Anda di halaman 1dari 8

De Dios (2009), Selain efek positif dari faktor penentu sisi penawaran seperti keterampilan, teknologi dan akses ke

keuangan, tindakan fasilitasi perdagangan berbasis TIK juga merupakan faktor positif.
Li & Wilson Faktor-faktor positif: fasilitasi perdagangan, akses keuangan, pekerja terampil, teknologi, dan
(2009) informasi pasar.
Hessels & Mengadopsi praktik bisnis atau industri yang sah, dan akses ke sumber daya utama (misalnya
Terjesen (2007) teknologi, modal, informasi pasar, bahan mentah, pengetahuan pemasaran internasional) sangat
penting bagi UMKM untuk dapat mengekspor.
Valodia & Velia Faktor-faktor negatif dalam ekonomi domestik: biaya input/bahan baku impor, hubungan bisnis yang
(2004) buruk, pergerakan nilai tukar, ceruk pasar di mana permintaan tidak sensitif terhadap harga,
kurangnya kapasitas produksi, ketidakmampuan untuk memproduksi barang berkualitas tinggi atau
berstandar internasional. hak lisensi/paten, ukuran perusahaan, kurangnya pengetahuan tentang pasar
internasional. Faktor negatif di pasar luar negeri: tarif tinggi, perizinan impor dan hambatan non-tarif
lainnya, tindakan anti-dumping, fiprms tidak dapat diandalkan sebagai pemasok luar negeri, ilegal
prosedur kontrol kustom.

2.3.3 Ekspor
Walaupun salah satu karakteristik dari UMKM, khususnya di negara-negara berkembang, adalah lebih
berorientasi ke dalam negeri, banyak juga UMKM yang melayani pasar di luar negeri (ekspor). Demikian juga
di Indonesia banyak UMKM yang melakukan ekspor. Menurut Suwandi (2012), berdasarkan penelitian-
penelitian lapangannya dan juga pengalamannya dalam membina eksportir-eksportir skala UMKM, ada tiga
motivasi utama UMKM melakukan ekspor, yakni: (i) sepenuhnya motivasi bisnis (memperluas pasar dan
omset), (ii) motivasi bisnis dan sosial (memajukan produk usaha rakyat/anggota), dan/atau (iii) 'coba-coba' (ke
luar negeri sambil berjualan tetap berjualan di pasar dalam negeri).
Secara absolut nilai ekspor UMKM Indonesia meningkat setiap tahun. Menurut data dari Menegkop & UKM,
pada tahun 2007 nilainya tercatat hampir mencapai Rp 140,4 triliun, dan bertambah menjadi Rp 187 triliun pada
tahun 2011, dan pada tahun 2017 tercatat sekitar Rp 298 triliun, dan sedikit menurun ke Rp 294 triliun pada tahun
2018. Namun demikian, karena memang UB lebih mampu melakukan ekspor daripada UMKM (seperti juga di
negara-negara berkembang lainnya), pangsa ekspor UMKM di dalam total ekspor Indonesia mengalami
penurunan selama periode yang diamati tersebut. Seperti yang dapat dilihat, pada tahun 2007 pangsanya sekitar
17,7 persen, dan pada tahun 2018 menjadi lebih kecil sekitar 14 persen (Gambar 2.11).
Gambar 2.11 Perkembangan Ekspor UMKM Indonesia, 2007-2019 (% dari Total Ekspor)

Sumber: Menegkop & UKM (online)

