Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343360341

Pentingnya Pendidikan dalam Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia

Article · August 2020

CITATIONS READS

0 4,102

2 authors:

Nurma Isnaini Fizri Nura


Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
3 PUBLICATIONS 1 CITATION 5 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Bagaimana Indonesia Merespon Perlambatan Ekonomi Global View project

Health Economics of Cigarette (Smoking Habits) in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Nurma Isnaini on 01 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pentingnya Pendidikan dalam Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia

Nurma Sari Isnaini (120210170007)

Fizri Nur Azizah (120210170029)

Latar Belakang

Pada tahun 2019, sebanyak 25 juta orang di Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan,
ukuran kemiskinan di Indonesia didasarkan pada pengeluaran perkapita seseorang dalam
sebulan yaitu sebesar Rp 425.000. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan dianggap
memperlambat pembangunan ekonomi suatu negara, karena tidak hanya membahas
bagaimana seorang individu memenuhi kebutuhan pokoknya saja, melainkan mengenai
permasalahan dinamis yang menyangkut ketidakmampuan seseorang untuk meraih standar
hidup yang ada di suatu negara, misalnya kesehatan, rasa aman, pekerjaan, pendidikan, dan
sebagainya. Meskipun angka kemiskinan secara nasional mengalami penurunan, tetapi
menurut Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), standar kemiskinan yang
ditetapkan pemerintah Indonesia terlalu rendah dan tidak realistis, mana mungkin seseorang
dapat memenuhi seluruh kebutuhannya dengan $1-$2 perhari (Adi Renaldi, 2018).

Hal yang harus kita pahami juga, mahalnya fasilitas pendidikan dan minimnya pelayanan
publik diwilayah Indonesia membuat pendidikan masih terbilang eksklusif. Ditemukan
bahwa rumah tangga miskin terjebak dalam Poverty Trap, bahwa kemiskinan membawa
dampak dimana anak yang terlahir dari keluarga miskin memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, karena lebih memilih bekerja dibandingkan sekolah, sehingga produktivitasnya
rendah dan cenderung bekerja di sektor yang berpenghasilan rendah. Selanjutnya anak dari
keluarga miskin akan bertahan hidup dan berkembang menjadi orang dewasa miskin, lalu
akan mentransfer kemiskinan kepada anak-anaknya dimasa mendatang saat menjadi orang
tua (Chzhen et al., 2017). Kemudahan dan ketersediaan akses pendidikan memberikan efek
multiplier, yaitu menjadi investasi untuk meningkatkan kesejahteraan di masa mendatang.
Ditemukan juga hubungan yang positif dan signifikan antara pendidikan dan kesehatan
dengan pertumbuhan ekonomi (Retno, 2011). Maka pengurangan jumlah kemiskinan harus
terus dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mencapai kesejahteraan, dan
meningkatan kecerdasan bangsa Indonesia seseuai cita-cita yang tercantum dalam UUD
1945.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi penentu suksesnya penurunan


kemiskinan di Indonesia. Maka penanggulangan kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dalam
satu periode saja, penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara berkelanjutan
(sustainable) bagi generasi sekarang yang berdampak bagi generasi mendatang. Pemerintah
setiap tahunnya berupaya untuk menurunkan kemiskinan khususnya dalam bidang
pendidikan seperti peningkatan program wajib belajar selama 9 tahun, pemberian dana BOS
bagi siswa yang tidak mampu, Kartu Indonesia Pintar, Bantuan Siswa Miskin, dan Program
Keluarga Harapan, bekerjasama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) diharapkan program yang dibuat menjadi efektif dan tepat sasaran. Hal
tersebut menjadi dasar mengapa kemiskinan masih sangat baik untuk dibahas untuk
menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia.

Kajian Pustaka

Dalam melakukan perhitungan jumlah kemiskinan, beberapa lembaga survei terkadang


memiliki perbedaan jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik, perhitungan
penduduk miskin didasari pendapatan dan pengeluaran perkapita. Metode ini dianggap
kurang efektif karena kurang mencerminkan tingkat kemiskinan.

Kemiskinan di zaman sekarang bukan hanya sebatas mengenai ketidakmampuan ekonomi,


tetapi juga ketidakmampuan untuk memenuhi hak-hak dasar secara umum yaitu kebutuhan
pangan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, tempat tinggal, air bersih, pertanahan keamanan
dari perlakuan tindak kekerasan, ataupun partisipasi dalam kehidupan sosial politik tanpa
adanya diskriminasi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar sejalan dengan tujuan
didalam Sustainable Development Goals (SDGs) (Ustama, 2006).

