Anda di halaman 1dari 14

Inflasi di Indonesia (Indeks Harga

Konsumen)
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding dengan inflasi di
negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat
inflasi di antara 3 - 5 persen, per tahun, pada periode 2005 - 2014, Indonesia malah memiliki
tingkat inflasi tahunan rata-rata 8.5 persen dalam periode yang sama. Baru mulai dari tahun 2015
inflasi di Indonesia boleh dikatakan terkendali. Bahkan masuk ke era baru: era inflasi yang
rendah.

Di bawah ini kami mendiskusikan mengapa tingkat inflasi Indonesia agak tinggi (dibanding
negara berkembang lain dan negara maju), menyediakan analisis mengenai perkembangan
terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa mendatang di Indonesia.

Hubungan antara Puncak-Puncak Inflasi dan Penyesuaian Harga-Harga yang


Ditetapkan Pemerintah

Puncak-puncak dalam volatilitas inflasi Indonesia berkolerasi dengan penyesuaian harga-


harga yang ditetapkan pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar dan listrik) ditetapkan
oleh Pemerintah dan karenanya tidak bergerak sesuai dengan kondisi pasar, berarti defisit
yang dihasilkannya harus diserap oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Program yang berumur beberapa
dekade ini menempatkan tekanan yang serius pada neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan juga membatasi belanja publik untuk proyek-proyek berjangka panjang
dan produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau pembangunan sosial. Namun, sejak
Joko Widodo jadi kepala negara ini, pemerintah Indonesia dengan sukses berhasil untuk
mengurangi pendanaan subsidi energi dan meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan
infrastruktur dan pembangunan sosial.

Jokowi sadar akan pentingnya untuk menerapkan langkah reformasi yang tidak populer
segera setelah menjadi Presiden Indonesia (yang ke-tujuh). Soalnya, semakin lama
penundaannya, semakin rendah kemungkinannya akan terpilih kembali dalam pemilihan
berikutnya (karena membutuhkan waktu untuk pulih dari langkah-langkah reformasi). Pada
November 2014, hampir satu bulan setelah menjabat, Jokowi memotong subsidi BBM
sebesar 31 persen untuk premium dan 36 persen untuk solar. Namun keputusan ini hanya
mengakibatkan protes yang sedikit saja. Kenapa? Karena waktu Jokowi memotong subsidi
BBM harga minyak mentah global sangat rendah. Bahkan begitu rendah sehingga harga
premium dan solar bersubsidi turun (!) setelah pemotongan subsidi BBM. Jatuhnya yang
dramatis harga minyak mentah global yang dimulai pada bulan Agustus 2014 dalam
kombinasinya dengan harga BBM bersubsidi yang tidak berubah sesuai dengan harga pasar
mengakibatkan sebuah situasi paradoksal yaitu: pembeli BBM bersubsidi mensubsidi
pemerintah karena harga BBM bersubsidi telah menjadi lebih mahal daripada harga pasar.

Namun meskipun harga minyak global rendah, keputusan untuk memotong subsidi BBM
pada akhir 2014 mendorong laju inflasi bulanan Indonesia menjadi 1,50 persen dan 2,46
persen pada bulan November dan Desember 2014, masing-masing. Tingkat inflasi bulanan
yang sangat tinggi ini bisa saja mendorong sebagian penduduk yang hidup sedikit di atas
garis kemiskinan jatuh di bawah garisnya itu. Oleh karena itu, diperlukan program bantuan
sosial pemerintah yang tepat sasaran untuk mencegah peningkatan kemiskinan.

Subsidi Energi Indonesia:

Tahun Subsidi Bahan Bakar Minyak Subsidi Listrik


2017                     47.0          50.6
2016                     43.7          63.1
2015                     64.7          73.1
2014                    246.5         103.8
2013                    210.0          99.9
2012                    211.9          94.6
2011                    165.2          90.4
2010                     82.4          57.6
2009                     45.0          49.5
2008                    139.1          83.9
2007                     83.8          33.1
2006                     64.2          30.4
2005                     95.6           8.9
2004                     69.0           2.3
dalam trilyun rupiah

Karena harga minyak global terus menurun ke posisi sangat rendah pada tahun 2015 dan
2016, pemerintah Indonesia mampu memangkas lebih lanjut belanja subsidi energi pada
tahun 2016. Sementara itu, pemerintah juga memperkenalkan formula harga baru untuk harga
BBM bersubsidi, yang didasarkan pada harga minyak internasional dan akan disesuaikan
setiap kuartal, sehingga membuat harga BBM bersubsidi Indonesia jauh lebih sesuai dengan
gerakan harga minyak internasional dan oleh karena itu menurunkan tekanan pada anggaran
pemerintah.

Namun, dalam kenyataannya pemerintah telah menahan diri dari merevisi harga BBM
bersubsidi sejak April 2016 meskipun harga minyak mengalami rebound (sejak awal 2016)
dan yang sekarang menyebabkan tekanan baru pada neraca anggaran pemerintah. Motif di
balik ini adalah politik. Karena pemilihan lokal diselenggarakan pada tahun 2018, diikuti oleh
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2019, pemerintah pada saat ini tidak
tertarik untuk menerapkan keputusan yang tidak populer (misalnya menaikan harga BBM
bersubsidi) karena itu dapat membahayakan kemenangan di pemilu untuk partai-partai dan
wajah-wajah yang berkuasa sekarang. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi
bahwa harga BBM bersubsidi dan harga listrik bersubsidi tidak akan dinaikkan hingga akhir
tahun 2019, yang menyiratkan bahwa pemerintah perlu menambah lebih banyak dana untuk
anggaran subsidi energi pada tahun 2018 dan 2019.

Sebelum Jokowi melakukan reformasi harga energi bersubsidi, beberapa lembaga


internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia terus mengkritik
kebijakan subsidi energi pemerintah Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik
yang murah kepada penduduknya mempunyai beberapa konsekuensi negatif:
• Subsidi energi menyebabkan kelemahan finansial, terutama setelah Indonesia berubah
menjadi importir minyak mulai pada tahun 2000an. Sebenarnya, kebijakan ini tidak mungkin
dilanjutkan terus karena pada suatu saat di masa depan cadangan minyak akan habis maka
pemerintah perlu menaikkan harga-harga bersubsidi ini. Dengan menunggu lebih lama,
dampak negatifnya bisa menjadi lebih parah.

• Mendanai subsidi energi membatasi belanja pemerintah di sektor yang lebih produktif
seperti infrastruktur dan pembangunan sosial (pada kenyataannya BBM murah mendukung
penjualan mobil nasional dan dengan infrastruktur yang sebagian besar tidak memadai itu
mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang semakin berat di kota-kota besar di Indonesia).

• Subsidi energi mendistorsi ekonomi nasional karena membuat-buat harga-harga rendah


(secara "artifisial"). Karena harga sebagian besar produk dan layanan dipengaruhi biaya
BBM, ini menyiratkan bahwa sebagian besar harga barang dan layanan di Indonesia lebih
rendah daripada seharusnya. Meskipun ini ada keuntungan jangka pendek (dalam hal daya
saing dan dalam hal pemberantasan kemiskinan), ini adalah bom waktu yang akan meledak di
depan.

• Kebijakan itu salah sasaran karena terutama kelas menengah (dan elit) yang diuntungkan
dengan harga BBM bersubsidi yang murah, bukan segmen masyarakat Indonesia yang lebih
miskin (yang sebenarnya sasarannya).

Masyarakat Indonesia menjadi kecanduan pada subsidi energi Pemerintah, terutama BBM
yang murah. Ini berarti bahwa usaha-usaha untuk mengatur kembali subsidi energi
mengimplikasikan risiko-risiko politik untuk elit yang berkuasa karena kegelisahan politik
(demonstrasi) muncul yang disebabkan oleh (ancaman dari) tekanan inflasi yang meningkat.

Salah satu karakteristik Indonesia adalah sejumlah besar penduduknya termasuk dalam


kelompok yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bahwa shock inflasi yang
relatif kecil bisa mendorong mereka ke bawah garis kemiskinan itu. Selain itu, rencana
kabinet untuk memangkas subsidi energi memungkinkan ruang untuk kritik dari musuh-
musuh politik karena mereka dapat menggunakan keinginan masyarakat untuk memiliki
akses ke BBM murah untuk kepentingan politik mereka. Di Indonesia banyak orang
tergolong "pemilih ayunan" karena banyak yang tidak berafiliasi dengan partai politik
tertentu, sehingga pemilih cenderung cepat mengalihkan dukungan ke partai politik lain.

Subsidi BBM di bawah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Bagaimana subsidi energi ditangani di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono


(SBY)? Pelajaran pertama yang bisa kita petik dari reformasi subsidi energi di era SBY yaitu
bahwa keputusan yang (ter)lambat oleh pihak berwenang dapat menyebabkan inflasi yang
tinggi, sementara di era ini ada juga contoh menarik tentang bagaimana harga BBM
bersubsidi jadi dipolitisasi.

Pada akhir tahun 2005, setelah berjabat sekitar satu tahun, pemerintahan SBY memutuskan
untuk memangkas subsidi BBM lewat peningkatan harga BBM subsidi lebih dari dua kali
lipat. Keputusan ini dilakukan karena harga minyak internasional meningkat pesat di antara
tahun 2002 dan 2006. Namun, karena perselisihan signifikan antara harga pasar (yang
sebenarnya) dan harga BBM bersubsidi di Indonesia, langkah ini segera menyebabkan inflasi
menyentuh dua digit - antara 14 dan 19 persen (tahun ke tahun) - hingga Oktober 2006.
Sementara itu, inflasi inti - yang mengecualikan barang-barang yang rentan terhadap
volatilitas harga sementara yaitu harga makanan dan harga yang ditetapkan pemerintah
(administered prices) - juga volatile karena efek putaran kedua penyesuaian harga energi
yang masuk ke ekonomi yang lebih luas (melalui meningkatnya biaya transportasi). Maka
respon yang lambat oleh pihak berwenang untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dapat
menyebabkan inflasi yang jauh lebih tinggi dari yang seharusnya dan bisa mendorong banyak
orang ke dalam kemiskinan penuh (jika tidak disertai dengan program bantuan sosial
pemerintah).

Karena harga minyak internasional terus naik - menyentuh rekor tertinggi pada Juni 2008 -
dan oleh karena itu pemerintahan SBY membutuhkan dana besar untuk menjaga harga BBM
bersubsidi pada tingkat yang sebenarnya setengah dari harga pasar, pemotongan subsidi BBM
diperlukan lagi. Masalah lain yang timbul yaitu BBM murah telah membantu meningkatkan
penjualan mobil ke rekor tertinggi dan karena itu permintaan BBM subsidi terus meningkat.
Keputusan SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tahun 2008 disambut dengan
demonstrasi-demonstrasi. Namun, pada 2009, ketika harga minyak internasional menurun
selama krisis keuangan global, SBY memangkas harga bahan bakar bersubsidi lagi. Namun,
satu tahun kemudian (pada 2009), SBY mengubah arah saat harga minyak internasional turun
drastis selama krisis keuangan global. SBY memutuskan untuk memangkas harga BBM
bersubsidi di Indonesia, sebuah tindakan yang disukai rakyat. Selain karena harga minyak
internasional yang turun secara signifikan, diasumsikan bahwa SBY juga senang menurunkan
harga BBM bersubsidi menjelang pemilihan 2009 karena pasti akan meningkatkan
kemungkinan untuk terpilih kembali sebagai kepala negara.
Waktu harga minyak internasional melonjak kembali antara tahun 2009 dan 2012 (karena
munculnya kekhawatiran besar terhadap ekspor Iran) dan mengakibatkan membengkaknya
defisit anggaran, pemerintahan SBY (sekarang dalam masa jabatan yang kedua) hendak
menaikkan harga BBM bersubsidi lagi. Namun, beberapa partai politik yang terkemuka
menentang rencana tersebut. Kendala utama adalah Golkar, partai politik terbesar kedua di
Indonesia waktu itu dan bagian dari koalisi yang berkuasa di pemerintahan SBY. Awalnya
Golkar mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, namun tiba-tiba berubah pikiran dan
menolak kenaikan tersebut setelah melihat banyak demonstrasi di jalan-jalan di Indonesia.
Perubahan pikiran dari Golkar itu hanya berdasarkan pada perolehan dukungan rakyat jangka
pendek, sementara mengabaikan efek jangka positif panjang. Oleh karena itu, rencana
menaikkan harga BBM ditunda.

Tetapi ketika defisit anggaran pemerintah hampir melampaui batas maksimum 3 persen dari
PDB di tengah tingginya harga minyak dunia dan subsidi BBM pemerintah pada tahun 2013,
pemerintahan SBY kembali memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada Juni
2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar naik 22
persen menjadi Rp 5.500 per liter. Langkah ini memicu protes rakyat dan juga diterapkan
pada waktu yang salah sekitar satu tahun sebelum pemilihan legislatif (dalam pemilu
legislatif 2014 dukungan rakyat kepada partai SBY jatuh drastis tetapi harus diinformasikan
bahwa penurunan ini juga merupakan hasil dari beberapa skandal korupsi besar yang muncul
di partai PD serta faktanya bahwa SBY sendiri tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu
presiden 2014 karena masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode).

Untuk mendukung segmen masyarakat yang miskin, pemerintah melanjutkan program


pemberian uang tunai langsung. Namun, inflasi naik menjadi 8,4 persen pada akhir tahun
2014.

Tingkat Inflasi Indonesia (perubahan % tahunan pada indeks harga konsumen):

Tetapi meskipun kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013, sebagian besar harga
BBM Indonesia masih tetap disubsidi melalui anggaran negara; dengan menggunakan dana
yang sebenarnya dapat diinvestasikan dalam pembangunan struktural daripada digunakan
untuk konsumsi saja. Sementara itu, permintaan domestik untuk BBM bersubsidi terus
meningkat dari tahun ke tahun, dan oleh karena itu Bank Dunia, Dana Moneter Internasional
(IMF), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan semua lembaga pemeringkat
kredit internasional penting terus menekankan pentingnya untuk menghentikan program
subsidi energi itu.

Dibutuhkan seorang presiden yang berpikiran reformasi untuk melakukan itu. Setelah Joko
Widodo memenangkan pemilihan presiden 2014 dan diresmikan sebagai presiden ketujuh
Indonesia pada Oktober 2014, salah satu langkah pertama yang ia lakukan yaitu menaikkan
harga BBM bersubsidi. Efek samping negatifnya adalah laju inflasi negara, yang baru saja
mulai pulih menuju target Bank Indonesia sebesar 4,5 persen (setelah kenaikan harga BBM
bersubsidi pada 2013), tidak punya waktu untuk pulih lebih lanjut, dan malah berakselerasi
lagi menjadi 8,4 persen (y/y) pada akhir 2014. Ini sebuah keputusan yang susah tetapi
diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi struktural jangka panjang.