Sebagai perbandingan, di sebagian besar negara-negara APEC lainnya yang ada datanya, UMKM sebagai
bagian dari total pengekspor tercatat bervariasi, mulai dari 55,3 persen di Chili hingga 97,5 persen di Amerika
Serikat (Tabel 2.8). UMKM sebagai bagian dari total eksportir tetap stabil selama periode referensi 5 hingga 10
20
tahun, dengan hanya Thailand yang menunjukkan peningkatan besar, yang tercatat naik dari 59,6 persen pada 2010
menjadi 71,0 persen pada 2018. Dalam hal pangsa total UMKM yang terlibat dalam ekspor barang, sangat rendah
di semua ekonomi APEC yang ada datanya, yang rata-rata kurang dari 2 persen dari semua UMKM terlibat
dalam8ekspor barang. Namun, sayangnya, data yang ada hanya untuk UMKM yang ekspor barang; tidak ada data
UMKM yang ekspor jasa.
Tabel 2.8 Jumlah Eksportir UMKM di Beberapa Negara/Ekonomi APEC
Negara/Ekonomi Jumlah eksportir Pangsa dari Tahun Jumlah eksportir Pangsa dari total Tahun
UMKM, % dari total total UMKM UMKM, % dari total UMKM
eksportir (%) (%) eksportir (%)
Australia 87,2 2,0 2017-18 89,8 1,9 2007-08
Kanada 96,6 2,7 2018 96,8 3,0 2011
Cili 55,3 0,5 2017 57,9 0,6 2009
Meksiko 83,1 3,6 2017 80,4 4,3 2014
Selandia baru 67,9 1,4 2018 65,2 0,9 2009
Peru 70,5 0,3 2017 75,2 0,4 2013
Thailand 71,0 0,9 2018 59,6 0,8 2010
Amerika Serikat 97,5 0,9 2017 97,6 1,0 2009
Sumber: APEC (2020).

Selanjutnya, data nilai ekspor barang menurut skala usaha dari sekitar setengah dari jumlah negara APEC
menunjukkan pangsa UMKM dari total nilai ekspor barang sangat bervariasi, mulai dari hanya lebih dari 2 persen
di Chili hingga hampir 40 persen di Kanada (Tabel 2.9). Meskipun agak berfluktuasi selama periode referensi 5
hingga 10 tahun (biasanya dalam kisaran tiga poin persentase), belum ada perubahan besar di antara negara-negara
APEC tersebut. Satu hal penting yang mencuat dari laporan ini adalah bahwa walaupun merupakan negara APEC
terbesar dari perspektif luas wilayah, jumlah dan variasi sumbeSDA), nilai PDB nominal dan jumlah populasi,
Indonesia bukan negara besar dalam hal ekspor UMKM. Memang UMKM Indonesia secara tradisional
berorientasi pasar domestik (akan dibahas lebih lanjut nanti).
Tabel 2.9 Pangsa Nilai Ekspor UMKM di Sejumlah Negara/Ekonomi APEC
Negara/Ekonomi Pangsa dari Tahun Pangsa dari Tahun
nilai ekspor nilai ekspor
total (%) total(%)
Australia 4,3 2017-18 6,9 2007-08
Kanada 39,3 2018 38,8 2011
Cili 2,2 2017 2,4 2009
Indonesia 14,4 2018 17.0 2010
Korea 34,1 2018 36,9 2009
Malaysia 17,3 2017 16,9 2011
Meksiko 12,5 2017 13,8 2014
Peru 5,6 2017 4,8 2013
Cina, Taipei 13,7 2018 16,9 2009
Thailand 28,7 2018 27,3 2010
Amerika Serikat 33,4 2017 32,9 2009
Sumber: APEC (2020).