Menurut Murni dalam (Novriansyah, 2018) pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh sumber
daya alam, sumber daya manusia, barang modal, teknologi dan inovasi, kemampuan yang
dimiliki, dan ketersediaan informasi. Yang dinyatakan dengan fungsi Q = f (R, L, K, T, S,
Inf). Dengan demikian dalam mencapai sumber daya manusia yang berkualitas harus
didapatkan melalui pendidikan yang baik.
Beberapa penelitian terdahulu menjelaskan bahwa dampak kemiskinan terhadap kehidupan
masyarakat diantaranya, kualitas kehidupan yang rendah nantinya akan berdampak pada
kualitas kesehatan dan pendidikan yang rendah juga (Utomo, 2014). Dijelaskan juga dalam
Human Capital Theory bahwa keputusan individu untuk berinvestasi dalam modal manusia,
seperti pendidikan dan peningkatan skill akan menjadi efektif untuk menurunkan kemiskinan
yang ada karena mudah untuk mendapatkan pekerjaan (Mckernan & Ratcliffe, 2002).

Faktanya pada kehidupan sehari-hari menunjukan bahwa kemiskinan sering dikaitkan dengan
ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi, meskipun pemerintah Indonesia telah
membuat program untuk membebaskan uang bayaran pada tingkat dasar (SD), Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tingkat atas (SMA), maupun beasiswa untuk tingkat
universitas. Namun biaya pendidikan yang mendukung proses pembelajaran tergolong cukup
tinggi, seperti uang buku dan seragam. Apalagi jika keluarga yang tergolong miskin, akan
kehilangan biaya dari pendapatan (opportunity cost) jika anak mereka bekerja (Nurwati,
2008).

Perlu diketahui, angka putus sekolah akan mewarisi kemiskinan karena seseorang yang tidak
memiliki pendidikan akan cenderung mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan dibawah
standar UMR. Pemerintah terus berupaya menekan angka putus sekolah melalui pendidikan
formal dan pelatihan skill untuk bekal mencari pekerjaan yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan (Portal Berita Pemerintah Jawa Tengah, 2019).

Data dan Analisis


Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia dalam Juta
45
40
35 39.3
37.17
30 34.96
32.53 31.02
30.2 29.25
25 28.17 28.28 28.59 28.01 27.77
25.95 24.79
20
15
10
5
0

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012


2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan
sejak lima tahun terakhir. Presentase penduduk miskin pada September 2019 telah menyentuh
angka 9,22 persen dari total penduduk Indonesia atau berkisar 24,79 juta orang.

Penurunan kemiskinan terjadi karena distribusi pendapatan, pendidikan, fasilitas kesehatan,


dan pembangunan infrastruktur mulai merata disetiap wilayah meskipun belum maksimal.
Distribusi ini diukur menggunakan Koefisien gini atau indikator yang digunakan untuk
menunjukan ketimpangan secara menyeluruh. Koefisien gini berkisar antara 0–1. 0
merupakan pemerataan sempurna, sementara 1 merupakan ketimpangan sempurna. Angka
dari koefisien gini dapat digambarkan melalui Lorenz Curve. Lorenz Curve menjelaskan
semakin besar luas jarak kurvanya dengan garis diagonal, menunjukan semakin tinggi angka
ketimpangan dalam masyarakat tersebut (Todaro, 2006).

Suatu negara dikatakan berhasil mengatasi ketimpangan apabila koefisien gini mendekati nol,
namun sulit rasanya mencapai pemerataan sempurna maupun ketimpangan sempurna.
Menurut data Badan Pusat Statistik, koefisien gini Indonesia mengalami penurunan setiap
tahun, misalnya saja pada tahun 2019 mengalami penurunan sebesar 0,007 poin dari 0,389
menjadi 0,382 jika dibandingkan dengan tahun 2018. Penurunan tersebut merupakan signal
baik yang menunjukan bahwa semakin sedikitnya ketimpangan di Indonesia. Koefisien gini
Indonesia sebesar 0,382 jika digambarkan melalui Lorenz curve nilainya mendekati 0, maka
luas lebarnya semakin mendekati garis diagonal atau garis pemerataan sempurna.
Garis Pemerataan

Presentase Pendapatan Lorenz Curve


0,382

Presentase Populasi

Penelitian sebelumnya (Zhang, 2017) menjelaskan bahwa terjadi kesenjangan antara


pendidikan perkotaan dan pedesaan yang tercermin dalam perbedaan investasi pendidikan,
pencapaian pendidikan anak-anak, kualitas pengajar, fasilitas sekolah, dan penunjang
pendidikan yang lain. Pendidikan merupakan hal mutlak yang mendukung seseorang berada
dalam pasar tenaga kerja, sebab seseorang dengan pendidikan berkualitas cenderung
memiliki pengetahuan dan pola pikir yang luas.

Jumlah Anak Putus Sekolah di Indonesia Tahun 2019

Usia Jumlah Anak Putus Sekolah


7-12 Tahun 1.228.792
13-15 Tahun 936.674
16-18 Tahun 2,420,866
Total 4.586.332

Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), angka


partisipasi dalam pendidikan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2019 dalam data
Kemendikbud, angka partisipasi terus meningkat untuk SD dan SMP lebih dari 100 persen,
sedangkan partisipasi untuk SMA mencapai 88,6 persen. Namun alasan ekonomi membuat
jumlah anak putus sekolah di Indonesia tergolong besar yaitu berkisar 4,5 juta anak. Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengungkapkan bahwa sebesar
958,599 anak yang putus sekolah berada di Provinsi Jawa Barat, lalu provinsi Jawa Tengah
sebesar 677,642 anak dan provinsi Jawa Timur sebesar 609,131 anak. Setiap tahunnya
pemerintah berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan melalui peningkatan anggaran.
Anggaran Pendidikan Tahun 2015-2020 dalam Triliun
Rupiah
600
500
492 505,8
400 444,1
419.8
390.1 370.4
300
200
100
0
2015 2016 2017 2018 2019 2020

Alokasi anggaran bagi pendidikan terus dipertahankan sebesar 20 persen dari APBN,
anggaran digunakan pada peningkatan kualitas pengajar, pembangunan sekolah di pelosok
wilayah Indonesia, pengembangan pembelajaran, dan bagaimana metode pembelajaran yang
cocok di zaman sekarang. Penggelontoran dana pendidikan diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan literasi, matematika, dan sains sehingga anak-anak dapat terus melanjutkan
pendidikannya. Mengingat derasanya arus globalisasi dan terbukanya Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA), membuat pemerintah harus meningkatkan kualitas pendidikan dan SDM nya,
agar dapat bersaing dengan negara lain. Jika SDM Indonesia dapat bersaing, kesejahteraan
akan terwujud dan kemiskinanpun bisa ditekan sekecil mungkin.

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2019
sebesar 133,56 juta orang, jumlah angakatan kerja yang banyak jika dapat dimanfaat dengan
baik maka akan meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia. Penduduk usia kerja di
Indonesia tahun 2019 sebanyak 197,91 juta orang dan 7,05 juta orang menganggur. Ternyata
pengangguran pada tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 50.000 orang dari tahun
sebelumnya. Peningkatan pengangguran disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah,
hampir setengah dari angkatan kerja merupakan orang yang bekerja dalam sektor informal
(70,49 juta orang) sedangkan 56,02 juta orang bekerja pada bidang formal.

Maka peningkatan pendidikan merupakan langkah awal untuk mengatasi masalah


pengangguran, yang akan memberikan efek multiplier bagi penurunan kemiskinan juga.
Secara umum seseorang dengan pendidikan tinggi dapat bersaing di dunia kerja, membuat
pengangguran mengalami penurunan, seorang yang terdidik akan mendapatkan pekerjaan
dengan pendapatan yang tinggi. Pendapatan yang tinggi meningkatkan konsumsi masyarakat,
sehingga perhitungan jumlah kemiskinan di nasional akan dikatakan baik apabila disertai
dengan penurunan koefisien gini yang merupakan signal pemerataan distribusi pendapatan.
Sehingga dapat dipastikan bahwa peningkatan pendapatan tidak hanya berada pada
masyarakat atas tetapi juga pada masyarakat bawah.

Solusi

Untuk seseorang yang ingin memasukin dunia kerja, diperlukan kemampuan dan kesehatan
yang memadai. Kemampuan yang dimiliki seseorang akan didapatkan melalui pendidikan
yang berkualitas, jika seseorang keluar dari kondisi kemiskinan maka hal tersebut bisa jadi
disebabkan oleh pengembalian investasi pendidikan. Semakin baik pendidikan seseorang,
maka akan memungkinkan semakin baiknya kemampuan yang dimiliki. Setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan untuk memaksimalkan potensi dalam dirinya, penting dilakukan
peningkatan kualitas pendidikan Indonesia baik dari segi tersedianya sarana prasarana,
kualitas guru yang memadai, dan pemerataan pendidikan yang mana tidak ada kesenjangan
antara pendidikan di desa dan di kota, kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan
perempuan, maupun kesenjangan pendidikan akibat keadaan ekonomi keluarga.

Penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara berkelanjutan, karena kemiskinan akan


terus ada. Melalui pendidikan yang sustainable diharapkan bahwa penanggulangan
kemiskinan kiranya akan dapat dicapai, karena pendidikan merupakan investasi jangka
panjang yang bukan hanya dapat dinikmati dimasa sekarang saja.

Kesimpulan

Kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan, pada tahun 2019 penduduk miskin
turun sebesar 530 ribu orang dari tahun sebelumnya. Total kemiskinan yang diukur BPS
melalui pengeluaran per-kapita sebesar 9,22 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau
sebesar 24,97 juta orang. Selain dari pengeluaran perkapita, kemiskinan di Indonesia juga
diukur dengan koefisien gini, di Indonesia tingkat koefisien gini sebesar 0,382 tetapi jika
dilihat berdasarkan provinsi, masih terdapat provinsi yang memiliki ketimpangan yang tinggi.

Namun pengukuran kemiskinan dinilai kurang efektif karena hanya menggunakan


pengeluaran perkapita, seharusnya kemiskinan juga diukur dengan pemerataan fasilitas
pendidikan dan kesehatan, jumlah pengangguran, dan pembangunan infrastruktur di setiap
daerah. Banyak penelitian menyebutkan bahwa peran pendidikan dapat menanggulangi
kemiskinan, sesuai tujuan SDGs agar kemiskinan dapat ditekan sekecil mungkin. Anggaran
pendidikan terus ditingkatkan dan TNP2K berupaya membuat program seperti dana BOS,
BSM, dan PKH yang bertujuan untuk mengurangi jumlah anak putus sekolah sebesar 4,5 juta
anak dan penuruna kemiskinan. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan skill,
dapat memberikan efek multiplier, karena pendidikan tinggi membuat wawasan seseorang
luas dan dapat bersaing dalam dunia kerja. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung
memiliki pendapatan yang tinggi juga. Sehingga konsumsi akan meningkat dan kemiskinan
dapat menurun.
Daftar Pustaka

Adi Renaldi. (2018). Poverty Isn’t Decreasing, Indonesia’s Official Poverty Line Is Just Too
Low. VICE.

Chzhen, Y., Bruckauf, Z., & Toczydlowska, E. (2017). Sustainable Development Goal 1 . 2 :
Multidimensional child poverty in the European Union. May, 1–29.

Mckernan, S., & Ratcliffe, C. (2002). Transition Events in the Dynamics of Poverty.

Novriansyah, M. A. (2018). Pengaruh Pengangguran dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Gorontalo Development Review, 1(1), 59–73.

Nurwati, N. (2008). Kemiskinan : Model Pengukuran , Permasalahan dan Alternatif


Kebijakan. 10(1), 1–11.

Portal Berita Pemerintah Jawa Tengah. (2019). Anak Putus Sekolah Bisa Wariskan
Kemiskinan. https://jatengprov.go.id/publik/anak-putus-sekolah-bisa-wariskan-
kemiskinan/

Retno, E. K. (2011). Pengaruh Pendidikan dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi, 2004, 1–20.

Todaro, P. M. (2006). Pembangunan Ekonomi.

Ustama, D. D. (2006). PERANAN PENDIDIKAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN.


1–12.

Utomo, D. (2014). Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Dalam Meningkatkan Kualitas


Hidup Rumah Tangga Miskin (Studi pada Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan
Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik.

Zhang, H. (2017). Opportunity or new poverty trap: Rural-urban education disparity and
internal migration in China. China Economic Review, 44(2016), 112–124.
https://doi.org/10.1016/j.chieco.2017.03.011

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai