Oleh:
Dosen Pengampu:
Dr.-Ing. Prihadi Nugroho
Fakultas Teknik
Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
Semarang
2016
1. PENDAHULUAN
Ketahanan pangan menjadi isu strategis yang akan selalu muncul dalam pembangunan suatu wilayah
maupun daerah. Hal tersebut selaras dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan berimbas pada
bertambahnya kebutuhan pangan. Jumlah penduduk di Indonesia telah mencapai 237.641.326 jiwa, berdasarkan
sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 dan diproyeksi akan meningkat
menjadi 305.652.400 jiwa pada tahun 2035. Dalam kondisi seperti itu krisis pangan menjadi hal yang sangat rawan
dan perlu diantisipasi melalui penguatan ketahanan pangan.
Pembangunan berkelanjutan saat ini tidak sekedar terfokus pada area terbangun, tetapi senantiasa
mempertimbangkan supply kebutuhan pokok masyarakat, salah satunnya adalah pangan. Sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan dituangkan dalam PP No. 17 Tahun 2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi, bahwa pada dasarnya ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya
(kebutuhan) pangan bagi suatu negara sampai tingkat perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang
cukup (jumlah dan mutu), aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya di masyarakat, guna mencapai hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Upaya penguatan ketahanan pangan dapat dimulai dari ketahanan pangan di tingkat daerah, karena di
Indonesia masing-masing daerah memiliki keragaman sumberdaya pangan lokal dan berdasarkan Undang-undang
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, (ketahanan) pangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang
pokok dilaksanakan oleh semua daerah (Kabupaten/ Kota). Dengan demikian, maka setiap daerah diharapkan
mampu mengembangkan sumberdaya pangan masing-masing sesuai dengan potensi daerah yang ada.
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas lahan pertanian yang mencapai 50% dari luas lahan pertanian se-D.
I. Yogyakarta, dan mayoritas didominasi lahan kering/ tanah tegalan dengan luasan 117.437 Ha (BPS, 2015).
Komoditas unggulan dari kabupaten ini adalah tanaman palawija, khususnya ubikayu. Karena tanaman ubikayu
memiliki potensi yang cukup maksimal sesuai dengan karakteristik lahan yang ada. Berdasarkan data dari BPS tahun
2015, total produksi ubikayu di Kabupaten Gunungkidul mencapai 844.773,26 Ton dengan rata-rata produksi
155,05 Kwintal/ Ha.
Potensi pangan lokal yang melimpah tersebut ternyata belum mampu dioptimalkan untuk mendongkrak
pendapatan petani. Karena dari hasil on farm, petani hanya memperoleh pendapatan yang minim (Rp. 1.000,- untuk
harga ubikayu basah dan Rp. 1.800,- untuk harga gaplek per kilogramnya). Nilai rupiah yang sangat minim jika
dibandingkan dari masa panen tanaman palawija ini sekali dalam setahun. Maka dari itu, untuk mendongkrak
potensi dan nilai jual dari ubikayu perlu dilakukan berbagai inovasi teknologi pangan secara off farm, salah satunnya
adalah pembuatan tepung yang berbahan baku ubikayu. Tepung yang dimaksud bukan hanya sekedar ubikayu yang
dijemur (gaplek) dan ditumbuk/ ditepungkan, melainkan tepung yang diolah secara fermentasi dengan bantuan
starter, yang dikenal sebagai mocaf (modified cassava flour).
Tepung mocaf/ mocaf merupakan tepung yang dihasilkan dari ubikayu, melalui proses fermentasi dengan
bantuan mikrobia starter (bakteri asam laktat, asam asetat dan enzim). Tepung ini memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya: 1) tepung yang dihasilkan memiliki testur lembut, berwarna putih dan tidak berbau khas ubikayu; dan
2) memiliki viskositas yang lebih baik dibandingkan tepung gaplek dan kemampuan gelasi yang menyerupai
karakteristik tepung terigu. Tetapi pada tepung mocaf memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan
tepung terigu, sehingga minim zat gluten. Harga jual dari tepung mocaf pada saat ini mencapai Rp. 6.500,- sampai
dengan Rp. 7.500,- per kilogram.
Keberadaan tepung mocaf selain mampu meningkatkan pendapatan petani, juga mendukung pemerintah
dalam ketahanan pangan, khususnya penganekaragaman sumberdaya pangan lokal. Hal ini tentu saja perlu
mendapat dukungan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bentuk dukungan yang saat ini dibutuhkan adalah
dalam bentuk pemberdayaan dan kestabilan rantai pemasaran. Untuk dapat mencapainnya pemerintah daerah telah
berupaya menumbuhkan beberapa kelompok pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian kelompok-kelompok
tersebut diharapkan mampu berkembang menjadi klaster (cluster) mocaf yang kuat.
2. PEMBAHASAN
Dari hasil analisis di atas terdapat dua sektor usaha yang menunjukkan nilai LQ 1, sehingga dapat
diketahui bahwa Kabupaten Gunungkidul merupakan sektor basis pertanian dan pertambangan/ penggalian.
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu penyangga pangan di D.I. Yogyakarta, khususnya potensi ubikayu.
Hal ini sesuai dengan kondisi sebagian besar wilayah yang merupakan lahan kering/ tanah tegalan dengan
curah hujan yang terbatas selama setahun. Tanaman yang dapat diusahakan di wilayah ini adalah padi (sawah
dan lahan kering), jagung, kedelai dan kacang tanah, tetapi untuk potensinya masih dibawah ubikayu.
3. PENUTUP
Hal yang perlu diwaspadai dalam pembangunan suatu wilayah/ daerah adalah kondisi ketersediaan pangan,
bahkan pada level yang lebih tinggi adalah ketahanan pangan. Jangan sampai suatu wilayah/ daerah menjadi
kekurangan/ ketergantungan pangan dari wilayah/ daerah lainnya, apalagi melakukan impor pangan. Saat urusan
ketahanan pangan menjadi kewajiban bagi suatu daerah, maka bagaimanapun cara dan usaha yang dilakukan harus
melibatkan sumberdaya alam maupun manusia yang ada di daerah tersebut. Dari segi sumberdaya alam misalnya,
jika suatu daerah kurang berpotensi menghasilkan bahan pangan yang berasal dari beras, maupun gandum maka
dapat diusahakan bahan pangan yang sesuai dengan karakteristik daerah tersebut, seperti ubikayu, jagung ataupun
sagu.
Pengembangan sumber daya manusia memang menjadi masalah sosial yang perlu ditingkatkan, melalui
pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu merubah pengetahuan, keterampilan dan sikap dari masyarakat.
Munculnya kelompok-kelompok yang mau terjun di bidang industri pengolahan bahan pangan perlu diwadahi oleh
pemerintah daerah dalam satu klaster agar dapat diberdayakan, dikembangkan dan dibina secara utuh. Pemerintah
daerah juga harus mau ikut terlibat dalam rantai pemasaran, dalam hal ini menciptakan kemitraan dengan pihak
swasta. Sinergi antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta diyakini akan mampu mengembangkan klaster
olahan pangan yang ada.
Dengan adanya transfer dan diseminasi pengetahuan dari para peneliti yang telah menemukan inovasi-
inovasi di bidang teknologi pangan, seperti penggunaan starter (mikrobia/ bakteri/ enzim yang menguntungkan)
kepada masyarakat akan sangat membantu dalam peningkatan hasil. Kemajuan di bidang teknologi informasi dan
komunikasi juga perlu diimplementasikan pada klaster, terutama untuk mengakses perkembangan teknologi
pangan dan jaringan pemasaran produknya untuk skala yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2016. Petani Gunung Kidul Diminta Melakukan Inovasi Singkong. http://jogja.antaranews.com. Diakses
pada tanggal 25 Oktober 2016.
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka Tahun 2015. Badan Pusat Statistik D. I. Yogyakarta, 2015.
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik D. I. Yogyakarta, 2014.
Gunungkidul dalam Angka Tahun 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015.
Gunungkidul dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2014.
H. F. Yanti, Satia N. L. dan Mozart B. D. 2014. Analisis Perbandingan Nilai Tambah Pengolahan Ubi Kayu menjadi
Tepung Mocaf dan Tepung Tapioka di Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. jurnal.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.
Sumardjo, J. Sulaksana dan W. Aris D. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tarigan, R. 2006. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara.