Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kinerja usaha didefinisikan sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu

atau kelompok dalam suatu perusahaan selama jangka waktu tertentu, dari tujuan

organisasi yang telah ditetapkan (Ratnawati, 2020). Menurut pandangan Eniola &

Entebang, (2015) kinerja umumnya digunakan sebagai indeks kesehatan

perusahaan selama periode tertentu. Kinerja mencakup berbagai arti, antara lain

pertumbuhan, kelangsungan hidup, keberhasilan dan daya saing (Ye &

Kulathunga, 2019). Satiti (2020) menyatakan bahwa Kinerja usaha merupakan

gambaran lengkap keadaan perusahaan selama kurun waktu tertentu sebagai

hasil kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang

dimilikinya.

Pengukuran kinerja usaha penting dilakukan untuk mengevaluasi sejauh

mana tujuan dan strategi perusahaan tercapai (Adomako et al., 2016), dengan

melakukan pengukuran kinerja, perusahaan dapat mengetahui sejauh mana

kinerja mereka dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan,

memperbaiki proses bisnis yang belum optimal, serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas operasional perushaan. Shofi et al., (2022) menyatakan bahwa

pengukuran kinerja usaha dilakukan baik dalam aspek financial maupun non-

financial. Selain itu, pengukuran kinerja juga dapat memberikan informasi yang

akurat untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dan mengoptimalkan

penggunaan sumber daya perusahaan. Dengan kata lain, pengukuran kinerja

merupakan bagian penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai

keberhasilan jangka panjang dan mempertahankan posisi kompetitif di pasar

khususnya bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (KMMCB et al.,

2019; Agyapong & Attram, 2019).


2

UMKM memainkan peran vital dalam pembangunan perekonomian di

negara-negara berkembang (Ye & Kulathunga, 2019). UMKM menjadi kunci

sebagian besar bisnis di seluruh dunia dan merupakan kontributor penting bagi

penciptaan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi global (Umogbaimonica et

al., 2018). Pelaku UMKM mewakili sekitar 90% bisnis dan lebih dari 50% pekerjaan

di seluruh dunia (World Bank, 2022). UMKM formal berkontribusi hingga 40% dari

pendapatan nasional (PDB) di negara berkembang. Sementara berdasarakan

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukan

bahwa lebih dari 95% bisnis di wilayah OECD adalah UMKM (Agyapong & Attram,

2019). World Bank (2020) menunjukan bahwa 600 juta pekerjaan akan dibutuhkan

pada tahun 2030, yang menjadikan pengembangan dan pertumbuhan UMKM

sebagai prioritas tinggi bagi banyak pemerintah di seluruh dunia.

ASEAN Investment Report (2022) melaporkan proporsi serapan tenaga

kerja UMKM di Indonesia merupakan yang paling besar di ASEAN yakni mencapai

99% dari keseluruhan unit usaha. Negara seperti Malaysia, Thailand dan

Singapura, keterserapan UMKM hanya sebesar 35%-85%. Data Kementerian

Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada tahun 2021, menunjukan

jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap

Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07% atau Rp8.573,89 triliun. UMKM

mampu menyerap 97% dari total angkatan kerja dan mampu menghimpun hingga

60,4% dari total investasi di Indonesia. Perkembangan ekonomi yang pesat dan

profitabilitas yang lebih tinggi memberikan peluang bagi UMKM untuk menjadi

lebih kompetitif baik di pasar domestik maupun global (Ye & Kulathunga, 2019).
3

Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (2015-2019)

Gambar 1. 1 Pertumbuhan UMKM di Indonesia Tahun 2015-2019

Gambar 1.1 menunjukan pertumbuhan UMKM di Indonesia pada tahun

2015 sampai dengan 2019. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil

dan Menengah pada tahun 2015 menunjukan jumlah UMKM yang ada di Indonesia

berjumlah 59,3 juta, pada tahun 2016 jumlah pelaku UMKM di Indonesia sebesar

61,7 juta, pada tahun 2017 sejumlah 62,9 juta, pada tahun 2018 sejumlah 64,2 juta

dan pada tahun 2019 sejumlah 65,5 juta pelaku usaha. Data tersebut dapat

disimpulkan bahwa jumlah pelaku UMKM di Indonesia selalu mengalami

peningkatan setiap tahun. Namun dengan adanya pandemi pada tahun 2020

mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah UMKM sebesar 61,8 juta, dan pada

tahun 2021 jumlah mengalami peningkatan menjadi 64,2 juta pelaku usaha.

Perkembangan UMKM di Kota Kediri menunjukkan pertumbuhan yang

pesat dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Data Dinas Koperasi dan UKM

Jawa Timur, pada tahun 2022 menunjukan jumlah UMKM Kota Kediri berjumlah

45.629 (Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Timur, 2023). Data Badan Pusat

Statistik (BPS) Kota Kediri melaporkan bahwa tingkat pertumbuhan perekonomian

Kota Kediri pada tahun 2022 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 152,79 triliun, atau naik

3,95% dari periode tahun 2021 (Badan Pusat Statistik Kota Kediri, 2023). Kota
4

Kediri juga merupakan kota dengan potensi ekonomi yang besar dikarenakan

memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita terbesar di Indonesia

dengan nominal Rp 457.980.000 (Badan Pusat Statistik, 2020).

Industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang memiliki dampak

ekonomi yang besar bagi Kota Kediri dengan menyumbang 123,81 triliun dari total

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (BPS Kota Kediri, 2022). Industri

pengolahan ini termasuk produk yang dihasilkan dari olahan pertanian maupun

perkebunan yang didalamnya terdapat industri pengolahan tahu. Industri

pengolahan tahu dipilih karena tahu merupakan produk unggulan yang ada di Kota

Kediri. Berbagai olahan seperti, tahu taqwa, tahu kuning, tahu pong, stik tahu, tahu

walik, dan tahu coklat. Salah satu produk olahan tahu yang menjadi ciri khas Kota

Kediri adalah tahu taqwa. Tahu taqwa merupakan produk berbahan dasar kedelai

yang proses pembuatannya meliputi perendaman, penggilingan, penyaringan,

penggumpalan dan pencetakan. Berbeda dengan tahu seperti biasanya, tahu

taqwa dalam proses penggumpalan atau perebusan dilakukan selama 5 jam dan

ditambahkan kunyit, hal ini yang menjadikan tahu taqwa berbeda dengan tahu

putih.

Sejarah produk olahan tahu dimulai di Kediri sudah ada sejak migrasi

masal masyarakat China pada abad ke-20. Ribuan orang datang dan bermukim

menyebar ke daerah-daerah di Indonesia, termasuk di Kota Kediri. Salah satu

pendiri pertama produk olahan tahu di Kota Kediri adalah Lauw Soen Hoek, atau

yang dikenal dengan nama “Bah Kacung” pada tahun 1912, dan seiring

berjalannya waktu, industri pengolahan tahu di Kota Kediri terus berkembang.

Produksi pengolahan tahu terdapat di Desa Pocanan, Jagalan, Bawang, Pekalan,

serta Tinalan, sehingga menjadikan lokasi tersebut sebagai sentra produksi tahu

atau “Kampung Tahu”. Industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang

mendorong ekonomi dan penyerapan pelaku UMKM. Produk pengolahan tahu


5

dipilih karena tahu merupakan makan pokok dan sebagai sumber protein nabati

utama yang ada di Indonesia, dan merupakan produk unggulan yang ada di Kota

Kediri.

Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kota

Kediri, menunjukan bahwa Industri pengolahan tahu menghasilakan volume

produksi 32.311.300 kg/tahun dan menyumbang nilai ekonomi sebesar Rp

7.159.678.000/tahun (Mustaniroh et al., 2019). Kondisi ini menunjukkan bahwa

usaha tahu dan produk olahannya berkontribusi terhadap pembangunan

perekonomian di Kediri. Industri pengolahan tahu berkomitmen untuk terus

meningkatkan kinerjanya untuk mampu bersaing dengan kompetitornya. Hal ini

membuktikan bahwa kinerja usaha yang kuat bagi pelaku UMKM sangat

dibutuhkan untuk membangun sektor industri yang solid dan perekonomian yang

stabil (Ye & Kulathunga, 2019).

Akan tetapi, dalam kenyataanya masih banyak usaha yang tidak mampu

bertahan karena memiliki kinerja yang buruk. Fenomena yang terjadi menunjukan

bahwa tingkat kegagalan UMKM di Indonesia masih tingggi, 50% sampai 60%

harus menghentikan usahanya dalam 3 tahun pertama (Republika, 2019).

Sementara berdasarkan data Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) pada tahun

2020 tercatat 30 Juta UMKM gulung tikar akibat pandemi Covid-19 atau setara

48% dari jumlah UMKM. Sedangkan hasil survei Bank Indonesia pada Maret 2021,

sebanyak 87,5% UMKM terdampak akibat pandemi dan 93,3% pelaku usaha

sektor tersebut merasakan dampat penurunan omzet penjualan (Bisnis.com,

2021). Kondisi pandemi covid-19 juga mangakibatlan pembatasan wilayah yang

dilakukan oleh Pemerintah Kota Kediri, hal ini berdampak pada turunya omset

penjualan pada industri pengolahan tahu Kota Kediri. Terjadinya kenaiakan harga

kedelai pada tahun 2022 dari Rp.9000 menjadi Rp. 11.200 membuat dilema pelaku

UMKM, kondisi ini diakibatkan karena sumber pemenuhan bahan baku masih
6

diimport. Kondisi keuntungan yang tipis, ditambah dengan kenaikan harga ini

mengkakibtkan banyak usaha industri pengolahan tahu yang memutuskan untuk

menutup usahanya (Kompas,2021). Hal ini menunjukan bahwa masih terjadi

kerentanan bagi UMKM industri pengolahan tahu dalam mempertahankan

stabilitas kinerjanya.

Untuk mendorong stabilitas dan peningkatan kinerja UMKM, Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dan berbagai pemangku

kepentingan berupaya membeberikan stimulus dengan meluncurkan berbagai

kebijakan, seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program PEN

mencakup program bantuan modal usaha seperti Bantuan Produktif Usaha Mikro

(BPUM) dan Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan

(BTPKLWN). Serta bantuan akses keuangan dan pembiayaan seperti Subsidi

Bunga/Margin Non-KUR, Penjaminan Kredit UMKM, Pembiayaan investasi

kepada koperasi melalui LPDB KUMKM, Pajak Penghasilan Final (PPh) UMKM

ditanggung Pemerintah. Bentuk kebijakan lain seperti Implementasi Undang-

Undang Cipta Kerja dibuat agar bisa memberikan perlindungan dan kemudahan

akses perizinan melalui Fasilitas Online Single Submission (OSS), rantai pasok,

pengembangan usaha, pembiayaan, hingga akses pasar bagi pelaku UMKM.

Strategi yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam meningkatkan

kinerja usaha ternyata belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pelaku usaha.

Berdasarkan data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia masih terdapat

46,6 juta atau 77,6% pelaku UMKM belum mampu mengakses pemodalan melalui

lembaga perbankan maupun lembaga non-bank (Kompas, 2021). Dari segi

legalitas Usaha hanya 3,7 Juta atau 5,8% dari 64 juta pelaku yang memiliki Nomor

Induk Berusaha (NIB), hal ini berakibat pada rendahnya pengurusan sertifikat halal

dan Standar Nasional Indonesia (SNI) (Menkop UMK,2022). UMKM yang telah

beradaptasi dengan teknologi jumlahnya masih 20,6 Juta atau sekitar 32% dari
7

pelaku UMKM, sehingga sisanya 68% masih belum memanfaatkan teknologi

dalam operasional bisnis (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2021). Hal ini

mengakibatkan tidak semua UMKM berhasil meningkatkan kinerjanya.

Berbagai kendala dan tantangan dihadapi oleh UMKM dalam

meningkatkan kinerja bisnisnya, seperti masalah konvensional terkait dengan

manajemen perusahaan yang sepenuhnya belum tertangani, sehingga

menyulitkan UMKM untuk bersaing dengan korporasi besar (Hamdana et al.,

2021). Menurut KMMCB et al., (2019); Agyapong & Attram (2019), Buchdadi et al.,

(2020) rendahnya tingkat literasi keuangan, rendahnya akses keuangan terhadap

produk perbankan, dan rendahnya sikap risiko keuangan masih diakui sebagai

kendala utama bagi UMKM. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kinerja usaha pada palaku UMKM adalah dengan meningkatkan

tingkat literasi keuangan (Adomako et al., 2016).

Menurut Kojo Oseifuah, (2010) literasi keuangan yang dimiliki oleh seorang

pengusaha memberikan kontribusi yang berarti bagi keterampilan kewirausahaan

mereka. Pengusaha yang ingin tumbuh perlu merasa percaya diri dengan

kemampuan dalam mengelola keuangannya. Jika manajer tidak paham tentang

keuangan organisasi, hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan perusahaan

untuk mengakses berbagai sumber penyediaa layanan keuangan (Kotze & Smit,

2008). Wise, (2013) memberikan tambahan bahwa literasi keuangan lebih dari

sekadar pemerolehan pengetahuan keuangan, literasi keuangan adalah

kemampuan manajer untuk menggunakan pengetahuan keuangan dasar dalam

hubungannya dengan keahlian yang lebih luas, jaringan, komunikasi dan

keterampilan kognitif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Literasi keuangan

yang rendah menyebabkan praktik pengelolaan keuangan yang buruk dan

menyebabkan kesalahan keuangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis

untuk meningkatkan kinerja UMKM melalui peningkatan literasi keuangan.


8

Umogbaimonica et al., (2018) menuturkah bahwa saat ini pemerintah di

seluruh dunia tertarik untuk menemukan kebijakan yang efektif untuk

meningkatkan literasi keuangan. Peningakatan literasi keuangan dianggap

sebagai keterampilan hidup dan merupakan dasar penting dalam pengelolaan

UMKM, stabilitas ekonomi dan keuangan masyrakat (Mabula & Ping, 2018b).

Amerika Serikat memiliki Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) dan

Office of Financial Education (OFE) berfungsi mempromosikan pengetahuan dan

keterampilan keuangan dalam membantu manajer membuat keputusan keuangan

yang tepat. Di India, pemerintah membentuk Financial Stability and Development

Council (FSDC) dengan tanggung jawab mendidik dan menasihati kewirausahaan

dan individu tentang berbagai sumber inisiatif pembiayaan (A. A. Eniola &

Entebang, 2015b). Sementara Pemerintah Indonesia melalui Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) meluncurkan Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia

(SNLKI) 2021-2025, yang disusun berdasarkan tiga pilar, yaitu cakap keuangan,

sikap dan perilaku keuangan yang bijak, dan akses keuangan (OJK, 2022). Hal itu

merupakan upaya meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat

sekaligus mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Sumber: World Bank Development Research Group Tahun 2017

Gambar 1. 2 Tingkat Literasi Keuangan Negara di Dunia (dalam persentase)


9

Upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan literasi keuangan telah

menghasilkan perluasan literasi keuangan selama satu dekade terakhir. Walaupun

berdasarkan data Data World Bank Development Research Group (2017)

menunjukan bahwa hanya 3,5 miliar orang teliterasi secara keuangan atau hanya

sekitar 33% dari populasi orang diseluruh dunia. Sementara berdasarkan survei

yang sama yang dapat dilihat pada gambar 1.2 tingkat literasi keuangan di negara

Brazil, India, Afrika Selatan dan China masih menunjukan tingkat literasi keuangan

dibawah 40%. Asia Selatan adalah kawasan dengan tingkat literasi keuangan

terendah, di mana hanya seperempat yang telah teliterasi keuangan secara baik.

Sumber: Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK)

Gambar 1. 3 Tingkat Literasi Keuangan di Indonesia Tahun 2017

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan OJK pada

tahun 2022 menunjukan tingkat literasi sebesar 49,68%. Pengukuran tingkat

literasi keuangan dilihat dari indikator pengetahuan, keterampilan, keyakinan,

sikap dan perilaku. Jika melihat data lebih jauh, sebelumnya di tahun 2019 posisi

tingkat literasi keuangan adalah 38,08% dan dari posisi tahun 2016 sebesar

29,70%. Hal ini menunjukan bahwa program peningkatan literasi keuangan yang

dimiliki oleh masyarakat termasuk pelaku UMKM masih belum mencapai 50%

walaupun menunjukan adanya peningkatan setiap tahun, padahal literasi

keuangan merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kinerja

usaha.
10

Literasi keuangan didefinisikan sebagai kapasitas manajer untuk

memahami dan menganalisis data keuangan sehingga dapat mengambil

keputusan keuangan yang tepat (Marriott & Mellett, 1996). Chen & Volpe, (1998)

berpendapat bahwa literasi keuangan adalah kemampuan individu untuk

memahami konsep keuangan dasar dan produk keuangan, serta memiliki

keterampilan untuk mengelola keuangan pribadi dengan efektif. Lebih lanjut

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK, 2017) menjelaskan bahwa iiterasi

keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang

mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Literasi keuangan memungkinkan wirausahawan untuk mengelola risiko melalui

strategi, seperti mempertahankan cadangan keuangan, mendiversifikasi portofolio

investasi, dan membeli asuransi (KMMCB et al., 2019). Perusahaan yang paham

keuangan lebih cenderung melakukan praktik pengelolaan keuangan yang baik

yang akan mendorong kinerja UMKM (Lusardi & Mitchell, 2014)

Selain itu, literasi keuangan dapat memungkinkan manajer menjadi lebih

kreatif dalam penggunaan kredit dan utang, pemantauan anggaran, perolehan

bahan baku secara tepat waktu, produksi, biaya tetap dan variabel, serta

penggunaan stok (Adomako et al., 2016). Literasi keuangan membantu

menanamkan individu dengan pengetahuan keuangan yang diperlukan untuk

membuat anggaran rumah tangga, memulai rencana tabungan, dan membuat

keputusan investasi strategis. Nkundabanyanga et al., (2014) menambahkan

bahwa tingkat literasi keuangan yang memadai mampu meningkatkan seseorang

untuk membuat penilaian yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif

mengenai penggunaan dan pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, literasi

keuangan telah menjadi salah satu kekuatan terpenting dalam meningkatkan

kinerja UMKM (Ye & Kulathunga, 2019).


11

Dalam mengkaji hubungan literasi keuangan dan kinerja usaha pada

UMKM telah banyak teori yang digunakan, salah satunya adalah pendekatan

resource-based theory (A. A. Eniola & Entebang, 2015b, 2015a, 2017; A. Eniola &

Ektebang, 2014; Adomako et al., 2016; Agyei, 2018; Ye & Kulathunga, 2019;

KMMCB et al., 2019; Agyapong & Attram, 2019; Yakob et al., 2021). Resource-

based theory menyatakan strategi dimana perusahaan dapat mencapai

keunggulan kompetitif dan meningkatkan kinerja bisnis melalui sumber daya

strategis yang dimilikinya (Robert M. Grant, 1996; J. Barney, 1991b). Pandangan

resource-based theory menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dan kinerja

usaha bergantung pada sumber daya berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki

oleh perusahaan. Untuk mempertahankan keunggulan kompetitif, perusahaan

membutuhkan berbagai sumber daya berbasis pengetahuan yang luas. Resource-

based theory juga menekankan pentingnya kemampuan perusahaan untuk

mengintegrasikan pengetahuan individu dan tingkat perusahaan tentang produk

dan layanannya. Oleh karena itu, organisasi yang kaya akan sumber daya

berbasis pengetahuan lebih mungkin mendapatkan return yang baik daripada

pesaing mereka. Pengetahuan dapat dianggap sebagai sumber daya vital yang

sulit untuk ditiru atau ditransmisikan dalam bisnis. Literasi keuangan dipandang

sebagai sumber daya pengetahuan strategis yang dimiliki perusahaan yang

mampu meningkatkan Kinerja UMKM (Robert M. Grant, 1996; Barney, 1991).

Dalam pandangan resource-based theory, literasi keuangan dianggap

sebagai sumber pengetahuan yang dapat meningkatkan kinerja UMKM. Literasi

keuangan berkontribusi pada basis pengetahuan organisasi, membantunya

beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan bisnis dan mendapatkan

keuntungan dari peluang yang disajikan oleh perubahan tersebut. Oleh karena itu,

perusahaan harus memahami pentingnya literasi keuangan dan peran strategis

mereka untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan perusahaan (Barney,


12

1991; Robert M. Grant, 1996; dan Ye & Kulathunga, 2019). Dalam penelitian Aisjah

et al., (2023) juga menunjukan bahwa penciptaan pengetahuan dan adopsi akan

pengetahuan atau teknologi menjadi penting dalam menentukan kinerja bisnis

UMKM, alasan mengapa pelaku bisnis membuat keputusan keuangan yang tidak

tepat, tidak memadai dan tidak efektif adalah karena kurangnya pengetahuan

keuangan pribadi, kurangnya waktu untuk belajar tentang manajemen keuangan

pribadi, kompleksitas dalam transaksi keuangan dan banyaknya variasi pilihan

produk/jasa keuangan. Sehinggaa peningkatan pengetahuan UMKM tentang

literasi keuangan dapat membuat pengelolaan dan akuntabilitas keuangan yang

semakin baik dan pada akhirnya mampu meningkatkan kinerja UMKM (A. A. Eniola

& Entebang, 2015a).

Studi sebelumnya telah menunjukkan bukti empiris bahwa terdapat

hubungan antara literasi keuangan dan kinerja UMKM. Dahmen & Rodríguez,

(2014) menemukan hubungan antara literasi keuangan dan kinerja UMKM di

Florida, Amerika Serikat, mereka menjelaskan bahwa perusahaan dengan literasi

keuangan yang baik dapat mengidentifikasi dan menanggapi perubahan iklim

dalam bisnis, ekonomi, dan keuangan. Keputusan keuangan yang diambil akan

menciptakan solusi yang inovatif dan efektif untuk peningkatan dan keberlanjutan

kinerja bisnis. Sebuah studi yang dilakukan pada bisnis Soapstone di Kenya

menemukan bahwa pelatihan terkait literasi keuangan berdampak positif pada

kinerja keuangan bisnis (Salome & Memba, 2014). Dalam penelitian A. A. Eniola

& Entebang, (2017) yang dilakukan pada 3 negara bagian yang ada Nigeria

menunjukan bahwa efek lengkap dari pengetahuan keuangan seorang manajer

bisnis, kesadaran keuangan dan sikap keuangan dalam mengubah literasi

keuangan untuk meningkatkan kinerja UMKM.


13

Tabel 1. 1 Ringkasan Research Gap

Variabel Variabel Hasil


Nama Peneliti Keterangan
Independen Dependen Penelitian
Literasi Kinerja Berpengaruh Dahmen & Rodríguez, (2014); Inkonsistensi
Keuangan UMKM signifikan Salome & Memba, (2014) A. hasil
A. Eniola & Entebang, (2017); penelitian
Agyei, (2018) Mabula & Ping,
(2018b); Dewi et al., (2018);
KMMCB et al., (2019); Ye &
Kulathunga, (2019); Buchdadi
et al., (2020) Hamdana et al.,
(2021)
Tidak Olawale & Garwe, (2010);
berpengaruh (Kaban & Safitry, 2020)
signifikan
Sumber: Data diolah (2023).

Berdasarkan tabel 1.1 yang merangkum research gap, masih terdapat

penelitian yang menunjukan tidak ada pengaruh signifikan antara literasi keuangan

terhadap kinerja UMKM, Olawale & Garwe, (2010), dalam penelitiannya yang

mengkaji pertumbuhan UMKM di Afrika yang dilihat dari faktor internal dan

eksternal menemukan bahwa pemahaman literasi keuangan tidak berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan kinerja UMKM, serta penelitian yang dilakukan oleh

Kaban & Safitry, (2020) juga menunjukan hubungan yang negatif dan signifikan.

Artinya dalam penelitian yang mengkaji hubungan antara literasi keuangan

terhadap kinerja UMKM masih menunjukan inkonsistensi hasil penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengisi keterbatasan pada

penelitian sebelumnya dengan mereplikasi dan mengembangkan konsep

penelitian yang dilakukan Ye & Kulathunga, (2019). Penelitian tersebut dibangun

berdasarkan konsep variabel literasi keuangan terhadap keberlanjutan kinerja

UMKM dengan mediasi akses keuangan dan sikap risiko keuangan, sedangkan

dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa sebelum menuju keberlanjutan kinerja,

UMKM industri pengolahan tahu harus memastikan kestabilan kinerjanya.

Penelitian ini dibangun dengan konsep pengaruh literasi keuangan terhadap


14

kinerja UMKM, peningkatan literasi keuangan yang meliputi kemampuan dalam

memahami dan mengelola aspek-aspek keuangan seperti perencanaan anggaran,

pengelolaan tabungan dan pinjaman, asuransi, investasi, dan pemahaman

terhadap instrumen keuangan dapat mendukung pengambilan keputusan yang

efektif mengenai penggunaan dan pengelolaan keuangan sehingga berdampak

pada peningkatan kinerja UMKM. Peran mediasi akses keuangan terhadap

pengaruh literasi keuangan terhadap kinerja UMKM dapat dilihat ketika pelaku

usaha memiliki pemahaman yang baik tentang konsep dan prinsip keuangan,

mereka dapat mengelola keuangan dengan efisien dan mengambil keputusan

keuangan secara bijaksana. Hal ini membantu pelaku usaha dalam mengakses

sumber daya keuangan seperti modal pinjaman, investasi, dan modal ventura,

dimana akses keuangan yang baik akan mendorong modal kerja, mendorong

inovasi yang lebih kuat yang mampu meningkatan kinerja UMKM. Peran mediasi

sikap risiko keuangan terhadap pengaruh literasi keuangan terhadap kinerja

UMKM, pemahaman tingkat literasi keuangan yang baik mampu digunakan oleh

pelaku UMKM dalam melakukan analisis risiko sehingga keputusan keuangan

yang diambil dapat memberikan keuntungan UMKM. Tingkat literasi keuangan

yang baik mampu membentuk proses kognitif dan intuitif dalam pengambilan risiko

keuangan, sehingga ketika pelaku UMKM memiliki kemampuan dalam

mengevaluasi potensi risiko yang mungkin terjadi dalam usaha hal ini dapat

berdampak pada stabilitas dan pertumbuhan kinerja UMKM. Berdasarkan gap

penelitian yang masih muncul dan dengan adanya pengembangan konsep

penelitian yang peneliti kemukakan, peneliti termotivasi untuk melihat pengaruh

askes keuangan dan sikap risiko keuangan dalam memediasi hubungan antara

literasi keuangan terhadap kinerja UMKM.

Akses Keuangan didefinisikan sebagai kemampuan individu, rumah

tangga, pengusaha dan perusahaan untuk mengakses dan memanfaatkan


15

berbagai layanan keuangan (Kumar et al., 2005; Adomako et al., 2016; Ye &

Kulathunga, 2019). Sedangakan Inoue & Hamori, (2016) mendefininsikan akses

keuangan sebagai ketersediaan jasa keuangan, dalam bentuk giro, kredit,

pembayaran atau asuransi. Perusahaan memiliki akses keuangan yang baik jika

mereka mampu mengakses layanan keuangan yang terjangkau, dapat digunakan

dan memenuhi kebutuhan keuangan mereka (Claessens, 2006). Akses keuangan

merupakan penentu penting kinerja UMKM karena memberi mereka modal kerja,

mendorong inovasi yang lebih kuat dan dinamisme perusahaan, meningkatkan

kewirausahaan, mendorong alokasi aset yang lebih efisien dan meningkatkan

kemampuan perusahaan untuk memanfaatkan peluang pertumbuhan (Beck &

Demirguc-Kunt, 2006). Akses keuangan dan literasi keuangan adalah sekumpulan

sumber daya yang jika dikelola secara efektif mampu mengurangi asimetri

informasi, memantau biaya, dan dapat mengurangi kebutuhan akan agunan.

Terbatasnya akses keuangan telah diakui sebagai salah satu hambatan

utama bagi UMKM (Ye & Kulathunga, 2019). Menurut data dari Asosiasi Fintech

Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sekitar 46,6 juta dari total 64 juta UMKM

di Indonesia belum memiliki akses permodalan dari perbankan maupun lembaga

keuangan non-bank pada 2020. Gambetta et al., (2019) menunjukkan bahwa

pasar keuangan yang kurang berkembang dan instrumen keuangan yang lemah

menyebabkan alokasi sumber keuangan yang buruk bagi UMKM. Buchdadi et al.,

(2020) menemukan bahwa pengelola UMKM memiliki masalah dalam akses

keuangan karena proporsi pengelola UMKM yang tidak mengenal produk bank

lebih dari 30%. Sebagian besar UMKM dimulai dengan sumber daya keuangan

pribadi dan seringkali berasal dari anggota keluarga, kerabat, dan teman.

(Ahlstrom et al., 2018) membuktkan bahwa lebih sulit bagi UMKM untuk

mengakses sumber keuangan, seperti bank, pasar modal atau pemasok kredit

lainnya daripada organisasi yang lebih besar.


16

Menurut Hussain et al., (2018) dari sisi lembaga pemberi pinjaman,

keengganan penyedia pembiayaan eksternal untuk meminjamkan dana adalah

karena informasi asimetris yang menimbulkan risiko tinggi, sehingga mengarahkan

mereka untuk membuat keputusan pemberian pinjaman yang merugikan.

Penelitian Cong Do et al., (2019) menyebutkan bahwa asimetris informasi, risiko

bisnis dan biaya transaksi mempengaruhi akses keuangan UMKM. Ketersediaan

agunan, umur usaha, industri, jenis usaha, umur pemilik atau pengelola, ukuran

usaha sangat menentukan kemampuan mengakses kredit bank. Khajar &

Ghoniyah, (2022) menyatakan bahwa akses pendanaan eksternal sangat strategis

untuk menambah modal usaha, ini bertujuan untuk menjaga stabilitas dan

kelangsungan bisnis dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif. Ini juga

menjamin pencapaian keuntungan dan pertumbuhan bisnis. UMKM memiliki

potensi yang besar, sehingga perlu dukungan permodalan dan pembinaan untuk

mengejar peluang pertumbuhan kinerja (Hamdana et al., 2021). Dalam rangka

meningkatkan akses pemodalan bagi UMKM, Pemerintah telah mendorong

peningkatan akses dan pengembangan UMKM melalui peningkatan ketentuan

porsi kredit UMKM yang diatur dalam PBI Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio

Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional,

Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa literasi keuangan berpengaruh

terhadap akses keuangan, dan beberapa penelitian membuktikan bahwa akses

keuangan berpengaruh terhadap kinerja UMKM (Nunoo & Andoh, 2012; Sabana,

2014; Adomako et al., 2016; Dewi et al., 2018; KMMCB et al., 2019; Buchdadi et

al., 2020; Khajar & Ghoniyah, 2022). Sabana, (2014). Penelitian yang dilakukan

oleh Nunoo & Andoh, (2012) mempelajari penggunaan layanan keuangan di

UMKM Ghana dan menemukan bahwa pengusaha terdidik secara finansial lebih

mungkin mengakses dan memanfaatkan layanan keuangan yang pada gilirannya


17

meningkatkan kinerja bisnis mereka. Selain itu, penelitian yang dilakukan Sabana,

(2014) juga menyatakan bahwa literasi keuangan berpengaruh terhadap akses

keuangan yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja usaha mikro di Kenya.

Sedangkan Wachira et al. (2012) meneliti dampak literasi keuangan terhadap

akses ke layanan keuangan UMKM di Kenya dan juga menemukan bahwa literasi

keuangan yang rendah bagi pelaku bisnis akan menghambat akses ke layanan

keuangan. Oleh karena itu, literasi keuangan dapat mempengaruhi kinerja UMKM

melalui peningkatan akses terhadap keuangan, namun akses terhadap keuangan

sendiri belum banyak diulas dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Penelitian ini juga mengangkat variabel sikap risiko keuangan (financial risk

attitude) dalam memediasi hubungan antara literasi keuangan terhadap kinerja

UMKM. Konteks risiko dalam financial risk attitude mengacu pada suatu kondisi

yang terjadi dengan probabilitas yang diketahui akibat dari pemilihan alternatif

berupa keputusan yang berisiko. Berdasarkan pandangan Ye & Kulathunga,

(2019) Sikap risiko keuangan dapat didefinisikan sebagai sejauh mana

perusahaan bersedia untuk mengejar peluang sumber daya keuangan yang

berisiko dalam usaha dengan hasil yang tidak diketahui. Dengan kata lain, sikap

risiko keuangan organisasi mencerminkan antusiasmenya untuk membuat

komitmen sumber daya yang besar dan berisiko. Perusahaan yang menghindari

risiko akan menerima pengembalian yang rendah sebagai ganti dari eksposur

risiko yang lebih sedikit, sementara pengusaha yang bersedia mengambil risiko

lebih tinggi akan mengkompensasi dengan pengembalian yang diharapkan tinggi.

Lebih lanjut Wati et al., (2021) menjelaskan bahwa financial risk attitude dapat

dikatakan sebagai kecenderungan sikap individu dalam mengambil keputusan

yang berisiko atau menghindari risiko dalam kemungkinan hasil dan ketidakpastian

situasi. Cacciotti & Hayton, (2015) mencatat bahwa sikap risiko keuangan

dipengaruhi oleh faktor kognitif dan emosional. Beberapa perusahaan dapat


18

menerima lebih banyak risiko daripada yang lain dan beberapa dapat mengelola

risiko lebih baik daripada yang lain; sikap risiko keuangan dan pengelolaan risiko

sebagian bergantung pada sikap terhadap ketidakpastian (KMMCB et al., 2019).

Pengaruh tidak langsung literasi keuangan terhadap kinerja UMKM melalui

sikap risiko keuangan dapat dijelaskan oleh dual process theory. Dual process

theory berpendapat bahwa pikiran dipengaruhi oleh proses kognitif dan intuisi.

Intuisi adalah pandangan, penilaian, pemahaman atau keyakinan yang tidak dapat

diverifikasi secara empiris atau dibenarkan secara rasional. Individu yang sangat

bergantung pada intuisi bersedia menggunakan jalan pintas mental dan dengan

demikian pikiran mereka sangat dipengaruhi oleh emosi mereka (Chan & Park,

2013). Proses kognitif meliputi proses mental yang terlibat dalam memperoleh,

mengubah, mengevaluasi, mengelaborasi, menyimpan dan menggunakan

pengetahuan (pikiran dan pengalaman) dan input sensorik. Kognisi meliputi

pemahaman, perhitungan, penalaran, pemecahan masalah dan pengambilan

keputusan. (Chan & Park, 2013). Prevalensi relatif pola berpikir kognitif dan intuitif

mempengaruhi sikap risiko keuangan sehingga proses pengambilan keputusan

dapat dilakukan dengan baik (Lusardi & Mitchell, 2014).

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa literasi keuangan berpengaruh

terhadap sikap risiko keuangan (Gustafsson & Omark, 2015; KMMCB et al., 2019;

Ye & Kulathunga, 2019; Buchdadi et al., 2020), dan beberapa penelitian

membuktikan bahwa sikap risiko keuangan berpengaruh terhadap kinerja UMKM

(KMMCB et al., 2019) Ye & Kulathunga, 2019; Buchdadi et al., 2020). Misalnya,

Hallahan et al. (2004) menemukan hubungan antara literasi keuangan dan tingkat

pendidikan dengan sikap risiko. risiko. Lebih lanjut, Gustafsson & Omark, (2015)

menemukan hubungan positif antara literasi keuangan dan sikap risiko. Selain itu,

van Rooij et al., (2011) meneliti pengaruh literasi keuangan terhadap keputusan

keuangan dan mengungkapkan bahwa literasi keuangan yang lemah


19

menyebabkan keputusan keuangan yang buruk. Meningkatkan literasi keuangan

dalam perusahaan dapat memberdayakannya untuk mencapai pengetahuan dan

sikap yang relevan dalam menghadapi risiko dan tantangan keuangan (KMMCB

et al., 2019). Hal ini membuktikan bahwa literasi keuangan berpengaruh terhadap

sikap risiko keuangan (Gustafsson & Omark, 2015; KMMCB et al., 2019; Ye &

Kulathunga, 2019; Buchdadi et al., 2020), dan beberapa penelitian membuktikan

bahwa sikap risiko keuangan berpengaruh terhadap kinerja UMKM.

Berdasarkan latar belakang yang telah di sampaikan dan dengan masih

adanya inkonsitensi hasil penelitian terkait hubungan antar variabel, maka

memotivasi peneliti untuk mengkaji akses keuangan dan sikap risiko keuangan

dalam memediasi pengaruh literasi keuangan terhadap kinerja UMKM industri

pengolahan tahu di Kota Kediri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang terjadi terkait kinerja UMKM, dan pentingnya

UMKM dalam mendukung pertumbuhan ekonomi indonesia dan berbagai risiko

yang mungkin terjadi sehingga diapandang penilaian kinerja UMKM menjadi hal

yang penting untuk diteliti. Serta dengan masih adanya kesenjangan baik secara

empiris dan teoritis dari penelitian yang sudah dilakukan, sehingga peneliti

bermaksud untuk melihat faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi kinerja

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) industry pengolahan tahu Kota Kediri

dari aspek literasi keuangan dengan mediasi akses keuangan dan sikap risiko

keuangan. secara rinci berikut rumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Apakah literasi keuangan berpengaruh terhadap kinerja usaha?

2. Apakah literasi keuangan berpengaruh terhadap akses keuangan?

3. Apakah literasi keuangan berpengaruh terhadap sikap risiko keuangan?

4. Apakah akses keuangan berpengaruh terhadap kinerja usaha?

5. Apakah sikap risiko keuangan berpengaruh terhadap kinerja usaha?


20

6. Apakah terdapat pengaruh literasi keuangan melalui akses keuangan

terhadap kinerja usaha?

7. Apakah terdapat pengaruh literasi keuangan melalui sikap risiko keuangan

terhadap kinerja usaha?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di uraikan diatas, berikut tujuan

dalam penelitian ini:

1. Menguji dan menganalisis pengaruh literasi keuangan terhadap kinerja

usaha

2. Menguji dan menganalisis pengaruh literasi keuangan terhadap akses

keuangan

3. Menguji dan menganalisis pengaruh literasi keuangan terhadap sikap risiko

keuangan

4. Menguji dan menganalisis pengaruh akses keuangan terhadap kinerja usaha

5. Menguji dan menganalisis pengaruh sikap risiko keuangan terhadap kinerja

usaha

6. Menguji dan menganalisis pengaruh literasi keuangan melalui akses

keuangan terhadap kinerja usaha

7. Menguji dan menganalisis pengaruh literasi keuangan melalui sikap risiko

keuangan terhadap kinerja usaha

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan refrensi bagi

pengembangan ilmu manajemen keuangan dan kewirausahan, khusunya terkait

literasi keuangan terhadap kinerja UMKM dengan mediasi akses keuangan dan

sikap risiko keuangan pada UMKM di negara berkembang.


21

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi UMKM, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

dalam pengambilan kebijakan terkait pelatihan literasi keuangan, dan

kebijakan dalam mengakses layanan perbankan dalam memaksimalkan

struktur modal usaha guna meningkatkan kinerja UMKM. Serta dapat

digunakan sebagai refrensi dalam melakukan akses keuangan ke layanan

perbankan dalam menunjang peningkatan kinerja UMKM.

2. Bagi Pemerintah dan regulator, hasil penelitian ini diharapkan mampu

memberikan kontribusi dalam penyususan regulasi atau deregulasi bagi

pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam membuat kebijakan

terkait peningkatan literasi keuangan masyarakat, serta kebijakan yang

mengatur peningkatan akses layanan keuangan kepada UMKM.

Anda mungkin juga menyukai