Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MATAKULIAH SISTEM PRODUKSI TERNAK

Analisis Kebijakan serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi


Susu di Perancis dan Indonesia

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Ir. Budi Prasetyo Widyobroto, DESS., DEA., IPU., ASEAN
Eng.

Oleh:
Ikhwanul Roychan
20/470100/PPT/01142

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
Pendahuluan
Latar Belakang
Pangan merupakan hal esensial yang dibutuhkan masyarakat dari
suatu negara. Ketahanan pangan suatu negara menjadi kunci utama dalam
pembangunan masyarakat disuatu negara. Pangan berfungsi sebagai
sumber nutrisi yang dibutuhkan guna meningkatkan pembangunan
manusia. Sumber daya lokal serta kebijakan dalam pemanfaatannya
menjadi key role dalam mencapai ketahanan pangan.
Perancis sebagai salah satu negara maju di dunia memiliki kisah
yang panjang dalam membangun ketahanan pangan. Salah satu fokus
utama adalah pengembangan pangan hewani khususnya produksi susu
yang saat ini menjadi komoditas ekspor dari Perancis. Banyak aspek yang
mendukung terkait pengembangan produksi susu di Perancis yang
menuntun negara tersebut menjadi salah satu negara penghasil susu
tertinggi di dunia. Aspek terkait pengembangan produksi susu berawal dari
kebijakan yang diputuskan diikuti dengan sumber daya lokal yang
memadai.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia
memiliki potensi menjadi negara adidaya apabila pembangunan
masyarakat pada jalan yang tepat. Kondisi pangan Indonesia saat ini masih
bertumpu pada impor bahan pangan dari luar negeri tidak terkecuali
produksi susu. Menurut Ginting (2020) impor susu di Indonesia setiap
tahunnya meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi susu.
Produksi susu lokal pada tahun 2015 hanya dapat memenuhi sebesar 19,37
% dari total kebutuhan nasional, sehingga kebijakan impor diambil guna
dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sumber daya lokal di Indonesia yang
memiliki potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan
susu. Berkaca pada negara Perancis dalam pemanfaatan sumber daya
lokal, makalah pada kali ini mencoba untuk mencari aspek yang
menyebabkan produksi susu yang meningkat di Perancis sehingga dapat
diterapkan di Indonesia.
Tujuan
1. Mengkomparasi produksi susu di negara Perancis dan Indonesia
2. Analisis terkait peningkatan produksi susu antara Perancis dan
Indonesia
PEMBAHASAN

Keberhasilan Perancis dalam peningkatan produksi susu negaranya


tidak terlepas dari beberapa aspek seperti kebijakan dan pemanfaatan
sumber daya lokal. Menurut Newell (1973) Perancis mengawali
peningkatan produk pertanian dan peternakan pada abad ke-19.
Penggunaan pupuk kandang menjadi faktor yang menyebabkan produk
pertanian meningkat. Produk pangan yang meningkat berbanding lurus
dengan peningkatan jumlah populasi manusia dalam beberapa tahun.
Selain penggunaan pupuk, teknik pertanian campuran merupakan teknik
yang diterapkan dalam peningkatan produksi yang tergolong dalam bagian
revolusi pertanian di Perancis. Setelah perang dunia kedua, negara-negara
eropa membentuk hubungan multiteral antar negara dibenua Eropa yang
dikenal dengan EU atau Europa Union. Organisasi tersebut memegang
kunci terpenting dalam pengembangan produksi hasil pertanian khususnya
susu. Sebagai negara raksasa di eropa, Perancis ikut andil dalam
keanggotaan EU. Kebijakan pertanian di eropa pertama kali dicanangkan
pada tahun 1962 melalui Common Agriculture Policy atau CAP. Tujuan
awal dari kebijakan CAP adalah mengendalikan situasi pertanian dan
perdesaan. Kehadiran CAP menjadi momok terpenting bagi perkembangan
pertanian di Perancis, karena fungsi CAP sebagai penanggung jawab
dalam peningkatan produksi yang secara otomatis akan meningkatkan
kualitas hidup, stabilitas pasar, serta memberikan harga jual yang terbaik
bagi para petani dan peternak. Reformasi kebijakan dilakukan oleh CAP
pada tahun 2003, dengan tujuan lebih spesifik kepada peningkatan
kompetensi daerah perdesaan, promosi pasar, dan daerah perdesaan yang
lebih berkelanjutan. Kini CAP memiliki kebijakan yang akan diterapkan dari
tahun 2014-2020 yaitu pengembangan daerah perdesaan yang
berkelanjutan yaitu dengan cara peningkatan efisiensi, menciptakan
lapangan pekerjaan, konservasi alam dan manajemen lahan serta menjaga
kedamaian dan keamanan sosial (Borawski dan Dunn, 2015).
Menurut Latruffe dan Desjeux (2016) program CAP yang
dicanangkan di EU terdiri dari empat kali reformasi. Perancis mengikuti
program CAP mulai dari periode pertama yaitu pada tahun 1990-1994.
Kemudia reformasi CAP periode II terjadi pada tahun 1992 akan tetapi
seluruh program tersebut baru dapat terimplementasi di Perancis pada
tahun 1995 sampai tahun 1999. Reformasi CAP menuju periode III terjadi
pada tahun 2000-2005 dan reformasi CAP terakhir yaitu periode IV mulai
dari tahun 2006. Salah satu bentuk program CAP adalah subsidi langsung
kepada peternak maupun petani yang berasal dari negara anggota
organisasi. Bantuan subsidi secara langsung memiliki efek positif bagi
perkembangan produksi peternakan di Perancis. Antara komoditas
tumbuhan dan daging, dana subsidi yang terserap lebih efisien dipakai oleh
pada peternak sapi perah.
Meninjau kebijakan peternakan sapi perah di Indonesia, sejauh ini
belum ada program yang secara masif berpengaruh pada peternakan sapi
perah di Indonesia. Menurut Swastika et al (2005) sistem kepemilikan sapi
perah di Indonesia sebanyak 80% dikuasai oleh kepemilikan < 4 ekor,
kepemiliki menengah yaitu 4-7 ekor berkisar 17% dan 3% merupakan
kepemiliki besar diatas > 7 ekor. Sistem peternakan sapi perah di Indonesia
yang banyak dilakukan adalah dengan sistem koperasi. Menurut Ginting
(2020) peternak sapi yang merupakan anggota koperasi memiliki daya
saing yang lebih tinggi, selain itu peternakan dengan skala sedang hingga
besar memiliki daya kompetitif yang lebih baik. Hal tersebut menandakan
bahwa kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan oleh peternak skala
menengah dan besar serta anggota koperasi lebih baik dan berpotensi.
Adapun produksi susu antara Perancis dan Indonesia adalah sebagai
berikut:
Grafik 1. Populasi dan Produksi Sapi Perah di Perancis
30

25

20

15
Juta

10

2010

2015
1990
1991
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009

2011
2012
2013
2014

2016
2017
2018
2019
Populasi Ternak (Ekor) Produksi Susu (Ton)

Sumber : FAOSTAT (2019)


Grafik tersebut diakses dari Food and Agriculture Organization pada
tahun 2019 yang menunjukan produksi dan populasi sapi di Perancis.
Produksi susu menunjukan ada kecenderungan perunan produksi susu
diikut dengan populasi sapi perah pada awal tahun 1990 sampai 1993.
Setelah penerapan CAP di negara-negara Eropa, produksi susu di Perancis
cenderung meningkat dengan populasi yang stagnan. Menurut Bakucs et
al (2013) peternakan sapi perah di Perancis memiliki ukuran awal
peternakan yang tergolong besar, sehingga pertumbuhan peternakan di
Perancis menjadi cepat sesuai dengan hukum Gibrat’s yang menyatakan
jika ukuran awal peternakan akan mempengaruhi pertumbuhan suatu
peternakan. Menurut Piet et al (2012) perkembangan peternakan sapi
perah di Perancis tidak hanya berasal dari faktor ukuran peternakan, akan
tetapi faktor eksternal seperti subsidi pada peternak Sapi Perah. Grafik
selanjutnya akan menunjukan produksi dan populasi sapi Perah di
Indonesia sebagai berikut:
Grafik 2. Populasi dan Produksi Susu di Indonesia
1.200
1.000
800
600
Ribu

400
200
0

2006
1990
1991
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005

2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Populasi Sapi (Ekor) Produksi Susu (Ton)

Sumber: FAOSTAT (2019)

Berdasarkan grafik tersebut, mulai dari awal tahun 1990


pertumbuhan populasi sapi perah dan produksi susu meningkatkan hingga
pada puncaknya pada tahun 2012. Produksi susu sapi di Indonesia saat ini
hampir mencapai angka satu juta ton/tahun. Menurut Asih et al (2013)
peningkatan produksi peternak sapi merupakan hasil dari adaptasi
terhadap inovasi dalam manajemen pemeliharaan sapi Perah. Inovasi yang
diadopsi terkait pemberian pakan konsentrat, penggunaan pakan unggul,
penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB), serta sebagian kecil
mengadopsi pemberian pakan dengan leguminosa, penggunaan milk can,
dan recording. Walaupun terjadi peningkatan, angka tersebut masih jauh
apabila dibandingkan dengan produksi susu dan populasi sapi yang ada di
Perancis, akan ditampilkan pada grafik sebagai berikut:
Grafik 3. Komparasi Produksi Susu Perancis dan Indonesia
6

3
Juta Ton

0
1993
1990
1991

1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Perancis Indonesia

Sumber: FAOSTAT (2019)

Grafik 4. Komparasi Populasi Sapi Perah Perancis dan Indonesia


6

3
Juta Ekor

0
1991

2016
1990

1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015

2017
2018
2019

Perancis Indonesia

Sumber: FAOSTAT (2019)


Komparasi produksi susu dan populasi sapi perah antara Perancis
dan Indonesia memiliki kesenjangan yang terpaut tinggi. Menurut Amam
dan Harsita (2019) kerentanan peternakan Sapi Perah dengan indicator
fluktuasi harga susu, kebijakan pemerintah, kebijakan peternak dan
kelembagaan peternak, serta moralitas peternak memiliki dampak negative
terhadap perkembangan produksi susu. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan peternakan sapi perah di Perancis. Selain
kebijakan yang diambil, faktor-faktor yang menjadi sebab produksi yang
tinggi antara lain genetic sapi perah, inovasi pada manajemen
pemeliharaan, dan penanganan produk susu.
Genetik sapi yang memproduksi susu memiliki pengaruh terhadap
produksi susu sapi. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yang
dimanfaatkan di Perancis seperti Abondance, French Brown, Montbeliarde,
Normande, Pie-Rogue, French Simmental, Jersey, dan Prime Holstein.
Menurut Salou et al (2017) terdapat tiga jenis bangsa sapi perah yang
populer dipelihara yaitu Montberliarde, Holstein, dan Normande. Menurut
data yang diampu di France Genetique Elevage bahwa produksi sapi
Motberliarde selama masa laktasi 305 hari mencapai 7,106 kg dengan
komposisi lemak 3,84% dan protein sebesar 3,44%. Bangsa sapi
Normande dapat memproduksi susu selama masa laktasi 305 hari
mencapai 6,575 kg dengan kadar lemak mencapai 4,16% dan protein
3,60%. Bangsa sapi paling tinggi produksinya adalah bangsa sapi Holstein
yaitu produksi mencapai 9,013 kg dengan kandungan lemak 3,85% dan
protein 3,28%. Menurut Dezetter et al (2015) bahwa persilangan antara
bangsa sapi Perah Holstein x Montberliarde memiliki produksi susu yang
sama dengan bangsa sapi Holstein (hanya berkurang 55 kg akan tetapi
memiliki nutrisi yang sama dengan Holstein) dengan daya fertilisasi yang
lebih besar dengan bangsa sapi Holstein. Indonesia memiliki bangsa sapi
perah yang populer dan banyak digunakan sebagai penghasil susu yaitu
bangsa peranakan Fresian Holstein atau PFH. Awan et al (2016)
menyatakan jika bangsa PFH merupakan hasil dari kawin silang antara sapi
Fresian Holstein dari Eropa dengan sapi lokal, hal tersebut bertujuan agar
sapi FH lebih mudah beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia yang
tropis. Produksi susu sapi PFH di Indonesia sebesar 4,135 kg/ekor dalam
waktu 305 hari. Produksi susu yang rendah dikombinasikan dengan
populasi yang kecil menjadi penyebab rendahnya produksi susu tahunan
yang dipasok dari produksi lokal. Perbaikan genetik dapat dilakukan guna
memanfaatkan dan memperbaiki potensi genetik sapi perah lokal di
Indonesia. Selain kurang baiknya genetik sapi perah, faktor eksternal pula
menyumbang penyebab rendahnya produksi susu sapi di Indonesia.
Faktor eksternal tersebut berasal dari manajemen pemeliharaan sapi
perah yang ada di Indonesia. Orientasi dan motivasi peternak menjadi
langkah awal dalam peningkatan manajemen pemeliharaan. Sistem
pemeliharaan di Indonesia saat ini persentase terbesar merupakan
kepemiliki skala kecil dan belum berorientasi pada keuntungan. Menurut
Ginting (2020) perkembangan produksi susu di Indonesia belum dapat
berjalan apabila peternak kecil terus menerus mendapatkan harga susu
yang tidak layak, sehingga pendapatan yang ada tidak bisa digunakan
sebagai modal untuk berkembang. Peran pemerintah diperlukan guna
memberikan subsidi sehingga biaya produksi yang ditanggung tidak terlalu
berat bagi peternak. Peternak Susu di eropa khususnya Perancis selain
berfokus pada menghasilkan susu yang tinggi dengan teknik pemeliharaan
yang didukung oleh penerapa teknologi yang ada. Fokus para peternak
dieropa khususnya Perancis adalah untuk memastikan kesehatan dan
kesejahteraan hewan ternaknya. Menurut survey yang dilakukan oleh
Krieger et al (2020) bahwa peternak di Perancis meyakini bahwa peran
produsen memiliki kaitan dengan kesejahteraan hewan ternaknya.
Peternak meyakini bahwa ketidakmampuan peternakan dalam menjaga
kesehatan dan kesejahteraan baik agar tidak mendapatkan sanksi dari
regulasi yang ada. Kesehatan dan kesejahteraan hewan memiliki dampak
yang signifikan dalam produktivitas pada suatu peternakan.
Faktor lain yang mempengaruhi produksi adalah pakan yang
diberikan. Menurut Hasler et al (2015) peternakan sapi perah di Perancis
memilik lima model sistem pemberian pakan di Perancis. Model pertama
adalah dataran rendah dengan silase jagung, merupakan peternakan yang
menggunakan pakan utama yang berasal dari silase jagung dengan
penggunaan konsentrat yang tinggi sehingga memiliki biaya produksi yang
lebih tinggi. Model kedua adalah dataran rendah dengan silase jagung dan
rumput, dengan model yang hampir sama dengan model pertama akan
tetapi masih menggunakan rumput pada musim semi dan gugur serta
terkadang menggunakan rumput lebih banyak pada saat musim panas,
memiliki biaya produksi yang lebih rendah. Model ketiga adalah dataran
rendah dengan silase jagung dan rumput, yaitu peternakan sapi perah
dengan pemberian pakan dengan sebagian besar adalah rumput dengan
silase jagung yang terbatas pada musim dingin. Model keempat adalah
peternakan dengan model dataran tinggi dengan rumput, yaitu tanpa
pemberian silase jagung sama sekali, pakan yang diberikan berbasis
rumput atau hay, memiliki produksi yang rendah akan tetapi kualitas susu
baik. Model kelima adalah dataran Tinggi Franche-Comte, yaitu pemberian
pakan berbasis rumput/hay dan dilarang menggunakan silase jagung untuk
tetap menjaga kualitas susu. Peternakan di Indonesia masih belum
menetapkan golongan-golongan pemberian pakan pada ternak sapi perah.
Sebagian besar peternak belum memiliki pemahaman terkait pemberian
pakan pada ternak sebagai penunjang peningkatan produksi. Peternak
susu di Semarang sudah memiliki kesadaran akan mengadopsi inovasi
yang ada guna meningkatkan produktivitas ternaknya (Asih et al, 2013).
Peningkatan produksi susu di Perancis yang tinggi merupakan hasil
dari sinergi antar stakeholder yang ada. Pemerintah yang mendukung dan
menetapkan regulasi yang ketat terkait produksi, serta memberikan insentif
bagi peternak. Lembaga keungan yang mendukung keuangan peternakan
yang ingin berkembang. Peternak yang sadar akan profitabilitas dan
efisiensi produk serta sokongan dari pemerintah sehingga peternak
termotivasi dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan berkuantitas
tinggi. Konsumen mendapatkan produk peternakan yang berkualitas
sehingga timbul kebutuhan dalam mengkonsumsi produk-produk
peternakan. Indonesia sebagai salah satu negara yang terkenal agraris
memiliki potensi yang tinggi dalam pengembangan produksi susu.
Kebijakan serta pengalaman dari negara Perancis dapat ditiru dan
diimplementasikan di Indonesia dengan menyesuaikan dengan keadaan
yang ada, sehingga sinergi antar stakeholder dapat terjalin dan masyarakat
Indonesia dapat mengkonsumsi produk pangan yang berkualitas serta
terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA

Amam, A., & Harsita, P. A. (2019). Pengembangan usaha ternak sapi


perah: evaluasi konteks kerentanan dan dinamika kelompok. Jurnal
Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 22(1), 23-34.
Asih, R., Murti, T. W., & Haryadi, F. T. (2013). Dinamika pengembangan
klaster industri persusuan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Buletin Peternakan, 37(1), 59-66.
Awan, J. S., Atabany, A., & Purwanto, B. P. (2016). Pengaruh umur beranak
pertama terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein di
BBPTU-HPT Baturraden. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil
Peternakan, 4(2), 306-311.
Bakucs, Z., Bojnec, S., & Fertő, I. (2013). Farm size and growth in field crop
and dairy farms in France, Hungary and Slovenia. Spanish Journal of
Agricultural Research, 11(4), 869-881.
Bórawski, P., & Dunn, J. W. 2015. Differentiation of milk production in
European Union countries in the aspect of common agricultural policy.
Roczniki (Annals), 2015(1230-2016-99919), 9-15.
Dezetter, C., Leclerc, H., Mattalia, S., Barbat, A., Boichard, D., & Ducrocq,
V. (2015). Inbreeding and crossbreeding parameters for production
and fertility traits in Holstein, Montbéliarde, and Normande cows.
Journal of Dairy Science, 98(7), 4904-4913.
Food and Agriculture Organization of United Nation. Lifestock Primary Data
(Diakses 21 Juni 2021).
Ginting, L. N. (2020). Analisis Daya Saing Susu Sapi Segar dalam Negeri.
Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 4(4), 774-782.
Häsler, B., Alarcon, P., Raboisson, D., Waret‐Szkuta, A., & Rushton, J.
(2015). Integration of production and financial models to analyse the
financial impact of livestock diseases: a case study of Schmallenberg
virus disease on British and French dairy farms. Veterinary record
open, 2(1), e000035.
Krieger, M., Jones, P. J., Blanco-Penedo, I., Duval, J. E., Emanuelson, U.,
Hoischen-Taubner, S., & Sundrum, A. (2020). Improving animal
health on organic dairy farms: Stakeholder views on policy options.
Sustainability, 12(7), 3001.
Latruffe, L., & Desjeux, Y. (2016). Common Agricultural Policy support,
technical efficiency and productivity change in French agriculture.
Review of Agricultural, Food and Environmental Studies, 97(1), 15-28.
Newell, W. H. (1973). The agricultural revolution in nineteenth-century
France. The Journal of Economic History, 697-731.
Piet L, Latruffe L, Le Mouël C, Desjeux Y, 2012. How do agricultural policies
influence farm size inequality? The example of France. Eur Rev Agr
Econ 39(1): 5-28.
Swastika DKS, Manikmas MOA, Sayaka B, Kariyasa K. 2005. The Status
and Prospect of Feed Crops in Indonesia. Economic And Social
Commission For Asia And The Pacific. CAPSA Working Paper No. 81.
United Nations.

Anda mungkin juga menyukai