Anda di halaman 1dari 21

Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

BAB II TINJAUAN PERKEMBANGAN KAKAO


DI INDONESIA

2.1 Perkembangan Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia


Produksi biji kakao di Indonesia sebagian besar berasal dari wilayah Sulawesi
yang merupakan sentra produksi kakao di Indonesia. Daerah di Sulawesi yang merupakan sentra
produksi kakao antara lain Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Hal ini
disebabkan oleh kondisi alam wilayah Sulawesi yang mendukung bagi perkebunan kakao karena
curah hujannya yang cukup tinggi.
Perkembangan produksi kakao di Indonesia mengalami perubahan yang cukup
berfluktuatif setiap tahunnya, dan cenderung mengalami peningkatan. Produksi kakao di

II-1 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Indonesia dihasilkan oleh tiga kategori produsen yaitu perusahaan rumah tangga, perusahaan
badan negara, dan perusahaan swasta. Produksi kakao di Indonesia didominasi oleh produsen
rumah tangga yang memproduksi kakao sebesar 99% dari total produksi kakao Indonesia.
Tahun
2005 produksi kakao Indonesia mencapai angka 750,833 ton kemudian menurun pada tahun
2007 dengan angka produksi sebesar 742,013 ton. Produksi terus meningkat setelah tahun
2007 dan pada tahun 2012 produksi total Indonesia mencapai 936,266 ton.
Produksi barang pertanian akan sangat dipengaruhi oleh luas lahan yang dimilikinya.
Luas lahan adalah salah satu input utama bagi produksi barang pertanian selain tenaga kerja.
Produksi yang dihasilkan oleh tanaman tertentu berbanding lurus dengan jumlah luas lahan.
Perkembangan produksi diikuti dengan perkembangan luas areal perkebunan kakao. Luas areal
lahan perkebunan kakao mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pemerintah

II-2 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

terus melakukan pengembangan pada komoditas kakao sebagai upaya peningkatan


produksi kakao untuk memenuhi pasar dalam negeri maupun luar
Berdasarkan Gambar 2 pertumbuhan produksi biji kakao menurun pada tahun 2007,
2009 dan 2012. Penurunan pada tahun 2007 sampai negatif 4% akibat terserangnya tanaman
kakao para petani oleh penyakit VSD (Vaskular Streak Dieback) yang menyebar di sentra produksi
kakao, Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium Theobromae
dan menyebabkan kematian pada tanaman kakao

II-3 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

1000000
900000
800000
700000
jumlah (ton)

600000
500000
400000
300000
200000
100000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2017

II-4 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Gambar 1 Total produksi kakao indonesia 2005-2012

10

6
Pertumbuhan (%)

II-5 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: Direktorat Jendral Perkebuan 2017

Gambar 2 Pertumbuhan produksi kakao tahun 2006-2012

II-6 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir
Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

2.2 Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kakao

Produktivitas merupakan salah satu indikator suatu komoditas berproduksi secara efisien
atau tidak. Produktivitas kakao ditunjukan oleh produksi yang mampu dihasilkan oleh luas areal
yang dimiliki. Produktivitas rata-rata pertahun
0.55 ton per hektar atau 550 kilogram per hektar. Berdasarkan Gambar 6, produktivitas
perkebunan kakao berfluktuatif setiap tahunnya dari tahun 1990 sampai 2012. Tahun 1994
mengalami penurunan sebesar 6.19 % dari tahun sebelumnya. Penurunan produktivitas
perkebunan kakao terbesar terjadi pada tahun 1999 sebesar 29% dari produktivitas tahun
sebelumnya. Produktivitas perkebunan kakao terbesar terjadi pada tahun 1998 sebesar 0.78
ton/ha. Tetapi ditahun-tahun berikutnya produktivitas kembali meningkat. Trendnya kembali
menurun dari tahun 2005-2009 dan kembali meninggkat hingga tahun 2012. Trend

II-7 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir
Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

produktivitas yang menurun diakibatkan penambahan input lahan yang lebih besar dari
pada penambahan output, sehingga produktivitas menurun. Oleh karena itu sangat diperlukan
dukungan dari pemerintah berupa pelatihan serta pendampingan perkebunan kakao agar
penambahan input lahan bisa memberikan tambahan output produksi yang lebih besar daripada
penambahan inputnya sehingga produktivitasnya semakin meningkat.
0.9
0.8
0.7
Produktivitas (Ton/ha)

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
II-8 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1990
Laporan Akhir
Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2017 diolah

Gambar 3 Perkembangan produktivitas perkebunan kakao 1990-2012

2.3 Perkembangan Harga kakao


Harga biji kakao di pasar domestik dan pasar internasional selalu mengalami
perubahan setiap tahunnya. Harga yang berfluktuatif dapat memengaruhi jumlah permintaan

II-9 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir
Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

ataupun penawaran terhadap komoditas tersebut demikianpun sebaliknya. Selain itu, harga
merupakan acuan daya saing dari komoditas biji kakao di pasar.
Berdasarkan Tabel 5, perkembangan harga biji kakao domestik dan internasional
cenderung berfluktuatif. Harga biji kakao tidak selalu meningkat tetapi pada tahun-tahun tertentu
terjadi penurunan. peningkatan terbesar harga kakao domestik terjadi pada tahun 1998
dimana peningkatan harga kakao mencapai 67%. Harga kakao dunia mencapai
peningkatan harga terbesar pada tahun 2002 sebesar 40%. Harga kakao terus mengalami
kenaikkan dari tahun 2006–2010 kemudian turun kembali pada tahun 2011 dan tahun 2016

Tabel 4 Perkembangan harga domestik dan harga internasional biji kakao


Indonesia tahun 1996 - 2016

Harga Kakao Pertumbuha


Harga kakao Pertumbuhan
Tahun Domestik
(%) dunia ($/Kg) (%)
(Rp/Kg)
II-101996 LPPM UHO-BAPPEDA
2,281 -
LITBANG KOLTIM 1.46 -
1997 2,932 22 1.62 10
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

2.4 Kebijakan Pemerintah dalam Industri Kakao


Upaya peningkatan industri kakao selalu dilakukan oleh pemerintah. Meningkatkan
produksi merupakan salah satu kebijakan pemerintah melalui Kementrian Pertanian, Direktorat
Jendral Perkebunan melakukan kegiatan Gernas (Gerakan Peningkatan Mutu dan Produksi
Nasional) kakao. Kegiatan ini merupakan langkah percepatan peningkatan produktivitas tanaman
dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan secara optimal seluruh potensi serta
sumberdaya yang ada. Sasaran dari kegiatan ini adalah perbaikan pertanaman kakao rakyat,
pemberdayaan petani secara optimal, pengendalian hama, serta perbaikan mutu kakao sesuai
SNI. Kegiatan Gernas berupa peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi tanaman kakao rakyat
di sentra utama produksi kakao dengan teknologi terkini. Program peremajaan, rehabilitasi dan
intensifikasi ini dilakukan dengan penyediaan bibit unggul, penyediaan pupuk, pestisida, bantuan
alat serta bantuan upah kerja. Awalnya program ini hanya berlangsung dari tahun 2009-2011

II-11 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

tetapi karena dianggap efektif dalam meningkatkan produksi kakao rakyat maka progra ini sampai
tahun 2017 masih berlangsung.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan ekspor biji kakao yang
menjadi salah satu komoditas andalan sektor perkebunan adalah standarisasi komoditas yang
akan diperdagangkan di pasar internasional. Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) dikeluarkan
oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang bertujuan agar biji kakao yang diekspor
memiliki daya saing dan mutu yang berkualitas. SNI biji kakao dikeluarkan pemerintah pertama
kali pada tahun 1976 namun diberlakukan kembali dengan revisi pada tahun 1990, mengenai
standarisasi fermentasi biji kakao. Standarisasi nasional yang dikeluarkan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan dalam rangka mengurangi pengiriman kembali ekspor kakao
Indonesia ke negara lain akibat mutu kakao Indonesia yang dibawah standar mereka serta
untuk mengurangi kakao yang rusak saat pengiriman.

II-12 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Kakao Indonesia awalnya berorientasi pada pasar internasional berupa ekspor biji
kakao tetapi, pada awal tahun 2000 upaya pengembangan serta dukungan industri pengolahan
kakao dilakukan pemerintah, namun baru pada tahun 2007 terbit kebijakan pro industri
pengolahan kakao dengan dihapuskannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dalam
perdagangan biji kakao dalam negeri. Sedangkan kebijakan pajak ekspor yang disebut dengan
kebijakan bea keluar baru terbit pada tahun 2010. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang
dikenakan tarif bea keluar. Melalui Kebijakan tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan bea
keluar secara progresif terhadap ekspor biji kakao.
Penghapusan PPN 10% dimaksudkan untuk memperlancar pasokan biji kakao kepada
industri pengolahan kakao di dalam negeri, sedangkan kebijakan bea keluar ditunjukan untuk
menghambat ekspor biji kakao dan mendorong pasokan biji kakao ke industri domestik. Tujuan
bea keluar biji kakao ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah ekspor kakao dan mendorong
II-13 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

tumbuhnya industri pengolahan kakao nasional. Dalam hal ini, diharapkan apabila ekspor biji
kakao dibebani pajak, maka akan menurunkan ekspor biji kakao dan sehingga akan
mendorong industri pengolahan untuk mengolah kakao terlebih dahulu sebelum mengekspornya.
Pengolahan biji kakao sebelum diekspor diharapkan akan meningkatkan nilai tambah dan
meningkatkan industri pengolahan biji kakao di Indonesia.

2.5 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Respon Produksi Kakao


Persamaan model yang telah dibuat cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik, dan
2
ekonometrik. Nilai koefisien determinasi (R ) dari persamaan respon produksi kakao adalah
sebesar 0.993 yang artinya 99.3% keragaman respon produksi kakao dapat diterangkan oleh
keragaman variabel-variabel bebas di dalam model yakni variabel harga pupuk, tingkat upah,
luas areal, harga domestik kakao, krisis, dan produksi tahun sebelumnya.

II-14 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Besarnya nilai p-value untuk Fstatistik pada model umumnya lebih kecil dari nilai taraf nyata
(α) yang berarti variasi variabel-variabel bebas dalam setiap persamaan struktural secara
bersama-sama cukup mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel terikat pada taraf
nyata 1%. Kemudian nilai Tstatistik digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel
bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil uji-t yang diperoleh menunjukkan
bahwa tidak semua variabel bebas signifikan pada taraf nyata 1%, 5% dan 10%. Besarnya
nilai taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1% sampai 10% agar interpretasi
hasil estimasi mendekati fenomena ekonomi aktual.
Pengujian multikolinieritas pada model ini dengan melihat koefisien korelasi dari
masing-masing variabel independen pada matrix korelasi (Lampiran2). Menurut Gujarati (1978)
batas terjadinya korelasi antar variabel bebas tidak lebih dari 0.80, tetapi hal ini dianggap tidak
serius jika nilai korelasinya tidak melebihi Adjusted R-square-nya yang di sebut uji Klein. Pengujian

II-15 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

multikolinieritas dilihat dari matrix korelasi terdapat beberapa variabel yang memiliki nilai korelasi
lebih dari 0.80 tetapi nilainya tidak lebih besar dari nilai Ajusted R-square-nya sehingga dalam
model masalah multikolinieritas dapat diabaikan.
Kemudian pengujian masalah autokorelasi dapat dilakukan dengan uji normalitas (Lampiran
4) dan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test (Lampiran 3). Syaratnya jika nilai
probabilitasnya lebih dari taraf lima persen maka data dapat menyebar secara normal atau tidak
ada autokorelasi dan jika probabilitasnya kurang dari taraf nyata 10% maka data tidak menyebar
normal dan terindikasi autokorelasi. Dari uji yang dilakukan menunjukan bahwa nilai probabilitas
lebih dari taraf nyata 10% sehingga dapat disimpulkan dalam model tidak terdapat masalah
autokorelasi.
Pengujian masalah heteroskedastisitas digunakan white heteroskedasticity test (lampiran 5).
Syaratnya jika nilai probabilitas white heteroskedasticity test lebih besar dari nilai taraf nyata yang
digunakan maka dapat disimpulkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil analisis
II-16 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

menunjukkan bahwa persamaan-persamaan dalam penelitian ini tidak terdapat masalah


heteroskedastisitas.
Berdasarkan hasil estimasi model produksi kakao pada Tabel 6, harga pupuk (LNHP)
berpengaruh negatif dan tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%-10% terhadap produksi
kakao. Nilai koefisien dugaan variabel harga pupuk sebesar 0.05, artinya jika terjadi peningkatan
harga pupuk sebesar 1% maka akan menurunkan produksi kakao sebesar 0.05%, ceteris paribus.
Peningkatan harga pupuk akan mengakibatkan biaya produksi bertambah sehingga kenaikkan
harga pupuk merupakan diinsentif bagi para produsen akan membuat produsen mengurangi
pemberian pupuk tanamannya sehingga produktivitas tanaman tersebut menurun. yang
meningkatkan minat para petani untuk meningkatkan pendapatannya sehingga akan mendorong
petani untuk memproduksi kakao lebih besar, karena dengan peningkatan harga membuat insentif
bagi petani bertambah sehingga petani yang rasional akan meningkatkan produksinya.

