BAB 1
PENDAHULUAN
Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi yang terbagi
menjadi tiga fase. Fase pertama periode tahun 2010-2014. Fase kedua periode tahun
2015-2019. Sedangkan pada tahun 2020, masuk pada fase ketiga, periode tahun 2020-
2024. Hasil evaluasi terhadap capaian Reformasi Birokrasi fase pertama dan kedua
perubahan yang terjadi. Sehingga masih terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan pada fase tersebut. Laporan lain yang didapatkan dari berbagai lembaga
masih di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam pada tahun 2016-2019. (Sumber:
https://m.mediaindonesia.com/opini/278422/tantangan-dan-strategi-reformasi-
birokrasi-2020)
Dari kondisi tersebut muncul dua strategi Reformasi Birokrasi dalam proses
penyelesaian pada fase ketiga ini. Strategi yang pertama, pemerintah harus melakukan
mengelola negara dan pemerintahan, karena birokrasi di Indonesia selama ini bergerak
1
dengan melalui kegiatan manajemen perubahan yang signifikan, orientasi para birokrat
dapat diperbarui, dari orientasi bekerja sendiri ke orientasi bekerja sama dengan
berbagai komponen. Paradigma yang baru ini mengubah orientasi cara bekerja yang
area perubahan yang ada agar menjadi lebih fokus dan mempunyai prioritas, karena
target pencapaian pada tahun 2019 (reformasi birokrasi fase kedua) ialah performance
rumah pemerintah yang menjadi prioritas utama harus diselesaikan ialah area
performance menjadi tujuan utama mengalami banyak perbaikan dan diharapkan akan
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya ditopang oleh kekuatan sumber daya
performance yang memuaskan (Volberda, et al., 2012). Namun jika dilihat dari hasil
evaluasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2018 dan 2019 memperlihatkan
masih sangat sedikit lembaga pemerintah daerah yang menerapkan manajemen sumber
daya manusia dengan baik. Mengingat hal tersebut organisasi perlu memperhatikan
pengelolaan sumber daya manusianya sebagai aset organisasi, karena peran dan
fungsinya tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Oleh karena itu, perhatian
utama atasan adalah mempertahankan tingkat job performance individu untuk menjadi
lebih baik (Luthans & Youssef, 2004). Adapun pencapaian organisasi yang bagus
tentunya didukung dari perolehan kinerja individu yang bagus, memiliki kinerja tinggi,
melakukan perbaikan sistem, memberikan informasi serta pelayanan yang baik, serta
Terkait ukuran hasil yang relevan dalam pekerjaan, ini merujuk pada seberapa
yang dilakukan karyawan saat bekerja yang mengacu pada keterampilan, kompetensi
profesional, dan keahlian yang diterapkan dalam penyelesaian tugas atau bagaimana
cara individu bertindak dalam hal efektivitas dan efisiensi, mempromosikan pencapaian
hasil dan misi organisasi (Song & Thompson, 2011). Sedangkan menurut (Bendassolli,
2017) performance mengacu pada tindakan yang disengaja dari individu untuk
mendapatkan hasil, atau sebagai konsep multidimensi yang terdiri dari individu,
kontekstual (atau situasional), dan control. Menurut (Robbins & Judge, 2008), job
performance merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Dalam suatu organisasi, performance dapat tercapai dengan baik
dihasilkan dari adanya interaksi dari para karyawan serta kesadaran untuk saling
Performance yang efektif merupakan salah satu pencapaian dari hasil yang
Sedangakan untuk proses penilaian kinerja individu Dinas Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Kediri menggunakan aplikasi E-Kinerja berbentuk web based yang dapat
PERBUP 1 tahun 2015, serta manajeman berbasis kinerja dengan harapan karyawan
masuk dan mentaati jam kerja yang telah ditetapkan, serta bekerja secara profesional.
(Sumber: https://slideplayer.info/slide/12071212/ ).
laporan E-Kinerja Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kediri periode tahun
2019-2020. Dari hasil evaluasi, dapat diketahui bahwa terdapat penurunan nilai
perolehan performance sehingga kondisi tersebut tidak lagi ideal seperti pada bulan
September 2019. Nilai perolehan tersebut juga menunjukkan bahwa selama 4 bulan
berturut-turut belum bisa mencapai target yang telah ditetapkan hal tersebut merupakan
salah satu permasalahan performance yang terlihat dari data tesebut. Dapat disimpulkan
bahwa performance dari lembaga pemerintah tersebut telah memiliki aturan yang pasti
dalam penilaiannya, dan dalam melaksanakan program dan kegiatan secara umum telah
sesuai dengan target, sasaran, tujuan, jadwal dan penganggaran yang telah
karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan selama periode waktu tertentu didasarkan
kinerja Diskominfo kabupaten Kediri, namun hasil yang terlihat dari data masih belum
pemerintah berdasarkan peraturan bupati kediri nomor 33 tahun 2019 tentang system
yang menjadikan Diskominfo kabupaten Kediri sebagai pusat data untuk mengelola
fasilitas yang digunakan untuk penempatan system elektronik dan komponen terkait
lainnya untuk keperluan penyimpanan, pengolahan, dan pemulihan data dari seluruh
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ada di kabupaten Kediri. Sehingga
dibutuhkan SDM yang sesuai dengan Peraturan bupati no 33 tahun 2019 pasal 36
mampu untuk menjamin keberlangsungan dan peningkatan mutu layanan dalam SPBE,
https://berita.kedirikab.go.id/perbup-sistem-pemerintahan-berbasis-elektronik-kab-
kediri )
terlihat dari data yang ada namun tercermin dari hasil observasi dilapangan atau
wawancara. Berikut ini merupakan hasil pra-penelitian yang telah dilakukan peneliti
dengan melakukan wawancara terhadap beberapa pegawai dari Dinas Komunikasi dan
Informatika Kabupaten Kediri. Salah satu pegawai (R1) tentang ketidakjelasan peran
sebagai berikut:
“Ada tuntutan supaya bisa mengerjakan semua pekerjaan tanpa ada pembagian
jenis pekerjaan yang jelas sehingga hasilnya jadi kurang maksimal. Biasanya
pekerjaan diselesaikan dengan hanya bertumpu pada satu atau dua orang saja,
dan tentunya tidak ada perkembangan bagi karyawan yang lain.”
terkait Peraturan bupati no 33 tahun 2019 pasal 1 ayat (37) yang menyatakan bahwa
Diskominfo kabupaten Kediri membentuk unit sebagai service desk tier 2 yang
memiliki tugas dan wewenang sebagai pihak yang dapat dihubungi oleh service desk
tier 1 apabila terdapat permasalahan teknologi informasi dan komunikasi bagi SKPD
yang tidak mampu menyelesaikan secara mandiri, maka service desk tier 1 dapat segera
peningkatan kompetensi SDM untuk pelaksanaan tata kelola dan Manajemen SPBE di
semua SKPD. Guna mendukung program pemerintah terkait SPBE, dalam kondisi
tersebut besar kemungkinan seorang karyawan untuk melakukan OCB sangat tinggi
dan sebagian besar tindakan OCB, diambil dari keinginan sendiri, tidak akan
sumber daya yang tersedia di dalam organisasi. Karena performance merupakan hal
yang sangat penting bagi organisasai oleh karena itu performance dijadikan parameter
keberhasilan suatu organisasi, selain itu Basu et al., (2017) dalam penelitiannya
menerangkan bahwa OCB dan social capital merupakan dua faktor penting yang
(2002) terdapat hubungan antara job performance dan OCB. Sedangkan Whiting et al.,
evaluasi performance.
Menurut Hsiung et al., (2012) terdapat dua teori yang menjelaskan mengapa
bahwa karyawan melakukan suatu taktik dengan tujuan untuk mengubah persepsi atau
penilaian dari orang lain terhadap dirinya (Gardner & Martinko, 1988). Berdasarkan
teori ini, seseorang melakukan OCB karena ingin dinilai baik oleh orang lain (Bolino,
et al., 2002). Kedua, social exchange theory diartikan ketika tindakan atau perilaku
seseorang bergantung pada perlakuan yang diberikan oleh orang lain atau organisasi
memberikan timbal balik dalam bentuk OCB kepada organisasi (Hsiung et al., 2012).
Dalam studi terbaru, Khalid et al., (2010) menyebut OCB sebagai perilaku extra
role. Sejalan dengan pendapat Coyle-Shapiro & Kessler, (2002) mengemukakan bahwa
agar OCB menjadi perilaku extra role, maka perilaku peran tersebut tidak boleh secara
menyarankan bahwa OCB menjadi mekanisme kunci untuk menciptakan social capital.
OCB mempengaruhi social capital dalam organisasi (Yoon & Wang, 2011). Sehingga
social capital merupakan salah satu faktor yang diperlukan untuk hubungan
interpersonal karyawan dalam organisasi sebagai atribut individu dan hubungan mereka
yang meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah (Ostrom & Ahn, 2003).
menciptakan social capital dalam masyarakat dan lingkungan. Dimana social capital
(Nahapiet & Ghoshal, 1998b), sehingga individu bekerja sama secara efeketif dan
sama lain, serta membuat pekerjaan kolektif menjadi lebih mudah. Selain kerjasama,
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Menurut Bolino et al., (2002) bahwa
social capital (structural social capital, relational social capital dan cognitive social
capital) dalam organisasi. Social capital juga dianggap sebagai aset yang berharga,
(seperti bentuk modal fisik ataupun manusia) modal fisik yang digambarkan sebagai
pengalaman (Lin, 2001). Konsisten dengan pandangan berbasis sumber daya, Nahapiet
& Goshal (1998) menyatakan bahwa pengembangan social capital dalam suatu
Menurut Nahapiet & Goshal (1998) dimensi social capital yang pertama yaitu
structural social capital melibatkan sejauh mana karyawan dalam suatu organisasi
saling terhubung (apakah karyawan saling mengenal). Dimensi ini melibatkan aspek
perilaku, koneksi jaringan dan hubungan yang dibuat orang dalam organisasi
hubungan yang dibuat orang dalam organisasi satu samalain (Bolino et al., 2002), dan
tingkat kemanfaatan dari hubungan tersebut. Menurut Santos et al., (2018) dimensi
structural social capital akan mengasumsikan dua dimensi yang berbeda. Pertama
sumber daya dalam hubungan dengan rekan kerja. Kedua, dimensi struktur sosial yaitu
mengevaluasi fungsi sistem pertukaran pada jejaring sosial di luar tempat kerja.
Menurut Nahapiet & Goshal (1998) dimensi social capital yang kedua yaitu
relational social capital menyangkut sifat koneksi antara individu dalam suatu
organisasi. Dengan kata lain, berfokus pada kualitas dari koneksi atau relasi tersebut
melekat dalam organisasi. Dimensi relational social capital akan menganalisis tentang
kepercayaan, norma dan harapan (Mom et al., 2015). Dimensi modal sosial relasional
Menurut Nahapiet & Goshal (1998) dimensi social capital yang ketiga adalah
cognitive social capital menyangkut sejauh mana karyawan dalam pemahaman yang
sama, melalui bahasa umum dan diskusi dan kemampuan untuk berbagi pengetahuan.
Dimensi ini menggambarkan adanya hubungan antar karyawan dan sejauh mana
hubungan ini berkualitas (yaitu, apakah karyawan benar-benar memahami satu sama
lain). Mengacu pada kesamaan bahasa, pemahaman dan visi yang berguna untuk
para karyawan melalui bahasa yang akrab dan umum. Jika orang memiliki bahasa yang
satu sama lain menjadi lebih efektif. Dimensi kognitif lain studi ini menekankan adalah
visi bersama. Visi bersama mewakili tujuan kolektif dan keinginan anggota individu
dalam suatu organisasi. Ketika anggota individu pandangan yang sama tentang
instansi pemerintahan masih sangat terbatas. Terdapat ciri yang menarik dalam
pemerintahan untuk digali, dimana salah satu ciri tersebut terlihat dari banyak maupun
sedikitnya jumlah pekerjaan yang dikerjakan namun pendapatan yang diterima tetap
sama dan performance yang selalu dinilai baik, sehingga dengan penilaian baik tersebut
membuat karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan OCB menjadi relatif
tidak begitu dihargai atau tidak adanya penghargaannya di dalam dinas pemerintahan.
penelitian dalam unit agen asuransi. Selain itu, Podsakoff & MacKenzie (1997)
melakukan menyelidiki di pabrik kertas. Sedangkan Walz & Niehoff (2000) melakukan
gilirannya menghasilkan tingkat job performance yang lebih tinggi. Terkait dengan
adanya kendala performance yang tidak tercermin dalam laporan kinerja Dinas
performance tidak akan tercapai tanpa mempertimbangkan peran, posisi, dan faktor
organisasinya termasuk OCB, dan social capital (Nemati, et al., 2017). Sehingga
menurut peneliti fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan latar
belakang tersebut, menjadikan dasar untuk peneliti melakukan penelitian dengan judul:
maka rumusan masalah yang akan dikaji dari penelitian ini dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut:
performance
performance
performance
10. Apakah terdapat pengaruh antara OCB tehadap job performance melalui
diatas, maka dapat disimpulkan tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui:
capital
capital
10. Mengetahui pengaruh OCB terhadap job performance melalui cognitive social
capital
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
2. Bagi akademisi, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
Pada bagian ini, penulis menyajikan sistematika penulisan dengan tujuan untuk
memudahkan pembahasan dan penilaian penelitian ini. Adapun beberapa bagian bab
BAB 1 PENDAHULUAN
dilakukannya penelitian yang berisi inti permasalahan, tujuan dan manfaat yang akan
dibahas dalam penelitian ini. Pendahuluan memuat latar belakang, rumusan masalah,
Bab ini menjelaskan teori-teori yang akan digunakan sebagai acuan dasar yang
konseptual tersebut.
ini. Metodologi penelitian berisi tentang pendekatan penelitian, sumber data dan
Bab ini terdiri dari gambaran obyek penelitian, uraian hasil penelitian serta
pembahasan atas hasil penelitian yang diperoleh dan pengajuan model esensi atas
konsep.
BAB 6 PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang diperoleh dari pembahasan penelitian
yang telah dipaparkan sebelumnya serta sasaran yang sebaiknya dilakukan sebagai
penyempurnaan atas keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini sehingga dapat