Pada awal tahun 2015, Presiden Jokowi sangat beruntung karena harga minyak global telah
turun drastis sejak pertengahan 2014 di tengah permintaan global yang lemah, sementara
pasokan minyak kuat karena angka produksi minyak yang tinggi di negara-negara OPEC
serta revolusi gas shale AS. Oleh karena itu, Jokowi memutuskan untuk menerapkan
kebijakan yang berani. Dia menghapus sebagian besar subsidi premium sementara
menetapkan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter untuk solar. Juga diterapkan kebijakan baru
terkait harga BBM bersubsidi yaitu pemerintah akan menentukan harga premium dan solar
setiap kuartal dan harga-harga ini akan berfluktuasi sejalan dengan harga minyak
internasional. Namun, karena minyak bumi global pulih secara hati-hati pada paruh pertama
tahun 2015, inflasi Indonesia tetap tinggi pada pertengahan 2015 dan baru mulai mereda pada
akhir 2015.

Inflasi di Indonesia - Indeks Harga Konsumen

Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan


Bulan
       2018        2019        2020
Januari       0.62%       0.32%       0.39%
Februari       0.17%      -0.08%       0.28%
Maret       0.20%       0.11%       0.10%
April       0.10%       0.44%       0.08%
Mei       0.21%       0.68%       0.07%
Juni       0.59%       0.55%       0.18%
Juli       0.28%       0.31%      -0.10%
Augustus      -0.05%       0.12%      -0.05%
September      -0.18%      -0.27%      -0.05%
Oktober       0.28%       0.02%       0.07%
November       0.27%       0.14%       0.28%
Desember       0.62%       0.34%       0.45%
Total       3.13%       2.72%       1.68%

M/M Growth M/M Growth M/M Growth M/M Growth M/M Growth
Bulan
      2013       2014       2015       2016       2017
Januari      1.03%      1.07%     -0.24%      0.51%      0.97%
Februari      0.75%      0.26%     -0.36%     -0.09%      0.23%
Maret      0.63%      0.08%      0.17%      0.19%     -0.02%
April     -0.10%     -0.02%      0.36%     -0.45%      0.09%
Mei     -0.03%      0.16%      0.50%      0.24%      0.39%
Juni      1.03%      0.43%      0.54%      0.66%      0.69%
Juli      3.29%      0.93%      0.93%      0.69%      0.22%
Augustus      1.12%      0.47%      0.39%     -0.02%     -0.07%
September     -0.35%      0.27%     -0.05%      0.22%      0.13%
Oktober      0.09%      0.47%     -0.08%      0.14%      0.01%
November      0.12%      1.50%      0.21%      0.47%      0.20%
Desember      0.55%      2.46%      0.96%      0.42%      0.71%
Total      8.38%      8.36%      3.35%      3.02%      3.61%
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Inflasi di Indonesia dan Target Bank Indonesia (BI):

  2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020


Inflasi
 8.4  3.4  3.0  3.6  3.1  2.7
(% perubahan tahunan)
BI Median Target¹
 4.5  4.0  4.0  4.0  3.5  3.5  3.0
(% perubahan tahunan)

  2008 2009 2010 2011 2012 2013


Inflasi
 9.8  4.8  5.1  5.4  4.3  8.4
(% perubahan tahunan)
BI Median Target¹
 5.0  4.5  5.0  5.0  4.5  4.5
(% perubahan tahunan)
¹ disajikan di tabel di atas adalah median dari target inflasi tahunan Bank Indonesia (BI). BI selalu menggunakan margin ±1 persen, maka median 3.0 persen adalah range 2.0 - 4.0 persen
Sumber: Bank Indonesia

Karakteristik tingkat inflasi yang kurang stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih
besar dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia (dibanding deviasi antara realisasi
inflasi dan target bank sentral di negara lain). Akibat dari ketidakjelasan inflasi semacam ini
adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi, seperti biaya peminjaman yang lebih tinggi di
negara ini (domestik dan internasional) dibandingkan dengan negara-negara berkembang
lainnya. Saat rekam jejak yang baik mengenai mencapai target inflasi tahunan terbentuk,
kredibilitas kebijakan moneter yang lebih besar akan mengikutinya. Namun, karena inflasi
yang tidak stabil terutama disebabkan oleh penyesuaian harga BBM bersubsidi, kami
memprediksi akan terjadi lebih sedikit deviasi antara target awal Bank Indonesia dan realisasi
inflasi pada tahun 2018 dan 2019 (apalagi pemerintah telah mengkonfirmasi bahwa harga
BBM dan listrik bersubsidi tidak akan direvisi sampai dengan akhir tahun 2019).

Kurangnya kuantitas dan kualitas infrastruktur di Indonesia juga mengakibatkan biaya-biaya


ekonomi yang tinggi. Hal ini menghambat konektivitas di negara kepulauan ini dan
karenanya meningkatkan biaya transportasi untuk jasa dan produk (sehingga membuat biaya
logistik tinggi dan membuat iklim investasi negara ini menjadi kurang menarik). Gangguan
distribusi karena isu-isu yang berkaitan dengan infrastruktur sering dilaporkan dan membuat
Pemerintah menyadari pentingnya berinvestasi untuk infrastruktur negara ini.

Harga-harga bahan pangan sangat tidak stabil di Indonesia (rentan terhadap kondisi cuaca)
dan kemudian meletakkan beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga yang berada
di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah tangga ini
menghabiskan lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka untuk
makanan, terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga makanan yang lebih tinggi
menyebabkan inflasi keranjang kemiskinan yang serius yang mungkin meningkatkan
persentase penduduk miskin. Panen-panen yang gagal dikombinasikan dengan reaksi lambat
dari Pemerintah untuk menggantikan produk-priduk makanan lokal dengan impor adalah
penyebab tekanan inflasi.

Inflasi Tahunan Menurut Kelompok (%):

Indikator 2014 2015 2016 2017


Bahan Makanan 10.57  4.93  5.69  1.26
Makanan jadi, minuman,
 8.11  6.42  5.38  4.10
rokok dan tembakau
Perumahan, air, listrik,
 7.36  3.34  1.90  5.14
gas dan bahan bakar
Sandang  3.08  3.43  3.05  3.92
Kesehatan  5.71  5.32  3.92  2.99
Pendidikan, rekreasi,
 4.44  3.97  2.73  3.33
dan olahraga
Transportasi, komunikasi,
12.40 -1.52 -0.72  4.23
dan jasa keuangan
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Puncak Inflasi Tradisionil di Indonesia

Bila tidak memperhitungkan penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah, ada dua puncak
inflasi tahunan yang biasanya terjadi di Indonesia. Periode Desember-Januari selalu menjadi
waktu kenaikan harga-harga karena perayaan-perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain itu,
banjir yang sering terjadi di bulan Januari (karena puncak musim hujan) menyebabkan
gangguan jalur-jalur distribusi di beberapa daerah dan kota, dan karenanya menyebabkan
biaya logistik yang lebih tinggi.

Puncak inflasi kedua terjadi di periode Juli-Agustus. Tekanan-tekanan inflasi di kedua bulan
ini terjadi sebagai dampak dari masa liburan, bulan suci puasa umat Muslim (Ramadan),
perayaan Idul Fitri dan awal tahun ajaran baru. Penting untuk dicatat bahwa periode Ramadan
dan Idul Fitri terus bergerak karena tahun kalender Islam 10 hingga 11 hari lebih pendek dari
tahun Masehi (matahari). Maka dalam lima tahun ke depan periode Ramadan-Idul Futri ini
akan geser ke Mei dan April. Selama puncak inflasi yang kedua ini, peningkatan signifikan
terdeteksi dalam pengeluaran untuk barang makanan dan barang konsumen lainnya (seperti
pakaian, tas dan sepatu), diikuti dengan tindakan para retailer yang menaikkan harga.
Kebijakan Moneter dan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

Dengan pertumbuhan PDB tahunan naik rata-rata 5 persen (y/y) selama 15 tahun,


perekonomian Indonesia berekspansi dengan cepat, dengan karakteristik naiknya permintaan
domestik yang kuat (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar 56 persen dari total
pertumbuhan ekonomi negara ini), pertumbuhan kredit sektor swasta yang subur, dan
peningkatan akses bisnis untuk kredit.

Terlebih lagi, gaji sektor publik telah meningkat karena reformasi administratif dan
pertumbuhan gaji sektor swasta telah berakselerasi (upah minimum regional Indonesia
dinaikkan secara signifikan pada tahun 2012-2014). Karena pertumbuhan ekonomi yang
subur ini membawa tekanan-tekanan inflasi, kebijakan-kebijakan moneter baru-baru ini
(sejak 2013) bertujuan untuk mengamankan stabilitas keuangan negara ini, tertutama setelah
inflasi naik akibat reformasi harga BBM bersubsidi pada periode 2013-2015, sementara akhir
dari program quantitative easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga AS)
menyebabkan capital outflows besar-besaran dari negara-negara berkembang (maka
menyebabkan pelemahan tajam mata uang negara-negara berkembang), termasuk Indonesia.
Apalagi kekhawatiran muncul terkait defisit transaksi berjalan.

Sikap kebijakan moneter Bank Indonesia yang lebih ketat (tercermin dari naiknya suku bunga
acuan) pada periode 2013-2014 dilaksanakan dengan mengorbankan laju pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi bagi Indonesia (di tengah biaya kredit yang lebih tinggi,
pertumbuhan kredit turun secara signifikan maka pertumbuhan aktivitas ekonomi menurun).
Tetapi layak dipuji bahwa stabilitas keuangan lebih diprioritaskan daripada pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi (namun yang tidak berkelanjutan).

Bank Indonesia (BI) memiliki tujuan utama memastikan kestabilan rupiah. BI menggunakan
instrumen-instrumen dalam cakupan luas untuk mengurangi tekanan-tekanan inflasi di negara
ini. Kebijakan suku bunga bank disesuaikan ketika target inflasi tidak tercapai. Antara
Februari 2012 sampai Juni 2013, suku bunga acuan negara ini (BI rate) telah ditetapkan pada
level terendah dalam sejarah pada 5,75 persen. Setelah periode ini, tekanan-tekanan inflasi
meningkat karena reformasi harga bahan bakar bersubsidi dan ketidakjelasan global
mengenai kebijakan moneter AS. Capital outflows yang mengikutinya mengakibatkan
pelemahan nilai tukar rupiah secara tajam. Oleh karena itu, mulai dari pertengahan 2013,
Bank Indonesia menyesuaikan BI rate-nya dengan menaikkannya secara bertahap namun
agresif dari 5,75 persen menjadi 7,75 persen. Tindakan ini juga membawa kepada penurunan
pertumbuhan kredit di Indonesia.

Tindakan lain untuk memperketat kebijakan moneter adalah menaikkan persyaratan


simpanan baik untuk deposito mata uang lokal maupun mata yang asing di bank-bank
Indonesia. Terakhir, BI mengurangi permintaan para investor asing untuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dengan memperpanjang periode persyaratan kepemilikan SBI dari satu
menjadi enam bulan, memperpanjang waktu jatuh tempo dari SBI yang diterbitkan menjadi 9
bulan dan dengan memperkenalkan deposito-deposito dalam konteks tidak dapat
diperdagangkan dengan waktu jatuh tempo lebih panjang (yang hanya tersedia untuk bank-
bank). Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk memitigasi aliran ‘uang panas’ ke dalam
Indonesia.
Mulai dari tahun 2015, waktu kinerja rupiah menjadi stabil, inflasi rendah dan defisit neraca
berjalan di bawah kendali, Bank Indonesia dapat melonggarkan kebijakan moneternya dan
memulai proses pelonggaran moneter yang agak agresif, tercermin dari suku bunga acuan
yang lebih rendah (lihat tabel di bawah). Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan
dengan drastis dari 7,75 persen pada awal tahun 2016 menjadi 4,25 persen pada September
2017 (ini juga termasuk perubahan dari BI rate manjadi BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai
alat benchmark bank sentral).

Namun, meskipun suku bunga lebih rendah, masih tetap ada kekhawatiran tentang lemahnya
laju pertumbuhan kredit dan konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Pengangguran di Indonesia
Semasa pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi mampu menambahkan banyak
pekerjaan baru di Indonesia, yang dengan demikian mampu mengurangi angka pengangguran
nasional. Sektor-sektor yang terutama mengalami peningkatan tenaga kerja (sebagai pangsa
dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia) adalah sektor industri dan jasa sementara sektor
pertanian berkurang: pada tahun 1980-an sekitar 55 persen populasi tenaga kerja Indonesia
bekerja di bidang pertanian, tetapi belakangan ini angka tersebut berkurang menjadi di bawah
40 persen.
Namun, Krisis Keuangan Asia (Krismon) yang terjadi pada akhir tahun 1990-an merusak
pembangunan ekonomi Indonesia (untuk sementara) dan menyebabkan angka pengangguran
di Indonesia meningkat menjadi lebih dari 20 persen dan angka tenaga kerja yang harus
bekerja di bawah level kemampuannya (underemployment) juga meningkat, sementara
banyak yang ingin mempunyai pekerjaan full-time, hanya bisa mendapatkan pekerjaan part-
time.
Sementara itu, sebagian besar tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di daerah perkotaan
karena Krismon pindah ke pedesaan dan masuk ke dalam sektor informal (terutama di bidang
pertanian).
Walaupun Indonesia telah mengalami pertumbuhan makro ekonomi yang kuat sejak tahun
2000-an (dan Indonesia telah pulih dari Krismon), sektor informal ini - baik di kota maupun
di desa - sampai sekarang masih tetap berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Walau
agak sulit untuk menentukan jumlahnya secara pasti, diperkirakan bahwa sekitar 55 sampai
65 persen pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan informal. Saat ini sekitar 80 persen dari
pekerjaan informal itu terkonsentrasi di wilayah pedesaan, terutama di sektor konstruksi dan
pertanian.
Dipekerjakan di sektor informal menyiratkan risiko tertentu karena pekerja sektor informal
biasanya memiliki pendapatan yang lebih rendah dan tidak stabil. Lagipula mereka tidak
memiliki akses ke perlindungan dan layanan dasar. Sementara itu, arus uang di sektor
informal tidak dikenakan pajak dan kegiatan informal tidak dapat dimasukkan dalam
perhitungan produk nasional bruto (PNB) atau produk domestik bruto (PDB). Oleh karena
itu, pada dasarnya, sektor informal tidak baik bagi pekerja dan tidak baik bagi perekonomian.
Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat selama lebih dari satu dekade ini secara
berlahan telah mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Namun, dengan kira-
kira dua juta penduduk Indonesia yang tiap tahunnya terjun ke dunia kerja, adalah tantangan
yang sangat besar buat pemerintah Indonesia untuk menstimulasi penciptaan lahan kerja baru
supaya pasar kerja dapat menyerap para pencari kerja yang tiap tahunnya terus bertambah;
pengangguran muda (kebanyakan adalah mereka yang baru lulus kuliah) adalah salah satu
kekhawatiran utama dan butuh adanya tindakan yang cepat.
Dengan jumlah total penduduk sekitar 260 juta orang, Indonesia adalah negara berpenduduk
terpadat keempat di dunia (setelah Cina, India dan Amerika Serikat). Selanjutnya, negara ini
juga memiliki populasi penduduk yang muda karena sekitar setengah dari total penduduk
Indonesia berumur di bawah 30 tahun. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, indikasinya
Indonesia adalah negara yang memiliki kekuatan tenaga kerja yang besar, yang akan
berkembang menjadi lebih besar lagi ke depan, maka menekankan pentingnya penciptaan
lapangan kerja dalam perekonomian terbesar di Asia Tenggara.
Statistik Tenaga Kerja dan Pengangguran (Absolut) di Indonesia:
dalam juta orang 2016 2017 2018¹
Tenaga Kerja 127.8 128.1 133.9
- Bekerja 120.8 121.0 127.1
- Menganggur   7.0   7.0   6.9
Penduduk Usia Kerja,
 63.7  64.0  59.6
Bukan Angkatan Kerja
- Sekolah  15.9  16.5  15.6
- Mengurus Rumah Tangga  39.3  39.9  36.0
- Lainnya   8.4   7.6   8.0

dalam juta 2010 2011 2012 2013 2014 2015


Tenaga Kerja 116.5 119.4 120.3 120.2 121.9 122.4
- Bekerja 108.2 111.3 113.0 112.8 114.6 114.8
- Menganggur   8.3   8.1   7.3   7.4   7.2   7.6
Tabel di bawah ini memperlihatkan angka pengangguran (relatif) di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Tabel tersebut menunjukkan penurunan angka pengangguran (yang
terbuka) yang cepat di antara tahun 2006 dan 2012 waktu Indonesia diuntungkan saat 2000s
commodities boom. Waktu itu ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat maka menghasilkan
banyak pekerjaan baru di tengah aktivitas ekonomi yang yang tumbuh. Alhasil, angka
pengangguran Indonesia turun.
Tren ini terganggu oleh perlambatan ekonomi Indonesia (2011-2015) ketika boom komoditas
tahun 2000an tiba-tiba berakhir di tengah perlambatan ekonomi global. Ini adalah tanda lain
bahwa ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada harga komoditas (yang volatil). Oleh
karena itu, upaya Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada
ekspor komoditas (yang mentah) dihargai dan harus mengarah pada ekonomi yang lebih kuat
secara struktural di masa depan. Seharusnya ini juga berdampak positif pada angka
pengangguran di Indonesia.
Pengangguran di Indonesia (Relatif):
  2013 2014 2015 2016 2017 2018
Pengangguran
 6.2  5.9  6.2  5.6  5.5  5.1
(% dari total tenaga kerja)
 
  2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pengangguran
10.3  9.1  8.4  7.9  7.1  6.6  6.1
(% dari total tenaga kerja)
Kalau kita melihat pengangguran di perkotaan dan pedesaan di Indonesia, maka kita dapat
melihat bahwa pengangguran - secara signifikan - lebih tinggi di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Yang tidak kalah menariknya yaitu kesenjangan
antara pengangguran perkotaan dan pedesaan melebar selama empat tahun terakhir karena
pengangguran pedesaan telah menurun lebih cepat daripada pengangguran di perkotaan.
Penjelasan untuk tren ini adalah bahwa banyak orang pedesaan pindah ke daerah perkotaan
dalam rangka mencari peluang kerja.
Indonesia sedang mengalami proses urbanisasi yang cepat. Saat ini lebih dari setengah
jumlah penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Di satu sisi, ini adalah
perkembangan positif karena urbanisasi dan industrialisasi diperlukan untuk tumbuh menjadi
negara yang berpenghasilan menengah (middle income country). Di sisi lain, proses ini perlu
disertai dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai di kota-kota. Oleh karena itu,
investasi (baik domestik maupun asing) perlu meningkat di daerah perkotaan yang sudah ada
atau daerah urban yang baru. Dengan demikian, pemerintah Indonesia harus membuat iklim
investasi lebih menarik sehingga menghasilkan lebih banyak investasi.
Isu-isu penting (yang merupakan tanggung jawab pemerintah) adalah penguatan sumber daya
manusia Indonesia (sumber daya manusia mengacu pada pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilan seorang karyawan). Kualitas sumber daya manusia lokal dapat ditingkatkan
melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan. Saat ini banyak perusahaan
mengeluh bahwa sumber daya manusia Indonesia terlalu lemah. Ini berarti bahwa investor
lebih suka berinvestasi di negara lain (di mana kualitas pekerja lebih tinggi), sehingga
menyebabkan hilangnya peluang dalam hal penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
Pengangguran Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia:
  2014 2015 2016 2017
Pengangguran Nasional
 5.9  6.2  5.6  5.5
(% dari total tenaga kerja)
- Pengangguran Perkotaan
 7.1  7.3  6.6  6.8
(% dari total tenaga kerja perkotaan)
- Pengangguran Perdesaan
 4.8  4.9  4.5  4.0
(% dari total tenaga kerja perdesaan)
Sementara itu, relatif sedikit perempuan yang bekerja di Indonesia (di sektor formal). Hanya
sekitar separuh dari perempuan Indonesia yang di usia kerja yang jadi bekerja dalam
pekerjaan formal. Namun, angka ini sebenarnya sedikit lebih tinggi dari tingkat (rata-rata)
partisipasi angkatan kerja perempuan dunia sebesar 49 persen pada tahun 2017 (data dari
Bank Dunia). Namun, dibandingkan dengan pria Indonesia, tingkat partisipasi tenaga kerja
wanita rendah. Sekitar 83 persen pria Indonesia (di usia kerja) bekerja di sektor formal.
Ada dua penjelasan dasar untuk situasi ini:
(1) Tradisi/budaya; wanita Indonesia lebih cenderung (daripada pria) untuk mengurus rumah
tangga, terutama setelah melahirkan anak.
(2) Ke(tidak)setaraan gender; perempuan Indonesia cenderung bekerja di sektor informal
(dua kali lebih banyak daripada laki-laki). Ada banyak contoh pekerja perempuan informal di
pabrik (misalnya pabrik garmen) atau yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau
yang buka usaha informal di rumah (misalnya menjual masakan dimasak sendiri). Juga patut
dicatat bahwa sebagian besar pekerja perempuan informal ini adalah pekerja yang tidak
dibayar. Dan mereka yang menerima penghasilan biasanya mendapatkan bayaran kurang dari
pria untuk pekerjaan yang sama. Sebagaimana disebutkan di atas, bekerja di sektor informal
membawa risiko karena pekerja sektor informal biasanya memiliki pendapatan yang rendah
dan tidak stabil, apalagi mereka tidak memiliki akses ke perlindungan dan layanan
(kesehatan) dasar.
Penurunan yang terjadi secara perlahan dan berkelanjutan, khususnya angka pengangguran
wanita. Pengangguran wanita berkurang secara drastis, bahkan mulai mendekati angka
pengangguran pria. Meskipun demikian, masalah persamaan gender, seperti di negara-negara
lain, masih menjadi isu penting di Indonesia. Meski sudah ada kemajuan dalam beberapa
sektor utama (seperti pendidikan dan kesehatan), wanita masih cenderung bekerja di bidang
informal (dua kali lebih banyak dari pria), mengerjakan pekerjaan tingkat rendah dan dibayar
lebih rendah daripada pria yang melakukan pekerjaan yang sama. Meskipun banyak
kemajuan telah dicapai di beberapa bidang (teritama pendidikan dan kesehatan), perempuan
masih lebih mungkin bekerja di sektor informal, dalam pekerjaan yang bayarannya rendah,
dan dibayar lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan serupa.
Sebenarnya, Bank Dunia mendeteksi penurunan cepat pengangguran perempuan di Indonesia
pada akhir tahun 2000an di tengah boom komoditas (mungkin karena penurunan ini berasal
dari low base). Bahkan, pengangguran perempuan turun jauh lebih cepat daripada tingkat
pengangguran laki-laki Indonesia pada waktu itu. Sayangnya, Bank Dunia berhenti merilis
tingkat pengangguran perempuan Indonesia setelah tahun 2010.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Laki-Laki dan Perempuan:


  2016 2017 2018
Pengangguran Total
 5.61  5.50
(% dari angkatan kerja)
TPAK
66.34 66.67
(% dari angkatan kerja)
TPAK Laki-Laki
81.97 82.51
(% dari total angkatan kerja laki2)
TPAK Perempuan
50.77 50.89
(% dari total angkatan kerja perempuan)
Salah satu karakteristik Indonesia adalah bahwa angka pengangguran cukup tinggi yang
dihadapi oleh tenaga kerja muda usia 15 sampai 24 tahun, jauh lebih tinggi dari angka rata-
rata pengangguran secara nasional. Mahasiswa yang baru lulus dari universitas dan siswa
sekolah kejuruan dan menengah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di pasar kerja
nasional. Hampir setengah dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia hanya memiliki ijazah
sekolah dasar saja. Semakin tinggi pendidikannya semakin rendah partisipasinya dalam
kekuatan tenaga kerja Indonesia. Meskipun demikian dalam beberapa tahun terakhir terlihat
adanya perubahan tren: pangsa pemegang ijazah pendidikan tinggi semakin besar, dan pangsa
pemegang ijazah pendidikan dasar semakin berkurang.
    2006   2007   2008   2009   2010   2011
Pengangguran Muda Pria
(persentase tenaga kerja pria   27.7   23.8   21.8   21.6   21.1   19.3
15-24 tahun)
Pengangguran Muda Wanita
(persentase tenaga kerja wanita   34.3   27.3   25.5   23.0   22.0   21.0
15-24 tahun)
Sumber: Bank Dunia

Sektor pertanian tetap berada di posisi teratas dalam hal penyerapan tenaga kerja. Tabel di
bawah ini memperlihatkan empat sektor terpopuler yang menyerap paling banyak tenaga
kerja di tahun 2011 dan setelahnya.
Tenaga Kerja per Sektor:
dalam juta 2011 2012 2013 2014 2015 2016¹
Pertanian 42.5 39.9 39.2 39.0 37.8 38.3

Pedagang Grosir, Pedagang Ritel,


23.2 23.6 24.1 24.8 25.7 28.5
Restoran dan Hotel

Jasa masyarakat, Sosial dan Pribadi 17.0 17.4 18.5 18.4 17.9 19.8

Industri Manufaktur 13.7 15.6 15.0 15.3 15.3 16.0


Pekerjaan rentan (tenaga kerja yang tidak dibayar dan pengusaha) baik untuk pria maupun
wanita angkanya lebih tinggi di Indonesia daripada di negara-negara maju atau berkembang
lainnya. Dalam satu dekade terakhir ini tercatat sekitar enam puluh persen untuk pria
Indonesia dan tujuh puluh persen untuk wanita. Banyak yang merupakan 'pekerja rentan'
adalah mereka yang bekerja di sektor informal.

Anda mungkin juga menyukai