II-17 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM


Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Upah tenaga kerja (LNTK) berpengaruh negatif dan tidak berpengaruh nyata pada taraf
nyata 1%-10% terhadap produksi kakao. Nilai koefisien dugaan variabel upah tenaga kerja sebesar
0.03 yang berarti jika terjadi kenaikan upah sebesar 1% akan menurunkan produksi kakao
sebesar 0.03%, dan sebaliknya cateris paribus. Kenaikkan upah juga merupakan disinsentif bagi
petani, karena kenaikkan upah berdampak pada alokasi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Upah
yang meningkan akan membuat produsen mengurangi tenaga kerjanya sehingga berdampak pada
penurunan produksi perkebunan.
Luas areal kakao (LNLAK) berpengaruh positif dan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%
terhadap produksi kakao. Nilai koefisien dugaan variabel luas areal kakao sebesar 0.47 yang berarti
jika terjadi kenaikan luas areal sebesar 1% akan meningkatkan produksi kakao sebesar 0.47%,
dan sebaliknya cateris paribus. Luas areal kakao yang bertambah maka akan semakin besar
lahan yang akan ditanami, sehingga produksi akan meningkat. Areal perkebunan merupakan salah
satu faktor terpenting dalam produksi barang pertanian.
II-18 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

Tabel 5 Hasil estimasi model respon produksi kakao

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Harg LNHP -0.054498 0.286786 -0.190029 0.8510 a


LNTK -0.026734 0.124981 -0.213901 0.8326
kaka o
LNLAK 0.466630 0.112019 4.165649 0.0004
LNPDK 0.068270 0.143560 0.475551 0.6391
KRISIS 0.247218 0.141029 1.752956 0.0935
LNQ(-1) 0.612061 0.161890 3.780722 0.0010
C 2.960407 3.272779 0.904554 0.3755

R-squared 0.993418
Prob(F-statistic) 0.000000
II-19AdjustedLPPM UHO-BAPPEDA
R-squared LITBANGDurbin-Watson
0.991623 KOLTIM stat 2.449148
F-statistic 553.4068

Sumber: Lampiran 1
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

domestik (LNPDK) berpengaruh positif tetapi tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%-10%
terhadap produksi kakao. Nilai koefisien dugaan variabel harga kakao domestik sebesar 0.07,
artinya jika terjadi peningkatan harga kakao domestik sebesar 1% maka akan meningkatkan
produksi kakao sebesar 0.07%, ceteris paribus. Peningkatan harga kakao akan
meningkatkan minat para petani untuk meningkatkan pendapatannya karena hal ini
memberikan insentif lebih bagi para produsen, sehingga akan mendorong petani untuk
memproduksi kakao lebih besar.
Krisis berpengaruh positif dan berpengaruh nyata pada taraf nyata 10%
terhadap produksi kakao. Nilai koefisien dugaan variabel dummy krisis sebesar 0.25 yang
berarti ketika terjadi krisis meningkatkan produksi kakao sebesar 0.25%. Hal ini berarti krisis
moneter memberikan dampak positif pada sektor perkebunan kakao dimana dari koefisien
dijelaskan bahwa saat terjadi krisis meningkatkan produksi kakao. Saat terjadi krisis akan
meningkatkan harga kakao sehingga krisis yang terjadi memberikan keuntungan berupa harga
II-20 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM
Laporan Akhir

Penyusunan Analisis Faktor Faktor Produktifitas Komoditi Kakao Kabupaten Kolaka Timur

jual yang lebih tinggi dari sebelumnya karena inflasi, sehingga produsen akan terpacu untuk
meningkatkan produksinya agak mendapatkan keuntungan yang besar akibat kenaikkan harga
yang disebebkan oleh krisis.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, produksi kakao juga dipengaruhi
secara nyata oleh peubah beda kala. Produksi kakao sebelumnya berpengaruh positif dan
berpengaruh nyata pada taraf nyata 1% terhadap produksi kakao. Nilai koefisien dugaan produksi
kakao tahun sebelumnya sebesar 0.61. Yang mana dapat diartikan ketika produksi kakao tahun
sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 1% akan meningkatkan produksi kakao tahun
selanjutnya sebesar 0.61%. Sedangkan jika produksi kakao tahun sebelumnya mengalami
penurunan sebesar 1% akan menurunkan produksi kakao sebesar 0.61%,

II-21 LPPM UHO-BAPPEDA LITBANG KOLTIM

Anda mungkin juga menyukai