Anda di halaman 1dari 14

Kajian SWOT atas Kemungkinan Link and Match Dunia Pendidikan Indonesia

Yuni Andono Achmad, S.E.,M.E., Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas
Gunadarma

Abstraksi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, tepatnya pada
tahun 1994 pernah mengeluarkan konsep link and match. Konsep
Mendikbud, Prof. Wardiman Djojonegoro, tersebut mendapatkan sanggahan
dari Prof. Umar Kayam, guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada. Prof Dr Wardiman Djojonegoro (Mendikbud tahun 1993-1998), pernah
menggulirkan konsep link and match dalam dunia pendidikan yang
ditujukan dalam rangka menghadapi era globalisasi. Maka dunia pendidikan
harus melaksanakan "link" dan "match". Menurut Wardiman, "link" dan
"match" pada hakekatnya adalah peningkatan mutu agar kompetensi siswa
sesuai dengan tantangan globalisasi. "Link" dan "match" mengisyaratkan
agar para lulusan mempunyai wawasan atau sikap kompetititf, seperti etika
kerja (work ethic), motivasi mencapai (achievement motivation), penguasaan
(mastery), sikap berkompetensi (competitiveness), arti uang (money beliefs),
sikap menabung (attitudes to saving). Konsep "link" dan "match"
memerlukan perubahan kerangka pikir dari seluruh pelaksana pendidikan
seperti halnya baik institusi pendidikan maupun staf pengajar harus pro
aktif "link" dan "match" dengan dunia kerja. Pada era sekarang bagaimana
melihat kemungkinan diterapkan link and match ini. Maka perlu dilihat
beberapa beberapa mismatch di dunia pendidikan dan ketenagakerjaan di
Indonesia
Kata kunci: Link and Match, Mismatch, SWOT

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di
dunia, yang berpenduduk sekitar 250 juta jiwa. Pada tahun 2025 sampai
dengan 2035, Indonesia diperkirakan akan mengalami fase bonus demografi.
Menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bonus
demografi adalah kondisi sebuah negara dengan jumlah penduduk usia
produktif (15 tahun - 65 tahun) lebih besar daripada jumlah penduduk usia
tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan diatas 65 tahun). Bonus demografi
menjadi anugerah jika usia produktif ini berkualitas dan dapat terserap di

1
dunia usaha dan dunia industri dengan upah yang layak, sehingga memiliki
tabungan yang dapat digunakan untuk investasi pembangunan ekonomi
jangka panjang. Sebaliknya, bonus demografi dapat menjadi bencana jika
penduduk usia produktif yang jumlahnya melimpah ini tidak memiliki
keterampilan yang memadai untuk bekerja. Hal ini mengakibatkan
meningkatnya pengangguran yang menjadi beban negara.
Berdasarkan data Berita Resmi Statistik No. XX Tahun 2017 bulan
Agustus 2017, Indonesia memiliki penduduk usia kerja sebanyak 192,08 juta
jiwa, yang terdiri atas 128,08 juta jiwa (66,67%) merupakan angkatan kerja
dan 64,02 juta jiwa (33,33%) bukan angkatan kerja. Sementara itu, dari
jumlah angkatan kerja (128,08 juta orang), yang bekerja sebanyak 121,02 juta
orang (94,50%), sedangkan 7,04 juta orang (5,50%) merupakan penganggur
terbuka. Penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan memiliki
komposisi, secara berturut-turut: lulusan SD sebanyak 50,98 juta (42,13%),
SMP sebanyak 21,27 juta orang (17,95%), SMA sebanyak 21,13 juta orang
(17,46%), SMK sebanyak 12,59 juta orang (10,40%), diikuti dengan DI/II/III
sebanyak 3,28 juta orang (2,27 %) dan universitas sebanyak 11,32 juta orang
(9,35%). Berdasarkan tingkat pendidikan penganggur memiliki komposisi: SD
sebanyak 1,37 juta (2,62%), SMP sebanyak 1,27 juta (5,54%), SMA sebanyak
1,91 juta (8,29%), SMK sebanyak 1,64 juta (11,41%), DI/II/III sebanyak 0,24
juta (6,88%), universitas sebanyak 0,61 juta (5,18%).
Jumlah pengangguran yang berpendidikan SMK semakin meningkat
meskipun telah dilakukan peningkatan kualitas lulusan SMK melalui
penerbitan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Sumber
Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Di sisi lain, angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan SD serta SMP
sebanyak 68,24%. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan tingkat pendidikan
SMP ke bawah maka daya saing tenaga kerja Indonesia masih tergolong
rendah. Kondisi demikian menyebabkan jumlah angkatan kerja yang besar.
Hal itu akan memberi beban yang sangat besar karena kompetensi yang
2
dimiliki oleh angkatan kerja masih belum memadai. Angkatan kerja SMP ke
bawah sangat kecil kemungkinan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi karena faktor hambatan ekonomi dan usia yang sudah
melewati usia sekolah. Untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja, solusi
yang dapat dilakukan di antaranya melalui pelatihan kerja.
Data International Labour Organization (ILO) tahun 2015 menunjukkan
bahwa rendahnya kompetensi angkatan kerja (56%), diikuti 37 persen bekerja
sesuai kompetensi dan sekitar 7 persen memiliki kompetensi yang lebih tinggi
dari jabatan/pekerjaan sebagaimana pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Mismatch kompetensi dengan pekerjaan/jabatan di


