN Indonesia Tahun 2000-2021

Defisit APBN Indonesia


1000.00

800.00

600.00

400.00

200.00

0.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
-200.00

Defisit APBN

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022

5.1.2. Perkembangan Paritas Daya Beli Indonesia

Paritas daya beli merupakan keseimbangan kemampuan berbelanja pada


suatu negara dengan tingkat harga yang telah ditentukan. Paritas daya beli ini sangat
berpengaruh pada penerimaan negara. Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat rata-rata
perkembangan paritas daya beli Indonesia periode 2000-2021 adalah sebesar
6,31%. Perkembangan paritas daya beli Indonesia berfluktuasi tetapi cenderung
meningkat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 5.2. Pada tabel 5.2 terlihat
bahwa paritas daya beli Indonesia selalu terjadi peningkatan tetapi ada juga pada
tahun tertentu mengalami penurunan. Sejak tahun 2000-2005 perkembangan paritas
daya beli Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan perkembangan 9,22%.
Kondisi ini disebabkan oleh terjaganya inflasi pada tingkat yang aman dan wajar.
Selain itu pemerintah melalui instrumen APBN berhasil meredam tingginya tekanan
inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi
nasional masih tetap dijaga dengan baik. Sedangkan penurunan perkembangan
paritas daya beli hanya terjadi di tahun 2020 yaitu turun sebesar 0,88%. Keadaan

55
ini disebabkan oleh pandemi covid-19 yang berdampak pada munculnya gejolak
besar pada ekonomi global, kegiatan perdagangan terganggu dan menurunkan
tingkat kesejahteraan masyarakat serta menurunnya daya beli masyarakat. Namun,
pada tahun 2021 paritas daya beli Indonesia meningkat signifikan seperti yang
ditunjukkan pada grafik 5.2. Peningkatan paritas daya beli ini didukung oleh adanya
pemlihan ekonomi pasca Covid-19. Pada saat itu pemerintah mulai menerapkan
berbagai kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki perekonomian termasuk
perdagangan internasional.

Tabel 5.2 Perkembangan Paritas Daya Beli Indonesia Tahun 2000 – 2021
(Miliar US$)
Tahun Paritas Daya Beli Indonesia Perkembangan (%)
2000 1.002,27 7.30
2001 1.062,19 5,98
2002 1.127,28 6,13
2003 1.204,48 6,85
2004 1.299,04 7,85
2005 1.416,04 9,01
2006 1.540,03 8,76
2007 1.682,01 9,22
2008 1.817,36 8,05
2009 1.913,67 5,30
2010 2.057,21 7,50
2011 2.229,51 8,38
2012 2.413,43 8,25
2013 2.535,04 5,04
2014 2.622,25 3,44
2015 2.647,71 0,97
2016 2.744,90 3,67
2017 2.894,12 5,44
2018 3.116,59 7,69
2019 3.331,57 6,90
2020 3.302,10 -0,88
2021 3.566,26 8,00
Rata-Rata 2160,23 6.31
Sumber : World Bank, 2023

56
Gambar 5.2 Grafik Perkembangan Paritas Daya Beli Indonesia Tahun 2000 -
2021

Paritas Daya Beli Indonesia


10.00

8.00

6.00

4.00

2.00

0.00

-2.00

Paritas Daya Beli

Sumber : World Bank, 2023.

5.1.3. Perkembangan Inflasi Indonesia


Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang-barang secara umum dan
terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga yang terjadi hanya
sekali saja meskipun dengan persentase yang besar, maka bukanlah disebut dengan
inflasi. Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan hampir dijumpai pada
setiap negara di dunia adalah inflasi. Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-
harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Suatu proses kenaikan harga-
harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
inflasi disini merupakan suatu proses kenaikan harga dimana kenaikan tersebut
berpengaruh atau berlaku di dalam perekonomian. Inflasi Indonesia sangat berperan
penting dalam penyusunan APBN, karena inflasi Indonesia berkaitan dengan
penerimaan negara dan belanja negara.
Di bawah ini akan dijelaskan perkembangan inflasi di Indonesia selama
periode penelitian yaitu pada tahun 2000-2021. Perkembangan inflasi selama
periode penelitian tahun 2000-2021 mengalami fluktuasi seperti yang terlihat pada
grafik 5.3. Rata-rata perkembangan inflasi Indonesia selama periode 2000-2021
mencapai sebesar 6,59%.

57
Tabel 5.3 Perkembangan Inflasi Indonesia Tahun 2000-2021 (Persen)
Tahun Inflasi Indonesia
2000 4,8
2001 12,6
2002 10
2003 5,1
2004 6,4
2005 17,1
2006 6,6
2007 6,59
2008 11,1
2009 2,78
2010 6,96
2011 3,78
2012 4,34
2013 8,4
2014 8,36
2015 8,35
2016 4,7
2017 4
2018 3,5
2019 3,5
2020 3,1
2021 3
Rata-Rata 6,59
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022
Dari grafik 5.3 terlihat bahwa peningkatan inflasi yang signifikan terjadi pada
tahun 2005 yang mana pada tahun sebelumnya di tahun 2004 masih sebesar
6,4% dan selanjutnya naik hingga mencapai 17,1% pada tahun 2005.
Peningkatan ini terjadi dikarenakan adanya kenaikan BBM dan kenaikan harga
pangan sehingga mendorong perubahan indeks harga konsumen. Selain naiknya
harga BBM, tingkat inflasi yang cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 terjadi
karena adanya bulan Ramadhan yang jatuh pada awal bulan sehingga mengerek
inflasi pada kelompok bahan makanan naik.

58
Kenaikan harga BBM domestik, konversi minyak tanah ke LPG dan
tingginya harga komoditas internasional memberikan kontribusi terbesar pada
inflasi 2008 karena terdapat indikasi awal tekanan dari permintaan domestik yang
memberikan tekanan pada inflasi inti. Sedangkan perkembangan inflasi terendah
terjadi pada tahun 2009 dan tahun 2021, dimana pada tahun 2009 inflasi mengalami
penurunan dari 11,1% turun menjadi 2,78% yakni karena dampak krisis ekonomi
global yang menyebabkan permintaan dunia menurun. Seperti sektor perdagangan,
hotel dan restoran (PHR) terus melambat terutama yang diduga disebabkan oleh
menurunnya permintaan karena melemahnya daya beli masyarakat
Hal itu disebabkan karena pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan
berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat kontraksi
ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Sehingga kondisi tersebut menurunkan
kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi
menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun
sebelumnya. Sehingga saat kondisi perekonomian global yang masih mengalami
tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada sejumlah
tantangan yang tidak ringan selama tahun 2009.
Selanjutnya selama 3 periode pada 2019-2021 arah perkembangan inflasi
menurun. Kondisi penurunan inflasi ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu: Pertama,
pasok produksi yang memadai dengan permintaan pasar. Kedua, koordinasi
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BI dalam memenuhi ketersediaan dan
keterjangkauan bahan pangan juga mempengaruhi inflasi serta beberapa komoditas
justru mengalami deflasi. Ketiga, inflasi rendah dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah
yang bergerak stabil karena nilai tukar rupiah yang stabil bahkan terapresiasi
membuat tekanan harga dari eksternal dan global rendah.
Dengan begitu, inflasi bisa bertahan di level rendah sepanjang 2019.
Perkembangan inflasi terendah kedua selama periode penelitian terjadi pada tahun
2021 dan pada tahun 2021 mengalami perkembangan hingga 3%. Inflasi yang
rendah pada tahun 2021 tersebut dipengaruhi oleh permintaan domestik yang belum
kuat sebagai dampak pandemi Covid-19, pasokan yang memadai, dan sinergi

59
kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah
dalam menjaga kestabilan harga

Gambar 5.3 Grafik Perkembangan Inflasi Indonesia tahun 2000-2021

Inflasi Indonesia
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Inflasi (%)

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022.

5.1.4. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah per USD


Dalam pengertian sederhana nilai tukar berarti jumlah suatu mata uang yang
diperlukan untuk membeli satu unit mata uang lainnya. Menurut Musdholifah dan
Tony (2007), nilai tukar adalah perbandingan antara harga mata uang suatu negara
dengan mata uang negara lain. Nilai tukar merupakan salah satu indikator penting
bagi perekonomian suatu negara. Pergerakan nilai tukar yang fluktuatif akan
mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang uang dan juga akan
mempengaruhi suatu negara menstabilkan perekonomian negaranya. Dalam
penelitian ini digunakan nilai tukar Rupiah per USD. Nilai tukar Rupiah per USD
menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan untuk ditukarkan dengan satu dolar
Amerika Serikat. Untuk lebih jelasnya melihat perkembangan nilai tukar Rupiah
per USD tahun 2000-2021 dapat dilihat pada tabel dan grafik 5.4.

60
Tabel 5.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah per USD Tahun 2000-2021
(Rp/US$)
Nilai Tukar Rupiah per
Tahun Perkembangan (%)
USD
2000 7.000,00 -6.67
2001 10.241,00 46,30
2002 9.311,00 -9,08
2003 8.577,00 -7,88
2004 8.939,00 4,22
2005 9.705,00 8,57
2006 9.164,00 -5,57
2007 9.140,00 -0,26
2008 9.691,00 6,03
2009 10.408,00 7,40
2010 9.087,00 -12,69
2011 8.779,00 -3,39
2012 9.380,00 6,85
2013 10.460,00 11,51
2014 11.869,00 13,47
2015 13.392,00 12,83
2016 13.900,00 3,79
2017 13.300,00 -4,32
2018 13.400,00 0,75
2019 15.000,00 11,94
2020 14.312,00 -4,59
2021 14.600,00 2,01
Rata-Rata 10893,41 3,69
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023 (data diolah)

Berdasarkan tabel 5.4 dan grafik 5.4 dapat dilihat bahwa perkembangan nilai
tukar rupiah per USD mengalami fluktuasi selama periode penelitian.
Perkembangan nilai tukar rupiah per USD yang tertinggi terjadi pada tahun 2001
sebesar 46,30% atau dari Rp7.000,00 pada tahun 2000 menjadi Rp10.241,00 pada
tahun 2001 artinya nilai tukar pada tahun 2001 melemah (terdepresiasi).
Melemahnya nilai tukar ini disebabkan oleh adanya krisis moneter pada tahun 1997
yang melanda hampir di semua negara Asia yang mulai mengguncang
perekonomian negara Indonesia dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah per USD
yang disebabkan oleh bertambahnya peredaran uang primer sehingga barang ekspor
dan impor menjadi mahal.

61
Perkembangan tertinggi kedua terjadi pada tahun 2014 sebesar 13,47% atau
dari Rp10.460,00 tahun 2013 meningkat menjadi sebesar Rp11.869,00 di tahun
2014, artinya nilai tukar pada tahun 2014 terdepresiasi. Banyak faktor yang
mempengaruhi depresiasi ini, diantaranya adalah wacana tapering off yang
dilakukan Amerika Serikat tahun 2014 serta dampak lanjutan dari tapering off
tersebut, yaitu diperkirakan The FED akan menaikkan suku bunga. Kemudian
faktor selanjutnya adalah nilai subsidi bahan bakar yang terus membengkak akibat
dari peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia terutama kendaraan
roda dua, sehingga defisit APBN 2014 terus meningkat. Faktor lainnya yang
memiliki andil dalam depresiasi nilai per USD ini yaitu Indonesia mulai menjadi
net importir. Hal ini dapat dilihat dari neraca transaksi berjalan Indonesia yang
negatif yang mengindikasikan bahwa Indonesia lebih banyak melakukan impor,
baik barang jadi maupun impor bahan baku.

Gambar 5.4 Grafik Perkembangan Nilai Tukar Rupiah per USD Tahun 2000
- 2021

Nilai Tukar Rupiah per USD


50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

-10.00

-20.00

Nilai Tukar

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023 (data diolah).

Perkembangan nilai tukar terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar -12,69%
atau sebesar Rp9.087,00, artinya nilai tukar pada tahun 2010 menguat (terapresiasi).
Hal tersebut dapat dilihat dari grafik 5.4 yang mana pada tahun sebelumnya tahun

62
2009 perkembangan nilai tukar sebesar 7,4 turun menjadi 12,69% di tahun 2010.
Penyebab terapresiasinya nilai tukar Rupiah per USD ini adalah adanya pemulihan
ekonomi di kawasan Asia, serta semakin kuatnya fundamental ekonomi domestik
yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor dan investasi yang terus
mendorong apresiasi rupiah dan termasuk meningkatkan cadangan devisa. Aliran
modal asing yang membanjiri kawasan Asia sejak awal tahun 2010 mendorong
berlanjutnya penguatan nilai tukar Rupiah per USD . Kondisi fundamental ekonomi
domestik yang tetap positif, disertai dengan imbal hasil investasi yang relatif lebih
menarik dibandingkan negara lain mendorong berlanjutnya aliran dana asing ke
pasar keuangan domestik. Selain faktor aliran dana asing, penguatan nilai tukar juga
ditopang oleh fundamental perekonomian domestik yang solid. Sedangkan rata-
rata perkembangan nilai tukar Rupiah per USD selama periode 2000-2021 adalah
sebesar 4,19 %.

5.1.5. Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia


Harga minyak mentah Indonesia merupakan harga patokan minyak mentah
Indonesia yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil dalam kontrak kerja sama
dan dasar perhitungan penjualan minyak mentah. Dalam penyusunan APBN
indikator variabel sangat dibutuhkan salah satunya variabel harga minyak mentah
Indonesia atau sering disebut Indonesian Crude Oil Price (ICP). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel dan grafik 5.5. Berdasarkan tabel 5.5 terlihat bahwa
perkembangan harga minyak Indonesia dari tahun 2000-2021 mengalami fluktuasi
dengan rata-rata sebesar 11,14%.
Perkembangan harga minyak mentah Indonesia tertinggi terjadi pada tahun
2000 mengalami peningkatan sebesar 90,48%. Peningkatan harga minyak ini di
dukung oleh faktor meningkatnya permintaan roduksi minyak mentah di kawasan
Asia Pasifik karena stok minyak di kawasan tersebut sedikit. Sedangkan
perkembangan harga minyak tertinggi kedua terjadi pada tahun 2019 yaitu sebesar
45,83% atau dari 48 US$ pada tahun 2018 menjadi 70 US$ pada tahun 2019.
Menurut tim harga minyak mentah Indonesia, kenaikan harga minyak mentah
utama di pasar internasional dipengaruhi oleh beberapa faktor.

63
Salah satunya meningkatnya permintaan minyak mentah maupun produk
minyak mentah dari China setelah dilakukan pencabutan kebijakan pembatasan
aktivitas di negara tersebut kondisi ini disebabkan oleh stok minyak mentah
Amerika Serikat turun serta adanya penambahan kuota impor China untuk
memenuhi kebutuhan beberapa kilang di China.

Tabel 5.5 Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia Tahun 2000-2021


(US$/Barel)
Tahun Harga Minyak Mentah Indonesia Perkembangan (%)
2000 20 90.48
2001 23,9 19,50
2002 24,6 2,93
2003 28,8 17,07
2004 37,6 30,56
2005 53,4 42,02
2006 64,3 20,41
2007 72,3 12,44
2008 97 34,16
2009 61,6 -36,49
2010 79,4 28,90
2011 111,6 40,55
2012 112,7 0,99
2013 106 -5,94
2014 96,51 -8,95
2015 49,21 -49,01
2016 50 1,61
2017 45 -10,00
2018 48 6,67
2019 70 45,83
2020 63 -10,00
2021 45 -28,57
Rata-Rata 61,81 11,14
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023 (data diolah).

64
Selanjutnya perkembangan harga minyak terendah terjadi pada tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 49,01%. Penurunan tersebut dapat dilihat dari grafik
5.5. Adapun penyebab terjadinya penurunan harga minyak mentah Indonesia
menurut Kementerian ESDM (2015), Penurunan harga minyak mentah Indonesia
tersebut sejalan dengan perkembangan harga minyak mentah utama di pasar
Internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu berdasarkan publikasi
OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) bulan Juni 2015 bahwa
pasokan minyak mentah OPEC di bulan Mei 2015 mengalami peningkatan. Faktor
lainnya adalah peningkatan ekspor minyak mentah Iran selama bulan Juni 2015
mencapai 3,20 juta barel per hari disebabkan kemungkinan dihapuskannya sanksi
ekonomi terkait kesepakatan nuklir Iran, kekhawatiran melemahnya perekonomian
Eropa akibat potensi gagal bayar utang Yunani kepada IMF dan kebijakan baru dari
Pemerintah Amerika Serikat yang mengizinkan ekspor kondensat. Untuk kawasan
Asia Pasifik, penurunan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh menurunnya
pertumbuhan ekonomi Cina menjadi 7% pada kuartal I 2015 dibandingkan tahun
2014 sebesar 7,4% yang merupakan laju pertumbuhan terendah sejak tahun 2009
dan meningkatnya freight rates mengakibatkan pengapalan kondensat di kawasan
Asia cenderung berkurang.

Gambar 5.5 Grafik Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 2000 -


2021.

Harga Minyak Mentah Indonesia


100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
2007
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006

2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021

-20.00
-40.00
-60.00

Harga Minyak Mentah Indonesia

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023 (data diolah)

65
5.1.6. Perkembangan Penerimaan Pajak
Penerimaan negara merupakan pemasukan yang diperoleh negara untuk
membiayai dan menjalankan program-program pemerintah. Penerimaan negara
Indonesia salah satunya bersumber dari penerimaan pajak. Secara sederhana
penerimaan pajak diartikan sebagai seluruh penerimaan negara yang terdiri atas
pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional.
Untuk melihat kondisi perkembangan penerimaan pajak Indonesia dapat dilihat
pada tabel dan grafik 5.6.

Tabel 5.6 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2000-2021 (Miliar


Rupiah)
Tahun Penerimaan Pajak Perkembangan (%)
2000 111.064,4 17.23
2001 184.736,6 66,33
2002 214.713,4 16,23
2003 248.469,8 15,72
2004 278.207,5 11,97
2005 351.973,6 26,51
2006 425.053,1 20,76
2007 492.010,9 15,75
2008 609.227,5 23,82
2009 651.954,8 7,01
2010 743.325,9 14,01
2011 878.685,2 18,21
2012 1.016.237,3 15,65
2013 1.148.364,7 13,00
2014 1.246.107,0 8,51
2015 1.489.255,5 19,51
2016 1.539.166,2 3,35
2017 1.472.709,9 -4,32
2018 1.618.095,5 9,87
2019 1.786.378,7 10,40
2020 1.865.702,8 4,44
2021 1.444.541,6 -22,57
Rata-Rata 900,726.45 14,16
Sumber : Bank Indonesia, 2022 (data diolah)

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui perkembangan penerimaan pajak


selama periode penelitian tahun 2000-2021 memiliki rata-rata sebesar 14,16%,

66
Penurunan penerimaan pajak hanya terjadi 2 tahun selama periode penelitian,
namun terlihat pada grafik 5.6 arahnya cenderung menurun. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan perkembangan penerimaan pajak tidak terlalu
signifikan. Perkembangan penerimaan pajak yang signifikan selama periode
penelitian terjadi pada tahun 2001 sebesar 66,33% seperti yang terlihat pada grafik
5.6 menunjukkan arah peningkatan. Peningkatan tersebut terutama berkaitan
dengan : membaiknya pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan intensifikasi dan
ekstensifikasi perpajakan, dan penyempurnaan berbagai peraturan perpajakan.
Selain karena pengaruh perkembangan kondisi ekonomi makro, peningkatan
penerimaan tersebut juga merupakan hasil dari upaya-upaya : ekstensifikasi wajib
pajak terutama melalui program penyisiran (canvassing) wajib pajak, intensifikasi
pemungutan pajak, terutama melalui pengawasan yang lebih intensif terhadap wajib
pajak potensial, dan peningkatan penegakan hukum (law enforcement). Selanjutnya
perkembangan penerimaan pajak tertinggi kedua terjadi pada tahun 2005. Menurut
Purnomo (2005) penerimaan pajak meningkat sebesar 26,51% dikarenakan adanya
perubahan dari PPh migas dan PPh non migas yang semakin meningkat.
Penerimaan perpajakan terus mengalami pertumbuhan positif hingga tahun
2016, namun sejak tahun 2017 pertumbuhan tersebut tidak seiring dengan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mengalami penurunan akibat
turunnya harga minyak mentah atau disebut Indonesian Crude Oil Price (ICP).
Kondisi tersebut menyebabkan beban kebutuhan penerimaan pajak menjadi lebih
besar berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan belanja negara yang juga
semakin meningkat setiap tahunnya.
Kemudian penurunan penerimaan pajak di tahun 2021 cukup signifikan sebesar
22,57% seperti yang terlihat pada grafik 5.6. Menurut Mulyani (2021), kondisi
penurunan penerimaan pajak tersebut disebabkan oleh empat faktor yaitu : pertama,
tekanan aktivitas usaha akibat pembatasan sosial pada kondisi pandemi Covid-19
berdampak pada terjadinya kenaikan biaya tak terduga yang dikeluarkan untuk
menanggulangi wabah Covid-19 dan dana bantuan kepada mayarakat agar bisa
bertahan pada masa pandemi. Kedua, dampak perlambatan ekonomi dan
pemanfaatan insentif pajak terlihat pada pertumbuhan negatif pada hampir seluruh

67
jenis penerimaan pajak. Ketiga, kontraksi juga terlihat pada setoran pajak dari
sektor utama perekonomian sebagai dampak perlambatan ekonomi dan turunnya
harga komoditas. Keempat, insentif fiskal Covid-19 dalam rangka program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mulai dimanfaatkan dan juga adanya
restitusi pajak yang dipercepat turut mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak.

Gambar 5.6 Grafik Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2000-2021.

Penerimaan pajak
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
2008

2010

2019
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

2009

2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018

2020
2021
-20.00
-40.00

Penerimaan pajak

Sumber : Bank Indonesia, 2022 (data diolah)

5.2. Analisis Regresi Linear Berganda


5.2.1. Hasil Regresi Linear Berganda
Setelah melihat perkembangan dari masing-masing variabel pada penelitian
ini, selanjutnya penulis akan merumuskan rumusan masalah yang kedua yaitu
bagaimana pengaruh dari setiap variabel independen terhadap variabel dependen
dalam penelitian ini yakni pengaruh paritas daya beli Indonesia , inflasi Indonesia ,
nilai tukar Rupiah per USD, harga minyak mentah Indonesia dan penerimaan pajak
terhadap defisit APBN Indonesia. Untuk mengetahuinya penulis menggunakan
teknik analisis regresi linear berganda dengan menggunakan metode Ordinary
Least Square (OLS) menggunakan software EViews 12. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah defisit APBN Indonesia sedangkan variabel independennya
adalah paritas daya beli Indonesia, inflasi Indonesia, nilai tukar Rupiah per USD,
harga minyak mentah Indonesia dan penerimaan pajak. Adapun hasil estimasi dari
model regresi linear berganda adalah sebagai berikut :

68
Tabel 5.7 Hasil Regresi Linear Berganda
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -741510.4 204116.7 -3.632777 0.0022
PD 774.0066 102.6185 7.542561 0.0000
INF 370.0754 6583.610 0.056212 0.9559
NT 15.37611 28.19654 0.545319 0.5931
HM -2840.449 1058.799 -2.682708 0.0163
PJ -0.818620 0.134853 -6.070438 0.0000
Sumber : hasil olahan software EViews 12
Berdasarkan hasil olahan data yang dilakukan dengan software EViews 12
mengenai pengaruh paritas daya beli Indonesia, inflasi Indonesia, nilai tukar Rupiah
per USD, harga minyak mentah Indonesia, penerimaan pajak terhadap defisit
APBN Indonesia tahun 2000-2021 diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap
variabel penelitian dengan persamaan sebagai berikut :
DAt = β0 + β1t - β2 INFt + β3 NTt + β4 HMt + β5 -PJt ...................................... (5.1)
DAt = -741510.4 + 774.0066 PDt + 370.0754 INFt + 15.37611 NTt – 2840.449
HMt – 0.818620 PJt ............................................................................. (5.2)
Dimana :
DA = Defisit APBN Indonesia
PD = Paritas Daya Beli Indonesia
INF = Inflasi Indonesia
NT = Nilai Tukar Rupah per USD
HM = Harga Minyak Mentah indonesia
PJ = Penerimaan Pajak

5.2.2. Intrepetasi Hasil Olah Data


Dengan menggunakan regresi linear berganda maka diperoleh hasil olahan
data yang diinterpretasikan sebagai berikut :
1. Nilai konstanta sebesar 741,5104 yang menjelaskan bahwa nilai rata-rata
defisit APBN Indonesia selama periode penelitian tahun 2000-2021 sebesar
Rp741,5104 Milliar dengan mengasumsikan variabel paritas daya beli
Indonesia, inflasi indonesia, nilai tukar Rupiah per USD, harga minyak
mentah Indonesia, penerimaan pajak tidak berubah/tetap.

69
2. Variabel paritas daya beli Indonesia mempunyai koefisien regresi sebesar
774,0066. Hal ini memiliki arti bahwa paritas daya beli Indonesia
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan
bahwa setiap terjadi kenaikan 1US$ paritas daya beli Indonesia dalam satu
tahun, dengan asumsi variabel lain tidak berubah/tetap maka akan
meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar Rp774,0066 Miliar. Hasil
temuan penelitian ini berbeda dengan hipotesis yang diajukan di awal yang
mengatakan bahwa paritas daya beli Indonesia berpengaruh negatif terhadap
defisit APBN Indonesia.
3. Variabel inflasi Indonesia mempunyai koefisien regresi sebesar 370,0754.
Hal ini memiliki arti bahwa inflasi Indonesia berpengaruh positif terhadap
defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1
persen inflasi Indonesia dalam satu tahun, dengan asumsi variabel lain tidak
berubah/tetap maka akan meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar
Rp370,0754 Miliar. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal yang menyatakan bahwa inflasi Indonesia berpengaruh
positif terhadap defisit APBN Indonesia.
4. Variabel nilai tukar Rupiah per USD mempunyai koefisien regresi sebesar
15,37611. Hal ini memiliki arti bahwa nilai tukar Rupiah per USD
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan
bahwa setiap terjadi peningkatan (depresiasi) 1 Rupiah\US$ nilai tukar
Rupiah per USD dalam satu periode, dengan asumsi variabel lain tidak
berubah/tetap maka akan meningkatkan defisit APBN Indonesia sebesar
Rp15,37611 Miliar. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal yang menyatakan bahwa nilai tukar Rupiah per USD
berpengaruh positif terhadap defisit APBN Indonesia.
5. Variabel harga minyak mentah Indonesia mempunyai koefisien regresi
sebesar -2840.449. Hal ini memiliki arti bahwa harga minyak mentah
Indonesia berpengaruh negatif terhadap defisit APBN Indonesia. Hal ini
menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1 US$/Barel harga minyak mentah
Indonesia dalam satu tahun, dengan asumsi variabel lain tidak berubah/tetap

70
maka akan menurunkan defisit APBN Indonesia sebesar Rp2840,449 Miliar.
Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan di awal
yang menyatakan bahwa harga minyak mentah Indonesia berpengaruh
negatif terhadap defisit APBN Indonesia.
6. Variabel penerimaan pajak mempunyai koefisien regresi sebesar -0,818620.
Hal ini memiliki arti bahwa penerimaan pajak berpengaruh negatif terhadap
defisit APBN Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan 1
Milliar Rupiah penerimaan pajak dalam satu tahun, dengan asumsi variabel
lain tidak berubah/tetap maka akan menurunkan defisit APBN Indonesia
sebesar Rp0,818620 Milliar Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan
hipotesis yang diajukan di awal yang menyatakan bahwa penerimaan pajak
berpengaruh negatif terhadap defisit APBN Indonesia.

5.2.3. Uji Hipotesis


5.2.3.1. Uji Simultan (Uji F)
Uji statistik F bertujuan untuk melihat apakah semua variabel independen
yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel dependen. Uji F digunakan untuk melihat pengaruh paritas daya beli,
inflasi, nilai tukar, harga minyak dan penerimaan pajak terhadap defisit APBN
Indonesia selama periode penelitian secara bersama-sama.
Tabel 5.8 Uji Statistik F
F-statistic 34.84262
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber : Hasil olah data EViews 12
Dari hasil olahan data di atas, nilai probabilitas F-statistik (p-value F
statistik), variabel paritas daya beli Indonesia, inflasi Indonesia, nilai tukar Rupiah
per USD, harga minyak mentah Indonesia, dan penerimaan pajak adalah 0.000000
< 0,05. Hal ini menjelaskan bahwa variabel paritas daya beli Indonesia, inflasi
Indonesia, nilai tukar Rupiah per USD, harga minyak mentah Indonesia dan
penerimaan pajak secara simultan bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel defisit APBN Indonesia. Maka keputusanya adalah H0 ditolak dan Ha
diterima.

71
5.2.3.2. Uji Parsial (Uji t)
Uji t dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independent terhadap
variabel dependen secara parsial (individu). Untuk mengetahui apakah variabel
independen berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen maka
digunakan alpha 5%, jika nilai prob < 0,05 maka signifikan (Gujarati, 1995).
Tabel 5.9 Uji Parsial (Uji t)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -741510.4 204116.7 -3.632776 0.0022
PD 774.0066 102.6186 7.542559 0.0000
INF 370.0754 6583.611 0.056212 0.9559
NT 15.37611 28.19654 0.545319 0.5931
HM -2840.449 1058.799 -2.682707 0.0163
PJ -0.818620 0.134853 -6.070437 0.0000
Sumber : hasil olahan software EViews 12
Adapun hasil olahan data menunjukan uji t sebagai berikut:
1. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel paritas daya beli Indonesia adalah sebesar 0.0000 < 0.05
maka secara parsial variabel paritas daya beli Indonesia berpengaruh
signifikan terhadap variabel defisit APBN indonesia. Ini berati H0 ditolak dan
Ha diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menemukan bahwa paritas daya beli
Indonesia yang awalnya di duga berpengaruh negatif dan signifikan tetapi
hasilnya menunjukkan bahwa paritas daya beli Indonesia berpengaruh positif
dan signifikan, berarti dalam kasus penelitian ini di Indonesia selama periode
2000-2021 memberikan temuan yang berbeda dari dugaan awal.
2. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel inflasi Indonesia adalah sebesar 0.9559 > 0.05 maka secara
parsial variabel inflasi Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap
variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 diterima dan Ha ditolak. Hasil
pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa secara teori arah hubungannya
sama dengan hipotesis awal yang diajukan, dimana dugaan awalnya inflasi
Indonesia berpengaruh positif. Tetapi secara statistik tidak berpengaruh
signifikan.
3. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value

72
t statistik) variabel nilai tukar Rupiah per USD adalah sebesar 0.5931 > 0.05
maka secara parsial variabel nilai tukar Rupiah per USD tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 diterima
dan Ha ditolak. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa secara teori
arah hubungannya sama dengan hipotesis awal yang diajukan, dimana dugaan
awalnya nilai tukar Rupiah per USD berpengaruh positif. Tetapi secara
statistik tidak berpengaruh signifikan.
4. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel harga minyak mentah Indonesia adalah sebesar 0.0163 <
0,05 maka secara parsial variabel harga minyak mentah Indonesia
berpengaruh signifikan terhadap variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati
H0 ditolak dan Ha diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa
variabel harga minyak mentah Indonesia sesuai dengan hipotesis yang
diajukan di awal, dimana dugaan awalnya harga minyak mentah Indonesia
berpengaruh negatif dan signifikan. berarti dalam kasus penelitian ini di
Indonesia selama periode 2000-2021 memberikan temuan yang sama dari
dugaan awal.
5. Dari hasil olahan data, diketahui bahwa nilai probabilitas t-statistik (p-value
t statistik) variabel penerimaan pajak adalah sebesar 0.0000 < 0.05 maka
secara parsial variabel penerimaan pajak berpengaruh signifikan terhadap
variabel defisit APBN Indonesia. Ini berati H0 ditolak dan Ha diterima. Hasil
pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa variabel penerimaan pajak sesuai
dengan hipotesis yang diajukan di awal, dimana dugaan awalnya harga
minyak mentah Indonesia berpengaruh negatif dan signifikan. Berarti dalam
kasus penelitian ini di Indonesia selama periode 2000-2021 memberikan
temuan yang sama dari dugaan awal.

5.2.4. Koefisien Determinasi (R2)


Koefisien determinasi menjelaskan variasi pengaruh variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikatnya. Nilai koefisien determinasi dapat diukur oleh nilai R-
Square atau Adjusted R-Square. R-Square digunakan pada saat variabel bebas

73
hanya 1 saja (biasa disebut dengan Regresi Linier Sederhana), sedangkan Adjusted
R-Square digunakan pada saat variabel bebas lebih dari satu. Dalam menghitung
nilai koefisien determinasi pada penelitian ini penulis menggunakan Adjusted R-
Square karena variabelnya lebih dari 3.

Tabel 5.10 Koefisien Determinasi (R2)


R-squared 0.915884
Adjusted R-squared 0.889598
Sumber : Hasil olah data EViews 12
Dari hasil olahan data diperoleh nilai koefisien determinasi (Adjusted R-
Square) sebesar 0,889598 yang berarti variabel independen paritas daya beli
Indonesia, inflasi Indonesia, nilai tukar rupiah per USD, harga minyak mentah
Indonesia dan penerimaan pajak mampu menjelaskan variasi dari variabel
dependen yaitu defisit APBN Indonesia sebesar 88,96% sedangkan sisanya sebesar
11,04% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

5.2.5. Uji Asumsi Klasik


5.2.5.1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
dependen dengan variabel independen dari keduanya berdistribusi normal atau
tidak. Jika nilai probability lebih besar dari alpha (a) 0,05 data berdistribusi normal
dan jika lebih kecil dari alpha (a) 0.05 maka hasil olahan data tidak berdistribusi
normal. Adapun hasil olahan data menunjukan hasiluji normalitas sebagai berikut.
Gambar 5.7 Uji Normalitas
7
Seri es : Res i dual s
6 Sampl e 2000 2021
Obs ervati ons 22
5
Mean -9.52e-11
4 Medi an 1664.071
Maxi mum 100210.5
3 Mi ni mum -119222.2
Std. Dev. 63201.13
2
Skewnes s -0.311501
Kurtos i s 2.083530
1

0 Jarque-Bera 1.125711
-100000 -50000 0 50000 100000 Probabi l i ty 0.569580

Sumber : Hasil olahan software EViews 12

74
Hasil olahan data diatas menunujukan gambar uji normalitas yang memiliki
nilai Jarque-Berra sebesar 1,125711 dan probability (p-value) sebesar 0,569580 >
0,05 sehingga hasil olahan data di atas berdistribusi normal.

5.2.5.2. Uji Multikolinearitas


Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat ada atau tidak adanya masalah
multikolinearitas model dengan melihat angka VIF. Apabila toleransi 0.1 atau VIF
10 maka terdapat masalah multikolinearitas dalam model. Sebaliknya apabila
tolerasi 0.1 atau VIF < 10 maka tidak terdapat masalah multikolineritas dalam model
regresi. Hasil olahan data menunjukan hasil sebagai berikut.

Tabel 5.11 Uji Multikolinearitas


Variance Inflation Factors
Date: 03/29/23 Time: 15:51
Sample: 2000 2021
Included observations: 22

Coefficient Uncentered Centered


Variable Variance VIF VIF

C 4.17E+10 174.8360 NA
PD 10530.57 233.8024 27.58500
INF 43343921 10.18604 2.278312
NT 795.0449 413.6868 17.77999
HM 1121056. 21.68102 3.705466
PJ 0.018185 86.49767 24.58440

Sumber : Hasil olahan EViews 12

Dari hasil olahan data diatas dapat dilihat bahwa nilai VIF (Variance Inflation
Factors) variabel inflasi dan harga minyak memiliki nilai VIF yang lebih kecil dari
10. Hal ini berati tidak ada masalah multikolineaitas. Sedangkan variabel paritas
daya beli Indonesia, nilai tukar Rupiah per USD dan penerimaan pajak memiliki
nilai VIP yang lebih besar dari 10. Hal ini berati terdapat masalah multikolinearitas
yang ditemukan pada ketiga variabel tersebut.

75
5.2.5.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menemukan apakah di dalam persamaan
regresi terdapat masalah autokorelasi atau tidak. Apabila nilai Prob.chi-square >
0.05 maka tidak terjadi masalah autokorelasi. Sebaliknya apabila nilai Prob.chi-
square < 0,05 maka terdapat masalah autokorelasi. Adapun hasil olahan data
menunjukan hasil uji autokerasi sebagai berikut.

Tabel 5.12 Uji Autokorelasi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
Null hypothesis: No serial correlation at up to 2 lags

F-statistic 1.108265 Prob. F(2,14) 0.3574


Obs*R-squared 3.007035 Prob. Chi-Square(2) 0.2223

Sumber : hasil olahan EViews 12

Pada data hasil olahan eviews di atas, nilai Prob chi-square adalah 0.2223 >
0,05. Hal ini berarti dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat
masalah autokorelasi.

5.2.5.4 Uji Heteroskedastisitas


Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi.
Jika nilai prob nya < 0,05 maka terjadi gejala heteroskedastisitas dalam model
penelitian sedangkan jika nilai prob > 0,05 maka tidak terjadi gejala
heteroskedastisitas dalam model penelitian.

Tabel 5.13 Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedasticity Test: White


Null hypothesis: Homoskedasticity

F-statistic 3.924795 Prob. F(20,1) 0.3808


Obs*R-squared 21.72326 Prob. Chi-Square(20) 0.3557
Scaled explained SS 6.224873 Prob. Chi-Square(20) 0.9986

Sumber : hasil olahan software EViews 12

76
Berdasarkan hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa nilai Prob.Chi-
squared sebesar 0.3557 > 0,05 artinya tidak terjadi heteroskedastisitas.

5.3. Analisis Ekonomi


5.3.1. Pengaruh Paritas Daya Beli Terhadap Defisit APBN Indonesia
Dari hasil olahan data yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel paritas
daya beli Indonesia memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap defisit
APBN Indonesia. Paritas daya beli Indonesia merupakan keseimbangan
kemampuan berbelanja suatu negara. Hasil penelitian ini berbanding terbalik
dengan teori dan hipotesis diawal, karena secara teori jika paritas daya beli
Indonesia meningkat maka akan menurunkan defisit APBN Indonesia. Hasil
temuan penelitian ini menyatakan bahwa apabila paritas daya beli Indonesia
meningkat maka defisit APBN Indonesia juga akan meningkat. Karena meskipun
kemampuan masyarakat untuk berbelanja tinggi tidak selamanya dapat
menurunkan defisit APBN Indonesia dikarenakan banyaknya kebutuhan masyarakt
sehinga tidak semua pendapatan masyarakat tersebut dibelanjakan. Penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2022) dengan judul “
Analisis Determinan Defisit Anggaran Indonesia” yang menyatakan bahwa ketika
daya beli masyarakat itu tinggi maka tidak mampu manurunkan defisit APBN
Indonesia karena adanya peningkatan belanja negara yang terjadi secara terus
menerus.

5.3.2. Pengaruh Inflasi Indonesia Defisit APBN Indonesia


Variabel inflasi Indonesia memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan.
Secara teori inflasi Indonesia berhubungan positif terhadap defisit APBN Indonesia
tetapi secara statistik tidak signifikan. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan
jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Peningkatan
inflasi berarti telah menunjukkan bahwa naiknya harga-harga barang dan jasa
secara menyeluruh. Artinya kondisi ini telah mempengaruhi turunnya permintaan
masyarakat terhadap barang dan jasa sehingga produksi akan menurun. Penurunan
produksi ini akan menurunkan pendapatan negara melalui penerimaan Pph karena
adanya turunnya pendapatan UMKM. Sehingga salah satu sumber pendapatan

77
negara juga semakin sedikit. Penurunan pendapatan ini akan mendorong semakin
tingginya defisit APBN Indonesia.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Hidayat, dkk (2019) dengan judul “Determinan Defisit Anggaran Pemerintah dan
Dampaknya Terhadap Utang Luar Negeri Indonesia”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap defisit APBN. Penelitian
ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnah (2015) yang
menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap defisit
APBN. Dengan demikian hasil olahan data ini sesuai dengan hipotesis di awal tetapi
tidak signifikan. Kemudian ternyata inflasi Indonesia tidak ada pengaruh signifikan
terhadap defisit APBN Indonesia. Penyebab inflasi Indonesia tidak signifikan
disebabkan oleh adanya kebutuhan pokok masyarakat yang tetap harus dipenuhi
meskipun harga barang-barang meningkat seperti bahan pangan, sehingga
meskipun inflasi tinggi maka masyarakat tetap membeli barang tertentu. Sehingga
akan berdampak pada sumber penerimaan negara yang tetap terjaga yang nantinya
akan menurunkan defisit APBN Indonesia.

5.3.3. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah per USD Terhadap Defisit APBN
Indonesia
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel nilai tukar Rupiah
per USD berpengaruh positif namun tidak signifikan. Nilai tukar Rupiah per USD
dengan defisit APBN Indonesia memiliki hubungan yang positif. Apabila nilai
tukar Rupiah per USD meningkat (terdepresiasi) maka akan menyebabkan neraca
perdagangan defisit karena pada saat nilai tukar meningkat (terdepresiasi) biaya
produksi yang berasal dari impor akan semakin mahal, apabila biaya produksi
mahal, maka produsen juga akan meningkatkan harga barang yang dijual baik itu
di dalam negeri maupun diluar negeri. Dampak kenaikan harga jual tersebut
membuat barang tidak kompetitif atau bersaing dan akan mengurangi permintaan
dari pelanggan atau membeli barang dengan jumlah yang lebih sedikit
dibandingkan pada saat harga turun atau tetap. Turunnya penjualan eksportir akan
menyebabkan penerimaan dari Pph semakin sedikit sehingga defisit APBN
Indonesia juga akan meningkat.

78
Dengan demikian hasil olahan data ini sesuai dengan hipotesis awal yang
diajukan bahwa apabila nilai tukar Rupiah per USD meningkat (terdepresiasi) maka
defisit APBN Indonesia akan naik sebaliknya, apabila nilai tukar Rupiah per USD
menurun (terapresiasi) maka defisit APBN Indonesia juga akan menurun. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuntadi (2023) dengan
judul “Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Defisit Anggaran”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh positif terhadap defisit APBN.
Namun ternyata, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa nilai tukar
Rupiah per USD tidak ada pengaruh signifikan terhadap defisit APBN Indonesia
selama kurun penelitian. Menurut penulis, hal tersebut terjadi karenan meskipun
nilai tukar meningkat (terdepresiasi) maka tidak berpengaruh terhadap defisit
APBN Indonesia karena kondisi terdepresiasinya nilai tukar Rupiah per USD
tersebut masih bisa dimanfaatkan oleh eksportir untuk mendapatkan keuntungan
sementara (jangka pendek) yang cukup besar dengan cara, menggunakan bahan-
bahan lokal atau ekspor bahan mentah yang kemudian di ekspor ke luar negeri.
Karena pada tahun 2017 eksportir komoditas kopi di Indonesia mendapatkan devisi
yang sangat besar sehingga dapat menguntungkan berbagai pihak. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilai Tukar Rupiah, Pertumbuhan
Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Harga Minyak”. Hasil penelitiannya memiliki
arah hubungan yang sama yaitu nilai tukar Rupiah per USD berpengauh positif
terhadap defisit APBN Indonesia. Ketika nilai tukar rupiah Indonesia meningkat
(terdepresiasi), maka nilai pinjaman yang pembayarannya jatuh tempo juga naik.
Hal ini membebani anggaran negara karena jumlah uang yang dibelanjakan untuk
pembayaran utang (pembayaran pokok ditambah bunga) akan melebihi jumlah
yang semula dialokasikan untuk tujuan ini. Akibat kenaikan suku bunga utang luar
negeri, defisit anggaran negara akan meningkat.

5.3.4. Pengaruh Harga Minyak Mentah Indonesia Terhadap Defisit APBN


Indonesia
Variabel harga minyak mentah Indonesia dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa harga minyak mentah Indonesia memiliki pengaruh negatif dan signifikan
terhadap defisit APBN Indonesia. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dan

79
hipotesis di awal yang menjelaskan apabila harga minyak mentah Indonesia
meningkat maka defisit APBN Indonesia akan semakin menurun, sebaliknya
apabila harga minyak mentah Indonesia menurun maka defisit APBN Indonesia
akan meningkat. Harga minyak mentah Indonesia atau disebut juga dengan
Indonesia Crude Oil Price (ICP) merupakan harga rata-rata minyak mentah
Indonesia di pasar internasional yang digunakan dalam perhitungan dan
penyusunan APBN.
Harga minyak mentah Indonesia menjadi salah satu sumber penerimaan
negara melalui hasil eksplorasi dan penjualan minyak bumi yang merupakan salah
satu komponen di dalam postur APBN serta besarannya ditentukan oleh
perkembangan harga minyak dunia baik itu pada penerimaan pajak penghasilan
migas maupun penerimaan bukan pajak. Semakin tinggi ICP maka akan semakin
tinggi pendapatan negara dan begitu pula sebaliknya apabila ICP menurun akan
diikuti dengan penurunan penerimaan negara (Kementerian Keuangan, 2022).
Apabila harga minyak mentah Indonesia naik dan penerimaan negara naik maka
defisit APBN Indonesia akan menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuntadi (2022) dengan judul “Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Defisit Anggaran : Nilai Tukar Rupiah, Pertumbuhan
Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Harga Minyak”. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa harga minyak mentah Indonesia berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap defisit APBN Indonesia. Semakin tinggi defisit APBN
Indonesia maka akan diikuti dengan penurunan defisit APBN Indonesia, begitu juga
sebaliknya.

5.3.5. Pengaruh penerimaan Pajak Terhadap Defisit APBN Indonesia


Penerimaan pajak merupakan semua penerimaan negara yang terdiri atas
pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional
yang dapat dikembangkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dan hipotesis
awal yang menyatakan bahwa apabila penerimaan pajak meningkat maka akan
menurunkan defisit APBN Indonesia, sebaliknya jika penerimaan pajak turun maka
defisit APBN Indonesia akan mengalami peningkatan. Penerimaan pajak menjadi
salah satu sumber pendapatan negara terbesar dan dapat dikembangkan secara

80
optimal sesuai kebutuhan pemerintah, sehingga apabila penerimaan pajak pajak di
suatu negara lancar maka akan berdampak pada sisi penerimaan negara menjadi
meningkat dengan asumsi belanja negara tetap maka defisit APBN indonesia juga
akan mengalami penurunan, sebaliknya jika penerimaan pajak rendah maka akan
membebani negara yang mengakibatkan defisit APBN Indonesia mengalami
peningkatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Olivia, dkk
(2018) dengan judul “Defisit Anggaran Indonesia”. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa penerimaan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
defisit APBN. Tingginya penerimaan pajak mampu menurunkan defisit APBN
Indonesia, begitu juga sebaliknya ketika penerimaan pajak menurun maka defisit
APBN Indonesia akan meningkat karena penerimaan negara menjadi berkurang.

5.4. Implikasi Kebijakan


Berdasarkan pada penelitian ini, maka dibutuhkan suatu kebijakan untuk
dapat menurunkan defisit APBN Indonesia. Berikut kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dapat diberikan untuk menurunkan defisit APBN Indonesia
sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan paritas daya beli Indonesia dapat
dilakukan dengan cara membuka banyak lapangan kerja baru. Semakin
sedikit jumlah pengangguran di suatu negara, maka semakin baik pula daya
beli masyarakat di negara tersebut. Inilah yang membuat kehadiran banyak
lapangan kerja baru terus diupayakan oleh pemerintah. Karena keberadaan
lapangan kerja yang baru akan mengurangi jumlah pengangguran dan
meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga defisit APBN Indonesia
akan menurun.
2. Kebijakan pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi Indonesia agar tetap
stabil maka pentingnya bank sentral yaitu Bank Indonesia untuk menjaga
stabilitas uang yang diedarkan di masyarakat, mengurangi pengeluaran,
meningkatkan tarif pajak. Naiknya tarif pajak untuk perusahaan dan rumah
tangga akan mengurangi dan membatasi tingkat konsumsi. Pengurangan
tingkat konsumsi tersebut akan berpengaruh terhadap menurunnya harga
suatu barang, sehingga APBN Indonesia dapat menurun.

81
3. Kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah per USD
dengan mengeluarkan kebijakan intervensi ganda baik di pasar valuta asing
(valas) maupun pemberian SBN dari pasar sekunder. Menguatnya nilai tukar
Rupiah per USD membantu mengurangi utang luar negeri, sehingga dapat
mengurangi defisit APBN Indonesia. Sehingga penting untuk selalu
memperhatikan kestabilan mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
4. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak mampu
mengurangi defisit APBN Indonesia. Untuk meningkatkan penerimaan
negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas tax base (jenis barang dan
jasa yang dikenai pajak), tax ratio, dan menaikan PPN (pajak pertambahan
nilai) dari semula 10 persen menjadi 12 persen.
5. Kebijakan pemerintah dalam menjaga penerimaan negara melalui harga
minyak mentah Indonesia dapat dilakukan dengan cara memperhatikan stok
minyak dunia seperti menjual lebih banyak minyak mentah Indonesia ke
pasar internasional ketika harga meningkat, sebaliknya menjual atau
menyimpan sebagian stok ketika harga minyak mentah di pasar internasional
menurun, sehingga mampu mengurangi defiist APBN Indonesia.

82

Anda mungkin juga menyukai