Hasil survei perusahaan yang dilakukan oleh Bank Dunia menyediakan data untuk 11 anggota APEC,
termasuk Indonesia, tentang beberapa indikator yang terkait dengan kegiatan ekspor langsung, termasuk (i) pangsa
perusahaan yang mengekspor secara langsung, dan (ii) pangsa dari total penjualan yang diekspor secara langsung.
Berdasarkan negara-negara yang memiliki tahun acuan 2015 atau lebih baru, pangsa UMKM yang mengekspor
langsung, dan di mana ekspor langsung merupakan setidaknya 10 persen dari total penjualan tahunan yang berkisar
21
dari paling kecil 5,6 persen di Thailand hingga tertinggi 23,5 persen di Malaysia. UMKM Indonesia tercatat
memiliki pangsa sekitar 13,2 persen (Tabel 2.10). Hanya di Papua Nugini bagian UMKM yang mengekspor
langsung lebih tinggi daripada perusahaan besar. Dalam hal pangsa total penjualan yang diekspor langsung oleh
perusahaan, ini berkisar dari rata-rata 2,8 persen untuk UMKM di Thailand hingga 9,8 persen untuk UMKM di
Malaysia. Sekali lagi, selain di Papua Nugini, perusahaan besar mengekspor bagian lebih tinggi dari total penjualan
mereka daripada UMKM.
Tabel 2.10 Eksportir secara Langsung sebagai Pangsa dari Jumlah Perusahaan dan Ekspor sebagai
Pangsa dari Total Penjualan menurut Skala Usaha di Sejumlah Negara/Ekonomi APEC (%)
Negara/Ekonomi Pangsa dari perusahaan yang ekspor Pangsa dari total penjualan yang Tahun
langsung diekspor langsung
UMK UM UB UMK UM UB
Cili 0,8 3,8 22,5 0,2 1,5 5,7 2010
Cina 4,6 12,5 29,4 3,3 5,7 13,9 2012
Indonesia 5,3 7,9 25,2 2,9 5,0 11,7 2015
Malaysia 4,3 19,2 69,0 2,2 7,6 30,3 2015
Meksiko 0,7 9,1 15,9 0,1 2,1 5,6 2010
Papua New Guinea 11,5 4,9 0,0 1,2 2,1 0.2 2015
Peru 4,6 16,3 26,9 2,3 7,3 12,0 2017
Filipina 3,9 9,0 23,6 1,8 6,1 16.6 2015
Rusia 4,6 5,5 6,6 2,4 3,1 1,6 2012
Thailand 2,2 3,4 28,1 0,8 2,0 18,9 2016
Vietnam 4,0 11,5 36,1 2,2 6,6 21,6 2015
Catatan: Pangsa dari perusahaan yang mengekspor secara langsung hanya mencakup perusahaan-perusahaan dengan ekspor langsung
setidaknya 10 persen dari total penjualan tahunan.
Sumber: The World Bank Enterprise Surveys (www.enterprisesurveys.org.).

Sementara itu, ADB (2020b) menunjukkan bahwa di Asia Tenggara, hanya sejumlah kecil UMKM yang
telah memiliki akses ke pasar global. UMKM berkontribusi rata-rata 20,4 persen dari nilai ekspor suatu negara
selama periode 2010–2018. Dan sebagian besar stabil (kontraksi tahunan majemuk sebesar 0,05%). Memang bagi
sebagian besar UMKM, terutama UMK, akses ke pasar internasional tetap menjadi tantangan utama. Berdasarkan
negara, UMKM di Thailand menyumbang 28,7 persen dari nilai ekspor pada tahun 2018, diikuti oleh Malaysia
(17,3%) dan Indonesia (14,4%). Meskipun skala ekspor UMKM tetap kecil, pertumbuhan tahunan gabungan cukup
besar sekitar 7,7 persen di Indonesia, diikuti oleh Malaysia (4,9%) dan Thailand (3,6%). Porsi ekspor UMKM
terhadap total nilai ekspor relatif stabil, meskipun dengan sedikit penurunan sejak tahun 2017 (Gambar 2.12).
Ekspor di kawasan ini masih fluktuatif, dipengaruhi oleh pergeseran permintaan luar negeri. Ketegangan
perdagangan yang meningkat antara AS dan RRT telah melemahkan permintaan luar negeri. Dalam dolar AS,
UMKM di Thailand mengekspor sebesar USD 72 miliar pada tahun 2018, diikuti oleh Malaysia (USD 42 miliar)
dan Indonesia (USD 20 miliar).
Gambar 2.12 Pangsa Ekspor UMKM terhadap Total Ekspor di
Sejumlah Negara di Asia Tenggara, 2010-2018 (%).

22
Keterangan: INO=Indonesia; THA=Thailand; MAL=Malaysia.
Sumber: dikutip dari Gambar 2.4 B di ADB (2020b; hal 18)

Mempromosikan internasionalisasi UMKM dengan membantu partisipasi mereka dalam RNG adalah salah
satu kunci untuk membuka produktivitas baru dan pertumbuhan yang inklusif. Thailand mempromosikan klaster
industri tertentu sebagai basis produksi berpotensi tinggi, misalnya otomotif dan suku cadang, elektronik, industri
digital, pengolahan hasil pertanian, dan garmen, yang memberikan lebih banyak peluang bisnis global untuk
UMKM. Malaysia memiliki beberapa program pendukung untuk mempromosikan internasionalisasi UMKM,
seperti SME Go Global, Market Development Grant, dan program pelatihan ekspor. Di Indonesia, beberapa
industri kerajinan dan furnitur kayu telah menciptakan klaster bisnis ekspor. Contoh yang baik adalah klaster mebel
kayu jati di Jepara, Jawa Tengah. Viet Nam telah menetapkan internasionalisasi UMKM sebagai target kebijakan,
dimana pemerintah menawarkan pelatihan ekspor dan menghubungkan UMKM domestik dengan rantai pasokan
global melalui kegiatan promosi perdagangan.

2.3.4 Rantai Nilai Global


RNG adalah jaringan produksi yang menjangkau berbagai negara. Di masa lalu, sebagian besar perusahaan
memusatkan produksinya di satu negara. Sekarang, kegiatan-kegiatan produksi untuk barang-barang yang sama
tersebar di banyak negara. Hanya sekitar sepertiga dari ekspor dunia merupakan barang yang diproduksi secara
penuh yang dapat dijual ke konsumen akhir; sisanya perlu diproses lebih lanjut dalam rantai nilai sebelum
penjualan akhir. Fragmentasi produksi ini memberi lebih banyak peluang bagi UMKM di negara-negara
berkembang untuk terhubung dengan UB global besar. Alih-alih membangun produk lengkap sendiri, UMKM
dapat berspesialisasi dalam produk dan layanan tertentu di sepanjang rantai nilai (World Bank, 2017).
Sayangnya, partisipasi UMKM khususnya dari negara-negara berkembang dalam RNG masih relatif
sedikit. Menurut ADB (2020b), jumlah UMKM di negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam RNG masih
terbatas. Sedangkan Bank Dunia dalam sebuah laporan khusus mengenai perkembangan RNG menunjukkan
bahwa partisipasi RNG di antara UMKM tidak merata. Seperti yang dijelaskan di dalam laporan khusus tersebut,
kurangnya akses untuk layanan keuangan adalah alasan utama mengapa. Meskipun UMKM terhitung besar dalam

23
pangsa lapangan kerja dan PDB, mereka seringkali tidak bisa mendapatkan kredit, dan UMKM milik perempuan
menghadapi hambatan yang sangat tinggi. Berpartisipasi dalam RNG mengharuskan UMKM memenuhi sejumlah
persyaratan bisnis formal, seperti mendaftar ke pihak berwenang untuk mendapatkan nomor pengenal pajak
pertambahan nilai, dan banyak UMKM, terutama UMK di negara-negara berkembang sulit memenuhi persyaratan-
persyaratan formal yang ada (World Bank, 2017). .
Munculnya RNG menghadirkan peluang bagi UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pekerjaan
kreasi dan inovasi. Sejak 1980, ekspor barang dan jasa bruto global masing-masing meningkat kira-kira sepuluh
kali lipat, sementara arus masuk bersih investasi asing langsung tumbuh sekitar 34 kali lipat. Partisipasi RNG dari
negara-negara berkembang kira-kira dua kali lipat dari tahun 1995 hingga 2011, tetapi negara-negara ini masih
memiliki andil yang relatif kecil dari total global, sebesar 11 persen. Partisipasi UMKM dalam RNG sangat
bervariasi di seluruh negara-negara berkembang, dan juga menurut sektor. Dalam rantai pasok agribisnis, misalnya,
banyak pemasok adalah petani yang relatif kecil. Dalam rantai tekstil/garmen, pemasok cenderung dari kategori
usaha menengah dan besar (UMB), mengingat memenuhi pesanan pembelian besar dan standar keberlanjutan
seringkali terlalu mahal untuk produsen kecil (World Bank, 2017)..
Di negara=negara Asia Tenggara (ASEAN), pangsanya berkisar dari sekitar 6 persen di Indonesia hingga
hampir 50 persen di Malaysia, menurut satu perkiraan. Sifat partisipasi RNG juga beragam. Sementara beberapa
UMKM langsung memasok perusahaan-perusahaan utama, lebih banyak UMKM bekerja dengan perusahaan-
perusahaan pemasok lain yang pada umumnya adalah dari kategori UB. Di sejumlah negara berkembang, UMKM
yang terkait dengan RNG hulu terkonsentrasi di bidang pertanianserta manufaktur dan jasa bernilai tambah rendah
(World Bank, 2017).
Sementara itu, negara-negara anggota G20 (termasuk Indonesia) semakin terhubung melalui RNG. Gambar
2.13 mengukur dua dimensi partisipasi RNG: penggunaan barang impor di dalam barang ekspor, dan ekspor
barang yang belum selesai dari sebuah negara yang diselesaikan menjadi barang jadi siap untuk ekspor di negara
lain. Angka tersebut menunjukkan bahwa partisipasi RNG telah tumbuh di sebagian besar negara-negara G20 sejak
tahun 1995, khususnya di Asia. Partisipasi tertinggi di Korea Selatan, di mana barang belum jadi yang
diperdagangkan di dalam RNG mencapai sekitar dua pertiga dari total ekspornya. Di sebagian besar negara G20
lainnya, pangsanya berkisar antara sekitar 35 persen hingga 45 persen.
Gambar 2.13 Peningkatan Partisipasi RNG di dalam Kelompok G20, 1995-2009

24
Keterangan:
Biru tua: ekspor perantara yang digunakan dalam ekspor negara ketiga; biru mudah; input yang diimpor untuk digunakan dalam barang
ekspor; segitiga: jumlah partisipasi pada tahun 1995. Indeks dihitung sebagai persentase dari ekspor bruto dan memiliki dua komponen:
kandungan impor ekspor dan ekspor input antara (barang dan jasa) yang digunakan dalam ekspor negara ketiga.
Sumber: dikutip dari Figure 1 di WB (2017, hal. 6)

Selanjutnya, temuan dari sebuah survei yang dilakukan oleh OECD dan WTO terhadap perusahaan-
perusahaan di negara-negara mitra, termasuk negara-negara berkembang. dan pandangan dari negara-negara donor
tentang berbagai macam kendala yang mereka hadapi untuk bisa berpartisipasi dalam RNG di tunjukkan di Tabel
2.11. Salah satu yang menarik dari hasil survei ini adalah bahwa hambatan-hambatan untuk partisipasi dalam RNG
lebih banyak dialami oleh perusahaan-perusahaan dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun
tidak dirinci perusahaan-perusahaan yang disurvei menurut skala usaha, namum dapat diduga bahwa hambatan-
hambatan tersebut lebih dirasakan oleh UMKM, terutama UMK.
Tabel 2.11 Negara Mitra – Hambatan utama untuk partisipasi pembangunan yang lebih besar
perusahaan negara dalam RNG berdasarkan kelompok pendapatan
Semua mitra
Rintangan Jumlah %
Infrastruktur dalam negeri yang terbatas 46 58
Keterbatasan akses ke pembiayaan perdagangan 42 53
Persyaratan-persyaratan standar 31 39
Keterbatasan keunggulan komparatif 26 33
Biaya masuk ke pasar 21 26
Struktur rantai nilai 16 20
Keterbatasan sumber daya manusia 15 19
Prosedur-prosedur di pasar ekspor yang membebankan 12 15
Ketidakmampuan menarik penanaman modal asing 10 13
Pembatasan-pembatasan perdagangan 5 8
Peraturan-peraturan dokumentasi yang membebankan 4 5
Sumber: Jansen dan Lanz (2013) (OECD-WTO AFT monitoring survey).

Ada sejumlah kriteria seleksi dari perusahaan multinasional yang harus terpenuhi oleh UMKM untuk bisa
terlibat dalam RNG, seperti atribut produk dan perusahaan, serta kekuatan lunak, seperti integritas bisnis dan
tanggung jawab sosial perusahaan. UMKM harus menghasilkan produk yang tepat untuk MNCs; oleh karena itu,
atribut produk yang tepat adalah fundamental bagi UMKM untuk dianggap sebagai pemasok di RNG. Atribut
produk mencakup tiga hal, yakni kualitas, harga dan pengiriman. Menurut Conference Board of Canada in 2009,
kualitas adalah kriteria teratas dalam memilih mitra rantai nilai, khususnya di sektor dengan rantai canggih, seperti
25
elektronik, mobil, dan pengolahan makanan. MNCs melakukan pemeriksaan kualitas dan pengujian produk secara
berkala untuk memverifikasi bahwa pemasok UMKM memenuhi spesifikasi produk mereka. Kedua adalah harga
produk, yang juga memainkan peran kunci dalam pemilihan pemasok. MNCs memilih UMKM yang dapat
menyediakan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif. Rendahnya biaya tenaga kerja di Asia adalah
alasan utamanya MNCs untuk memperluas RNG mereka di wilayah tersebut. Faktor eksternal juga dapat
mempengaruhi harga pemasok yang akan diperhitungkan oleh MNCs, seperti biaya pengapalan dan tarif impor jika
pemasok berada di negara yang berbeda. Terakhir, MNCs membutuhkan UMKM untuk mengirimkan produk
secara tepat waktu dengan cara akurat di tempat yang tepat. Persyaratan pengiriman memastikan bahwa jadwal
produksi terpenuhi, persediaan dan pergudangan diminimalkan, dan persediaan berlebih serta pembusukan dibatasi
(Yuhua, 2014).
Selain atribut produk, MNCs juga memeriksa UMKM terhadap atribut perusahaan yang mencakup
stabilitas keuangan, kapasitas produksi, fleksibilitas, lokasi geografis, standar dan sertifikasi, tingkat pemakaian
ICT dalam operasi bisnis, dan bakat dan kapasitas inovatif. Kesehatan keuangan mengurangi risiko gagal bayar
kontrak dan kebangkrutan. MNCs memperhatikan posisi keuangan dan riwayat kredit pemasok, dan beberapa
MNCs bahkan menyewa perusahaan khusus untuk memeriksa situasi keuangan pemasok UMKM. Kapasitas
produksi menentukan apakah pemasok UMKM dapat menyediakan barang dan layanan yang dibutuhkan dengan
cara yang stabil dan dapat diandalkan. Ini penting untuk perusahaan besar, yang akan menghadapi kerugian besar
jika terjadi gangguan pada rantai nilai mereka. Oleh karena itu, MNCs yang lebih besar selalu mencari UMKM
dengan kapasitas produksi yang memadai, Standar dan sertifikat menambah nilai profil UMKM. MNCs mencari
pemasok yang memenuhi sertifikasi yang diakui secara internasional atau beberapa standar khusus industri. Satu
contoh yang bagus adalah ISO 9000, yang mengesahkan sistem manajemen mutu peru sahaan. Namun, menurut
beberapa MNCs, sertifikat dari badan internasional lebih disukai tetapi tidak selalu merupakan kebutuhan.
Fleksibilitas mengacu pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan dan kondisi.
UMKM yang diinginkan adalah yang dapat menanggapi pelanggan dengan segera, menyesuaikan dengan cepat
untuk menambah atau mengurangi permintaan, dan meningkatkan lini produk. Ini kadang-kadang disebut
kemampuan beradaptasi, kelincahan atau skalabilitas. Dalam keadaan tertentu, MNCs cenderung beralih ke
UMKM terdepan untuk terobosan ide pada produk, produksi, penjualan dan layanan purna jual. Lokasi geografis
menjadi faktor yang kurang relevan karena evolusi ICT yang cepat dan logistik global. UMKM yang berlokasi
dekat dengan pasar konsumen memiliki keunggulan komparatif dalam memahami konsumen lokal dan kondisi
pasar. Tingkat pemanfaatan ICT (atau teknologi digital) dalam operasi bisnis juga disebut informatisasi bisnis.
Dalam 10 tahun belakangan ini e-commerce telah berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Misalnya, e-procurement secara signifikan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menutup
kesepakatan antara produsen dan konsumen. MNCs mencari pemasok yang dapat berpartisipasi dalam pertukaran
data elektronik dan proses pasokan elektronik terintegrasi rantai manajemen. Sedangkan kapasitas bakat dan
inovasi merupakan indikasi kewirausahaan, manajerial dan kepemimpinan SDM pemasok UMKM. MNCs tahu
UMKM seperti itu memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi perusahaan terdepan dan akhirnya

26
memberikan kontribusi yang cukup besar untuk pengembangan RNG dan MNC. Selain itu, karena pasar global
terus-menerus berkembang, hanya UMKM inovatif yang dapat memenuhi persyaratan MNCs baik sekarang
maupun di masa depan, dan karena itu MNCs cenderung memilih UMKM dengan ide yang lebih kreatif dan
inovatif (Yuhua, 2014). Beberapa contoh RNG di beberapa industri dapat dilihat di Lampiran.
Terakhir, seperti yang dapat dilihat dari Gambar 2.14, hasil survei tersebut juga memperlihatkan dukungan
apa saja yang sangat dibutuhkan dari pemerintah agar mereka bisa berpartisipasi dalam RNG menurut pandangan
dari perusahaan-perusahaan yang disurvei. Dan yang menarik dari penemuan ini adalah bahwa ternyata
infrastruktur di dalam negeri seperti pelabuhan, logistik, pergudangan, jalan raya dan lainnya merupakan dukungan
yang paling mereka butuhkan.
Gambar 2.14 Jenis Dukungan yang Sangat Efektif untuk Dapat Memasuki RNG (%)

Sumber: Jansen dan Lanz (2013) (OECD-WTO AFT monitoring survey).

Jadi, dari pembahasan di atas, jelas bahwa tantangan utama yang dihadapi UMKM Indonesia (seperti juga
di negara-begara berkembang lainnya) dalam tingkat internasionalisasi dan RNG termasuk akses ke informasi,
keterampilan, teknologi termasuk teknologi digital, dan keuangan; kepatuhan terhadap kualitas internasional dan
standar lainnya, peraturan teknis dan prosedur penilaian kesesuaian, serta menghubungkan ke rantai pasokan dan
mengembangkan keberlanjutan Sementara tantangan kebijakan utama di negara-negara ini adalah menyediakan
akses penuh ke semua sumber daya yang dibutuhkan seperti keuangan, teknologi, bahan mentah, keterampilan ,
dan informasi kepada UMKM.
UMKM Indonesia memiliki peluang pasar global yang besar untuk terlibat dalam RNG karena setidaknya
tiga pendorong utama: kemajuan teknologi, khususnya ICT, meningkatnya jumlah perjanjian perdagangan bebas
antar negara, baik secara bilateral dan multilateral (seperti dalam konteks ASEAN, atau antara ASEAN dan UE),
APEC, NAFTA, dan banyak lainnya), dan dunia semakin terintegrasi secara sosial dan budaya. Selain itu, banyak
produk tradisional di Indonesia seperti alas kaki, tekstil dan garmen, serta furnitur banyak diminati oleh negara-
negara maju.

27

Anda mungkin juga menyukai