Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Industri tekstil dan produk tekstil atau lebih dikenal dengan industri TPT adalah

salah satu industri perintis dan tulang punggung manufaktur Indonesia. Industri TPT

juga merupakan salah satu industri padat karya yang banyak menyumbang peningkatan

yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Posisi strategis

industri ini semakin tampak nyata jika ditinjau dari sisi kontribusinya terhadap

perekonomian khususnya dalam bentuk pendapatan ekspor.

Namun, sejak penghapusan kuota atau berakhirnya perjanjian tekstil dan garmen

(ATC/ Agreement on Textile and Clothing) sejak 1 Januari 2005, perdagangan tekstil

dan garmen dikembalikan sesuai perjanjian pasar bebas sehingga dibebaskan dari

hambatan-hambatan non-tarif terutama kuota. Dampak penghapusan kuota tersebut

menyebabkan semakin banyaknya negara yang bersaing secara bebas untuk mengisi

pasar TPT dunia, terutama untuk dua pasar utama yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni

Eropa (UE). Hal ini membawa implikasi positif maupun negatif bagi semua negara yang

berkepentingan termasuk Indonesia. perubahan pangsa pasar ekspor TPT pasca

penghapusan kuota di pasar AS dan Eropa terlihat seperti pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.

Makin sulitnya produk TPT memasuki pasar dunia karena daya saing menurun

terutama dengan munculnya negara-negara pesaing baru, sehingga nilai ekspor

Indonesia cenderung stagnan. Jika sebelum pemberlakuan penghapusan kuota pangsa

pasar TPT Indonesia sebesar 6%, maka sejak tahun 2007 sampai tahun 2013 pangsa

1
2

pasar produk TPT Indonesia stagnan diangka 2%, bahkan tahun 2014 dan 2015

menurun menjadi 1,85%, hal ini berlanjut sampai akhir tahun 2016 menjadi 1,65%

seperti pada Tabel 1.3.

Tabel 1.1 Perubahan Pangsa Ekspor TPT Pasca Penghapusan Kuota AS

(Sumber: Teknopak Advisor, 2012)

Tabel 1.2 Perubahan Pangsa Ekspor TPT Pasca Penghapusan Kuota Uni Eropa

(Sumber: Teknopak Advisor, 2012)


3

Tabel 1.3 Pangsa Pasar TPT Dunia


Negara Pangsa Pasar
China 30%
Hongkong 6%
Italy 6%
Jerman 4%
India 3%
Turki 3%
AS 3%
Perancis 3%
Bangladesh 3%
Belgia 3%
Belanda 2%
Korea Selatan 2%
Vietnam 2%
Spanyol 2%
Pakistan 2%
China Taipei 2%
Inggris 2%
Vietnam 2%
Indonesia 1,65%
Jepang 1%
Thailand 1%
(Sumber: International Trade Statistics, 2016)

Hal ini mengakibatkan dominasi peran industri TPT terhadap total pendapatan

ekspor Indonesia sejak satu dekade terakhir ini semakin menurun. Seperti pada Gambar

1.1 berikut:
4

13.8
12.8
12
10.6
9.5 9.4 9 8.6 8.8
8.4 8.2 8.17

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Sumber: Statistik Ekspor Impor Industri Indonesia, 2016

Gambar 1.1 Kontribusi Ekspor TPT Terhadap Total Ekspor Indonesia (%)

142

Jatim Lainnya Banten


5% 5% 6%
Jateng
9% DKI
23%
63

Jabar
26 52%
17 14 13

Banten DKI Jabar Jateng Jatim Lainnya

Sumber: Kementrian Perindustrian, 2012

Gambar 1.2 Jumlah Perusahaan Eksportir Produk TPT di Indonesia


5

Sejumlah masalah yang menekan industri TPT baik dari sisi permintaan maupun

sisi penawaran hanya meninggalkan 10% pelaku industri TPT dibandingkan jumlah

pelaku industri TPT di periode 1990-an. Berdasarkan Gambar 1.2 di atas, Jawa Barat

menjadi provinsi dengan jumlah perusahaan eksportir produk TPT terbesar yaitu 142

perusahaan atau 52%, hal ini dapat dikatakan bahwa industri TPT di Jawa Barat dapat

menggambarkan industri TPT di Indonesia (API).

Penurunan industri TPT di Indonesia juga terjadi di industri TPT Jawa Barat.

Gambar 1.3 berikut menunjukkan data perkembangan nilai dan pertumbuhan ekspor

TPT selama 5 tahun terakhir.

Sumber: Bank Indonesia, 2016


Gambar 1.3 Ekspor TPT Jawa Barat

Pembahasan kinerja perusahaan pada industri yang sedang dalam siklus

penurunan (decline) merupakan situasi yang unik dan menarik serta menjadi perhatian

utama baik bagi praktisi maupun akademisi (Hansen, 2014). McKinley et al. (2013)

menjelaskan bahwa perusahaan dalam merespon kondisi industri yang menurun adalah
6

dengan menjadi lebih inovatif dan memperkenalkan perubahan dalam organisasi dan

atau produk dalam rangka untuk melawan penurunan.

Perusahaan inovatif adalah perusahaan yang lebih mungkin untuk membuat dan

atau mengadopsi produk, proses, dan sistem bisnis yang baru dalam operasinya.

Beberapa literatur memberikan bukti bahwa perusahaan yang lebih inovatif memiliki

kinerja yang meningkat (Hansen, 2014; Atalay et al., 2013; Rubera dan Kirca, 2012)

dan hal ini diklaim bahwa inovasi merupakan salah satu mekanisme yang paling penting

untuk menghadapi persaingan (Hansen, 2014; Gunday et al., 2013; Atalay et al., 2013;

Uzkurt et al., 2012). Namun, sebagian besar penelitian dilakukan pada kondisi ekonomi

"normal" bukan pada saat perusahaan menghadapi turbulensi ekstrim menurun.

(Sumber: Kementrian Perindustrian, 2015)

Gambar 1.4 Persentase Jumlah Mesin Industri TPT di Jawa Barat


Usia di atas 20 Tahun (%)

Rendahnya inovasi dalam industri TPT di Jawa Barat salah satunya dapat dilihat

dari umur mesin industri TPT yang tua. Menurut Kementrian Perindustrian dan Asosiasi

Perstektilan Indonesia (API) tuanya umur mesin menjadi salah satu isu utama dalam
7

industri TPT di Jawa barat yang menyebabkan penurunan produktivitas dan juga

menunjukan ketertinggalan teknologi.

Penurunan daya saing berbasis pada kualitas diyakini dapat didorong dengan

kegiatan Research & Development (R&D), baik melalui ongkos yang rendah atau

produk yang berkualitas. Kegiatan R&D yang diarahkan pada perbaikan proses

produksi (produktivitas) dapat menekan ongkos, sedangkan R&D yang diarahkan pada

pengembangan produk baru dapat menghasilkan produk yang lebih baik. Dengan

demikian aktivitas R&D dapat ditujukan sekaligus mengembangkan produk dan proses

produksi. Namun kenyataannya, aktivitas R&D dalam industri TPT di Jawa Barat masih

sangat rendah (API, 2014).

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan

manajemen strategi khususnya strategi manufaktur cenderung mencapai kinerja yang

lebih tinggi dibanding dengan yang tidak (Sigh & Mahmood, 2014; Cay & Yang, 2014;

Ward & Durray, 2000; Leong et al., 1990). Amaoko-Gyampah & Acquaah (2008)

berargumen bahwa terdapat hubungan langsung antara strategi manufaktur dengan

kinerja perusahaan. Miltenburg (2008) menyarankan bahwa perusahaan yang

menerapkan strategi manufaktur cenderung mampu mencapai kinerja finasial yang

lebih tinggi. Kinerja perusahaan yang positif berkaitan dengan peran manajer dalam

pengambilan keputusan strategis (Swamidass & Newell, 1987). Jaminan kualitas dan

kemampuan perusahaan untuk memberikan produk dan layanan mereka juga ditemukan

secara signifikan berhubungan dengan kinerja perusahaan (Williams et al., 1995).

Prosedur operasi canggih dan kemampuan perusahaan cenderung untuk membangun

proses pengiriman yang efisien; biaya operasi rendah menghasilkan keunggulan


8

kompetitif dan meningkatkan kinerja perusahaan (Day, 1994). Namun demikian, tidak

ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara perusahaan menggunakan campuran

(efisiensi dan fleksibilitas) strategi dan perusahaan menggunakan strategi tunggal

efisiensi atau fleksibilitas dan kinerja bisnis mereka (Ebben & Johnson, 2005). Selain

itu kinerja perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada strategi manufaktur;

melainkan juga tergantung pada konfigurasi strategi manufaktur dan interaksi

konfigurasi strategis (Popovska & Boer, 2008).