Indonesia

(sumber: Labor and Social Trend in Indonesia 2014-2015, ILO)

Indikator lainnya yang menunjukkan terjadinya mismatch adalah rendahnya


penyerapan lulusan Balai Latihan Kerja (BLK). Jumlah BLK yang
melaksanakan pelatihan kerja sebanyak 301 BLK yang terdiri atas 17 BLK
milik Kementerian Ketenagakerjaan dan 284 BLK milik Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain Kementerian Ketenagakerjaan yang
melakukan pelatihan terdapat 13 Kementerian dan Lembaga lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pembinaan

3
Pelatihan dan Produktivitas (Ditjen Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa penyerapan lulusan BLK sejak tahun 2013 sampai dengan
tahun 2016 masih di bawah 50 % sebagaimana gambar 1.

REKAPITULASI TARGET, REALISASI PELATIHAN DAN


Realisasi, 2013,
Target, 2013, 118,516 PENEMPATAN LULUSAN BLK
115,232

Target, 2015, 99,045


Realisasi, 2015, 92,236
Target, 2016, 84,431
Realisasi, 2016, 79,466

Target, 2014, 64,535


Realisasi, 2014, 62,073

Penempatan, 2013,
41,351 Penempatan, 2016,
35,105
Penempatan, 2015,
25,756
Penempatan, 2014,
14,910

Target Realisasi Penempatan

Gambar 1 Grafik Penyerapan Lulusan BLK

Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia sebagian


besar masih bersifat supply driven. Artinya, sebagian besar lembaga
pendidikan dan pelatihan vokasi masih menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan vokasi berdasarkan sumber daya yang mereka miliki, tanpa melihat
kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan
tidak dapat terserap karena kompetensi yang dimiliki oleh lulusan lembaga
pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan riil dunia usaha dan dunia industri.
Idealnya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi bersifat demand driven
atau selalu menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan riil dunia usaha dan
dunia industri. Agar dapat bertransformasi dari supply driven ke demand

4
driven, dibutuhkan kebijakan dari pemerintah untuk melibatkan pihak
pengguna tenaga kerja dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan vokasi yang dilakukan oleh
beberapa kementerian dan lembaga belum terintegrasi dengan baik sehingga
ketersediaan informasi tentang kompetensi dan jumlah lulusan pendidikan
dan pelatihan belum bisa diakses oleh kebutuhan dunia usaha dan industri.
Di samping itu, belum adanya kesamaan persepsi terkait dengan standardisasi
dan level dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi antar-
kementerian.
Saat ini telah tersusun sebanyak 643 dokumen Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk berbagai sektor yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Penyusunan SKKNI seharusnya dilakukan
oleh Kementerian Teknis dengan melibatkan para pemangku kepentingan
antara lain dunia industri di masing-masing sektor, para pakar di bidangnya
dan akademisi sehingga SKKNI yang disusun sesuai dengan kebutuhan
industri. Kenyataannya belum semua Kementerian Teknis melibatkan para
pemangku kepentingan seperti dunia industri dalam proses penyusunannya
sehingga dunia industri kurang memiliki kepedulian dalam penerapan SKKNI
di industri.
SKKNI yang disusun digunakan sebagai acuan dalam penyusunan
kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi di lembaga pendidikan dan
pelatihan vokasi milik pemerintah, serta menjadi acuan untuk pelaksanaan
sertifikasi kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah
mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sampai
dengan saat ini belum semua industri mensyaratkan sertifikasi bagi tenaga
kerjanya sehingga sertifikasi kompetensi belum menjadi kebutuhan. Pihak
industri juga belum melakukan rekognisi terhadap sertifikat kompetensi yang
dimiliki oleh tenaga kerja karena kompetensi belum menjadi salah satu
parameter dalam penentuan upah tenaga kerja.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional, pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan
5
untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan
kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi
jabatan atau pekerjaan. Pelatihan kerja dapat dilaksanakan dengan pola
pelatihan berbasis kompetensi di lembaga pelatihan kerja kemudian
dilanjutkan dengan OJT (On the Job Training) atau dengan pola pemagangan di
tempat kerja.
Sementara itu, pendidikan dan pelatihan vokasi di beberapa negara
berada di bawah koordinasi satu lembaga pemerintah, sebagai contoh
Technical Education and Skills Development (Tesda) di Filipina, Jabatan
Pembangunan Kemahiran (JPK) di Malaysia, Human Resource Development
Services Korea, Vocational Training Council di Hongkong, Industrial Skills
Council di Australia, dan lain-lain.
Terkait dengan penempatan tenaga kerja, Pemerintah melalui
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), telah membangun sistem atau
aplikasi Informasi Pasar Kerja (IPK) secara on-line. Saat ini, sistem tersebut
telah terbangun di 497 kabupaten/kota. IPK merupakan bagian yang
terpenting dalam sebuah sistem penempatan tenaga kerja secara keseluruhan,
sebab melalui IPK, pencari kerja (supply) dapat dipertemukan dengan pemberi
kerja atau dunia usaha/dunia industri (demand). Idealnya, IPK mampu
memberikan/menyediakan informasi mengenai situasi dan kecenderungan
penawaran dan permintaan tenaga kerja di berbagai sektor, jabatan, uraian
pekerjaan, pendidikan dan kondisi daerah/wilayah. Berdasarkan informasi
lengkap dimaksud, IPK dapat memberikan masukan (input) untuk
penyelenggaraan program pelatihan vokasi yang dibutuhkan di pasar kerja.
Namun IPK on-line yang telah dibangun tersebut kondisinya belum semuanya
dapat berfungsi dan berjalan sesuai harapan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain keterbatasan sumberdaya manusia pengelola
perangkat IPK on-line, ketersediaan data terkini dan akurat mengenai supply
(pencari kerja) dan demand (dunia usaha/industri).

6
2. Pembahasan
2.1 Link and Match dan Kasus Mismatch

Perdebatan mengenai mismatch yang mirip dengan kasus link and match ini,
pernah terjadi di sekitar tahun 1994/ 1995. Yaitu antara Prof. Wardiman
Djojonegoro dan Prof. Umar Kayam. Sewaktu Menteri Pendidikan/
Kebudayaan dijabat oleh bapak Wardiman Djojonegoro (tahun 1993-1998),
pernah digulirkan konsep link and match dalam dunia pendidikan. Visi
tersebut didebat oleh pak Umar Kayam sebagai guru besar Sastra UGM
tersebut di harian Kompas. Pak Kayam menyarankan bahwa sebaiknya
pendidikan itu memanusiakan manusia. Sehingga berkembang aspek seni,
filsafat, bahasa dari individu atau manusia berpendidikan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang yang cerdas secara teknis,
namun ada juga cerdas secara seni. Untuk itu perlu adanya tes IQ sejak awal
dan berulang kali (continues) sehingga akan terdeteksi yang mana anak
Indonesia yang berbakat untuk pengetahuan alam, dan yang mana yang
berbakat secara sosial. Jangan sampai tertukar.
Walaupun untuk bagian “tertukar” ini banyak lesson learned yang didapat.
Misalnya seperti Helmy Yahya yang seorang akuntan (lulusan STAN) kemudian
pernah menjadi pegawai negeri di Kemenkeu, namun kemudian mendirikan
perusahaan kuis, yang kemudian mengantarnya menjadi Dirut Tvri tahun
kemarin. Atau Chairul Tanjung seorang dokter gigi namun kemudian menjadi
pengusaha sukses yang memiliki bank dan toko ritel. Contoh lain di luar
negeri seperti seorang Jack Ma yang memiliki gelar diploma 3 (tiga) sastra
Inggris, yang akhirnya memiliki perusahaan yang dia beri nama Alibaba.
Melihat contoh di atas bahwa seseorang bisa jadi mismatch antara gelar
dengan pekerajaan, namun dengan semangat gigih dan pantang menyerah hal
tersebut dapat diatasi oleh individu-individu positif tersebut. Yang akhirnya
mengantar mereka menjadi orang sukses. Dalam hal ini dicontohkan oleh CT,
Helmy Yahya, dan Jack Ma, seperti kisah di atas.
Di era sekarang, keterampilan dan penguasaan alat tertentu menjadi perihal
mendesak. Seperti di youtube, dicontohkan bahwa google telah meng-hire
anak usia SMP keturunan India –yang mengambil home schooling di Kanada-
yang sangat unggul di bidang coding dan kecerdasan buatan. Artinya google
tidak lagi merekrut pegawai berbasis kuliah D3 atau S1nya.
Maka saat ini dibutuhkan ketrampilan dalam teknik yang lebih spesifik.
Namun pada sisi lain kita tetap membutuhkan orang yang nantinya akan
mengembangkan seni dan sastra. Maka menurut hemat saya solusi perihal
mismatch ini membutuhkan kajian yang komprehensif. Jadi menurut saya,
tugas di bagian individual ini untuk merancang sebuah perubahan yang agile/

7
cepat sebenarnya kurang tepat. Karena pendidikan memang hakikatnya
sebuah proses jangka panjang.

2.2 Analisis SWOT


Analisis strength weakness opportunity threatness atau SWOT merupakan
salah satu metode perencanaan strategis. SWOT adalah metode perencanaan
strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats)
dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang
membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan
threats). SWOT akan lebih baik dibahas dengan menggunakan tabel yang
dibuat dalam kertas besar, sehingga dapat dianalisis dengan baik hubungan
dari setiap aspek.
Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis
atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang
mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT
dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang
mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar
matrik SWOT, di mana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths)
mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang
ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya
bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang
ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses)
yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan
sebuah ancaman baru. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang
memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an
dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune
500.
Matriks SWOT ini menggambarkan dan memberikan informasi bagaimana
manajemen dapat mencocokan peluang-peluang yang dimiliki serta ancaman-
ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan melalui kekuatan dan
kelemahan internalnya untuk menghasilkan empat alternatif strategi. Keempat
alternative strategi tersebut terdiri dari strategi SO, strategiWO, strategi ST,
dan yang terakhir yaitu strategiWT.
Analisis SWOT termasuk analisis IFAS, EFAS, IE, SPACE, SFAS, dan matriks
SWOT akan menghasilkan strategi-strategi yang dipilih untuk pengembangan
organisasi. Dengan kata lain konsep ini merupakan upaya
mengoperasionalkan pilihan strategi dengan mempertimbangkan aspek-aspek
penting seperti peraturan dan perundangan, prinsip-prinsip pengembangan
maupun mengintegrasikan dengan rencana pembangunan daerah, baik

8
rencana tata ruang, zonasi wilayah laut dan pesisir dan dokumen
perencanaannya.
Dalam konsep ini juga akan dirumuskan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta
strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Metode analisis SWOT
merupakan alat yang tepat untuk menemukan masalah dari 4 (empat) sisi
yang berbeda, di mana aplikasinya adalah:

 Bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan dari


sebuah peluang (opportunities) yang ada.
 Bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan.
 Bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats)
yang ada.
 Bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu
membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah
ancaman baru.

Dengan saling berhubungannya 4 faktor tersebut, maka membuat analisis ini


memberikan kemudahan untuk mewujudkan visi dan misi suatu perusahaan.

2.3 Hasil Analisis


Solusi perihal mismatch ini membutuhkan kajian yang komprehensif dan
jangka panjang, akan tetapi bagian pendahuluan di atas dapat dipetakan
persoalan mismatch-nya. Berikut disajikan matriks SWOT (strength weakness
opportunity threatness) seperti yang tertera di halaman berikut. Maksud
DALAM pada matriks di adalah kondisi dari “dalam” atau yang tidak bisa
diubah, berupa data statistik terkait demografi penduduk dan angkatan kerja.
Sedangkan makna LUAR adalah upaya dari kementerian/ lembaga, dan
stakeholder.

Tabel 2: Pengelompokan Mismatch ke dalam Matriks SWOT.

Dalam
Weaknesses Strength
1. Masih besarnya pendangguran. Dari jumlah 1. Potensi jumlah penduduk. Indonesia merupakan
angkatan kerja (128,08 juta orang), sebanyak 7,04 negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat
juta orang (5,50%) merupakan penganggur di dunia, yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa.
terbuka. 2. Adanya bonus demografi. Pada tahun 2025 sampai
2. Berdasarkan tingkat pendidikan penganggur dengan 2035, Indonesia diperkirakan akan
memiliki komposisi: SD sebanyak 1,37 juta mengalami fase bonus demografi.
(2,62%), SMP sebanyak 1,27 juta (5,54%), SMA 3. Indonesia memiliki penduduk usia kerja sebanyak
sebanyak 1,91 juta (8,29%), SMK sebanyak 1,64 192,08 juta jiwa, yang terdiri atas 128,08 juta jiwa
juta (11,41%), DI/II/III sebanyak 0,24 juta (6,88%), (66,67%) merupakan angkatan kerja dan 64,02 juta
universitas sebanyak 0,61 juta (5,18%). jiwa (33,33%) bukan angkatan kerja.
3. Bonus demografi dapat menjadi bencana jika 4. Dari jumlah angkatan kerja (128,08 juta orang), yang
penduduk usia produktif yang jumlahnya melimpah bekerja sebanyak 121,02 juta orang (94,50%)
ini tidak memiliki keterampilan yang memadai 5. Penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan
untuk bekerja. Hal ini mengakibatkan memiliki komposisi, secara berturut-turut: lulusan SD
meningkatnya pengangguran yang menjadi beban sebanyak 50,98 juta (42,13%), SMP sebanyak 21,27
negara.
juta orang (17,95%), SMA sebanyak 21,13 juta orang
4. Jumlah pengangguran yang berpendidikan SMK
semakin meningkat meskipun telah dilakukan (17,46%), SMK sebanyak 12,59 juta orang (10,40%),

