Anda di halaman 1dari 41

1

1. PENDAHULAUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki kekayaan dan potensi

sumberdaya yang melimpah. Wilayah Indonesia juga memiliki keunggulan berupa

posisi geografis yang menguntungkan yaitu terletak di daerah tropis yang

memungkinkan untuk memproduksi komoditas pertanian sepanjang tahun.

Perkembangan diera globalisasi pada dasarnya memberikan peluang bagi sektor

pertanian untuk berkembang lebih cepat dan sekaligus memberikan tantangan baru

karena komoditas pertanian harus mempunyai keunggulan daya saing dan

kemandirian produk pertanian sedemikian rupa sehingga produk pertanian mampu

bersaing di pasar Domestik maupun Internasional.

Sektor pertanian hingga kini tetap memiliki peranan yang strategis dalam

pembangunan nasional, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan

pembangunan. Peranan strategis sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara

lain ditujukan oleh sektor pertanian sebagai kontributor penting dalam Pembentukan

produk Domestik Bruto, Penyedian dan peningkatan Devisa Negara melalui ekspor

hasil pertanian serta penyedian bahan baku industri (Buchori, 2010).

Sektor pertanian di Indonesia dibagi menjadi lima subsektor yaitu subsektor

pertanian pangan, subsektor perkebunan, subsektor kehutanan, subsektor peternakan

dan subsektor perikanan. Sektor pertanian terus dituntut berperan dalam

perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB),


2

perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan

kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Berdasarkan data-data yang ada pada Badan Pusat Statistik Indonesia, untuk

keseluruhan tahun 2012, sektor pertanian tumbuh sebesar 3,97%, lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2011 yang sebesar 3,37%. Kinerja sektor

pertanian ditopang oleh subsektor perikanan, perkebunan dan tanaman bahan

makanan. Kinerja ekspor pertanian yang membaik terutama disebabkan oleh

membaiknya produktivitas subsektor tanaman bahan makanan yang besumber dari

peningkatan produksi pertanian selama tahun 2012.

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari hasil pertanian, peternakan,

kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar 315.036,8

miliar rupiah pada tahun 2011 dan 327.549,7 miliar rupiah pada tahun 2012 atau

mengalami peningkatan sebesar 3,9 persen. Sedangkan peran sektor pertanian

terhadap PDB Indonesia tahun 2012 turun dari 12,7 persen menjadi 12,5 persen.

Peran sektor pertanian terhadap PDB berada pada peringkat ke dua setelah sektor

industri pengelolaan yaitu sebesar 25,5 persen. (Badan Pusat Statistik Indonesia,

2013).

Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk provinsi Riau dari hasil

pertanian, kehutanan, dan perikanan atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar

17,5 Triliun pada tahun 2011 dan 17,9 Triliun pada tahun 2012 atau mengalami

peningkatan sebesar 2,28 persen. Sedangkan peran sektor pertanian terhadap PDRB

Riau tahun 2012 menurun dari 16,96 persen menjadi 16,78 persen namun tetap
3

menduduki peringkat kedua setelah sektor pertambanagn dan penggalian (Riau

Dalam Angka, 2013). Untuk melihat PDRB Provinsi Riau atas dasar harga konstan

2000 menurut lapangan usaha termasuk minyak bumi dan gas tahun 2008-2012 dapat

dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. PDRB Provinsi Riau Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Termasuk Minyak Bumi dan Gas Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah)

Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011*) 2012**)


1. Pertanian, peternakan
kehutanan dan 15.494.292,46 16.071.126,47 16.692.857,97 17.414.057,55 17.841.920,97
perikanan

2. Pertambangan dan
46.897.464,66 46.887.752,15 47.597.626,32 48.797.771,93 48.353.175,74
penggalian

3. Indutri pengelolaan
9.910.769,31 10.408.040,64 11.104.279,60 11.873.821,60 12.246.562,66
4. Listrik, gas dan air
197.745,09 204.021,91 215.418,61 230.184,80 238.552,70
bersih

5. Bangunan 2.972.880,21 3.233.711,46 3.519.496,47 3.968.815,42 4.529.655,12

6. Perdagangan, hotel
7.504.882,30 8.170.775,01 9.003.031,20 9.909.550,43 11.497.269,11
dan restoran

7. Pengangkatan dan
2.575.353,68 2.788.135,53 3.050.959,99 3.343.837,63 3.746.042,76
komunikasi

8. Keuangan,
1.149.980,23 1.266.639,45 1.391.821,99 1.524.585,3 1.741.223,39
persewaan dan jasa
perusahaan

9. Jasa - jasa
4.382.013,88 4.756.033,97 5.160.106,38 5.603.338,47 6.114.324,91

Jumlah / Total 91.085.381,81 93.786.236,58 97.735.598,51 102.665.963,65 106.308.727,37

Keterangan : *) Angka perbaikan **) Angka sementara


Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2013)

Kabupaten Kuantan Singingi merupakan salah salah satu Kabupaten di

Provinsi Riau yang ikut memberikan kotribusi yang cukup signifikan terhadap
4

perekonomian di Kabupaten Kuantan Singingi terutama pada sektor pertanian. Hal ini

dapat dilihat pada PDRB Kabupaten Kuantan Singingi atas dasar harga konstan 2000

menurut Lapangan Usaha termasuk Minyak Bumi dan Gas tahun 2008-2012 (Tabel

2).

Tabel 2. PDRB Kabupaten Kuantan Singingi Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha Termasuk Minyak Bumi dan Gas Tahun
2008-2012 (Juta Rupiah)

Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011*) 2012**)

1. Pertanian 1,449,862.57 1,541,235.34 1,640,824.39 1,752,659.07 1,950,684.80


2. Pertambangn dan
penggalian 317,473.94 332,144.39 346,236.94 363,011.20 366,010.20

3. Indutri pengelolaan
220,097.60 235,748.82 254,357.93 274,584.47 276,584.47

4. Listrik, gas dan air bersih 4,742.46 5,011.31 5,338,67 5,707.32 6,095.32

5. Bangunan 157,631.83 171,518.30 186,691.53 203,871.03 222,871.03


6. Perdagangan, hotel dan
restoran 208,891.64 225,078.78 242,961.25 262,529.25 274,209.59

7. Pengangktan dan
komunikasi 63,418.04 68,632.81 74,372.28 80,714.74 84,120.74

8. Keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 36,209.83 41,499.62 47,962.56 53,729.65 55,976.65

9. Jasa - jasa 260,670.86 285,772.75 312,127.59 341,956.81 349,009.81

Jumlah / Total 2,718,998.77 2,906,642.12 3,110,873.14 3,338,763.55 3,585,562.61

Sumber : Kuantan Singingi Dalam Angka (2013)

Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa persentasi Nilai Produk Domestik

Regional Broto (PDRB) untuk Kabupaten Kuantan Singingi dari sektor pertanian

adalah sebesar 52,49 persen pada tahun 2011 dan 54,40 persen pada tahun 2012 atau

mengalami peningkatan sebesar 1,91 persen. Dengan demikian terlihat bahwa sektor
5

pertanian mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) Kuantan Singingi pada tahun 2012 yaitu sebesar

1.950.684,80 juta rupiah dari total PDRB sebesar 3.585.562,61 juta rupiah atau

sebesar 54,40 persen dari total PDRB Kabupaten Kuantan Singingi.

Distribusi persentase PDRB Kabupaten Kuantan Singingi atas dasar harga

konstan 2000 menurut Lapangan Usaha termasuk Minyak Bumi dan Gas tahun

2008-2012 (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Kuantan Singingi Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Termasuk Minyak Bumi dan Gas
Tahun 2010-2012 (Juta Rupiah)
Lapangan Usaha 2010 2011*) 2012**)
1. Pertanian 52,74 52,49 54,40
2. Pertambangn dan penggalian 11,13 10,87 10,21
3. Indutri pengelolaan 8,18 8,22 7,71
4. Listrik, gas dan air bersih 0,17 0,17 0,17
5. Bangunan 6,00 6,11 6,22
6. Perdagangan, hotel dan restoran 7,81 7,86 7,65
7. Pengangktan dan komunikasi 2,39 2,42 2,35
8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 1,54 1,61 1,56
9. Jasa – jasa 10,03 10,24 9,73

Jumlah / Total 100,00 100,00 100,00

Sumber : Kuantan Singingi Dalam Angka (2013)

Besarnya kontribusi sektor pertanian ini tidak lepas dari subsektor perkebunan

yang ditunjang dengan luas areal dan produksi perkebunan yang ada baik seacara

nasional maunpun regional di tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk tingkat regional

Provinsi Riau tidak berbeda jauh dengan skala nasional, dimana pada tahun 2012

tanaman kelapa sawit memiliki areal yang paling besar yaitu seluas 2.372.402 hektar
6

disusul tanaman kelapa seluas 521.792 hektar dan tanaman karet pada urutan ketiga

seluas 500.851 Ha. Untuk luasan jenis tanaman lainnya diikuti oleh tanaman sagu,

kopi, pinang, gambir, kakao dan tanaman lainnya (BPS Provinsi Riau, 2013)

Untuk tingkat kabupaten kondisi subsektor perkebunan Kabupaten Kuantan

Singingi pada tahun 2012 luas areal tanaman perkebunan yang terbesar ditempati oleh

tanaman karet dengan luas 146.216,21 Ha. Sedangkan tanaman kelapa sawit berada

pada urutan kedua dengan luas 126.803,28 Ha dan tanaman kakao berada pada urutan

ketiga dengan luas 2.203,17. Untuk melihat perkembangan luas tiga jenis tanaman

perkebunan unggulan dengan jumlah produksi dan jumlah petani di Kabupaten

Kuantan Singingi tahun 2007-2012 dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Luas Lahan Tiga Jenis Tanaman Perkebunan Unggulan dengan Jumlah
Produksi dan Jumlah Petani di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun
2007-2012
Luas Lahan (Ha) Produksi (ton) Jumlah Petani (KK)
Tahun Kaka
Karet Sawit Kakao Karet Sawit Karet Sawit Kakao
o
2007 159.873 114.904 3.231 69.638 1.731.797 4.464 93.884 33.161 6.906
2008 158.891 115.527 3.25 79.036 2.738.994 4.389 92.875 28.036 7.129
2009 151.909 119.149 3.952 101.216 1.834.607 2.42 66.252 34.821 751
2010 152.392 119.808 3.208 49.997 310.045 2.749 66.713 35.745 3.322
2011 152.466 120.579 2.194 55.617 325.38 1.816 64.949 38.773 3.333
2012 146.216 126.803 2.203 56.299 328.539 1.823 62.751 44.117 3.339
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi 2013

Dari Tabel 4 diatas terlihat bahwa, pada tanaman karet terjadi penurunan luas

areal pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 dari luasan 159.873 Ha menjadi

151.909 Ha. Namun tidak demikian halnya dengan produksi tanaman karet, dimana

pada tahun 2007 sampai dengan 2009 produksi karet justru mengalami peningkatan
7

dari 69.638 ton menjadi 101.216 ton. Sedangkan pada tahun 2009 sampai tahun 2011

terjadi kecendrungan peningkatan luas areal kebun karet menjadi 152.466 dan terjadi

penurunan produksi karet menjadi 55.617 ton. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi

penurunan luas areal menjadi 146.216 Ha dan terjadi peningkatan produksi karet

menjadi 56.299 ton.

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2013) menunjukkan

bahwa total untuk produksi perkebunan karet di Kabupaten Kuatan Singingi adalah

sebanyak 56.299 ton atau sebesar 14,1 persen dari total produksi sektor perkebunan

Kabupaten Kuatan Singingi. Untuk melihat data jumlah petani karet, luas tanaman

dan produksi karet pada 15 kecamatan di Kabupaten Kuantan Singngi tahun 2012 di

sajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Lahan Produksi dan Jumlah Petani di 15 Kecamatan di Kabupaten


Kuantan Singingi Tahun 2012
Luas Tanaman
Jumlah Produksi
Kecamatan TBM TT/TR Petani
TM(Ha) (Ha) (K3) Ton/Ha
(Ha) (Ha)

Hulu Kuantan 3 .074,00 5 .102,00 1 .849,00 1 0.025,00 3.936,92 4.238


Kuantan Mudik 3 .494,00 5 .328,00 1 .081,40 9.903,40 4.123,16 4.276
Pucuk Rantau 1 .412,00 2 .104,00 361,00 3.877,00 1.633,54 1.496
Gunung Toar 1 .647,00 7 .808,00 2 .804,00 1 2.259,00 6.011,83 6.217
Kuantan Tengah 5 .539,40 5 .983,22 1 .803,16 1 3.325,78 4.678,96 4.407
Sentajo Raya 2 .060,10 2 .884,25 1 .428,00 6.372,35 2.295,67 2.306
Benai 1 .471,75 2 .509,00 2 .004,62 5.985,37 1.950,72 5.976
Pangean 3 .486,00 3 .602,00 1 .564,00 8.652,00 2.791,45 3.779
Kuantan Hilir 3 .889,00 3 .899,29 937,75 8.726,04 3.078,75 4.281
Kuantan Hilir
2 .442,00 2 .401,00 703,00 5.546,00 1.903,49 2.658
Sebrang
Logas Tanah Darat 3 .967,52 7 .812,00 1 .451,00 1 3.230,52 6.068,74 5.161
Inuman 3 .770,00 3 .448,00 2 .806,00 1 0.024,00 2.663,12 3.758
Cerenti 3 .009,10 2 .905,00 2 .987,00 8.901,10 2.270,28 4.968
Singingi 5 .129,40 8 .630,00 2 .758,00 1 6.517,40 6.664,17 6.409
8

Singingi Hilir 2 .851,00 8 .066,00 1 .954,25 1 2.871,25 6.228,56 2.821


72.481,7
Jumlah 47.242,27 26.492,18 146.216,21 56.299,34 62.751
6
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi (2013)

Untuk menunjang pengembangan tanamn karet, Dinas perkebunan Kabupaten

Kuatan Singingi pada tahun 2011 telah memprogramkan peremajaan tanaman karet

rakyat. Melalui APBD Kabupaten Kuatan Singingi, luas tanaman karet rakyat yang

diremajakan melalui Dinas Perkebunan pada tahun 2011 seluas 800 ha. Peremajaan

kebun karet ini diharapkan dapat menggantikan karet-karet tua masyarakat dan sesuai

dengan program pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dari

subsektor perkebunan.

Dalam program ini, para petani selain mendapatkan bantuan bibit karet

okulasi dalam polybag secara gratis juga akan diberikan pupuk secra cuma-cuma

serta bantuan biaya cincang rumput dan pemagaran. Kegiatan peremajaan karet ini

dilaksanakan di 8 kecamatan yaitu (Kecamatan Hulu Kuantan, Kuantan Tengah,

Benai, Pangean, Kuantan Hilir, Inuman, Logas Tanah Darat, Singingi), dimana saat

ini pelaksanaan pekerjaannya telah dimulai.

1.2.Perumusan Masalah

Perkebunan karet di Kabupaten Kuantan Singingi didominasi oleh perkebunan

karet rakyat. Mengamati hasil perkebuanan rakyat dengan rendahnya produktivitas

karet rakyat berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi

hanya sebesar 0,78 ton/ ha/tahun, hal itu sebabkan oleh faktor-faktor antara lain : (1)

mayoritas petani belum menggunakan bahan tanam klon karet unggul (okulasi) dan
9

belum menerapkan standar budidaya serta pemeliharaan kebun karet dan juga

teknologi pasca panen yang direkomendasikan, (2) terdapat areal kebun karet tua

yang cukup luas yang perlu segera diremajakan. Faktor-faktor tersebut saling

mempengaruhi satu sama lainnya. Faktor ini menjadi penentu sekaligus menjadi

penghambat produksi terutama didaerah pedesaan sehingga masyarakat pedesaan

khususnya petani karet yang mengalami masalah dalam usahanya untuk menigkatkan

produksinya.

Produksi dan produktivitas tanaman karet tidak selalu mengalami

peningkatan, adakalanya terjadi penurunan. Dalam mengimplikasikan penurunan,

peningkatan atau tetapnya jumlah produksi penting diperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi agar dapat dikendalikan. Pengendalian yang dimaksud

adalah dengan membatasi setiap tindakan yang dianggap mengurangi nilai tambah

dan meningkatkan hal-hal yang dianggap dapat menaikan nilai tambah terhadap

produksi. Faktor yang mempengaruhi hasil produksi merupakan tolak ukur dalam

pengambilan keputusan untuk menunjang pencapaian hasil produksi yang maksimal.

Penggunaan faktor-faktor produksi haruslah secara tepat dan dalam kombinasi yang

optimal agar tercapai produktivitas yang seoptimal mungkin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi karet sangatlah banyak,

didalam penelitian ini faktor-faktor yang akan dianalisa yang mempengaruhi produksi

tanaman karet diantaranya jumlah produksi karet, luas area tanaman (jumlah tanaman

yang menghasilkan), jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk (Urea, SP-36, KCL),

Herbisida, dan bibit yang di gunakan.


10

Berdasarkan hal tersebut didapatlah rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja faktor yang paling dominan mempengaruhi produksi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi?

2. Bagaimana Respon faktor produksi terhadap produksi karet di Kabupaten

Kuantan Singingi?

3. Apakah alokasi faktor produksi yang digunakan pada usahatani karet di

Kabupaten Kuantan Singingi sudah efisien atau tidak?

4. Bagaimana implikasi kebijakan untuk mengoptimalkan produksi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi

penggunaan faktor-faktor produksi usahatani karat di Kabupaten Kuantan Singingi.

Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis faktor-faktor dominan yang mempengaruhi produksi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi

2. Untuk menganalisis Respon faktor produksi terhadap produksi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi

3. Untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor produksi karet di Kabupaten

Kuantan Singingi

4. Untuk merumuskan implikasi kebijakan untuk mengoptimalkan produksi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi


11

Berdasarakan penelitian yang dilakukan, diharapkan penelitian ini dapat

digunakan sebagai salah satu wadah bagi peneliti untuk mengimplikasikan ilmu

pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan dan sebagai referensi sumber

informasi bagi studi-studi selanjutnya yang berkaitan dengan penggunaan

faktor-faktor produksi karet. penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan

bagi petani karet dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas produksinya.
12

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Teori Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian merupakan sebagai suatu proses perubahan sosial.

Dimana implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan

kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk

mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,

budaya, lingkungan maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth)

dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan. Jadi,

pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan

sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari

yang kurang baik menjadi yang lebih baik.

Seperti yang diketahui sektor pertanian di Indonesia dianggap penting. Hal ini

terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyedian

pangan, penyumbang devisa negara melalui ekspor dan sebagainya. Oleh karena itu

wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian ini selalu tiga besar di antara

pembiayaan sektor-sektor yang lain (Soekartawi, 1994)

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang

berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederahana dan gamblang

tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat

pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani,

(2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat
13

produksi secara lokal, (4) adanya perangsang produksi bagi petani, (5) tersedianya

pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Sedangkan syarat pelancar pembangunan

pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan

gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5)

perencanaan nasional pembangunan pertanian.

Sudaryanto dan Munif (2010) menyebutkan secara umum peranan penting

sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor ini pada saat krisis ekonomi

yang lalu dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai,

dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional.

Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki

keberpihakan terhadap sektor pertanian, dalam memperluas lapangan kerja,

menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang luas.

Arifin (2004) menyatakan dalam sejarah modern Indonesia, pertumbuhan

sektor pertanian tumbuh sekitar 3,73 persen rata-rata pertahun pada periode

1968-2001, suatu angka pertumbuhan yang tidak terlalu rendah. Peran subsektor

pangan dan tanaman perkebunan cukup dominan dalam struktur pertumbuhan sektor

pertanian tersebut sepanjang lebih dari tiga dasawarsa tersebut. Kebijakan yang

ditempuh pemerintah dalam melakukan transpormasi struktur perekonomian juga

merupakan refleksi dari prioritas dan strategi yang dipilih, walupun sering melalaikan

basis penting sektor pertanian dalam setting kebijakan ekonomi makro umumnya.

Beberapa kebijakn strategis dari berbagai sektor yang perlu ditekankan dalam

menunjang pengembangan sektor pertanian adalah: (1) kebijakan ekonomi makro

yang kondusif, yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dan suku bunga riil
14

yang positif, (2) pembangunan imprastruktur pertanian yang berkelanjutan, terutama

yang berkaitan dengan rehabilitasi jaringan irigasi dan sarana pertanian lainnya, (3)

kebijkan pembiayaan, (4) kebijkan yang sesuai dengan karakteristik usaha pertanian,

perdagangan dan investasi yang menunjang pengembangan industri yang lebih

menekankan pada agroindustri skala kecil dipedesaan, dan (5) dukungan pemerintah

daerah pada pembangunan pertanian melalui alokasi APBD yang memadai dan

pengembangan institusi pertanian di daerah.

Menurut Soekartawi (1994) dalam paradigma pembangunan pertanian dilihat

dari pendekatan komoditas ke sumber daya, dimana para perencana dan pelaksana

pembangunan pertanian sekarang tidak boleh lagi berpikir parsial, tetapi harus

berpikir holistik. Pendekatannya bukan bagaimana semata-mata produksi komoditas

pertanian tertentu harus dicapai (misalnya pendekatan produksi), tetapi harus pula

memikirkan pengaruh kenaikan produksi tersebut ke aspek kehidupan yang lain

misalnya bagaimana pengelolaannya, pemasarannya, pengaruhnya terhadap eksistensi

komoditas lain. Oleh karena itu pendekatan sumberdaya ini pada sasarannya

diarahkan pada bagaimana optimalisasi pemanfaatan sumberdaya agar pembangunan

pertanian dapat berhasil bersamaan dengan pembangunan sektor ekonomi yang lain.

Berdasarkan konsep ini, maka pendekatan agribisnis perlu dikembangkan.

II.2. Teori Produksi

Menurut Putong (2003), produksi atau proses memproduksi adalah menambah

kegunaan (nilai guna) suatu barang. Suatu proses produksi membutuhkan

faktor-faktor produksi, yaitu alat dan sarana untuk melakukan proses produksi. Proses
15

produksi juga melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor produksi

yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Dalam pertanian proses produksi

sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi.

Menurut Salvatore (2011), fungsi produksi merupakan hubungan matematis

antara input dan output. Sedangkan menurut Putong (2003), fungsi produksi adalah

hubungan teknis bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor

produksi. Bila faktor produksi tidak ada, maka produksi juga tidak ada.

Menurut Soekartowi (2003), produksi adalah hasil gabungan atau hasil akhir

suatu proses produksi dari berbagai faktor-faktor produksi dalam suatu proses

produksi. Kaitan antara faktor-faktor produksi dengan produksi diterangakan dengan

hubungan yang saling berkaitan satu sama lainnya dengan melihat hubungan kausal,

misalnya dikatakan dengan fungsi produksi.

Menurut Beattie dan Taylor (1994), produksi yaitu proses kombinasi dan

koordinasi meterial-material dan kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya, atau

jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang atau jasa (output atau produk).

Kata input dan output hanya memiliki pengertian dalam hubungannya dengan proses

produksi tertentu. Misalnya bahwa suatu output dari satu proses produksi bisa

merupakan suatu input bagi proses produksi lainnya.

Hubungan antara faktor produksi variabel dengan kuantitas produksi

mempunyai prilaku tertentu, dimana pada waktu faktor produksi nol, kuntitas

produksi juga nol. Semakin banyak kuantitas faktor variabel yang digunakan semakin

besar kuantitas produksi. Penambahan kuantitas faktor variabel ini berjalan terus
16

sampai suatu ketika penggunaannya terlalu banyak sehingga dikombinasikan dengan

faktor produksi lain yang justru menurunkan kuantitas produksi (Sudarsono, 1984).

Untuk menghasilkan produksi (output) diperlukan bantuan kerjasama

beberapa faktor produksi sekaligus. Masalah ekonomi yang kita hadapi kini adalah

bagaimana petani dapat mengkombinasikan faktor-faktor produksi tersebut agar

tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya baik secara fisik maupun secara ekonomis

(Mubyarto, 1994).

Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output. Produk atau

produksi dalam bidang pertanian atau lainnya dapat bervariasi, antara lain disebabkan

karena perbedaan kualitas. Hal ini dimengerti karena kualitas yang baik dihasilkan

oleh proses produksi yang dilaksanakan dengan baik dan begitu juga sebaliknya

kualitas produksi menjadi kurang baik bila usahatani tersebut dilaksanakan dengan

kurang baik (Soekartawi, 1995).

Faktor produksi dalam usahatani mencakup tanah, modal, dan tenaga kerja.

Tanah merupakan faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanpa tanah rasanya mustahil

usahatani dapat dilakukan. Dalam tanah dan sekitar tanah banyak lagi faktor yang

harus diperhatikan, katakan luasnya, topografinya, kesuburannya, keadaan fisiknya,

lingkungannya, lerengnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui semua keadaan

mengenai tanah, usaha pertanian dapat dilakukan dengan baik (Daniel, 2002). Dalam

ilmu ekonomi mikro dikenal dengan apa yang disebut fungsi produksi yaitu suatu

fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik atau output dengan

faktor produksi atau input (Sadono Sukirno, 1994).


17

II.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi

Dalam melakukan proses produksi faktor produksi merupakan hal yang harus

ada dan tetep tersedia karena sarana produksi merupakan input yang sangat berperan

aktif dalam menjamin kelancaran kegiaan produksi. Faktor produksi meliputi lahan,

modal (baik dalam bentuk barang seperti benih, pupuk, obat-obatan, maupun uang

tunai), faktor-faktor tenaga kerja serta manajemen atau pengolahan.

Faktor produksi adalah semua pengorbanan yang diberikan pada tanaman agar

mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi yang sangat

mempengaruhi besar kecilnya hasil yang diperoleh adalah lahan, bibit, pupuk,

pestisida, tenaga kerja dan aspek manajemen (Suratiyah. K, 2006). Faktor produksi

dapat dibedakan menjadi 4 bagian yaitu:

II.3.1. Lahan/Tanah

Tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman. Faktor tanah tidak terlepas dari

pengaruh alam sekitarnya seperti sinar matahari, curah hujan dan sebagainya. Tanah

bukan merupakan barang produksi, tidak dapat diperbanyak dan tidak dapat

dipindah-pindahkan. Oleh karena itu, tanah dalam usahatani mempunyai nilai besar

(Suratiyah. K, 2006).

Menurut Mubyarto (1995), tanah merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yaitu

tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil-hasil produksi keluar. Faktor

produksi tanah mempunyai kedudukan yang penting. Hal ini terbukti dari besarnya

balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan faktor-faktor produksi yang lain.

Sedangkan menurut Djaenudin (2000), lahan merupakan bagian dari bentang alam
18

yang mencangkup pengertian lingkungan fisisk termasuk iklim, tofografi, hidrologi

dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetaria) yang semuanya secara

potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan.

II.3.2. Modal

Menurut Mubyarto (1999) modal adalah barang atau uang yang bersama-sama

faktor produksi lain seperti tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang

berupa hasil pertanian. Modal adalah benda yang diciptakan manusia dan digunakan

untuk memproduksi karet yang dibutuhkan oleh petani. Agar dapat mencapai

produktivitas yang tinggi maka kegiatan produksi harus dilakukan secara efektif dan

efisien. Efisiensi produksi adalah banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh

dari satu kesatuan faktor produksi.

Setiap akhir panen, petani akan menghitung berapa kali produksinya dan

berapa produksi yang dihasilkan (pendapatan kotor). Setelah semua biaya dikurangi

dari pendapatan kotor barulah petani mendapatkan pendapatan bersih. Biaya produksi

akan mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani yang dilakukan. Usahatani yang

efisien terlihat dari rasio pendapatan kotor dengan biaya produksi lebih dari satu.

Usahatani dapat dipertahankan kelanjutannya tergantung dengan nilai Return

Cost Ratio (RCR). Menurut (Soekartawi, 2002) suatu usahatani dikatakan efisien jika

Return Cost Ratio besar dari satu, dengan kata lain usahatani tersebut dapat

dilanjutkan.
19

II.3.3. Tenaga Kerja

Menurut Kusumowidho (1981), tenaga kerja adalah mereka yang terlibat

dalam kegiatan produktif pada produksi barang dan jasa. Adapun defenisi tenaga

kerja menurut Mubyarto (1999) adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara

yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka

dan jika mereka mau berpartispasi dalam aktivitas tersebut. Sukirno (2004)

menyatakan bahwa usia produktif untuk bekerja berada pada usia 15-55 tahun. Umur

produktif tenaga kerja dapat mempengaruhi jumlah produk yang dihasilkan.

Untuk memudahkan dalam menghitung tenaga kerja, maka sebagai patokan

digunakan tenaga kerja pria dewasa. Sedangkan tenaga kerja wanita dan anak-anak

dikonversikan kedalam tenaga kerja pria dewasa. Untuk satuan hari kerja pria (HKP)

setara dengan 1 HKP dan untuk tenaga kerja wanita sama dengan 0,8 HKW,

sedangkan tenaga kerja anak-anak 0,5 HKP. Perhitungan ini berdasarkan atas lama

kerja yakni 6-8 jam dalam satu hari (Soekartawi, 2002)

II.3.4. Manajemen

Faktor produksi menajemen merupakan salah satu faktor produksi yang

penting jika dikaitkan dengan kata efisien, artinya walaupun faktor produksi tanah,

pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan modal dirasa cukup, akan tetapi jika tidak

dikelolah dengan baik, maka produksi yang tinggi yang diharapkan juga tidak akan

tercapai (Suratiyah, 2006). Menurut Hernanto (1991) manajemen usahatani adalah

kemampuan petani menentukan, mengorganisir, mengkoordinasikan fakor-faktor


20

produksi yang di kuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian

sebagaimana yang diharapkan.

Dalam manajemen terdapat fungsi-fungsi manajemen yang terkait erat di

dalamnya. Pada umumnya ada 4 fungsi manajemen yang banyak dikenal masyarakat

yaitu fungsi perencanaan (Planing), fungsi pengorganisasian (Organizing), fungsi

pengarahan (Directing) dan fungsi pengendalian (Controlling).

II.4. Penelitian Terdahulu

Saputra (2011) dalam skripsi “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor

Produksi Petani Karet Di Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat efisiensi pemanfaatan input (efisiensi

teknis, efisiensi alokatif/harga, dan efisiensi ekonomi) dan Bagaimanakah return to

scale serta analisis keuntungan pada pertanian karet di Kecamatan Dayeuhluhur,

Kabupaten Cilacap. Variabel independen yang di gunakan adalah luas lahan, tenaga

kerja, pupuk dan mangkuk karet. Penelitian ini menggunakan alat bantuan Software

Frontier Version 4.1c. Untuk menganalisis nilai efisiensi teknis menggunakan model

SPF yang telah mengalami pengembangan lebih lanjut, yaitu model Stochastic

Production Frontie r-Technical Efficiency (SPF-TE).

Dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa usahatani karet belum efisien

secara harga dan ekonomi. Nilai return to scale sebesar 1,13385. Hal ini

menunjukkan bahwa usahatani karet tersebut berada pada Increasing return to scale,

yaitu apabila tiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output yang lebih
21

banyak dari pada unit input sebelumnya. Untuk perhitungan R/C ratio hasil sebesar

0,96415 hal ini mempunyai arti bahwa usahatani karet belum menguntungkan pada 5

tahun pertama karena awal masa produksi karet pada usahatani karet di Kecamatan

Dayeuhluhur terjadi pada 5 tahun setelah penanaman karet sedangkan biaya yang

dikeluarkan selama 5 tahum belum diimbangi oleh hasil produksinya yang baru

memasuki panen pertama.

Horasdin (2013) dalam skripsi “ Analis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Hasil Poduksi Karet di Gunung Para PTPN III”. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui faktor-faktor mana yang paling mempengaruhi jumlah produksi karet di

di Gunung Para PT. Perkebunan Nusantara III. Data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data sekunder runtun per triwulan untuk tahun 2009 hingga 2012 yang

diperoleh di PT Perkebunan Nusantara III. Dalam penelitian ini, metode analisis yang

digunakan adalah Metode Backward. Alat bantu yang digunakan dalam mengelola

data sekunder ini adalah program SPSS 17.0

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor dominan yang

mempengaruhi jumlah hasil produksi karet di PTPN III adalah Luas lahan, Jumlah

penggunaan pupuk, Jumlah pestisida,Jumlah tenaga kerja dengan pengaruh sebesar

92,6 % yang berarti adanya hubungan linier sempurna langsung antara X dan Y,

dimana semakin meningkat Luas lahan, Jumlah penggunaan pupuk, Jumlah

pestisida,Jumlah tenaga kerja maka semakin meningkat juga jumlah produksi karet di

Gunung Para PT. Perkebunan Nusantara III.


22

Adri (2013) dalam skripsi “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi

Karet Rakyat di Desa Ranah Sungkai Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten

Kampar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kesesuaian Penerapan

Faktor-Faktor Produksi Karet (Pemilihan Bibit, Penanaman, Perawatan dan

Pemupukan ), Luas Lahan, Modal, Pendidikan dan Pengalaman Kerja Petani Karet di

Desa Ranah Sungkai Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah tenik dokumenter dan teknik komunikasi

secara tidak langsung dengan alat pengumpul data adalah angket, kemudian dianalisis

dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Tidak semua proses yang

dilakukan petani dalam hal penerapan faktor-faktor produksi karet sesuai bagi

tanaman.(2) Luas lahan yang dimiliki petani di desa Ranah Sungkai masih tergolong

sempit, ini terlihat dari sebahagian besar 20 petani (66,67%) memiliki lahan yang

sempit (1-2 hektar). (3)Modal yang digunakan petani tergolong kecil karena

sebahagian beasar populasi masih menggunakan modal yang kecil (

Rp10.000-75.000). (4) Tingkat Pendidikan petani masih tergolong rendah karena

pendidikan petani yang paling banyak adalah tamat SD. Kemudian pengetahuan

mereka tentang karet sebahagian besar 23 petani atau (76,67%) di peroleh secara

turun-temurun atau secara tradisional dari orang tua. (5) Petani sudah cukup

berpengalaman. Karena 14 petani (46,66% ) petani yang mengusahakan perkebunan

karet di desa Ranah Sungkai sudah tergolong berpengalaman sedang (6-15 tahun )
23

Eka, Zainal dan Ibnu (2013) dalam jurnal “Analisis Produksi Lateks Pada

PTPN VII Way Berulu”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa

saja yang paling mempengaruhi produksi lateks pada PT. Perkebunan Nusantara VII

(Persero) Unit Usaha Way Berulu. Metode pengolahan data dalam penelitian ini

menggunakan metode tabulasi dan komputasi. Analisis data dan pengujian hipotesis

dilakukan dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Model fungsi

produksi yang digunakan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglass.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa produksi lateks PTPN VII Unit

Usaha Way Berulu dipengaruhi oleh luas panen, penggunaan pupuk urea, penggunaan

pupuk TSP, curah hujan, dan pemberian SEM. Luas panen dan pupuk TSP tidak

berpengaruh nyata terhadap produksi lateks. Penggunaan faktor-faktor produksi

lateks di kebun Unit Usaha Way Berulu belum efisien. Proses produksi lateks Unit

Usaha Way Berulu berada pada daerah Decreasing return to scale. Model fungsi

produksi hasil penelitian memiliki jumlah koefisien regresi sebesar 0,746. Daerah

Decreasing return to scale merupakan daerah dimana penambahan satu satuan input

akan menurunkan output dari produksi lateks. Agar produksi lateks perusahaan

optimal maka penggunaan pupuk urea harus dikurangi sebesar 21.040 kg dan

penggunaan SEM harus ditingkatkan sebesar 17.466 kg.

Nurhadiah (2013) dalam skripsi “Analisis Penggunaan Faktor-Faktor Produksi

dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pada Agribisnis Kelapa Sawit Rakyat di

Kabupaten Bengkalis”. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis penggunaan

faktor-faktor produksi perkebunan kelapa sawit rakyat, (2) menganalisis pengaruh


24

faktor-faktor produksi terhadap produksi agribisnis perkebunan rakyat. Adapun

variabel independen yang digunakan meliputi pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl,

pupuk NPK, pupuk MOP, pupuk CRP, pupuk Kiserit, pupuk Solit, pupuk Za, pupuk

Dolomit, pupuk Borat, Round Up, Gramaxone, Herbatop dan HOK. Metode analisis

yang digunakan yaitu analisis regresi berganda.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor produksi yang sangat

berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit yaitu pupuk Urea 0,03 atau 97%

mempengaruhi produksi dan HOK 0,00 atau 100% mempengaruhi produksi dengan

tingkat kepercayaan 90%. Nilai MPP masing-masing variabel faktor produksi

menunjukkan bahwa perlu penambahan pupuk Urea dan HOK. Nilai NPM/Px untuk

pupuk Urea dan HOK adalah lebih dari satu (1) yang artinya perlu dilakukan

penambahan pupuk Urea dan HOK agar tercapai produksi yang efisien.

Caca (2013) dalam skripsi “Pengaruh Faktor Produksi Terhadap Produktivitas

Tanaman Kelapa Sawit di Kelurahan Sorek Satu Kecamatan Pangkalan Kuras

Kabupaten Pelalawan”. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis

pengaruh faktor produksi terhadap produktivitas kelapa sawit, (2) melihat kondisi

efisiensi pemakaian faktor-faktor produksi petani kelapa sawit. Adapun variabel

independen meliputi tenaga kerja, Herbisida, pupuk Urea, pupuk KCl, pupuk TSP,

Kiserit dan Dolomit. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis regresi berganda

dengan Ordinary Least Square (OLS).

Dari penelitiannya menyatakan bahwa untuk pupuk TSP dan Urea masih

dapat dilakukan penambahan jumlah untuk pupuk tersebut, sedangkan untuk tenaga
25

kerja perlu dilakukan pengurangan penggunaan. Untuk mencapai kondisi efisiensi

ekonomi agar keuntungan yang di dapat petani optimal maka untuk herbisida, tenaga

kerja, pupuk TSP, dan pupuk KCl perlu dilakukan penambahan dalam

penggunaannya.
26

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Teoritis

Kabupaten Kuantan Singingi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi

Riau yang ikut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perekonomian

Kabupaten Kuantan Singingi terutama pada sektor pertanian yaitu sebesar 54,40

persen pada tahun 2012. Besarnya kontribusi sektor pertanian ini tidak lepas dari

subsektor perkebunan yang ditunjang dengan luas areal dan produksi perkebunan

yang ada baik seacara nasional maupun regional di tingkat provinsi dan kabupaten.

Perkebunan karet di Kabupaten Kuantan Singingi didominasi oleh perkebunan

karet rakyat. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi

produktivitas perkebunan karet di Kabupaten Kuantan Singingi hanya sebesar 0,78

ton/ ha/tahun. Produksi dan produktivitas tanaman karet tidak selalu mengalami

peningkatan, adakalanya terjadi penurunan. Dalam mengimplikasikan penurunan,

peningkatan atau tetapnya jumlah produksi penting diperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi agar dapat dikendalikan

Produksi karet di kabupaten Kuantan Singingi dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Dalam penelitian ini akan dibahas analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor

produksi usahatani karet di kabupaten Kuantan Singingi dengan faktor kuantitatif.

Faktor kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika

dengan metode OLS (Ordinary Least Squares) dengan tujuan untuk mengetahui

faktor-faktor apakah yang mempengaruhi produksi karet di Kabupaten Kuantan

Singingi.
27

Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Teoritis

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.

Tepatnya di Kecamatan Kuantan Tengah, Singingi dan Kuantan Hilir. Penempatan

lokasi di tentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut


28

merupakan daerah yang memiliki perkebunan karet yang cukup luas di Kabupaten

Kuantan Singingi. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2014 sampai dengan

bulan November 2014 yang meliputi penyusunan proposal, pengumpulan data dan

pengolahan data serta penulisan skripsi.

3.3. Metode Pengambilan Sampel

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, yaitu penelitian

yang mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai

alat pengumpulan data. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani

karet di Kabupaten Kunatan Singingi. Pengambilan sampel dilakukan dengan Metode

Multy Stage Purposive Sampling. Sampel diambil pada 3 kecamatan yaitu Kecamatan

Kuantan Tengah, Singingi dan Singingi Hilir, yang mana ke-3 kecamatan tersebut

memiliki luas perkebunan dan produksi karet yang cukup banyak. Untuk

masing-masing kecamatan dipilih 1 desa, yaitu Desa Jaya Kopah dengan jumlah

petani karet adalah 1457 kepala keluarga, Desa Muara Lembu sebanyak 907 kepala

keluarga dan Desa Petai. Untuk menentukan jumlah sampel di masing-masing desa

maka digunakan rumus Slovin, yaitu sebagai berikut (Sevilla dalam Wicaksono,

2012):

𝑁
n= 2
1+𝑁𝑒

dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
29

E = Batas toleransi kesalahan

Desa Populasi Batas toleransi Sampel


Jaya Kopah 1457 25% 16
Muara Lembu 907 25% 16
Petai 25%

3.4. Metode Pengambilan Data

Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan petani sampel menggunakan

daftar pertanyaan (kuesioner) meliputi identitas petani sampel (umur, lama

pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga), faktor-faktor produksi yang

digunakan (luas lahan, penggunaan pupuk, jumlah tenaga kerja, Herbisida), dan

biaya-biaya yang dikeluarkan selama produksi, serta jumlah produksi karet yang di

hasilkan.

Data sekunder yang diperlukan diperoleh dari instansi terkait yaitu dari Kantor

Desa, Dinas Perkebunan Provinsi dan Kabupaten Kuantan Singingi, Biro Pusat

Statistik (BPS), BPP Kuantan Singingi serta literatur-literatur lainnya yang terkait

dengan penelitian. Data sekunder yang diperlukan meliputi keadaan daerah

penelitian, jumlah penduduk, pendidikan, mata pencaharian, sarana dan prasarana

serta lembaga-lembaga penunjang.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Fungsi Produksi Cobb-Douglas


30

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan

dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen,

yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan

(X). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai berikut

(Soekartawi, 1990):

Y = b0 X1b1 X2b2 X3b3 X4b4 X5b5 X6b6 e(b7 D + u) …………..…………………….. (1)

dimana:
Y = Jumlah Produksi Karet (kg/hektar/tahun)
X1 = Luas Areal Tanaman Menghasilkan (hektar/tahun)
X2 = Jumlah Tenaga Kerja (HKP/Hektar/tahun)
X3 = Penggunaan Pupuk Urea (Kg/hektar/tahun)
X4 = Penggunaan Pupuk SP-36 (Kg/hektar/tahun)
X5 = Penggunaan Pupuk KCL (Kg/hektar/tahun)
X6 = Herbisida (liter/hekar/tahun)
D = Dummy Bibit, dimana:
D1 = 1 adalah bibit unggul
D2 = 0 adalah bibit tidak unggul
b0 = Intersep
b1...b7 = farameter faktor produksi yang akan diduga
e = logaritma natural, e=2,718
u = Variabel Pengganggu

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan diatas maka persamaan

tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan

persamaan tersebut, yaitu sebagai berikut:

Ln Y = Ln b0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Ln X5 + b6 Ln X6 + b7
D + u ……………………………………………………………...…….(2)

Menurut Ghozali (2005) adanya perbedaan dalam satuan dan besaran variabel

bebas maka persamaan regresi tersebut harus dibuat dengan model logaritma natural.

Alasan pemilihan pemilihan logaritma natural adalah sebagai berikut : (1)


31

Menghindari adanya heterokesdatisitas (2) Mengetahui koefisien yang menunjukkan

elastisitas (3) Mendekatkan skala data.

Sebelum dilakukan estimasi model regresi berganda, data yang digunakan

harus dipastikan terbebas dari penyimpangan asumsi klasik untuk multikolinearitas,

heteroskesdasitas, dan autokorelasi dalam Gujarati (2003). Uji klasik ini dapat

dikatakan sebagai kriteria ekonometrika untuk melihat apakah hasil estimasi

memenuhi dasar linear klasik atau tidak. Dengan terpenuhinya asumsi-asumsi klasik

ini maka estimator OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik

BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dalam Gujarati (2003), agar tahap estimasi

yang diperoleh benar dan efektif. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi untuk

memenuhi sifat BLUE adalah homoskedastisitas, bila asumsi tersebut tidak terpenuhi

maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni heteroskedastisitas yang artinyavariansi

error tidak kosntan. Variansi error yang tidak kostan ini menyebabkan kesimpulan

yang dicapai tidak valid atau bias.

Setelah data dipastikan bebas dari penyimpangan asumsi klasik, maka

dilanjutkan dengan uji hipotesis kemudian dilakukan uji efisiensi sehingga tujuan

penelitian yang ketiga dapat terjawab, yaitu untuk menganalisis efisiensi penggunaan

faktor-faktor produksi karet di Kabupaten Kuantan Singingi.

3.5.2. Uji Asumsi Klasik

3.5.2.1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah variabel memiliki

distribusi normal atau tidak. Metode yang digunakan untuk menyelidiki hal tersebut
32

salah satunya adalah uji Jarguae Bera atau JB test dengan membandingkan nilai J-B

hitung dan nilai X2 tabel. Adapun formula uji statistik JB adalah sebagai berikut

(Widarjono, 2009):

2
⎡ 𝑆 (𝐾− 3 ) ⎤
JB hitung = n ⎢ 6
+ 24 ⎥
⎣ ⎦

……………………………………...................(3)

dimana:
S = skewness statistik
K = kurtosis

Jika nilai JB hitung > nilai X2 tabel maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa

residual berdistribusi normal ditolak. Dan sebaliknya jika JB hitung < nilai X2 tabel

maka hipotesis nol yang menyakan bahwa residual berdistribusi normal diterima.

3.5.2.2. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi

antara variabel independen dalam model regresi. Apabila terjadi multikolinieritas

dalam model regresi hal itu berarti terdapat hubungan sempurna antara beberapa

variabel independen yang merupakan indikasi multikolinieritas. Untuk mendektesi

multikolinieritas dalam suatu model dilakukan dengan melihat Variance Inflation

Factor (VIF) dengan persamaan VIF = 1/ tolerance. Apabila nilai VIF < 10 maka

dapat dikatakan tidak terdapat multikolinearitas yang sempurna dalam model regresi

(Widarjono, 2009).

3.5.2.3. Uji Heteroskedasitas


33

Heteroskedasitas merupakan suatu kondisi dimana varian dari variabel

pengganggu tidak konstan untuk semua observasi, apabila terjadi heteroskedasitas

dalam pemakaian OLS, maka penaksiran OLS tidak efisien lagi dalam sampel besar

dan sampel kecil, serta uji t-test akan menyebabkan kesimpulan yang salah

(Widarjono, 2009)

Selanjutnya Widarjono (2009) menjelaskan model regresi dengan

heteroskedasitas mengandung konsekuensi serius pada estimator model OLS karena

tidak lagi BLUE. Untuk mengetahui ada atau tidaknya heteroskedasitas dapat

dilakukan dengan uji White. Secara manual, uji ini dilakukan dengan meregresi
^
residual kuadrat (𝑒i2) dengan variabel bebas. Dapatkan nilai R2, untuk menghitung X2,

dimana X2 = n*R2. Kriteria yang digunakan adalah apabila X2 tabel < nilai

Obs*R-squared, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada

heteroskedastisitas dalam model dapat ditolak.

3.5.2.4. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu model

regresi linier terdapat korelasi antara anggota observasi satu dengan observasi lain

yang berlainan waktu. Model regresi dikatakan baik apabila tidak terjadi autokorelasi.

Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu

sama lainnya. Untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan

menggunakan uji Breusch-Godfrey atau uji Langrange Multiplier. Dalam hasil uji

Langrange Multiplier (LM) apabila nilai Obs*R-squared lebih besar X2 tabel tabel
34

dengan probabillity X2 < 5% berarti model mengganggu masalah autokorelasi.

Demikian sebaliknya, nilai Obs*R-squared lebih kecil dari nilai X2 tabel dengan

probabillity X2 > 5% hal tersebut berarti bahwa model terbebas dari masalah

autokorelasi (Widarjono, 2009)

3.5.3. Pengujian Hipotesis

3.5.3.1. Pengujian secara Serentak (Uji F)

Untuk mengetahui apakah semua variabel independen mempunyai pengaruh

yang sama terhadap variabel dependen. Pengujian yang dilakukan menggunakan uji

distribusi F. caranya, yakni dengan membandingkan antara nilai kritis F (Ftabel) dengan

nilai F ratio (Fhitung) yang terdapat pada tabel Analysis of Variance (ANOVA) dari hasil

perhitungan. Jika Fhitung > Ftabel, maka semua variabel independen (X) berpengaruh

terhadap nilai variabel dependen (Y) dan sebaliknya Jika Fhitung < Ftabel, maka semua

variabel independen tidak berpengaruh terhadap nilai variabel dependen.

Pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama

(simultan) terhadap perubahan nilai variabel dependen dilakukan melalui pengujian

terhadap besarnya perubahan nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan

(explained) oleh perubahan nilai semua variabel independen (Alfigari, 2000).

Adapun untuk mencari F hitung dapat menggunakan rumus sebagai berikut:


2
𝑅 /(𝐾−1)
F= ………………………………..…………………………(4)
(1−𝑅2)/ (𝑛−𝐾)
35

3.5.3.2. Koefisien Determinasi (R2)

Selanjutnya untuk mengukur seberapa besar proporsi variasi variabel

dependen dijelaskan oleh semua variabel independen akan dianalisis melalui nilai

koefisien determinasi (R2). Persamaan determinasi dapat ditulis sebagai berikut

(Widarjono,2009):

^ 2
∑(𝑌𝑖−𝑌)
R2 = ……………………………………………………………..…
^ 2
∑(𝑌𝑖−𝑌)

(5)

Nilai koefisien determinasi ini terletak antara nol dan satu. Apabila nilai

koefisien determinasi (R2) kecil artinya variabel-variabel independen hanya mampu

menjelaskan variasi variabel dependen secara terbatas. Sebaliknya, bila nilainya

mendekati satu artinya variabel-variabel independen mampu menjelaskan semua

informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Widarjono,

2009).

Adapun kelemahan mendasar dalam penggunaan koefisien determinasi adalah

bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan kedalam model. Setiap

tambahan satu variabel independen, nilai R2 juga ikut meningkat tidak peduli apakah

variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh

karena itu peneliti dianjurkan untuk menggunakan adjusted R2 pada saat

mengevaluasi model regresi yang terbaik (goodness-of fit) dimana kedua model
36

mempunyai variabel dependen yang sama. Model yang di pilih adalah sebuah model

yang mempunyai nilai R2 atau R2 yang lebih tinggi dibandingkan model yang lain.

3.5.3.3. Uji Individual (Uji t)

Menurut Ghozali (2005), uji t pada dasarnya untuk menunjukkan seberapa

jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi

variabel dependen. Pengujian uji t bertujuan untuk mengetahui signifikansi atau

tidaknya koefisien regresi atau agar dapat diketahui variabel independen (X) yang

berpengaruh signifikan terhadap variabel independen (Y) secara parsial.

Untuk membuktikan hipotesis, dilakukan analisis pada tingkat kepercayaan

95%. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksisi karet di

Kabupaten Kuantan Singingi dilakukan dengan uji t. Apabila ttabel > thitung, maka H0

ditolak dan H1 diterima sampai dengan toleransi level of Significance (α) 10%.

Hipotesis yang akan diuji meliputi:

1. Pengaruh luas areal tanaman menghasilkan terhadap jumlah produksi karet.

H0 : β1 ≤ 0; artinya luas areal tanaman menghasilkan tidak berpengaruh nyata atau

berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi karet.

Ha : β1 > 0; artinya luas areal tanaman menghasilkan berpengaruh nyata positif

terhadap jumlah produksi karet.

2. Pengaruh tenaga kerja terhadap jumlah produksi karet.

H0 : β2 ≤ 0; artinya tenaga kerja tidak berpengaruh nyata atau berpengaruh negatif

terhadap jumlah produksi karet.


37

Ha : β2 > 0; artinya tenaga kerja berpengaruh nyata positif terhadap jumlah

produksi karet.

3. Pengaruh penggunaan pupuk urea terhadap produksi karet.

H0 : β3 ≤ 0; artinya penggunaan pupuk urea tidak berpengaruh nyata atau

berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi karet.

Ha : β3 > 0; artinya penggunaan pupuk urea berpengaruh nyata positif terhadap

jumlah produksi karet.

4. Pengaruh penggunaan pupuk SP36 terhadap produksi karet.

H0 : β4 ≤ 0; artinya penggunaan pupuk SP-36 tidak berpengaruh nyata atau

berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi karet.

Ha : β4 > 0; artinya penggunaan pupuk SP36 berpengaruh nyata positif terhadap

jumlah produksi karet

5. Pengaruh penggunaan pupuk KCl terhadap produksi karet.

H0 : β5 ≤ 0; artinya penggunaan pupuk KCl tidak berpengaruh nyata atau

berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi karet.

Ha : β5 > 0; artinya penggunaan pupuk KCl berpengaruh nyata positif terhadap

jumlah produksi karet.

6. Pengaruh penggunaan herbisida terhadap produksi karet.

H0 : β6 ≤ 0; artinya penggunaan herbisida tidak berpengaruh nyata atau

berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi karet.


38

Ha : β6 > 0; artinya penggunaan herbisida berpengaruh nyata positif terhadap

jumlah produksi karet.

7. Pengaruh penggunaan bibit unggul dan tidak unggul terhadap produksi karet.

H0 : β7 = 0; artinya penggunaan bibit unggul dan tidak unngul tidak berpengaruh

nyata terhadap jumlah produksi karet.

Ha : β7 ≠ 0; artinya penggunaan bibit unggul dan tidak unngul berpengaruh nyata

terhadap jumlah produksi karet.

3.5.4. Efisiensi Produksi

Soekartawi (1993) dalam terminologi ilmu ekonomi mengemukakan bahwa

efisiensi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu efisiensi alokatif, efisiensi

teknis, dan efisiensi ekonomi. Suatu produksi dikatakan mencapai efisiensi alokatif

apabila Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan harga faktor produksi yang

bersangkutan. Nilai Produk Marjinal (NPM) adalah penambahan pendapatan yang

diterima akibat pemakaian tambahan unit input. Secara matematis dapat dituliskan

sebagai berikut (Soekartawi, 2003) :

𝑁𝑃𝑀𝑥
NPMx = Px atau 𝑃𝑥
= 1

…………………………………………..………(6)

Efisiensi teknis adalah besaran yang menunjukan perbandingan antara

produksi sebenarnya dengan produksi maksimum. Perhitungan efisiensi teknis

dilakukan dengan menghitung Marginal Physical Product (MPP) dari masing-masing


39

faktor produksi. Marginal Physical Product (MPP) adalah perubahan atau satu unit

output yang diakibatkan oleh adanya perubahan satu uni input. MPP diperoleh dari

turunan pertama fungsi produksi (Sumodiningrat, 1993):

MPPxi = dY / dXi …………………………………………………………....(7)

Power Function :

MPPx1 = dY / dXi ………………………………………………………….. (8)


= a0 a1 X1a1-1 X2a2 X3a3 X4a4
= a1 Y / X1

MPPxn = dY / dXn …………………………………………………….……. (9)


= a0 a1 Xnan-1 X1a1
= an Y / Xn

dimana:
MPPxi = Marjinal Physical Product dari Xi
X1, X2…… X4 = Jumlah faktor produksi
a0 = Konstanta
a1,a 2,……a4 = Koefisien elastisitas dari masing-masing faktor produksi

Efisiensi ekonomi adalah besaran yang menunjukakan perbandingan antara

keuntungan yang sebenarnya dengan keuntungan maksimum. Secara matematik,

hubungan antara efisiensi teknik, efisiensi ekonomi dan efisiensi haraga adalah

sebagai berikut (Soekartawi, 2000):

EE = ET x EH …………………………………….………………………. (8)

dimana:
EE = Efisiensi Ekonomi
ET = Efisiensi Teknik
EH = Efisiensi Harga
40

Dengan demikain, bila EE dan ET diketahui, maka EH juga dapat dihitung.

Adapun besaran ET ≤ 1, EE ≤ 1, dan EH tidak selalu harus kurang atau sama dengan

satu.

3.6. Konsep Operasioal

Konsep operasional merupakan batasan-batasan yang dipergunakan dalam

memperoleh data dan untuk menghindari tafsiran yang berbeda tentang konsep yang

digunakan dalam penelitian ini, antara lain :

1. Efisiensi teknis adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara produksi

sebenarnya dengan produksi maksimum.

2. efisiensi alokatif adalah apabila Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan

harga faktor produksi yang bersangkutan.

3. Efisiensi ekonomi adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara

keuntungan yang sebenarnya dengan keuntungan maksimum

4. Faktor produksi adalah keseluruhan input yang digunakan dalam proses produksi

tanaman karet

5. Nilai Produksi Marginal (NPM) adalah tambahan pendapatan yang diperoleh dari

penambahan satu unit input.

6. Marjinal Physical Product (MPP) adalah tambahan pada produksi total yang

disebabkan oleh bertambahnya satu satuan input pada proses produksi

7. Produksi adalah hasil gabungan atau hasil akhir suatu proses produksi dari

berbagai faktor-faktor produksi dalam suatu proses produksi


41

8. Produksi optimum adalah tingkat produksi yang dicapai dari setiap unit

penggunaan faktor produksi yang optimum, dihitung dalam satuan (kg/ha)

9. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelas kan (Y) dari

variabel yang menjelaskan (X)

Anda mungkin juga menyukai