Filosofi Penelitian
Oleh:
Esdinawan Carakantara Satrija (B351231022)
Di Bawah Bimbingan:
Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D, PAVet(K)
Prof. drh. Bambang Purwantara, M.Sc, Ph.D
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Gambar 1. Proyeksi peningkatan populasi manusia sejak tahun 10.000 SM hingga 2058
(Ritchie dan Roser 2023)
Perkembangan teknologi pada era globalisasi modern tentu berperan dalam peningkatan
kualitas hidup manusia. Hal ini salah satunya tergambar dari peningkatan angka harapan hidup
manusia di seluruh dunia. Rerata angka harapan hidup manusia telah meningkat tajam dari 28.5
tahun pada tahun 1800 menjadi 72.6 tahun pada tahun 2019 (United Nations 2019; Li 2021).
Namun, peningkatan angka harapan hidup ini juga membuka polemik baru bagi umat manusia
yang mana dengan semakin panjangnya masa hidup manusia, maka semakin banyak manusia
yang hidup di muka bumi pada satu waktu. Polemik ini berimbas kepada peningkatan
eksponensial populasi di muka bumi yang mendorong kepada peningkatan kebutuhan akan
sumberdaya alam. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1 di atas, peningkatan terbesar
terjadi setelah dunia memasuki era revolusi Industri pada awal abad ke-19 di mana populasi
manusia melonjak dari 990 juta pada tahun 1800 menjadi 8 miliar pada tahun 2023 (Ritchie
dan Roser 2023).
Pada tahun 1798, seorang ahli ekonomi Inggris bernama Thomas Robert Malthus
menyatakan sebuah hipotesis dalam publikasinya yang berjudul An Essay on the Principle of
Population bahwa pertumbuhan populasi manusia tidak dapat dihindari seiring meningkatnya
standar kehidupan dan pertumbuhan ini akan bersifat eksponensial. Sebaliknya, peningkatan
produksi pangan hanya berjalan secara linier sehingga pada satu titik populasi manusia akan
melampaui produksi pangan yang menyebabkan keruntuhan peradaban dan merosotnya
populasi manusia hingga kembali ke posisi keseimbangan (“Perangkap Malthus”/Malthusian
Trap). Publikasi hipotesis ini mendorong para ahli di seluruh dunia untuk mencegah
terjebaknya umat manusia ke dalam “perangkap” tersebut yang pada akhirnya membuahkan
berbagai inovasi pada era revolusi industri untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan
manusia, misalnya pengembangan proses fiksasi nitrogen skala industri oleh Fritz Haber dan
Carl Bosch yang memungkinkan produksi pupuk amonia dan peningkatan produksi pertanian
secara massif (Kögel dan Prskawetz 2001; Smil 2011; Balatsky 2021). Ancaman “Perangkap
Malthus” juga mendorong upaya eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan di darat,
laut, dan udara secara lebih ekstensif.
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
2017
2000
2010
2011
2013
2012
2015
2016
2001
2004
2007
2014
2002
2003
2008
2009
2018
2019
2005
2006
1999
Gambar 2. Produksi perikanan tangkap Indonesia (dalam ribu ton) pada periode 1999 – 2019
(BPS 2022)
Peningkatan ekstensivitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk kebutuhan pangan
terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satu gambaran peningkatan ini adalah
terjadinya peningkatan produksi perikanan tangkap yang signifikan dalam 20 tahun terakhir
dari 4,01 juta ton pada tahun 1999 menjadi 6,98 juta ton pada tahun 2019 (Gambar 2) (BPS
2022). Di sisi lain, globalisasi modern juga membawa perubahan pola konsumsi pangan.
Perubahan ini dipengaruhi oleh peningkatan intensitas interaksi antar budaya di seluruh dunia
yang merupakan dampak langsung globalisasi modern. Hal ini memungkinkan terjadinya
introduksi dan diseminasi makanan khas dari suatu negara ke negara lain. Makanan Jepang
merupakan salah satu jenis makanan internasional yang meningkat popularitasnya pada saat ini
di Indonesia. Popularitas makanan Jepang di Indonesia bahkan memungkinkan Pemerintah
Jepang untuk memanfaatkan hal ini sebagai bagian dari diplomasi kultural guna meningkatkan
kerjasama ekonomi dengan Indonesia (Khasanah 2023, Adam et al. 2017). Popularitas
makanan Jepang umumnya didorong oleh persepsi pribadi konsumen terhadap kelompok
makanan tersebut. Penelitian di Malaysia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa, meskipun
rasa yang enak menjadi faktor utama pendorong konsumsi, faktor ini juga didukung oleh
persepsi kesegaran, kualitas, serta manfaat kesehatan yang diberikan oleh konsumsi kelompok
makanan ini (Tey et al. 2018, Jang et al. 2009).
Persepsi positif terhadap makanan Jepang tidak serta-merta menjamin produk yang sama
yang diproduksi di Indonesia memiliki kualitas yang sama. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan sistem pengendalian keamanan pangan di Jepang dan Indonesia. Jepang memiliki
salah satu sistem pengendalian keamanan dan kualitas pangan terbaik di dunia. Regulasi
keamanan pangan di Jepang diatur dalam Food Sanitation Act (Act No. 233 of 1947) yang
mencakup berbagai aspek penjagaan kualitas, kesehatan, dan keamanan pangan. Penegakan
regulasi ini juga dilaksanakan dengan sangat ketat sehingga angka kejadian gangguan
kesehatan akibat cemaran pangan dapat ditekan (Charlebois et al. 2014). Sebaliknya, meskipun
telah dibuat regulasi berupa UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan, penegakan regulasi
keamanan dan kualitas pangan di Indonesia masih belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya tingkat keracunan dan penyakit yang disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi
(Putri 2018).
Peningkatan produksi dan konsumsi pangan asal hewan serta perubahan pola konsumsi
berimbas kepada peningkatan frekuensi serta intensitas paparan manusia dan hewan domestik
terhadap reservoir penyakit di lingkungan yang selanjutnya meningkatkan risiko kejadian
penyakit tersebut pada manusia dan hewan domestik. Salah satu agen penyakit tular pangan
penting bersumber ikan laut yang masih belum mendapat perhatian cukup di Indonesia adalah
cacing dari famili Anisakidae. Cacing ini merupakan parasit yang memiliki inang antara
krustasea dan ikan. Adapun saat memasuki ikan, cacing ini akan berkembang menjadi larva
infektif (L3) dan dapat menginfeksi manusia saat larva tersebut teringesti (Ángeles-Hernández
et al. 2020, CDC 2019). Secara historis, cacing Anisakidae. bukan ancaman kesehatan
masyarakat yang serius di Indonesia mengingat praktik konsumsi ikan di negara ini umumnya
disertai pemasakan hingga matang. Namun, introduksi budaya konsumsi dan praktik
pengolahan pangan internasional yang melibatkan konsumsi ikan mentah atau setengah
matang, contohnya makanan Jepang, meningkatkan risiko timbulnya gangguan kesehatan
masyarakat akibat cacing (Della-Morte et al. 2023, Setyobudi et al. 2019). Infeksi cacing
Anisakidae dapat menyebabkan gangguan pencernaan yang diakibatkan oleh respon radang
ketika larva memasuki saluran cerna serta malnutrisi akibat obstruksi saluran cerna bila infeksi
terjadi secara masif (Adroher-Auroux dan Benítez-Rodríguez 2020). Selain itu, paparan
terhadap cacing ini pada saat pengolahan ikan mentah dapat memicu reaksi alergi yang
memiliki beragam manifestasi. Manifestasi alergi dapat berbentuk urtikaria ringan hingga
anafilaksis yang fatal, bergantung kepekaan individu penderita (Jerončić et al. 2020).
Penelitian ini berangkat dari sebuah filosofi dasar yaitu “barangsiapa tidak mampu
mengindera, maka ia tak mampu mencari”. Sebagaimana filosofi ini, deteksi penyakit baik
untuk tujuan pemetaan maupun pengendalian tidak akan dapat dilakukan apabila tidak tersedia
metode diagnostik yang dapat diandalkan serta terjangkau secara ekonomis. Oleh sebab itu,
upaya pengembangan metode diagnostik penyakit merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu
kedokteran. Hal ini semakin relevan di era globalisasi saat ini yang tidak hanya membuka lebar
pintu interaksi umat manusia, melainkan juga paparan terhadap berbagai agen penyakit baru
(Emerging Infectious Diseases). Dalam kasus cacing Anisakidae, kurangnya perhatian serta
relatif barunya ancaman kesehatan cacing Anisakidae berkontribusi terhadap belum
tersedianya metode yang ekonomis untuk mendeteksi infeksi cacing ini dengan cepat di
Indonesia. Metode deteksi infeksi yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang memadai
serta harga yang ekonomis akan memungkinkan dilakukannya deteksi dini kejadian infeksi
serta pemetaan risiko kejadian infeksi cacing Anisakidae. Dengan demikian, upaya pencegahan
dan kebijakan guna menekan kejadian infeksi cacing Anisakidae dapat direncanakan dan
dilaksanakan dengan baik. Perangkat (kit) deteksi serologis yang tersedia secara komersial saat
ini (Bordier 9800 IgG Anisakidae) memerlukan waktu persiapan mengingat diperlukannya
sediaan antigen ekskretori-sektretori (ES) dari cacing hidup untuk operasi kit ini. Selain itu, kit
ini juga masih perlu diimpor dari luar negeri. Adapun metode deteksi lain seperti Polymerase
Chain Reaction (PCR) masih lebih banyak diperuntukkan sebagai alat uji riset.
Salah satu alternatif dari suatu antigen yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
metode deteksi adalah antibodi anti idiotipe. Antibodi anti idiotipe dapat didefinisikan sebagai
kombinasi spesifik dari idiotop yang ada dalam daerah penentu komplemen (CDR) suatu
antibodi. Idiotop tunggal, adalah wilayah spesifik dalam wilayah Fv antibodi yang berikatan
dengan paratop (situs pengikatan epitop antigenik) dari antibodi berbeda (Chapman 2002).
Oleh sebab itu, idiotipe dapat dianggap hampir identik dengan determinan antigenik suatu
antibodi (Kohler et al. 2019). Luaran penelitian ini akan memungkinkan pengembangan kit
deteksi serologis cepat infeksi cacing Anisakidae komersial yang dapat diandalkan dan
ekonomis. Ketersediaan kit deteksi serologis yang dapat diandalkan dan ekonomis selanjutnya
akan membuka jalan bagi pelaksanaan surveilans Anisakiasis dengan cakupan yang luas guna
pengembangan analisis dan kebijakan manajemen risiko Anisakiasis di Indonesia.
Daftar Pustaka