Anda di halaman 1dari 40

BAB IV

ANALISIS PENELITIAN

Dalam bab ini akan disampaikan mengenai Kondisi Ekonomi dan Aspek Ruang
Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi, Hasil Analisis Regresi, Hasil Tabulasi
Jawaban Kuisoner, Analisa Kaitan Hasil Penelitian dengan kebijakan pengenaan
tarif PNBP serta Aplikasi Perencanaan Target PNBP Dengan Menggunakan
Model Regresi dan Time Series. Adapun kondisi ekonomi, aspek pertanahan dan
ruang dapat dijelaskan secara ringkas dalam penelitian ini antara lain:
a) Realisasi PNBP kawasan perkotaan dan ibukota propinsi terhadap
Nasional periode 2012-2014 menunjukkan prosentase sebesar 52,98-
56,95%.
b) Kawasan perkotaan dan Ibukota Propinsi menunjukkan rata-rata angka
inflasi selama 2010, 2011, 2013 dan 2014 yaitu sebesar 6,88; 3,70; 8,00
dan 8,0 yang lebih rendah daripada angka inflasi nasional.
c) Prosentase PDRB kawasan perkotaan dan ibukota propinsi terhadap PDB
nasional selama 2010-2014 terus mengalami peningkatan berkisar
47,70%-49,60%.
d) Tingkat LPE di kawasan perkotaan dan ibukota propinsi tahun 2011-2014
sebesar 6,92; 6,78; 6,68 dan 6,34 lebih tinggi dibanding tingkat LPE
Nasional.
e) Pada periode 2010-2014, pada kawasan perkotaan dan Ibukota Propinsi
memiliki prosentasi nilai pinjaman kredit properti komersial yang tinggi
terhadap pinjaman kredit nasional yaitu berkisar antara 76,49%-81,16%.
f) Menggambarkan Kondisi Pertumbuhan Penyedian dan Harga Properti
antar wilayah.
g) Realisasi PNBP 2012-2014 dan akumulasi PDRB 2010-2014 tertinggi
berada di kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur.

65
66

h) Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi tertinggi ternyata berada di kawasan


Mamminasata selama periode 2011-2014 yaitu 9,16%-7,14%, dan terlihat
terus menurun.
i) Akumulasi kredit yang dikucurkan Bank-bank untuk pembelian properti
(kredit properti) selama periode 2010-2014 menunjukkan bahwa kawasan
Jabodetabekpunjur merupakan kawasan dengan nilai kredit properti
tertinggi.
j) Kawasan perkotaan dan ibukota propinsi memiliki luas sekitar 67.015
km2, atau hanya sebesar 3,52% dari luas wilayah Indonesia yaitu sebesar
1.904.569km2, namun memiliki jumlah PDRB sebesar 4.259.136 Milyar
Rupiah atau mencapai 49,60% dari jumlah PDB Nasional.
k) Luas kawasan perkotaan dan ibukota propinsi pada tahun 2015, ternyata
yang telah bersertipikat baru mencapai 18.360 km2 dan yang terpetakan
baru mencapai 10.708 km2.
Adapun kondisi tersebut diatas akan dijelaskan secara lebih terperinci dalam sub-
bab sebagai berikut.
4.1 Kondisi Ekonomi dan Aspek Ruang Kawasan Perkotaan dan Ibukota
Propinsi
Penelitian ini telah mengolah hasil rekapitulasi data dari berbagai sumber dan
melakukan perhitungan excel sehingga dapat disajikan dengan tabel dan gambar.
4.1.1 Proporsi Realisasi PNBP di Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi
Terhadap PNBP Nasional
Realisasi PNBP kawasan perkotaan53 dan ibukota propinsi terhadap Nasional
periode 2012-2014 menunjukkan prosentase sebesar 52,98-56,95%. Prosentase
realisasi tersebut semakin meningkat setiap tahun. Kawasan perkotaan dan
ibukota propinsi memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap realisasi

53
Untuk wilayah DKI Jakarta tidak termasuk realisasi penerimaan pada Kantor Pusat Badan
Pertanahan Nasional RI karena layanan di Kantor Pusat merupakan wewenang berdasarkan
luasan dari permohonan di seluruh Indonesia, sehingga diasumsikan kondisi ekonomi regional
tidak memberikan dampak signifikan pada layanan di Kantor Pusat. Meskipun belanja PNBP
Kantor Pusat tersebut dibelanjakan di regional DKI Jakarta.
67

PNBP Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di daerah tersebut
sangat mempengaruhi realisasi PNBP Nasional. Berikut adalah gambar
perbandingan realisasi PNBP di kawasan perkotaan dan ibukota propinsi terhadap
realisasi PNBP nasional:

2,500,000,000,000

2,000,000,000,000

1,500,000,000,000

1,000,000,000,000

500,000,000,000

-
2012 2013 2014
Kawasan Perkotaan
799,995,851, 1,032,379,48 1,145,021,81
dan Ibukota Propinsi
Nasional 1,509,934,07 1,830,456,79 2,010,667,54
Prosentase 52.98% 56.40% 56.95%

Gambar IV.1
Realisasi PNBP Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap Realisasi
Nasional Tahun 2012-2014
Sumber : Hasil Analisis dari data Biro Keuangan & Pelaksanaan Anggaran BPN RI

Adapun prosentase berdasarkan jenis layanan PNBP, menunjukkan bahwa


layanan pendaftaran tanah memiliki porsi terbesar dari total layanan PNBP.
Selama periode 2012-2014, layanan pendaftaran tanah mencapai prosentase
69,71-75,14%, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa variabel jumlah kredit properti dan pertumbuhan pasokan
properti yang semakin tinggi berhubungan positif dengan sub layanan Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang termasuk dalam layanan pendaftaran tanah.
Berikut adalah tabel realisasi PNBP per jenis layanan di kawasan perkotaan dan
ibukota propinsi terhadap realisasi nasional:
68

Tabel IV.1
Realisasi PNBP Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap Realisasi
Nasional Per Jenis Layanan Tahun 2012-2014
Kawasan Perkotaan dan Prosentase terhadap
No Jenis Layanan Tahun Nasional
Ibukota Propinsi Nasional
1 Survei, Pengukuran, 2012 118,224,075,997 374,030,959,358 31.61%
dan Pemetaan (1901) 2013 146,520,807,753 448,569,894,972 32.66%
2014 145,456,310,616 503,298,835,890 28.90%
2 Pemeriksaan Tanah 2012 47,147,994,154 156,698,254,601 30.09%
(1902) 2013 49,237,228,989 151,247,746,449 32.55%
2014 51,133,672,437 155,931,302,905 32.79%
3 Konsolidasi Tanah 2012 19,676,200 2,738,065,144 0.72%
Swadaya (1903) 2013 581,423,144 2,749,827,270 21.14%
2014 276,649,800 1,158,014,652 23.89%
4 Pertimbangan Teknis 2012 14,777,733,968 52,631,439,357 28.08%
(1904) 2013 35,998,458,305 78,436,097,931 45.90%
2014 13,975,518,580 44,071,689,150 31.71%
5 Pendaftaran Tanah 2012 540,079,783,269 774,711,030,856 69.71%
(1905) 2013 721,128,045,620 980,935,429,905 73.51%
2014 850,168,766,322 1,131,468,626,150 75.14%
6 Informasi (1906) 2012 69,674,717,806 137,249,354,145 50.77%
2013 78,683,458,136 160,108,651,655 49.14%
2014 82,064,464,208 172,300,197,954 47.63%
7 Lisensi (1907) 2012 10,071,869,875 10,685,861,281 94.25%
2013 158,810,863 5,250,149,263 3.02%
2014 648,055,070 910,871,370 71.15%
8 P3MB(1908 2012 - - -
2013 - 62,924,700 -
2014 1,154,377,921 1,154,377,921 100.00%
9 Kerjasama (1909) 2012 - 1,189,108,802 -
2013 71,254,557 3,096,076,669 2.30%
2014 144,000,000 373,633,649 38.54%
2012 799,995,851,269 1,509,934,073,544 52.98%
Total 2013 1,032,379,487,367 1,830,456,798,814 56.40%
2014 1,145,021,814,954 2,010,667,549,641 56.95%
Sumber : Hasil Analisis dari Data Biro Keuangan & Pelaksanaan Anggaran BPN RI

4.1.2 Proporsi Inflasi Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap


Inflasi Nasional

Kawasan perkotaan dan Ibukota Propinsi menunjukkan rata-rata angka inflasi


selama 2010, 2011, 2013 dan 2014 yaitu sebesar 6,88; 3,70; 8,00 dan 8,0 yang
lebih rendah daripada angka inflasi nasional. Inflasi 2013 dan 2014 di kawasan
perkotaan dan ibukota propinsi lebih tinggi daripada periode sebelumnya yaitu
sebesar 8,00 dan 8,09. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa daya beli masyakat
perkotaan semakin lemah secara periodik, namun tidak lebih lemah daripada
wilayah nasional yang sebagian besar terdiri dari perdesaan. Dapat pula
diindikasikan bahwa supply barang produk perdesaan lebih banyak yang di jual ke
kota dan lebih sedikit tersedia di pasar perdesaan yang menyebabkan harga-harga
barang di kota lebih murah daripada di desa. Berikut adalah gambar Proporsi
Inflasi Kawasan Perkotaan dan ibukota Propinsi Terhadap Inflasi Nasional:
69

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
-
2010 2011 2012 2013 2014
Kawasan Perkotaan
dan Ibukota Propinsi 6.88 3.70 4.40 8.00 8.09

Nasional 6.96 3.79 4.30 8.38 8.36


Gambar IV.2
54
Proporsi Inflasi Kawasan Perkotaan dan ibukota Propinsi Terhadap Inflasi
Nasional Tahun 2010-2014
Sumber : Hasil Analisis dari data Badan Pusat Statistik dan Berbagai Sumber

4.1.3 Proporsi PDRB kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap


PDB Nasional

PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menunjukan jumlah total output
produksi barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah, dianggap lebih tepat
dengan mengeluarkan aspek kenaikan harga, dan dihitung dengan menggunakan
angka dasar tahun 2010. Produk Domestik Bruto Nasional Atas Dasar Harga
Kostan (ADHK) mengalami peningkatan sekitar 5-6% dimana di tahun 2010
sebesar Rp.6.864.133 Milyar menjadi Rp.8.568.116 Milyar. Sedangkan prosentase
PDRB kawasan perkotaan dan ibukota propinsi terhadap PDB nasional terus
mengalami peningkatan berkisar 47,70%-49,60%. Hal ini menunjukkan bahwa
kawasan perkotaan dan ibukota propinsi ini yang hanya terdiri dari 74 Kabupaten
Kota mampu memberikan kontribusi hampir separuh PDB Nasional. Hal ini juga
dapat diartikan bahwa kondisi ekonomi kawasan perkotaan sangat berpengaruh
terhadap perekonomian nasional. Pertumbuhannya yang signifikan menunjukkan
54
Data Inflasi perkotaan tidak semua diperoleh dari data BPS di Kabupaten/Kota karena
sebagian Kantor BPS Kabupaten/Kota tidak menghitung angka inflasi di wilayah kerjanya
sendiri namun menjadikan “benchmarking” angka inflasi dari kota di dekatnya. Keterangan
ini dapat dilihat di Buku Statistik Daerah dan website BPS Kabupaten/Kota ataupun dari
pernyataan media massa. Apabila tidak ditemui di dalam dokumen itu, penelitian ini
menggunakan asumsi tersebut dengan “benchmarking” kota yang paling berdekatan.
70

bahwa aktivitas ekonomi semakin terkonsentrasi ke kawasan perkotaan. Adapun


gambar Proporsi PDRB kawasan Perkotaan dan ibukota Propinsi Terhadap PDB
Nasional sebagai berikut:

9,000,000
8,000,000
7,000,000
Milyar Rupiah

6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
-
2010 2011 2012 2013 2014
PDRB Kawasan Perkotaan dan
3,282,52 3,512,75 3,757,30 4,002,24 4,250,13
Ibukota Propinsi
PDB Nasional 6,864,13 7,287,63 7,727,08 8,158,19 8,568,11
Prosentase 47.82% 48.20% 48.63% 49.06% 49.60%

Gambar IV.3
Proporsi PDRB kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap PDB Nasional
Tahun 2012-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dihitung dari prosentase perubahan PDRB


Atas Dasar Harga Atas Konstan dengan angka dasar tahun sebelumnya. Dari hasil
analisa menunjukkan bahwa tingkat LPE di kawasan perkotaan dan ibukota
propinsi tahun 2011-2014 sebesar 6,92; 6,78; 6,68 dan 6,34 lebih tinggi dibanding
tingkat LPE Nasional. Namun baik LPE Perkotaan dan Nasional menunjukkan
tingkat yang semakin tahun semakin menurun. Produksi barang dan jasa semakin
sedikit dan harga semakin naik55. Dari data tingkat pendapatan perkapita56 (dalam
prosentase) juga menunjukkan penurunan mulai tahun 2011-2014 yaitu sebesar
4,65; 4,55; 4,14 dan 3,63. Hal ini berarti kondisi perekonomian di perkotaan lebih
baik daripada rata-rata wilayah nasional Indonesia yang mayoritas terdiri dari
perdesaan, namun semakin tahun kondisi perekonomian semakin buruk. Berikut
gambar Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kawasan Perkotaan dan Ibukota
Propinsi Terhadap LPE Nasional :

55
Angka inflasi semakin tinggi yang ditunjukkan pada grafik 2
56
Buku Pendapatan Nasional Indonesia 2010-2014
71

8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014
LPE Kawasan Perkotaan dan
Ibukota Propinsi 6.92 6.78 6.68 6.34

LPE Nasional 6.17 6.03 5.58 5.02


Prosentase Perbandingan 112.22% 112.47% 119.65% 126.32%
Gambar IV.4
LPE Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap LPE Nasional
Tahun 2011-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS

4.1.4 Proporsi Nilai Kredit Properti Kawasan Perkotaan dan Ibukota


Propinsi Terhadap Nilai Kredit Properti Nasional

Pada periode 201057-2014, pada kawasan perkotaan dan Ibukota Propinsi


memiliki prosentasi nilai pinjaman kredit properti komersial yang tinggi terhadap
pinjaman kredit nasional yaitu berkisar antara 76,49%-81,16%. Total kredit
properti di kawasan perkotaan dan ibukota propinsi terhadap nasional tahun 2014
sebesar Rp.269.731 juta dan Rp.342.084 juta. Hal ini menunjukkan bahwa
pemusatan pemukiman terjadi di kawasan perkotaan. Pemusatan pemukiman
tersebut disebabkan oleh urbanisasi dan mengikuti pertumbuhan aktivitas
perekonomian di perkotaan yang cenderung lebih baik dari perdesaan. Kredit
untuk rumah tinggal di daerah perkotaan mengalami pertumbuhan lebih dari
127.75% di tahun 2010 sebesar Rp.103.933 juta menjadi di tahun 2014 sebesar
236.709 juta. Pertumbuhan kredit Flat & Apartemen melonjak hampir 284,29%
dari tahun 2010 sebesar Rp.3.189 juta menjadi tahun 2014 sebesar Rp.12.255 juta.
Sedangkan pertumbuhan kredit untuk Ruko & Rukan melonjak 220.1% di tahun
2010 sebesar Rp.6.487 juta menjadi di tahun 2014 sebesar Rp.20.766 juta.

57
Data 2010, tidak termasuk kota Pangkal Pinang dan Kota Manado karena data tidak diperoleh
dari pusat riset Bank Indonesia
72

Pertumbuhan Flat dan Apartemen yang terus meningkat menunjukkan bahwa


penggunaan tanah pada tata ruang perkotaan semakin intensif. Pertumbuhan ruko
dan rukan semakin tinggi mengikuti permintaan pasar akibat pertambahan
penduduk dan pendapatan perkapita yang semakin meningkat. Adapun Proporsi
Nilai Kredit Properti kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap Nilai
Kredit Properti Nasional Tahun 2010-2014 sebagai berikut:
400,000
350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
Rumah Flat & Ruko & Rumah Flat & Ruko &
Jumlah Jumlah
Tinggal Apartemen Rukan Tinggal Apartemen Rukan
Kawasan Perkotaan & Ibukota Propinsi Nasional Prosentase
2010 103,933 3,189 6,487 113,610 136,460 3,755 8,319 148,534 76.49%
2011 134,615 5,308 12,147 152,069 176,538 5,569 15,197 197,304 77.07%
2012 171,068 8,929 16,058 196,055 211,317 10,274 19,984 241,575 81.16%
2013 209,594 12,207 20,236 242,037 268,499 12,024 24,974 305,497 79.23%
2014 236,709 12,255 20,766 269,731 302,880 13,235 25,969 342,084 78.85%

Gambar IV.5
Proporsi Nilai Kredit Properti kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Terhadap
Nilai Kredit Properti Nasional Tahun 2010-2014 (dalam milyar rupiah)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Bank Indonesia buku SEKDA dan SEKI

4.1.5 Kondisi Pertumbuhan Pasokan Properti

Berdasarkan hasil analisa penelitian ini dari Data Survey Perkembangan Properti
Komersial Bank Indonesia periode 2009-2014. Perkembangan Properti Komersial
di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi & Karawang tahun 2009-2014 menunjukan
pertumbuhan penyediaan properti untuk perkantoran mengalami pertumbuhan
tinggi dari semula di tahun 2009 sebesar 731.162 m2 menjadi di tahun 2014
sebesar 1.523.921m2. Stock properti untuk perkantoran ini berdasarkan Data
Survey Bank Indonesia hanya ada di wilayah Jabodebeka. Hal ini menunjukan
bahwa pertumbuhan pusat perdagangan dan jasa khususnya area perkantoran
didominasi di wilayah Jabodebeka. Sementara penyediaan properti untuk
73

kebutuhan lahan industri di Jabodebeka tahun 2012-2014 sebesar 6.771 Ha yang


relatif tidak menunjukkan perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa industri kurang
tumbuh di daerah ini tetapi Jabodebeka berubah menjadi kawasan perdagangan
dan jasa. Penyediaan pemukiman bagi warga ditunjukkan oleh pertumbuhan
apartemen yang semakin meningkat. Adapun gambar perkembangan properti
tersebut sebagai berikut:
2,000,000
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Perkantoran (M2) 731,162 952,442 1,015,10 1,347,11 1,451,71 1,523,92
Ritel (M2) 1,721,58 1,721,58 1,721,58 1,742,79 1,756,79 1,756,79
Apartemen (unit) 68,743 71,505 78,656 87,030 96,262 101,055
Lahan Industri (Ha) 5,997 6,197 6,504 6,771 6,771 6,771

Gambar IV.6
Perkembangan Properti Komersial di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi & Karawang
Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial Bank Indonesia

Perkembangan Properti Komersial di wilayah Tangerang, Cilegon dan Serang


tahun 2009-2014 menunjukan pertumbuhan penyediaan properti untuk ritel
mengalami pertumbuhan tinggi dari semula di tahun 2009 sebesar 524.670 m2
menjadi di tahun 2014 sebesar 595.170 m2. Pertumbuhan apartemen cukup tinggi
dari tahun 2012 sebesar 3.940 unit menjadi di tahun 2014 sebesar 9.574 unit atau
sekitar 240%. Pertumbuhan properti untuk lahan industri tidak menujukkan angka
yang cukup signfikan. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan properti di
wilayah ini lebih didominasi untuk penyediaan perumahan bagi masyarakatnya
74

(dimungkinkan juga bagi masyarakatnya sebagai pekerja kantoran di Jababeka).


Adapun gambar perkembangan properti tersebut sebagai berikut:

700,000

600,000

500,000

400,000

300,000

200,000

100,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ritel (M2) 524,670 524,670 585,670 585,670 585,670 595,170
Apartemen (unit) - - - 3,940 5,988 9,574
Lahan Industri (Ha) 5,388 5,388 5,418 5,418 5,418 5,541

Gambar IV.7
Perkembangan Properti Komersial di Tangerang, Serang dan Cilegon
Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial Bank Indonesia

Perkembangan Properti Komersial di wilayah Bandung tahun 2009-2014


menunjukan pertumbuhan penyediaan properti untuk ritel mengalami
2
pertumbuhan tinggi dari semula di tahun 2009 sebesar 47.400 m menjadi di tahun
2014 sebesar 213.278 m2. Pertumbuhan apartemen mengalami pertumbuhan
tinggi dari semula di tahun 2009 sebesar 558 unit menjadi di tahun 2014 sebesar
23.155 unit atau 4.142%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perkotaan
Bandung tumbuh berorientasi pada sektor perdagangan dan jasa (termasuk sub
sektor pariwisata dan pendidikan di dalamnya). Pertumbuhan apartemen semakin
meningkat dapat maknai bahwa daya tarik pariwisata dan pendidikan semakin
membuat orang dari luar daerah tinggal di daerah ini. Adapun gambar
perkembangan properti tersebut sebagai berikut:
75

250,000

200,000

150,000

100,000

50,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ritel (M2) 47,400 - - - 190,000 213,278
Apartemen (unit) 558 4,178 - - 21,955 23,155
Gambar IV.8
Perkembangan Properti Komersial di Bandung
Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial Bank Indonesia

Dari hasil analisa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik


pertumbuhan properti pada masing-masing wilayah. Faktor ekonomi, faktor
sosial, faktor spasial dan lainnya dapat saja mempengaruhi hal tersebut.
Klasifikasi Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Karawang dapat diartikan bahwa
luasan wilayah yang besar mempengaruhi ketersedian luasan properti baik untuk
perkantoran, ritel, industri dan apartemen. Dilihat dari adanya ketersediaan
properti perkantoran hanya di wilayah Jabodebeka dapat dipahami dari aspek
spasial yaitu kedekatan dengan ibukota nasional yaitu Jakarta, pusat perdagangan
dan jasa sebagai tempat kantor-kantor perusahaan besar bermukim. Untuk
menunjukkan gambaran perbandingan properti pada masing-masing wilayah
perkotaan dapat dilihat pada gambar IV.9 s.d IV.11 sebagai berikut:
76

2,000,000
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekas
1,721,582 1,721,582 1,721,582 1,742,795 1,756,795 1,756,795
i & Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang 524,670 524,670 585,670 585,670 585,670 595,170
Ba ndung 47,400 - - - 190,000 213,278

Gambar IV.9
Perkembangan Properti Komersial Ritel Antar Wilayah Perkotaan
Tahun 2009-2014 (dalam meter persegi)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

120,000

100,000

80,000

60,000

40,000

20,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ja ka rta , Bogor, Depok, Bek
68,743 71,505 78,656 87,030 96,262 101,055
a si & Ka ra wa ng
Ta ngera ng, Cilegon &
- - - 3,940 5,988 9,574
Sera ng
Ba ndung 558 4,178 - - 21,955 23,155
Ma ka sar - - - - - 2,532
Gambar IV.10
Perkembangan Properti Komersial Apartemen Antar Wilayah Perkotaan
Tahun 2009-2014 (dalam meter persegi)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia
77

8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000

2,000
1,000
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi
5,997 6,197 6,504 6,771 6,771 6,771
& Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang 5,388 5,388 5,418 5,418 5,418 5,541
Makasar - - - - - 360
Gambar IV.11
Perkembangan Properti Komersial Lahan Industri Antar Wilayah Perkotaan
Tahun 2009-2014 (dalam hektar)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

Harga properti komersial di keempat wilayah perkotaan, menunjukkan bahwa


harga properti perkantoran di Jabodebeka tahun 2014 mencapai harga
Rp.32.361.939,- per meter persegi, tumbuh sangat signifikan dari tahun 2009 yang
hanya sebesar Rp.15.060.352,- per meter persegi. Harga properti apartemen
tertinggi di Jabodebeka pada tahun 2014 sebesar Rp.23.781.119, per meter persegi
naik cukup drastis dari tahun 2009 sebesar Rp.10.961.460,- per meter persegi.
Kedua hal ini nampaknya berkorelasi dengan pertumbuhan jumlah properti
perkantoran dan apartemen yang juga meningkat sekitar 200%. Harga properti
komersial yang diperuntukkan ritel dan lahan industri tertinggi di wilayah
Jabodebeka di tahun 2014 yaitu sebesar Rp.64.116.587 per meter persegi dan
Rp.3.072.581,- per meter persegi. Adapun gambar perkembangan harga properti
komersial tersebut dapat dilihat di gambar IV.12 s.d IV.15 sebagai berikut:
78

32,361,939
30,640,303

24,015,419

16,850,853
15,060,352 15,221,742

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar IV.12
Perkembangan Harga Properti Komersial Perkantoran di Jakarta, Bogor, Depok,
Bekasi dan Karawang Tahun 2009-2014 (Rupiah per meter persegi)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

70,000,000

60,000,000

50,000,000

40,000,000

30,000,000

20,000,000

10,000,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi &
42,860,534 43,043,103 43,449,352 46,187,240 56,599,281 64,116,587
Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang 34,878,565 35,734,913 37,482,328 41,604,582 50,746,792 53,121,898
Bandung 24,340,333 - - - 45,866,386 51,172,325

Gambar IV.13
Perkembangan Harga Properti Komersial Ritel Antar Wilayah Perkotaan Tahun
2009-2014 (Rupiah per meter persegi)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia
79

25,000,000

20,000,000

15,000,000

10,000,000

5,000,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi &
Karawang 10,911,460 11,383,878 12,035,087 17,495,804 23,231,127 23,781,199

Tangerang, Cilegon & Serang - - - 12,308,826 15,662,990 16,935,617


Bandung - - - - 16,108,782 17,401,678
Makassar - - - - - 19,114,202

Gambar IV.14
Perkembangan Harga Properti Komersial Apartemen Antar Wilayah Perkotaan
Tahun 2009-2014 (Rupiah per meter persegi)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

3,500,000

3,000,000

2,500,000

2,000,000

1,500,000

1,000,000

500,000

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi &
732,086 730,315 1,283,668 2,164,952 2,741,840 3,072,518
Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang 610,834 620,340 847,979 1,095,692 1,577,388 1,638,589
Makassar - - - - - 1,362,500
Gambar IV.15
Perkembangan Harga Properti Komersial Lahan Industri Antar Wilayah
Perkotaan Tahun 2009-2014(Rupiah per meter persegi)
80

Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia
Tingkat penjualan properti komersial di keempat wilayah perkotaan,
menunjukkan bahwa tingkat penjualan properti perkantoran di Jabodebeka tahun
2014 mencapai tingkat 98,78%, yang berarti bahwa hampir semua stock properti
perkantoran yang dibangun telah terjual dan hal ini menunjukkan adanya potensi
yang sangat tinggi di properti perkantoran dengan melihat permintaan pasar yang
terus meningkat. Tingkat penjualan properti ritel tertinggi di Jabodebeka pada
tahun 2014 sebesar 93,95%. Namun justru tingkat penjualan tertinggi untuk
apartemen dan lahan industri di wilayah Tangerang, Cilegon dan Serang yaitu
masing-masing sebesar 97,56% dan 87,91%. Hal ini menguatkan argumen bahwa
perkembangan perkotaan Tangerang, Cilegon dan Serang lebih pada penyediaan
pemukiman dan lahan yang tersedia lebih diminati oleh pasar industri. Adapun
gambar perkembangan tingkat penjualan properti komersial tersebut dapat dilihat
di gambar IV.16 s.d IV.19 sebagai berikut:

98.70% 98.78%

96.84%
96.08%

95.26%
94.94%

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar IV.16
Perkembangan Tingkat Penjualan Properti Komersial Perkantoran di Jakarta,
Bogor, Depok, Bekasi dan Karawang Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia
81

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi
76.58% 73.50% 81.41% 85.22% 92.63% 93.95%
& Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang 78.88% 61.44% 78.42% 83.01% 87.36% 89.05%
Bandung 67.93% - - - 89.25% 91.44%
Gambar IV.17
Perkembangan Tingkat Penjualan Properti Komersial Ritel
Antar Wilayah PerkotaanTahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

120.00%

100.00%

80.00%

60.00%

40.00%

20.00%

0.00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi
92.63% 93.82% 95.94% 94.71% 96.90% 93.10%
& Karawang
Tangerang, Cilegon & Serang - - - 100.00% 95.33% 97.56%
Bandung 76.51% 82.02% - - 85.92% 93.74%
Makassar - - - - - 89.63%
Gambar IV.18
Perkembangan Tingkat Penjualan Properti Komersial Apartemen
Antar Wilayah Perkotaan Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia
82

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ja ka rta , Bogor, Depok, Be
73.20% 71.97% 73.24% 77.50% 82.75% 84.09%
ka si & Ka ra wa ng
Ta ngera ng, Cilegon &
70.06% 70.15% 72.13% 75.67% 83.86% 87.91%
Sera ng
Ma ka ssa r - - - - - 85.00%
Gambar IV.19
Perkembangan Tingkat Penjualan Properti Komersial Lahan Industri Antar
Wilayah Perkotaan Tahun 2009-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Survey Perkembangan Properti Komersial, Bank Indonesia

4.1.6 Kondisi Perekonomian dan Aspek Spasial Antar Kawasan Perkotaan

Realisasi PNBP 2012-2014 tertinggi berada di kawasan perkotaan


Jabodetabekpunjur yaitu sebesar Rp.374.790.819.681, Rp.493.940.275.858 dan
Rp.591.522.786.384. Hal ini disebabkan jumlah kota dan kabupaten yang
tergabung di kawasan ini paling banyak. Realisasi PNBP tertinggi kedua dan
berturut-turut selanjutnya yaitu kawasan Gerbangkertosusilo, Sarbagita, Bandung
Raya, Kedungsepur, Mebingdangro, Kartamantul dan Mamminasata seperti pada
Gambar IV.20.
Akumulasi PDRB 2010-2014 tertinggi juga di kawasan Jabodetabekpunjur yaitu
sebesar Rp.1.680.243 Milyar Rupiah (di 2010) dan Rp.2.150.375.358 (di 2014).
PDRB di kawasan Jabodetabek ini menyumbang PDB Nasional sekitar 24,5%-
25,1%. Akumulasi PDRB kedua dan berturut-turut selanjutnya yaitu di kawasan
perkotaan Gerbangkertosusila, Bandung Raya, Mebindangro, Kedungsepur,
Mamminasata, Sarbagita dan Kartamantul. Pola urutan PDRB dari terbesar
83

sampai terendah ini ternyata berbeda dengan pola urutan realisasi PNBP. Adapun
nilai PDRB antar kawasan perkotaan dapat dilihat di gambar IV.21.

Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi tertinggi ternyata berada di kawasan


Mamminasata selama periode 2011-2014 yaitu 9,16%-7,14%, dan terlihat terus
menurun. Kawasan perkotaan lain juga mengalami penurunan LPE seperti
ditampilkan pada gambar 22. LPE yang cenderung menurun di kawasan perkotaan
ini, diikuti dengan inflasi di tahun 2013-2014 yang berkisar 6,24%-10.09%,
seperti gambar 23. Pertumbuhan ekonomi (LPE) di setiap kawasan perkotaan
(kecuali Maminasata) periode 2013-201458 lebih kecil daripada inflasi.

Akumulasi kredit yang dikucurkan Bank-bank untuk pembelian properti (kredit


properti) selama periode 2010-2014 menunjukkan bahwa kawasan
Jabodetabekpunjur merupakan kawasan dengan nilai kredit properti tertinggi
(gambar 24) yaitu mampu berkontribusi pada kredit properti nasional sebesar
41,5%-43,9%. Kemudian nilai kredit properti selanjutnya diikuti oleh
Gerbangkertosusilo, Bandung Raya, Mebindangro, Sarbagita, Mamminasata,
Kedungsepur dan Kartamantul. Adapun gambar IV.20 s.d IV.24 berurutan sebagai
berikut:

58
Hal ini dapat diindikasikan meskipun pertumbuhan barang dan jasa selalu bertambah, maka
tidak akan memperkecil inflasi. Jumlah barang dan jasa tidak seimbang dengan jumlah
nominal uang. Nilai nominal uang semakin tinggi tidak dapat diimbangi dengan pertumbuhan
barang dan jasa. Ini dapat terjadi akibat praktek pem-bunga-an uang (interest rate) di lembaga
keuangan (finansial). Sebagai gambaran misal 1 triliyun yang disimpan Bank dengan suku
bunga 6% setahun maka tambahan nilai nominal uang akan sebesar Rp.60 Milyar yang harus
disubtitusi dengan barang dan jasa.
84

2.500.000

2.000.000

1.500.000
Juta Rupiah

1.000.000

500.000

-
Ibukota
Mebindang Jabodetab Bandung Kedungsep Gerbangke Kartamant Mamminas
Sarbagita Propinsi Nasional
ro ekapunjur Raya ur rtosusilo ul ata
Lainnya
2012 38.267 374.791 53.231 49.533 83.407 18.225 43.871 22.672 115.998 1.509.934
2013 42.073 493.940 65.612 56.577 101.439 25.530 81.417 29.010 136.780 1.830.457
2014 38.890 591.523 67.121 62.073 114.202 27.579 88.091 26.942 128.600 2.010.668

Gambar IV.20
Realisasi PNBP Antar Kawasan Perkotaan Tahun 2012-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data Biro Keuangan dan Pelaksanaan Anggaran

9.000.000

8.000.000

7.000.000

6.000.000
Milyar Rupiah

5.000.000

4.000.000

3.000.000

2.000.000

1.000.000

-
Ibukota
Mebindang Jabodetabe Bandung Kedungsep Gerbangker Kartamantu Mamminas
Sarbagita Propinsi Nasional
ro kapunjur Raya ur tosusilo l ata
Lainnya
2010 136.392 1.680.243 198.167 151.454 440.873 50.798 61.386 76.326 486.882 6.864.133
2011 149.034 1.793.104 211.613 160.779 471.000 53.581 65.664 83.998 523.980 7.287.635
2012 168.488 1.910.002 227.365 169.905 503.687 56.553 70.434 91.994 558.877 7.727.083
2013 179.343 2.029.982 242.822 180.599 538.373 59.746 75.231 99.736 596.411 8.158.194
2014 190.925 2.150.375 259.182 189.951 574.138 61.848 80.411 106.927 636.379 8.568.116

Gambar IV.21
PDRB Antar Kawasan Perkotaan Tahun 2010-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS, Bank Indonesia dan sumber lainnya
85

10,00

9,00

8,00

7,00

6,00

5,00

4,00

3,00

2,00

1,00

-
Ibukota
Jabodetabek Bandung Gerbangkert Mamminasat
Mebindangro Kedungsepur Kartamantul Sarbagita Propinsi Nasional
apunjur Raya osusilo a
Lainnya
2011 6,06 6,58 5,94 5,76 6,63 5,65 6,87 9,16 7,62 6,17
2012 5,95 6,54 6,73 5,38 6,96 5,51 7,09 8,88 7,12 6,03
2013 6,39 6,28 5,97 5,92 6,58 5,61 6,76 8,27 7,16 5,58
2014 6,18 5,99 5,95 4,92 6,51 5,29 6,83 7,14 6,88 5,02

Gambar IV.22
Laju Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Perkotaan Tahun 2011-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS, Bank Indonesia dan sumber lainnya

12,00

10,00

8,00

6,00

4,00

2,00

-
Ibukota
Mebindang Jabodetab Bandung Kedungsep Gerbangke Kartamant Mamminas
Sarbagita Propinsi Nasional
ro ekapunjur Raya ur rtosusilo ul ata
Lainnya
2010 7,60 6,57 4,53 6,84 7,23 7,11 7,54 6,82 7,18 6,96
2011 3,52 3,67 2,75 3,25 4,62 3,83 3,40 2,87 3,95 3,79
2012 3,79 4,09 4,02 4,42 4,34 4,25 4,43 4,57 4,72 4,30
2013 10,09 8,45 7,97 7,56 7,55 7,50 7,43 6,24 8,10 8,38
2014 8,24 8,19 7,76 8,46 7,87 6,52 7,85 8,51 8,21 8,36

Gambar IV.23
Inflasi Antar Kawasan Perkotaan Tahun 2011-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS, Bank Indonesia dan sumber lainnya
86

400.000.000

350.000.000

300.000.000

250.000.000
Juta rupiah

200.000.000

150.000.000

100.000.000

50.000.000

-
Ibukota
Jabodetabek Bandung Gerbangkert Mamminasat
Mebindangro Kedungsepur Kartamantul Sarbagita Propinsi Nasional
apunjur Raya osusilo a
Lainnya
2010 4.963.339 62.945.874 6.785.061 3.659.917 9.829.721 1.667.806 4.343.763 4.298.047 15.116.024 148.534.000
2011 7.141.105 81.935.079 8.023.908 4.911.788 12.697.639 2.041.695 5.697.198 5.891.014 22.771.277 197.304.000
2012 8.757.185 105.951.412 11.585.142 5.969.589 16.973.549 2.585.308 7.249.948 7.306.637 28.798.176 241.575.000
2013 10.751.511 130.665.572 15.792.466 6.813.856 21.412.794 3.341.093 9.034.698 8.974.059 33.727.445 305.497.000
2014 11.523.641 146.131.038 18.314.812 7.779.901 24.838.315 2.897.576 10.101.902 9.887.688 36.528.806 342.084.000

Gambar IV.24
Akumulasi Nilai Kredit Properti Antar Kawasan Perkotaan Tahun 2011-2014
Sumber : Hasil Analisis dari Data BPS, Bank Indonesia dan sumber lainnya

Kawasan perkotaan dan ibukota propinsi memiliki luas sekitar 67.01559 km2, atau
hanya sebesar 3,52% dari luas wilayah Indonesia60 yaitu sebesar 1.904.569km2,
namun memiliki jumlah PDRB sebesar 4.259.136 Milyar Rupiah atau mencapai
49,60% dari jumlah PDB Nasional. Begitu pula Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE) di Kawasan perkotaan, lebih tinggi daripada LPE nasional. Hal ini
menunjukkan bahwa kawasan perkotaan yang luasnya jauh lebih kecil daripada
wilayah nasional ternyata menunjukkan aktivitas perekonomian yang tinggi dan
menghabiskan sumber daya ekonomi yang tinggi. Adapun gambar luas kawasan
perkotaan dan ibukota propinsi dapat dilihat sebagai berikut:

59
Sumber data yang diolah dari:
http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2013/05/28/b/u/buku_induk_kode_data_dan
_wilayah_2013.pdf dan http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/jambi/jambi.pdf
60
http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia
87

2,000,000
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
-
Luas
Luas
Luas Kawasan
Kawasan
Kawasan Perkotaan &
Luas Daratan Perkotaan &
Perkotaan Ibukota
Indonesia Ibukota
dan Ibukota Propinsi
Propinsi yang
Propinsi Yang
Terpetakan
Bersertipikat
Luas km2 1,904,569 67,015 18,360 10,169

Gambar IV.25
Luas Wilayah, Luas Bersertipikat dan Luas Terpetakan
di Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Tahun 2015
Sumber : Hasil Analisis dari Data Kemendagri, Pusat Data dan Informasi BPN RI dan sumber
lainnya

Luas kawasan perkotaan dan ibukota propinsi pada tahun 2015, ternyata yang
telah bersertipikat baru mencapai 18.360 km2 dan yang terpetakan baru mencapai
10.708 km2. Hal ini diakibatkan akumulasi dari beberapa kawasan perkotaan dan
masih berstatus kabupaten, yang luasan besar namun baru sedikit yang
bersertipikat dan dipetakan. Terdapat juga kawasan hutan seperti di kabupaten
Bogor yang tidak dikeluarkan sertipikat. Adapun secara wilayah kawasan
perkotaan yang belum bersertipikat lebih rinci pada gambar berikut:
88

3,000,000

2,500,000

2,000,000
da la m Ha

1,500,000

1,000,000

500,000

-
Ibukota
Jabodetabeka Bandung Gerbangkerto Mamminasat
Mebindangro Kedungsepur Kartamantul Sarbagita Propinsi
punjur Raya susilo a
Lainnya
2010 242,708 791,051 370,290 372,092 376,744 50,219 130,070 290,430 2,391,550
2011 240,931 779,223 368,490 369,352 372,849 48,724 127,051 288,237 2,428,749
2012 239,508 742,225 367,250 366,141 369,320 46,565 123,714 287,508 2,385,017
2013 237,282 730,432 365,719 362,987 365,398 36,701 121,212 285,961 2,408,030
2014 235,296 720,161 364,286 361,841 363,894 35,354 120,173 284,083 2,400,518

Gambar IV.26
Luas Belum Bersertipikat di Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi Tahun
2010-2014 (hektar)
Sumber : Hasil Analisis dari Data Pusat Data dan Informasi BPN RI.

Untuk rata-rata nilai tanah terendah dan tertinggi pada masing-masing kawasan
perkotaan, maka dapat ditunjukkan bahwa rata-rata harga (nilai) tanah tertinggi
berada di kawasan Jabodetabekajur sebesar Rp.28.115.302 per m2. Dan rata-rata
harga tanah terendah di kawasan Kartamantul sebesar Rp.13.167 per m2.
Informasi (terlampir) dapat disampaikan bahwa di Kota Jakarta Pusat memiliki
harga tanah tertinggi mencapai Rp.77.790.000 per m2, dan Kota Mamuju terendah
sebesar Rp. 400 per m2. Adapun harga tanah pada masing-masing kawasan
perkotaan sebagai berikut:
89

30,000,000

25,000,000

20,000,000

15,000,000

10,000,000

5,000,000

-
Mebindangr Jabodetabe Bandung Kedungsep Gerbangker Kartamantu Mamminas
Sarbagita
o kapunjur Raya ur tosusilo l ata
Harga Terendah 2014 651,297 1,119,871 267,200 13,167 111,073 180,000 384,355 12,772
Harga Tertinggi 2014 14,220,962 28,115,302 21,480,000 7,404,500 6,007,429 9,644,667 11,456,825 14,766,667

Gambar IV.27
Rata-Rata Nilai Tanah Terendah Dan Tertinggi Pada Masing-Masing Kawasan
Perkotaan Tahun 2014
Sumber : Hasil Analisis Data dari Direktorat Penilaian Tanah BPN RI.

4.2 Hasil Analisis Regresi

4.2.1 Hasil Analisis Regresi dari Total Realisasi PNBP


Pengujian regresi dilakukan menggunakan Software SPSS 18 (metode stepwise61),
untuk rentang periode 2012-2014 dengan keterangan sebagai berikut:
Y = Realisasi PNBP
X1 = PDRB
X2 = Inflasi
X3 = Nilai Kredit Properti
X4 = Luas Tanah Belum Bersertipikat
X5 = Luas Tanah Belum Terpetakan
Adapun X6 yaitu Pertumbuhan Pasokan Properti, maka tidak dapat dilakukan
proses regresi karena data terbatas dan tidak mewakili per Kota/Kabupaten serta

61
Dengan metode Stepwise, maka variabel prediktor yang tidak signifikan akan otomatis
dikeluarkan.
90

satuannya berbeda yaitu ada per meter, per unit dan per hektar. Sedangkan X7=
Rata-Rata Nilai tanah62 tidak dapat dilakukan pengujian63 karena data terbatas
pada Kota/Kabupaten tertentu dan terbatas di tahun 2014.

Dari hasil regresi64 (tabel 5) menunjukkan bahwa hanya variabel Nilai Kredit
Properti signifikan berpengaruh terhadap realisasi PNBP Kantor Pertanahan di
Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi pada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang. Pengaruh Nilai Kredit Properti mempengaruhi realisasi PNBP secara
simultan (bersama-sama) dalam model regresi ini ditunjukkan oleh Adjusted R
Square 0,869 dengan nilai signifikansi F sebesar 0,000. Realisasi PNBP dapat
dijelaskan sebesar 86,9% oleh nilai kredit properti. Sisanya dijelaskan oleh faktor
lain yang dapat digali dari hasil tabulasi pengisian kuisoner. Sedangkan secara
parsial, nilai koefisien T sebesar 37.829 dengan signifikansi 0,000 atau diartikan
bahwa nilai kredit secara parsial juga signifikan mempengaruhi realisasi PNBP.

Model regresi ini sudah sangat baik menunjukkan bahwa aspek ekonomi yang
berpengaruh bukanlah PDRB dan Inflasi namun nilai kredit properti. Dapat juga
diartikan bahwa pembelian properti dengan cara kredit sangat diminati
masyarakat untuk tujuan investasi, karena tidak dipengaruhi oleh inflasi. Inflasi
yang menunjukkan kenaikan harga dan kemampuan daya beli, tidak
mempengaruhi pembelian properti karena konsumen properti adalah masyarakat
kelas atas atau perusahaan. Terlebih lagi berdasarkan gambar tingkat penjualan
(gambar IV.17, IV.18 dan IV.19) mencapai 97%. Harga properti (gambar IV.12,
IV.13, IV.14 dan IV.15) yang mencapai Rp.64 Juta per meter persegi
menunjukkan bahwa harga yang semakin mahal tidak menyurutkan minat pembeli
pada properti atau diartikan untuk keperluan investasi.

62
Data dari buku atlas Zona Nilai Tanah di Indonesia, Direktorat Penilaian Tanah, Dirjen
Pengadaan Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
63
Informasi dari SPSS yaitu “cannot be calculated”
64
Hasil regresi lebih lengkap, terlampir.
91

Variabel Nilai Tanah yang semula diduga berpengaruh pada realisasi PNBP,
ternyata berdasarkan hasil regresi menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan.
Nilai tanah dipakai pada rumus tarif pada sub-layanan Keputusan Pembaruan
Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai Berjangka Waktu; serta sub-layanan Pemindahan Peralihan Hak Atas
Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum. Kedua sub-layanan ini tidak cukup
signifikan mempengaruhi besaran total layanan Pendaftaran Tanah. Sub-layanan
Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat mendominasi realisasi PNBP dalam
layanan Pendaftaran Tanah. Hal ini diperkuat hubungan realitas bahwa adanya
kredit properti yang diberikan oleh Bank pada nasabah selalu dijamin dengan
sertipikat properti yang ditanggungkan di Kantor Pertanahan dengan sub-layanan
Akta Pemberian Hak Tanggunan tersebut.

Berdasarkan hasil uji korelasi, terdapat hubungan positif yang cukup kuat antara
PDRB dengan Nilai Kredit Properti sebesar 0,799. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada pengaruh antara kondisi ekonomi yang ditunjukkan PDRB dengan
Nilai Kredit Properti. Perlu diuji apakah PDRB berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai kredit properti atau sebaliknya. Selama ini, keputusan penetapan
suku bunga KPR oleh Bank Indonesia selalu dilandasi alasan untuk menggerak
ekonomi sebagai akibat kondisi perekonomian yang sedang buruk.

Untuk variabel Luas Tanah Belum bersertipikat dan Luas Tanah Belum
terpetakan, terdapat korelasi posistif yang sangat tinggi sebesar 0,996
(multikolinearitas). Hal ini dapat dimaklumi bahwa proses sertipikasi memang
melalui tahap pemetaan bidang dan kemudian disertipikatkan. Tidak semua
bidang tanah yang telah diukur yang diterbitkan Surat Ukur, selalu kemudian
disertipikatkan. Kedua variabel aspek spasial tersebut ternyata tidak berpengaruh
terhadap realisasi PNBP. Namun, lokasi berhubungan dengan tingkat
pertumbuhan properti dan harga properti seperti ditunjukkan gambar IV.9, IV.10,
IV.11, IV.13, IV.14, IV.15 dan IV.23 yang memberikan kesimpulan bahwa
92

wilayah Jabodetabekapunjur menjadi favorit untuk developer membangun


properti dan merupakan pasar properti sangat menjanjikan. Pertumbuhan jumlah
properti yang pesat, harga properti yang semakin mahal didukung oleh
pertumbuhan pemberian kredit properti. Kawasan ini yang meliputi wilayah
paling luas memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat baik. Berikut ini
adalah rangkuman hasil regresi tersebut sebagai berikut:
Tabel IV.2
Model Summary Total Realisasi
Hasil Regresi PNBP dengan software SPSS 18 (metode Stepwise)

R 0,933
R Square 0,870
Adjusted R Suare 0,869
F 1431,003
Sig. F 0,000
T 37,829
Sig. t 0,000
Durbin-Watson 1,814
VIF 1,000
Coefficients
B Std. Error
Constant 2700,314 511,838
Kredit_Properti 0,003 0,000
Sumber : Hasil Analisis

4.2.2 Hasil Analisis Regresi dari Tiap Jenis Realisasi Layanan PNBP
Penelitian ini melakukan uji regresi dengan variabel dependent pada realisasi 9
jenis layanan PNBP. Hasil analisis regresi dari tiap jenis realisasi layanan PNBP
sebagai berikut:
93

Tabel IV.3
Model Summary Per Jenis Layanan
Hasil Regresi dengan software SPSS 18 (metode Stepwise)
No Jenis Layanan N Varibel R Square & Sig.F &T DW
(Variabel Independent Adjusted R
Dependent) Square
1. Survei, 216 1.Kredit_Properti 0.400 & 0.397 0.00 &0.000 1.763
Pengukuran dan 2.PDRB 0.442 & 0.437 0.00 &0.000
Pemetaan
2. Pemeriksaan 216 1.Kredit_Properti 0.333 & 0.330 0.00 &0.000 2.009
Tanah 2.PDRB 0.377 & 0.371 0.00 &0.000
3.L_Blm_Terpetakan 0.400 & 0.392 0.04 &0.000
4.L_Blm_Sertipikat 0.493 & 0.483 0.00 &0.000
3. Konsolidasi 9 Tidak ada variabel yang signifikan
Tanah Swadaya
4. Pertimbangan 204 Kredit_Properti 0.103 & 0.099 0.00 &0.000 1.733
Teknis
5. Pendaftaran 216 1.Kredit_Properti 0.833 & 0.832 0.00 &0.000 1.848
Tanah 2.PDRB 0.840 & 0.839 0.01 &0.001
6. Informasi 216 1.Kredit_Properti 0.568 & 0.566 0.00 &0.000 1.782
2.PDRB 0.612 & 0.609 0.00 &0.000
7. Lisensi 8 Tidak ada variabel yang signifikan
8. P3MB 1 Tidak dapat dilakukan uji karena sampel layanan ini hanya satu
9. Kerjasama 4 Tidak ada variabel yang signifikan
Sumber : Hasil Analisis

Dari hasil tersebut terlihat bahwa hasil uji regresi untuk layanan Survei,
Pengukuran dan Pemetaan, Pemeriksaan Tanah, Pertimbangan Teknis,
Pendaftaran Tanah, dan Informasi menunjukkan bahwa variabel Kredit Properti,
pengaruh signifikan terhadap kelima layanan tersebut. PDRB berepengaruh pada
keempat layanan, dan Luas Tanah Belum Bersertipikat serta Luas Tanah Belum
Terpetakan hanya berpengaruh dengan pemeriksaan tanah. Jika dibandingkan
dengan hasil uji regresi dari total jumlah semua jenis layanan PNBP, terdapat
perbedaan variabel bebas yang signifikan berpengaruh hanya kredit properti. Hal
ini diartikan pada nilai yang lebih besar, utuh dan menyeluruh dari realisasi PNBP
di Kantor Pertanahan kawasan perkotaan dan ibukota propinsi, dipengaruhi oleh
kredit properti saja. Pengaruh akumulasi realisasi layanan survey, pengukuran &
pemetaan; pemeriksaan tanah; dan pertimbangan teknis tidak dominan
membentuk total realisasi PNBP, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
94

120.00%

100.00%

80.00%

60.00%

40.00%

20.00%

0.00%
Survei,
Penguk
Pemerik Konsoli Pertimb Penda ft
ura n Informa Kerja sa
sa a n da si a nga n a ra n Lisensi P3MB Tota l
da n si ma
ta na h ta na h Teknis Ta na h
Pemeta
an
2012 14.78% 5.89% 0.00% 1.85% 67.51% 8.71% 1.26% 0.00% 0.00% 100.00
2013 14.19% 4.77% 0.06% 3.49% 69.85% 7.62% 0.02% 0.00% 0.01% 100.00
2014 12.70% 4.47% 0.02% 1.22% 74.25% 7.17% 0.06% 0.10% 0.01% 100.00

Gambar IV.28
Prosentase Tiap Jenis layanan Terhadap Total Realisasi PNBP
Kawasan Perkotaan dan Ibukota Propinsi 2012-2014
Sumber: Hasil analisis dari data Biro Keuangan dan Pelaksanaan Anggaran

Dari hasil regresi tiap jenis layanan tersebut dapat diintrepretasikan sebagai
berikut:
1. Pelayanan Survei, Pengukuran dan Pemetaan, dipengaruhi secara signifikan
oleh Kredit Properti dan PDRB. Terjadi korelasi antar kedua variabel itu
(pearson Correlation 0,799), namun tidak menunjukkan multikolinearitas
(VIF= 2.762, tidak lebih dari 5 atau 10). Model ini hanya mampu
menjelaskan pengaruh kredit properti dan PDRB secara bersama-sama
terhadap layanan Survei, Pengukuran dan Pemetaan sebesar 39,7% dan
43.7%. Dapat diinterpretasikan bahwa daerah perkotaan yang penggunaan
lahan lebih secara intensif, telah banyak terjadi pemecahan, pemisahan dan
penggabungan sertipikat. Atau diartikan banyak developer yang membeli
bidang tanah kemudian dilakukan pemecahan, pemisahan dan penggabungan
sehingga diperlukan layanan pengukuran ulang. Tanah yang sudah digabung
menjadi Sertipikat Hak Guna Bangunan dan dipecah selanjutnya dapat
diagunkan developer ke bank. Ini sejalan dengan pertumbuhan properti dan
95

kredit properti yang terus meningkat. Adapun Gambar IV.28 yang


menunjukkan prosentase berkurang, maka dapat saja diartikan proses
pengukuran tidak diartikan pelaksanaanya pada tahun berjalan. Adapun
pengaruh PDRB terhadap layanan Survei, Pengukuran dan Pemetaan,
merupakan pengaruh secara tidak secara langsung. Developer melakukan
layanan pengukuran karena investasi pembangunan unit properti yang
mensyaratkan layanan ini.
2. Pelayanan Pemeriksaan Tanah dipengaruhi secara signifikan oleh Kredit
Properti, PDRB, Luas Tanah Belum Bersertipikat serta Luas Tanah Belum
Terpetakan. Model ini cukup menjelaskan pengaruh secara bersama-sama
terhadap pemeriksaan tanah yang ditunjukkan oleh Adjusted R Square.
Terdapat multikolinearitas antara variabel Luas Tanah Belum Bersertipikat
dengan Luas Tanah Belum Terpetakan sehingga dapat digunakan salah
satunya yaitu Luas Tanah Belum Bersertipikat. Pemeriksaan tanah merupakan
runtutan mekanisme pendaftaran tanah pertama kali setelah pengukuran,
sebagai akibat dari adanya pemecahan, pemisahan dan penggabungan
sertipikat oleh developer properti. Luas tanah belum bersertipikat juga
berpengaruh signifikan terhadap layanan ini.
3. Pelayanan Pertimbangan Teknis, dipengaruhi secara signifikan oleh Kredit
Properti meskipun hanya dapat dijelaskan nilai Adjusted R Square sebesar 9%.
Layanan pertimbangan teknis (lebih spesifik ijin lokasi) merupakan rentetan
tahapan yang dilakukan developer untuk memperoleh sertipikat HGB.
4. Pelayanan Pendaftaran Tanah dipengaruhi secara signifikan oleh Kredit
Properti dan PDRB. Hal ini seperti dijelaskan sebelumnya karena dominasi
layanan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Sedangkan PDRB tidak
berpengaruh langsung terhadap PNBP namun lebih berhubungan dengan
pemberian kredit properti oleh bank (Kondisi ekonomi pada syarat 5 C).
5. Pelayanan Informasi dipengaruhi secara signifikan oleh Kredit Properti dan
PDRB serta dapat dijelaskan model masing-masing sebesar 56,6% dan 60,9%.
Sub layanan dalam layanan informasi beberapa diantaranya ada sub layanan
96

informasi titik koordinat, CORS, Peta Pertanahan, informasi nilai tanah atau
kawasan, peta analisis penatagunaan tanah yang dapat membantu developer
dalam proses perencanaan pembangunan properti. Sementara itu PDRB yang
menunjukkan tingkat pendapatn dimungkinkan mempengaruhi masyarakat
untuk melakukan layanan informasi seperti pengecekan sertipikat dan
penerbitan surat keterangan pendaftaran tanah. Realisasi pada layanan
informasi ini, proporsinya kecil dibanding total realisasi PNBP yaitu sebesar
7.17%-8.71% sehingga tidak berpengaruh signifikan.

4.3 Hasil Tabulasi Data Kuisoner


Model persamaan regresi di atas mampu menjelaskan secara signifikan pengaruh
nilai kredit properti terhadap realisasi PNBP sebesar 86,9,%. Terdapat argumen
dari hasil tabulasi kuisoner yang menyebutkan bahwa kecenderungan masyarakat
melakukan pembelian properti melalui kredit bank dan kemudian melakukan
permohonan layanan Hak Tanggungan, karena merasa proses lebih mudah dan
terpercaya (aman). Adapun hasil kesimpulan atas tabulasi data (terlampir) untuk
membantu menjelaskan pengaruh aspek-aspek lain terhadap penerimaan PNBP
yaitu:
A. Faktor Ekonomi
1. Tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang menunjang
kemampuan masyarakat secara finansial untuk membayar biaya
pensertifikatan tanahnya dan layanan lainnya.
Dalam hal ini, tingkat pendapatan dan kesejahteraan dengan menggunakan
variabel PDRB dan LPE tidak sesuai seperti hasil model regresi sehingga
argumen ini ditolak.
2. Nilai ekonomis tanah terus meningkat sehingga dapat dipakai keperluan
investasi dan modal usaha. Tanah dapat memberikan kesejahteraan berupa
pendapatan melalui transaksi jual beli, sewa–menyewa, dan jaminan hak
tanggungan (Secured Transaction), dan sebagainya. Selain itu juga dengan
sertipikasi tanah akan dapat meningkatkan nilai tanah tersebut
97

3. Sertipikat dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk kebutuhan finansial. (misal


modal usaha, perbaikan rumah, mobil dll)
4. Mulai masuknya pengembang (developer Properti), investor dalam
pengembangan Infrastruktur dan juga industri sehingga menambah pemasukan
PNBP dari peralihan Hak Atas Tanah dan Pertimbangan ijin lokasi.
5. Perputaran ekonomi yang baik dan sehat, daya beli masyarakat tinggi; serta
pengaruh nilai tukar rupiah yang mempengaruhi harga tanah.
Untuk faktor perputaran perekonomian yang baik dan sehat, maka belum ada
variabel yang dapat dipakai dalam model penelitian lain. Daya beli
masyarakat yang di asumsikan dengan variabel inflasi, ternyata tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PNBP. Sedangkan pengaruh nilai
tukar rupiah dapat diteliti lebih lanjut.
6. Banyaknya aktivitas transaksi jual beli properti yang mempengaruhi
pelayanan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Hal ini telah diperkuat dengan hasil regresi bahwa ada pengaruh signifikan
pemberian kredit properti terhadap realisasi PNBP. Pemberian kredit tersebut
selalu menggunakan jaminan sertipikat properti yang menggunakan sub-
layanan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
B. Faktor Sosial dan Budaya
1. Pesatnya pembangunan misalnya di wilayah suburban sebagai daerah
penyangga Jakarta sehingga kegiatan ekonomi dan bisnis memiliki laju
pembangunan fisik yang cukup pesat. Hal ini menyebabkan meningkatnya
permohonan pensertipikatan sehingga memperbesar penerimaan layanan
PNBP di kantor pertanahan tersebut.
2. Gaya hidup masyarakat yang ingin memiliki barang baru misal mobil dan
barang lainnya yang mendorongnya untuk menjual atau menjaminkan (sebagai
agunan) tanah ke bank.
3. Tingginya kebutuhan akan tanah untuk aktivitas kehidupan dan perumahan
yang terus meningkat.
98