9
peningkatan kualitas lulusan SMK diikuti dengan DI/II/III sebanyak 3,28 juta orang (2,27
5. Masih besarnya angkatan kerja Indonesia yang %) dan universitas sebanyak 11,32 juta orang
berpendidikan SD serta SMP sebanyak 68,24%. (9,35%).
Tingkat pendidikan SMP ke bawah (SD termasuk)
6. Bonus demografi menjadi nilai positif jika usia
masih besar maka daya saing tenaga kerja
Indonesia masih tergolong rendah. Kondisi produktif itu merupakan penduduk yang berkualitas
demikian menyebabkan jumlah angkatan kerja dan dapat terserap di dunia usaha dan dunia industri
SMP ke bawah sangat kecil kemungkinan untuk dengan upah yang layak, sehingga memiliki
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tabungan yang dapat digunakan untuk investasi
tinggi pembangunan ekonomi jangka panjang.
6. Terdapat indikasi rendahnya kompetensi angkatan
kerja (56%), hanya sebesar 37 persen yang
bekerja sesuai kompetensi dan sekitar 7 persen
memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari
jabatan/pekerjaan. Data dari International Labour
Organization (ILO) tahun 2015.
- +
Threatness Opportunity
1. Terjadinya mismatch adalah rendahnya 1. Untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja, solusi
penyerapan lulusan Balai Latihan Kerja (BLK). yang dapat dilakukan di antaranya melalui pelatihan
Penyerapan lulusan BLK sejak tahun 2013 sampai kerja di BLK. Jumlah BLK yang melaksanakan
dengan tahun 2016 masih di bawah 50 persen. pelatihan kerja sebanyak 301 BLK yang terdiri atas
2. Belum semua Kementerian Teknis melibatkan para 17 BLK milik Kementerian Ketenagakerjaan dan 284
pemangku kepentingan seperti dunia industri BLK milik Pemerintah Daerah
dalam proses penyusunannya sehingga dunia Provinsi/Kabupaten/Kota.
2. Saat ini telah tersusun sebanyak 643 dokumen
industri kurang memiliki kepedulian dalam
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
penerapan SKKNI di industry (SKKNI) untuk berbagai sektor yang telah ditetapkan
3. Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan vokasi yang oleh Kementerian Ketenagakerjaan..
dilakukan oleh beberapa kementerian dan lembaga 3. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan
belum terintegrasi dengan baik sehingga (Kemnaker), telah membangun sistem atau aplikasi
ketersediaan informasi tentang kompetensi dan Informasi Pasar Kerja (IPK) secara on-line. Saat ini,
jumlah lulusan pendidikan dan pelatihan belum sistem tersebut telah terbangun di 497
kabupaten/kota. IPK merupakan bagian yang
bisa diakses oleh kebutuhan dunia usaha dan
terpenting dalam sebuah sistem penempatan tenaga
industri. kerja secara keseluruhan, sebab melalui IPK, pencari
4. Belum adanya kesamaan persepsi terkait dengan kerja (supply) dapat dipertemukan dengan pemberi
standardisasi dan level dalam penyelenggaraan kerja atau dunia usaha/dunia industri (demand).
pendidikan dan pelatihan vokasi antar- Idealnya, IPK mampu memberikan/menyediakan
kementerian. informasi mengenai situasi dan kecenderungan
5. IPK on-line yang telah dibangun tersebut penawaran dan permintaan tenaga kerja di berbagai
sektor, jabatan, uraian pekerjaan, pendidikan dan
kondisinya belum semuanya dapat berfungsi dan kondisi daerah/wilayah. Berdasarkan informasi
berjalan sesuai harapan. Hal ini disebabkan oleh lengkap dimaksud, IPK dapat memberikan masukan
beberapa faktor, antara lain keterbatasan (input) untuk penyelenggaraan program pelatihan
sumberdaya manusia pengelola perangkat IPK on- vokasi yang dibutuhkan di pasar kerja.
line, ketersediaan data terkini dan akurat mengenai 4. Pendidikan dan pelatihan vokasi yang ideal itu
supply (pencari kerja) dan demand (dunia bersifat demand driven atau selalu menyesuaikan
dengan dinamika kebutuhan riil dunia usaha dan
usaha/industri).
dunia industri. Agar dapat bertransformasi dari
6. Sampai dengan saat ini belum semua industri supply driven ke demand driven, dibutuhkan
mensyaratkan sertifikasi bagi tenaga kerjanya kebijakan dari pemerintah untuk melibatkan pihak
sehingga sertifikasi kompetensi belum menjadi pengguna tenaga kerja dalam pelaksanaan
kebutuhan. pendidikan dan pelatihan vokasi.
7. Pihak industri juga belum melakukan rekognisi 5. SKKNI yang disusun dapat dipergunakan sebagai
terhadap sertifikat kompetensi yang dimiliki oleh acuan dalam penyusunan kurikulum pendidikan dan
pelatihan vokasi di lembaga pendidikan dan
tenaga kerja karena kompetensi belum menjadi
pelatihan vokasi milik pemerintah, serta menjadi
salah satu parameter dalam penentuan upah acuan untuk pelaksanaan sertifikasi kompetensi oleh
tenaga kerja. Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah mendapatkan
8. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi di lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi
Indonesia sebagian besar masih bersifat supply (BNSP).
driven, belum melihat kebutuhan.

Luar

10
Dari Tabel SWOT di atas dapat diambil beberapa kesimpulan. Untuk
STRENGTH dipilih nomor 2 yaitu adanya bonus demografi. Pada tahun 2025
sampai dengan 2035, Indonesia diperkirakan akan mengalami fase bonus
demografi. Bonus demografi tersebut menjadi nilai positif dengan catatan usia
produktif tersebut merupakan penduduk yang berkualitas dan dapat terserap
di dunia usaha dan dunia industri dengan upah yang layak, sehingga memiliki
tabungan yang dapat digunakan untuk investasi pembangunan ekonomi
jangka panjang. Sementara bila melihat WEAKNESS nomor 5, yaitu masih
besarnya angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan SD serta SMP
sebanyak 68,24%. Maka tingkat pendidikan rendah tersebut (SMP ke bawah)
menurunkan daya saing tenaga kerja Indonesia. Kondisi demikian
menyebabkan jumlah angkatan kerja SMP ke bawah sangat kecil
kemungkinan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi

Untuk THREATNESS dipilih nomor 8 yaitu Pelaksanaan pendidikan dan


pelatihan vokasi di Indonesia sebagian besar masih bersifat supply driven,
belum melihat kebutuhan. Artinya sebagian besar lembaga pendidikan dan
pelatihan vokasi masih menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan vokasi
berdasarkan sumber daya yang mereka miliki, tanpa melihat kebutuhan
tenaga kerja di dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan tidak dapat
terserap karena kompetensi yang dimiliki oleh lulusan lembaga pelatihan tidak
sesuai dengan kebutuhan riil dunia usaha dan dunia industri. Kemudian
OPPORTUNITY dipilih nomor 4 (yaitu Pendidikan dan pelatihan vokasi yang
ideal itu bersifat demand driven atau selalu menyesuaikan dengan dinamika
kebutuhan riil dunia usaha dan dunia industri). Hal itu agar dapat
bertransformasi dari supply driven ke demand driven, dibutuhkan kebijakan
dari pemerintah untuk melibatkan pihak pengguna tenaga kerja dalam
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi.
3. Kesimpulan

Maka kesimpulan yang dihasilkan -sebagai sebuah langkah awal- usulannya


adalah adanya pendataan bakat siswa Indonesia. Bakat anak dapat terlihat
nanti, apakah ke pengetahuan alam atau pengetahuan sosial dan/ atau
budaya. Setelah terdeteksi bakatnya, maka yang cocok untuk di dunia IPA
atau teknik bisa mengikuti program link and match dengan dunia usaha.
Kemudian kedua adalah transformasi peran BLK atau Balai Latihan Kerja
menjadi lebih mengutamakan demand driven. Serta mengadopsi cara-cara
untuk menemukan passion anak dalam beraktifitas sesuai dengan bakatnya.
Saat ini ada contoh positif dari Menteri Pendidikan (Nadiem Makarim) yang
pada bulan Maret 2020 lalu telah melantik Dirjen yang mengurusi vokasi di

11
Kemendikbud. Dirjen vokasi ini memang asalnya adalah orang vokasi
(mengambil D3 di UGM, kemudian S1, sampai kemudian S3, dan menjadi
Dekan Vokasi UGM). Diharapkan dengan demikian pengetahuan tentang
vokasi memang di tangan orang yang ahlinya.
Program link and match yang pernah dilakukan antara perusahaan dengan
institusi pendidikan pantas untuk digulirkan kembali. Ditengarai bahwa pada
saat ini masih banyak institusi pendidikan tinggi khususnya untuk vokasi
yang menghasilkan SDM tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Hal
tersebut dapat menyebabkan meningkatnya pengangguran dan juga kerugian
bagi perusahaan itu sendiri. Program link and match adalah sebuah simbiosis
mutualisme antara perusahaan dengan institusi perguruan tinggi. Diperlukan
pola komunikasi multi arah yang dibangun kepada mahasiswa (dan
keluarganya), kepada perguruan tinggi, dan kepada dunia usaha serta
industri.

Daftar Pustaka
Stoner, James AF, Edward Freeman, Daniel Gilbert, Management, Prentice-Hall International
Inc., 6th Edition.

Nasution, Safii, Laporan Tugas Diklat PIM, 2020, unpublished

-, bahan ajar Diklat PIM II (dua), Lembaga Administrasi Negara, 2020

Nugroho, Riant, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, PT. Elex Media
Komputindo, 2003.
https://www.jurnal.id/id/blog/2017-manfaat-faktor-yang-memengaruhi-dan-contoh-analisis-swot/.

12
LAMPIRAN Pengelompokan Mismatch ke dalam Matriks SWOT.

Dalam
Weaknesses Strength
1. Masih besarnya pendangguran. Dari jumlah angkatan kerja (128,08 juta orang), 7. Potensi jumlah penduduk. Indonesia merupakan negara dengan jumlah
sebanyak 7,04 juta orang (5,50%) merupakan penganggur terbuka. penduduk terbesar ke empat di dunia, yang berpenduduk lebih dari 250 juta
2. Berdasarkan tingkat pendidikan penganggur memiliki komposisi: SD sebanyak jiwa.
1,37 juta (2,62%), SMP sebanyak 1,27 juta (5,54%), SMA sebanyak 1,91 juta 8. Adanya bonus demografi. Pada tahun 2025 sampai dengan 2035, Indonesia
(8,29%), SMK sebanyak 1,64 juta (11,41%), DI/II/III sebanyak 0,24 juta diperkirakan akan mengalami fase bonus demografi.
(6,88%), universitas sebanyak 0,61 juta (5,18%). 9. Indonesia memiliki penduduk usia kerja sebanyak 192,08 juta jiwa, yang
3. Bonus demografi dapat menjadi bencana jika penduduk usia produktif yang terdiri atas 128,08 juta jiwa (66,67%) merupakan angkatan kerja dan 64,02
jumlahnya melimpah ini tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk juta jiwa (33,33%) bukan angkatan kerja.
bekerja. Hal ini mengakibatkan meningkatnya pengangguran yang menjadi 10. Dari jumlah angkatan kerja (128,08 juta orang), yang bekerja sebanyak
beban negara. 121,02 juta orang (94,50%)
4. Jumlah pengangguran yang berpendidikan SMK semakin meningkat 11. Penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan memiliki komposisi,
meskipun telah dilakukan peningkatan kualitas lulusan SMK secara berturut-turut: lulusan SD sebanyak 50,98 juta (42,13%), SMP
5. Masih besarnya angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan SD serta SMP sebanyak 21,27 juta orang (17,95%), SMA sebanyak 21,13 juta orang
sebanyak 68,24%. Tingkat pendidikan SMP ke bawah (SD termasuk) masih (17,46%), SMK sebanyak 12,59 juta orang (10,40%), diikuti dengan DI/II/III
besar maka daya saing tenaga kerja Indonesia masih tergolong rendah.
sebanyak 3,28 juta orang (2,27 %) dan universitas sebanyak 11,32 juta
Kondisi demikian menyebabkan jumlah angkatan kerja SMP ke bawah sangat
kecil kemungkinan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi orang (9,35%).
6. Terdapat indikasi rendahnya kompetensi angkatan kerja (56%), hanya 12. Bonus demografi menjadi nilai positif jika usia produktif itu merupakan
sebesar 37 persen yang bekerja sesuai kompetensi dan sekitar 7 persen penduduk yang berkualitas dan dapat terserap di dunia usaha dan dunia
memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari jabatan/pekerjaan. Data dari industri dengan upah yang layak, sehingga memiliki tabungan yang dapat
International Labour Organization (ILO) tahun 2015. digunakan untuk investasi pembangunan ekonomi jangka panjang.

- +
Threatness Opportunity
13. Terjadinya mismatch adalah rendahnya penyerapan lulusan Balai Latihan Kerja (BLK). 21. Untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja, solusi yang dapat dilakukan di
Penyerapan lulusan BLK sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 masih di bawah antaranya melalui pelatihan kerja di BLK. Jumlah BLK yang melaksanakan pelatihan
50 persen. kerja sebanyak 301 BLK yang terdiri atas 17 BLK milik Kementerian Ketenagakerjaan
14. Belum semua Kementerian Teknis melibatkan para pemangku kepentingan dan 284 BLK milik Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
seperti dunia industri dalam proses penyusunannya sehingga dunia industri 22. Saat ini telah tersusun sebanyak 643 dokumen Standar Kompetensi Kerja
kurang memiliki kepedulian dalam penerapan SKKNI di industry Nasional Indonesia (SKKNI) untuk berbagai sektor yang telah ditetapkan
15. Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan vokasi yang dilakukan oleh beberapa oleh Kementerian Ketenagakerjaan..
23. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), telah
kementerian dan lembaga belum terintegrasi dengan baik sehingga
membangun sistem atau aplikasi Informasi Pasar Kerja (IPK) secara on-line.
ketersediaan informasi tentang kompetensi dan jumlah lulusan pendidikan dan Saat ini, sistem tersebut telah terbangun di 497 kabupaten/kota. IPK
pelatihan belum bisa diakses oleh kebutuhan dunia usaha dan industri. merupakan bagian yang terpenting dalam sebuah sistem penempatan
16. Belum adanya kesamaan persepsi terkait dengan standardisasi dan level tenaga kerja secara keseluruhan, sebab melalui IPK, pencari kerja (supply)
dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi antar-kementerian. dapat dipertemukan dengan pemberi kerja atau dunia usaha/dunia industri
17. IPK on-line yang telah dibangun tersebut kondisinya belum semuanya dapat (demand). Idealnya, IPK mampu memberikan/menyediakan informasi
mengenai situasi dan kecenderungan penawaran dan permintaan tenaga
berfungsi dan berjalan sesuai harapan. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kerja di berbagai sektor, jabatan, uraian pekerjaan, pendidikan dan kondisi
faktor, antara lain keterbatasan sumberdaya manusia pengelola perangkat daerah/wilayah. Berdasarkan informasi lengkap dimaksud, IPK dapat
IPK on-line, ketersediaan data terkini dan akurat mengenai supply (pencari memberikan masukan (input) untuk penyelenggaraan program pelatihan
kerja) dan demand (dunia usaha/industri). vokasi yang dibutuhkan di pasar kerja.
18. Sampai dengan saat ini belum semua industri mensyaratkan sertifikasi bagi 24. Pendidikan dan pelatihan vokasi yang ideal itu bersifat demand driven atau
tenaga kerjanya sehingga sertifikasi kompetensi belum menjadi kebutuhan. selalu menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan riil dunia usaha dan dunia

13
19. Pihak industri juga belum melakukan rekognisi terhadap sertifikat kompetensi industri. Agar dapat bertransformasi dari supply driven ke demand driven,
yang dimiliki oleh tenaga kerja karena kompetensi belum menjadi salah satu dibutuhkan kebijakan dari pemerintah untuk melibatkan pihak pengguna
parameter dalam penentuan upah tenaga kerja. tenaga kerja dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi.
25. SKKNI yang disusun dapat dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan
20. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia sebagian besar
kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi di lembaga pendidikan dan
masih bersifat supply driven, belum melihat kebutuhan. pelatihan vokasi milik pemerintah, serta menjadi acuan untuk pelaksanaan
sertifikasi kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah
mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Luar

Keterangan:
- Mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan. Pelatihan kerja dapat dilaksanakan dengan pola pelatihan berbasis kompetensi di lembaga pelatihan kerja kemudian dilanjutkan dengan OJT (On the Job Training) atau dengan
pola pemagangan di tempat kerja. Maka salah solusi yang agile dalam persoalan mismatch ini adalah memperbanyak BLK
- Strength nomor 2 yaitu adanya bonus demografi. Pada tahun 2025 sampai dengan 2035, Indonesia diperkirakan akan mengalami fase bonus demografi. Bonus demografi
tersebut menjadi nilai positif dengan catatan usia produktif tersebut merupakan penduduk yang berkualitas dan dapat terserap di dunia usaha dan dunia industri dengan
upah yang layak, sehingga memiliki tabungan yang dapat digunakan untuk investasi pembangunan ekonomi jangka panjang. Sementara bila melihat weakness nomor 5,
yaitu masih besarnya angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan SD serta SMP sebanyak 68,24%. Maka tingkat pendidikan rendah tersebut (SMP ke bawah)
menurunkan daya saing tenaga kerja Indonesia. Kondisi demikian menyebabkan jumlah angkatan kerja SMP ke bawah sangat kecil kemungkinan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
- Untuk “threatness” dipilih nomor 8 yaitu Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia sebagian besar masih bersifat supply driven, belum melihat kebutuhan.
Artinya sebagian besar lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi masih menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan vokasi berdasarkan sumber daya yang mereka miliki,
tanpa melihat kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan tidak dapat terserap karena kompetensi yang dimiliki oleh lulusan lembaga
pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan riil dunia usaha dan dunia industri. Kemudian “Opportunity” dipilih nomor 4 (yaitu Pendidikan dan pelatihan vokasi yang ideal itu
bersifat demand driven atau selalu menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan riil dunia usaha dan dunia industri. Agar dapat bertransformasi dari supply driven ke demand
driven, dibutuhkan kebijakan dari pemerintah untuk melibatkan pihak pengguna tenaga kerja dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi.

14

Anda mungkin juga menyukai