PEMBANGUNAN MANUSIA
BERBASIS GENDER 2019
ISSN : 2089-3531
Pengarah
Sri Soelistyowati
Pribudiarta Nur Sitepu
Penanggung Jawab
Ali Said
Fakih Usman
Editor
Wisnu Winardi
Yoyo Karyono
Sylvianti Angraini
Anugrah Pambudi Raharjo
Penulis
Dina Nur Rahmawati
Alvina Clarissa
Siska Ayu Tiara Dewi
Pengolah Data
Dina Nur Rahmawati
Desain Kulit
Alvina Clarissa
Sebagai wujud dari fungsi pembinaan dan fasilitasi terhadap kegiatan instansi
pemerintah di bidang statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) telah bekerjasama
dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP & PA) untuk menyusun publikasi “Pembangunan Manusia Berbasis
Gender Tahun 2019”. Publikasi ini berisi indikator statistik dan ulasan tentang
perkembangan pencapaian dua indeks komposit yaitu Indeks Pembangunan
Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
Jakarta, Desember2019
Kepala Badan Pusat Statistik
Dr. Suhariyanto
Ringkasan Eksekutif
IPM dibentuk oleh beberapa komponen, yaitu Umur Harapan Hidup (UHH),
Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Pengeluaran
perkapita yang disesuaikan. Di bidang kesehatan, UHH perempuan selalu
lebih tinggi dibanding laki-laki. Pada tahun 2018 UHH perempuan sebesar
73,19 tahun, lebih besar dibanding UHH laki-laki yang berada di level 69,3
Untuk melihat hubungan antara IPM dan IPG diperlukan pemetaan provinsi
berdasarkan level IPG dan IPM. Oleh sebab itu digunakan analisis kuadran yang
membagi provinsi dalam empat kelompok (kuadran). Kuadran I merupakan
provinsi dengan IPM dan IPG di atas angka nasional. Kuadran II merupakan
provinsi dengan kondisi IPM di atas angka nasional tetapi IPG di bawah angka
nasional. Kuadran III adalah provinsi dengan IPM dan IPG di bawah angka
nasional, sedangkan kuadran IV adalah provinsi dengan kondisi IPM di bawah
angka nasional tetapi IPG di atas angka nasional. Dari hasil pengolahan data,
kuadran III adalah provinsi dengan IPG dan IDG di bawah angka nasional,
sedangkan kuadran IV adalah provinsi dengan kondisi IPG di bawah angka
nasional tetapi IDG di atas angka nasional.
Pada tahun 2018, separuh dari total provinsi di Indonesia berada pada kondisi
provinsi dengan capaian IPM dan IPG berada di bawah angka nasional
(Kuadran III) dan hanya ada 7 provinsi yang berada pada kondisi sebaliknya
(Kuadran I: capaian IPM dan IPG berada di atas angka nasional).
GENDER
5 EQUALITY
Kesetaraan
gender juga
sejalan dengan
tujuan SDGs
lainnya (tujuan
1,2,3,4,6 dan 7)
Kesetaraan Gender
Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kata gender dapat diartikan
sebagai peran dan perilaku yang dibentuk oleh masyarakat melalui proses
sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-
laki. Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki seringkali
ditafsirkan juga sebagai sebuah tuntutan sosial mengenai pantas atau
tidaknya seseorang dalam berperilaku. Tutuntan yang diberikan berbeda
sesuai dengan lingkungannya, namun sebagian besar masih memiliki
pandangan yang sama dalam penyerahan tanggung jawab pengasuha dan
perawatan anak kepada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan
kepada laki-laki.
SDGs:
Indikator nasional
Prevalensi
sebagai tambahan
kekerasan
5.2.1 (a) indikator global (ada
terhadap anak
di dalam lampiran
perempuan.
Perpres).
Proporsi
perempuan
dewasa dan anak
perempuan(umur Indikator nasional
15-64 tahun) yang sesuai dengan
5.2.2* mengalami Indikator global (tidak
kekerasan seksual ada di dalam lampiran
oleh orang lain Perpres).
selain pasangan
dalam 12 bulan
terakhir.
Persentase
Indikator nasional
korban kekerasan
sebagai tambahan
terhadap
5.2.2(a) indikator global (ada
perempuan yang
di dalam lampiran
mendapat layanan
Perpres).
komprehensif.
Proporsi
perempuan umur
20-24 tahun yang
Indikator nasional
berstatus kawin
yang sesuai dengan
atau berstatus
5.3.1* Indikator global (tidak
5.3 Menghapuskan hidup bersama
ada di dalam lampiran
semua praktik sebelum umur
Perpres).
berbahaya, seperti 15 tahun dan
perkawinan usia sebelum umur 18
anak, perkawinan tahun.
dini dan paksa, serta
sunat perempuan. Median usia Indikator nasional
kawin pertama sebagai tambahan
5.3.1(a) perempuan indikator global (ada
pernah kawin di dalam lampiran
umur 25-49 tahun. Perpres).
Indikator nasional
Angka Partisipasi
sebagai tambahan
Kasar (APK)
5.3.1(c) indikator global (ada
SMA/SMK/MA/
di dalam lampiran
sederajat.
Perpres).
RPJMN 2015-2019:
Arah kebijakan dan strategi dalam mewujudkan sasaran sub agenda keenam
tersebut, antara lain:
Selain peluang tersebut, ada pula tantangan yang dihadapi dalam pencapaian
kesetaraan gender di Indonesia, antara lain:
Tujuan Kemen PPPA untuk mendukung upaya pencapaian Visi dan Misi
Kemen PPPA salah satunya adalah meningkatkan kesetaraan gender dalam
pembangunan dengan sasaran sebagai berikut:
Arah kebijakan dan strategi yang dilakukan oleh Kemen PPPA dalam
Dalam kurun waktu 2015 – 2019, Kemen PPPA memiliki target kinerja program
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang diukur dengan
indikator sebagai berikut:
100,53
100,03
60,00 99,61
99,05
98,20
97,55
97,51
95,94
95,50
93,35
93,22
91,44
84,10
40,00
42,54
20,00
0,00
35,39
Norwegia
Malaysia
Indonesia
Vietnam
Brunei Darussalam
Thailand
Kamboja
Jepang
China
India
Laos
Filipina
Singapura
Myanmar
Niger
42,54
Vietnam
Latvia
Thailand
Indonesia
Brunei Darussalam
Malaysia
Kamboja
Jepang
Laos
India
Filipina
China
Singapura
Myanmar
Yaman
Berdasarkan data Human Development Report (HDR), pada tahun 2017 nilai
IPG dunia berada di tingkat 94,12 poin. Dengan nilai IPG yang berada di bawah
100, dapat disimpulkan bahwa secara global pembangunan laki-laki masih
lebih tinggi dibandingkan pembangunan perempuan. Nilai IPG tertinggi
dicapai oleh Latvia dengan nilai sebesar 102,97, sedangkan terendah dicapai
oleh Yaman dengan nilai sebesar 42,54. Latvia adalah negara adalah satu
dari enam negara di dunia yang sepenuhnya menjamin kesetaraan hukum
antara perempuan dan laki–laki dalam pekerjaan dan bisnis. Sedangkan hal
ini berkebalikan dengan keadaan perempuan di Yaman. Budaya di negara ini
membatasi peran wanita dalam berbagai hal, termasuk dalam pendidikan
dan pekerjaan.
Pada level ASEAN angka IPG di Indonesia sendiri berada di peringkat ke-9
dari sepuluh negara dan termasuk satu dari tiga negara ASEAN dengan
nilai IPG di bawah rata-rata dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraaan
pembangunan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih sangat jauh
tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, bahkan masih jauh
di bawah Malaysia (97,55) dan Singapura (98,20) yang posisinya sangat
berdekatan dengan Indonesia. Negara dengan IPG tertinggi di ASEAN adalah
Vietnam dengan nilai sebesar 100,53 dan terendah adalah Kamboja dengan
nilai sebesar 91,44, sedangkan yang nilanya mendekati atau mencapi 100
adalah Thailand (99,61) dan Filipina (100,03).