4. Budaya khususnya di Bali, kegiatan keagamaan masyarakat dan hari hari


besar agama yang ada sangat mempengaruhi animo masyarakat mengurus
tanahnya sehingga permohonan bisa sedikit atau banyak.
5. Tingkat pendidikan. Hal ini mungkin dapat mempengaruhi cara pandang
seseorang terhadap potensi ekonomi dan lainnya pada objek tanah.
C. Faktor Kebijakan dan Hukum
1. Kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang tinggi atas kepastian hukum Hak
Atas Tanah yang meliputi kepastian mengenai subyek haknya (tanah tersebut
milik siapa) dan kepastian obyeknya (letaknya dan luasnya).
2. Kebijakan, Program dan Sosilisasi pemerintah baik pemerintah pusat dan
kabupaten dalam pembangunan daerah. Dengan berlakunya UU No.2865 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), yang memberatkan pemohon dalam hal fungsi NJOP per
meter bidang tanah. Terlebih pihak pemda mengejar target penerimaan PAD
melalui BPHTB tanah. Dalam hal ini NJOP mempengaruhi permohonon
masyarakat atas layanan PNBP seperti layanan pemeliharaan data jika ZNT
belum dihitung.
3. Beberapa layanan BPN masih berkaitan dengan instansi lain misalkan melalui
aparat desa ataupun PPAT yang dimungkinkan menjadi calo yang meminta
jasa.
Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pelayanan Kantor Pertanahan
yang berimbas pada peningkatan PNBP berdasarkan hasil survei dapat
disampaikan berikut:
1. Adanya kepastian dan transparansi akan persyaratan-persyaratan, jangka
waktu penyelesaian, biaya dan proses sesuai SOPP serta pelayanan yang
mudah, cepat dan ramah serta pelayanan Prima terhadap masyarakat sehingga
puas terhadap Pelayanan Kantor Pertanahan.

65
Sejak 1 Januari 2011, BPHTB merupakan pendapatan daerah.
99

2. Memberikan pelayanan yang menyentuh masyarakat secara langsung


mengurus sertipikat Hak Atas Tanah tidak serumit, sesulit atau semahal yang
dibayangkan. Promosi bahwa biaya akan lebih murah jika mengurus sertipikat
langsung ke BPN tanpa perantara, serta melakukan pelayanan di tempat-
tempat umum sehingga masyarakat mengetahui tata cara permohonan layanan.
3. Peningkatan kualitas dan attitude (sikap) sumber daya manusia/ petugas yang
melayani masyarakat/pemohon harus mampu memberikan layanan sebaik-
baiknya atas kebutuhan masyarakat mengenai layanan hak-hak atas tanahnya.
4. Menyediakan sarana/ fasilitas pendukung yang memadai misalnya ruang
tunggu pemohon yang nyaman (full AC) serta tersedianya fasilitas yang
mendukung kelancaran aktifitas pelayanan misalnya akses internet/ wifi,
tersedianya ATM untuk memudahkan pemohon membayar biaya layanannya,
tersedianya mesin fotokopi.
5. BPN mengeluarkan program-program inovasi yang mempermudah
masyarakat dalam hal pembuatan sertipikat tanah, misalnya layanan 70-70,
Quick Win, Layanan Pasca Sertipikasi, layanan online (Desa online ), layanan
LARIS/ODS (One Day Service) setiap hari (seperti Roya, jual beli dan
peningkatan hak), informasi melalui sms 2409, Lalansia (layanan lanjut usia),
Week End Service, Night Service, Layanan La’Cepot, Larasita Malam,
Delivery Service (melayani orang –orang yang memiliki latar belakang
khusus), layanan di Car Free Day (CFD), layanan Proaktif, pemberian
dorongan untuk memperoleh penghargaan (dari Kementerian Menpan dan
Ombusman), serta moderisasi sistem pelayanan seperti perbankan yang fokus
memberikan kenyamanan pengguna layanan. Penggunaaan teknologi untuk
validasi data tekstual, grafikal dan peta (map) yang baik, maka pelayanan
melalui dunia maya atau internet dapat mempercepat layanan.

Realisasi PNBP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI yang tinggi tidak
dibarengi dengan realisasi belanja PNBP yang optimal. Adapun alasan yang
sebagaai hasil survei pada Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut:
100

1. Adanya tanda bintang (blokir anggaran) sehingga berpengaruh terhadap


realisasi pencairan. Blokir seringkali pada anggaran belanja modal,
disebabkan belum ada penghapusan barang milik negara yang sudah tidak bisa
dipergunakan (rusak berat).
2. Permasalahan aplikasi yang berubah-ubah serta petunjuk teknis pelaksanaan
PNBP terlambat diterima.
3. Adanya saving (penghematan) dan revisi lainnya pada proses APBN-
Perubahan secara nasional yang menghambat proses pencairan, serta DIPA
APBNP Revisi tersebut terlambat diterima oleh Kantor Pertanahan.
4. Pagu belanja yang dialokasikan pada DIPA apabila melebihi, maka harus
revisi penambahan pagu ke DJA, sehingga Kantor Pertanahan tidak pernah
menyerap PNBP secara optimal.
5. Beberapa kegiatan harus menunggu pekerjaan selesai baru dapat dibayarkan,
sementara durasi penyelesaian pekerjaannya melewati tahun anggaran.
Contoh: layanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan Panitia A,
Pendaftaran Tanah Pertama Kali di akhir tahun. Belum lagi ditambah dengan
banyaknya permohonan di akhir tahun anggaran
6. Perencanaan yang kurang baik yang kurang memahami kondisi dan kebutuhan
kantor. Dalam hal lebih teknis, perencana kesulitan mengadakan kegiatan dari
dana sisa non operasional, jika dipakai untuk membeli peralatan dan mesin
(komputer, laptop, meubelair dll) tidak dimungkinkan secara aturan untuk
dibeli setiap tahun karena harus melihat kondisi66 barang modal pada aplikasi
SIMAK BMN serta jumlah pegawai.
7. Kekurangan SDM di Kantor Pertanahan khususnya di bidang perencanaan dan
keuangan. Terbatasnya tenaga SDM yang mengerti aplikasi keuangan dan
banyaknya tenaga yang sudah tua/jelang pensiun sehingga lambat
pekerjaannya. Selain itu pelaksanaan anggaran terlalu bertumpu pada PPK.

66
Jika ingin membeli barang modal baru, kondisi barang lama harus rusak untuk kemudian
dihapuskan. Jumlah barang laptop/komputer dan lainnya dipastikan tidak lebih besar dari
pegawai pengguna alat tersebut.
101

4.4 Analisa Kaitan Hasil Penelitian dengan Kebijakan Tarif PNBP


Terdapat beberapa hal dari hasil penelitian ini yang dapat dikaitkan dengan
kebijakan pengenaan tarif PNBP di Badan Pertanahan Nasional/Kementerian
Agraria dan Tata Ruang. Hal ini disampaikan untuk menjawab salah satu tujuan
penelitian dan kemudian dapat dijadikan rekomendasi. Adapun hal tersebut antara
lain sebagai berikut:
1. Realisasi PNBP di Kawasan Perkotaan dan ibukota Propinsi sangat
dipengaruhi oleh layanan pendaftaran tanah terutama sub layanan Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Nilai tarif nominal APHT ini per bidang dapat
mencapai Rp.50.000.000 ,- dengan ijin penggunaan per bidang itu sebesar
Rp.42.770.000,-, namun template (struktur/rincian biaya) belanja dalam DIPA
yang dipakai hanya sebesar Rp.42.000,- per bidang. Hal ini memungkinkan
keleluasaan Kantor Pertanahan menggunakannya untuk berbagai kegiatan
peningkatan layanan dan belanja modal. Seringkali karena aturan
pengganggaran (entri RKAKL) dibatasi oleh petunjuk dari Direktorat Jenderal
Anggaran sehingga tidak mudah menganggarkan dan melaksanakannya.
Akibatnya realisasi belanja PNBP kurang optimal. Solusi adanya kenyataan
seperti ini yaitu dengan sistem PNBP terpusat, sehingga kelebihan anggaran
dari Kantor Pertanahan bertarget PNBP tinggi, maka sebagian belanjanya
dapat disalurkan kepada Kantor Pertanahan di pelosok daerah yang
membutuhkan bantuan operasional.
2. Layanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, pemeriksaan tanah,
pertimbangan teknis dan informasi di kawasan perkotaan dan ibukota propinsi
cenderung dimohon oleh developer properti. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan kembali template (struktur/RAB) belanja operasional yang layak
dan mengurangi potensi korupsi. Besaran tarif HSBK untuk layanan tersebut
tidak terlalu sensitif bagi masyarakat karena lebih banyak ditujukan pada
developer yang melakukan investasi. HSBK untuk non pertanian dapat
dinaikkan tarifnya. Di sisi lain perlu diatur secara khusus pengurangan tarif
layanan tersebut bagi masyarakat miskin dan pihak lainnya. Dalam PP 128
102

tahun 2015 menyebutkan bahwa bagi pihak tertentu dapat diberikan tarif
sampai nol rupiah untuk pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah;
pemeriksaan tanah panitia A dan petugas Kontatasi; dan layanan Pendaftaran
Pertama Kali. Penjelasan lebih lanjut ditetapkan dalam peraturan Menteri,
yang sedang diproses.

4.5 Aplikasi Perencanaan Target PNBP Dengan Menggunakan Model


Regresi dan Time Series
Dari hasil analisa telah ditemukan nilai konstanta masing-masing variabel pada
model sebagaimana persamaan berikut:
Y = B + aX3 + error
Realisasi PNBP = 2700,314 juta rupiah + (0,003 x Nilai Kredit Properti) +
511,838 juta rupiah.
Penelitian ini akan melakukan perhitungan dengan model regresi dan analis
forecasting Time Series untuk membandingkan hasil yang paling baik sebagai
bahan pertimbangan perencanaan target PNBP di tahun berikutnya. Data historis
realisasi PNBP, seringkali tidak tercatat dengan baik karena beban tugas yang
berat dan seringnya pergantian kepemimpinan di Kantor Pertanahan. Begitu pula,
tidak ada data besaran nilai setiap transaksi penjualan kredit properti yang tercatat
di Kantor Pertanahan ketika sertipikat properti itu diberikan Hak Tanggungan.
Data historis kredit properti sangat mudah di akses dan lengkap per bulanan dari
website Bank Indonesia67 sehingga dimungkinkan dapat memprediksi realisasi
PNBP per bulan.

Perencana di masing-masing kantah dapat juga mempertimbangkan pertumbuhan


kredit properti di masa datang dengan mengikuti informasi dari media terkait

67
http://www.bi.go.id/id - klik menu “Statistik” - klik “SEKDA (Statistik Ekonomi dan
Keuangan Daerah)” - pilih propinsi – klik “download SEKDA terkini” – klik “kategori:
kegiatan perbankan” – pilih file excel no.15.
Atau contoh link
http://www.bi.go.id/id/statistik/sekda/StatistikRegionalDetail.aspx?idprov=11, kemudian
download no.15 (Posisi Pinjaman Yang Diberikan Rupiah Dan Valuta Asing Bank Umum
Dan Bpr Per Dati Ii Menurut Sektor Ekonomi Berdasarkan Lokasi Proyek Di Propinsi)
103

prediksi prosentase pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah. Dapat juga perencana


menentukan perkiraan nilai kredit properti dengan analisis time series, atau
menggunakan justifikasi realisasi PNBP berdasarkan data historis.

Pada model berikut, hasil forecasting nilai kredit properti selama 2010-2015
kawasan perkotaan dan ibukota propinsi untuk tahun 2016 adalah sebesar
Rp.352.959.292 (juta) sehingga hasil forecasting Realisasi PNBP sebesar
Rp.1.061.697 (juta). Dan jika ditetapkan berdasarkan data historis bahwa kawasan
perkotaan dan ibukota propinsi ini berkontribusi pada 56% pada target nasional
maka realisasi PNBP nasional diperkirakan sebesar Rp.1.895.887 (juta).
Perencanaan target penerimaan PNBP dalam DIPA yang baik adalah mendekati
prediksi realisasi, sehingga belanja PNBP dapat direncanakan dan hal ini dapat
menjadi alasan akademis ketika rapat penetapan target PNBP Kementerian ATR
dengan Komisi II DPR.

Berikut ini dalam tabel IV.3 akan disampaikan forecasting beberapa satuan kerja
Kantor Pertanahan dalam 74 objek penelitian yang telah memberikan data time
series dan feedback (jawaban) atas kuiosoner yang telah dikirim. Tidak semua
Kantor Pertanahan objek penelitian memberikan respon jawaban diakibatkan
kesibukan masing-masing di awal tahun. Namun dalam penelitian ini dianggap
cukup mewakili atas data tabulasi. Dalam tabel terlihat bahwa target DIPA yang
mendekati perhitungan forecasting regresi adalah Kota Serang, Kab. Tangerang&
Kota Tangerang Selatan, Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Yogyakarta,
Palangkaraya dan Makassar. Dapat terjadi disparitas yang tinggi sebab hasil
koefisien regresi cenderung mewakili kawasan Perkotaan & Ibukota Propinsi
secara utuh, bukan per tiap-tiap kota. Hal ini dapat diuji oleh perencana di
masing-masing Kantor Pertanahan. Hasil perhitungan forecasting dapat disajikan
dalam tabel berikut:
Tabel IV.4 Perhitungan Forecasting dengan Regresi dan Time Series
Forecasting Realisasi PNBP Menggunakan Model Regresi (Nilai Kredit Properti Signifikan Mempengaruhi Target PNBP pada Selisih Antara Forecasting dan
Realisasi PNBP) DIPA DIPA
Data Nilai Kredit Forecasting Analisis Trend Time Series Dari Data
Forecasting Target PNBP pada
No. Propinsi Properti Realisasi PNBP (dalam juta) Menggunakan Model Realisasi PNBP
Objek Penelitian
Analisis Trend (Forecasting) Nilai Kredit Properti Regresi, dengan Variabel X : Analisis Trend Nilai Kredit Regresi Time Series
Properti
2015 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2016 2016
1 Nasional 1.862.418 2.071.992 2.281.566 2.300.000 1.862.418
2 Kawasan Perkotaan dan - 352.959.292 392.778.396 432.597.501 1.061.578 1.181.036 1.300.493 Tidak dapat dihitung karena data historis realisasi PNBP 1.061.578
Ibukota Propinsi tidak mencapai 5 periode
3 Kota Pekanbaru Riau 4.740.010 5.361.260 5.739.777 6.118.294 18.784 19.920 21.055 12.251 12.048 11.845 12.642 18.784 12.251
4 Kota Jambi Jambi 2.246.813 2.629.367 2.869.344 3.109.321 10.588 11.308 12.028 7.758 8.237 8.716 8.275 10.588 7.758
5 Kota Palembang Sumatera Selatan 5.720.364 6.771.873 7.405.172 8.038.470 23.016 24.916 26.816 23.539 26.440 29.644 16.885 23.016 23.539

6 Kota Bengkulu Bengkulu 1.212.571 1.384.452 1.561.775 1.739.099 6.854 7.386 7.918 2.695 2.964 3.233 3.010 6.854 2.695
7 Kota Pangkal Pinang Kep. Bangka 727.850 998.037 1.147.449 1.296.860 5.694 6.143 6.591 2.438 2.742 3.047 2.042 5.694 2.438
Belitung
8 Kota Serang Banten 2.672.229 3.008.152 3.486.625 3.965.098 11.725 13.160 14.596 24.199 27.124 30.050 17.042 11.725 24.199
9 Kab.Tangerang & Kota Banten 26.017.413 30.739.607 33.975.094 37.210.582 94.919 104.626 114.332 Tidak dapat dihitung karena data historis realisasi PNBP 101.037 94.919
Tangerang Selatan tidak mencapai 5 periode
10 Kota Jakarta Utara DKI Jakarta 11.556.684 14.536.974 15.944.536 17.352.098 46.311 50.534 54.757 44.300 48.498 52.697 55.326 46.311 44.300
11 Kota Jakarta Selatan DKI Jakarta 20.416.392 23.756.853 25.860.423 27.963.993 73.971 80.282 86.592 87.176 99.947 112.718 102.580 73.971 87.176
12 Kota Depok Jawa Barat 9.526.373 11.000.805 12.394.217 13.787.629 35.703 39.883 44.063 33.616 40.872 48.128 28.826 35.703 33.616
13 Kab. Karawang Jawa Barat 4.664.067 8.311.703 9.703.084 11.094.464 27.635 31.810 35.984 22.681 25.789 28.897 19.390 27.635 22.681
14 Kab. Cianjur Jawa Barat 585.365 623.019 679.374 735.729 4.569 4.738 4.908 4.904 5.314 5.725 6.437 4.569 4.904
15 Kota Bogor Jawa Barat 2.716.142 2.780.944 3.023.872 3.266.799 11.043 11.772 12.501 6.854 7.305 7.756 10.047 11.043 6.854
16 Kab. Kendal Jawa Tengah 444.381 467.907 528.775 589.643 4.104 4.287 4.469 5.658 6.281 6.904 6.507 4.104 5.658
17 Kota Yogyakarta D.I Yogyakarta 1.082.568 888.551 952.116 1.015.680 5.366 5.557 5.747 6.588 7.280 7.971 5.602 5.366 6.588
18 Kab. Sleman D.I Yogyakarta 1.874.693 2.130.781 2.341.667 2.552.552 9.093 9.725 10.358 13.047 14.607 16.167 17.758 9.093 13.047
19 Kab. Mojokerto Jawa Timur 411.286 450.035 502.345 554.654 4.050 4.207 4.364 7.177 7.995 8.812 8.012 4.050 7.177
20 Kab. Lamongan Jawa Timur 272.629 317.430 356.720 396.010 3.653 3.770 3.888 6.023 6.690 7.356 6.290 3.653 6.023
21 Kota Denpasar Bali 6.287.518 7.572.608 8.397.813 9.223.017 25.418 27.894 30.369 19.840 22.476 25.112 20.932 25.418 19.840
22 Kab. Badung Bali 2.852.057 3.318.218 3.696.853 4.075.488 12.655 13.791 14.927 36.890 42.453 48.015 40.270 12.655 36.890
23 Kab. Gianyar Bali 563.657 639.906 679.245 718.584 4.620 4.738 4.856 11.613 13.256 14.899 12.088 4.620 11.613
24 Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah 1.253.059 1.451.578 1.634.303 1.817.028 7.055 7.603 8.151 4.816 5.502 6.187 6.512 7.055 4.816

25 Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan 2.653.835 3.161.592 3.465.756 3.769.921 12.185 13.098 14.010 3.944 4.301 4.658 5.927 12.185 3.944

26 Kota Ujung Pandang Sulawesi Selatan 8.364.703 10.029.005 11.011.945 11.994.885 32.787 35.736 38.685 13.412 14.463 15.515 26.551 32.787 13.412
(Makassar)
27 Kota Kendari Sulawesi Tenggara 1.592.553 1.911.122 2.142.433 2.373.745 8.434 9.128 9.822 4.089 4.590 5.091 2.983 8.434 4.089

28 Kota Gorontalo Gorontalo 465.355 554.007 630.114 706.220 4.362 4.591 4.819 Tidak dapat dihitung karena data historis tidak realisasi 1.357 4.362
PNBP mencapai 5 periode
29 Kota Mamuju Sulawesi Barat 232.165 280.677 322.226 363.774 3.542 3.667 3.792 1.475 1.573 1.689 1.924 3.542 1.475

104

Anda mungkin juga menyukai