Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

REFORMASI SISTEM AKUNTABILITAS PEMERINTAH DAERAH

OLEH:
NAZWA NABILA
2010413220037

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT BANJARMASIN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


1. Reformasi
Reformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah membuat masyarakat semakin
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan lebih dapat menyampaikan aspirasi
yang salah satunya untuk perbaikan terhadap pengelolaan keuangan negara dan daerah pada
instansi - instansi pemerintah pusat maupun daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan
salah satu bagian yang mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkannya Undang - Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua
Undang - Undang ini telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam
mengatur sumber dana, menentukan arah, tujuan, dan target penggunaan anggaran.
Semangat reformasi telah mewarnai upaya pendayagunaan aparatur pemerintah dengan
tuntutan untuk mewujudkan sistem administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mempraktekkan
prinsip-prinsip Good govermence pemerintahan yang baik menjadi prasyarat utama untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan bangsa dan negara. Karenanya tidak
berlebihan jika penyelenggara pemerintahan yang baik menjadi salah satu indikasi terwujudnya
demokratis sebagai upaya mengembalikan kedaulatan kepada rakyat.diperlukan pengembangan
dan penerapan sistem akuntabilitas yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih,
bertanggung jawab serta bebas KKN.
Syahrida (2009) menegaskan: “bahwa dari sekian banyak problem yang ada pada pemerintah
daerah salah satunya adalah tentang akuntansi”. Pernyataan ini menandakan bahwa pengelola
keuangan daerah pada masing - masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) perlu dilakukan
secara cermat guna dapat menyelesaikan kendala - kendala akuntansi dan dapat melakukan
penyajian informasi keuangan secara memadai. Mardiasmo (2004) menegaskan: “bahwa sistem
pertanggungjawaban keuangan suatu institusi dapat berjalan dengan baik, bila terdapat
mekanisme pengelolaan keuangan yang baik pula”. Ini berarti pengelolaan keuangan daerah
yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki posisi
strategis dalam mewujudkan manajemen pemerintahan yang akuntabel. APBD sendiri juga tidak
bisa terlepas dari Pendapatan Daerah yang terdiri Dana Alokasi Umum yang dapat
mempengaruhi Sumber Pendapatan Asli Daerah (Ramadhan, 2012), disamping Belanja Daerah
sehingga pengelolaan APBD menjadi suatu kerangka yang utuh yang terbungkus dalam
akuntabilitas, transparansi dan pengelolaan keuangan yang baik sehingga dapat meningkatkan
kinerja keuangan pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah yang dijabarkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah adalah merupakan panduan dan pedoman dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah. Maka, terkait dengan hal tersebut pemerintah daerah dianggap perlu untuk
mempersiapkan instrument yang tepat dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah secara
transparan, professional dan akuntabel sehingga bermuara pada meningkatnya kinerja keuangan
pemerintah daerah.

2. Akuntabilitas
Akuntabilitas atau accountability dalam administrasi publik merupakan konsep
pertanggungjawaban untuk melaporkan tindakan yang telah dilakukan terkait pengelolaan
organisasi publik atau answerability(Gregory, 2003). Seiring perkembangan pendekatan New
Public Management, konsep akuntabilitas mulai dikaitkan dengan kinerja organisasi publik, yang
mencakup unsur pertanggungjawaban atas penggunaan sumber daya yang digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan atau program publik secara efisien namun efektif dalam mencapai
kinerja yang diharapkan untukmenciptakan nilai publik (Heinrich, 2003). Akuntabilitas
kinerja dicapai dengan menerapkan manajemen kinerja, yaitu sistem pemantauan kegiatan
organisasi atau individu berdasarkan indikator kinerja utama yang dilakukan agar
organisasi dapat mengambil langkah yang diperlukan berdasarkan perkembangan kegiatan
operasional yang sedang berjalan (Pidd, 2012). Sistem pengelolaan kinerja instansi
publik telah diterapkan di berbagai belahan dunia diantaranya di Amerika Serikat dengan
Undang Undang Hasil dan kinerjapemerintah (Government Performance and Results
Actatau GPRA) dan Instrumen Pemeringkatan Kinerja (Performance Rating Tool).
Selandia Baru dan Australia memiliki Sistem Penganggaran Keluaran (Output) –Hasil
(Outcome), Inggris menerapkan Perjanjian Pelayanan Publik untuk Manajemen Keuangan
(British Financial managementinitiative Public Services) dan Prancis menerbitkan Undang
Undang Keuangan. Sistem pengukuran kinerja sektor publik di Indonesia diterapkan melalui
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah atau SAKIP. SAKIP merupakan
pelembagaan kegiatan manajemen kinerja yang terdiri dari perencanaan, dilanjutkan
dengan pengukuran, kemudian pengajuan laporan hasil kinerja kepada instansi penilai
yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (kemenpan
RB), dan evaluasi terhadap organisasi yang bersangkutan yang dilakukan oleh internal
organisasi, kemudian diakhiri dengan evaluasi capaian kinerja oleh instansi penilai.
SAKIP diterapkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas.

kinerja pemerintah daerah di Indonesia. Kinerja instansi pubik dalam SAKIP


dievaluasi setiap tahun dengan penilaian sebagai berikut: AA (nilai >90-100), A (nilai
>80-90), BB (nilai >70-80), B (nilai >60-70), CC (nilai >50-60), C (nilai >30-50) dan D
(nilai kurang dari 30). Menurut KemenPAN RB, hingga tahun 2019 capaian kinerja
pemerintah daerah di Indonesia sesuai indikasi nilai SAKIP masih berada di angka rata-
rata 69,63 untuk provinsi dan 58,97 untuk kabupaten. Oleh karena itu, potensi
pemborosan anggaran daerah masih cukup tinggi karena sebagian besar daerah berada pada
kategori peringkat B (227 daerah), CC (124 daerah), dan C (87 daerah). Menurut penelitian,
kelemahan dalam menerapkan manajemen kinerja terjadi pada aspek pengukuran kinerja,
evaluasi kinerja, dan perencanaan stratejk (Wargadinata, 2017; Mimba dkk, 2013;
Akbar dkk, 2015 dan Yosandi dkk, 2017). Adapun dalam tahapan pengukuran
kinerja,bahwa unsur validitas, legitimasi, fungsional dan kualitas sangat terbatas
sehingga tidak cukup untuk menjadi instrumen evaluasi kinerja yang baik. Selain
tidak terintegrasi ke dalam sistem manajemen organisasi, pengukuran kinerja terkendala
oleh rendahnya kapasitas lembaga dan sumber daya aparat serta praktik korupsi.
Upaya pengendalian korupsi dan desetralisasi kewenangan pemerintahan belum mampu
memperbaiki kondisi tersebut.
1.2 PERMASALAHAN

Berdasarkan hasil analisis dala yang dilakukan dengan menggunakan kesesuaian teori,
pendapat maupun penelitian terdahulu yang telah dikemukakan sebelumnya, berikut ini
merupakan pembahasan tentang beberapa temuan masalah dalam sistem akuntabilitas pelayanan
pemerintah daerah:
a. Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah terhadap Kinerja Keuangan
Hasil hipotesis untuk variabel Pengelolaan Keuangan Daerah adalah Pengelolaan
Keuangan Daerah berpengaruh signifikan terhadap variabel Kinerja Keuangan.
Berdasarkan nilai koefisien determinasi tersebut maka hal ini menandakan bahwa
pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengelolaan Keuangan Daerah sangat erat. Dalam
hal ini pejabat pada instansi pemerintah provinsi Sumatera Utara sudah cukup dalam
pengelolaan keuangan daerah. Hal ini menandakan bahwa jika pengelolaan eksekutif
tentang pengelolaan keuangan daerah ditingkatkan maka dapat mendorong kinerja
keuangan. Pengaruh yang sangat erat ini disebabkan oleh masih belum maksimalnya
pengetahun tentang pengelolaan keuangan daerah dibidang keuangan, hal ini sejalan
dengan pandangan Zimmerman (2000) yang menyatakan: “bahwa pembuatan keputusan
yang berhubungan dengan pelayanan publik, pemerintah daerah harus memiliki
pengetahuan pengelolaan keuangan daerah dibidang keuangan”.
b. Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kinerja Keuangan
Hasil hipotesis untuk variabel Akuntabilitas yaitu Akuntabilitas berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel Kinerja Keuangan. Halim (2001) menyatakan: “bahwa dalam
konteks pemerintahan sudah seyogyanya pemerintah daerah segera memperbaiki sistem
akuntabilitas sehingga akan dapat meningkatkan Kinerja Keuangan suatu pemerintahan
daerah tersebut”.
c. Pengaruh Transparansi terhadap Kinerja Keuangan
Hasil hipotesis untuk variabel Transparansi yaitu Transparansi berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel Kinerja Keuangan artinya apabila Transparansi sudah
diterapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
maka akan dapat menaikkan Kinerja Keuangan Pemerintah daerah.
d. Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah, Akuntabilitas dan Transparansi terhadap
Kinerja Keuangan Daerah, Akuntabilitas dan Transparansi berpengaruh secara simultan
terhadap Kinerja Keuangan.
BAB II
PEMBAHASAN

Supaya pemerintah mampu melaksanakan fungsinya dengan bercirikan good governance,


maka perlu diciptakan suatu kerangka administrasi publik yang mengandung unsur-unsur
terciptanya suatu sistem kooperasi serta pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan bagi
masyarakat. Perkembangan global mendorong insitusi public untuk lebih akuntabel dan
transparan dalam setiap penyusunan kebijakan, tindakan dan kinerja yang dihasilkan. Walau
terdapat perbedaan penerapannya di masing-masing Negara, akuntabilitas pemerintahan kepada
public pada umumnya lebih difokuskan kepada masalah efektivitas dan efesiesnsi
penyelenggaraan pemerintahan.
Akuntabilitas publik didasari pemikiran bahwa masyarakat tidak hanya berhak mengetahui
pada pelaporan pertanggung-jawaban keuangan saja, tetapi juga non keuangan atau lebih dikenal
dengan akuntabilitas kinerja. Bahwa dengan akuntabilitas, maka pemerintah berhak
mempertanggung jawabkan amanah rakya yang disandangnya secara berkala melalui mekanisme
media yang disetujui bersama oleh pemberi amanah yaitu rakyat melalui wakilnya. Dengan
demikian suatu pemerintah yang akuntabel adalah pemerintah yang mampu menyajikan
informasi secara terbuka mengenai keputusan-keputusan yang telah diambil sehingga pihak luar
mereview informasi tersebut. Dengan demikian penggunaan istilah akuntabilitas public
mengandung makna bahwa keputusan dan kebijakan yang telah diambil harus dapat di
pertanggung-jawabkan kepada public dan masyarakat dapat mengakses informasi tersebut.
Untuk menciptakan good govermance perlu hal-hal berikut :
1. Kerangka kerja tim (team work) antar organisasi, departemen dan duta wilayah.
2. Hubungan mitra antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang
bersangkutan.
3. Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan
kerja sama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal
ini secara realistik dapat dikembangkan.
5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik,
juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dan disanjung secara bersama-sama
oleh masyarakat yang dilayani.
6. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi kepada masyarakat, adanya publik
yang mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan pemerataan dan keadilan
dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada
kepentingan masyarakat, bersikap profesional dan bersikap tidak memihak (non partisan).

Langkah-langkah inovatif kemudian menjadi salah satu pilihan yang harus diambil agar
setiap elemen internal maupun eksternal secara sinergis membangun kemampuan memenangkan
persaingan dan memberi jaminan pelayanan internal atas tuntutan mendasar yang terus berubah.
Dinamika pasar, dinamika global, serta tarikan-tarikan kekuatan eksternal, karenanya harus
secara taktis diantisipasi secara pro-active bukan bahkan secara relatif. Persoalan yang paling
mendasar adalah bagaimana Birokrasi Pemerintah mampu menciptakan suatu nilai dan moral
untuk melayani bukan dilayani. Bukan jalan yang mudah untuk menciptakan sistem manajemen
pelayanan prima, tetapi jalan pikiran yang sedang mengarah secara terencana ke arah upaya-
upaya meningkatkan ke mampuan manajemen sektor publik maupun swasta untuk mencapai
pelayanan yang tinggi seperti ketepatan waktu, (delivery on time), keunggulan mutu produk
(high quality of products), penunjang biaya untuk memperoleh pelayanan (cost reduction), serta
perlakuan yang semakin menempatkan konsumen atau rakyat sebagai pihak yang memiliki
martabat dan kedaulatan, semakin menemukan bentuknya. Modal yang paling mendasar adalah
memenangkan kompetisi jasa masa depan, sebuah perlakuan yang menempatkan masyarakat
pada tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan yang penting. Upaya untuk membuat
masyarakat dapat dilakukan dengan mendesain fungsi dan peranan pelayanan masyarakat yang
lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini, peranan teknologi modern merupakan faktor penunjang
utama.
Berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik, Denhardt (1998 :
18), menyatakan bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas menyebut pentingnya
kualitas subjektif, berupa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang
menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggunjawaban tersebut. Untuk
itu perlu dibuka ruang publik yang mempertemukan antara kepentingan masyarakat dan
pemerintah sehingga menjadi sinergis, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi.
Dengan demikian diharapkan bahwa akan lebih terbuka ruang bagi aparat pemerintah untuk
memikirkan dan me laksanakan kebijakan - kebijakan pembangunan berdasarkan kebutuhan
yang senyatanya. Mengingat belum banyak terdapat perubahan di dalam latar belakang budaya,
pola berpikir dan pola bertindak birokrat sistem akuntabilitas kinerja belum dapat
diimplementasikan secara baik. Adanya ruang ruang publik dan adanya keterbukaan menjadikan
akuntabilitas kinerja pemerintah dapat terbangun dan terkontrol dengan baik.
Akuntabilitas merupakan prinsip yang me njamin bahw a se tiap ke giatan pe ny e le nggar
aan pe me r intahan di pertangungjawabkan secara terbuka oleh penyelenggara negara kepada
pihak yang terkena keputusan. Akuntabilitas pada hakikatnya menciptakan suatu kondisi di mana
keputusan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan aspirasi masyarakat. Akuntabilitas harus
menjadi “profesional” daripada “birokratis”, pergantian dari akuntabilitas “upward” ke pe jabat-
pe jabat ter pilih me njadi akuntabilitas “downward” ke masyarakat. Untuk itu budaya
demokratis harus masuk ke tubuh birokrasi publik sehingga birokrasi menjadi transparan,
responsif, akuntabel dan memberikan ruang untuk adanya partisipasi masyarakat.

1.3 KESIMPULAN
Akuntabilitas kinerja dilaksanakan meliputi Akuntabilitas Kejujuran/Hukum, Akuntabilitas
Proses, Akuntabilitas Program, Akuntabilitas Kebijakan, dan Akuntabilitas Keuangan. Dalam
pelaksanaan birokrasi saat ini akuntabilitas telah dilaksanakan bersamaan dengan proses
reformasi birokrasi yang memiliki target pada tahun 2025 diharapkan telah terwujud tata
pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi,
menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Salah satu sasaran yang dicanangkan di dalam
Grand Design Reformasi Birokrasi adalah meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi. Sasaran tersebut dilakukan dengan melaksanakan penguatan akuntabilitas kinerja yang
dilaksanakan oleh Tim RB K/L/Pemda. Penguatan Akuntabilitas Kinerja dan Intergritas Instansi
Pemerintah Melalui Evaluasi Tingkat Akuntabilitas Kinerja, Evaluasi Terhadap Unit Kerja
Pelayanan Pada K/L/PEMDA yang Telah Mencanangkan Zona Integritas serta Penerbitan
Kebijakan Tentang Perjanjian Kinerja dan Pelaporan Kinerja, antara lain :
1. Evaluasi terhadap pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah (SAKIP) oleh
seluruh K/L/Pemda meliputi : perjanjian kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja,
evaluasi internal, dan capaian kinerja. SAKIP ini didasarkan pada Perpres No. 29 tahun
2014 tentang SAKIP.
2. Zona Integritas (Permen PANRB No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan ZI
Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Instansi Pemerintah.
3. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Perpres No. 29 Tahun 2014 tentang
SAKIP dan Permen PANRB No. 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian
Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah. menuju Wilayah Bebas Koorupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi.

Anda mungkin juga menyukai