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Malaysia
Latvia
Vietnam
Thailand
Brunei Darussalam
Indonesia
Kamboja
Jepang
China
Laos
India
Filipina
Singapura
Myanmar
Yaman
Nilai PNB Indonesia berada di bawah rata-rata global baik untuk laki-laki
maupun perempuan, dimana PNB rata-rata dunia adalah 19.525 (2011 PPP $)
untuk laki-laki dan 10.986 (2011 PPP $) untuk perempuan.
Laki-laki Perempuan
0,28
0,06
Vietnam
Kamboja
Malaysia
Thailand
Brunei Darussalam
Latvia
Indonesia
Laos
Jepang
India
Filipina
China
Singapura
Myanmar
Yaman
Nilai IKG Indonesia pada tahun 2017 mencapai 0,45. Dengan nilai ini capaian
Indonesia masih berada di atas rata-rata dunia, namun jika dibandingkan dua
tahun 2015 IKG Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,01. Hal ini dapat
mengartikan bahwa di Indonesia ketimpangan gender telah mengalami
perbaikan meskipun masih dibawah rata-rata dunia.
Pada level ASEAN, IKG terkecil dicapai oleh Singapura dengan nilai sebesar
0,067, sedangkan IKG tertinggi dicapai oleh Kamboja dengan nilai sebesar
0,473. Secara umum IKG negara-negara ASEAN berada pada kisaran antara
0,3 dan 0,4. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan gender di negara-
negara ASEAN masih terjadi, meskipun tidak terlalu besar. Capaian IKG
Indonesia berada di posisi ke empat terbesar di tingkat ASEAN, sedikit lebih
baik dibandingkan Myanmar, Laos, dan Kaboja.
Brunei Darussalam
Malaysia
Vietnam
Thailand
Indonesia
Kamboja
Jepang
India
China
Filipina
Myanmar
Laos
Singapura
Yaman
Salah satu komponen penyusun IKG adalah dari aspek kesehatan. Pada aspek
ini indikator yang digunakan adalah angka kematian ibu (AKI) dan angka
kelahiran pada remaja (AKR). Menurut World Healt Organitation (WHO),
kematian ibu adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari
setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan
Berdasarkan pada data HDR, secara global, AKI pada tahun 2015 adalah
sebesar 216 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini telah turun dari tahun
2014 yang sebesar 221 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut data WHO,
angka kematian ibu yang tinggi paling banyak berada di negara-negara
Afrika, sedangkan kematian ibu yang rendah berada di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa.
Berdasarkan data World Bank, negara dengan capaian AKI terendah di tahun
2015 diantaranya adalah Yunani, Finlandia, dan Polandia, dengan nilai AKI
sebesar 3 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan nilai AKI tertinggi adalah
Sierra Leone dengan AKI sebesar 1.360 per 100.000 kelahiran hidup, diikuti
Republik Afrika di urutan berikutnya dengan AKI 882 per 100.000 kelahiran
hidup.
Di tingkat ASEAN nilai AKI tertinggi dicapai Laos (197 per 100.000 kelahiran
hidup), sedangkan AKI terendah dicapai oleh Singapura (10 per 100.000
kelahiran hidup). Semua negara di ASEAN memiliki nilai AKI di bawah rata-
rata dunia (Gambar 2.6). Sejak Deklarasi Milinium pada tahun 2000 dan
pembentukan dari MDG’s, focus pada meningkatkan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir semakin meningkat (Bhandari,2012). Hal ini juga berlaku bagi
negara-negara ASEAN, dimana tujuan pembangunan millenium ke-4 dan
ke-5 merupakan agenda prioritas bagi semua anggota negara-negara ini.
Brunei Darussalam
Malaysia
Vietnam
Thailand
Indonesia
Kamboja
Jepang
China
India
Laos
Singapura
Filipina
Yemen
Myanmar
Sumber : Human Development Report
Indikator lain yang digunakan pada aspek kesehatan adalah angka kelahiran
pada remaja (Adolescent Birth Rate/ABR). Menurut WHO, angka kelahiran
remaja adalah jumlah perempuan berusia 15-19 tahun yang melahirkan per
1000 wanita di kelompok usia tersebut. UNFPA (2009) menyebutkan bahwa
indikator ini hanya memperhitungkan kelahiran hidup dan tidak mencakup
kelahiran mati atau aborsi spontan.
Angka kelahiran remaja menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan
diatasi oleh pemerintah karena resiko yang ditimbulkannya dan sangat penting
sebagai bagian dalam upaya meningkatkan kesehatan serta kesejahteraan
sosial dan ekonomi remaja, terutama remaja perempuan. Perempuan yang
hamil dan melahirkan di usia muda memiliki resiko komplikasi yang lebih
besar selama masa kehamilan dan kelahiran, selain itu juga berisiko terhadap
kondisi anak yang dilahirkan.
Pada selang waktu 2015 hingga 2020, secara global, terdapat 43 sampai
44 kelahiran per 1000 penduduk usia 15-19 tahun. Sedangkan pada level
ASEAN, secara umum terdapat 40 hingga 50 kelahiran per 1000 penduduk
usia 15-19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa angka kelahiran pada remaja
di negara-negara ASEAN masih cukup tinggi. ABR terendah di ASEAN dicapai
Gambar 2.8 ABR per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun di Negara-
negara ASEAN dan Negara Lainnya, 2015-2020
60,35 60,50 62,63
27,28 28,68
23,07
13,41
10,27
4,08 6,41
2,99 3,68
Thailand
Swiss
Brunei Darussalam
Malaysia
Vietnam
Indonesia
Kamboja
Jepang
India
China
Filipina
Singapura
Laos
Myanmar
Yemen
99,5
89,8 90,9 95,2
80,2 81,5 86,3 86,9 88,4
70,7 70,9 72,5 73,3 75,8 77,0
Brunei…
Malaysia
Swiss
Vietnam
Kamboja
Thailand
Indonesia
Filipina
Laos
China
Jepang
India
Singapura
Myanmar
Yemen
Vietnam
Indonesia
Thailand
Kamboja
Laos
Singapura
Darussalam
Filipina
Myanmar
Brunei
Laki-laki Perempuan
Sumber : Human Development Report
Indonesia berada di urutan kelima dari sepuluh negara ASEAN dengan nilai
partisipasi perempuan pada pendidikan sebesar 44,47 persen, yang berarti
bahwa jumlah perempuan di Indonesia yang mengeyam pendidikan lebih
dari SMP ke atas belum mencapai setengah penduduk. Nilai ini tergolong
Aspek ketiga dalam penghitungan IKG adalah dimensi pasar tenaga kerja.
Indikator yang digunakan pada aspek ini adalah tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan. Nilai TPAK perempuan di seluruh
negara anggota ASEAN masih di bawah TPAK laki-laki. Kesenjangan antara
perempuan dan laki-laki bervariasi, selisih TPAK laki-laki dan perempuan
berkisar antara 3 hingga 31 persen. Negara ASEAN dengan TPAK perempuan
tertinggi adalah Kamboja dengan nilai sebesar 80,90 persen, sedangkan yang
terendah adalah Filipina dengan nilai sebesar 49,60 persen. Beberapa negara
yang memiliki selisih TPAK laki-laki dan perempuan relatif kecil diantaranya
adalah Laos, Kamboja, dan Vietnam.
TPAK laki-laki di inonesia adalah sebesar 81,80 persen dan merupakan yang
tertinggi ketiga di ASEAN. Hal ini berkebalikan dengan TPAK perempuan
yang baru mencapai 50,70 persen dan berada pada urutan terakhir di
ASEAN. Perbedaan antara TPAK laki-laki dan perempuan di Indonesia juga
merupakan yang terbesar di ASEAN dengan selisih nilai mencapai 31,10
persen. Hal ini mengindikakan bahwa partisipasi perempuan dalam tenaga
kerja tergolong masih sangat rendah dan perlu mendapat perhatian khusus
untuk ditingkatkan.
Laki-laki Perempuan
Sumber : Human Development Report
Dengan adanya ukuran terpisah antara IPM laki-laki dan IPM perempuan, maka
analisis tentang kualitas hidup masing-masing kelompok gender tersebut
dapat dilakukan secara parsial. Kualitas manusia dalam IPM diukur dari
dimensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Komponen pembentuk IPM
yang digunakan adalah umur harapan hidup (mewakili dimensi kesehatan),
angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah (mewakili dimensi
pendidikan), serta pengeluaran konsumsi (mewakili dimensi ekonomi).
74,85 75,43
73,36 73,58 74,26
71,98 72,69
70,94 71,45 70,81 71,39
69,55 70,18
68,31 68,90
67,09 67,70
66,53
68,08 68,63
66,98 67,44
65,56 66,27
63,96 64,83
63,43
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Pada aspek kesehatan, nilai umur harapan hidup perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Hal sangat terkait dengan female advantages (FA),
terutama faktor biologis dan tingkah laku atau kebiasaan dari setiap gender.
Berdasarkan pada Lemaire (2002), secara biologis perempuan memiliki gen
dan hormon yang menguntungkan untuk hidup lebih lama. Sedangkan dari
segi gaya hidup, laki-laki lebih memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
karena stres, kebiasaan merokok, dan pekerjaan berat. Namun demikian,
secara praktik di beberapa wilayah, female advantages lebih kecil sebagai
akibat tindakan diskriminasi, kekerasan, dan budaya yang menyebabkan
rendahnya peluang akses perempuan dalam bidang kesehatan.
Meskipun UHH perempuan lebih besar dari laki-laki, namun dari aspek
kesehatan yang lain seperti morbiditas dan keluhan kesehatan, perempuan
masih di atas laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun perempuan
memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang, tetapi perempuan lebih
rentan dalam mengalami sakit. Hal ini terkait dengan karakter fisik perempuan
yang secara umum lebih lemah dibandingkan laki-laki.
50,37
46,78
32,58
29,36
13,46 14,36
Laki-laki Perempuan
12,93 12,99
12,79
12,68
12,40
12,78 12,84
12,13 12,67
12,37 12,42
11,75
11,56 12,07
11,37
11,63
11,41
11,20
2,69
2,17
1,15
0,59
0,44
Laki-laki Perempuan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, angka putus sekolah di
jenjang SD/sederajat, SMP/sederajat dan SMA/sederajat pada perempuan
lebih rendah dari angka laki-laki. Tingginya angka putus sekolah ini
bersesuaian dengan angka harapan sekolah, dimana angka harapan lama
sekolah yang rendah diikuti dengan angka pputus sekolah yang juga tinggi.
Alasan tingginya angka putus sekolah pada laki-laki terkait dengan kebiasan
di masyarakat yang mendorong anak laki-laki untuk bekerja di usia muda
demi membantu perekonomian orang tuannya.
8,73
8,21
5,71 5,63
Laki-laki Perempuan
Sumber : Badan Pusat Statistik
Tingginya angka putus sekolah juga tidak terlepas dari banyaknya pekerja
anak. Hal ini terkait dengan banyaknya anak yang berperan membantu orang
tuanya dalam mendukung ekonomi keluarga. Berdasarkan data SUSENAS
oleh BPS tahun 2018, pekerja anak di Indonesia masih didominasi oleh anak
Salah satu ukuran capaian pada bidang pendidikan adalah rata-rata lama
sekolah, berbeda dengan harapan lama sekolah yang memperlihatkan
capaian jangka pendek, rata-rata lama sekolah menggambarkan capaian
pendidikan jangka panjang. Rata-rata lama sekolah didefinisikan sebagai
jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk laki-laki dan perempuan usia
25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2018 rata-rata pendidikan
laki–laki sekitar 1 tahun lebih lama dibandingkan perempuan. Pada tahun
2018, rata-rata pendidikan yang dijalani oleh laki-laki adalah sekitar 8,62
Berdasarkan data statistik kesejahteraan rakyat dari BPS, pada tahun 2018
rasio APS kelompok umur 7-12 tahun telah mencapai angka 100 yang
103,67 103,58
102,65 102,98 102,90
102,56 102,25 101,72
102,30 101,61 101,85
101,32
100,46 100,46 100,94 101,17
101,55
100,59 100,41 100,41 100,20 100,13 100,07 100,18 100,10
99,07
96,94
7-12
Sumber : Statistik Kesejahteraan Rakyat 2018, BPS 13-15 16-18
Kesetaraan gender juga dapat dilihat dari ada tidaknya perbedaan capaian
perempuan dan laki-laki dalam perekonomian. Dalam konteks kesetaraan
gender, indikator yang dapat menunjukan ada tidaknya perbedaan adalah
data upah dan pendapatan perkapita. Namun karena masalah ketersediaan
data upah dan pendapatan perkapita, maka indikator ini kemudian digantikan
dengan data pengeluaran perkapita yang disesuaikan sebagai proksi.
11.059
10.420 10.664
9.903 10.150
9.647 9.815 9.858
9.437
9.042
8.591 8.752
8.189 8.316 8.464
8.063
7.571 7.688
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Selama kurun waktu tahun 2010 hingga 2018, nilai rasio pengeluaran
perkapita perempuan terhadap laki-laki selalu berada di kisaran antara 0,546
hingga 0,58. Rendahnya tingkat pengeluaran perempuan menjadi indikasi
rendahnya kesejahteraan perempuan. Rasio ini memiliki kecenderungan
untuk meningkat, namun peningkatannya relatif lambat. Meskipun hal ini
mengindikasikan bahwa untuk mencapai kondisi yang seimbang masih
dibutuhkan waktu yang panjang, tetapi peningkatan ini setidaknya menjadi
sinyal positif bahwa perkembangannya sudah berada pada jalur yang benar,
tinggal ditambahkan berbagai upaya untuk mempercepat pencapaiannya.
0,598 0,590
0,588 0,586 0,582
0,580
0,571
0,546 0,550
Sementara itu, apabila ditinjau dari rasio upah, perbandingan antara upah
pekerja perempuan dan laki-laki pada periode 2014-2018 berada pada
kisaran 0,79 hingga 0,86 dan pada tahun 2018 berada pada posisi 0,80. Angka
ini relatif tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya, bahkan sama dengan kondisi tahun 2014. Hal ini menunjukan
bahwa perbandingan upah pekerja perempuan dan laki-laki mengalami
stagnansi dengan perbedaan yang cukup besar dan relatif masih jauh untuk
menuju keseimbangan yang ideal.
Pembangunan yang merata antar wilayah merupakan salah satu tujuan dari
otonomi daerah. Pembangunan yang terjadi di Indonesia tidak hanya terfokus
pada cakupan nasional tapi juga memperhitungkan disparitas yang terjadi
antar wilayah. Pada kasus Indonesia, perbandingan pembangunan di wilayah
timur (KTI) dan barat (KBI) memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik
dari segi potensi wilayah, sumber daya manusia, infrastruktur, budaya, dan
berbagai karakteristik lainnya, dimana wilayah barat lebih maju dibandingkan
wilayah timur.
Ketimpangan yang terjadi antara dua wilayah ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah akses pembangunan (geografi) di wilayah timur
yang relatif lebih sulit untuk dijangkau dan masih terkonsentrasinya sumber
Lebih dari setengah (10 provinsi) di wilayah KTI secara total (laki-laki dan
perempuan) memiliki capaian pembangunan masusia pada kategori
sedang dan terdapat sebanyak 7 provinsi yang berada di kategori tinggi.
Hal ini berbeda dengan wilayah KBI yang sebagian besar provinsinya (14
provinsi) berada di kategori tinggi, bahkan ada satu provinsi yang berada
dikategori sangat tinggi. Secara keseluruhan Jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, capaian pembangunan manusia di Indonesia secara
keseluruhan telah mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2018 tidak
ada lagi provinsi yang berada pada kategori rendah.
Apabila ditinjau berdasarkan gender, terlihat bahwa IPM laki-laki di KTI dan
KBI pada tahun 2018 banyak yang berada di kategori tinggi dan bahkan di 2
provinsi KBI dan 1 provinsi di KTI capaian IPM sudah barada di kategori sangat
tinggi (Tabel 3.2). Hal ini berkebalikan dengan capaian IPM perempuan,
dimana capaiannya di banyak provinsi masih berada pada kategori sedang
dan bahkan di 2 provinsi di KTI masih berada di kategori rendah.
Tabel 3.2 Jumlah Provinsi di KBI dan KTI Menurut Jenis Kelamin
dan Status Pembangunan Manusia, 2017 dan 2018
2017 2018
Jenis Kelamin Kategori IPM
KBI KTI KBI KTI
Rendah 0 0 0 0
Sedang 0 4 0 3
Laki-laki
Tinggi 15 12 15 13
Sangat Tinggi 2 1 2 1
Rendah 0 2 0 2
Sedang 12 14 12 14
Perempuan
Tinggi 5 1 5 1
Sangat Tinggi 0 0 0 0
Rendah 0 1 0 0
Laki-laki + Sedang 5 13 2 10
Perempuan Tinggi 11 3 14 7
Sangat Tinggi 1 0 1 0
Sumber: Badan Pusat Statistik
94,79
90,99
80,11
NTB
Maluku
NTT
Banten
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Kalimantan Tengah
DI Yogyakarta
Kalimantan Timur
Papua Barat
Sumatera Barat
Kep. Riau
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Aceh
Sumatera Utara
Sulawesi Tenggara
Lampung
Maluku Utara
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
Kalimantan Barat
Kep. Bangka Belitung
Papua
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Bali
Sulawesi Selatan
Bengkulu
Riau
Sumber: Badan Pusat Statistik
Perbedaan capaian pembangunan manusia antara KTI dan KBI masih menjadi
masalah yang harus diselesaikan agar capaian pembangunan di kedua
wilayah ini menjadi lebih berimbang. Hal ini juga sejalan dengan semangat
Nawa Cita poin ke tiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Pada tahun 2018, IPG tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Utara, diikuti
oleh DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Bali pada urutan ke dua
hingga ke lima. Sejak tahun 2017 nilai IPG Sulawesi Utara telah menduduki
peringkat pertama dan masih bertahan pada tahun 2018. Salah satu faktor
yang mendukung IPG Sulawesi Utara berada di posisi pertama adalah
komponen harapan lama sekolah perempuan dan rata-rata lama sekolah
perempuan yang meningkat lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Tabel 3.3 Jumlah Provinsi di KBI dan KTI Menurut Jenis Kelamin
dan Status Pembangunan Manusia, 2017 dan 2018
Provinsi yang menempati urutak terakhir IPG berada di daerah paling timur
Indonesia, yaitu Papua. Besarnya kesenjangan capaian pembangunan antara
perempuan dan laki-laki di Papua terutama disebabkan oleh ketimpangan
pendapatan dan rata-rata lama sekolah. Secara umum, provinsi dengan
nilai IPG rendah cenderung memiliki perbedaan antara upah yang diterima
pekerja perempuan dan laki-laki dalam nilai yang cukup besar.
Laki-laki Perempuan
IPG merupakan rasio dari IPM perempuan dan laki-laki, sehingga perubahan
dari IPM baik perempuan maupun laki-laki, akan mempengaruhi peningkatan
ataupun penurunan IPG. Pertumbuhan IPM perempuan yang lebih tinggi dari
laki-laki akan meningkatkan IPG, begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, pertumbuhan IPG terendah dicapai oleh Gorontalo yang turun
sebesar 0,01 poin. Selain menjadi satu-satunya provinsi yang mengalami
penurunan IPG, provinsi Gorontalo juga menjadi salah satu provinsi dengan
nilai IPG terendah. Hal ini berbeda dengan provinsi Bali dan DKI Jakarta,
meskipun memiliki pertumbuhan IPG yang rendah, tetapi kedua provinsi
tersebut memiliki nilai IPG yang cukup tinggi.
Pertumbuhan Pertumbuhan
Selisih Pert.
IPG IPM IPM
IPG IPG
Provinsi Laki-laki Perempuan
2017-
2017 2018 (%) (%) 2018
(%)
Pertumbuhan IPG Tertinggi
Papua 79,38 80,11 1,39 2,32 0,73 0,92
Kalimantan Utara 85,96 86,74 0,87 1,79 0,79 0,91
Sulawesi Barat 89,44 90,05 0,91 1,59 0,60 0,67
Kalimantan Barat 86,28 86,74 0,90 1,43 0,46 0,53
Sulawesi Tengah 91,66 92,08 1,00 1,46 0,41 0,45
Pertumbuhan IPG Terendah
Kalimantan
88,60 88,61 0,74 0,75 0,00 0,00
Selatan
Meskipun pada tahun 2018 IPM perempuan tidak ada yang mengalami
penurunan, tetapi kesenjangan dengan IPM perempuan dan laki-laki masih
terlihat sangat nyata. Jumlah kabupaten/kota dengan capaian IPM laki-laki
yang berada di kategori tinggi sudah mencapai 322, sedangkan jumlah
kabupaten/kota dengan capaian IPM perempuan pada kategori yang sama
baru mencapai 114. Bahkan kabupaten/kota dengan capaian IPM laki-laki
pada kategori yang sangat tinggi (lebih dari 80) jumlahnya mencapai hampir
5 kali lipat dari jumlah kabupaten/kota dengan kategori pencapaian IPM
perempuan dalam kategori yang sama.
118 114
92
59
15 13
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Sulawesi Barat
NTT
Maluku
Jawa Tengah
Kalimantan Tengah
Banten
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Kalimantan Timur
Sumatera Barat
Lampung
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Kalimantan Selatan
Aceh
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Sumatera Utara
Maluku Utara
Gorontalo
Papua
Bengkulu
Sulawesi Selatan
Jambi
Riau
Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Bali
Pada tahun 2018 terdapat dua kabupaten yang memiliki nilai IPG tinggi (lebih
dari 90), namun nilai memiliki IPM perempuan dan laki-laki berada pada
kategori rendah (Table 3.6). Kabupaten tersebut adalah Lanny Jaya dan Sabu
Rijua.
Selain itu, pada pada tahun 2018 juga terdapat satu kabupaten dengan
kategori IPG yang rendah (kurang dari 90) yang memiliki IPM perempuan dan
laki-laki yang tinggi (Kota Batu) dan terdapat empat kabupaten/kota yang
memiliki nilai IPG rendah yang memiliki IPM perempuannya tinggi dan IPM
laki-laki sangat tinggi, yaitu Kota Gresik, Balikpapan, Samarinda, Bontang, dan
Gorontalo.
Sangat
0 0 0 0
Tinggi
Rendah 2 4 0 0
Sedang 0 52 91 0
IPG ≥ 90 Tinggi 0 0 68 41
Sangat
0 0 0 13
Tinggi
Sumber: Badan Pusat Statistik
Nilai IPG tertinggi pada tahun 2018 dicapai oleh Kota Tomohon dengan IPG
sebesar 99,2. Namun demikian, IPM perempuan dan laki-laki Kota Tomohon
bukan merupakan yang tertinggi. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa
kabupaten/kota yang memiliki nilai IPG tinggi lainnya, seperti Nagekeo,
Di sisi yang lain, capaian kabupaten/kota dengan nilai IPG yang terendah juga
didominasi oleh kabupaten/kota yang berada di wilayah timur Indonesia.
Dimana nilai IPG yang rendah dari kawasan timur Indonesia ini juga memiliki
nilai IPMyang rendah pula.
Tabel 3.6 Jumlah Provinsi di KBI dan KTI Menurut Jenis Kelamin
dan Status Pembangunan Manusia, 2017 dan 2018
INDONESIA
STATISTIK
4 KONDISI
PEMBERDAYAAN
GENDER DI INDONESIA
Sinyal Positif Pemberdayaan Gender
Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja 83.47 51.08 82.69 51.88 -0.93 1.57
(TPAK)
Persentase
penduduk 15 tahun
yang bekerja 77.13 46.13 78.23 49.15 1.42 6.56
terhadap penduduk
15 tahun
Tingkat
Pengangguran 7.59 9.69 5.4 5.26 -28.85 -45.72
Terbuka (TPT)
Sumber: Keadaan Angkatan Kerja Agustus 2008 dan 2018
71,74
72,10
71,39
70,68 70,83
70,46
70,07
69,14
68,15
17,32 17,32
36,62 36,70
46,31 47,02
Peran aktif perempuan dalam politik dapat dilihat dari komposisi dan
kontribusi dalam lembaga-lembaga strategis, salah satunya parlemen.
Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi salah satu indikator SDGs
yang tercantum pada Target 5.5 “Menjamin Partisipasi Penuh dan Efektif,
dan Kesempatan yang Sama Bagi Perempuan untuk Memimpin di Semua
Tingkat Pengambilan Keputusan dalam Kehidupan Politik, Ekonomi, dan
Masyarakat”, indikator 5.5.1* “Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di
Parlemen Tingkat Pusat, Parlemen Daerah dan Pemerintah Daerah”. Selain itu,
isu keterwakilan perempuan juga menjadi hal penting yang tercantum dalam
Sumber: www.kpu.go.id
47,59 47,02
46,03 46,31
45,75 45,61
45,22 44,82
44,02
Laki-laki Perempuan
melebihi laki-laki (Gambar 4.4). Kondisi ini sangat berbeda dibanding tahun-
tahun sebelumnya, terutama bila dibandingkan dengan tahun 2010.
77,20 76,47
71,61 70,42 69,40 70,50 69,39 68,04 66,83
Laki-laki Perempuan
Namun demikian kondisi ini belum dapat diwujudkan dengan baik. Pada
tahun 2018, jumlah pejabat struktural PNS yang diduduki oleh perempuan
baru mencapai sekitar 33 persen. Meski cenderung mengalami peningkatan,
tetapi capaiannya relatif lambat, sehingga untuk mencapai kondisi yang
diharapkan masih diperlukan upaya yang keras dan dalam waktu yang tidak
sebentar. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya jumlah
pejabat struktural PNS perempuan di Indonesia adalah budaya patriarki yang
masih kuat (Arjani, 2003).
36,62 36,70
36,42
36,03
35,64
35,17
34,70
34,16
33,50
13,17 14,77
25,22 30,19
34,80 37,04
29,80
30,02
18,75 18,29
14,47
13,43
23,35 18,37 21,30 16,22
9,93 12,14 8,61 10,14
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
2013 2018
34,22
42,04
65,78
57,96
Formal Informal
Laki-laki Perempuan
Sumber: Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2018
Di dalam sektor informal sendiri juga tak lepas dari masalah ketimpangan
gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kachere (2017) menemukan bahwa
pekerja informal laki-laki mendapatkan penghasilan yang lebih besar
dibanding pekerja informal perempuan. Hal ini terjadi karena pekerja informal
70,00
60,00
51,04
50,00
40,00
30,00
Papua
Bengkulu
Kalimantan Utara
Aceh
Jambi
Sulawesi Tengah
DKI Jakarta
Maluku Utara
Jawa Timur
Kep. Riau
Lampung
Sulawesi Utara
Maluku
Riau
Jawa Tengah
Bali
Papua Barat
Banten
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Jawa Barat
NTB
Kalimantan Selatan
Sumatera Utara
Gorontalo
NTT
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Secara nasional, IDG Indonesia 2018 berada pada level 72,10. Sebayak 24
(70 persen) provinsi berada di bawah angka nasional dan hanya terdapat
10 provinsi dengan capaian IDG di atas nasional. IDG tertinggi dicapai oleh
Provinsi Sulawesi Utara (80,91), sedangkan IDG terendah dicapai oleh Provinsi
Papua Barat (51,04).
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
NTB
Maluku
Banten
Sulawesi Barat
NTT
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Papua Barat
Kalimantan Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Kep. Riau
Lampung
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara
Sumatera Barat
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Jawa Barat
Aceh
Jambi
Gorontalo
Sumatera Utara
Maluku Utara
Papua
Bali
DKI Jakarta
Riau
Bengkulu
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Deiyai 38.42 41.12 511 509 0.00 0.00 21.15 22.96 61.89 59.56
Mamberamo 53.42 41.04 423 510 10.00 10.00 19.98 7.68 44.60 45.64
Tengah
Paniai 50.92 40.79 454 511 4.00 0.00 27.04 19.89 47.96 47.91
Sumbawa Barat 38.03 38.69 512 512 0.00 0.00 51.32 50.05 20.00 20.42
Halmahera 38.52 38.54 510 513 0.00 0.00 48.92 46.26 21.10 21.26
Selatan
Asmat 28.71 29.22 514 514 4.00 4.00 4.57 4.44 38.21 39.68
DAN PEMBANGUNANSTATISTIKMANUSIA
PEMBANGUNAN MANUSIA CENDERUNG
DIIKUTI PEMBANGUNAN GENDER
5 KETERKAITAN
KESETARAAN GENDER DAN
PEMBANGUNAN MANUSIA
IPM dan IPG menjadi indikator dalam melihat capaian pembangunan manusia
dan pembangunan gender. Suatu daerah diharapkan bukan hanya mampu
meningkatkan kualitas hidup manusia namun juga mengurangi kesenjangan
pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, idealnya
daerah dengan IPM yang tinggi akan mendorong pada pembangunan
gender yang lebih baik.
Sebaran IPM dan IPG tahun 2018 menurut wilayah di Indonesia ditunjukkan
oleh Gambar 5.1 dan Gambar 5.2. Kedua gambar menunjukkan pola yang
searah, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Wilayah dengan
IPM tinggi akan memiliki nilai IPG yang tinggi pula, begitupun sebaliknya. IPM
dan IPG berhubungan positif dengan koefisien korelasi Pearson 0,59 pada
level provinsi dan 0,57 pada level kabupaten/kota.
DI Yogyakarta
95
NTT DKI Jakarta
90 Sulawesi Barat
IPG
85 Kalimantan Timur
Papua Barat
80 Papua
75
58 63 68 73 78 83
IPM
Dengan hubungan yang positif berarti daerah dengan IPM tinggi akan
cenderung memiliki IPG yang tinggi juga, begitu pula sebaliknya. Kondisi
ini ditunjukkan oleh capaian Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta dan
Kota Yogyakarta yang selain mampu meningkatkan kualitas hidup manusia,
juga berhasil mewujudkan kondisi yang seimbang antara pembangunan
laki-laki dan perempuan. Kondisi sebaliknya ditunjukkan oleh Provinsi
Papua Barat, Provinsi Papua dan Kabupaten Asmat. Selain memiliki capaian
pembangunan manusia yang rendah, daerah-daerah tersebut juga belum
berhasil mewujudkan pembangunan gender yang seimbang.
90
Kota
Nduga Yogyakarta
80
Paser
IPG
70
60
Asmat
50
40
20 30 40 50 60 70 80 90
IPM
Selain kondisi seperti pada beberapa daerah yang telah dibahas, ada beberapa
daerah lain yang juga cukip unik. Sebagai contoh, beberapa wilayah memiliki
Untuk melihat lebih dalam dan menghindari potensi salah tafsir terhadap
IPG, kita perlu memperhatikan indikator penyusunnya, yaitu IPM. Karena IPG
dibentuk dari rasio IPM perempuan terhadap IPM laki-laki, maka IPG yang
rendah dapat terjadi karena IPM perempuan jauh di bawah IPM laki-laki,
sedangkan IPG yang tinggi dapat terjadi karena IPM laki-laki dan perempuan
yang hampir setara, bisa sama-sama tinggi, sama-sama sedang, atau bahkan
sama-sama rendah. Kondisi seperti yang tersebut terakhir terjadi di Provinsi
NTT, Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Nduga. Capaian IPM di Provinsi
NTT dan Provinsi Sulawesi Barat masih berada di level “Rendah” namun IPG di
kedua wilayah tersebut mampu melampaui angka 90. Fenomena yang lebih
ekstrim terjadi di Kabupaten Nduga. IPM di Kabupaten Nduga berada di level
“Sangat Rendah”, bernilai 28-33 untuk IPM baik total maupun laki-laki dan
perempuan. Meski demikian, IPG di Kabupaten Nduga bernilai lebih dari 80.
Gambar 5.3 Hubungan Antara IPM dan IPG, 2014, 2016, dan 2018
Sementara itu, pada tahun 2018 terdapat 8 provinsi dengan IPG di atas
angka nasional tetapi memiliki IPM di bawah angka nasional (Kuadran IV).
Capaian IPG yang tinggi di provinsi-provinsi tersebut tersusun dari capaian
pembangunan manusia laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih
rendah. Selain itu juga terdapat 2 provinsi dengan capaan IPM di atas angka
nasional tetapi memiliki IPG di bawah rata-rata nsional (Kuadran II), yakni Riau
dan Kalimantan Timur. Di kedua provinsi tersebut, ketimpangan pendapatan
antara laki-laki dan perempuan sangat tinggi. Hal ini salah satunya dapat
terkait dengan lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang dominan
di wilayah tersebut. Kedua lapangan usaha tersebut lebih banyak menyerap
tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan.
Pertumbuhan IPG
Sumatera Utara 6 kali lebih
Sumatera Kuadran Kuadran Kuadran lambat dibanding pertumbuhan
Utara III IV III IPG nasional sehingga
pembangunan gender menjadi
di bawah angka nasional
90
80 Sulawesi Utara
70 Papua
IDG
60
40
75 80 85 90 95 100
IPG
Keterkaitan antara IPG dan IDG menunjukkan hubungan yang positif, baik di
tingkat provinsi (Gambar 5.4) maupun di tingkat kabupaten/kota (Gambar
5.5). Artinya, wilayah dengan tingkat pembangunan gender yang tinggi
Gambaran hubungan antara IPG dan IDG yang unik ditunjukkan oleh Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Papua Barat, dan Kabupaten Asmat. Provinsi Sulawesi
Utara telah mampu mencapai kesetaraan dalam hal kualitas pembangunan
antara laki-laki dan perempuan, juga pemberdayaan gender. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai IPG dan IDG yang tinggi. Hal sebaliknya terjadi
pada Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Asmat yang memiliki tingkat
pembangunan dan pemberdayaan gender rendah.
Selain dua kondsi di atas, hubungan IPG dan IDG beberapa daerah juga
menunjukkan kondisi yang tidak kalah menarik. Sebagai contoh Provinsi
Papua dan Kabupaten Manokwari Selatan. Dua daerah tersebut memiliki
IPG rendah tetapi IDG tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh persentase
perempuan di parlemen yang cukup tinggi, bahkan Manokwari Selatan
menjadi daerah dengan persentase perempuan dalam parlemen tertinggi
di Papua Barat. Selain itu, komponen sumbangan pendapatan juga menjadi
penyumbang IDG Papua yang mampu melonjak 7 tingkat dari rangking 29 di
tahun 2017 menjadi rangking 22 di tahun 2018.
90
80
Manokwari
70 Selatan
60
IDG
50
40
20
40 50 60 70 80 90 100
IPG
Capaian IPG dan IDG setiap provinsi dikelompokkan ke dalam empat kuadran,
yaitu:
• Kuadran III : Kelompok ketiga, adalah provinsi dengan IPG dan IDG di
bawah angka nasional; dan
Sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki nilai IPG dan IDG di bawah
angka nasional (kuadran III). Kondisi ini cenderung stangnan selama periode
tahun 2014-2018. Hal serupa juga terjadi di kuadran IV, terdapat 3 provinsi
yang berada di kuadran ini yakni Riau, Kalimantan Tengah dan Maluku Utara.
Provinsi-provinsi di kuadran IV memiliki kualitas pembangunan gender di
bawah angka nasional, tetapi memiliki capaian pemberdayaan gender di atas
angka nasional. Tingginya capaian IDG di ketiga provinsi ini terutama
disebabkan oleh indikator persentase perempuan dalam parlemen yang
mencapai lebih dari 20 persen.
• Kecepatan pembangunan
perempuan melambat hingga
Sumatera Kuadran Kuadran Kuadran IPG di bawah nasional.
Utara III II III • Pembangunan dan pember-
dayaan gender lebih rendah
dari angka nasional
• Pada tahun 2018, IDG Indonesia berada pada level 72,10. Capaian ini
Kesimpulan
85
meningkat 0,36 poin atau tumbuh 0,50 persen dibanding tahun 2017.
Peningkatan IDG terjadi karena kenaikan pada dua komponen, yaitu
persentase perempuan sebagai tenaga profesional dan sumbangan
pendapatan perempuan. Pertumbuhan IDG pada periode tahun 2017-
2018 cenderung lambat jika dibandingkan tren pertumbuhan selama
8 tahun terakhir.
2019
LAMPIRAN
Lampiran 1. IPM dan Komponennya Menurut Provinsi dan
Kabupaten/Kota, 2017/2018
Pengeluaran
Umur Harapan Harapan Lama Rata-rata
per Kapita
Provinsi/ Hidup Sekolah Lama Sekolah IPM
disesuaikan
Kabupaten/Kota
(tahun) (persen) (tahun) (ribu rupiah PPP)
2017 2018 2017 2018 2017 2018 2017 2018 2017 2018
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
ACEH 69.52 69.64 14.13 14.27 8.98 9.09 8957 9186 70.60 71.19
SIMEULUE 64.90 65.00 13.23 13.25 9.06 9.07 6677 6824 64.41 64.74
ACEH SINGKIL 67.07 67.16 14.28 14.29 7.84 8.05 8230 8506 67.37 68.02
ACEH SELATAN 63.89 64.02 13.80 14.15 8.33 8.38 7567 7891 65.03 65.92
ACEH TENGGARA 67.62 67.77 13.97 13.98 9.63 9.64 7359 7685 68.09 68.67
ACEH TIMUR 68.33 68.44 13 13.01 7.80 7.85 7961 8252 66.32 66.82
ACEH TENGAH 68.53 68.62 14.24 14.25 9.67 9.68 10021 10394 72.19 72.64
ACEH BARAT 67.62 67.72 14.57 14.58 9.04 9.08 8989 9134 70.20 70.47
ACEH BESAR 69.52 69.59 14.49 14.70 9.93 10.14 8965 9192 72 72.73
PIDIE 66.58 66.68 14.25 14.44 8.76 8.81 9377 9492 69.52 69.93
BIREUEN 70.80 70.92 14.80 14.81 9.16 9.17 8237 8378 71.11 71.37
ACEH UTARA 68.54 68.61 14.42 14.68 8.10 8.11 7632 7919 67.67 68.36
ACEH BARAT
64.51 64.65 13.55 13.56 8.12 8.13 7723 8093 65.09 65.67
DAYA
GAYO LUES 64.98 65.12 13.28 13.49 7.39 7.69 8322 8529 65.01 65.88
ACEH TAMIANG 69.16 69.28 13.56 13.57 8.47 8.70 7931 8032 67.99 68.45
NAGAN RAYA 68.76 68.89 14.10 14.11 8.25 8.26 7732 7936 67.78 68.15
ACEH JAYA 66.77 66.88 13.95 13.96 8.13 8.37 8898 9262 68.07 68.83
BENER MERIAH 68.90 68.99 13.43 13.44 9.55 9.56 10428 10626 71.89 72.14
PIDIE JAYA 69.68 69.81 14.52 14.53 8.84 8.86 9691 9967 71.73 72.12
KOTA BANDA
70.96 71.10 17.10 17.26 12.59 12.60 15917 16234 83.95 84.37
ACEH
KOTA SABANG 70.09 70.21 13.58 13.66 10.70 10.97 10610 10899 74.10 74.82
KOTA LANGSA 69.06 69.16 15.18 15.19 10.90 11.06 11261 11497 75.89 76.34
KOTA
71.14 71.27 15.17 15.18 10.88 10.89 10673 10863 76.34 76.62
LHOKSEUMAWE
KOTA
63.56 63.69 14.19 14.20 7.12 7.39 6887 7039 62.88 63.48
SUBULUSSALAM
SUMATERA
68.37 68.61 13.10 13.14 9.25 9.34 10036 10391 70.57 71.18
UTARA
NIAS 69.18 69.43 12.12 12.13 4.93 4.94 6629 6941 60.21 60.82
MANDAILING
61.97 62.24 12.99 13.15 8 8.11 9385 9653 65.13 65.83
NATAL
KOTA
70.42 70.67 13.69 13.71 8.40 8.41 7300 7639 67.68 68.33
GUNUNGSITOLI
SUMATERA
68.78 69.01 13.94 13.95 8.72 8.76 10306 10638 71.24 71.73
BARAT
KEPULAUAN
64.37 64.49 12.07 12.39 6.69 6.95 6010 6211 59.25 60.28
MENTAWAI
PESISIR SELATAN 70.25 70.45 13.06 13.30 8.13 8.14 8819 9089 68.74 69.40
SOLOK 67.65 67.95 13.01 13.02 7.60 7.84 9743 10035 67.86 68.60
SIJUNJUNG 65.44 65.69 12.34 12.35 7.72 7.77 10093 10277 66.60 66.97
TANAH DATAR 69.11 69.38 13.59 13.88 8.14 8.44 10311 10417 70.37 71.25
PADANG
67.96 68.23 13.56 13.57 7.21 7.50 10579 10919 68.90 69.71
PARIAMAN
AGAM 71.57 71.83 13.84 13.85 8.39 8.69 9388 9489 71.10 71.70
LIMA PULUH
69.31 69.47 13.26 13.27 7.96 7.97 9151 9500 68.69 69.17
KOTA
PASAMAN 66.54 66.82 12.72 12.78 7.65 7.66 7882 8238 64.94 65.60
SOLOK SELATAN 66.92 67.21 12.68 12.69 8 8.15 9891 10199 67.81 68.45
DHARMAS RAYA 70.44 70.73 12.40 12.41 8.24 8.25 10851 11189 70.40 70.86
PASAMAN BARAT 67.15 67.37 13.06 13.22 7.85 7.86 8704 8979 66.83 67.43
KOTA PADANG 73.20 73.35 16.15 16.50 11.32 11.33 13957 14312 81.58 82.25
KOTA SOLOK 72.92 73.14 14.29 14.30 10.95 11.01 11673 11968 77.44 77.89
KOTA SAWAH
69.39 69.59 13.14 13.15 9.93 9.94 9343 9765 71.13 71.72
LUNTO
KOTA PADANG
72.46 72.58 15.03 15.04 11.43 11.44 10240 10440 77.01 77.30
PANJANG
KOTA
73.69 73.91 14.94 14.95 11.30 11.31 12816 13035 79.80 80.11
BUKITTINGGI
KOTA
73.13 73.33 14.23 14.24 10.45 10.46 12858 13114 77.91 78.23
PAYAKUMBUH
KOTA PARIAMAN 69.67 69.87 14.51 14.52 10.10 10.36 12425 12611 75.71 76.26
RIAU 70.99 71.19 13.03 13.11 8.76 8.92 10677 10968 71.79 72.44
KUANTAN
67.99 68.17 13.26 13.27 8.20 8.31 10274 10476 69.53 69.96
SINGINGI
INDRAGIRI HULU 69.83 69.97 12.29 12.32 7.89 8.16 10223 10481 68.97 69.66
INDRAGIRI HILIR 67.07 67.32 11.88 11.89 7.18 7.19 10041 10254 66.17 66.51
PELALAWAN 70.54 70.74 11.89 12.16 8.19 8.44 11725 11894 70.59 71.44
SIAK 70.64 70.79 12.72 12.73 9.40 9.64 11898 12119 73.18 73.73
PESISIR BARAT 60.90 64.69 12.02 11.54 7.92 7.52 10308 7749 65.71 61.37 93.40
KOTA BANDAR
69.00 72.92 14.23 14.41 11.34 10.56 16741 11281 80.73 75.52 93.55
LAMPUNG
KOTA METRO 69.28 73.17 14.57 14.18 11.11 10.54 14341 11312 79.43 75.44 94.98
KEP. BANGKA
68.32 72.11 11.67 12.11 8.17 7.51 19060 8820 74.83 66.71 89.15
BELITUNG
BANGKA 68.71 72.64 12.66 12.86 8.66 7.95 17773 8002 76.20 67.24 88.24
BELITUNG 68.62 72.55 11.63 12.03 8.49 7.80 19770 8726 75.69 67.08 88.62
BANGKA BARAT 67.78 71.65 11.49 11.81 7.78 7.15 17808 8929 73.23 65.85 89.92
BANGKA
68.74 72.69 11.73 12.18 7.29 6.38 18803 10320 73.74 67.13 91.04
TENGAH
BANGKA
65.45 69.37 11.31 11.69 6.87 5.92 18243 6080 70.78 59.13 83.54
SELATAN
BELITUNG
69.58 73.46 11.49 11.65 8.38 7.85 17529 6761 74.80 64.39 86.08
TIMUR
KOTA PANGKAL
70.89 74.72 13.03 12.82 10.23 9.41 21596 14117 81.47 75.72 92.94
PINANG
KEP. RIAU 67.76 71.56 12.82 12.89 10.01 9.60 19939 12268 78.65 73.12 92.97
KARIMUN 68.49 72.43 12.02 12.72 8.15 7.51 18413 9832 74.99 68.60 91.48
BINTAN 68.20 72.12 12.68 13.27 8.88 8.19 20914 12280 77.67 72.07 92.79
NATUNA 62.60 66.44 13.73 13.97 9.02 8.61 20525 11152 75.82 69.47 91.62
LINGGA 59.53 63.24 12.84 12.09 6.80 6.02 17015 9622 68.81 61.44 89.29
KEPULAUAN
64.88 68.81 12.01 12.51 7.27 6.12 17047 9203 71.33 64.28 90.12
ANAMBAS
KOTA BATAM 71.29 75.09 12.94 12.97 11.31 10.91 25624 16841 84.47 79.59 94.22
KOTA TANJUNG
69.94 73.79 13.97 14.29 10.23 9.77 18417 14862 80.53 77.69 96.47
PINANG
DKI JAKARTA 70.87 74.56 12.99 12.91 11.46 10.63 22345 16762 83.28 78.87 94.70
2019
Umur Harapan Hidup saat lahir (AHH) merupakan rata-rata perkiraan lama
tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Penghitungan
angka harapan hidup melalui pendekatan tak langsung (indirect estimation).
Jenis data yang digunakan adalah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih
Hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung
angka harapan hidup berdasarkan input data ALH dan AMH. Selanjutnya,
dipilih metode Trussell dengan model West, yang sesuai dengan histori
kependudukan dan kondisi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara
umumnya.
Indeks harapan hidup dihitung dengan menghitung nilai maksimum dan nilai
minimum harapan hidup sesuai standar UNDP, yaitu angka tertinggi sebagai
batas atas untuk penghitungan indeks adalah 85 tahun dan terendah sebagai
batas bawah adalah 20 tahun.
Tingkat Pendidikan
Dimensi lain dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak.
Dalam cakupan lebih luas, standar hidup layak menggambarkan tingkat
kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin
membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan
Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang disesuaikan, sedangkan BPS
dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran
per kapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli (purchashing power
parity) berbasis formula Rao.
𝑚𝑚
𝑝𝑝𝑖𝑖𝑖𝑖 1⁄𝑚𝑚
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑗𝑗 = ∏ ( )
𝑝𝑝𝑖𝑖𝑘𝑘
𝑖𝑖=1
Keterangan:
PPPj : paritas daya beli di wilayah j
pij : harga komoditas i di kabupaten/kota j
pik : harga komoditas di Jakarta Selatan
m : jumlah komoditas
𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 − 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐼𝐼𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 =
𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 − 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐼𝐼𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 =
𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 − 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 − 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐼𝐼𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 =
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 − 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐼𝐼𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 + 𝐼𝐼𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅
𝐼𝐼𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 =
2
ln(𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝) − ln(𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑚𝑚𝑖𝑖𝑖𝑖 )
𝐼𝐼𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 =
ln(𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑚𝑚𝑎𝑎𝑎𝑎 ) − ln (𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑚𝑚𝑖𝑖𝑖𝑖 )
Keterangan:
** Daya beli minimum merupakan garis kemiskinan terendah kabupaten tahun 2010 (data empiris) yaitu di Tolikara
-Papua
** Daya beli maksimum merupakan nilai tertinggi kabupaten yang diproyeksikan hingga 2025 (akhir RPJPN) yaitu
perkiraan pengeluaran per kapita Jakarta Selatan tahun 2025
Pertumbuhan IPM
Keterangan:
IPMt : IPM suatu wilayah pada tahun t
IPMt-1 : IPM suatu wilayah pada tahun (t-1)
Penghitungan IPG berhenti dilakukan oleh UNDP mulai tahun 2010 hingga
2013. Pada tahun 2014, UNDP kembali melakukan penghitungan IPG dengan
menggunakan metode baru. Perubahan metode ini merupakan penyesuaian
dengan perubahan yang terjadi pada IPM. Selain sebagai penyempurnaan dari
metode sebelumnya. IPG metode baru ini merupakan pengukuran langsung
terhadap ketimpangan antar gender dalam pencapaian IPM. Pada metode
baru ini digunakan rasio IPM perempuan dengan IPM laki-laki, sehingga bisa
terlihat pencapaian pembangunan manusia antara perempuan dengan laki-
laki.
IPG pada tahun 2014 mengalami perubahan pada indikator yang digunakan
dan juga metodologi penghitungannya. Dalam metode baru ini, dimensi
yang digunakan masih sama seperti yang disampaikan sebelumnya, yaitu:
1) umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life)
2) pengetahuan (knowledge); dan
3) standar hidup layak (decent standard of living)
BPS mengukur dimensi umur panjang dan hidup sehat dengan menggunakan
angka harapan hidup saat lahir yang didapatkan dari data Sensus Penduduk
2010 (SP2010). Kemudian mengukur dimensi pengetahuan dengan
menggunakan angka harapan lama sekolah dan angka rata-rata lama
sekolah yang didapatkan dari data SUSENAS. Selanjutnya untuk mengukur
dimensi standar hidup layak tidak menggunakan PNB per kapita, karena tidak
terdapat angka PNB per kapita hingga kabupaten/kota. Untuk dimensi ini,
dilakukan pendekatan/proksi dengan menggunakan pengeluaran per kapita
yang disesuaikan yang didapatkan dari SUSENAS.
Pada dimensi umur panjang dan hidup sehat serta pengetahuan tidak
diperlukan data sekunder dalam penghitungannya. Hanya pada dimensi
standar hidup layak dibutuhkan beberapa data sekunder guna mendapatkan
angka pengeluaran per kapita berdasarkan jenis kelamin. Data sekunder yang
digunakan adalah upah yang diterima, jumlah angkatan kerja, serta jumlah
penduduk untuk laki-laki dan perempuan.
Minimum Maksimum
Indikator
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Umur Harapan Hidup (tahun) 17,5 22,5 82,5 87,5
Angka Harapan Lama Sekolah
0 0 18 18
(tahun)
Angka Rata-rata Lama Sekolah
0 0 15 15
(tahun)
3
𝐼𝐼𝑃𝑃𝑃𝑃𝐿𝐿 = √𝐼𝐼𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝐿𝐿 ′ 𝐼𝐼𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝐿𝐿 ′ 𝐼𝐼𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝐿𝐿
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝑝𝑝
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐺𝐺 = ′ 100
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐿𝐿
Angka ini menunjukkan rasio antara pembangunan perempuan dan
pembangunan laki-laki. Ketika angka indeks pembangunan gender makin
mendekati 100, maka pembangunan gender semakin seimbang atau merata.
Namun semakin menjauhi 100, maka pembangunan gender makin timpang
antar jenis kelamin.
Pada metode baru, interpretasi dari angka IPG berubah. Interpretasi angka IPG
tidak perlu dibandingkan lagi dengan angka IPM. Semakin kecil jarak angka
IPG dengan nilai 100, maka semakin setara pembangunan antara laki-laki
dengan perempuan. Namun semakin besar jarak angka IPG dengan nilai 100,
maka semakin terjadi ketimpangan pembangunan antara laki-laki dengan
perempuan. Angka 100 dijadikan patokan untuk menginterpretasikan angka
IPG karena angka tersebut merupakan nilai rasio paling sempurna.
Penyusunan Indeks
{𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸(𝐷𝐷𝐷𝐷) }
𝐼𝐼(𝐷𝐷𝐷𝐷) = ⁄
50
dan
𝑃𝑃𝑓𝑓 𝑃𝑃𝑚𝑚
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸(𝐷𝐷𝐷𝐷) = + ′ 100
𝑋𝑋𝑓𝑓 𝑋𝑋𝑚𝑚
{𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸(𝐷𝐷𝐷𝐷) }
𝐼𝐼(𝐷𝐷𝐷𝐷) = ⁄
50
dan
𝑃𝑃𝑓𝑓 𝑃𝑃𝑚𝑚
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸(𝐷𝐷𝐷𝐷) = + ′ 100
𝑌𝑌𝑓𝑓 𝑌𝑌𝑚𝑚
dimana,
Pf = proporsi penduduk perempuan
Pm = proporsi penduduk laki-laki
Yf = proporsi perempuan sebagai tenaga profesional
Ym = proporsi laki-laki sebagai tenaga profesional
𝑃𝑃𝑓𝑓 𝑃𝑃𝑚𝑚
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝑃𝑃(𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖−𝑑𝑑𝑑𝑑𝑠𝑠) = +
𝑍𝑍𝑓𝑓 𝑍𝑍𝑚𝑚
dan
(𝐸𝐸𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷(𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖−𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑) ′ 𝑃𝑃𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 (𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑔𝑔 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑)) − 360
𝐼𝐼(𝑖𝑖𝑖𝑖𝑐𝑐−𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑) =
732,72 − 300
dimana,
Pf = proporsi penduduk perempuan
Pm = proporsi penduduk laki-laki