Anda di halaman 1dari 14

Daya Saing Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Jerman

dan Faktor yang Memengaruhinya

Tyas Titi Hapsari*1, Aisyah Fitri Yuniasih2


1
IVSE7/15.8911
Jurusan Statistika
Peminatan Ekonomi
e-mail: *115.8911@stis.ac.id, 2aisyah.fy@stis.ac.id

Abstrak
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dari subsektor perkebunan di
Indonesia. Di tingkat dunia, Indonesia merupakan produsen biji kakao ketiga terbesar setelah
Pantai Gading dan Ghana (FAO,2017). Namun, Indonesia masih mengekspor kakao dalam
bentuk biji (mentah) yang mengakibatkan hilangnya nilai tambah dan tidak berkembangnya
industri kakao dalam negeri. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan No. 67/PMK.011/2010
tentang pengenaan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar untuk menekan ekspor biji kakao lalu
meningkatkan ekspor kakao olahan yang berdaya saing. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kinerja daya saing kakao olahan Indonesia ke Jerman serta faktor apa saja yang
memengaruhi daya saing ekspor tersebut tahun 1992-2017. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dari berbagai sumber yang dianalisis menggunakan Revealed Comparative Advatage
(RCA) dan Error Correction Mechanism (ECM). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada
jangka panjang variabel kurs, harga kakao dunia, dan dummy bea keluar signifikan
memengaruhi daya saing sedangkan pada jangka pendek, variabel populasi dan harga kakao
dunia berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing.

Kata kunci—kakao olahan, RCA, daya saing, ECM

Abstract
Cocoa is one of the leading commodities from the plantation subsector in Indonesia. At
the world level, Indonesia is the third largest producer of cocoa beans after Ivory Coast and
Ghana (FAO, 2017). However, Indonesia still exports cocoa in the form of seeds (raw) which
results in the loss of added value and undeveloped domestic cocoa industry. For this reason, the
government issued No. 67 / PMK.011 / 2010 concerning the imposition of Export Levy and
Customs Tariffs to suppress cocoa bean exports and increase the export of processed cocoa
which is competitive. The purpose of this study was to determine the competitiveness
performance of Indonesian processed cocoa to Germany as well as what factors affected the
competitiveness of exports in 1992-2017. This study uses secondary data from various sources
analyzed using Revealed Comparative Advatage (RCA) and Error Correction Mechanism
(ECM). The results of the analysis show that on the long-term exchange rate variable, world
cocoa prices, and the export dummy significantly affect competitiveness while in the short term,
population variables and world cocoa prices have a significant effect on competitiveness

Keywords—processed cocoa, RCA, competitiveness, ECM

1
◼ ISSN: 1978-1520

1. PENDAHULUAN

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan
yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai sumber
pendapatan, devisa negara, dan penyedia lapangan kerja bagi masyarakat (Depperin, 2007).
Disamping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri (Kementerian Pertanian, 2016). Perkebunan kakao di Indonesia
telah mengalami perkembangan cukup pesat. Berdasarkan Statistik Kakao Indonesia yang
diterbitkan oleh BPS tahun 2017, luas areal perkebunan kakao Indonesia tahun 2016 tercatat
seluas 1,72 juta ha, berkembang sangat pesat dari tahun 1990 yang hanya sebesar 357 ribu ha.
Sebanyak 1,67 juta ha (97,55%) dari luas areal kakao merupakan perkebunan rakyat, 27 ribu ha
(1,59%) merupakan perkebunan besar swasta dan 14 ribu ha sisanya (0,85%) merupakan
perkebunan besar negara. Sentra produksi utama biji kakao berada di Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Lampung, dan Sumatera Barat (Statistik
Kakao Indonesia, 2017).
Pada tahun 2017, kakao Indonesia menjadi salah satu hasil perkebunan nasional
unggulan terbesar keenam setelah kelapa sawit, karet, kelapa, tebu, dan kopi (BPS,2017).
Prestasi Indonesia di ranah dunia tidak kalah baiknya yakni menjadi produsen biji kakao
terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana sejak tahun 2002 hingga saat ini
(FAO, 2017). Indonesia berhasil menjadi produsen kakao ketiga terbesar dunia berkat
keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak
awal tahun 1980 an (Depperin, 2007).
Menurut data yang diperoleh dari UN Comtrade (2017), Indonesia menempati urutan ke
tujuh sebagai pengekspor biji kakao terbesar di dunia, dengan tujuan ekspor terbesar yakni
Malaysia, Amerika, Cina, dan sudah merambah hingga pasar Eropa seperti Jerman dan Belanda.
Namun, di sisi lain ekspor dalam bentuk biji (mentah) yang lebih dominan akan menimbulkan
masalah. Tercatat sebesar 78% ekspor kakao Indonesia hingga tahun 2010 masih dalam bentuk
biji kakao (BPS, 2016). Hal ini membuat Indonesia kehilangan potensi nilai tambah yang dapat
dihasilkan dari industri kakao olahan.
600

500
Volume (ton)

400

300

200

100

0
1992

1995
1996
1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004

2006
2007
2008
2009
2010

2012
2013
2014
2015
1993
1994

1999

2005

2011

2016
2017

Tahun

Kakao biji Kakao olahan

Sumber: UN Comtrade 1992-2017, diolah


Gambar 1. Perbandingan volume ekspor kakao biji dan olahan Indonesia ke
dunia 1992-2017
Perkembangan ekspor kakao biji (HS 1801) dari tahun 1992-2010 berfluktuatif tetapi
memiliki kecenderungan meningkat. Kakao olahan (HS 1803, 1804, 1805, 1806) dari tahun ke
tahun ekspornya hampir selalu mengalami peningkatan. Namun dari tahun 2010 ke 2011, ekspor
kakao biji Indonesia ke dunia terjadi penurunan tajam. Hal ini selaras dengan kebijakan yang
tertulis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan
Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar pada komoditi-komoditi di
Indonesia salah satunya biji kakao. Besar tarif bea keluar (BK) dan harga patokan ekspor (HPE)
biji kakao ditentukan berdasarkan harga referensi biji kakao. Kebijakan ini dilakukan untuk

2
IJCCS ISSN: 1978-1520

menekan ekspor dan memenuhi permintaan domestik, sehingga industri hilir dalam negeri
mampu memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa harus melakukan impor serta meminimalkan
lost of value added atau kehilangan nilai tambah diakibatkan ekspor dalam bentuk mentah.
Kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah tersebut mampu menurunkan volume ekspor
biji kakao Indonesia dan meningkatkan ketersediaan pasokan biji kakao dalam negeri
(Afrianingsih, 2012). Untuk itu, semakin meningkatnya pasokan biji kakao dalam negeri
diharapkan mampu meningkatkan industri hilir kakao nasional. Keuntungan lainnya adalah
industri pengolahan kakao dapat membeli kakao dengan tingkat harga yang lebih baik (Askindo,
2011). Hal ini selanjutnya tentu akan juga dapat mendorong pertumbuhan industri-industri
kakao olahan dalam negeri sehingga Indonesia dapat mengekspor kakao dalam bentuk olahan
yang memiliki daya saing di tingkat internasional.
Hubungan perdagangan kakao Indonesia dengan beberapa negara importir berada pada
kondisi yang cukup baik. Gambar 2 menunjukkan perkembangan ekspor ke lima negara
importir terbesar kakao olahan (HS 180310, 180320, 180400, 180500, 180610). Terlihat bahwa
Malaysia memiliki perkembangan volume ekspor terbesar dan terus meningkat tiap tahunnya.
Malaysia merupakan salah satu negara anggota ACFTA yang memiliki tujuan salah satunya
adalah membuka akses pasar di Kawasan Asia Tenggara dan Cina sebesar-besarnya. Ekspor
terbesar selanjutnya adalah Amerika Serikat yang juga mengalami peningkatan, kemudian
disusul oleh Jerman, Cina, dan India.

Sumber: UN Comtrade 1992-2017, diolah


Gambar 2. Perkembangan volume ekspor kakao olahan Indonesia ke beberapa negara tujuan
ekspor utama tahun 2010-2017

Pada Gambar 2 terlihat bahwa semua negara importir memiliki kecenderungan ekspor
yang meningkat tiap tahunya kecuali Jerman dimana pada tahun 2016 dan 2017 mengalami
penurunan yang cukup signifikan. Penurunan ekspor kakao olahan ke Jerman tersebut menarik
untuk diteliti pasalnya, Jerman merupakan salah satu negara di Eropa yang terkenal dengan
berbagai produk coklatnya. Penurunan ekspor tersebut juga dapat menurunkan kinerja ekspor
dan daya saing ekspor kakao olahan Indonesia pada tingkat perdagangan dunia.
Dalam hiruk pikuk perdagangan kakao, pasar Eropa menjadi primadona karena dikenal
sebagai produsen kakao olahan dan coklat. Eropa telah menguasai 73% pasar coklat dunia yang
konsumennya sebagian besar ada di luar Eropa seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan
Australia (Eurostat, 2016). Jika dilihat dari konsumsinya, World Cocoa Foundation (WCF)
menyebutkan bahwa konsumsi kakao di Eropa mencapai lebih dari 50% konsumsi kakao dunia
di tahun 2009. Sehingga tidak diragukan jika Eropa menjadi target ekspor kakao yang
menjanjikan.
Salah satu negara yang terkenal dengan industri kakaonya adalah Jerman. Pada tahun
2016, Jerman merupakan pengekspor coklat dan coklat batang terbesar di Eropa yaitu sebesar
540 ribu ton disusul Belanda sebesar 270 ribu ton dan Belgia 250 ribu ton (Eurostat, 2017). Dari
segi konsumsi, Jerman memiliki tingkat konsumsi kakao perkapita tertinggi ketiga di dunia
3
◼ ISSN: 1978-1520

setelah Swiss dan Austria yakni mencapai 7,89 kg/tahun di tahun 2017 (Statista, 2017).
Sementara itu, Indonesia tahun 2016 hanya memiliki tingkat konsumsi kakao perkapita sebesar
0,4 kg/tahun (Kementerian Perindustrian, 2016). Dengan tingkat konsumsi yang tinggi, Jerman
menjadi daya tarik tersendiri bagi produsen kakao.
Pada kondisi perdagangan bebas, negara-negara dengan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif yang lebih tinggi akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk
tetap eksis, bahkan melakukan penetrasi dan penguasaan pasar internasional (Stephenson &
Erwidodo, 1995). Oleh karena itu, ekspor kakao olahan Indonesia harus memiliki daya saing
dalam bentuk keunggulan komparatif dan kompetitif agar tetap mampu bersaing bahkan
menjadi pemimpin di pasar internasional khususnya Jerman.
Beberapa penelitian terkait sudah pernah dilakukan sebelumnya yakni Dunmore (1987)
yang mendapatkan hasil jangka pendek, daya saing sektor agrikultur dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah, nilai tukar, dan kejadian stokastik seperti cuaca dan tingkat
produksi. Sedangkan dalam jangka panjang, faktor yang memengaruhi daya saing sektor
agrikultur adalah pengaruh dari teknologi, investasi, dan pertumbuhan produktivitas serta
kapasitas produksi. Selain itu, penelitian yang dilaukan oleh Fazaria (2016) menunjukkan
bahwa harga ekspor, produksi lada, nilai tukar rupiah, dan RCA tahun sebelumnya berpengaruh
signifikan terhadap daya saing ekspor lada.

2. METODOLOGI

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Teori Daya Saing
Menurut Organization for Economic Cooperation dan Development (OECD), daya
saing adalah kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala
internasional melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan
meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang. Menurut Tambunan (2001)
tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya sangat
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan
faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage). Faktor keunggulan komparatif dapat
dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap
sebagai faktor yang bersifat acquired atau dikembangkan/diciptakan. Sehingga, daya saing yang
baik dapat terlihat jika komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif di dalamnya.
2.1.2 Ekspor
Ekspor adalah barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri dan dibeli oleh orang-
orang asing (Samuelson, 2001). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor barang adalah
seluruh barang yang dibawa keluar dari wilayah suatu negara, baik bersifat komersial maupun
bukan komersial (barang hibah, sumbangan, hadiah), serta barang yang akan diolah di luar
negeri dan hasilnya dimasukkan kembali ke negara tersebut.

2.2 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder, data time series dari tahun 1992-2017 yang
bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjebun), Badan Pusat Statistik (BPS), World
Bank, United Nations Commodity Trade (UN Comtrade), dan Food Agricultural Organization
(FAO). Selain itu, data penelitian juga dilengkapi dengan literatur yang berkaitan dengan topik
penelitian. Cakupan komoditi kakao olahan disesuaikan dengan klasifikasi kode Harmonyzed
System (HS) yakni 180310, 180320, 180400, 180500, 180610.

2.3 Metode Analisis


2.3.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis statistik sederhana sebagai penggambaran awal
mengenai data yang digunakan pada penelitian tanpa adanya pengujian statistik untuk
4
IJCCS ISSN: 1978-1520

kemudahan dalam melakukan pendeskripsian dan penafsiran. Tabel dan grafik seperti diagram
garis dan diagram batang digunakan dalam analisis ini untuk menggambarkan perkembangan
volume ekspor kakao olahan Indonesia. Selain itu, analisis ini juga menggunakan RCA
(Revealed Comparative Advantage) untuk mengukur daya saing ekspor kakao olahan Indonesia.
Secara sistematis, RCA dirumuskan sebagai berikut :

(1)

Dimana:
Xijt : Nilai ekspor komoditas j oleh negara i pada tahun t
Xit : Nilai ekspor total komoditas negara i pada tahun t
Wjt : Nilai ekspor komoditas j di dunia pada tahun t
Wt : Nilai ekspor total dunia pada tahun t
Serta EPD (Export Product Dynamics) untuk mengetahui posisi daya saing dalam
performa yang dinamis atau tidak. Secara sistematis, kekuatan bisnis/ pangsa pasar dan daya
tarik pasar dirumuskan sebagai berikut:

Sumbu x (pertumbuhan pangsa pasar):

(2)

Sumbu y (pertumbuhan permintaan produk/daya tarik pasar):

(3)
Dimana:
Xij : Nilai ekspor komoditas j dari Indonesia ke negara i
Xt : Nilai ekspor total Indonesia ke dunia
Wij : Nilai ekspor komoditas j dunia ke negara Indoensia
Wt : Nilai ekspor total dunia
T : jumlah tahun analisis

2.3.2 Analisis Inferensia


Analisis inferensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis time series
yakni ECM (Error Correction Mechanism) untuk mengetahui bagaimana pengaruh nilai tukar
rupiah terhadap dolar, harga kakao dunia, produksi biji kakao, populasi negara tujuan dan
dummy bea keluar terhadap daya saing ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.

Uji Stasioneritas
Langkah pertama yang dilakukan adalah pengujian stasioneritas variabel. Penelitian ini
menggunakan uji ADF untuk pengujian stasioneritas. Untuk menggunakan model ECM, data
harus stasioner pada ordo yang sama. Sehingga hal pertama adalah menguji stasioneritas pada
level. Setelah seluruh data dipastikan tidak stasioner pada level, kemudian dilakukan pengujian
pada first difference dan seterusnya hingga data stasioner. Jika keputusan adalah tolak H0, maka
data tidak memiliki akar unit, atau dapat disimpulkan bahwa data stasioner. Sebaliknya jika
keputusan gagal tolak H0 maka data tidak stasioner.

Uji Kointegrasi
Sebelum melakukan uji kointegrasi, terlebih dahulu mengestimasi persamaan jangka
panjang. Dalam persamaan jangka panjang, variabel independen yang diregresikan terhadap

5
◼ ISSN: 1978-1520

variabel dependen adalah variabel pada tingkat level atau yang belum stasioner. Persamaan
jangka panjang yang akan dibentuk adalah:
(4)
Keterangan:
RCAt : Daya saing (RCA) kakao olahan periode t
Kurst : Nilai tukar periode t (rupiah/USD)
HDt : Harga dunia periode t (USD/ton)
PBt : Produksi biji periode t (ton)
Popt : Populasi Jerman periode t
DBKt : dummy bea keluar perode t
Kemudian, pengujian kointegrasi dilakukan dengan menguji stasioneritas residual yang
diperoleh dari persamaan jangka panjang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan ADF test.
Jika residual persamaan jangka panjang stasioner pada level, terdapat kointegrasi antara variabel
yang digunakan dalam penelitian sehingga metode ECM dapat dilanjutkan dan membentuk
persamaan jangka pendek.

Membentuk Persamaan Jangka Pendek (ECM)


Persamaan jangka pendek didapatkan dengan melakukan estimasi parameter melalui
variabel yang stasioner pada difference pertama dan menambahkan variabel residual dengan lag
1 yang sebelumnya sudah stasioner. Persamaan jangka pendek (model ECM) yang dibentuk
adalah sebagai berikut:
(5)
Pada tahap ini, periksa nilai koefisien dari ECT (β6). Nilai koefisien tersebut harus
bertanda negatif dan signifikan. Jika hasilnya bertanda positif, model ECM tidak bias
digunakan.

Pengujian Keberartian Model


• Uji Simultan (Uji F)
Pengujian ini digunakan untuk menguji apakah variabel-variabel independen dalam
model secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi variabel dependen. Statistik uji yang
digunakan adalah:
~ (6)

Jika nilai Fhitung > Fα, (k,n-k-1) atau p-value lebih kecil dari α maka keputusannya tolak
H0 yang artinya dengan tingkat signifikansi α, dapat disimpulkan bahwa secara simultan ada
minimal satu variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Begitu pula
sebaliknya.
• Uji Parsial (Uji t)
Pengujian ini dilakukan pada masing-masing parameter untuk mengetahui pengaruh
variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel
lainnya konstan. Statistik uji yang digunakan adalah:
~ (7)
Jika nilai thitung > tα/2, (n-k-1) atau p-value lebih kecil dari α maka keputusannya tolak
H0 yang artinya dengan tingkat signifikansi α, dapat disimpulkan bahwa variabel independen
ke-i yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Begitu pula sebaliknya.
• Pengujian Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang digunakan antara lain adalah uji normalitas dengan uji Jarque
Bera, uji non autokorelasi dengan uji Breusch-Godfrey Serial LM, uji homoskedastisitas dengan
uji Breusch-Pagan-Godfrey, dan uji non multikolinieritas dengan melihat nilai VIF.

6
IJCCS ISSN: 1978-1520

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Gambaran Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Jerman 1992-2017


3.1.1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Tahun 1992-2017

Sumber: World Bank 1992-2017, diolah


Gambar 4. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap USD tahun 1992-2017
Dari gambar di atas, menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dari tahun ke tahun
cenderung mengalami depresiasi dimana dari tahun 1992 hingga 1996 cenderung stabil,
kemudian dari tahun 1997 mengalami peningkatan tajam atau terdepresiasi akibat krisis moneter
yang terjadi di Indonesia. Pada periode selanjutnya, cenderung fluktuatif tetapi rata-rata berada
di bawah angka 10000. Pada tahun 2012 Rupiah kembali terdepresiasi hingga tahun 2015. Lalu
berakhir di angka 13500 di tahun 2017.

3.1.2. Perkembangan Harga Kakao Dunia Tahun 1992-2017

Sumber: FAO dan ICCO 1992-2017, diolah


Gambar 5. Perkembangan harga kakao dunia tahun 1992-2017
Pergerakan harga dunia berfluktuatif tetapi memiliki kecenderungan meningkat dari
tahun 1992 hingga 1998. Di periode selanjutnya, harga merosot hingga 0,9 USD. Namun, pada
tahun 2000 hingga 2010, harga cenderung mengalami kenaikan mencapai harga 3,13 USD. Di
tahun 2012, harga kakao anjlok di posisi 2,39 USD tetapi kembali naik hingga tahun 2014. Pada
periode selanjutnya, harga mengalami penurunan sampai dengan tahun 2017.

3.1.3. Perkembangan Produksi Kakao Biji Tahun 1992-2017

7
◼ ISSN: 1978-1520

Sumber: Dirjen Perkebunan, 2017


Gambar 6. Perkembangan produksi biji kakao berdasarkan jenis perkebunannya tahun 1992-
2017
Produksi biji kakao secara umum didominasi oleh hasil perkebunan rakyat yang
memiliki kontribusi sekitar 70% hingga 96%. Produksi biji kakao selanjutnya dihasilkan oleh
perkebunan besar negara yang berkisar antara 2% hingga 17% dan perkebunan besar swasta
yang memiliki kontribusi berkisar antara 2% hingga 12%. Secara keseluruhan, produksi biji
kakao dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan di tahun 1992-2010. Namun pada
tahun 2011 hingga 2015 mengalami penurunan produksi dikarenakan lahan perkebunan kakao
Indoensia mengalami serangan hama dan penyakit tumbuhan yang mengakibatkan produksi
kakao menurun.

3.1.4. Perkembangan Populasi Penduduk Jerman Tahun 1992-2017


100000000

95000000

90000000

85000000

80000000

75000000

70000000

65000000

60000000
1992
1993
1994
1995

1997
1998
1999

2001
2002
2003
2004

2006
2007
2008

2010
2011
2012
2013

2015
2016
2017
1996

2000

2005

2009

2014

Tahun

Sumber: World Bank 1992-2017


Gambar 7. Perkembangan populasi penduduk Jerman tahun 1992-2017
Populasi penduduk Jerman dari tahun 1992 hingga 2003 mengalami peningkatan,
sedangkan tahun berikutnya berangsur-angsur turun sampai tahun 2010. Tahun 2011 terjadi
penurunan yang disebabkan oleh angka kelahiran turun 2,2% dibanding tahun sebelumnya.
Selain itu, terjadi peningkatan migrasi keluar pada tahun 2011, yakni sebesar 279.000 orang
(Federal Statistical Office of Germany,2011). Pada 2012, populasi penduduk Jerman mengalami
peningkatan hingga tahun 2017 karena migrasi neto yang positif. Adanya peningkatan jumlah
penduduk ini diharapkan mampu meningkatkan konsumsi kakao di Jerman sehinga mampu
mendorong impor kakao olahan oleh Jerman.

3.2. Daya Saing Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Jerman Tahun 1991-2017
3.2.1. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Pendekatan daya saing yang digunakan dalam penelitian ini adalah Revealed
Comparative Advantage (RCA), indeks yang diperkenalkan oleh Balassa (1965) yang
digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu negara memiliki keunggulan komparatif dilihat
dari kinerja ekspornya.

8
IJCCS ISSN: 1978-1520

Sumber: UN Comtrade 1992-2017, diolah


Gambar 8. Perkembangan RCA kakao olahan Indonesia ke Jerman tahun 1992-2017
Sejalan dengan volume ekspor kakao olahan, gambar di atas juga menunjukkan hal
serupa dimana indeks RCA cenderung mengalami peningkatan dan semakin meningkat tajam
dimulai pada tahun 2009 hingga 2016 namun mengalami penurunan tajam di tahun 2017. Hal
ini dikarenakan ekspor kakao olahan pada tahun 2017 menurun drastis dikarenakan volume
ekspor yang juga menurun.

3.2.2. Export Product Dynamic (EPD)


Export Product Dynamic adalah salah satu indikator daya saing yang dapat menentukan
apakah suatu produk memiliki performa yang baik atau tidak di pasar kakao olahan Jerman.
Berikut merupakan matriks posisi daya saing EPD dari negara eksportir utama kakao olahan ke
Jerman atau negara-negara pesaing Indonesia di pasar Jerman:
0.0016

0.0011

0.0006 Swiss
Belanda Indonesia Pantai Gading
0.0001

-0.0004

-0.0009
Perancis
-0.0014

-0.0019
-0.006 -0.004 -0.002 0 0.002 0.004 0.006

Sumber : UN Comtrade, diolah


Gambar 9. Matriks posisi daya saing ekspor kakao olahan ke Jerman
Berdasarkan Gambar 9, posisi daya saing kakao olahan Indonesia, Swiss, dan Pantai
Gading berapa pada kondisi rising star yang berarti kemampuan negara tersebut dalam
memenuhi kebutuhan kakao olahan Jerman berada pada kondisi dinamis, sehingga memiliki
kesempatan untuk meningkatkan ekspor kakao olahan ke Jerman. Perancis berada pada posisi
falling star yang berarti kakao olahan Perancis masih memiliki keunggulan kompetitif namun
permintaan pasar kakao Jerman mengalami penurunan. Sementara itu, Belanda berada pada
posisi lost opportunity yang berarti terjadi peningkatan permintaan kakao olahan namun terjadi
penurunan pangsa pasar kakao olahan ke Jerman.

3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Jerman
Tahun 1992-2017
3.3.1. Uji Stasioneritas
Diketahui hasil uji stasioner seperti yang ditampilkan pada Lampiran 1 menunjukkan
bahwa masing-masing variabel pada level tidak stasioner pada tingkat signifikansi 5 persen.
Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian
9
◼ ISSN: 1978-1520

ini stasioner pada first difference. Hal ini didukung dengan nilai p-value yang kurang dari 0,05
sehingga keputusan adalah tolak H0 yang berarti bahwa data tidak mengandung akar ciri atau
telah stasioner. Setelah syarat ECM sudah terpenuhi, maka tahap yang dilakukan selanjutnya
adalah pengujian kointegrasi terhadap residual persamaan jangka panjang.

3.3.2. Persamaan Jangka Panjang


Sebelum menguji apakah terdapat kointegrasi, perlu dilakukan estimasi parameter dari
persamaan jangka panjang. Estimasi parameter dari persamaan jangka panjang menghasilkan
residual yang disebut Error Correction Term (ECT). Residual inilah yang akan diuji untuk
melihat adanya kointegrasi. Adapun persamaan jangka panjang yang terbentuk adalah sebagai
berikut:

(8)
**) signifikan pada α = 5% Prob (F-stat) = 0,000003
*) signifikan pada α = 10% Adjusted R-squared = 0,745985
Dengan adjusted R-squared yang diperoleh 0,77 maka dapat dikatakan bahwa sebesar
77,50 persen variasi RCA kakao olahan dapat dijelaskan oleh nilai tukar rupiah, harga kakao
dunia, produksi biji kakao dalam negeri, dan dummy kebijakan tarif bea keluar kakao biji,
Sedangkan 22,50 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model, Nilai probabilitas
uji F lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 maka keputusannya menolak H0 atau dapat
disimpulkan bahwa terdapat minimal satu variabel independen yang berpengaruh signifikan
terhadap variabel RCA kakao olahan.

3.3.3. Uji Kointegrasi


Setelah melakukan estimasi persamaan jangka panjang, langkah selanjutnya melakukan
uji kointegrasi untuk mengetahui apakah antara variabel yang digunakan terdapat keseimbangan
jangka panjang (kointegrasi). Pengujian dilakukan dengan melihat kestasioneritasan ECT
menggunakan uji ADF. Hasilnya didapatkan bahwa ECT sudah stasioner pada level sehingga
variabel-variabel dalam penelitian berkointegrasi atau dengan kata lain variabel RCA kakao
olahan, nilai tukar rupiah, harga kakao dunia, populasi, produksi kakao biji, dan dummy bea
keluar memiliki keseimbangan jangka panjang yang kemudian dapat dilakukan analisis ECM.

3.3.4. Persamaan Jangka Pendek


Setelah pengujian kointegrasi dan hasilnya memenuhi syarat, maka dapat melanjutkan
ke tahap berikutnya yakni pembentukan model ECM atau disebut persamaan jangka pendek.
Berikut persamaan jangka pendek yang didapatkan:

(9)
**) signifikan pada α = 5% Prob (F-stat) = 0,003933
*) signifikan pada α = 10% Adjusted R-squared = 0,493530
Persamaan jangka pendek yang diperoleh memiliki nilai probabilitas statistik uji F yang
lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 0,05 sehingga memberikan keputusan tolak H0 yang
berarti minimal terdapat satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap RCA
kakao olahan, Nilai koefisien determinasi adjusted sebesar 0,49 menunjukkan bahwa 49,35
persen variasi dari RCA kakao olahan ke Jerman dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar
rupiah, harga kakao dunia, produksi kakao biji dalam negeri, populasi dan dummy tarif bea
keluar. Sementara itu, 50,65 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Secara
parsial, hanya ada dua variabel yang berpengaruh signifikan terhadap RCA kakao olahan yakni
harga kakao dunia dan populasi negara Jerman.

10
IJCCS ISSN: 1978-1520

100
90
80

Sisa ketidakseimbangan (persen)


70
60
50
40
30
20
10
0
T T+1 T+2 T+3 T+4 T+5 T+6 T+7 T+8 T+9 T+10 T+11 T+12
-10
-20

Gambar 10. Sisa ketidakseimbangan yang dikoreksi


Nilai koefisien ECT yang didapatkan sebesar -1,1378 yang berarti bahwa
ketidakseimbangan pada tahun ini akan terkoreksi sebesar 113,78 persen pada tahun berikutnya
akibat pengaruh jangka pendek dari kurs, harga kakao dunia, produksi biji, populasi, dan dummy
bea keluar. Sementara itu, -13,78 persen akan terkoreksi pada tahun-tahun selanjutnya. Tanda
negatif menunjukkan bahwa ketika variabel dependen bergerak menjauhi keseimbangan, maka
pada periode selanjutnya, ketidakseimbangan akan mulai terkoreksi menuju keseimbangan.
Ketidakseimbangan yang dikoreksi pada tahun selanjutnya terlihat pada Gambar 10 dimana
ketidakseimbangan tersebut konvergen menuju 0 tetapi tidak pernah mencapai 0.

3.3.5. Pengujian Asumsi Klasik


Estimasi persamaan menggunakan OLS sehingga perlu pengujian asumsi klasik.
Asumsi kenormalan, nonautokorelasi, homoskedastisitas, dan nonmultikolinieritas terdapat pada
lampiran dimana semua asumsi sudah terpenuhi pada tingkat signifikansi 5 persen.
3.3.6. Intepretasi hasil
Nilai tukar rupiah dalam jangka panjang signifikan berpengaruh positif terhadap daya
saing kakao olahan. Penelitian oleh Zakariya (2015) juga mengungkapan bahwa ketika nilai
tukar rupiah mengalami penguatan terhadap dolar AS dapat menyebabkan volume ekspor biji
kakao Indonesia cenderung juga mengalami penurunan dan sebaliknya.
Dalam persamaan jangka panjang dan pendek, harga kakao dunia berpengaruh
signifikan dan positif terhadap ekspor kakao olahan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan harga
kakao dunia yang tinggi akan mendorong ekspor dalam negeri. Menurut Darmansyah (1986)
dalam Soekartawi (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor salah satunya
adalah harga internasional komoditas tersebut. Semakin besar selisih antar harga di pasar
internasional dengan harga domestik, maka jumlah komoditi yang akan diekspor akan semakin
banyak.
Dalam persamaan panjang produksi biji kakao signifikan berpengaruh terhadap daya
saing kakao olahan tetapi tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana koefisiennya bertanda
negatif yang berarti setiap peningkatan produksi biji, tidak akan meningkatkan ekspor dan daya
saing kakao olahan. Namun fenomena ini dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan Hasibuan
et al. (2012) dimana terdapat preferensi untuk mengekspor biji kakao dibandingkan kakao
olahan, yang dianggap memerlukan biaya produksi yang lebih besar dan masih berdaya saing
rendah. Biji kakao yang dihasilkan petani masih belum diolah secara baik atau difermentasi
tetapi sebagian besar langsung diekspor dalam bentuk biji (Kemenperin, 2007).
Populasi negara Jerman berpengaruh positif dan signifikan di jangka pendek, dimana
peningkatan populasi akan meningkatkan daya saing ekspor kakao. Peningkatan populasi akan
meningkatkan konsumsi kakao di Jerman sehingga permintaan kakao Jerman akan meningkat
dan mendorongnya untuk melakukan impor.
Dalam persamaan, dummy bea keluar hanya berpengaruh signifikan di jangka panjang
sedangkan pada jangka pendek tidak signifikan berpengaruh terhadap daya saing ekpsor kakao
olahan. Bea keluar, selain bertujuan untuk mendorong hilirisasi, juga bertujuan untuk
11
◼ ISSN: 1978-1520

mengompensasi perlakuan diskriminatif tarif bea masuk Uni Eropa terhadap impor kakao yang
berasal dari Indonesia. Pasalnya, impor biji kakao dari Indonesia dikenakan bea masuk 0 persen,
sementara ekspor olahan kakao dikenakan tarif bea masuk sebesar 7-9 persen. Struktur tarif ini
memaksa Indonesia agar tetap mengekspor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao) dari pada
produk olahannya dan membuat kakao Indonesia sulit bersaing dengan negara kompetitor dalam
memperebutkan pangsa pasar di Uni Eropa (Hanafi et al., 2016) dan (Suryana et.al., 2014).

4. KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Daya saing ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman periode 1992-2017 memiliki
kecenderungan meningkat dan mulai meningkat tajam sejak dilakukan kebijakan tarif bea
keluar kakao biji. Namun pada tahun 2017 mengalami penurunan tajam akibat volume
ekspor yang juga mengalami penurunan. Posisi kinerja daya saing ekspor kakao olahan
Indonesia berada pada posisi rising star yang berarti kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan kakao olahan Jerman berada pada kondisi dinamis, sehingga memiliki
kesempatan untuk meningkatkan ekspor kakao olahan ke Jerman.
2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada jangka panjang, variabel yang berpengaruh
signifikan adalah nilai tukar rupiah, harga kakao dunia, produksi biji kakao dan dummy bea
keluar. Sedangkan pada jangka pendek, variabel yang bepengaruh signifikan adalah
populasi negara Jerman dan produksi biji kakao.

5. SARAN

Dari kesimpulan yang didapat, beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan adanya peningkatan produksi yang diikuti dengan peningkatan kualitas
pengolahan kakao sehingga kakao olahan yang dihasilkan Indonesia bernilai jual tinggi dan
konsisten berdaya saing di tingkat internasional.
2. Selain kebijakan bea keluar, pemerintah diharapkan menetapkan kebijakan yang
memudahkan akses permodalan kepada pelaku agribisnis untuk dapat mengembangkan biji
kakao ke tahap industri pengolahan.
3. Diharapkan terus memperkuat hubungan bilateral atau multilateral dengan negara importir
kakao agar mempermudah alur perdagangan khususnya dengan negara-negara di Uni Eropa
sehingga tidak ada perlakuan diskriminasi terhadap komoditas ekspor Indonesia yang masuk
ke negara-negara tersebut.
4. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel-variabel yang diduga
berpegaruh terhadap daya saing kakao olahan seperti daya saing negara kompetitor,
konsumsi, dan sebagainya. Selain itu, diharapkan ada penelitian yang mengkaji daya saing
tidak hanya ke satu negara melainkan ke beberapa negara di Eropa atau benua lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianingsih, P., Osmet, Rsuda K. (2012). Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor (Bea Keluar)
Terhadap Variabel-Variabel Perdagangan Biji Kakao Indonesia [Tesis]. Padang:
Universitas Andalas

Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Kakao Indonesia 2017. Jakarta: BPS

Departemen Perindustrian. (2007). Gambaran Sekilas Industri Kakao. Jakarta: Departemen


Perindustrian

Ditjenbun. (2014). Statistik Perkebunan Indonesia 2013–2015: Kakao. Jakarta: Direktorat


Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
12
IJCCS ISSN: 1978-1520

Dunmore, J.C., (1987). Competitiveness and Comparative Advantage Of U.S. Agriculture.


USDA

Enders. W. (2015). Applied Econometric Time Series fourth Edition. USA: Wiley

Eurostat. (2016). Where does your Easter chocolate come from?. Diakses pada tanggal 3
Februari 2019 pukul 21.00 WIB melalui https://ec.europa.eu/ eurostat/web/products-
eurostat-news/-/EDN-20170414-1

Esterhuizen, D.,Rooyen S.J. (2012). Measurement and Analysis of the Trends in Competitive
Performance: South African Agribusiness During the 2000’s. Journal of Applied
Management and Investments Volume 1 Issue 4 2012. 99-146

Fazaria, Dewi A. (2016). Analisis Daya Saing dan Integrasi Pasar Lada Indonesia di Pasar
Internasional [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Gujarati, Damodar. (2004). Basic Econometrics fourth edition. New York: McGraw-Hill

Hanafi, Ridwan. (2016). Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar Terhadap Produksi
Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Hasibuan, A. M., Nurmalina, R., & Wahyudi, A. (2012a). Analisis Kinerja dan Daya Saing
Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar Internasional.
Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.

ICCO. (2017). Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics Volume XLIII No. 1 Cocoa Year 2016/17.
Pantai Gading: ICCO

Indonesia, R. (2010). Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 Tahun 2010 Tentang
Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Diakses
pada tanggal 10 Februari 2019 pukul 20.00 melalui
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2010/67~PMK.011~2010Per.htm

Jongwanich J. & A. Kohpaiboon (2008). Private Investment: Trends and Determinants in


Thailand. World Development Vol. 36, No. 10, pp. 1709 -1724

Kementerian Perdagangan. (2013). Market Brief Kakao dan Olahannya di Pasar Jerman. ITPC
Hamburg

Kementerian Pertanian. (2016). Outlook Kakao. Jakarta: Kementerian Pertanian

Lindert, Peter H., Charles P. Kindleberger. Ekonomi Internasional. diterjemahkan oleh


Burhanuddin Abdullah. Jakarta: Erlangga

Maulana, A., Kartiasih, F. (2015). Analisis Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Sembilan
Negara Tujuan Tahun 2000–2014. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia Volume
17 No. 2. 103-117

Porter, Michael E. (1990). The Competitive Advantage of Nation. Harvard Bussiness Review
March-April 1990. 73-91

Puspita, R., K. Hidayat, E. Yulianto. (2015). Pengaruh Produksi Kakao Domestik, Harga Kakao
Internasional, dan Nilai Tukar Terhadap Ekspor Kakao Indonesia ke Amerika Serikat

13
◼ ISSN: 1978-1520

(Studi Pada Ekspor Kakao Periode Tahun 2010-2013). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)
Vol. 27 No. 1. 1-8

Rahmanu, R. (2009). Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao
Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rifin, A., & Nauly, D. (2013). Effect of Export Tax on Indonesia’s Cocoa Export
Competitiveness. Paper present at the 57th AARES Annual Conference, Sydney, New
South Wales, 5th–8th February 2013.

Salisa, Yasmina. (2017). Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Enam
Mitra Dagang 2010-2015 [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

Salvatore, Dominick. (1995). International Economics fifth edition. USA: Prentice-Hall

Sarwono, Willy Pratama. (2014). Analisis Daya Saing Kedelai Indonesia. Journal of Economics
and Policy. 134-140

Statista. (2017). Per capita chocolate consumption worldwide in 2017, by country (in
kilograms). Diakses pada tanggal 3 Februari 2019 pukul 20.49 WIB melalui
https://www.statista.com/statistics/819288/worldwide-chocolate-consumption-by-
country/

Sukirno, Sadono. (2001). Makroekonomi: Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Syarif, Ahmad. (2018). Pengaruh Jumlah Produksi, Harga, dan Kurs Terhadap Nilai Ekspor
Kakao Indonesia 1996-2015 [Skripsi]. Makasar: UIN Alauddin

Tambunan, Tulus. (2001). Perdagangan Internasional dan Neraca Perdagangan: Teori dan
Temuan Empiris. Jakarta: LP3ES

UN Comtrade. (2018). Download Trade Data. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018 pukul
11.08 WIB melalui https://comtrade.un.org/data/

Vollrath, Thomas. (1985). Dynamics of Comparative Advantage and the Resistence to Free
Trade. Washington, DC: U.S. Department of Agriculture

World Bank. (2018). Indicators. Diakses pada tanggal 4 Desember 2018 pukul 7.41 WIB
melalui https://data.worldbank.org/

World Cocoa Foundation. (2010). Economic Profile of the EU Chocolate Industry. Diakses
pada tanggal 4 Februari 2018 pukul 18.40 WIB melalui
https://www.worldcocoafoundation.org/wp-content/uploads/Economic_Pr
ofile_of_the_EU_Chocolate_Industry_20111.pdf

Zakariya, M. (2016). Pengaruh Produksi, Harga, dan Nilai Tukar Terhadap Volume Ekspor
(Studi pada Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Periode Januari 2010-Desember 2015).
Jurnal Administrasi Bisnis Vol. 40 No.2 November 2016. 139-145

14

Anda mungkin juga menyukai