Hasil studi empiris Schroeder et. al. (1986) dan Swamidass (1986) menemukan

bahwa pemahaman manajer terhadap strategi manufaktur sangatlah minim. Selama ini

proses implementasi strategi manufaktur dalam perusahaan sering diartikan sebagai

aktivitas rutin, standar, dan tidak mengairahkan manufaktur hanya bertumpu pada

teknologi, strategi fleksibilitas dan pencapaian efisiensi (biaya), atau lebih bersifat

teknis dan otomatis.

Paradigma tersebut menyebabkan tidak adanya sebuah dialektika manufaktur

yang menantang manajer untuk berkecimpung dalam perusahaan. Elliyanti (1990)

menggungkapkan bahwa manufacturing kurang mengundang minat orang-orang

berbakat serta mempunyai kemampuan dan minat besar terhadap manajemen.

Permasalahan tersebut hanya dapat diatasi melalui mekanisme yang menggabungkan

proses manufaktur dan strategi perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerapan

ekonomi normatif tidak bisa dilakukan secara sekuler melainkan dengan menggunakan

pendekatan komprehensif dan sinergis (Ghofar, 2004).

Daya saing industri TPT dapat dilihat dari berbagai aspek yakni daya saing

berbasis harga dan daya saing yang didasarkan kualitas. Daya saing harga, industri TPT
9

di Indonesia begitu juga di Jawa Barat semakin kalah karena meningkatnya struktur

biaya. Kenaikan struktur biaya yang dihadapi oleh industri TPT antara lain kenaikan

upah minimum propinsi (UMP), kenaikan harga BBM akibat kebijakan pengurangan

subsidi BBM, kenaikan tarif dasar listrik (API, 2014). Kontribusi biaya energi di sektor

industri hulu TPT Jawa Barat (fiber making/ serat, spinning/ pemintalan, dan weaving/

tenun) cukup tinggi menyebabkan sektor ini sangat sensitive terhadap terhadap

perubahan harga energi. Sedangkan industri hilir seperti garment dan produk tekstil

lainnya lebih sensitive terhadap perubahan upah tenaga kerja (UMP).

(Sumber: Kementrian Perindustrian, 2015)

Gambar 1.5 Struktur Biaya diIndustri TPT di Jawa Barat

Beberapa literatur menyarankan bahwa untuk meningkatkan kinerja perusahaan

dengan menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM adalah pendekatan

perbaikan kualitas yang sistematis untuk perluasan manajemen perusahaan dengan


10

tujuan meningkatkan kinerja dalam hal kualitas, produktivitas, kepuasan pelanggan, dan

profitabilitas. Sejak TQM dipraktekkan oleh banyak perusahaan diseluruh dunia selama

dekade terakhir ini, TQM telah mendapatkan perhatian banyak peneliti dari berbagai

bidang. Sementara banyak kisah sukses berhubungan dengan Praktek TQM, beberapa

praktek TQM juga telah gagal, dari beberapa penulis (misalnya, Bohan, 1998; Masters,

1996; Whalen and Rahim, 1994; McCabe and Wilkinson, 1998; Taylor and Wright,

2003).

Namun, hasil penelitian tentang hubungan praktek-praktek TQM dan kinerja

perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda (seperti; Kaynak, 2003; Nair, 2006;

York and Miree, 2004; Prajogo and Sohal, 2004), maka masih dibutuhkan pengujian

kembali hubungan tersebut. Sehingga penelitian replikasi hubungan TQM dengan

kinerja perusahaan masih menarik untuk dilakukan. Karena penelitian replikasi ini

berkontribusi untuk generalisasi empiris dan pengembangan pengetahuan. Konsistensi

hasil berbagai penelitian dengan menggunakan berbagai metodologi akan memberikan

dukungan yang kuat untuk generalisasi suatu hasil penelitian.

Perbedaan hasil penelitian tentang hubungan TQM dengan Inovasi juga masih

membutuhkan dilakukannya pengujian empiris kembali. Argumentasi hubungan positif

antara TQM dengan inovasi merupakan temuan dari Dean & Evans (1994), Tang

(1998), Projogo & Sohal (2003b, 2004, 2006). Argumentasi di sisi yang lain yang

menolak hubungan positif TQM dengan Inovasi merupakan temuan dari penelitian

Slater & Naver (1998), Wind & Mahajan (1997) dan Prajogo & Sohal (2003a).

Perusahaan-perusahaan ekportir TPT belum banyak yang memiliki sertifikat

strandar internasional seperti ISO, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan


11

di industri TPT masih kurang dalam mengaplikasikan TQM. Data pada Tabel 1.4.

menunjukkan perusahaan-perusahaan industri TPT yang telah mendapat sertifikat

standar internasional.

Tabel 1.4 Perusahaan yang Memiliki Sertifikat Standar Qualitas Internasional

Sumber: Kementrian Perindustrian, 2012

Literatur juga mengungkapkan bahwa kinerja perusahan dapat ditingkatkan

dengan mempraktekkan Lean Manufacturing (LM). Lean Manufacturing merupakan

konsep proses perbaikan pada manajemen produksi yang memfokuskan pada

pengurangan waste atau segala sesuatu yang tidak memberikan nilai bagi produk (Shah

& Ward, 2003). Pengujian empiris hubungan Lean Manufacturing dengan kinerja

manufaktur masih dibutuhkan karena literatur tentang hubungan kedua variabel ini

masih jarang ditemukan terutama dengan setting penelitian di Indonesia.


12

Konsep ini merupakan generalisasi dari konsep Toyota Production System (TPS)

dengan Just In Time-nya. Pada kenyataannya implementasi Lean Manufacturing selalu

bersamaan dengan TQM karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan.

Umumnya Lean Manufacturing disebut juga sebuah proses peningkatan

berkesinambungan (continuous improvement process) dengan tahapan yaitu (1)

identifikasi waste dengan alat Value Stream Mapping, (2) Analisa waste dan analisis

akar penyebabnya dengan menggunakan alat identifikasi permasalahan seperti FMES

(Failure Mode, Effect Analysis) atau paling sederhana dengan diagram Ishikawa

(Fishbone Diagram) dan terakhir (3) Penyelesaian akar permasalahan dan mengulangi

dari tahapan 1 (Womack et al., 2007).

Lean Manufacturing bisa dimasukan kedalam operasional maupun strategis

dengan tujuan lean toolbox dan become lean (Pettersen, 2009). Pada tataran strategis

dengan tujuan become lean atau agile, maka perusahaan pada lingkungan penuh tekanan

dan turbulensi pasar maka dengan menjadi lean, peningkatan praktek lean telah

dibuktikan dan kelangsungan hidup perusahaan yang membutuhkan praktek lean (Yusuf

& Adeleye, 2002). Untuk menjadi lean maka perusahaan harus menetapkan Lean

Manufacturing dalam strategis dan operasionalnya dalam eliminasi dan pengurangan

waste.

Fenomena Lean Manufacturing pada industri TPT di Jawa Barat ditunjukkan

oleh pemborosan yang tinggi dalam penangganan logistik. Tingginya biaya logistik

terutama karena kurangnya infrastruktur pelabuhan yang tidak mewadai dan tingginya

biaya terminal handling. Hal ini terjadi karena sebagian besar bahan baku untuk

industri hilir TPT di Jawa Barat ternyata berasal dari impor, yang seharusnya di supply
13

oleh industri hulu TPT di Jawa Barat. Pemborosan utama berikutnya di sumbang oleh

masih rendahnya tngkat utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat. Dalam 4 tahun

terakhir, utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat menunjukkan trend yang menurun

(API, 2017). Hasil wawancara dengan Ketua API mengungkap bahwa penurunan

utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat yang paling tajam terjadi pada industri hulu

yaitu industri serat dan kain. Utilisasi fasilitas industri serat yang pada tahun 2016 masih

diangka 70% menurun cukup tajam menjadi 65%, sedangkan pada industri kain pada

tahun 2016 tingkat utilisasi fasilitas industri di angka 60 persi menurun tajam menjadi

50%. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Asosiasi Serat dan Benang Filamen

Indonesia (APsyFI).

Hines et al, 2004 juga berpendapat bahwa Lean Manufacturing dikategorikan

dalam dua level, yaitu level strategis dan level operasional. Lean thinking berada pada

level strategis, yang merupakan konsep yang dikembangkan dari teknik shop floor yang

didalamnya tidak hanya memasukkan fungsi manufacturing saja tetapi juga

memasukkan seluruh fungsi organisasi. Sedankan lean Production berada pada level

operasional dimana sangat membutuhkan pemahaman akan lean secara menyeluruh

dalam penerapan tools dan stratgei yang tepat untuk memberikan nilai bagi konsumen.

Lean production dijabarkan dalam 5 elemen, yaitu lean manufacturing, lean product

development, supply chain coordination, customer distribution, dan lean enterprise

management. Akan tetapi, beberapa peneliti memilih fokus pada lean manufacturing

karena lean manufacturing mampu memberikan dampak yang kuat untuk menimbulkan

perubahan terhadap pekerjaan di shop floor.


14

Kemampuan perusahaan dalam mengimplementasikan Lean Manufacturing

berbeda-beda, dengan hasil kegagalan maupun keberhasilan implementasi. Aktivitas

dalam implementasi lean mulai dari identifikasi value, identifikasi value stream,

peningkatan aliran produk/layanan, customer pull (JIT), kembali ketahap awal (Nave,

2002). Nampaknya sederhana namun memerlukan komitmen dari top manajemen dan

pelaksanaan yang berkesinambungan pada tingkatan manajemen menengah maupun

bawah.

Literatur yang menunjukkan bahwa Lean Manufacturing dapat meningkatkan

kinerja perusahaan antara lain shah & Ward (2003), Fullerton et al., (2003), dan Eroglu

& Hoffer, (2011). Walapun beberapa pengujian empirik dari penelitian terdahalu ada

yang menyatakan tidak adanya hubungan Lean Manufacturing dengan kinerja

perusahaan yaitu Sakabira et al., (1997), Callen et al., (200) dan Swink et al., (2005).

Hasil temuan beberapa ahli yang lain menunjukkan hasil yang campuran, artinya

beberapa dimensi Lean Manufacturing memiliki hubungan terhadap peningkatan

kinerja perusahaan sebagian lain dimensinya tidak, antara lain Kannan & Tan (2005,

Jayaram et al., (2008), dan Cannon, (2008). Hal ini menunjukkan bahwa kajian

hubungan Lean Manufacturing dengan Kinerja Perusahaan masih menarik untuk

dilakukan pengujian empiris disaat ini sebagai dukungan untuk generalisasi hubungan

tersebut.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

malakukan penelitian dengan judul “Lean Manufacturing dan Total Quality

Management Sebagai Daya Penggerak Kinerja Perusahaan Melalui Inovasi dan Strategi

Manufaktur: Studi Pada Eksportir TPT Jawa Barat”


15

1.2 Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka identifikasi masalah

dalam penelitian ini dimulai dari adanya penurunan industri TPT di Indonesia sejak

berlakunya penghapusan kuota tahun 2005. Pangsa pasar industri TPT Indonesia di

pasar dunia mengalami stagnan Sejak tahun 2007 sampai tahun 2013 pangsa pasar

produk TPT Indonesia semula 4% stagnan diangka 2%. Bahkan tahun 2014 dan 2015

menurun menjadi 1,85%, hal ini berlanjut sampai akhir tahun 2016 menjadi 1,65%.

(Kementrian Perindustrian, 2016). Hal ini mengakibatkan dominasi peran atau

kontribusi ekspor industri TPT terhadap total ekspor Indonesia dari tahun ketahun

cenderung menurun. Kondisi industri TPT Indonesia bisa digambarkan oleh industri

TPT di Jawa Barat karena jumlah perusahaan eksportir TPT sebagian besar berada di

Jawa barat yaitu 142 perusahaan atau 52%. Kinerja ekspor TPT Jawa Barat juga

menunjukkan penurunan seperti halnya yang terjadi di Indonesia.

Kinerja perusahaan yang berada pada industri yang sedang menurun sangat unik

dan menarik untuk diteliti, sehingga diperoleh gambaran penyebab dan solusinya.

Beberapa literatur menghubungkan inovasi dengan kinerja perusahaan namun tidak

pada industri yang sedang menurun, secara fakta bahwa inovasi industri TPT di Jawa

Barat masih rendah, hal ini bisa diukur dengan penggunaan teknologi atau mesin yang

berumur lebih dari 20 tahun. Penggunaan mesin tua mengakibatkan kualitas produk

TPT menjadi menurun karena negara-negara pemain baru yang masuk pada industri

TPT menggunakan teknologi baru.

Inovasi dapat didorong dengan kegiatan Research & Development (R&D) yang

diarahkan pada perbaikan proses produksi dan pengembangan produk baru. Namun
16

kenyataannya, aktivitas R&D dalam industri TPT masih sangat rendah (API). Beberapa

literatur yang lain menghubungkan kinerja dengan strategi manufaktur. Secara empiris

berdasarkan laporan Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API) pada kajian pengembangan

industri TPT menyebutkan bahwa menurunnya kinerja industri TPT diakibatkan oleh

perubahan struktur biaya yaitu adanya peningkatan upah minimum propinsi (UMP),

naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik. Kinerja perusahaan yang menurun juga

disebabkan oleh perusahaan-perusahaan di industri TPT masih kurang dalam praktek-

praktek manufacturing modern seperti penerapan Total Quality Management (TQM)

atau penerapan Lean Manufacturing (LM).

Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya pada variabel-variabel berikut

yaitu, Lean Manufacturing, Total Quality Management, Inovasi, Strategi Manufaktur

dan Kinerja perusahaan. Unit analisis juga dibatasi hanya pada eksportir TPT, yang

dimaksud dengan eksportir TPT adalah perusahaan manufaktur di industri Tekstil dan

Produk Tekstil yang melakukan ekspor.

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang di uraikan di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan Lean Manufacturing, Total Quality Management, Inovasi,

Strategi Manufaktur, dan Kinerja Perusahaan Eksportir TPT Jawa Barat.

2. Bagaimana pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap

Inovasi pada Eksportir TPT Jawa Barat.

3. Bagaimana pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap

Strategi Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa Barat.


17

4. Bagaimana pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap

Kinerja Perusahaan pada Eksportir TPT Jawa Barat.

5. Bagaimana pengaruh Inovasi dan Strategi Manufaktur terhadap Kinerja Perusahaan

pada Eksportir TPT Jawa Barat.

6. Bagaimana pengaruh Lean Manufacturing berpengaruh terhadap Kinerja

Perusahaan melalui Inovasi dan Strategi Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa

Barat.

7. Bagaimana pengaruh Total Quality Management terhadap kinerja melalui Inovasi

dan Strategi Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa Barat.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis:

1. Penerapan Lean Manufacturing, Total Quality Management, Inovasi, Strategi

Manufaktur, dan Kinerja Perusahaan Eksportir TPT Jawa Barat.

2. Pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap Inovasi

pada Eksportir TPT Jawa Barat.

3. Pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap Strategi

Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa Barat.

4. Pengaruh Lean Manufacturing dan Total Quality Management terhadap Kinerja

Perusahaan pada Eksportir TPT Jawa Barat.

5. Pengaruh Inovasi dan Strategi Manufaktur terhadap Kinerja Perusahaan pada

Eksportir TPT Jawa Barat.

6. Pengaruh Lean Manufacturing berpengaruh terhadap Kinerja Perusahaan melalui

Inovasi dan Strategi Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa Barat.


18

7. Pengaruh Total Quality Management terhadap kinerja melalui Inovasi dan Strategi

Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa Barat.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

pengembangan khazanah ilmu bidang manajemen operasi dan manajemen

strategik khususnya untuk mengisi gap of knowledge belum adanya studi

terdahulu yang mengintegrasikan faktor-faktor untuk meningkatkan Perusahaan

pada industri yang sedang menurun secara komprehensif.

b. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat sebagai acuan bagi peneliti

yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Aplikatif

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah

yaitu Kementrian Perindustrian berkaitan dengan program restrukturisasi. Begitu

juga dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat berkaitan

dengan kajian pengembangan industri TPT di Jawa Barat yang rencananya akan

dilakukan pengembangan industri TPT di Priangan Timur (Majalengka, Subang,

Kuningan, Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan

bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam penerapan Lean Manufacturing

dan Total Quality Management serta menentukan Inovasi dan strategi manufaktur

yang lebih baik untuk mencapai kinerja perusahaan yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai