Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FIQIH MAWARIS

“Waris dalam adat batak. Antara Adat dan Syara’”

Dosen pengampu: Fauzan Ma’ar, MH

Disusun oleh:

Dimas wirayudha (0203222082)

Khaidir ali (0203222064)

PROGRAM STUDI S-1 HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN, 2022/2023

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt. Yang maha esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga
kami berterima kasih ke pada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam
penyelesaian makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Fiqih Mawaris. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah di susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saranyang
membangun dari kalian demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Medan, 19 Juni 2023

Kelompok 10

DAFTAR ISI

I
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................I

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang.................................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C.Tujuan Masalah................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A.Bagaimana pembagian harta warisan dalam adat batak...................................................................3


B.Bagaimana ahli waris dan hak waris dalam adat batak....................................................................5

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan.......................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

keseluruhan dan merupakan sebagian kecil dari hukum


kekeluargaan.hukum waris terkait erat dengan ruang lingkup kehidupan
manusia dengan berbagai adat (suku),karena setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yaitu adanya kematian. Peristiwa kematian
yang terjadi pada seorang anggota keluarga, misalnya ayah ibu, atau anak.

Apabila orang yang Hukum waris di Indonesia merupakan suatu


hukum perdata secara meninggal memiliki harta kekayaan, maka yang
menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu. Melainkan harta
kekayaan yang ditinggalkan, Artinya, siapakah yang berhak atas harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut, siapakah yang wajib
menanggung dan membereskan hutanghutang pewaris.Salah suku di Indonesia
adalah Batak Toba Masyarakat Batak Toba memiliki kebiasaan, cara, nilai,
budaya, norma, dalam kehidupan seharihari tidak terlepas dari kegiatan yang
diatur dalam budaya dan adat istiadat.

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah


(patrilineal), dari garis keturunan ayah sa ama tersebut dikenal kelompok
kekerabatan yang disebut marga. Marga merupakan identitas kelompok
kekerabatan yang turuntemurun yang dimulai dari satu kakek satu ompung
yang terikat dalam pertalian darah. Adat ini juga terbawa dalam arus
pembagian waris.

1
1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana pembagian harta warisan dalam adat batak?

2. Bagaimana ahli waris dan hak waris dalam adat batak.?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pembagian harta warisan dalam adat batak.

2. Untuk mengetahui ahli waris dan hak waris dalam adat batak.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 pembagian harta warisan dalam adat batak

Proses pembagian harta warisan adat Batak Toba ketika orang tua meninggal
dunia dan belum sempat menggariskan pemberian dari hartanya, maka
keturunannya orang tua itu mengadakan sidang keluarga lengkap dengan unsur
yang dinamakan Dalihan NaTolu.1

Di dalam sidang keluarga tersebut yang menjadi pemimpin sidangnya


adalah anak sulung laki laki kemudian peserta sidangnya adalah dongan tubu
boru dan hula Hula serta dongan sahuta. Di dalam peroses pembagian harta
warisan adat Batak Toba, pertama dihitung kerugian untuk melaksanakan
penguburan orang tua itu sendiri,maka harta yang tingga dibagi kepada anak bungsu
sedangkan boru dan anak laki laki kedua dan kedua terakhir tidak mendapat apa
apa.Demikian juga dengan anak perempuan.Pembagian harta warisan pada
masyarakat Batak Toba dan dicermati dengan pengalaman sejarah, di mana dapat
dikatakan sangat banyak sorotan terhadap adat istiadat Batak Toba itu sendiri yang
dianggap tidak ada kejujuran di dalam peroses pembagian harta warisan itu.2

Malahan mungkin biasa jadi dikatakan tidak adil terhadap sesama


keturunannya.Pada perakteknya bahwa terdapat peroses pembagian harta warisannya
yang terdapat diskriminasi pada satu keturunan baik terhadap turunan anak
perempuannya maupun ada juga terdapat pada anak “laki laki mulai dari anak
kedua lakilaki sampai dengan anak lakilaki kedua terakhir.

Demikian juga dengan pihak perempuan, terdapat diskriminasi tentang hak


pembagian harta warisan bisa semakin tajam apabila dipandang dari sudut
kekerabatan, termasuk anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki laki.
Kemudian dapat sorotan sorotan yang datang terhadap adat Batak Toba ini dalam
1
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2014, hal.52
2
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Judimetri, (Jakarta: Ghalia,
Indonesia, 1990), hlm. 40

3
proses pembagian harta warisan,sorotan sorotan itu datang bukan hanya datang
dari masyrakat Batak Toba itu sendiri tetapi melainkan datang dari luar adat
Budaya Batak Toba mengkritik keras terhadap peroses pembagian harta
warisan di Batak Toba yang lebih menyanjungkan anak lakilaki terutama anak
lakilaki sulung dan anak laki laki bungsu. Sedangkan hak anak tiri ataupun
anak angkat terutama laki laki dapat disamakan dengan hak anak kandung,
karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, haruslah melewati proses
adat tertentu.

Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga
dari orang yang mengangkatnya. Menurut Eko Imam Syuhada Sirait (2018)
mengatakan bahwa proses pembagian harta warisan adat Batak Toba itu
bisa dikatakan dalam proses yang terdapat di dalamnya mengalami
dikriminasi atau proses yang mementingkan pihak tertentu saja 3, karena yang
menjadi peran

utama dalam perihal pembagian harta warisan adalah anak laki laki sulung
dan anak lakilaki bungsu. Di dalam peroses pembagian harta warisan, anak laki laki
juga terdapat dikriminasi yang dimana anak laki laki diantara kedua yaitu
anak sulung dan anak bungsu tersebut tidak akan mendapatkan bagiannya dalam
peroses pembagian harta warisan.Kemudian muncul sebuah kritik dari orang
Batak Toba itu sendiri yang sangat tajam akan adanya kesenjangan terhadap
pembagian harta warisan. 4

Kritik itu juga dapat dilihat di dalam drama yang terjadi di dalam
kehidupan “siboru Tumbaga” yang tidak Mempunyai saudara lakilaki sehingga
berdasarkan yang dianut oleh Adat Batak Toba ia sudah menjadi “Boru siteanon”
yang tidak berhak atas harta orang tuannya. Sudahbanyak yang mengkritik dengan
tatata cara pembagian harta warisan yang ada di adat Batak Toba ini karna di
dalam peroses ini masyarakat Batak Toba menilai itu adalah peroses pembagian

3
Sugiarto, Dergibson Siagian, Deny S. Oetomo, Tehnik Sampling, (Jakarta : PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hlm. 7-8.
4
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), hlm. 44

4
atau warisan budaya yang didapat mereka dari nenek moyang peninggalan nenek
moyang mereka dahulu.5

2.2 Ahli waris dan hak waris dalam adat batak

Sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat adat Batak Toba, kedudukan


anak laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang berbeda terhadap
clannya. Anak laki-laki sepanjang hidup nya akan mengenal clan ayah nya,
sedangkan anak perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayah nya dan
suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan
tersebut posisi anak perempuan menjadi ambigu atau tidak jelas, meskipun
berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari
kedua clan tersebut

Masyarakat Adat Batak Toba dikenal beberapa istilah yang merendahkan martabat
anak perempuan antara lain :

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi
rumah orang 2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang
dagangan yang diperjual-belikan).
2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang
diperjual-belikan).
3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk
mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga anak laki-
laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum). 6
Adat Batak Toba apabila anak perempuan atau dari suatu keluarga tidak
memiliki anak laki-laki atau saudara laki-laki, maka tidak berhak mendapatkan
warisan karena sudah dianggap punu (punah) dan tidak akan dapat melanjutkan
silsilah keluarganya dan keluarga tersebut akan hilang begitu saja. Anak perempuan
yang demikian disebut “siteanon”, artinya semua harta warisan ayahnya tidak boleh
ada padanya dan harus diwarisi kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya.7
Perkembangan masyarakat adat Batak Toba yang ada sekarang telah menjadi

5
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Zulfadli Sirait, Sekretaris Umum PBI (Persatuan Batak
Islam), pada tanggal 16 Agustus 2013.
6
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000.
7
5Ter Haar, 1991, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 202.

5
perkembangan huku dalam pembagian harta warisan yang didasari oleh
perkembangan zaman, agama, teknologi, ekonomi, dan melalui pendidikan serta
pengetahuannya. Maka kaum perempuan banyak mengalami penolakan terhadap
sistem kekerabatan patrilineal yang dirasakan adanya pembedaan antara laki-laki dan
pemKperempuan dalam pembagian warisan yang menimbulkan ketidaksetaraan dan
tidak adanya rasa keadilan.

Sistem hukum warisan patrilineal juga berpokok pangkal dari sistem


kekerabatan. Dalam masyarakat patrilineal hanya anak laki-laki saja yang menjadi
ahli waris, karena anak perempuan diluar golongan patrilineal. Keadaan seperti ini
dikarenakan adanya beberapa alasan yang melandasi sistem hukum warisan
patrilineal sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan
pewaris yang telah meninggal dunia, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan
harta warisan sama sekali. Adapun alasan yang memandang rendah kedudukan
perempuan khususnya dalam masyarakat Batak adalah :

a. Emas kawin yang disebut “tukor” membuktikan perempuan dijual.

b. Adat lakonan (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh


saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia.

c. Perempuan tidak mendapatkan warisan.

d. Perkataan naki-naki menunjukkan perempuan, mahluk tipuan dan lain-lain. Ahli


waris dan para ahli waris dalam sistem hukum adat warisan patrilineal terdiri dari:
anak laki-laki, anak angkat, ayah dan ibu, keluarga terdekat, persekutuan adat.8

Dalam Hukum Adat, Yurisprudensi Hukum, selain merupakan keputusan ahli


pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat juga merupakan
sarana pembinaan hukum adat sesuai cita-cita hukum. Sekaligus dari yurisprudensi
dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan hukum adat, baik yang masih
bersifat lokal maupun yang telah berlaku secara nasional.

8
Soerojo Wignjodipoero, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung,
Jakarta, hlm. 161.

6
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal


yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai
oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah
secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat
adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti
kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang
menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah
anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua
suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan
cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak
sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak
laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan.
Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak
Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi
karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan
emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan
proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak –
anak nya dalam pembagian harta warisan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2014.


Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Judimetri,
(Jakarta: Ghalia, Indonesia, 1990).
Sugiarto, Dergibson Siagian, Deny S. Oetomo, Tehnik Sampling, (Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2000).
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Zulfadli Sirait, Sekretaris Umum PBI
(Persatuan Batak Islam), pada tanggal 16 Agustus 2013
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,
2000.
5Ter Haar, 1991, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 202.
Soerojo Wignjodipoero, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko
Gunung Agung,

Anda mungkin juga menyukai