PENDAHULUAN
Industri tekstil dan produk tekstil atau lebih dikenal dengan industri TPT adalah
salah satu industri perintis dan tulang punggung manufaktur Indonesia. Industri TPT
juga merupakan salah satu industri padat karya yang banyak menyumbang peningkatan
yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Posisi strategis
industri ini semakin tampak nyata jika ditinjau dari sisi kontribusinya terhadap
Namun, sejak penghapusan kuota atau berakhirnya perjanjian tekstil dan garmen
(ATC/ Agreement on Textile and Clothing) sejak 1 Januari 2005, perdagangan tekstil
dan garmen dikembalikan sesuai perjanjian pasar bebas sehingga dibebaskan dari
menyebabkan semakin banyaknya negara yang bersaing secara bebas untuk mengisi
pasar TPT dunia, terutama untuk dua pasar utama yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni
Eropa (UE). Hal ini membawa implikasi positif maupun negatif bagi semua negara yang
penghapusan kuota di pasar AS dan Eropa terlihat seperti pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.
Makin sulitnya produk TPT memasuki pasar dunia karena daya saing menurun
pasar TPT Indonesia sebesar 6%, maka sejak tahun 2007 sampai tahun 2013 pangsa
1
2
pasar produk TPT Indonesia stagnan diangka 2%, bahkan tahun 2014 dan 2015
menurun menjadi 1,85%, hal ini berlanjut sampai akhir tahun 2016 menjadi 1,65%
Tabel 1.2 Perubahan Pangsa Ekspor TPT Pasca Penghapusan Kuota Uni Eropa
Hal ini mengakibatkan dominasi peran industri TPT terhadap total pendapatan
ekspor Indonesia sejak satu dekade terakhir ini semakin menurun. Seperti pada Gambar
1.1 berikut:
4
13.8
12.8
12
10.6
9.5 9.4 9 8.6 8.8
8.4 8.2 8.17
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 1.1 Kontribusi Ekspor TPT Terhadap Total Ekspor Indonesia (%)
142
Jabar
26 52%
17 14 13
Sejumlah masalah yang menekan industri TPT baik dari sisi permintaan maupun
sisi penawaran hanya meninggalkan 10% pelaku industri TPT dibandingkan jumlah
pelaku industri TPT di periode 1990-an. Berdasarkan Gambar 1.2 di atas, Jawa Barat
menjadi provinsi dengan jumlah perusahaan eksportir produk TPT terbesar yaitu 142
perusahaan atau 52%, hal ini dapat dikatakan bahwa industri TPT di Jawa Barat dapat
Penurunan industri TPT di Indonesia juga terjadi di industri TPT Jawa Barat.
Gambar 1.3 berikut menunjukkan data perkembangan nilai dan pertumbuhan ekspor
penurunan (decline) merupakan situasi yang unik dan menarik serta menjadi perhatian
utama baik bagi praktisi maupun akademisi (Hansen, 2014). McKinley et al. (2013)
menjelaskan bahwa perusahaan dalam merespon kondisi industri yang menurun adalah
6
dengan menjadi lebih inovatif dan memperkenalkan perubahan dalam organisasi dan
Perusahaan inovatif adalah perusahaan yang lebih mungkin untuk membuat dan
atau mengadopsi produk, proses, dan sistem bisnis yang baru dalam operasinya.
Beberapa literatur memberikan bukti bahwa perusahaan yang lebih inovatif memiliki
kinerja yang meningkat (Hansen, 2014; Atalay et al., 2013; Rubera dan Kirca, 2012)
dan hal ini diklaim bahwa inovasi merupakan salah satu mekanisme yang paling penting
untuk menghadapi persaingan (Hansen, 2014; Gunday et al., 2013; Atalay et al., 2013;
Uzkurt et al., 2012). Namun, sebagian besar penelitian dilakukan pada kondisi ekonomi
Rendahnya inovasi dalam industri TPT di Jawa Barat salah satunya dapat dilihat
dari umur mesin industri TPT yang tua. Menurut Kementrian Perindustrian dan Asosiasi
Perstektilan Indonesia (API) tuanya umur mesin menjadi salah satu isu utama dalam
7
industri TPT di Jawa barat yang menyebabkan penurunan produktivitas dan juga
Penurunan daya saing berbasis pada kualitas diyakini dapat didorong dengan
kegiatan Research & Development (R&D), baik melalui ongkos yang rendah atau
produk yang berkualitas. Kegiatan R&D yang diarahkan pada perbaikan proses
produksi (produktivitas) dapat menekan ongkos, sedangkan R&D yang diarahkan pada
pengembangan produk baru dapat menghasilkan produk yang lebih baik. Dengan
demikian aktivitas R&D dapat ditujukan sekaligus mengembangkan produk dan proses
produksi. Namun kenyataannya, aktivitas R&D dalam industri TPT di Jawa Barat masih
lebih tinggi dibanding dengan yang tidak (Sigh & Mahmood, 2014; Cay & Yang, 2014;
Ward & Durray, 2000; Leong et al., 1990). Amaoko-Gyampah & Acquaah (2008)
lebih tinggi. Kinerja perusahaan yang positif berkaitan dengan peran manajer dalam
pengambilan keputusan strategis (Swamidass & Newell, 1987). Jaminan kualitas dan
kemampuan perusahaan untuk memberikan produk dan layanan mereka juga ditemukan
kompetitif dan meningkatkan kinerja perusahaan (Day, 1994). Namun demikian, tidak
efisiensi atau fleksibilitas dan kinerja bisnis mereka (Ebben & Johnson, 2005). Selain
Hasil studi empiris Schroeder et. al. (1986) dan Swamidass (1986) menemukan
bahwa pemahaman manajer terhadap strategi manufaktur sangatlah minim. Selama ini
aktivitas rutin, standar, dan tidak mengairahkan manufaktur hanya bertumpu pada
teknologi, strategi fleksibilitas dan pencapaian efisiensi (biaya), atau lebih bersifat
proses manufaktur dan strategi perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerapan
ekonomi normatif tidak bisa dilakukan secara sekuler melainkan dengan menggunakan
Daya saing industri TPT dapat dilihat dari berbagai aspek yakni daya saing
berbasis harga dan daya saing yang didasarkan kualitas. Daya saing harga, industri TPT
9
di Indonesia begitu juga di Jawa Barat semakin kalah karena meningkatnya struktur
biaya. Kenaikan struktur biaya yang dihadapi oleh industri TPT antara lain kenaikan
upah minimum propinsi (UMP), kenaikan harga BBM akibat kebijakan pengurangan
subsidi BBM, kenaikan tarif dasar listrik (API, 2014). Kontribusi biaya energi di sektor
industri hulu TPT Jawa Barat (fiber making/ serat, spinning/ pemintalan, dan weaving/
tenun) cukup tinggi menyebabkan sektor ini sangat sensitive terhadap terhadap
perubahan harga energi. Sedangkan industri hilir seperti garment dan produk tekstil
tujuan meningkatkan kinerja dalam hal kualitas, produktivitas, kepuasan pelanggan, dan
profitabilitas. Sejak TQM dipraktekkan oleh banyak perusahaan diseluruh dunia selama
dekade terakhir ini, TQM telah mendapatkan perhatian banyak peneliti dari berbagai
bidang. Sementara banyak kisah sukses berhubungan dengan Praktek TQM, beberapa
praktek TQM juga telah gagal, dari beberapa penulis (misalnya, Bohan, 1998; Masters,
1996; Whalen and Rahim, 1994; McCabe and Wilkinson, 1998; Taylor and Wright,
2003).
perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda (seperti; Kaynak, 2003; Nair, 2006;
York and Miree, 2004; Prajogo and Sohal, 2004), maka masih dibutuhkan pengujian
kinerja perusahaan masih menarik untuk dilakukan. Karena penelitian replikasi ini
Perbedaan hasil penelitian tentang hubungan TQM dengan Inovasi juga masih
antara TQM dengan inovasi merupakan temuan dari Dean & Evans (1994), Tang
(1998), Projogo & Sohal (2003b, 2004, 2006). Argumentasi di sisi yang lain yang
menolak hubungan positif TQM dengan Inovasi merupakan temuan dari penelitian
Slater & Naver (1998), Wind & Mahajan (1997) dan Prajogo & Sohal (2003a).
di industri TPT masih kurang dalam mengaplikasikan TQM. Data pada Tabel 1.4.
standar internasional.
pengurangan waste atau segala sesuatu yang tidak memberikan nilai bagi produk (Shah
& Ward, 2003). Pengujian empiris hubungan Lean Manufacturing dengan kinerja
manufaktur masih dibutuhkan karena literatur tentang hubungan kedua variabel ini
Konsep ini merupakan generalisasi dari konsep Toyota Production System (TPS)
bersamaan dengan TQM karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan.
identifikasi waste dengan alat Value Stream Mapping, (2) Analisa waste dan analisis
(Failure Mode, Effect Analysis) atau paling sederhana dengan diagram Ishikawa
(Fishbone Diagram) dan terakhir (3) Penyelesaian akar permasalahan dan mengulangi
dengan tujuan lean toolbox dan become lean (Pettersen, 2009). Pada tataran strategis
dengan tujuan become lean atau agile, maka perusahaan pada lingkungan penuh tekanan
dan turbulensi pasar maka dengan menjadi lean, peningkatan praktek lean telah
dibuktikan dan kelangsungan hidup perusahaan yang membutuhkan praktek lean (Yusuf
& Adeleye, 2002). Untuk menjadi lean maka perusahaan harus menetapkan Lean
waste.
oleh pemborosan yang tinggi dalam penangganan logistik. Tingginya biaya logistik
terutama karena kurangnya infrastruktur pelabuhan yang tidak mewadai dan tingginya
biaya terminal handling. Hal ini terjadi karena sebagian besar bahan baku untuk
industri hilir TPT di Jawa Barat ternyata berasal dari impor, yang seharusnya di supply
13
oleh industri hulu TPT di Jawa Barat. Pemborosan utama berikutnya di sumbang oleh
masih rendahnya tngkat utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat. Dalam 4 tahun
terakhir, utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat menunjukkan trend yang menurun
(API, 2017). Hasil wawancara dengan Ketua API mengungkap bahwa penurunan
utilisasi fasilitas industri TPT di Jawa Barat yang paling tajam terjadi pada industri hulu
yaitu industri serat dan kain. Utilisasi fasilitas industri serat yang pada tahun 2016 masih
diangka 70% menurun cukup tajam menjadi 65%, sedangkan pada industri kain pada
tahun 2016 tingkat utilisasi fasilitas industri di angka 60 persi menurun tajam menjadi
50%. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Asosiasi Serat dan Benang Filamen
Indonesia (APsyFI).
dalam dua level, yaitu level strategis dan level operasional. Lean thinking berada pada
level strategis, yang merupakan konsep yang dikembangkan dari teknik shop floor yang
memasukkan seluruh fungsi organisasi. Sedankan lean Production berada pada level
dalam penerapan tools dan stratgei yang tepat untuk memberikan nilai bagi konsumen.
Lean production dijabarkan dalam 5 elemen, yaitu lean manufacturing, lean product
management. Akan tetapi, beberapa peneliti memilih fokus pada lean manufacturing
karena lean manufacturing mampu memberikan dampak yang kuat untuk menimbulkan
dalam implementasi lean mulai dari identifikasi value, identifikasi value stream,
peningkatan aliran produk/layanan, customer pull (JIT), kembali ketahap awal (Nave,
2002). Nampaknya sederhana namun memerlukan komitmen dari top manajemen dan
bawah.
kinerja perusahaan antara lain shah & Ward (2003), Fullerton et al., (2003), dan Eroglu
& Hoffer, (2011). Walapun beberapa pengujian empirik dari penelitian terdahalu ada
perusahaan yaitu Sakabira et al., (1997), Callen et al., (200) dan Swink et al., (2005).
Hasil temuan beberapa ahli yang lain menunjukkan hasil yang campuran, artinya
kinerja perusahaan sebagian lain dimensinya tidak, antara lain Kannan & Tan (2005,
Jayaram et al., (2008), dan Cannon, (2008). Hal ini menunjukkan bahwa kajian
dilakukan pengujian empiris disaat ini sebagai dukungan untuk generalisasi hubungan
tersebut.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
Management Sebagai Daya Penggerak Kinerja Perusahaan Melalui Inovasi dan Strategi
dalam penelitian ini dimulai dari adanya penurunan industri TPT di Indonesia sejak
berlakunya penghapusan kuota tahun 2005. Pangsa pasar industri TPT Indonesia di
pasar dunia mengalami stagnan Sejak tahun 2007 sampai tahun 2013 pangsa pasar
produk TPT Indonesia semula 4% stagnan diangka 2%. Bahkan tahun 2014 dan 2015
menurun menjadi 1,85%, hal ini berlanjut sampai akhir tahun 2016 menjadi 1,65%.
kontribusi ekspor industri TPT terhadap total ekspor Indonesia dari tahun ketahun
cenderung menurun. Kondisi industri TPT Indonesia bisa digambarkan oleh industri
TPT di Jawa Barat karena jumlah perusahaan eksportir TPT sebagian besar berada di
Jawa barat yaitu 142 perusahaan atau 52%. Kinerja ekspor TPT Jawa Barat juga
Kinerja perusahaan yang berada pada industri yang sedang menurun sangat unik
dan menarik untuk diteliti, sehingga diperoleh gambaran penyebab dan solusinya.
pada industri yang sedang menurun, secara fakta bahwa inovasi industri TPT di Jawa
Barat masih rendah, hal ini bisa diukur dengan penggunaan teknologi atau mesin yang
berumur lebih dari 20 tahun. Penggunaan mesin tua mengakibatkan kualitas produk
TPT menjadi menurun karena negara-negara pemain baru yang masuk pada industri
Inovasi dapat didorong dengan kegiatan Research & Development (R&D) yang
diarahkan pada perbaikan proses produksi dan pengembangan produk baru. Namun
16
kenyataannya, aktivitas R&D dalam industri TPT masih sangat rendah (API). Beberapa
literatur yang lain menghubungkan kinerja dengan strategi manufaktur. Secara empiris
industri TPT menyebutkan bahwa menurunnya kinerja industri TPT diakibatkan oleh
perubahan struktur biaya yaitu adanya peningkatan upah minimum propinsi (UMP),
naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik. Kinerja perusahaan yang menurun juga
dan Kinerja perusahaan. Unit analisis juga dibatasi hanya pada eksportir TPT, yang
dimaksud dengan eksportir TPT adalah perusahaan manufaktur di industri Tekstil dan
Perusahaan melalui Inovasi dan Strategi Manufaktur pada Eksportir TPT Jawa
Barat.
7. Pengaruh Total Quality Management terhadap kinerja melalui Inovasi dan Strategi
1. Manfaat Teoritis
b. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat sebagai acuan bagi peneliti
2. Manfaat Aplikatif
juga dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat berkaitan
dengan kajian pengembangan industri TPT di Jawa Barat yang rencananya akan
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan
dan Total Quality Management serta menentukan Inovasi dan strategi manufaktur
yang lebih baik untuk mencapai kinerja perusahaan yang lebih tinggi.