Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL KEGIATAN

PRAKTIK KULIAH LAPANGAN


“IMPLEMENTASI REFORMASI ADMINISTRASI
PUBLIK DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG”

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Reformasi administrasi publik merupakan suatu hal yang harus dilakukan
dalam rangka mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien. Terdapat beberapa
aspek yang harus diperhatikan dalam reformasi administrasi publik, yaitu
budgeting, sumber daya manusia, penggunaan elektronik dalam pemerintah untuk
menunjang pelayanan publik, serta integritas pejabat publik.
Pertama, pada bidang budgeting. Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi membawa perubahan pada tatanan organisasi dan kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. Perubahan ini tidak hanya terjadi di organisasi
privat, melainkan juga terjadi di organisasi publik, yaitu organisasi pemerintahan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan model
pelayanan publik yang dilakukan melalui e-government (Fatmawati, Irviani,
Rachman, Sinthiya, & Kristina, 2016). Pelayanan yang disediakan oleh e-
government dapat diakses dalam 24 jam dan dari manapun pengguna berada.
Dengan adanya e-government, pemerintah juga memberikan inovasi terhadap
suatu sistem keuangan yang bisa memberikan kemudahan kinerja organisasi
pemerintah yaitu e-budgeting (Gunawan, 2016).
Salah satu kota yang telah menerapkan sistem e-budgeting adalah Kota
Bandung sejak tahun 2016 (Siptriandy, 2018). Penerapan e-budgeting di Kota
Bandung tidak mengalami kendala mengingat para ASN-nya memiliki keahlian
khusus terkait sistem ini. E-budgeting ini bertujuan agar pemantauan anggaran
dan penggunaannya lebih mudah, khususnya penyerapan anggaran di seluruh
Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Selain itu, penerapan e-budgeting bisa
mengefektifkan kinerja aparat Pemkot Bandung, sekaligus meningkatkan
kepercayaan publik. Penerapan e-budgeting juga sebagai upaya Pemkot Bandung
untuk mencegah serta menutup segala akses yang berpotensi menimbulkan
korupsi (Siptriandy, 2018).
E-budgeting merupakan terobosan untuk mereformasi birokrasi sesuai
dengan rumus segitiga pembangunan Kota Bandung, yakni inovasi, desentralisasi,

2
dan kolaborasi (Anggiono, 2016). Sistem e-budgeting yang diterapkan oleh Kota
Bandung merupakan cara untuk mengubah pola pikir agar tidak lagi membuat
program berdasarkan anggaran, melainkan berkreasi membuat program yang
inovatif, dan kemudian mencari besar anggaran (Anggiono, 2016).
Kota Bandung mempunyai sistem yang disebut BIREUM (Bandung
Integrated Resources Management System). BIREUM merupakan sistem
pengelolaan daerah yang terintegrasi dari hulu hingga hilir yang diawali dari
Proses Perencanaan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Anggaran dan
Pengawasan Anggaran serta Penilaian Kinerja Pelaksanaan Anggaran. BIREUM
dirancang guna meningkatkan efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
serta sinkronisasi dalam tata kelola pemerintahan khususnya mengelola sistem
perencanaan pembangunan kota dengan sistem pengelolaan keuangan daerah.
Sistem inilah yang kemudian diperbaiki menjadi sistem e-budgeting. Perubahan
ini bertujuan untuk membuat suatu tata kelola yang lebih baik, dengan
mengintegrasikan antara perencanaan dan pelaksanaan. Dahulu di Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) sudah ada yang namanya e-
Planning dan di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) telah
memiliki Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (RKUA) dan Priorotas Plafon
Anggaran Sementara (PPAS), namun seringkali kurang sinkron antara keduanya
(Prilatama, 2016).
Terdapat lima hal perubahan mendasar yang terjadi dari BIREUM ke e-
budgeting, di antaranya perubahan belanja langsung pegawai dari honor ke sistem
kerja, e-budgeting menetapkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) menjadi unit tetap
dengan pegawai tetap non BKO (Bawah Kendali Operasi), mendorong hal-hal
kebijakan yang bersifat selalu tunai ke hal yang berorientasi kegiatan, perubahan
standarisasi, dan penetapan waktu implementasi (Prilatama, 2016). Sistem e-
budgeting yang diterapkan Kota Bandung ini sifatnya efisiensi belanja, sehingga
pemerintah lebih berorientasi kepada masyarakat. Hal ini ditandai dengan
kemampuan Pemkot Bandung dalam menghadirkan kualitas pembangunan yang
lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melalui e-budgeting
diharapkan pembangunan yang dilakukan oleh Pemkot Bandung dapat lebih
merata dan optimal, serta dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

3
Sebab, semua data yang ada dapat tergambar dan diaplikasikan dengan teknologi
sesuai visi Kota Bandung yaitu smart city.
Dengan aplikasi e-budgeting, setiap SKPD harus mencantumkan setiap
kebutuhan dari awal dengan kategori yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Diharapkan pada tahun-tahun selanjutnya barang yang digunakan oleh SKPD
memiliki standard yang sama, sehingga pemerintah lebih mudah untuk mengukur
keefektifan belanja kegiatannya. SKPD ini nantinya harus membuat program yang
sinkron dengan tupoksinya. Dengan adanya sistem e-budgeting ini, tiap SKPD
tidak boleh mengusulkan program yang sama seperti yang pernah diusulkan
sebelumnya. Hal ini dikarenakan pemerintah Kota Bandung ingin melakukan
proteksi dan pengawasan untuk perencanaan program dengan baik. Jika anggaran
tersebut diajukan tidak sesuai dengan tupoksinya, maka sistem akan secara
otomatis menolaknya. E-budgeting juga terkoneksi dengan BIREUM yang
menjadi suatu gerakan transparansi dalam proses pengadaan barang/jasa
pemerintah sehingga masyarakat dapat ikut serta dalam pengelolaan anggaran
pemerintah daerah. Selain itu, Kota Bandung menerima penghargaan SAKIP
(Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dari Kemenpan RB atas
keberhasilannya meraih nilai A untuk akuntabilitas kinerja tahun 2018 sekaligus
keberhasilan Pemkot Bandung dalam mempertahankan prestasi serupa untuk
akuntabilitas kinerja tahun 2017 (Siptriandy, 2019).
Kedua, pada bidang Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia (SDM)
merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan
perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif dalam mengelola
dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung pada dirinya untuk
mencapai kesejahteraan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.
Menurut Akny (2014) SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam
reformasi birokrasi, yakni untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan
memiliki ketrampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global. Dalam
upaya membangun konstruksi negara demi mendukung terciptanya persaingan
global yang proporsional, membutuhkan pondasi yang menjadi tumpuan beban
bidang bangunan. Konstruksi merupakan sebuah objek bangun yang terdiri dari
berbagai struktur sebelum menjadi bangunan utuh. Jika diibaratkan sebuah

4
negara, konstruksi biasa dianalogikan sebagai system pemerintahan dengan
birokrasi sebagai pondasinya.
Sebagai pondasi dalam system pemerintahan, dalam birokrasi terdapat
aparatur yang menjalankan roda pemerintahan. Namun birokrasi tidak bias hanya
dilihat dari segi aparatur yang menjadi abdi negara, melainkan harus dilihat secara
keseluruhan sebagai sebuah sistem yang sangat kompleks sebagai pendorong
jalannya roda pemerintahan. Melihat kondisi birokrasi di Indonesia sejak
beberapa tahun belakangan, dapat menggambarkan kompleksitas masalah yang
ada dalam birokrasi di Indonesia. Struktur organisasi yang terlalu gemuk dan
tidak fit dengan fungsi, paying hukum yang kontradiktif dan ambigu, rekrutmen
yang tidak objektif, maraknya praktik KKN, integritas aparatur yang masih
bermasalah, pelayanan publik yang tidak berkualitas dan transparan, kurang
inovatif serta system dan budaya kerja yang belum terbangun menjadi potret
masalah birokrasi di Indonesia (Saputra, 2016).
Menurut Akny (2014) dilakukannya reformasi birokrasi adalah salah satu
strategi penting dilakukan dalam mempersiapkan diri menghadapi kompleksitas
masalah yang adalah birokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang telah lama
digulirkan sebetulnya memiliki sasaran mendasar berupa perubahan mindset (pola
pikir) SDM aparatur dan sistem yang berjalan yang dapat mengendalikan
organisasi, tatalaksana, SDM aparatur, pengawasan dan pelayanan publik. Namun
sasaran utama ini hingga kini terkendala dengan adanya kelemahan kelembagaan
berupa kecenderungan mengutamakan pendekatan structural daripada
pendekatanfungsional. Faktor terpenting dalam penataan organisasi justru adalah
kualitas dan kemampuan SDM dalam merumuskan visi misi dan strategi
organisasi, analisis beban kerja untuk menciptakan aparatur yang bersih,
bertanggungjawab, profesional, birokrasi yang efisien dan efektif, dan
menciptakan pelayanan prima kepada masyarakat.
Ketiga, penggunaan e-government dalam pelayanan publik. Sebagai
perwujudan dari berbagai kebijakan dan strategi tingkat pusat hingga daerah yang
dibuat untuk mendukung terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik
(good governence) dengan menghadirkan sebuah konsep yang mengutamakan
sebuah tatanan kota cerdas (smart city) yang dapat berperan dalam memudahkan

5
masyarakat untuk mendapatkan pelayananan dan informasi secara efektif dan
efisien (Hidayatulloh & Teknik, 2016). Merujuk pada visi dan misi Kota Bandung
mengenai rencana strategis yang memprioritaskan pada kualitas pelayanan publik
berdasarkan agenda reformasi birokrasi nasional yang tertuang pada grand design
Reformasi Birokrasi 2020-2025.
Dalam upaya realisasi rencana strategis tersebut, pengelolaan kota
berbasiskan teknologi informasi yang kemudian menghadirkan konsep “Bandung
Kota Cerdas” (Smart City). Pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan
pemerintahan Kota Bandung untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) sebenarnya telah digunakan sejak lama untuk kepentingan
pengelolaan pemerintahan (back ofce). Akan tetapi, pemanfaatan teknologi
informasi untuk pelayanan publik yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat
masih terbatas. Adapun posisi strategis Kota Bandung menuntut pemerintah dan
masyarakat harus memiliki pola pikir dan pola tindak yang juga “smart” sehingga
mampu meningkatkan kualitas hidup warganya (Budi et al., 2018).
Performa perkotaan tidak hanya didukung dan bergantung pada
infrastruktur dasar (hard infrastructure) tetapi harus didukung pula dengan
ketersediaan peningkatan infrastruktur sosial dan komunikasi. Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi merupakan modal dasar dalam mewujudkan
kota cerdas. Dalam implementasinya, smart city dapat diwujudkan dengan
dukungan jaringan nirkabel maupun serat optik untuk memudahkan aksesibilitas
ke beberapa titik parameter yang diinginkan untuk diukur sehingga diperoleh data-
data dan informasi yang diinginkan secara real time.

Keempat, integritas pejabat publik. Tingkat pelayanan publik dan


birokrasi bisa dikatakan merupakan sebuah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Seiring dengan adanya perkembangan zaman, birokrasi terus
mengalami perkembangan hingga dikenal sebagai reformasi birokrasi yang bukan
lagi tergambarkan sebagai suatu hal yang membutuhkan waktu lama maupun
menyulitkan. Keberhasilan sebuah reformasi birokrasi di suatu daerah tidak
terlepas dari adanya peran seorang pemimpin untuk bisa menyatukan visi yang
ada serta dapat menyukseskan realisasi reformasi birokrasi. Faktor kepemimpinan
merupakan salah satu faktor yang cukup krusial karena merupakan ujung tombak

6
keberhasilan ataupun kegagalan dari sebuah instansi itu sendiri. Untuk
mendukung terwujudnya reformasi birokrasi, maka program-program pelayanan
yang ada di daerah harus mencakup beberapa aspek penting salah satunya harus
didasari aspek integritas. Di tingkat nasional sendiri, reformasi birokrasi mulai
dilaksanakan setelah terbitnya Perpres Nomor 81 Tahun 2010 mengenai Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang juga ditindaklanjuti melalui
peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Tingginya tuntutan masyarakat yang berharap terwujudnya sistem birokrasi yang
transparan, akuntabel, serta bebas dari korupsi dan nepotisme (KKN)
mengakibatkan reformasi birokrasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan
dalam lingkup instansi pemerintahan. Sehingga diharapkan reformasi birokrasi
merupakan salah satu langkah awal dalam mewujudkan adanya penataan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efektif, dan efisien. Dengan demikian,
hal tersebut dapat membuat masyarakat dapat terlayani secara professional, tepat,
dan cepat. Namun dalam pelaksanannya, masih terdapat beberapa kendala untuk
mewujudkan akan hal tersebut seperti adanya penyalahgunaan wewenang, kasus
pencucian uang, maupun lemahnya penegakan hukum dan pengawasan.
Munculnya tuntutan terhadap peningkatan profesionalisme dan integritas
seorang aparatur birokrasi, ditengarai didorong karena menjadi salah satu elemen
penting untuk merealisasikan konsep desentralisasi yang lebih efisien,
pemerintahan yang demokratis, dan juga sebagai upaya untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat sesuai yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945. Tentunya sudah menjadi harapan setiap elemen baik itu dari masyarakat
maupun pemda itu sendiri untuk mewujudkan keberadaan birokrasi sebagai
pemberi layanan publik yang berkualitas. Untuk itu, kualitas pelayanan publik
yang sejatinya dilaksanakan oleh birokrasi pada pemerintah daerah, harus
didasarkan pada perwujudan perilaku aparatur birokrasi yang professional dan
berintegritas.
Namun realitasnya, profesionalisme dan integritas dalam tubuh aparatur
birokrasi belum terlembaga dengan baik. Hal tersebut didasarkan karena orientasi
aparatur birokrasi sekarang ini adalah yang sejatinya merupakan “alat negara”

7
sangatlah rentan jika dimaknai sebagai “alat kekuasaan” yang orientasinya
mengarah pada hal-hal yang bersifat kekuasaan maupun materi. Adanya
intervendi politik dan budaya yang memandang kekuasaan sebagai “power over”
ditengarai sebagai salah satu aspek yang menyebabkan terjadinya demoralisasi
aparatur birokrasi yang dapat menyebabkan kegagalan reformasi birokrasi dalam
lingkup pemerintah daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) di
lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
2. Bagaimana transparansi dan akuntabilitas manajemen sumber daya
manusia di lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
3. Bagaimana penerapan e-government dalam memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat di lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
4. Bagaimana integritas pejabat publik di lingkungan Pemerintah Kota
Bandung?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan tujuan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) di
lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
2. Untuk mengetahui transparansi dan akuntabilitas manajemen sumber daya
manusia di lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
3. Untuk mengetahui penerapan e-government dalam memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat di lingkungan Pemerintah Kota Bandung?
4. Untuk mengetahui integritas pejabat publik di lingkungan Pemerintah
Kota Bandung?
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini dapat dibagi
menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang dimaksud
ialah perkembangan ilmu administrasi negara khususnya dalam bidang reformasi

8
administrasi publik. Sementara, manfaat praktis yang dimaksud ialah dapat
memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Kota Bandung terkait
dengan reformasi administrasi sektor publik.

BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1. Konsep, Konstruk, dan Variabel Penelitian
2.1.1.Penganggaran Berbasis Kinerja
2.1.1.1. Pengertian Penganggaran Berbasis Kinerja
Penganggaran berbasis kinerja (PBK) adalah sistem penganggaran yang
berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat terhadap visi, misi
dan rencana strategis organisasi (Gunawan, 2016). Anggaran berbasis kinerja
organisasi mengalokasikan sumber daya pada program yang ada, bukan pada
instansi atau unit semata. Sehingga, indikator perhitungan anggaran diukur
berdasarkan hasil yang dihasilkan (output).
Robinson dan Last (2009, hal. 2) menyatakan bahwa penganggaran
berbasis kinerja bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan ekeftivitas
pengeluaran publik dengan mengubungkan pendanaan organisasi sektor publik
dengan hasil yang ingin diberikan. Menurut Mardiasmo dalam Alisman (2014),
efektivitas yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau
dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah.
Sedangkan Davas dalam Alisman (2014) mengemukakan bahwa efisiensi adalah
hasil terbaik dari perbandingan antara hasil yang telah dicapai oleh satuan kerja
dengan usaha yang dikeluarkan untuk mencapai hasil tersebut. Sederhananya,
efisiensi adalah perbandingan antara input dengan output.
Latar belakang adanya anggaran berbasis kinerja pertama kali diatur dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang berisi panduan
untuk membuat anggaran kinerja, pelaksanaan sampai dengan pelaporan
pelaksanaan anggaran. Peraturan ini kemudian disempurnakan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan terakhir dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 sebagai penjabaran lebih
lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005.

9
Penganggaran berbasis kinerja ini berbanding terbalik dengan sistem
penganggaran tradisional, dimana dalam sistem penganggaran tradisional,
anggaran didasarkan pada belanja yang akan dilakukan. Sedangkan anggaran
berbasis kinerja ini disusun berdasarkan output yang ingin dicapai. Oleh karena
itu dalam penerapan anggaran berbasis kinerja ini, pola pikir yang harus
digunakan yaitu “apa yang ingin dicapai”. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem
anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran
dengan menggunakan dana secara efisien (Gunawan, 2016).
Oleh sebab itu, landasan konseptual yang mendasari penerapan PBK
meliputi:
1. Pengalokasian anggaran berorientasi pada kinerja (output and
outcome oriented);
2. Pengalokasian anggaran Program/Kegiatan didasarkan pada tugas-
fungsi Unit Kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (money
follow function);
3. Terdapatnya fleksibilitas pengelolaan anggaran dengan tetap menjaga
prinsip akuntabilitas (let the manager manages).
Agar penerapan PBK tersebut dapat dioperasionalkan maka PBK
menggunakan instrumen sebagai berikut:
1. Indikator kinerja, merupakan instrumen yang digunakan untuk
mengukur Kinerja;
2. Standar biaya, adalah satuan biaya yang ditetapkan baik berupa
standar biaya masukan maupun standar biaya keluaran sebagai acuan
perhitungan kebutuhan anggaran;
3. Evaluasi Kinerja, merupakan penilaian terhadap capaian Sasaran
Kinerja, konsistensi perencanan dan implementasi, tingkat efisiensi,
serta realisasi penyerapan anggaran.
2.1.1.2. Elemen-Elemen Penganggaran Berbasis Kinerja
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan
Republik Indonesia menjelaskan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus
dipenuhi dalam penganggaran berbasis kinerja (BPPK, 2008):

10
1. Visi dan misi yang hendak dicapai. Visi dan misi berkaitan dengan hal
yang ingin dicapai oleh organisasi sektor publik (dalam hal ini Pemerintah
Kota Bandung) dalam jangka panjang. Sedangkan, misi adalah kerangka
bagaimana visi tersebut dapat dicapai. Kedua hal ini dapat dilihat pada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandung.
2. Tujuan. Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Hal
ini tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kota Bandung.
3. Sasaran. Sasaran dapat dikatakan sebagai langkah-langkah spesifik yang
terukur dalam rangka mencapai tujuan. Suatu sasaran dalam organisasi
sektor publik dapat dikatakan baik bila spesifik, terukut, dapat dicapai,
relevan, dan terdapat batasan waktu, serta mendukung tujuan.
4. Program. Program merupakan serangkaian kegiatan yang akan
diselenggarakan dalam rangka untuk mencapai serangkaian tujuan dan
sasaran. Program yang baik harus disertai dengan target sasaran output dan
outcome serta berkaitan dengan tujuan dan sasaran.
5. Kegiatan. Kegiatan merupakan serangkaian pelayanan yang memiliki
maksud untuk menghasilkan output yang penting untuk pencapaian
program. Kegiatan yang baik sejatinya harus mendukung pencapaian
program.

2.1.2. Transparansi dan Akuntabilitas pada Manajemen Sumber Daya


Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan potensi yang terkandung dalam
diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif
dan transformatif dalam mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang
terkandung pada dirinya untuk mencapai kesejahteraan dalam tatanan yang
seimbang dan berkelanjutan. Menurut Akny (2014) SDM merupakan salah satu
faktor kunci dalam reformasi birokrasi, yakni untuk menciptakan SDM yang
berkualitas dan memiliki ketrampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan
global. Dalam upaya membangun konstruksi negara demi mendukung terciptanya
persaingan global yang proporsional, membutuhkan pondasi yang menjadi

11
tumpuan beban bidang bangunan. Konstruksi merupakan sebuah objek bangun
yang terdiri dari berbagai struktur sebelum menjadi bangunan utuh. Jika
diibaratkan sebuah negara, konstruksi biasa dianalogikan sebagai system
pemerintahan dengan birokrasi sebagai pondasinya.
Sebagai pondasi dalam system pemerintahan, dalam birokrasi terdapat
aparatur yang menjalankan roda pemerintahan. Namun birokrasi tidak bias hanya
dilihat dari segi aparatur yang menjadi abdi negara, melainkan harus dilihat secara
keseluruhan sebagai sebuah sistem yang sangat kompleks sebagai pendorong
jalannya roda pemerintahan. Melihat kondisi birokrasi di Indonesia sejak
beberapa tahun belakangan, dapat menggambarkan kompleksitas masalah yang
ada dalam birokrasi di Indonesia. Struktur organisasi yang terlalu gemuk dan
tidak fit dengan fungsi, paying hukum yang kontradiktif dan ambigu, rekrutmen
yang tidak objektif, maraknya praktik KKN, integritas aparatur yang masih
bermasalah, pelayanan publik yang tidak berkualitas dan transparan, kurang
inovatif serta system dan budaya kerja yang belum terbangun menjadi potret
masalah birokrasi di Indonesia (Saputra, 2016).
Menurut Akny (2014) dilakukannya reformasi birokrasi adalah salah satu
strategi penting dilakukan dalam mempersiapkan diri menghadapi kompleksitas
masalah yang adalah birokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang telah lama
digulirkan sebetulnya memiliki sasaran mendasar berupa perubahan mindset (pola
pikir) SDM aparatur dan sistem yang berjalan yang dapat mengendalikan
organisasi, tatalaksana, SDM aparatur, pengawasan dan pelayanan publik. Namun
sasaran utama ini hingga kini terkendala dengan adanya kelemahan kelembagaan
berupa kecenderungan mengutamakan pendekatan structural daripada
pendekatanfungsional. Faktor terpenting dalam penataan organisasi justru adalah
kualitas dan kemampuan SDM dalam merumuskan visi misi dan strategi
organisasi, analisis beban kerja untuk menciptakan aparatur yang bersih,
bertanggungjawab, profesional, birokrasi yang efisien dan efektif, dan
menciptakan pelayanan prima kepada masyarakat.

2.1.3. E-Government dan Pelayanan Publik


2.1.3.1. E-Government dan E-Governance

12
Penggunaan konsep E-Government dan E-Governance seringkali menjadi
perdebatan mengenai makna keduanya. Drucker (2001) menjelaskan bahwa E-
Governance didefinisikan sebagai “the use of emerging information and
communication technologies to facilitate the processes of government and public
administration”, kemudian E-Government didefinisikan sebagai “the use of
information technology to support government operations, engage citizens, and
provide government services” (West et all, 1996). Memang makna keduanya sulit
dibedakan, berdasar kedua pendapat di atas konsep E-Government dan E-
Governance sama-sama memanfaatkan teknologi dalam urusan pemerintahan.
Namun, lingkup penggunaan teknologi pada E-Government yaitu untuk
membantu administrasi dan manajemen pemerintahan. Sedangkan lingkup
penggunaan teknologi dalam E-Governance untuk menyediakan layanan publik.
Korea Selatan yang terkenal dengan kesuksesan E-Government-nya bukan
merupakan hal instan, melainkan sebuah proses panjang. Dapat dilihat melalui
sejarah E-Government yang dibagi menjadi beberapa tahap, antara lain (Mr.
Sangjin Kim, http://reformsymposium.menpan.go.id):
a. Tahap 1 (Information of public administration, 1967-1994)
b. Tahap 2 (Institutional framework of E-Government, 1995-2002)
c. Tahap 3 (Integration of infrastructure, 2003-2007)
d. Tahap 4 (Integration of government service, 2008-2017)
e. Tahap 5 (Intelligent government smart nation)
Kemudian, E-Government di Korea Selatan sendiri diimplementasikan
dengan pemerintahan yang berbasis daring, terpadu pada satu pintu (one stop),
dan meminimalisir penggunaan kertas (paperless). Menurut Mr. Sangjin Kim, E-
Government di Korea Selatan meraih kesuksesan disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya faktor makro yaitu dengan mengembangkan budaya inovatif
dan mau beradaptasi dengan perubahan, menentukan investasi mana yang
berkelanjutan, perkembangan pesat industri TIK, kecepatan internet kelas dunia,
kepemimpinan yang kuat dan perencanaan yang matang.
Selanjutnya mengenai E-Governance, menurut Rini
(http://reformsymposium.menpan.go.id) Governance berarti yang mengarahkan,
mengendalikan dan memonitor pelaksanaan E-Government. E-Governance selalu

13
berkaitan dengan strategic planning, business planning, ICT, services dan
management. Strategic planning sendiri untuk menyelaraskan misi e-Government
dengan perencanaan jangka panjang dan menengah melalui pembuatan Master
Plan dan Arsitektur. Kemudian, business planning berfungsi untuk
mengintegrasikan data dan kegiatan pemerintah. ICT sendiri untuk mendukung
bisnis pemerintah melalui teknologi. Selanjutnya, services berfungsi untuk
mengembangkan layanan yang aman dan handal sesuai dengan kebutuhan
pengguna. Yang terakhir management berfungsi untuk memastikan pemberian
layanan publik memenuhi persyaratan kualitas dengan melakukan manajemen
pada risiko, layanan, data, keamanan, pengetahuan, aset, dan perubahan. Masih
menurut Rini (http://reformsymposium.menpan.go.id), bahwa E-Government
memiliki beberapa impact dikemudian hari, yaitu:
a. Efisiensi anggaran meningkat karena ada sharing resources (aplikasi dan
insfrastruktur);
b. Terjadi kolaborasi antar instansi pemerintahan;
c. Layanan menjadi lebih mudah diakses, responsif dan adaptif;
d. Berintegrasi dengan ICT (cloud computing, mobile internet, internet of
things, big data, and artificial intelligence);
e. Kepercayaan publik meningkat karena pelayanan semakin mudah dan handal;
f. Pegawai pemerintah yang kolaboratif dan inovatif;

2.1.3.2. Pelayanan Publik


Dalam sebuah pemerintahan merupakan sebuah kewajiban untuk
menyediakan pelayanan publik bagi masyarakatnya, seperti apa yang disampaikan
Grout and Stevens (2003), bahwa pelayanan publik adalah setiap pelayanan yang
disediakan bagi masyarakat yang berjumlah besar. Pelayanan publik disediakan
untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain itu, menurut Deakin (1990) dalam penyediaan layanan publik,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Akuntabilitas penyedia (pemerintah/ swasta) dengan pengguna masyarakat.
b. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
c. Informasi mengenai alur prosedur, waktu dan biaya yang jelas.

14
d. Fleksibel dalam menghadapi perubahan, maksudnya yaitu mau berinovasi
sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.
e. Pengguna (masyarakat) bebas menentukan pilihan pelayanan publik.
f. Tersedia saluran pengaduan atas layanan publik
Dalam perkembangannya, penyediaan layanan publik melibatkan TIK
untuk meningkatkan efisiensi pengiriman layanan pemerintah kepada warga
negara, karyawan, bisnis, dan lembaga (Carter, 2005). Selain itu, dengan
memanfaatkan TIK dalam akses informasi dan proses layanan, biaya yang
dikeluarkan akan lebih rendah (Chen, 2009).

Tabel 1. Keuntungan E-Government


Menghapus hirarki
Dengan E-Government pelayanan akan terintegrasi dan menghapus
permasalahan yang muncul karena hirarki dalam lembaga.
Aksesibilitas
Pemerintahan yang tidak memanfaatkan TIK seringkali mengharuskan
masyarakat untuk datang ke kantor untuk menyelesaikan urusannya, tentu hal
tersebut akan menelan biaya dan waktu lebih, apalagi untuk mereka yang jauh
dari pusat pemerintahan. Dengan E-Government masyarakat dimungkinkan
untuk menyelesaika urusan mereka melalui aplikasi yang bisa diunduh melalui
ponsel masing-masing.
Peningkatan kualitas layanan
E-Government muncul untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk
masyarakat, salah satunya dengan kemudahan pelayanan melalui ponsel
masing-masing dan biaya yang lebih murah dengan pelayanan yang sama.
Integrasi terpadu
Dengan E-Government informasi pemerintahan menjadi terintegrasi secara
terpadu, dengan begitu dapat meminimalisir perbedaan data antar instansi
pemerintah.
Reputasi negara
Dengan menerakan E-Government, maka citra negara tersebut meningkat,
karena dengan melibatkan TIK dalam pemerintahan berarti ia membangun citra
sebagai negara modern.
Partisipasi warga negara

15
E-Government memudahkan wara negara untuk turut serta dalam perencanaan,
implementasi dan pengawasan program pemerintah melalui fitur-fitur yang
sudah disediakan pada sebuah aplikasi layanan pemerintah.
Sumber: diambil dari Yining Chen et al. (2007). Electronic Government Implementation:
A Comparison between Developed and Developing Countries, hal. 90.
Mengembangkan sistem e-government dipengaruhi oleh lingkungan
internal dan eksternal. Ini tidak hanya bergantung pada sumber daya yang
tersedia, tetapi juga berkaitan dengan kemauan politik pemerintah untuk
mengembangkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan eksternal
secara keseluruhan (ekonomi, demokrasi, pendidikan, penggunaan Internet, dan
tekanan teman sebaya) mempengaruhi perkembangan e-government, dengan
penggunaan internet, demokrasi, dan pendidikan menunjukkan pengaruh yang
paling signifikan. Ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi e-government
dengan mempengaruhi faktor-faktor lain (Zheng, 2015).

2.1.4. Integritas Pejabat Publik


Menurut Henry Cloud, ketika berbicara mengenai integritas, maka tidak
akan terlepas dari upaya untuk menjadi orang yang utuh, yang bekerja dengan
baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang
sebelumnya. Integritas sangat terkait dengan keutuhan dan keefektifan seseorang
sebagai insan manusia (Cloud, 2007). Plato, Aristoteles dan Aquinas (dalam
Olson, 1998) mengemukakan bahwa integritas berasal dari Bahasa Latin yaitu
integrity yang bermakna “as whole and represents completeness”, artinya,
integritas menunjukan keseluruhan dan kelengkapan. Mereka juga menerangkan
bahwa integritas merupakan keseluruhan dari bagian-bagian tertentu. Integritas
merupakan karakter yang telah menyatu dalam kehidupan seseorang yang
digunakan untuk mencapai seluruh kebajikan dan kebahagiaan. Adrian Gostick &
Dana Telford (2006, dalam Gea 2016) menyebutkan bahwa dalam Kamus
Merriam-Webster yang paling mutakhir mendefinisikan integritas sebagai
ketaatan yang kuat pada sebuah kode, khususnya nilai moral atau nilai artistik
tertentu. Millard Fuller menggambarkan integritas sebagai ”konsistensi terhadap
apa yang dianggap benar dan salah dalam hidup Anda”; Shelly Lazarus (pimpinan
dan CEO Ogilvy Mather Worldwide) menjelaskan orang yang berintegritas

16
sebagai “mengedepankan serangkaian kepercayaan dan kemudian bertindak
berdasarkan prinsip”; Wayne Sales (presiden dan CEO Canadian Tyre)
memberikan definisi yang sederhana, yaitu “Integritas berarti melakukan hal yang
benar”; Diane Peck (Safeway) percaya bahwa “setiap individu harus
mendefinisikan sendiri arti integritas”.
Jimmy Effan (2001) dalam bukunya yan berjudul “A Mind Set Free”
mengemukakan bahwa ada empat pilar integritas moral yaitu:
1. Accountability (bertanggung jawab). Setiap orang membutuhkan
pertanggungjawaban atas tindakannya dan masukan dari orang lain.
Karena, bertanggung jawab akan melindungi diri seseorang dari godaan
dan berbuat buruk;
2. Righteous Fellowship (berkawan dengan orang yang benar), hal tersebut
agar kita tidak terjerumus atau dijerumuskan ke jalan kejahatan. Karena
tidak jarang seseorang yang mengikuti kelompok yang salah, mereka
menjadi menghilangkan dan merusak kebiasaan baik;
3. Honesty (kejujuran), kejujuran akan membuat kita bebas. Jimmy Effan
merasa miris dan semakin yakin bahwa kejujuran adalah kunci agar kita
terbebas dari kemadharatan;
4. Humility (kerendahan hati). Kerendahan hati dilakukan oleh Jimmy Effan
ketika dia tetap menjalin hubungan baik dengan kawannya yang telah
berbuat salah.
Berdasarkan pengertian konsep integritas dari Carter, dimensi integritas
terdiri dari dua komponen yaitu filosofis dan psikologis. Komponen filosofis
terdiri dari: a. Moral integrity is moral discernment and conviction. Moral
discernment (penegasan) berarti bahwa individu yang memiliki integritas moral
harus mampu menilai dirinya sendiri dalam bermoral, sedangkan moral conviction
(keyakinan) berarti bahwa seseorang harus memiliki keyakinan akan moral itu
sendiri. Menilai dan berkeyakinan akan memotivasi individu untuk bertingkah
laku sesuai dengan keyakinan. Hal ini memerlukan pencerminan mengenai makna
moral yang berlaku untuk diri sendiri dan orang lain (Olson, 1998b). Dalam hal
ini Carter (1996 dalam Olson, 1998a) menyamakan kata integritas dengan fidelity
(ketaatan atau kesetiaan), commitment (komitmen atau janji) dan forthrightness

17
(keterusterangan). Istilah-istilah tersebut menunjukan bahwa integritas moral
berdasar pada keyakinan murni dan kegigihan yang meliputi usaha untuk
mengembangkan, memertahankan dan membenarkan moral seseorang. Halfon
(1989 dalam Olson, 1998a) juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki
integritas moral berarti individu bertanggung jawab terhadap dirinya dan hidup
sesuai dengan keyakinannya. Individu harus dapat mengidentifikasi moral,
menelitinya dan bertindak secara sadar berdasarkan keyakinannya. b. Moral
integrity is consistency. Moral ini adalah kemampuan untuk bertindak secara
konsisten. Perilaku konsisten ini ditunjukan di setiap waktu dan berbagai situasi.
Bahkan perasaan yang dihasilkan pun membantu kekonsistenan ini sekalipun
dalam kondisi yang menyulitkan (Olson, 1998b: 22). Blustein (dalam Olson,
1998a: 22) menjelaskan bahwa integrasi berhubungan dengan kontrol diri.
Individu berpegang pada komitmennya meskipun banyak godaan untuk
melanggar komitmen tersebut. Orang yang tidak dapat mengotrol dirinya gagal
memiliki integrasi moral karena mereka tidak dapat berperilaku secara konsisten
berdasarkan komitmenya. Untuk dapat mewujudkan integritas, maka individu
harus melatih motif, keyakinan dan perilakunya dalam berbagai situasi.
Kekonsistenan tidak berarti bahwa individu memiliki penalaran dan perasaan yang
kaku. Individu dapat secara terbuka memertimbangkan moral, termasuk
mengevaluasi dan menilai moral tersebut. Jadi pertimbangan itu merupakan
refleksi dari keyakinannya (menilai kembali keyakinannya). Jadi yang dimaksud
dengan integrasi moral yang konsisten adalah ketepatan antara keyakinan dan
perilakunya dalam berbagai situasi (Olson, 1998a: 23). c. Moral integrity is
public. Moral publik ini adalah kemampuan untuk mengartikulasikan bahwa
tindakan yang dilakukan berdasar pada keyakinan diri dan tindakan itu merupakan
hasil evaluasi dan cerminan dari orang-orang sekitar (diyakini pula oleh orang
lain). Publik di sini merupakan orang-orang di luar individu. Orang yang memiliki
integritas moral akan terbuka mengenai keyakinan, niat dan motivasinya untuk
melakukan suatu tindakan (Olson, 1998b: 22). Menurut definisi filosofisnya,
integritas moral sebagai kebenaran publik menekankan pada keterbukaan individu
mengenai konsistensi dan keutuhan moralnya dengan berbagi pada orang lain.

18
Seseorang dianggap tidak memiliki integritas moral ketika keyakinannya tidak
dibagi kepada orang lain (Olson, 1998a: 25).

2.2. Kerangka Berpikir

Reformasi
Administrasi Publik
di Pemkot Bandung

Penganggaran Transparansi dan E-Government dan


Integritas Pejabat
Berbasis Kinerja Akuntabilitas pada Pelayanan Publik
Publik
Manajemen Sumber
Daya Manusia

BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskriptif
analitis. Dalam hal penetapan lokasi penelitian telah disepakati bersama bahwa
lokasi dipilih dengansengaja dan pilihan tersebut telah melalui proses dan
pertimbangan yang menguatkannya dalam suatu rangkaian obyek penelitian yang
tidak terlepas tujuan diadakannya praktik kuliah lapangan ini. Maka lokasi yang
telah ditetapkan adalah Pemerintah Kota Bandung yang terbagi lagi dalam
beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Selain itu, beberapa Lembaga
Swadaya Masyarakat juga akan menjadi informan dalam penelitian ini. Penelitian
ini menggunakan data primer dari wawancara sebagai analisis kualitatifnya dan
data sekunder melalui dokumentasi, studi pustaka, dan dokumen negara.
Data dapat dikategorikan manjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan
informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui lembaga (bukan dari
sumber langsung), institusi-institusi yang menunjang kelengkapan data dan untuk
menggali informasi tersebut dibutuhkan instrumen penelitian. Instrumen
penelitian yang kami pakai adalah pedoman wawancara (interview guide) yang
memuat daftar pertanyaan yang bersifat umum. Adapun teknik pengumpulan data
yang kami gunakan adalah :

19
a. Wawancara langsung secara mendalam dengan informan sekaligus dengan
lembaga bantuan interview guide, maka pertanyaan yang diutarakan dengan
jawaban yang diterima tidak menyimpang jauh, sehingga komunikasi menjadi
lancar dan informasi dapat diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan dalam
penelitian tersebut. Adapun teknik pengambilan sampel yang akan kami pakai
adalah teknik non-random yaitu purposive sampling. Purposive sampling
adalah penarikan sampel yang dilakukan dengan pertimbangan teknis
metodologis dimana informasi yang diminta keterangan dipilih sesuai dengan
kehendak pewawancara.
b. Kepustakaan data yang digunakan sebagai sumber perolehan data sekunder.
c. Seminar.
3.2. Unit Analisis
Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan instrumen sebagai berikut.
1. Penganggaran berbasis kinerja
2. Transparansi dan akuntabilitas pada manajemen sumber daya manusia
3. E-Government dan pelayanan publik
4. Integritas pejabat public

DAFTAR PUSTAKA
Alisman. (2014). Analisis Efektivitas dan Efisiensi Manajemen Keuangan di Aceh
Barat. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan Publik Indonesia, 1(2), 48–54.
Carter, L., & Bélanger, F. (2005). The utilization of e-government services:
citizen trust, innovation and acceptance factors. Info Systems Journal, 15,
5–25.
Chen, Y., Chen, H. M., Ching, R. K., & Huang, W. W. (2007). Electronic
government implementation: a comparison between developed and
developing countries. International Journal of Electronic Government
Research (IJEGR), 3(2), 45-61.
Chen, Y., et al. (2009). Electronic Government Implementation: A Comparison
between Developed and Developing Countries. In Mehdi Khosrow-Pour.
E-Government Diffusion, Policy, and Impact: Advanced Issues and
Practices (p. 89-105). New York, NY: Information Science Reference.

20
Deakin, N., & Wright, A. (1990). Consuming Public Services, London & New
York, UK & NY: Routledge.
Drucker PF. Electronic Governance in Context,. Electronic Governance and
Electronic Democracy: Living and Working in the Connected World:
Commonwealth Centre for Electronic Governance; 2001.
Ferlie, E., Hartley, J., & Martin, S. (2003). Changing Public Service
Organizations: Current Perspectives and Future Prospects. British Journal
of Management, 14, S1–S14
Grout, P. A., & Stevens, M. (2003). The assessment: financing and managing
public services. Oxford Review of economic policy, 19(2), 215-234.
Gunawan, D. (2016). Penerapan Sistem E-Budgeting terhadap Transparansi dan
Akuntabilitas Keuangan Publik (Studi pada Pemerintah Kota Surabaya).
Jurnal Akuntansi, 8(1), 72–102.
http://reformsymposium.menpan.go.id
Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2009).
Pedoman Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (PBK). Jakarta
OECD. (2003). OECD e-Government Studies, The e-Government Imperative.
Paris, France: OECD
Robinson, M., & Last, M. D. (2009). A basic model of performance-based
budgeting. International Monetary Fund.
West AP, Wind J. Beyond the Pyramids: Designing the 21st Century
Enterprise: The Wharton School and MG Taylor Associates; 1996.
Zheng, Y., & Manoharan, A. (2015). Does External Environment Affect E-
Government? A Cross-Country Analysis. In Christopher G. Reddick, &
Leonidas Anthopoulos. (2015). Information and Communication
Technologies in Public Administration: Innovations from Developed
Countries (p. 62-76). Boca Raton, Florida: CRC Press.

21

Anda mungkin juga menyukai