Anda di halaman 1dari 8

PENGEMBANGAN KLASTER MOCAF DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL MELALUI

INOVASI TEKNOLOGI PANGAN

Tugas Mata Kuliah


PERMASALAHAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN

Oleh:

Raditia Eka Kurniawan


NIM. 21040116410047

Dosen Pengampu:
Dr.-Ing. Prihadi Nugroho

Fakultas Teknik
Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
Semarang
2016
1. PENDAHULUAN

Ketahanan pangan menjadi isu strategis yang akan selalu muncul dalam pembangunan suatu wilayah
maupun daerah. Hal tersebut selaras dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan berimbas pada
bertambahnya kebutuhan pangan. Jumlah penduduk di Indonesia telah mencapai 237.641.326 jiwa, berdasarkan
sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 dan diproyeksi akan meningkat
menjadi 305.652.400 jiwa pada tahun 2035. Dalam kondisi seperti itu krisis pangan menjadi hal yang sangat rawan
dan perlu diantisipasi melalui penguatan ketahanan pangan.
Pembangunan berkelanjutan saat ini tidak sekedar terfokus pada area terbangun, tetapi senantiasa
mempertimbangkan supply kebutuhan pokok masyarakat, salah satunnya adalah pangan. Sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan dituangkan dalam PP No. 17 Tahun 2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi, bahwa pada dasarnya ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya
(kebutuhan) pangan bagi suatu negara sampai tingkat perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang
cukup (jumlah dan mutu), aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya di masyarakat, guna mencapai hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Upaya penguatan ketahanan pangan dapat dimulai dari ketahanan pangan di tingkat daerah, karena di
Indonesia masing-masing daerah memiliki keragaman sumberdaya pangan lokal dan berdasarkan Undang-undang
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, (ketahanan) pangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang
pokok dilaksanakan oleh semua daerah (Kabupaten/ Kota). Dengan demikian, maka setiap daerah diharapkan
mampu mengembangkan sumberdaya pangan masing-masing sesuai dengan potensi daerah yang ada.
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas lahan pertanian yang mencapai 50% dari luas lahan pertanian se-D.
I. Yogyakarta, dan mayoritas didominasi lahan kering/ tanah tegalan dengan luasan 117.437 Ha (BPS, 2015).
Komoditas unggulan dari kabupaten ini adalah tanaman palawija, khususnya ubikayu. Karena tanaman ubikayu
memiliki potensi yang cukup maksimal sesuai dengan karakteristik lahan yang ada. Berdasarkan data dari BPS tahun
2015, total produksi ubikayu di Kabupaten Gunungkidul mencapai 844.773,26 Ton dengan rata-rata produksi
155,05 Kwintal/ Ha.
Potensi pangan lokal yang melimpah tersebut ternyata belum mampu dioptimalkan untuk mendongkrak
pendapatan petani. Karena dari hasil on farm, petani hanya memperoleh pendapatan yang minim (Rp. 1.000,- untuk
harga ubikayu basah dan Rp. 1.800,- untuk harga gaplek per kilogramnya). Nilai rupiah yang sangat minim jika
dibandingkan dari masa panen tanaman palawija ini sekali dalam setahun. Maka dari itu, untuk mendongkrak
potensi dan nilai jual dari ubikayu perlu dilakukan berbagai inovasi teknologi pangan secara off farm, salah satunnya
adalah pembuatan tepung yang berbahan baku ubikayu. Tepung yang dimaksud bukan hanya sekedar ubikayu yang
dijemur (gaplek) dan ditumbuk/ ditepungkan, melainkan tepung yang diolah secara fermentasi dengan bantuan
starter, yang dikenal sebagai mocaf (modified cassava flour).
Tepung mocaf/ mocaf merupakan tepung yang dihasilkan dari ubikayu, melalui proses fermentasi dengan
bantuan mikrobia starter (bakteri asam laktat, asam asetat dan enzim). Tepung ini memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya: 1) tepung yang dihasilkan memiliki testur lembut, berwarna putih dan tidak berbau khas ubikayu; dan
2) memiliki viskositas yang lebih baik dibandingkan tepung gaplek dan kemampuan gelasi yang menyerupai
karakteristik tepung terigu. Tetapi pada tepung mocaf memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan
tepung terigu, sehingga minim zat gluten. Harga jual dari tepung mocaf pada saat ini mencapai Rp. 6.500,- sampai
dengan Rp. 7.500,- per kilogram.
Keberadaan tepung mocaf selain mampu meningkatkan pendapatan petani, juga mendukung pemerintah
dalam ketahanan pangan, khususnya penganekaragaman sumberdaya pangan lokal. Hal ini tentu saja perlu
mendapat dukungan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bentuk dukungan yang saat ini dibutuhkan adalah
dalam bentuk pemberdayaan dan kestabilan rantai pemasaran. Untuk dapat mencapainnya pemerintah daerah telah
berupaya menumbuhkan beberapa kelompok pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian kelompok-kelompok
tersebut diharapkan mampu berkembang menjadi klaster (cluster) mocaf yang kuat.

2. PEMBAHASAN

A. ANALISIS EKONOMI WILAYAH


Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu lumbung pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Lahan pertanian di Kabupaten Gunungkidul didominasi lahan kering/ tanah tegalan. Berikut adalah distribusi
sebaran lahan pertanian di D. I. Yogyakarta:
Tabel A1. Distribusi Sebaran Lahan Pertanian Berdasarkan Kabupaten/ Kota (Hektar)

Lahan Lahan Pertanian (Ha)


Kabupaten/ Kota Jumlah
Lahan Kering
Sawah (Wetland)
(Dry Land)
Kulon Progo 10.366 34.957 45.323
Bantul 15.225 13.639 28.864
Gunungkidul 7.865 117.437 125.302
Sleman 21.907 20.771 42.678
Yogyakarta 62 17 79
D. I. Yogyakarta 55.425 186.821 242.246
Sumber: BPS DIY, 2015
Untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah, dapat dilihat melalui analisis model ekonomi basis
yang berdasarkan pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)-nya. Berikut merupakan hasil analisis
model ekonomi basis yang dilakukan selama kurun waktu empat tahun (2010 2013):
Tabel A2. PDRB Kabupaten Gunungkidul Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah)

No. Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013


1 Pertanian 1.268.080 1.275.104 1.329.212 1.349.286
2 Pertambangan dan Penggalian 58.472 64.730 65.277 70.440
3 Industri Pengolahan 368.423 398.588 401.011 432.034
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 18.999 19.777 21.207 22.611
5 Bangunan 279.518 299.722 318.995 343.653
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 496.688 518.641 543.361 578.962
7 Transportasi dan Komunikasi 234.644 246.973 260.966 273.265
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 159.910 176.430 190.701 210.040
9 Jasa-jasa 445.345 474.322 511.830 550.109
JUMLAH 3.330.079 3.474.287 3.642.560 3.830.400
Sumber: BPS Kabupaten Gunungkidul, 2014
Tabel A3. PDRB D.I. Yogyakarta Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah)

No. Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013


1 Pertanian 3.632.681 3.555.797 3.706.923 3.730.300
2 Pertambangan dan Penggalian 139.967 156.711 159.808 167.670
3 Industri Pengolahan 2.793.580 2.983.167 2.915.722 3.142.840
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 193.027 201.243 215.597 229.640
5 Bangunan 2.040.306 2.187.805 2.318.448 2.459.170
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 4.383.851 4.611.402 4.920.045 5.225.060
7 Transportasi dan Komunikasi 2.250.664 2.430.696 2.581.620 2.744.150
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 2.024.368 2.185.221 2.402.718 2.552.440
Perusahaan
9 Jasa-jasa 3.585.598 3.817.665 4.088.337 4.316.210
JUMLAH 21.044.042 22.129.707 23.309.218 24.567.480
Sumber: BPS DIY, 2014
Hasil analisis LQ sektor basis adalah sebagai berikut:
Tabel A4a. Hasil Analisis Ekonomi Model Basis
LQ Tahun 2010 LQ Tahun 2011
No. Lapangan Usaha ps/p Ps/P ps/p Ps/P
LQ LQ
total total total total
1 Pertanian 0,38 0,17 2,21 0,37 0,16 2,28
2 Pertambangan dan Penggalian 0,02 0,01 2,64 0,02 0,01 2,63
3 Industri Pengolahan 0,11 0,13 0,83 0,11 0,13 0,85
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,01 0,01 0,62 0,01 0,01 0,63
5 Bangunan 0,08 0,10 0,87 0,09 0,10 0,87
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,15 0,21 0,72 0,15 0,21 0,72
7 Transportasi dan Komunikasi 0,07 0,11 0,66 0,07 0,11 0,65
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,05 0,10 0,50 0,05 0,10 0,51
9 Jasa-jasa 0,13 0,17 0,78 0,14 0,17 0,79
Total 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

Tabel A4b. Hasil Analisis Ekonomi Model Basis (lanjutan)


LQ Tahun 2012 LQ Tahun 2013
No. Lapangan Usaha ps/p Ps/P ps/p Ps/P
LQ LQ
total total total total
1 Pertanian 0,36 0,16 2,29 0,35 0,15 2,32
2 Pertambangan dan Penggalian 0,02 0,01 2,61 0,02 0,01 2,69
3 Industri Pengolahan 0,11 0,13 0,88 0,11 0,13 0,88
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,01 0,01 0,63 0,01 0,01 0,63
5 Bangunan 0,09 0,10 0,88 0,09 0,10 0,90
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,15 0,21 0,71 0,15 0,21 0,71
7 Transportasi dan Komunikasi 0,07 0,11 0,65 0,07 0,11 0,64
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,05 0,10 0,51 0,05 0,10 0,53
9 Jasa-jasa 0,14 0,18 0,80 0,14 0,18 0,82
Total 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

Dari hasil analisis di atas terdapat dua sektor usaha yang menunjukkan nilai LQ 1, sehingga dapat
diketahui bahwa Kabupaten Gunungkidul merupakan sektor basis pertanian dan pertambangan/ penggalian.
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu penyangga pangan di D.I. Yogyakarta, khususnya potensi ubikayu.
Hal ini sesuai dengan kondisi sebagian besar wilayah yang merupakan lahan kering/ tanah tegalan dengan
curah hujan yang terbatas selama setahun. Tanaman yang dapat diusahakan di wilayah ini adalah padi (sawah
dan lahan kering), jagung, kedelai dan kacang tanah, tetapi untuk potensinya masih dibawah ubikayu.

B. POTENSI KETAHANAN PANGAN LOKAL


Kabupaten Gunungkidul sudah lama terkenal dengan pangan lokalnya yang berbahan baku ubikayu,
yang lebih dikenal dengan gaplek. Sumber pangan lokal tersebut akan mudah ditemukan, karena
produktivitasnya yang tinggi di kabupaten tersebut. Potensi dan produktivitas ubikayu terlihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel B1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubikayu pada Tahun 2010 2014
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)
2010 55.679 178,57 994.271,27
2011 56.040 136,07 762.554,00
2012 55.865 138,19 772.005,69
2013 55.231 169,00 933.414,33
2014 54.485 155,05 844.773,26
Sumber: BPS Kabupaten Gunungkidul, 2015
Dari data selama kurun waktu lima tahun menunjukkan bahwa produksi ubikayu di Kabupaten
Gunungkidul hasilnya cukup fluktuatif, tetapi secara umum produksi tersebut masih relatif tinggi.
Tabel B2. Rata-rata Harga Produsen Ubikayu di Kabupaten Gunungkidul (dalam Rp.)
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014
Ubi kayu (100 Kg) 83.757 88.681 142.821 116.458 112.500
Sumber: BPS Kabupaten Gunungkidul, 2015
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa nilai jual ubi kayu relatif semakin naik, dimana pada tahun 2010
harga jualnya Rp. 850,-/ Kg sedangkan mulai tahun 2012 harga jualnya diatas Rp. 1.000,-/ Kg. Kenaikan nilai
jual Rp. 150,-/ Kg tersebut belum dapat meningkatkan pendapatan petani secara umum, hal ini lebih
dikarenakan terjadinya fluktuasi jumlah produksi ubikayu yang ada. Karena jika terjadi gagal panen, produksi
ubikayu relatif rendah, sehingga ketersediaanya berkurang yang menyebabkan nilai jualnya naik.

C. INOVASI TEKNOLOGI MOCAF


Perkembangan teknologi pertanian, terutama di bidang pangan saat ini sudah cukup maju. Beberapa
inovasi teknologi juga telah diaplikasikan secara langsung, guna peningkatan produksi hasil pertanian. Salah
satu inovasi teknologi yang sudah banyak diterapkan saat ini adalah pemanfaatan mikrobia/ bakteri, maupun
enzim yang menguntungkan di bidang pangan. Mikrobia/ bakteri/ enzim yang dimaksud akan berperan dalam
mempercepat proses yang diperlukan dalam pengolahan pangan. Dalam bidang teknologi pertanian mikrobia/
bakteri/ enzim tersebut lebih dikenal dengan nama starter. Penggunaan starter dalam olahan pangan
ditemukan dan dikembangkan oleh para peneliti, dan telah terbukti bahwa hal tersebut aman dikonsumsi
bahkan menguntungkan bagi manusia.
Dalam pembuatan mocaf memerlukan proses fermentasi yang bertujuan untuk memecah selulosa,
sehingga kualitas tepung yang dihasilkan akan berwarna lebih putih, bertekstur halus, tidak berbau ubikayu
dan tahan lama dalam penyimpanan. Proses inilah yang membuat mocaf memiliki karakteristik yang mirip
tepung terigu. Pembuatan mocaf jika dilakukan tanpa bantuan starter akan berlangsung kurang lebih 3 hari
untuk proses fermentasi secara alami, tetapi dengan bantuan starter proses fermentasi dapat berlangsung
hanya dalam waktu 7 8 jam, sehingga efisiensi dan efektivitas produksi dapat ditingkatkan. Proses produksi
mocaf harus berjalan secara kontinyu, hal ini bertujuan untuk mengejar target produksi dan optimalisasi hasil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yanti, dkk. (2014), dari bahan baku ubikayu sebanyak 3 Kg
dapat menghasilkan 1 Kg mocaf. Memang dari segi jumlah terjadi penyusutan tonase tetapi dalam hal ini terjadi
peningkatan nilai tambah suatu produk. Dari analisis nilai tambah yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
penjualan dalam bentuk mocaf akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai
jual dalam bentuk ubikayu, maupun gaplek.
Kendala yang dialami oleh klaster terjadi pada saat memasuki musim penghujan, dengan adanya curah
hujan yang tinggi otomatis akan mengganggu proses pengeringan chip mocaf. Hal inilah yang menyebabkan
menurunnya kualitas produksi mocaf. Inovasi di bidang teknologi pangan telah ditemukan untuk
mengantisipasi hal tersebut, yaitu dengan penggunaan mesin spinner dan pengering, tetapi keberadaan alat ini
belum banyak di kalangan klaster karena harganya yang cukup mahal. Beberapa klaster yang telah memiliki
alat tersebut pada umumnya berasal dari bantuan lembaga penelitian, maupun pemerintah pusat.

D. KLASTER MOCAF DAN PERKEMBANGANNYA


Peluang pasar dari mocaf sebenarnya masih terbuka luas, dari P.T. Indofood Sukses Makmur Tbk.
membutuhkan 600 ribu ton per tahun, dari P.T. Sinergi Maxima Pangan 1.500 sampai dengan 15.000 ton/ bulan
dalam bentuk chip mocaf, belum lagi peluang pasar dalam bentuk olahan mocaf, seperti mie mocaf. Dengan
diterbitkannya PERMENTAN NO. 15/ Permentan/ OT.140/ 2/ 2013 tentang Program Peningkatan Diversifikasi
dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2013 menguatkan pentingnya
mengembangkan sumber pangan lokal non beras non terigu. Bahkan dalam implementasinya di sejumlah
daerah konsep pengembangan sumber pangan lokal telah dituangkan dalam bentuk produk hukum berupa
Peraturan Gubernur ataupun Bupati.
Keberadaan kelompok pengolah mocaf di Kabupaten Gunungkidul saat ini telah cukup berkembang.
Kelompok yang ada saat ini merupakan kelompok yang ditumbuh-kembangkan oleh pemerintah daerah,
maupun pihak swasta. Tetapi dalam prosesnya, kelompok-kelompok tersebut tergabung menjadi satu klaster
di tingkat kecamatan. Pemerintah daerah yang bertanggungjawab dalam hal ketahanan pangan di daerahnya
secara berkala melaksanakan pembinaan terhadap klaster-klater yang ada. Rantai pemasaran yang dibangun
melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini P.T. Sinergi Maxima Pangan. Kerjasama yang dimaksud dalam bentuk
kemitraan usaha. Menurut Sumardjo, dkk. bahwa kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama (cooperation)
antara pemilik usaha skala kecil dengan pemilik usaha skala menengah atau besar yang didasarkan pada prinsip
saling membutuhkan, saling memperkokoh dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Dalam
kemitraan usaha seperti ini peran pemerintah daerah adalah sebagai fasilitator yang menjembatani terjadinya
kerjasama antara klaster dengan pihak swasta. Lebih jauh lagi, pemerintah daerah juga telah mengupayakan
pembangunan pabrik pengolahan mocaf di Kecamatan Tepus, Paliyan dan Panggang. Hal tersebut dilakukan
untuk mengoptimalkan penyerapan mocaf dari klaster-klaster yang ada.
Klaster-klaster mocaf di Kabupaten Gunungkidul pada awalnya hampir ada di setiap kecamatan, tetapi
sekarang ini klaster-klaster yang mampu bertahan hanya berjumlah tiga klaster. Beberapa hal yang
menyebabkan klaster-klaster tersebut tidak mampu bertahan antara lain: menurunnya minat masyarakat
untuk mengolah ubikayu menjadi mocaf, kualitas mocaf yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar
permintaan perusahaan (karena gangguan cuaca) dan angkutan transportasi yang terbatas. Berikut ini
merupakan klaster yang ada di Kabupaten Gunungkidul:
Tabel D1. Klaster Mocaf di Kabupaten Gunungkidul
No. Klaster mocaf
1. Semin, Gunungkidul
2. Wonosari, Gunungkidul
3. Paliyan, Gunungkidul
Sumber: http://simaxpangan.com, 2012
Dari keberadaan ketiga klaster mocaf di atas sejauh ini telah mampu menampung hasil mocaf dari 18
kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Klaster Semin mewadahi kelompok produksi mocaf di zona
utara, Klaster Paliyan mewadahi kelompok produksi di zona selatan dan Klaster Wonosari yang mewadahi
kelompok produksi di zona tengah. Sampai saat ini Klaster Paliyan merupakan klaster yang mampu menyerap
mocaf dalam jumlah besar, karena letaknya yang dekat dengan pabrik juga potensi ubikayu sebagai bahan baku
utama sangat melimpah di wilayah ini, antara lain: Kecamatan Tepus, Tanjungsari, Paliyan dan Panggang. Tetapi
untuk klaster yang lebih berkembang adalah Klaster Wonosari, karena selain memproduksi mocaf, beberapa
anggota klaster ini telah mengembangkan usaha olahan yang berbahan baku utama mocaf, seperti aneka kue,
keripik bahkan mie mocaf. Hal inilah yang menyebabkan klaster ini mendapatkan pembinaan lebih lanjut dari
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Yogyakarta
untuk pengembangan mie mocaf.
Mie mocaf merupakan salah produk yang saat ini banyak diperbincangkan oleh beberapa orang, bahkan
mendapat perhatian dari sebagian daerah di Indonesia. Produk olahan ini diyakini mampu menggantikan
sumber karbohidrat yang berasal dari nasi. Selain lebih aman dan menyehatkan, mie mocaf juga mendukung
dalam hal ketahanan pangan daerah non beras non terigu.
Ketahanan pangan berbasis sumberdaya pangan lokal, khususnya mocaf tidak hanya dikembangkan di
Kabupaten Gunungkidul. Dari data yang diperoleh dari P.T. Sinergi Maxima Pangan, klaster mocaf semacam ini
juga telah berjalan di beberapa provinsi, bahkan kabupaten. Berikut merupakan klaster-klaster di beberapa
wilayah yang menjalin kerjasama kemitraan dengan P.T. Sinergi Maxima Pangan
Tabel D2. Klaster-klaster Mocaf di Beberapa Wilayah
No. Klaster mocaf
1. Sayegan, Sleman, D. I. Yogyakarta
2. Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah
3. Sidoharjo, Wonogiri, Jawa Tengah
4. Wanuraja, Jawa Tengah
5. Jatilawang, Jawa Tengah
6. Grobogan Purwodadi, Jawa Tengah
7. Pandeglang, Banten
8. Sadagori hill, Sukabumi, Jawa Barat
9. Cidiwey, Jawa Barat
10. Purwakarta, Jawa Barat
11. Bogor Barat, Jawa Barat
Sumber: http://simaxpangan.com, 2012
Dalam hal ini pihak swasta yang merupakan pemangku kepentingan untuk pemenuhan mocaf kepada
konsumen melakukan sejumlah kerjasaa kemitraan dengan beberapa daerah yang telah memiliki klaster mocaf.
Sebagaimana diketahui bahwa ubikayu sebagai bahan baku pembuatan mocaf hanya sekali panen dalam
setahun, sedangkan kebutuhan mocaf harus kontinyu dalam satu tahun. Seperti halnya di Kabupaten
Gunungkidul keberadaan ubikayu hanya pada bulan Agustus, September dan Oktober, maka dari itu diluar
bulan tersebut ketersediaan mocaf dapat diperoleh dari daerah lain.

3. PENUTUP

Hal yang perlu diwaspadai dalam pembangunan suatu wilayah/ daerah adalah kondisi ketersediaan pangan,
bahkan pada level yang lebih tinggi adalah ketahanan pangan. Jangan sampai suatu wilayah/ daerah menjadi
kekurangan/ ketergantungan pangan dari wilayah/ daerah lainnya, apalagi melakukan impor pangan. Saat urusan
ketahanan pangan menjadi kewajiban bagi suatu daerah, maka bagaimanapun cara dan usaha yang dilakukan harus
melibatkan sumberdaya alam maupun manusia yang ada di daerah tersebut. Dari segi sumberdaya alam misalnya,
jika suatu daerah kurang berpotensi menghasilkan bahan pangan yang berasal dari beras, maupun gandum maka
dapat diusahakan bahan pangan yang sesuai dengan karakteristik daerah tersebut, seperti ubikayu, jagung ataupun
sagu.
Pengembangan sumber daya manusia memang menjadi masalah sosial yang perlu ditingkatkan, melalui
pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu merubah pengetahuan, keterampilan dan sikap dari masyarakat.
Munculnya kelompok-kelompok yang mau terjun di bidang industri pengolahan bahan pangan perlu diwadahi oleh
pemerintah daerah dalam satu klaster agar dapat diberdayakan, dikembangkan dan dibina secara utuh. Pemerintah
daerah juga harus mau ikut terlibat dalam rantai pemasaran, dalam hal ini menciptakan kemitraan dengan pihak
swasta. Sinergi antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta diyakini akan mampu mengembangkan klaster
olahan pangan yang ada.
Dengan adanya transfer dan diseminasi pengetahuan dari para peneliti yang telah menemukan inovasi-
inovasi di bidang teknologi pangan, seperti penggunaan starter (mikrobia/ bakteri/ enzim yang menguntungkan)
kepada masyarakat akan sangat membantu dalam peningkatan hasil. Kemajuan di bidang teknologi informasi dan
komunikasi juga perlu diimplementasikan pada klaster, terutama untuk mengakses perkembangan teknologi
pangan dan jaringan pemasaran produknya untuk skala yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. http://simaxpangan.com. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.

Anonim. 2016. Petani Gunung Kidul Diminta Melakukan Inovasi Singkong. http://jogja.antaranews.com. Diakses
pada tanggal 25 Oktober 2016.

Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka Tahun 2015. Badan Pusat Statistik D. I. Yogyakarta, 2015.

Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik D. I. Yogyakarta, 2014.

Gunungkidul dalam Angka Tahun 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015.

Gunungkidul dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2014.

H. F. Yanti, Satia N. L. dan Mozart B. D. 2014. Analisis Perbandingan Nilai Tambah Pengolahan Ubi Kayu menjadi
Tepung Mocaf dan Tepung Tapioka di Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. jurnal.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.

Sumardjo, J. Sulaksana dan W. Aris D. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tarigan, R. 2006. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai