Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Ketangguhan Bencana dan Masyarakat
Asian Disaster Reduction Response Network (2009),
mendefiniskan pengertian Ketangguhan (resilience):
“Ketangguhan/ Daya lenting adalah kemampuan sebuah sistem,
komunitas atau masyarakat yang terpapar ancaman bahaya untuk
bertahan terhadap, menyerap, berakomodasi dengan dan pulih
dari dampak-dampak sebuah ancaman bahaya dengan tepat pada
waktunya dan secara efisien, termasuk melalui pemeliharaan dan
pemulihan struktur-struktur dan fungsi-fungsi dasar yang paling
mendasar” (p. 23).

Dari pengertian dimaksud, sangat terlihat bahwa Ketangguhan bencana


(resilience) merupakan sebuah kondisi kemampuan yang harus dimiliki
oleh segenap lapisan masyarakat termasuk pemerintah. Kerja sama
antara semua elemen sangat memegang peran yang baik guna
terciptanya ketangguhan bencana.
Twigg (2012) berpendapat bahwa fokus pada ketangguhan berarti
memberikan penekanan pada apa yang dapat dilakukan oleh komunitas
dan bagaimana mereka memperkuat kapasitas mereka, dari pada
berkosentrasi pada kerentanan mereka terhadap bencana atau tekanan
lingkungan maupun kebutuhan mereka pada saat tanggap darurat (p. 11).
Sebagai penambahan, teori ketangguhan masyarakat oleh Norris et al
(2007) merupakan sebuah proses yang menghubungkan suatu
serangkaian kapasitas adaptif jaringan ke arah fungsi positif dan adaptasi
pada konstituen populasi setelah gangguan terjadi (p. 135).

2.1.1.1 Komponen, Ciri-Ciri dan Faktor Ketangguhan Masyarakat


Masyarakat bersifat kompleks dan seringkali tidak menyatu.
Terdapat keragaman dalam hal kesejahteraan, status sosial, dan aktivitas

11
12

pekerjaan antar orang yang tinggal dalam wilayah yang sama serta
mungkin terjadi pengelompokan yang lebih tajam di tengah masyarakat
(Twigg, 2012, p. 11). Twigg juga berpendapat bahwa, sistem atau
ketangguhan masyarakat dapat dipahami sebagai kapasitas untuk:
1. mengantisipasi, meminimalisir dan menyerap tekanan potensial
atau kekuatan destruktif melalui adaptasi atau resistensi.
2. mengelola atau mempertahankan fungsi dasar tertentu dan
struktur selama peristiwa bencana.
3. memulihkan atau 'bangkit kembali' setelah suatu peristiwa
bencana.

Twigg (2012) menguraikan beberapa komponen ketangguhan


berdasarkan “thematic area” atau area tematik. Terdapat 5 (lima) area
tematik yang didasari oleh Kerangka Aksi Hyogo atau Hyogo Framework
for Action (HFA). Area tematik dimaksud terdiri dari tata kelola, penilaian
risiko, pengetahuan dan edukasi, manajemen risiko dan kerentanan, serta
kesiapsiagaan dan respon bencana (p.12). Twigg (2012) menambahkan
bahwa ruang lingkup masing-masing Area Tematik bervariasi, sehingga
jumlah dan rentang komponen ketangguhan berbeda-beda antara satu
Area Tematik dengan yang lainnya (p.12). Tabel 2.1 memperlihatkan
komponen Ketangguhan yang memiliki kaitan yang erat dengan peran
pemerintah maupun masyarakat dalam setiap penjabaran komponen
ketangguhan tersebut. Setiap komponen akan dibagi lagi secara detail ke
dalam beberapa sub komponen yang menggambarkan karakteristik
masyarakat tangguh bencana.

Universitas Pertahanan
13

Tabel 2.1 Komponen Ketangguhan


Area Tematik Komponen Ketangguhan
1 Tata Kelola • Kebijakan, perencanaan, prioritas dan
komitmen politik
• Sistem hukum dan regulasi
• Integrasi dengan kebijakan dan
perencanaan pembangunan
• Integrasi dengan tanggap darurat dan
pemulihan
• Mekanisme, kapasitas, dan struktur
institusional;
• Kemitraan
• Akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat
2 Penilaian risiko • Data bahaya/risiko dan penilaian
• Kapasitas kerentanan dan data
dampak serta penilaian
• Kapasitas pengetahuan dan teknis
serta inovasi
3 Pengetahuan dan • Kesadaran publik, pengetahuan, dan
Edukasi keterampilan
• Manajemen informasi dan penyebaran
informasi
• Pendidikan dan pelatihan
• Budaya, sikap, motivasi
• Pembelajaran dan riset
4 Manajemen Risiko dan • Manajemen sumber daya lingkungan
Pengurangan Kerentanan dan alam
• Kesehatan dan kesejahteraan
• Penghidupan berkelanjutan
• Perlindungan sosial
• Instrumen keuangan
• Perlindungan fisik; langkah struktural
dan teknis
• Rezim perencanaan
5 Kesiapsiagaan dan • Kapasitas dan koordinasi
Respon Bencana organisasional
• Sistem peringatan dini
• Kesiapsiagaan bencana dan rencana
kontijensi
• Sumber daya dan infrastruktur
kedaruratan
• Tanggap darurat dan pemulihan
• Partisipasi, kerelawanan, akuntabilitas
Sumber: Twigg (2012)

Universitas Pertahanan
14

Terkait dengan ciri-ciri masyarakat tangguh, Maarif (2012)


memaparkan bahwa masyarakat tangguh menghadapi bencana memiliki
ciri-ciri, yaitu (p.16):
1. Kemampuan untuk mengantisipasi
Kemampuan untuk mengantisipasi setiap ancaman atau bahaya
yang akan terjadi menuntut kita untuk mampu melakukan prediksi,
analisis, identifikasi dan kajian terhadap risiko bencana.
Kemampuan ini memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi,
baik yang canggih maupun yang tepat guna. Juga dari
pengetahuan yang modern hingga kearifan lokal yang sudah ada
di masyarakat.
2. Kemampuan untuk melawan atau menghindari
Kemampuan untuk melawan ancaman bencana sangat tergantung
dari besarnya ancaman yang akan kita hadapi
3. Kemampuan untuk mengadaptasi bencana
Kemampuan untuk beradaptasi dengan bencana dan dampak
yang ditimbulkan perlu ditingkatkan. Apabila kita tidak mampu
melawan ataupun menghindar, maka kita harus mampu
mengurangi, mengalihkan atau menerima risiko bencana yang
akan terjadi. Prinsip-prinsip manajemen risiko berlaku untuk
menanggulangi bencana.
4. Kemampuan untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi
bencana.
Ketangguhan suatu masyarakat dalam menanggulangi bencana
dapat dilihat dari kemampuannya (daya lenting) untuk pulih
kembali setelah ditimpa bencana.

Apabila dilihat dari ciri-ciri ketangguhan di atas, terdapat


beberapa komponen yang terdapat dalam masing-masing ciri. Ciri
Antisipasi menitikberatkan pada adanya komponen prediksi, analisis,
identifikasi serta kajian. Dalam memenuhi semua itu tentunya memerlukan
pengetahuan yang baik akan bencana yang dihadapi. Begitu pun halnya

Universitas Pertahanan
15

dengan ciri melawan/menghindari, adaptasi maupun pulih kembali secara


cepat. Ciri melawan atau menghindari akan ancaman yang dihadapi dapat
menggiring kepada berbagai upaya pencegahan. Peran pengetahuan
(knowledge) dan komunikasi diperlukan untuk mewujudkan ciri-ciri
dimaksud. Apapun jenis pengetahuan haruslah disampaikan atau
dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun komponen ciri-ciri
ketangguhan masyarakat dapat secara lebih jelas dalam tabel berikut.

Tabel 2.2 Ringkasan Ciri-ciri Masyarakat Tangguh


Ciri-ciri masyarakat tangguh
Pulih secara
Antisipasi Melawan/Hindari Adaptasi
cepat
Identifikasi Ancaman Kurangi/alihkan Daya Lenting
Analisis Pencegahan Menerima
Kajian Mengelola
Prediksi Mempertahankan
Mitigasi
Memerlukan pengetahuan dan komunikasi
Sumber: Twigg (2012) dan Maarif (2012), (telah diolah kembali).

Buckle (2010) dalam Anwar dan Harjono (2013) berpendapat


bahwa:
“Untuk lebih memahami ketangguhan masyarakat dapat
dikembangkan sejumlah pertanyaan di antaranya yaitu:
1. Siapa saja yang memiliki kerentanan atau ketangguhan
terhadap bencana tertentu.
2. Faktor apa yang mengakibatkan mereka menjadi rentan
atau kekuatan apa yang dimilikinya untuk dapat
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh bencana.
3. Bagaimana caranya mereka memiliki ketangguhan.
4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar mereka memiliki
ketangguhan terhadap bencana” (p. 242).

Universitas Pertahanan
16

Beberapa literatur bahkan turut menguraikan bahwa fokus pada


ketangguhan memberikan penekanan lebih terhadap hal-hal yang dapat
dilakukan masyarakat untuk diri sendiri serta cara memperkuat kapasitas,
dari pada berkonsentrasi pada kerentanan terhadap bencana atau
tekanan lingkungan, atau kebutuhan dalam kedaruratan. Buckle et al
(2000) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
individu, keluarga, dan komunitas untuk meminimalisir konsekuensi
bencana dalam rangka mendukung kegiatan kesiapsiagaan maupun
sampai pada kegiatan pemulihan. Identifikasi dan penilaian faktor-faktor
dimaksud dalam rangka mendukung ketangguhan dapat memberikan
kesempatan ke depan guna pengembangan ketangguhan masyarakat.
Faktor-faktor ketangguhan yang dimaksud oleh Buckle et al (2000), antara
lain (p. 13):
1. Berbagi nilai-nilai masyarakat, aspirasi dan tujuan
Termasuk berbagi kesadaran positif untuk masa depan, sebuah
komitmen untuk komunitas secara keseluruhan dan kesepakatan
persetujuan komunitas seperti berbagi kebudayaan.
2. Penetapan infrastruktur sosial
Seperti jalur informasi, jaringan sosial, organisasi masyarakat.
3. Tren Sosial dan Ekonomi yang positif
Seperti kestabilan atau pertumbuhan populasi, dasar
perekonomian yang sehat.
4. Kehidupan Sosial dan Ekonomi yang berkelanjutan
Dimana merangkul kapasitas masyarakat.
5. Partnership
Hubungan antara rencana, antara kelompok masyarakat dan
dunia usaha, atau kombinasi dari keduanya, dapat memberikan
inovasi, sharing pengalaman, pengetahuan dan sumber daya
serta tujuan umumnya. Hal ini berlaku umumnya ketika partner
memainkan peran yang dominan dalam kehidupan sosial dan
ekonomi dalam sebuah kota, seperti kota yang didominasi oleh
aktivitas industri dan ekonomi.

Universitas Pertahanan
17

6. Communities of Interest
Di mana sebuah kelompok yang mungkin ada di wilayah yang luas
dan sebaliknya memiliki sosial yang beragam tetapi mereka
berbagi area kepentingan umum, keterampilan, atau keahlian. Hal
ini termasuk masyarakat yang terikat dengan iman dan komitmen
agama yang sama, kelompok budaya serta sedikit kelompok
formal seperti bisnis atau asosiasi komersial atau olahraga atau
klub rekreasi.
7. Mendirikan Jaringan
Hubungan yang bersih, disetujui, dan stabil antara orang dan
kelompok memfasilitasi pertukaran informasi sama baiknya
dengan berbagi sumber daya dan komitmen keterampilan, waktu
dan usaha untuk perencanaan dan kesiapsiagaan.
8. Sumber daya dan keterampilan
Sumber daya dan keterampilan yang tersedia mungkin secara
langsung relevan untuk perencanaan manajemen bencana,
kesiapsiagaan dan untuk dukungan komunitas jika terjadi sebuah
keadaan darurat. Hal ini dapat teridentifikasi oleh tipe sumber
daya atau keterampilan, jumlahnya, biaya untuk
menggunakannya, ketersediaannya, dan lokasinya. Dimana
sumber daya dan atau keterampilan tidak tersedia maka dapat
dikembangkan sebagai bagian dari kegiataan kesiapsiagaan.

Apabila diteliti lebih jauh, faktor-faktor dimaksud membutuhkan


peran serta dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun dunia
usaha. Untuk itu kemampuan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha
perlu dipupuk sejak dini dalam konteks peningkatan ketangguhan
bencana. Dalam rangka peningkatan ketangguhan bencana, dipandang
perlu juga untuk membangun kemampuan sumber daya lokal dan
nasional, yang meliputi sumber daya manusia (masyarakat, pemerintah
dan dunia usaha) serta sumber daya sarana prasarana. Hal ini yang
disebut dengan salah satu upaya peningkatan kapasitas.

Universitas Pertahanan
18

Ketangguhan bencana merupakan kemampuan yang dimiliki


komunitas yang meliputi beberapa komponen dan faktor pendukung.
Ketangguhan yang dimiliki juga dapat dilihat dari ciri-ciri ketangguhan
dalam masyarakatnya. Namun tidak semua daerah di Indonesia memiliki
ketangguhan yang sama. Ada beberapa faktor yang mungkin dimiliki suatu
daerah, tetapi faktor-faktor tersebut mungkin tidak dimiliki daerah lain.
Masing-masing daerah tentunya memiliki karakteristik tersendiri.
Penelitian terhadap komponen, faktor pendukung maupun ciri masing-
masing daerah perlu dilaksanakan, dan dapat dijadikan sebagai bahan
kajian maupun analisis guna peningkatan ketangguhan bencana.

2.1.1.2 Ketangguhan dan Modal Sosial


Dalam sebuah tulisan, Mancini et al (2009) mengemukakan
bahwa pemeriksaan ketangguhan masyarakat memerlukan perhatian
pada proses protektif yang menjelaskan kemampuan masyarakat untuk
menunjukkan ketahanan dalam konteks tantangan dan kesulitan. Mancini
et al (2009) mulai mempertimbangkan organisasi sosial sebagai kerangka
payung yang memberikan panduan untuk memahami poin proses protektif
yang maksimal untuk pencegahan dan intervensi guna memperkuat
masyarakat dan untuk mempromosikan ketahanan mereka (p. 249).
Mancini et al (2009) menuangkan elemen-elemen dalam
organisasi sosial dalam bentuk piramida yang menempatkan struktur
jaringan anteseden komunitas dan kondisi komunitas serta
karakteristiknya pada bagian dasar. Pada bagian tengah, ditempatkan
proses aksi sosial dari kapasitas komunitas dan sosial capital. Selanjutnya
pada bagian atas ditempatkan komunitas yang berhubungan dengan
ketangguhan (p. 249-250). Adapun penjelasan terhadap pemikiran
dimaksud dapat terlihat dari piramida dalam Gambar 2.1.

Universitas Pertahanan
19

Gambar 2.1 Organisasi sosial dan perubahan


Sumber: Mancini dan Bowen (2009)

Mancini et al (2009) menguraikan jaringan informal sebagai


hubungan dengan anggota keluarga, teman, tetangga, kolega, dan
kelompok informal, dimana pada dasarnya merupakan hubungan yang
ditandai oleh pertukaran dan tanggung jawab secara timbal balik.
Selanjutnya jaringan formal signifikan dalam penyampaian perubahan
karena misinya menyediakan program dan layanan dukungan. Dalam
perspektif Mancini et al (2009), jaringan formal lebih kuat ketika dalam
kondisi yang beragam dan komprehensif. Terkait modal sosial, Mancini et
al (2009) juga menyatakannya sebagai sumber agregat yang lahir dari
hubungan sosial timbal balik dalam jaringan informal maupun formal. Hal
dimaksud juga dapat dianggap sebagai sumber untuk mencapai hasil
yang diinginkan melalui tindakan kolektif (p. 251-255).
Senada dengan pernyataan Mancini et al (2009), Woolcock et al
(2000) juga menyatakan bahwa modal sosial adalah norma-norma dan
jaringan yang memungkinkan orang untuk bertindak secara kolektif-
menikmati peningkatan luar biasa yang menonjol di semua ilmu disiplin
sosial (p. 2). Komunitas dapat meningkatkan modal sosial mereka dengan

Universitas Pertahanan
20

melihat koneksi, kepercayaan, dan keterlibatan orang dalam komunitas


mereka miliki.
Dalam modal sosial terbuat dari tiga jenis jaringan. Setiap jaringan
membuat suatu perbedaan. Terdapat Bonding Networks, bridging network,
dan linking networks (Scheffert et al, 2008, p. 2). Bonding Networks
adalah hubungan dekat yang orang dapatkan. Koneksi ini biasanya
dengan keluarga, teman dan tetangga. Bridging Network adalah hubungan
yang tidak kuat, tapi jaringan ini memberi orang lebih banyak kesempatan.
Kadang kita memiliki hubungan dengan orang yang berbeda dengan kita,
yang merupakan anggota organisasi, pekerjaan atau asosiasi yang tidak
biasanya terlibat. Linking networks merupakan jaringan yang membuat
akses ke organisasi dan sistem yang membantu orang mendapatkan
sumber daya dan membawa perubahan (Scheffert et al, 2008, p. 4-6).
Sebagai tambahan, ketangguhan bencana juga perlu
dikembangkan dengan pendekatan sosial budaya. Setiap daerah tentunya
mempunyai kearifan lokal yang dapat dijadikan kunci sukses
mempersiapkan masyarakat menuju ketangguhan bencana. Kearifan lokal
yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda.
Kekerabatan dan kearifan lokal masing-masing daerah
seyogyanya dapat digunakan sebagai alat untuk membentuk sebuah
ketangguhan bencana. Setiap daerah memiliki peraturan kekerabatan
yang berbeda-beda, dimana dapat terlihat dari adat istiadat setempat.
Kekerabatan ini tentunya dapat membentuk jaringan sosial yang dapat
digunakan sebagai hal-hal yang positif, salah satunya dalam bidang
kebencanaan.

2.1.2 Kearifan Lokal Masyarakat Maluku


Setiap komunitas mempunyai kearifan lokal tersendiri sebagai
warisan budaya dari leluhur. Boopanya (2006) dalam Mungmachon (2012)
menguraikan bahwa masyarakat yang memiliki budaya sendiri adalah
sebuah miniatur masyarakat dengan sistem produksi, manajemen sumber
daya, sistem kesehatan, pengetahuan dan sistem pembelajaran, sistem

Universitas Pertahanan
21

peradilan, pemerintahan sendiri, dan sistem ekonomi yang dijalankan oleh


masing-masing keluarga dan masyarakat. Tujuan masyarakat setempat
adalah bahwa keluarga dapat mandiri dan masyarakat dapat bertahan
hidup (p. 173).
Mungmachon (2012) menambahkan bahwa kearifan lokal adalah
pengetahuan dasar yang diperoleh dari keseimbangan hidup dengan
alam. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang terakumulasi dan
diteruskan. Kearifan ini dapat menjadi abstrak dan konkret, tetapi
karakteristiknya yang penting adalah bahwa kearifan lokal itu berasal dari
pengalaman atau kebenaran yang diperoleh dari kehidupan. Kearifan dari
pengalaman nyata mengintegrasikan tubuh, jiwa dan lingkungan. Hal ini
menekankan pada penghormatan kepada sesepuh (nenek moyang) dan
pengalaman hidup mereka. Lebih dari pada itu, nilai-nilai moral lebih
berharga dari hal-hal yang menyangkut materi (p. 176).
Selayaknya masyarakat pada umumnya, masyarakat Maluku juga
memiliki kearifan lokal yang telah ada sejak zaman dulu. Terdapat
beberapa kearifan lokal yang terkait dengan kehidupan orang Maluku,
khusunya Ambon dan Maluku Tengah, sebagai suatu komunitas,
beberapa di antaranya:
1. Pela-Gandong
Cooley (1987) dalam Mualim et al (2014) menjelaskan bahwa
“Pela” berasal dari perkataan ”pelau” yang berarti saudara lelaki.
Istilah ”pela” dimaksudkan sebagai ikatan persahabatan atau
persaudaraan antara penduduk dua kampung atau lebih yang
dicetuskan oleh generasi terdahulu yang menggariskan hak-hak
dan kewajiban yang perlu dilakukan (p. 45).
Lokollo (1996) dalam Ralahalo (2009) menguraikan bahwa definisi
“Pela” itu merupakan suatu relasi perjanjian dengan satu atau
lebih negeri lain yang sering berada di pulau lain dan kadang juga
menganut agama lain. Hubungan persekutuan pela terdiri atas
dua bentuk, yaitu bi‐negeri dan multi‐negeri. Persekutuan pela
yang berbentuk bi - negeri lebih banyak dipengaruhi persentuhan

Universitas Pertahanan
22

keduanya dalam konteks tertentu (perang, saling menolong) tanpa


dipengaruhi faktor kedekatan genealogi. Lain halnya dengan
persekutuan pela multinegeri yang cenderung memiliki latar
belakang terkait hubungan-hubungan genealogi (p. 180).
Huliselan et al (2012) dalam Mualim (2014) turut menjelaskan
makna kata ”gandong” yang berarti kandungan atau rahim (ibu).
Oleh sebab itu, istilah ”gandong” menunjukkan ikatan
persahabatan antara beberapa individu atau beberapa kampung
karena berasal dari keturunan yang sama (p. 45).
Pela sebagai salah satu aspek budaya merupakan pranata sosial
masyarakat Maluku, dapat memperlihatkan bagaimana leluhur
masyarakat Maluku di masa lampau berupaya menggalang
persatuan dan kesatuan orang Maluku tanpa memandang atau
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara
mereka, baik berupa perbedaan kultural, sosial maupun
perbedaan religi dan agama. Karakteristik pela demikian ini
mampu menampakkan suatu perikehidupan sosial budaya yang
harmonis penuh toleransi aman dan tenteram (Thomas, 2010, p.
167).
Bartels (2000) menjelaskan bahwa pada dasarnya, ada tiga jenis
pela, yaitu (1) pela keras, (2) pela gandong atau bungso dan (3)
pela tempat sirih. Pela keras bermula karena adanya peristiwa
besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti
pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau
bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa
lain. Jenis pela kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga;
yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda
mengklaim memiliki leluhur yang sama. Hal ini dapat mengarah
pada kesimpulan sebuah pakta perjanjian antara desa-desa yang
memiliki asal-usul suku/marga yang sama. Pada tahap ini, tali
kekerabatan diteruskan kepada setiap orang di desa-desa yang
kemudian bersekutu. Pela tempat sirih dihasilkan setelah peristiwa

Universitas Pertahanan
23

kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian


kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain.
Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan.
Ada empat ide utama yang mendasari pela, yaitu (p. 7-8):
a. desa-desa dalam hubungan pela saling membantu dalam
saat-saat krisis (perang atau bencana alam seperti gempa
bumi, gelombang pasang, atau kelaparan);
b. jika dibutuhkan, satu desa mitra ini harus membantu yang
lain dalam menangani proyek besar masyarakat, seperti
membangun gereja, masjid dan sekolah;
c. saat seseorang mengunjungi desa pela lain, pengunjung ini
berhak mendapat makanan dan mereka tidak perlu meminta
ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian
sehingga mereka dapat membawanya pulang; dan
d. semua anggota desa yang termasuk dalam hubungan pela
diperlakukan sebagai satu darah; oleh sebab itu, perkawinan
antara anggota pela disebut sebagai perkawinan sedarah.

2. Ale rasa beta rasa


Ungkapan ale rasa beta rasa dapat dikatakan sebagai suatu
kearifan budaya lokal yang terpelihara sepanjang sejarah
kehidupan masyarakat di Maluku. Kebiasaan-kebiasaan yang
saling melibatkan antara dua etnis yang berbeda, dua suku,
antaragama yang berbeda atau bahkan lebih dari beberapa suku,
dan agama dapat tetap terpelihara sepanjang kehidupan
masyarakat. Sebagai suatu kearifan budaya lokal, kebiasaan ini
tumbuh, berkembang dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
terus dijaga, dan dipelihara (Wenno, 2011, p. 88).
Ruhulesin (2007) dalam Wenno (2011) juga menambahkan bahwa
“ale rasa beta rasa” memberi motivasi, isi sekaligus bentuk
kepada tingkah-laku manusia, dan memberi motivasi, isi sekaligus
bentuk kepada relasi-relasi manusia lintas individu, lintas

Universitas Pertahanan
24

kelompok, lintas kampung, lintas sub etnis, lintas agama yang


bersumber pada rasa, dan kesadaran senasib, sepenanggungan,
solidaritas, kesetiakawanan, serta tolong-menolong (p. 88-89).

3. Adat
Makna kata adat Adat dijelaskan oleh Bartels (2000) sebagai
istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua sistem
kepercayaan dan kebiasaan tradisional yang ditetapkan oleh para
leluhur pada masa pra-Islam dan pra-Kristen, yang masih
diterapkan sampai sekarang (p. 6).
Menurut Thomas (2010), bagi orang Ambon berhubungan dengan
leluhur memiliki peranan yang melindungi dan peranan yang
menghukum. Setiap negeri memiliki tete nene moyang, demikian
juga upu. Dua atau lebih negeri mempunyai leluhur yang sama
bila mempunyai hubungan kekerabatan. Orang-orang Ambon
sangat percaya kepada tiga kekuatan, yakni gunung, tanah, “tete
nene moyang”. Gunung mewakili unsur langit (laki-laki), tanah
mewakili unsur bumi (perempuan) dan “tete nene moyang“
mewakili roh leluhur. Perlindungan kepada manusia dapat
terlaksana dengan menjaga hubungan baik dan teratur dengan
leluhur, termasuk melaksanakan kebijakan-kebijakan adat yang
diturunkan oleh leluhur. Para leluhur bersemayam di ruma tau,
atau ruma tua gunung, labuang, tempat-tempat pamali, atau batu
pamali, baileu negeri lama, langit dan tanah. Pada tempat tersebut
orang dapat berhubungan dengan leluhur mereka dalam
menjalankan aktivitas sosial budaya (p. 173).

Program for Strengthening Household Access to Resources


(PROSHAR) menyebutkan bahwa pengetahuan adat merupakan sumber
informasi yang berharga dan dapat menjadi kontributor kunci untuk
mengurangi risiko di wilayah setempat (p. 3). Maarif (2012) juga
menguraikan bahwa pada lingkungan masyarakat tradisional yang hidup

Universitas Pertahanan
25

harmonis dengan lingkungannya, nilai-nilai budaya yang ada terbukti


mampu menilai risiko yang ada dan mampu menghindari terjadinya
bencana karena perilaku, adat dan budaya yang mereka lakukan
mendukung upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana (p. 220).
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa masyarakat tradisional yang
memiliki pengetahuan adat serta hidup harmonis dengan alam sudah
seharusnya memiliki pengetahuan yang baik tentang pengurangan risiko
bencana dan memunculkan sebuah ketangguhan.

2.1.3 Deskripsi Banjir Bandang


2.1.3.1 Pengertian Banjir Bandang
Terdapat beberapa pengertian tentang banjir bandang, atau yang
dikenal dengan istilah “flash flood” yang bersumber dari beberapa
lembaga, antara lain:
1. World Meteorological Organization dalam Grabs (2010)
Banjir bandang adalah banjir berlangsung singkat dengan debit
puncak yang relatif tinggi.
2. American Meteorological Society dalam Grabs (2010)
Banjir bandang adalah Banjir yang naik dan turun cukup cepat
dengan sedikit atau tanpa peringatan terlebih dahulu, biasanya
sebagai akibat curah hujan yang intens di daerah yang relatif kecil.
3. U.S. National Weather Service dalam NOAA-COMET (2010)
Banjir bandang adalah aliran yang cepat dan ekstrim dari air yang
tinggi ke daerah yang biasanya kering, atau kenaikan permukaan
air cepat dalam aliran sungai atau di atas tingkat banjir yang telah
ditentukan, mulai dalam waktu enam jam dari peristiwa penyebab
(misalnya, curah hujan yang intens, kegagalan bendungan).
Namun, ambang waktu yang sebenarnya dapat bervariasi di
berbagai negara. Banjir berkelanjutan dapat meningkatkan
kecepatan banjir dalam kasus di mana hasil curah hujan yang
intens dalam gelombang cepat banjir meningkat.

Universitas Pertahanan
26

2.1.3.2 Ciri dan Dampak Banjir Bandang


Banjir bandang biasanya disebabkan oleh curah hujan yang
deras, tetapi juga dapat terjadi dari dam break (bendungan yang jebol atau
pecah), tanggul yang pecah, atau bahkan es yang menekan di sungai
selama musim dingin dan musim semi. Banjir bandang perkotaan
merupakan masalah yang serius. Permukaan tanah yang tidak bisa
ditembus air seperti beton atau tanah gundul yang dipadatkan, di
sepanjang perubahan ke drainase alami, membuat energi limpasan yang
tinggi dari curah hujan dapat membanjiri jalanan dan bangunan dengan
sangat cepat (NOAA-COMET, 2010, p. 1-3).
Banjir bandang merupakan salah satu bencana yang
menewaskan banyak orang di berbagai negara serta membawa kerugian
secara ekonomi, rusaknya infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Untuk
negara-negara besar dan berkembang, sudah ada alat sistem peringatan
dini (early warning system) yang sewaktu-waktu dapat memberikan
peringatan kepada masyarakat terkait dekatnya ancaman banjir bandang,
sehingga risiko jatuhnya korban jiwa maupun rusaknya infrasturktur dan
fasilitas umum lainnya dapat terminimalisir. Hal demikian tidak berlaku
untuk negara miskin dan berkembang. Akses mereka untuk teknologi
sistem peringatan dini (early warning system) bahaya banjir bandang
masih terasa minim, maka tidak heran jika jumlah korban dan kerusakan
yang diakibatkan cukup tinggi.
Banjir bandang adalah peristiwa hidrologi yang sukar untuk
diprediksi. Kombinasi dari curah hujan yang tinggi dan proses limpasan
yang cepat merupakan yang umumnya terjadi dalam proses banjir
bandang. Adapun pengaruh hidrologi dalam peristiwa banjir bandang,
dapat dilihat dari: Pengaruh tanah dan pengaruh basin atau cekungan.
Ada tiga kecenderungan jenis tanah yang dapat mempengaruhi peristiwa
banjir bandang, yaitu: kelembaban tanah, permeabilitas tanah dan profil
tanah. Begitu pun halnya dengan sifat fisik basin dan sungai yang dapat
mempengaruhi jumlah serta waktu limpasan banjir bandang.

Universitas Pertahanan
27

Banjir bandang atau flash flood, memiliki karakteristik kenaikan


permukaan air cepat di atas saluran alami dan mencapai puncak arus
dalam beberapa menit sampai beberapa jam serta dapat sering
menghilang dengan cepat. Banjir bandang juga disebabkan karena
intensitas hujan dan badai yang tinggi, salju atau es yang cepat mencair
dengan tiba-tiba karena ada perubahan suhu mendadak, serta dapat
diakibatkan oleh pecahnya bendungan. Problem yang diakibatkan oleh
banjir bandang, antara lain: selalu membawa material puing-puing
reruntuhan dan sedimen, serta kekuatan hidolik yang dahsyat dan erosif.
Banjir bandang tersebut dapat terjadi kapan saja dan kadang susah untuk
diprediksi. Sebagai upaya mitigasi banjir badang diperlukan adanya sistem
peringatan dini (early warning system), perlunya kesadaran dan
kesiapsiagaan masyarakat serta langkah-langkah lain yang dianggap
tepat.

2.1.3.3 Upaya Penanganan Banjir Bandang


Associated Programme on Flood Management (2007)
menguraikan bahwa upaya proteksi banjir dapat dibagi ke dalam tindakan
structural dan non structural, pada tindakan yang terakhir ini tampaknya
akan menjadi kunci perhatian khusus yang efektif dalam membatasi
kerusakan yang disebabkan oleh banjir bandang. Hal ini tidak berarti
bahwa langkah-langkah struktural tidak membantu penanganan, tetapi
prosedur yang khas, seperti pembangunan waduk dan tanggul, tidak
selalu dapat diterapkan di daerah-daerah rentan terhadap banjir bandang.
Di sisi lain, tindakan-tindakan struktural skala kecil dapat memainkan
peran penting untuk menunda aliran air yang memungkinkan untuk secara
lokal dipertahankan, atau mengalihkan dari tempat-tempat itu dapat
menimbulkan ancaman bagi orang maupun properti. Upaya untuk
membatasi pergeseran puing, atau untuk menstabilkan lereng bukit di
daerah beresiko longsor dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Bagaimanapun juga perlu dicatat bahwa pemeriksaan banjir mungkin tidak

Universitas Pertahanan
28

akan dianggap sebagai pilihan di mana kecepatan aliran tinggi dan terkait
banyak puing-puing dari air banjir dapat diharapkan.
Apa yang penting dalam mengelola banjir bandang adalah
kegiatan pemerintah daerah dalam peringatan dan menanggapi banjir,
dengan tujuan utama untuk membatasi bahaya bagi kehidupan manusia.
Kegiatan pemerintah daerah dalam peringatan dan menanggapi banjir
adalah penting untuk membatasi bahaya bagi kehidupan manusia dan
properti. Sistem peringatan lokal memungkinkan kita, di satu sisi,
menyesuaikan solusi untuk risiko yang ada secara lokal, dengan
kemampuan masyarakat setempat (Associated Programme on Flood
Management, 2007, p. 19)
Senada dengan pernyataan di atas, maka peran pemerintah
daerah dalam penanganan bencana mulai dari fase pra bencana sangat
berkaitan dengan tujuan perlindungan bagi masyarakat. Copolla (2007)
juga menguraikan bahwa kesiapsiagaan bertujuan untuk meminimalkan
efek samping bahaya melalui langkah-langkah pencegahan yang efektif,
dimana menjamin sebuah organisasi dapat menjalankan perannya tepat
waktu dan efisien serta dapat mengerahkan aksi bantuan dalam Tanggap
Darurat (p. 209). Kesiapsiagaan harus terjadi pada kedua level, yaitu
pemerintah dan individu dalam rangka mengurangi risiko bencana dan
kerentanan (p.240).
Menurut Copolla (2007), terdapat berbagai tindakan kesiapan
pemerintah yang dapat dikelompokkan menjadi lima kategori umum:
1. Perencanaan
Perencanaan darurat dan tanggap bencana di tingkat pemerintah
merupakan proses yang diperlukan. Dalam hal terjadi bencana,
setiap tingkat yurisdiksi pemerintah akan diharapkan atau
diperlukan untuk melakukan berbagai tugas dan fungsi dalam. Hal
ini menjadi jelas, ketika terjadi suatu bencana, maka pada waktu
itu bukanlah saat yang ideal untuk memulai sebuah perencanaan
(p. 210).

Universitas Pertahanan
29

2. Latihan
Latihan memiliki fungsi kesiapan yang sangat penting untuk
memperkenalkan individu dan lembaga yang terlibat dalam
respon. Terdapat beberapa jenis latihan, yaitu Drill, Table Top
Exercise, Functional Exercise, dan Full-scale Exercise (p. 216-
217).
3. Pelatihan/ Training
Pelatihan adalah komponen ketiga dalam kesiapsiagaan
pemerintah. Dapat dikatakan bahwa respon pemerintah dalam
menangani bencana akan lebih efektif jika mereka dilatih
untuk melakukan pekerjaan mereka (p. 218).
4. Peralatan
Pengembangan peralatan dalam membantu respon bencana dan
pemulihan telah membantu lembaga terkait secara drastis
mengurangi jumlah korban dan kematian dan jumlah properti yang
rusak atau hancur akibat peristiwa bencana. Peralatan ini juga
meningkatkan efektivitas lembaga dalam melindungi kehidupan
masyarakat. Sayangnya, akses ke peralatan ini tergantung pada
sumber daya yang tersedia (p. 218).
5. Kewenangan hukum
Dalam rangka untuk memastikan bahwa semua individu dan
lembaga yang terlibat dalam sistem manajemen darurat mampu
menjalankan tugasnya, itu sangat penting bahwa otoritas hukum
yang tepat ada (p.221).

Ketika terjadi bencana, prioritas pertama adalah menyelamatkan


nyawa. Kegiatan ini mencakup pencarian dan penyelamatan, pertolongan
pertama dan evakuasi, dapat dilaksanakan secara terus menerus dalam
jangka waktu beberapa hari/minggu sesuai dengan jenis bencana dan
tingkat keparahannya. Sebagaimana mobilisasi sumber daya dalam fase
tanggap darurat, fungsi tambahan guna meningkatkan prioritas, meliputi
penilaian bencana, penyediaan air dan makanan, penampungan,

Universitas Pertahanan
30

manajemen fasilitas, sanitasi, keamanan, dan layanan sosial (Copolla,


2007, p.255).
Adapun upaya penanganan bencana mulai dari pra bencana
hingga pemulihan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait
kebencanaan. Kapasitas dan sumber daya yang dimiliki turut
mempengaruhi penanganan bencana.

2.1.4 Civil-Military Coordination


Celik (2005) menguraikan bahwa Civil-Military Coordination atau
koordinasi antara sipil-militer merupakan istilah yang digunakan oleh PBB
untuk menentukan sistem interaksi yang melibatkan pertukaran informasi,
negosiasi, saling mendukung, dan perencanaan di berbagai tingkatan
antara unsur-unsur militer dan organisasi kemanusiaan, organisasi
perkembangan, dan penduduk sipil untuk mencapai tujuan masing-masing
(p. 10). Selain definisi dimaksud, Metcalfe et al (2012) juga memakai
istilah Civil Military Coordination seperti yang telah dijabarkan secara
resmi oleh UN-OCHA dan IASC, yaitu dialog penting dan interaksi antara
aktor sipil dan militer dalam keadaan darurat kemanusiaan yang
diperlukan untuk melindungi dan mempromosikan prinsip-prinsip
kemanusiaan, menghindari persaingan, meminimalkan inkonsistensi, dan,
bila sesuai, mengejar tujuan bersama (p. 1-2).
Terkait koordinasi sipil militer, UN-OCHA (2015) juga
mengemukakan bahwa elemen kunci dari koordinasi dalam bencana alam
dan keadaan darurat yang kompleks adalah berbagi informasi, pembagian
tugas dan perencanaan (p. 7). Ditambahkan pula oleh Martinez et al
(2014) koordinasi yang efektif sangat penting untuk memberikan respon
terhadap bencana yang berhasil, seperti perencanaan dan persiapan yang
baik di tingkat nasional dan internasional (p. 1). Namun pada kenyataan di
lapangan belum tentu koordinasi dapat berjalan dengan baik antara pihak
sipil dan militer.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Madiwale et al (2011),
diungkapkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, peran militer dalam

Universitas Pertahanan
31

menanggapi bencana alam telah berkembang, sebagai hasil dari berbagai


faktor. Termasuk diantaranya: peningkatan skala dan kejadian bencana
alam; sebuah tren yang bersamaan terhadap militerisasi dalam respon
kemanusiaan pada situasi konflik; dan meningkatnya perhatian terhadap
tanggap bencana dari pihak militer (p. 1086). Di Indonesia, peran militer
memang tidak dapat dilepaspisahkan dari penanganan bencana. Tentu
saja hal ini berkaitan dengan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dalam membantu penanganan bencana pun juga terlihat dalam UU nomor
34 tahun 2004 yang tertera dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Selain itu dalam UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara telah dijelaskan bahwa sistem pertahanan yang dianut oleh
Indonesia adalah sistem pertahanan semesta. Kemudian secara lebih
jelas dalam UU nomor 3 tahun 2002 dimaksud, tepatnya pada pasal 19
disebutkan bahwa dalam menghadapi bentuk dan sifat ancaman
nonmiliter di luar wewenang instansi pertahanan, penanggulangannya
dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai bidangnya. Atau dengan
kata lain, dalam konteks penanggulangan bencana sebagai salah satu
ancaman nonmiliter, kekuatan militer (TNI maupun Polri) juga dibutuhkan.
Walaupun dalam pelaksanaannya dikoordinasikan oleh BNPB di tingkat
nasional dan BPBD di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota.
Maarif (2012) menguraikan bahwa dalam fase prabencana, TNI
dapat berperan dalam upaya kesiapsiagaan, seperti penyusunan rencana
kontinjensi dan pelaksanaan latihan kesiapsiagaan bersama Pemda dan
masyarakat setempat. Sedangkan dalam fase tanggap darurat, peran TNI
menjadi lebih meningkat, karena manusia serta mekanisme mobilisasi
sumber daya yang dimiliki memungkinan untuk dapat segera melakukan
operasi tanggap darurat (p. 130).

Universitas Pertahanan
32

2.1.5 Penelitian Terdahulu


Knocke et al (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Flash
Flood Awareness in Southwest Virginia”, menyimpulkan bahwa terlepas
dengan begitu banyaknya studi yang dilakukan untuk mengevaluasi
persepsi risiko dari masyarakat pada umumnya yang berhubungan
dengan bencana alam banjir bandang, terdapat kekurangan informasi
pada isu tentang banjir pada wilayah tenggara. Hasil penelitian juga
menyatakan bahwa pengetahuan dasar tentang banjir bandang
sebenarnya sudah ada, tetapi tidak cukup berkembang untuk kesadaran
yang sebenarnya. Orang dewasa yang masih muda memiliki pemahaman
yang lebih rendah dan tidak menaruh perhatian pada dampak dari banjir.
Banyak orang yang memonitor kejadian banjir, tetapi mereka tidak
menyadari akan petunjuk penting dan mekanisme komunikasi.
Di samping itu penelitian tentang Banjir Bandang juga pernah
diadakan oleh Adi (2013) dengan judul penelitian Karakterisasi Banjir
Bencana Bandang di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memahami
karakteristik kejadian bencana banjir bandang yang pada umumnya
menyebabkan kerusakan harta benda yang masif dan menimbulkan
korban jiwa yang cukup besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
banjir bandang besar ternyata tidak hanya terjadi pada daerah yang sudah
tereksploitasi secara masif seperti yang tejadi di pulau Jawa, namun juga
terjadi pada daerah yang belum tereksploitasi seperti yang terjadi di
Bahorok (Sumatera) dan Wasior (Papua). Namun aplikasi upaya mitigasi
guna mengatasi ancaman banjir bandang dimaksud belum banyak
dilakukan para pemangku kepentingan yang berada di daerah berpotensi
banjir bandang.
Kajian tentang banjir bandang lainnya telah dilaksanakan oleh
Azmery et al (2013) terkait Kajian Mitigasi Bencana Banjir Bandang
Kecamatan Leuser Aceh Tenggara melalui Analisis Perilaku Sungai Dan
Daerah Aliran Sungai. Tujuan kajian ini dilaksanakan untuk menganalisis
perilaku sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) agar dapat memberikan
rekomendasi bagi mitigasi bencana bandang yang merupakan kejadian

Universitas Pertahanan
33

yang berulang di daerah studi. Dari kajian diperoleh fakta bahwa banjir
bandang yang terjadi merupakan akibat dari intensitas hujan yang tinggi.
Selain itu, peneliti juga berhasil menarik kesimpulan bahwa berdasarkan
teori perilaku sungai, bahwa perubahan kemiringan dasar sungai yang
mendadak pada saat alur keluar dari daerah pegunungan yang curam dan
memasuki dataran yang lebih landai, maka pada lokasi ini terjadi proses
pengendapan yang sangat intensif.
Ikhsanudin (2014) turut meneliti tentang Tingkat Ketangguhan
Pemerintah Kelurahan Jagalan Kecamatan Jebres Surakarta dalam
Menghadapi Bencana Banjir. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
berdasarkan analisis data Tingkat Ketahanan Desa dalam menghadapi
bencana banjir di Kelurahan Jagalan termasuk dalam tingkat ketahanan
desa pranata. Selain itu, tingkat ancaman bencana banjir tinggi dengan
skor kerentanan sosial 0,857.
Penelitian tentang Way Ela sudah pernah dilaksanakan oleh
Oktaria (2014), dengan memfokuskan penelitiannya pada efektivitas
pemetaan dengan menggunakan pesawat terbang tanpa awak untuk kaji
cepat dalam penanggulangan bencana banjir bandang bendungan alam
Way Ela dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Hasil penelitian dimaksud
menunjukkan bahwa pemetaan pasca jebolnya Bendungan Alam Way Ela
dengan metode fotogrametri menggunakan pesawat terbang tanpa awak
pada bencana banjir banjir bandang bendungan alam Way Ela sangat
efektif, karena tingkat risiko dalam pelaksanaan pemetaan paling kecil.
Adapun review hasil-hasil penelitian di atas, dapat dilihat dalam tabel 2.3.

Universitas Pertahanan
34

Tabel 2.3 Hasil Review Penelitian-Penelitian Terdahulu

Judul Makalah Ilmiah, Nama Penerbit, Permasalahan Yang


No Metodologi Penelitian Hasil-hasil Penelitian
Penulis No/Vol/Edisi/Tahun Diteliti
1 Flash Flood Awareness in Risk Analysis, Vol. 27, No. Kesadaran akan ancaman Penelitian ini menggunakan Pengetahuan dasar tentang
Southwest Virginia, 1, 2007 banjir bandang di pendekatan kuantitatif dan banjir bandang sebenarnya
Ethan T. Knocke & Korine Southwest Virginia. kualitatif. sudah ada, tetapi tidak
N. Kolivras cukup berkembang untuk
kesadaran yang
sebenarnya. Orang dewasa
yang masih muda memiliki
pemahaman yang lebih
rendah dan tidak menaruh
perhatian pada dampak dari
banjir. Banyak orang yang
memonitor kejadian banjir,
tetapi mereka tidak
menyadari akan petunjuk
penting dan mekanisme
komunikasi.
2 Karakterisasi Banjir Jurnal Sains dan Teknologi Karakteristik kejadian Kajian ini merupakan kajian Banjir bandang besar
Bencana Bandang di Indonesia Vol. 15, No. 1, bencana banjir bandang pustaka diskriptif dan ternyata tidak hanya terjadi
Indonesia, Seno Adi. April 2013 Hlm.42-51 yang pada umumnya sekaligus kuantitatif yang pada daerah yang sudah
menyebabkan kerusakan terkait dengan isu bencana tereksploitasi secara masif
harta benda yang masif dan banjir bandang. seperti yang tejadi di pulau
menimbulkan korban jiwa Jawa, namun juga terjadi
yang cukup besar pada daerah yang belum
tereksploitasi.
Penerapan upaya mitigasi
bencana banjir bandang
belum banyak dilakukan

Universitas Pertahanan
35

Sambungan Tabel 2.4


Judul Makalah Ilmiah, Nama Penerbit, Permasalahan Yang
No Metodologi Penelitian Hasil-hasil Penelitian
Penulis No/Vol/Edisi/Tahun Diteliti
para pemangku
kepentingan yang berada di
daerah berpotensi banjir
bandang.
3 Kajian Mitigasi Bencana Artikel Ilmiah pada Mitigasi Bencana Banjir Penelitian ini menggunakan Perubahan kemiringan
Banjir Bandang Kecamatan Konferensi Nasional Teknik Bandang Kecamatan metode survey, dengan dasar sungai yang
Leuser Aceh Tenggara Sipil 7 (KoNTekS 7) Leuser Aceh Tenggara mengumpulkan data mendadak pada saat alur
melalui Analisis Perilaku Universitas Sebelas Maret melalui Analisis Perilaku sekunder berupa data keluar dari daerah
Sungai Dan Daerah Aliran (UNS) - Surakarta, 24-26 Sungai Dan Daerah Aliran hujan, peta Daerah Aliran pegunungan yang curam
Sungai, Azmeri dan Devi Oktober 2013. Sungai. Sungai, dan pet Tata Guna dan memasuki dataran
Sundary. Lahan. yang lebih landai, maka
pada lokasi ini terjadi
proses pengendapan yang
sangat intensif. Faktor
keamanan pada kondisi
ekstrim yaitu pada saat
banjir tebing sungai lebih
kecil dibandingkan nilai
1,50. Hal ini memberikan
informasi bahwa pada
kondisi banjir (genangan)
tebing sungai tidak aman
terhadap gerusan.
4 Tingkat Ketangguhan Universitas Muhamadiyah Tingkat Ketangguhan Metode yang digunakan Berdasarkan analisis data
Pemerintah Kelurahan Surakarta, 2014. Pemerintah Kelurahan pada penelitian ini adalah Tingkat Ketahanan Desa
Jagalan Kecamatan Jebres Jagalan Kecamatan Jebres metode deskriptif kuantitatif dalam menghadapi
Surakarta dalam Surakarta dalam bencana banjir di Kelurahan
Menghadapi Bencana Menghadapi Bencana Banjir Jagalan termasuk dalam
Banjir, M. Rizal Ikhsanudin. tingkat ketahanan desa
pranata. Selain itu, tingkat
ancaman bencana banjir

Universitas Pertahanan
36

Sambungan Tabel 2.4

Judul Makalah Ilmiah, Nama Penerbit, Permasalahan Yang


No Metodologi Penelitian Hasil-hasil Penelitian
Penulis No/Vol/Edisi/Tahun Diteliti
tinggi dengan skor
kerentanan sosial 0,857.
5 Efektivitas Pemetaan Universitas Pertahanan Efektivitas Pemetaan Metode penelitian kualitatif Pemetaan pasca jebolnya
Dengan Menggunakan Indonesia, 2015. Dengan Menggunakan deskriptif. Bendungan Alam Way Ela
Pesawat Terbang Tanpa Pesawat Terbang Tanpa dengan metode fotogrametri
Awak Untuk Kaji Cepat Awak Untuk Kaji Cepat menggunakan pesawat
Dalam Penanggulangan Dalam Penanggulangan terbang tanpa awak pada
Bencana Banjir Bandang Bencana Banjir Bandang bencana banjir bandang
Bendungan Alam Way Ela Bendungan Alam Way Ela Bendungan Alam Way Ela
Di Kabupaten Maluku serta faktor-faktor yang sangat efektif.
Tengah, Provinsi Maluku., mempengaruhi. Faktor-faktor yang
Dian Oktiari. mempengaruhi:
- Jenis bencana yang
terjadi
- Tingkat risiko terhadap
pelaku survey
- Tingkat ketelitian dan
akurasi data bencana
- Ketepatan waktu
Sumber: Knocke et al (2007), Adi (2013), Azmery et al (2013), Ikhsanudin (2014), dan Oktaria (2014), (telah diolah kembali)

Universitas Pertahanan
37

2.2. Kerangka Pemikiran


Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, peneliti
ingin mengetahui pentingnya pelaksanaan pengurangan risiko bencana
dan pembelajaran apa saja yang dapat dipetik dari proses pengurangan
risiko bencana yang dapat dipelajari dari studi kasus banjir bandang Way
Ela sehingga dapat diaplikasikan di daerah lain terutama Provinsi Maluku
guna membangun ketangguhan bencana yang dapat memberikan
kontribusi terhadap Pertahanan Negara. Adapun kerangka pemikiran
penelitian ini, penulis tuangkan ke dalam bagan berikut ini.

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran penelitian


Sumber: Peneliti (2015)

Universitas Pertahanan

Anda mungkin juga menyukai