Hal
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ........... 2
1.3. Sumber data ........ 2
1.4. Design Kegiatan ......... 3
1.5. Cara Pencakupan Data........ 3
1.6. Analisis Data ........ 4
ii
BAB V. PERMASALAHAN GENDER DAN FORMULASI ISU STRATEGIS
5.1. Permasalahan Umum Isu Gender...... 42
5.1.1. Persoalan Perbedaan Citra antara Laki-laki dengan Perempuan.................42
5.1.2. Persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan......................................................46
5.1.3. Persoalan Beban Ganda (Double Burden) dan Partisipasi Kerja ..................52
5.1.4. Persoalan Marjinalisasi ................................................................................... 55
5.1.5. Persoalan Subordinasi ......................................................................... 55
5.1.6. Persoalan Buruknya Perundangan Kesetaraan Gender..................................56
5.2. Pengembangan Umum Isu Strategis................................................................................57
5.3. Isu Strategis Tingkat Provinsi ............................................................................. 62
5.4. Isu Strategis Tingkat Kabupaten ................................................................. 68
5.4.1. Isu Strategis di Kota Yogyakarta............................................................................68
5.4.2. Isu Strategis di Kabupaten Sleman.......................................................................68
5.4.3. Isu Strategis di Kabupaten Bantul........................................................................69
5.4.4. Isu Strategis di Kabupaten Kulonprogo...............................................................69
5.4.5. Isu Strategis di KabupatenGunungkidul..............................................................70
iii
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 3.1 Angka Partisipasi Kasar (APK) di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Tingkat Pendidikan SD, SLTP, SLTA ,
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................15
Tabel 3.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Jenjang Pendidikan SD, SLTP, SLTA,
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................16
Tabel 3.3 Angka Partisipasi Murni (APM) di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Jenjang Pendidikan SD, SLTP, SLTA,
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................17
Tabel 3.4 Persentase Penduduk Provinsi DI. Yogyakarta Berdasarkan
Jenis Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................18
Tabel 3.5 Rata-Rata Lama Sekolah di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2009.............................................................................20
Tabel 3.6 Angka Putus Sekolah di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Jenjang Pendidikan SD, SLTP, dan SLTA
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................21
Tabel 3.7 Angka Melek Huruf dan Buta Huruf DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010............................................................................22
Tabel 3.8 Jumlah Kematian Ibu di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................24
Tabel 3.9 Penyebab Kematian Ibu Melahirkan di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010............................................................................25
Tabel 3.10 Cakupan Pertolongan Persalinan dan Layanan Nifas di
Provinsi DI. Yogyakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2010................................26
Tabel 3.11 Usia Perkawinan Pertama di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010............................................................................27
Tabel 3.12 Kematian Bayi Dan Balita di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................27
Tabel 3.13 Angka Harapan Hidup di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................28
Tabel 3.14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................30
Tabel 3.15 Pekerja Menurut Status Pekerjaan Utama di Provinsi
DI. Yogyakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2010.................................................31
Tabel 3.16 Pekerja Tidak dibayar (Unpaid Worker) di Provinsi
DI. Yogyakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2010.................................................32
Tabel 3.17 Pengangguran Terbuka di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................34
Tabel 3.18 Jumlah keluarga Miskin di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010.............................................................................35
Tabel 4.1 Perempuan Dalam Pasar Kerja di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Kabupaten/Kota, 2010.....................................................................37
vi
Tabel 4.2 Jumlah Bupati/Walikota (Eksekutif Pemerintahan) di
Provinsi DI. Yogyakarta , 2010.................................................................................39
Tabel 4.3 Jumlah Anggota DPRD, Caleg, dan Partai Politik di Provinsi
DI. Yogyakarta Menurut Kabupaten/Kota , 2010................................................39
Tabel 4.4 Jumlah Hakim dan Pejabat Pada Pengadilan Negeri di Provinsi
DI. Yogyakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2010.................................................40
Tabel 5.1 Jumlah Korban Kekerasan di Provinsi DI. Yogyakarta
Berdasarkan Ciri-Ciri Korban, 2010 65
Tabel 5.2 Distribusi Anak Yang Hidup di Jalanan di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010 66
Tabel 5.3 Distribusi Anak Terlantar di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010 67
vii
DAFTAR GAMBAR/PETA
HALAMAN
Diagram 1.1 Hubungan Sosio Struktural Perempuan..............................................................5
viii
Bab
1
1.2 . Tujuan
2
Kabupaten/Kota di Provinsi DIY, Dinas Pendidikan Provinsi DIY, Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi DIY, Dinas Kesehatan Provinsi DIY,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di provinsi DIY, Dinas Sosial Provinsi DIY,
Dinas Sosial Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY, Disnakertrans Provinsi DIY,
Disnakertrans Kabupaten/Kota di Provinsi DIY, Bappeda Provinsi DIY,
Bappeda Kabupaten/Kota di Provinsi DIY, BPS Provinsi DIY, BPS
Kabupaten/Kota di Provinsi DIY, Bidang KB Kabupaten/Kota Provinsi DIY,
BKD Provinsi DIY, Pengadilan Tinggi/Negeri/Agama/Tinggi Agama, dan PTUN
di Provinsi DIY, Kejaksaan Tinggi dan Negeri di Provinsi DIY. Untuk
memperkaya analisis sumber penelitian-penelitian yang telah dilakukan
dalam lapangan gender dan anak juga digunakan sebagai referensi.
3
(2) Focus Group Discussion (FGD), yang dilakukan baik di tingkat Provinsi
maupun kabupaten/kota dengan tujuan untuk menggali data terpilah dan
statistik gender khusus untuk isu-isu prioritas kabupaten/ kota
berdasarkan data-data sektoral yang telah dikumpulkan dan diolah oleh
sekretariat peneliti. Peserta FGD terdiri dari SKPD dan organisasi non-
pemerintah (terpilah sesuai dengan isu-isu prioritas).
4
Bab
2
Social Relation
Ketidaksetaraan gender
Dominansi laki-laki atas perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan
6
menjelaskan fenomena penindasan terhadap perempuan melalui
ketidaksetaraan status antara laki-laki dengan perempuan sebagai akibat dari
perbedaan jenis kelamin. Paham feminis berupaya untuk mengangkat harkat
kaum perempuan berangkat dari dominasi kaum laki-laki pada realitas
kehidupan sosial. Diungkapkan bahwa sistem patriarkhi (patriarchal systems)
yang eksis di masyarakat dipandang sebagai biang keladi dari ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan (Tong, 1989).
7
penderitaan perempuan adalah sistem patriarkhi yang menempatkan laki-laki
lebih dominan dibandingkan dengan perempuan.
8
perempuan dipaksa puas pada urusan reproduksi yang harus patuh dan
menurut pada kemauan laki-laki. Itu berarti bahwa laki-laki lebih berwenang
untuk membuat segala bentuk keputusan, perempuan diharuskan menurut
dan tergantung padanya (Tong, 1989; Donham, 1990).
9
laki baik di dalam rumah tangga maupun di masyarakat. Berlawanan dengan
feminis marxis, feminis radical secara brilian dapat menjelaskan bagaimana
laki-laki menindas perempuan melalui analisis gender di bawah sistem
patriarkhi.
Dalam kerangka mengatasi keterbatasan feminis marxis di satu sisi dan
feminis radikal pada sisi yang lain, feminis sosialis telah mengembangkan dua
pendekatan yakni dual-system theory dan unified-system theory (Tong, 1989).
Dua pendekatan feminis sosialis tersebut berupaya untuk menjelaskan
secarah menyeluruh terhadap ketertindasan yang dialami oleh perempuan.
Teori dual system menjelaskan bahwa patriarkhi dan paham kapitalis
merupakan dua hal yang berbeda baik dilihat dari proses kemunculan dalam
hubungan sosial maupun kepentingannya. Patriarkhi dijelaskan sebagai suatu
materi sebagai hasil dari mekanisme reproduksi (mode of reproduction) atau
seksualitas sementara paham kapitalisme adalah materi yang berawal mula
dari mekanisme produksi (mode of production). Oleh karenanya, dalam upaya
memahami secara holistik tentang ketertindasan perempuan, pertama-tama
patriarkhi dan paham kapitalis harus dianalisis sebagai suatu fenomena yang
terpisah dan baru tahap berikutnya sebagai fenomena yang secara dialek
terkait satu sama lain. Sebaliknya, unified-system theory berupaya untuk
menganalisis patriarkhi dan paham kapitalis secara bersama-sama sebagai
satu konsep. Paham kapitalis tak dapat dipisahkan dengan patriarkhi
sebagaimana akal atau pikiran yang berada dalam tubuh manusia.
10
Dalam konteks Kependudukan dan Pembangunan, kesetaraan dan
keadilan gender merupakan hal yang sangat penting karena hal tersebut
menimgkatkan kemampuan perempuan maupun laki-laki dalam mengambil
keputusan mulai dari tingkat keluarga. Hal ini memberi dampak positif
khususnya terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual individu,
pasangan maupun keluarga.
Keadilan dan kesetaraan gender erat kaitannya dengan Pemberdayaan
dan status perempuan. Perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas
beragam sumberdaya produktif terutama dalam hal ekonomi, pendidikan dan
kesehatan. Keterbatasan ini mempengaruhi bahkan membatasi kemampuan
perempuan dalam pengambilan keputusan dalam komunitas mereka maupun
ditingkat local dan nasional dan menghambat partisipasi perempuan dalam
distribusi sumberdaya. Akibatnya, kondisi, posisi dan status perempuan
terutama dalam hal perannya di sektor publik khususnya dan pembangunan
pada umumnya tertinggal dari laki-laki. Ketertinggalan perempuan dalam
proses politik dan kehidupan sosial masyarakat di setiap tingkatan
menyebabkan tersingkirkannya perhatian terhadap persoalan dan
kebutuhan-kebutuhan yang spesifik perempuan khususnya dalam bidang
kesehatan reproduksi.
Diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan dapat
berbentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mulai dari
derajat kekerasan yang paling rendah seperti pemberian nilai, perlakuan yang
berbeda dalam pemberian gizi dan pelayanan sosial, perlakuan yang berbeda
dalam pemberian upah untuk jenis pekerjaan yang sama, sampai kepada
derajat kekerasan yang lebih berat seperti perdagangan perempuan dan anak
perempuan, kekerasan fisik dan kekerasan seksual baik dalam rumah tangga
maupun di tempat umum, ditempat kerja, di sekolah dan didaerah konflik.
Perdagangan perempuan dan anak dalam bentuk memperlakukan
perempuan dan anak seperti barang dagangan yang dapat diperjual belikan,
dipindahkan dan dirampas hak-hak dasarnya dan berkembang menjadi
bentuk perbudakan. Akibat lain dari perdagangan perempuan dan anak
adalah meluasnya penyakit menular seksual bagi perempuan dan anak yang
merugikan dan memperburuk status dan derajat kesehatan perempuan serta
masa depan mereka. Kejadian tentang perdagangan perempuan dan anak
perempuan di Indonesia semakin meningkat, sejalan dengan tingkat
kemiskinan yang sulit diatasi.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mencapai kesetaraan
dan keadilan gender meliputi: (1) Menghargai hak setiap individu namun
mengakui adanya perbedaan (unity and equal in diversity). Hak-hak
11
perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang integral, tidak
dipisahkan dan tidak dibedakan dalam Hak-Hak Asasi Manusia Universal, (2)
Kesamaan tanggung jawab (shared responsibility) antara laki-laki dan
perempuan, (3) Kemitraan yang harmonis (harmonious partnership) dalam
pengambilan keputusan mulai dari keluarga, (4) Menyeluruh dan terpadu
(holistic and integrity). Mengembangkan pendekatan yang multidisipliner
dengan perspektif gender dan siklus kehidupan yang mencakup perubahan
sosial, budaya dan ekonomi.
12
Bab
3
15
APS = 100 % dan tidak akan terjadi lebih besar dari 100 %, karena murid usia
sekolah dihitung dari murid yang ada di semua jenjang pendidikan pada
suatu daerah.
APS berkecenderungan meningkat pada semua kelompok umur baik
anak laki-laki maupun anak perempuan. Menurut data pada tabel 3.2 APS
pada kelompok usia 7-12 thn dan 13-15 tahun anak perempuan lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki. Akan tetapi jika melihat dari perbedaan yang
tidak jauh antara laki-laki dan perempuan, maka hal ini menunjukkan bahwa
laki-laki dan perempuan relatif memiliki kesempatan yang sama dalam hal
pendidikan di Yogyakarta. Hal tersebut merupakan suatu pencapain yang
baik, tetapi walaupun demikian, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah
dimana angka tersebut menurun pada usia kelompok 16-18 tahun. Nilai
tersebut berbeda cukup jauh dari umur sebelumya, salah satunya
dikarenakan pada usia ini sudah masuk dalam usia kerja. Sehingga ada
beberapa anak yang memilih untuk bekerja dibandingkan dengan sekolah dan
hanya menikmati masa pendidikan dasar 9 tahun
L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Kota Yogyakarta 130,49 113,29 85,90 90,65 90,49 86,04
2. Kab. Bantul 99,06 84,86 71,30 72,15 56,32 52,75
3. Kab. Kulonprogo 93,33 89,53 90,26 85,63 62,05 65,03
4. Kab.Gn. Kidul 93,63 83,90 81,47 75,04 52,47 47,56
5. Kab. Sleman 101,77 99,92 82,93 80,57 53,02 55,09
6 Provinsi DI. 101,31 92,54 80,85 79,23 61,12 59,81
Yogyakarta
Sumber : Dinas Pendidikan pemuda dan Olahraga Provinsi DI. Yogyakarta
17
3.1.4 Pendidikan Tinggi yang di Tamatkan
Indikator lain yang digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang
pencapaian kesetaraan gender dalam bidang pendidikan yaitu dengan
melihat komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan tertinggi yang
ditamatkan. Karena kualitas sumber daya manusia yang tinggi hanya bisa
didapatkan apabila manusia tersebut memiliki jenjang pendidikan yang tinggi
pula.
Berdasarkan pencapain pendidikan menurut jenjang tertinggi yang
ditamatkan menunjukkan bahwa penduduk Indonesia secara umum pada
tahun 2009 bdominan berpendidikan tamat SD/MI atau 30,5 persen dari
jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas. Dilihat dari aspek gender, tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan yang tamat SD.
Demikian pula yang tidak/belum tamat SD hampir berimbang antara laki-laki
dan perempuan, yakni pencapaian sama-sama sekitar 20 persen dengan
menempati urutan kedua. Perbedaan gender terjadi pada mereka yan
tidak/belum sekolah, yakni perempuan yang tidak/belum sekolah (9,4
persen) lebih dua kali lipat dari laki-laki yang hanya 3,8 persen. Kelompok
penduduk ini paling besar ketimpangan gender yang kedua terdapat pada
kelompok penduduk yang tamat SLTA. Dimana laki-laki 21,7 persen dan
perempuan 17,2 persen. Hal itu dapat dicermati melalui data yang
dikeluarkan BPS melalui survai Susenas. Dari data tersebut terlihat
kecenderungan pencapaian nilai mengecil seiring dengan meningkatnya
jenjang pendidikan, atau semakin tinggi pendidikan semakin kecil nilai
pencapaiannya.
2. Kab. Bantul 23,12 30,27 22,95 21,51 18,42 15,84 27,12 22,82
3. Kab. Kulonprogo 23,57 31,67 26,23 26,26 19,07 16,66 25,29 18,70
5. Kab. Sleman 15,37 25,27 17,76 18,75 15,72 13,45 38,96 28,64
6 Provinsi DI. 20,87 29,50 22,04 21,54 17,58 15,76 30,27 23,29
Yogyakarta
Tabel 3.4 Persentase Penduduk Provinsi DIY Berdasarkan Jenis
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Menurut Kab/Kota, 2010
(Lanjutan)
19
Tabel 3.5 Rata-Rata Lama Sekolah di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2009
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4
N PROVINSI JUMLAH SISWA JLH SISWA JLH SISWA JLH SISWA JLH SISWA JLH
O SD/MI SMP/ SISWA
MTs SMA/SM
K/MA
SD / MI YANG (DO) SMP / MTs YANG (DO) SMA/SMK/MA YANG
(DO)
L P L P L P L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 Kota 23.711 22.241 14 10 11.493 11.269 10 7 7.320 9.276 11 13
Yogyakarta
2 Kab. Bantul 36.910 33.988 34 18 14.500 14.551 29 12 4.817 6.877 16 10
3 Kab. 18.338 16.736 29 15 8.661 8.440 45 14 1.712 2.750 6 8
Kulonprogo
4 Kab.Gunung 29.844 27.247 37 17 14.033 13.297 39 35 2.515 3.584 21 15
kidul
5 Kab. Sleman 44.529 40.712 26 7 16.768 16.050 22 5 5.134 6.051 19 9
6 Provinsi DIY 153.332 140.924 140 67 65.455 63.607 145 73 21.498 28.538 73 55
Sumber : Dinas Pendidikan dan Pemuda dan Olahraga Provinsi DI. YOGYAKARTA
21
Tabel 3.7 Angka Melek Huruf dan Buta Huruf DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010
NO. PROVINSI ANGKA MELEK HURUF Angka Buta Huruf
(DATA 2009) Usia 15-24 Tahun
LAKI- PEREMPUAN LAKI- PEREMPUAN
LAKI LAKI
1 2 3 4 5 6
1. Kota Yogyakarta 99,76 96,40 0,08 0,08
2. Kab. Bantul 96,22 84,78 0,04 0,04
3. Kab. Kulonprogo 96,04 84,56 0,36 2,92
4. Kab.Gunung Kidul 90,60 76,76 0,65 0,92
5. Kab. Sleman 97,18 87,53 0,62 1,10
6 Provinsi DI. 95,26 85,53 0,25 0,56
Yogyakarta
Sumber : Angka Melek huruf : BPS
Angka Buta Huruf : Dinas Pendidikan, Pemuda dan olahraga Provinsi DI.
Yogyakarta
23
Tabel 3.8 Jumlah Kematian Ibu di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010
NO. Kab/Kota JUMLAH KASUS KEMATIAN IBU JUMLAH
TOTAL
KEMATIAN
HAMIL MELAHIRKAN NIFAS IBU
1 2 3 4 5 6
1. Kota Yogyakarta 1 2 4 7
2. Kab. Bantul 0 9 1 10
3. Kab. Kulonprogo 0 1 3 4
4. Kab.Gunung Kidul 4 1 4 9
5. Kab. Sleman 1 0 12 13
Provinsi DI. 6 13 24 43
YOGYAKARTA
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi DI. YOGYAKARTA 2010
Jumlah Kematian Ibu Merupakan Jumlah Kasus Kematian Ibu dilaporkan
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi DI. Yogyakarta
25
Tabel 3.10 Cakupan Pertolongan Persalinan dan Layanan Nifas di
Provinsi DIY Menurut Kabupaten/Kota, 2010
1 2 3 4
1. Kota Yogyakarta 40 5
2. Kab. Bantul 120 26
3. Kab. Kulonprogo 65 15
4. Kab.Gunung Kidul 63 8
5. Kab. Sleman 67 5
Provinsi DI. Yogyakarta 355 59
Sumber : Profil Kesehatan Kab/Kota Tahun 2009
27
3.2.6 Angka Harapan Hidup (AHH)
Angka harapan hidup (AHH), merupakan rata-rata jumlah tahun
(umur) yang diharapkan dilalui oleh seseorang sejak ia lahir, apabila ia hidup
dalam lingkungan dengan pola kematian khusus yang terjadi pada saat itu.
AHH sangat dipengaruhi oleh tingkat kematian bayi dan anak, karena
kematian pada saat itu berarti hilangnya peluang untuk hidup yang lebih
panjang. Makin rendahnya tingkat kematian bayi, makin tinggi AHH.
Sebaliknya semakin tinggi tingkat kamtian bayi, makin rendah AHH.
Penurunan AKB yang terjadi di Indonesia jelas telah menyebabkan
bertambahnya AHH pada waktu lahir. AKB dan AHH sangat sensitif dalam
menggambarkan perubahan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,
mengingat perbaikan derajat kesehatan dapat tercermin dari kedua angka ini.
29
Tabel 3.14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Provinsi DIY
Menurut Kabupaten/Kota, 2010
L P L P L P L P
1 2 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Kota 10,673 11,143 24,065 19,648 45,880 33,734 25,276 21,496
Yogyakarta
2. Kab. Bantul 59,846 43,180 63,721 34,425 91,147 60,126 17,074 18,194
3. Kab. 28,854 23,311 23,210 21,632 38,979 22,016 6,871 10,460
Kulonprogo
4. Kab.Gunung 62,331 52,776 48,722 38,760 38,003 18,324 12,418 4,769
Kidul
5. Kab. Sleman 34,913 25,598 48,797 41,632 133,447 88,432 61,070 50,754
6 Provinsi DI. 196,617 156,008 208,515 156,097 347,456 222,632 122,709 105,673
Yogyakarta
31
informal adalah mereka yang bekerja dengan status selain sebagai buruh atau
karyawan dengan jumlah jam kerjanya tidak tetap dan tidak ada keterikatan
tertentu untuk memasuki suatu usaha (tidak ada ikatan dan mudah ganti
pekerjaan).
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4
1. Kota Yogyakarta 7.792 14.013
2. Kab. Bantul 17.155 44.933
3. Kab. Kulonprogo 14.002 40.469
4. Kab.Gunung Kidul 18.558 104.256
5. Kab. Sleman 15.156 58.566
6 Provinsi DI. Yogyakarta 72.663 262.237
Sumber Data : BPS, Sakernas Agustus 2010
Catatan : Pekerja tdk dibayar merupakan data pekerja keluarga
3.3.4 Pengangguran
Upaya perubahan struktural untuk meningkatkan produktivitas dan
menciptakan kesempatan kerja sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan
penduduk sering kali dapat menjangkau seluruh elemen penduduk itu sendiri.
Kesempatan dan peluang yang dimiliki tiap penduduk tentu berbeda satu
dengan lainnya. Demikian pulda dalam proses pembangunan, masalah-
masalah seperti kemiskinan dan pengangguran merupakan eskes negatif dari
pelaksanaan pembangunan seperti juga terciptanya kesenjangan sosial.
Masalah pengangguran umumnya lebih banyak dicirikan oleh daerah
perkotaan sebagai efek dari industrialisasi. Pengangguran terjadi sebagai
akibat dari tidak sempurnanya pasar tenaga kerja, atau tidak mampunya
pasar tenaga kerja dalam menyerap tenaga kerja yang ada. Akibatnya timbul
sejumlah pekerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian. Hal
ini merupakan akibat tidak langsung dari supply (penawaran) tenaga kerja di
pasar tenaga kerja melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi
kesempatan kerja yang tercipta.
Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur pengangguran
adalah Tingkat Pengangguran terbuka (TPT). Tingkat pengangguran terbuka
umumnya didefinisikan secara konvensional sebagai proporsi angkatan kerja
yang tidak bekerja dan mencari kerja. Ukuran ini dapat digunakan untuk
mengindikasikan seberapa besar penawaran kerja yang tidak dapat terserap
dalam pasar kerja disebuah negara atau wilayah. Dalam sub bab kali ini,
analisis pengangguran terutama berkaitan dengan pengangguran menurut
kategori kabupaten/ kota, jenis kelamin, pendidikan, kelompok umur. Secara
umum TPT perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan TPT laki-laki.
TPT Provinsi D.I Yogyakarta secara umum terlihat pada tabel 3.17
bahwa laki-laki memiliki angka yang lebih tinggi dibandingkan perempuan,
dimana prosentasenya lebih dari 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak yang tidak memiliki pekerjaan dibandingkan perempuan.
Tingkat Provinsi sendiri mencapai angka 59,75 persen untuk laki-laki dan
40,25 persen perempuan. Perempuan di tingkat provinsi lebih sedikit
menganggur dibandingkan dengan laki-laki. Pengangguran perempuan
terbanyak di Yogyakarta ada di Kab. Kulonprogo dengan angka 45,79 persen.
Walaupun terbanyak tetapi jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan
jumlah pengangguran laki-laki paling rendah yaitu di Kulonprogo juga dengan
angka 54,21 persen. Angka-angka pada tabel 3.17 menunjukkan bahwa
perempuan lebih banyak bekerja dari pada laki-laki di seluruh
Kabupaten/kota di Provinsi DI. Yogyakarta.
33
Tabel 3.17 Pengangguran Terbuka di Provinsi DI. Yogyakarta
Menurut Kabupaten/Kota, 2010
3.3.5 Kemiskinan
Masalah kemiskinan adalah masalah yang walaupun dipercaya sudah
seusia peradaban manusia namun belum dapat dianalisis secara
komprehensif dan mendalam hingga sekarang. Hal ini dikarenakan belum ada
satu pun konsep yang dapat diterima secara universal dan belum ada satu
pun metode pengukuran yang diterima secara luas. Analisis masalah
kemiskinan secara makro dikenal sejak awal 1970an yang dipelopori oleh
Sayogyo, Penny, dan Singarimbun. Sam F. Poli dan Hendra Asmara juga
merupakan pendahulu dalam analisis kemiskinan dan distribusi pendapatan.
BPS sendiri baru mulai melakukan analisis masalah kemiskinan sejak
publikasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976-1981
yang diterbitkan pada tahun 1984. Sejak kemunculan publikasi tersebut, BPS
secara berkelanjutan melakukan analisis kemiskinan dengan menggunakan
data Susenas.
Permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen petani
gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil, dari persoalan alam
dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung, dan
sebagainya. Akar permasalahan pedagang kecil, pengrajin kecil, pemulung di
kota, pengangguran, buruh musiman, dan sebagainya bisa berbeda. Jika
permasalahan yang membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan
bisa diidentifikasi dengan baik maka program yang tepat akan dapat
dirumuskan. Profil kemiskinan semestinya menyajikan tentang akar
permasalahan seperti itu, yaitu tentang permasalahan lebih mengakar pada
faktor orangnya, masalah infrastruktur atau strukturnya, masalah
ketrampilan, dan sebagainya. Informasi yang tersedia dalam Susenas tidak
dapat mengungkapkan permasalahan tersebut secara tuntas karena lebih
merupakan informasi tentang karakteristik rumah tangga miskin.
1 2 3 4 5 6 7
1. Kota Yogyakarta 37.800 9.750 90.107 37.853 12.392
2. Kab. Bantul 146.900 16.090 222.646 40.120 49.157
3. Kab. Kulonprogo 90.000 23.150 91.915 16.974 33.280
4. Kab.Gunung Kidul 147.700 22.050 164.801 28.690 81.232
5. Kab. Sleman 117.000 10.700 273.363 71.511 38.971
6 Provinsi DI. 539.400 15.630 842.832 195.148 215.032
Yogyakarta
Sumber Data : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan
35
Bab
4
Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua
anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan
didengar. Peran serta perempuan dalam ranah politik tentu sangat penting
untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan
dengan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik
maupun publik. Walaupun untuk pencapaian itu peneuh dengan kendala-
kendala yang dihadapi terutama dalam keterlibatan saat proses pembuatan
UU, pengawasan dan penyusunan anggaran serta dalam pengambilan
kebijakan.
Perempuan dalam hal kebijakan dan kekuasaan masih belum banyak
peran serta secara maksimal dalam menentukan kebijakan karena
partisipasinya yang masih sedikit, dan secara faktual perempuan tidak
memiliki kekuasaan baik formal maupun informal. Fakta dilapangan
menyatakan bahwa porsi keterwakilan perempuan ditingkat legislatif
maupun Eksekutif yang posisinya pada level pengambilan keputusan
(decition maker) sangatlah kecil. Padahal keterwakilan perempuan di tingkat
DPR dan DPRD, dari segi kuantitas tetap diperlukan untuk memerikan
harapan, kekuatan, sekaligus gerakan bagi lahirnya kebijakan dan UU yang
mengakomodasikan kebutuhan perempuan yang tidak bisa ditanggalkan lagi
kepentingannya.
Jika keterwakilan perempuan tercukupi maka pembangunan yang
berwawasan gender akan terwujud, sehingga kata-kata ketidaksetaraan
gender tidak akan terdengar lagi dalam masyarakat. Perempuan tidak akan
terintimidasi lagi dan hak dan aspirasinya akan tersalurkan.
Jumlah Persentase
1 2 3 4
1. Kota Yogyakarta 8763 13,26
2. Kab. Bantul 13056 19,76
3. Kab. Kulonprogo 6398 9,68
4. Kab.Gunung Kidul 7975 12,07
5. Kab. Sleman 29870 45,22
6 Provinsi DI. Yogyakarta 66062 100,00
Sumber Data : BPS, Sakernas Agustus 2010
37
Development Indeks (GDI). Secara nasional pada tahun 2007 GDI Indonesia
berada pada posisi peringkat 80. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di
Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan laki-
laki. Perempuan Indonesia tertinggal di dalam kehidupan publik. Kesenjangan
gender yang kerap muncul dalam indikator sosial menjadi sebuah tantangan
berskala nasional. Namun Indonesia berkomitment untuk menjalankan
prinsip kesetaraan gender melalui berbagai komitment nasional dan
internasional.
Meskipun perempuan Indonesia secara aktif memberikan
sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional maupun rumah tangga
melalui kerja produktif dan reprodukstif perempuan, namun perempuan
masih tidak dilibatkan dari berbagai struktur dan proses pengambilan
keputusan dalam keluarga, masyarakat dan negara. Kurangnya keterwakilan
perempuan dalam posisi-posisi pengambilan keputusan di sektor publik telah
berujung pada pembangunan keistimewaan terhadap prespektif dan
kepentingan kaum laki-laki, serta investasi sumber-sumber daya nasional
dengan pertimbangan keuntungan bagi kaum laki-laki.
Berdasarkan atas hal tersebut maka dirasakan pentingnya peran
perempuan dalam pembangunan dengan meningkatkan kuantitas perempuan
dalam Lembaga parlemen (legislatif), lembaga pemerintahan (Eksekutif), dan
lembaga Yudikatif. Diharapkan peran perempuan dapat membawakan
atmosfer kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga keadilan sosial
dapat terwujud.
Perempuan yang menduduki jabatan di Eksekutif dapat dilihat dalam
Tabel 4.2, jabatan yang diduduki merupakan jabatan penting dimana untuk
jabatan tersebut perempuan sudah ada yang mengisinya dari 5
Kabupate/kota di DI. Yogyakarta dua diantaranya diisi oleh perempuan untuk
posisi Bupati, sedangkan untuk posisi wakil Bupati dari 5 posisi diisi 1 posisi.
Walaupun dominasi laki-laki masih terasa setidaknya sudah ada indikasi
bahwa perempuan di Provinsi DI. Yogyakarta memiliki kesempatan yang
sama dalam lembaga eksekutif. Posisi perempuan pada jabatan tersebut
diharapkan dapat mengurangi bias gender karena perempuan memiliki
kekuasaan dalam hal pengambilan keputusan, sehingga aspirasi perempuan
dapat lebih tersalurkan karena ada partisipasi langsung pada posisi yang
strategis.
38
Tabel 4.2 Jumlah Pejabat Eksekutif Pemerintahan di Provinsi
DIY Pada Kantor Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota , 2010
JUMLAH JUMLAH
1 2 3 4 5 6
1. DI. Yogyakarta 3 2 4 1
Sumber : BIRO PEMERINTAHAN SETDA PROV DI. Yogyakarta
39
Perempuan di lembaga yudikatif atau dalam hal ini lebih dikenal
dengan istilah peradilan atau hukum. Kasus perempuan banyak terjadi
seperti halnya pemerkosaan, pelecehan, kekerasan dan lain sebagainya,
sering dibawa ke meja hijau dan sering pula terdengar kabar bahwa kasus
tersebut tidak dilaporkan karena berbagai alasan. Hal tersebut sangat
merugikan bagi perempuan itu sendiri karena haknya tidak diberikan hak
dalam hal keadilan, tetapi dengan adanya perempuan di lembaga yudikatif
akan memperkecil kasus ketidakadilan tersebut
Tabel 4.4 Jmlh Hakim dan Pejabat Pada Pengadilan Negeri di Provinsi
DIY Menurut Kabupaten/Kota, 2010
40
4.3 PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi dan hal ini
tercantum dalam Undang-Undang dasar 1945. Warga negara dalam hal ini
juga mencakup perempuan dan Anak-anak, dengan kata lain perempuan dan
anak-anak juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlindungan.
Perlindungan disini termasuk perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya.
Selain itu juga berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupak hak asasi
manusia.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak telah berlangsung
sepanjang sejarah kehidupan manusia. Demikian pula yang terjadi di
Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain, perkosaan,
pelecehan seksual, pemukulan, perkawinan paksa, perceraian secara sepihak
tanpa mempertimbangkan keadilan bagi istri dan anak, ekploitasi perempuan
sebagai obyek seksual. Kekerasan tersebut membawa dampak yang luas,
karena menghilangkan kebebasan korban untuk menikmati hak-haknya,
membawa pengaruh psikologis yang luas termasuk dan menghambat
kemajuan yang potensial dapat dicapai oleh korban.
Khusus untuk anak dalam hal ini merupakan generasi penerus bangsa
dan investasi masa depan bagi orang tua, bangsa dan negara. Dalam rangka
mewujudkan anak sebagai penerus bangsa yang sehat, cerdas, ceria,
bertaqwa dan terlindungi, maka pembangunan nasional harus memegang
prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak anak.
41
Bab
5
43
et.al, 1996). Akhirnya, perempuan cenderung menjadi makhuk posisi kelas
dua di bawah dominasi laki-laki. Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai hak
untuk mengontrol gerak laku perempuan dalam hal kehidupan rumah tangga
dan sosial termasuk kehidupan seksualitas, reproduksi dan tubuh mereka
(Cheal, 1991).
Modern naturalistic ideology lebih berkaitan dengan keseimbangan
hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam kerangka mewujudkan
kualitas hidup yang terbaik. Kualitas hidup manusia dapat dicapai dengan
dukungan hak asasi manusia untuk memperoleh kebebasan, kenyamanan
hidup, kepuasan mental, sosial dan fisik. Untuk sebuah kepuasan hubungan
tersebut, ideologi ini juga memberikan perhatian pada perilaku seks,
termasuk di dalamnya tindakan seks, kepuasan seks dan pengungkapan
berbagai perilaku erotik untuk memperoleh kepuasan (Cheal, 1991). Hal itu
berarti bahwa perempuna mempunyai kebebasan dalam hal hubungan intim,
juga melakukan penolakan terhadap tindakan kekerasan seksual tanpa
perasaan takut. Namun demikian, disebabkan perempuan hidup di dalam
dunia laki-laki atau sistem patriarkhi, beberapa distorsi hubungan yang
bermuara pada kekerasan seksual juga sering terjadi.
Terciptanya keadilan dan kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan serta terhapusnya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
terutama anak gadis serta kemampuan perempuan dalam mengontrol
fertilitasnya merupakan landasan bagi program-program kependudukan dan
pembangunan. Kesenjangan gender atau ketidak setaraan gender terutama
dalam hal kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan
dan partisipasi politik berakibat kepada tingkat efisiensi pelaksanaan
program pembangunan suatu negara.
Dalam konteks Kependudukan dan Pembangunan, kesetaraan dan
keadilan gender merupakan hal yang sangat penting karena hal tersebut
menimgkatkan kemampuan perempuan maupun laki-laki dalam mengambil
keputusan mulai dari tingkat keluarga. Hal ini memberi dampak positif
khususnya terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual individu,
pasangan maupun keluarga.
Keadilan dan kesetaraan gender erat kaitannya dengan pemberdayaan
dan status perempuan. Perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas
beragam sumberdaya produktif terutama dalam hal ekonomi, pendidikan dan
kesehatan. Keterbatasan ini mempengaruhi bahkan membatasi kemampuan
perempuan dalam pengambilan keputusan dalam komunitas mereka maupun
ditingkat local dan nasional dan menghambat partisipasi perempuan dalam
distribusi sumberdaya. Akibatnya, kondisi, posisi dan status perempuan
44
terutama dalam hal perannya di sektor publik khususnya dan pembangunan
pada umumnya tertinggal dari laki-laki. Ketertinggalan perempuan dalam
proses politik dan kehidupan sosial masyarakat di setiap tingkatan
menyebabkan tersingkirkannya perhatian terhadap persoalan dan
kebutuhan-kebutuhan yang spesifik perempuan khususnya dalam bidang
kesehatan reproduksi.
Diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan dapat
berbentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mulai dari
derajat kekerasan yang paling rendah seperti pemberian nilai, perlakuan yang
berbeda dalam pemberian gizi dan pelayanan sosial, perlakuan yang berbeda
dalam pemberian upah untuk jenis pekerjaan yang sama, sampai kepada
derajat kekerasan yang lebih berat seperti perdagangan perempuan dan anak
perempuan, kekerasan fisik dan kekerasan seksual baik dalam rumah tangga
maupun di tempat umum, ditempat kerja, di sekolah dan didaerah konflik.
Perdagangan perempuan dan anak dalam bentuk memperlakukan
perempuan dan anak seperti barang dagangan yang dapat diperjual belikan,
dipindahkan dan dirampas hak-hak dasarnya dan berkembang menjadi
bentuk perbudakan. Akibat lain dari perdagangan perempuan dan anak
adalah meluasnya penyakit menular seksual bagi perempuan dan anak yang
merugikan dan memperburuk status dan derajat kesehatan perempuan serta
masa depan mereka. Kejadian tentang perdagangan perempuan dan anak
perempuan semakin meningkat, sejalan dengan tingkat kemiskinan yang sulit
diatasi.
Beberapa permasalahan yang masih kental di masyarakat Provinsi D.I.
Yogyakarta terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender adalah sebagai
berikut.
1. Belum optimalnya penghargaan hak setiap individu dalam bingkai
perbedaan antara laki-laki dengan perempuan (unity and equal in
diversity). Hak-hak perempuan dan anak perempuan merupakan bagian
yang integral, tidak dipisahkan dan tidak dibedakan dalam Hak-Hak Asasi
Manusia Universal.
2. Belum berjalannya kesamaan tanggung jawab (shared responsibility)
secara optimal antara laki-laki dan perempuan. Pada umumnya
perempuan lebih bertanggung jawab di sektor rumah tangga, seperti
aktivitas pengasuhan dan pemeliharaan, sementara itu, laki-laki dominan
di sektor publik dan cenderung lebih mempunyai akses dalam bidang
ekonomi.
3. Belum terciptanya kemitraan yang harmonis (harmonious partnership)
dalam pengambilan keputusan mulai dari keluarga, masyarakat, bahkan
45
pemerintahan. Perempuan sering dipandang sebagai kaum minoritas
yang tidak mampu mengambil keputusan secara rasional. Dalam hal ini
berbagai keputusan tentang pengelolaan ekonomi, bahkan untuk
kepentingan diri perempuan itu sendiri harus diputuskan oleh laki-laki.
4. Belum adanya pelibatan perempuan dalam berbagai kegiatan baik
ekonomi, sosial, maupun politik di tingkat desa secara menyeluruh dan
terpadu (holistic and integrity).
5. Belum terpenuhinya kebutuhan dasar untuk hidup layak bagi kaum
perempuan. Dalam berbagai pemenuhan kebutuhan hidup, kebutuhan
laki-laki cenderung diutamakan daripada kebutuhan kaum perempuan.
Ini merupakan prinsip kehidupan patriarkhi yang lebih mengedepankan
kepentingan laki-laki ketimbang kepentingan perempuan.
Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap
isterinya di dalam rumah tangga.
Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan
tersiksa dan tertekan.
Pelecehan seksual.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
46
seksualitas, berpengaruh terhadap martabat di tempat kerja, termasuk di
dalamnya perlakuan fisik tak dikehendaki, baik verbal maupun nonverbal
(CEC, 1993). Walaupun pelecehan seksual dapat terjadi pada jenis kelamin
laki-laki maupun perempuan, namun ketimpangan gender yang masih subur
di masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang rentan sebagai
subjek dari tindak pelecehan seksual. Berdasarkan Badan Survay Nasional di
Amerika pada tahun 1992 diproyeksikan bahwa sekitar 44 persen sampai
dengan 85 persen dari perempuan Amerika akan mengalami pelecehan
seksual di sepanjang karier pekerjaan mereka. Lebih dari itu, berdasarkan
hasil survey secara internasional terhadap korban tindak kekerasan pada
lebih dari 30 negara di dunia, ditemukan bahwa kekerasan seksual yang
terjadi di tempat kerja dapat berbentuk perkosaan, percobaan perkosaan, dan
perilaku menyimpang lain yang mengarah pada seks. Ditemukan bahwa
pelecehan seksual di tempat kerja yang berat seperti perkosaan tercatat 8
persen dan percobaan perkosaan sekitar 10 persen (ILO, 2001).
Telah sama-sama disadari bahwa semua bentuk kekerasan membawa
imbas yang serius terhadap kesehatan perempuan dan kesehatan reproduksi
mereka. Secara global di dunia diketahui setidaknya satu dari lima perempuan
yang disurvey melaporkan bahwa mereka pernah mengalami tindak
kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual disertai dengan
kekerasan fisik dan tindak pemaksaan yang berkaitan dengan seksualitas.
(Watts, 1995; Ellsberg, 1997; Scott-Collins et al., 1999)(lihat tabel 1).
Diperkirakan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar 32,000 kehamilan
pertahun, yang terjadi dari hasil dari perkosaan, kebanyakan dari mereka
masih dalam usia remaja putri dimana 50 persen diantaranya tidak
melanjutkan kehamilannya alias aborsi (Garcia-Moreno, 2002). Sebuah studi
yang dilakukan di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia dengan fokus kekerasan
seksual dalam rumah tangga juga menunjukkan hal yang senada, sekitar satu
dari empat istri mengalami kekerasan seksual oleh suami pada suatu waktu
dalam hidupnya. Kebanyakan dari mereka yang mengalami kekerasan seksual
juga mengalami kekerasan fisik (pukulan, tendangan, tamparan dan
sebagainya) dan kekerasan emosional (penurunan martabat, makian,
bentakan, dan ancaman tindakan secara fisik) (Hakimi, et.al, 2001).
Pelecehan seksual (sexual harassment) merupakan salah satu bentuk
dari tindakan diskriminasi atas dasar perbedaan jenis kelamin yang pada
umumnya terjadi di tempat bekerja. Pelecehan seksual tersebut terjadi
sebagai dampak dari perbedaan hubungan sosial yang melekat pada laki-laki
dan perempuan, juga perbedaan tata nilai pada bagaimana laki-laki dan
perempuan harus berperilaku. Sebagai contoh, masyarakat sosial secara
47
relatif akan memberikan harkat tinggi kepada perempuan yang penurut, pasif,
pediam; sementara laki-laki akan lebih baik jika berperilaku agresif, keras,
juga aktif dalam hal-hal yang terkait dengan inisiasi seksual. Itulah maka
dalam kehidupan sosial, perempuan cenderung menjadi obyek dari kekerasan
seksual (survivors) dan laki-laki kebanyakan menjadi pelakunya
(perpetrators).
Pemahaman yang mendalam tentang ruang lingkup pelecehan seksual
di tempat bekerja memerlukan kajian menyeluruh konsep kekerasan
terhadap perempuan dalam arti umum. Sebagaimana telah sama-sama
diketahui, kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan isu yang sangat
kompleks dan multidimensi. Selain berakibat pada aspek kesehatan fisik,
psikologis dan reproduksi perempuan, tindak kekerasan terhadap perempuan
dapat terjadi dalam beberapa bentuk, berdasarkan tempat terjadinya, siapa
pelakunya dan motif atau alasan yang melatarbelakanginya. Tindak kekerasan
tersebut dapat terjadi di ruang publik dan domestik seperti: kekerasan
domestik oleh suami (marital rape), kekerasan terhadap anak, pemaksaan
prostitusi, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, girls and women-
trafficking dan pelecehan seksual di tempat bekerja. Dalam masyarakat
tertentu, misalnya di India, terdapat bentuk-bentuk kekerasan yang
diperbolehkan oleh masyarakat karena berkaitan dengan tradisi dan norma
sosial, seperti pembunuhan yang terkait dengan mas kawin (dowry-related
death), pembunuhan oleh keluarga sendiri dengan sebab untuk menjaga nama
baik atau martabat keluarga (killing honour) dan mutilasi alat kelamin
perempuan (female genital mutilation)(Tanchainan, 1989; Browne, 1993;
WHO, 1997; Garcia-Moreno, 2002).
Walaupun telah didiskusikan panjang lebar, sampai saat ini belum ada
definisi khusus yang secara tepat menjelaskan makna dari kekerasan
terhadap perempuan. Secara operasional, terjadi perbedaan definisi dan
istilah yang dipakai untuk menunjuk kekerasan terhadap perempuan
menurut perbedaan daerah dan disiplin ilmu. Sebagai contoh, pemaknaan
kekerasan dalam rumah tangga (marital rape) akan mungkin berbeda antara
feminist, sosiologist, ahli ilmu hukum dan antropologist. Tidaklah
mengherankan apabila terdapat beberapa istilah untuk menunjuk kekerasan
pada perempuan misalnya kekerasan oleh pasangan intim (intimate male-
partner), pemukulan terhadap perempuan (battered women), pelecehan
seksual (sexual harassment) dan kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence)(lihat Diagram 5.1). Penggunaan istilah pemukulan terhadap
perempuan (battered women) misalnya, istilah pemukulan terhadap
perempuan secara luas dipakai di Amerika dan Eropa untuk menjelaskan
48
perempuan yang mengalami kekerasan fisik atau dominasi oleh pasangan
mereka (male partner) (Walker, 1979; Stockard, 1992). Sementara itu, istilah
kekerasan domestik (domestic violence) mengacu pada semua bentuk
kekerasan yang terjadi di rumah tangga, tidak saja pada istri tetapi juga pada
anak, orang tua, pembantu, dan saudara. (Murni, 1999: 5, Hakimi, et.al., 2001:
4). Secara umum, perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Pada masyarakat yang masih menggunakan sistem patriakhi secara kental,
perempuan menjadi lebih rentan dan sasaran kekerasan rumah tangga
(Brenner, 1995).
Kekerasan yang berbasis gender (gender-based violence) dapat
didefinisikan sebagai suatu bentuk tindakan yang menyakitkan, melukai,
membahayakan tertuju pada perempuan karena kedudukannya sebagai
perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap istri, pemaksaan
seksual (sexual assault), pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape),
pemberian nutrisi yang berbeda pada anak perempuan, pemaksaan prostitusi,
kekerasan terhadap anak, pembunuhan yang terkait dengan mas kawin
(dowry-related murder) dan sebagainya (Garcia-Moreno, 2002: 113). Menurut
pasal 1 dari deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, istilah
kekerasan terhadap perempuan (violence against women) berarti semua
tindak kekerasan yang berbasis gender baik tindakan fisik, seksual dan
emosional yang membuat perempuan menderita termasuk di dalamnya
segala bentuk ancaman, intimidasi dan pelanggaran hak atau kemerdekaan
perempuan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (Martin
& Carson, 1996: 231).
49
Tindakan yang berbasis seksual yang berpengaruh pada kehormatan atau
martabat perempuan dengan tidak dikehendaki, tidak diharapkan atau
tanpa disadari.
Tindakan tersebut secara eksplisit maupun tidak berkaitan dengan
kinerja atau prospek kerja perempuan.
Tindakan tersebut bersifat intimidasi, merendahkan martabat dan
mempunyai imbas pada lingkungan atau iklim bekerja yang tidak kondusif
bagi perempuan.
Diagram 5.1 Konsep kekerasan berbasis gender
Kekerasan berbasis
gender
Kekerasan
Kekerasan terhadap terhadap laki-laki*)
perempuan
50
merendahkan martabat perempuan atau tidak. Hal ini sangat ditentukan oleh
norma sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat berikut tingkat
sensitivitas perempuan terhadap suatu tindakan. Terkadang dari pihak
perempuan sendiri menilai suatu tindakan yang sesungguhnya pelecehan
seksual seperti bergurau dengan kata-kata yang jorok tetapi dianggap sebagai
hal biasa yang justru menambah gariah dalam bekerja. Dalam kerangka
memahami tipe dasar dari pelecehan seksual di tempat bekerja, yakni quid
pro quo dan the creation of a hostile working condition (Morgan, 2001; ILO,
2001).
Quid pro quo merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti ini untuk
itu. Hal ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual biasanya dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai kewenangan atau posisi yang lebih superior di
kantor seperti majikan, direktur, pengawas (supervisor) sebagai
kompensasinya dalam memberikan beberapa kemudahan kepada pekerja,
misalnya peningkatan gaji, promosi jabatan, pelatihan, dan kemudahan lain
yang terkait dengan pekerjan. Dengan demikian, quid pro quo memaksa
pekerja untuk menentukan pilihan antara mau dilecehkan secara seksual oleh
majikan atau kehilangan beberapa kemudahan yang terkait dengan pekerjaan.
Namun demikian, tindakan pelecehan seksual dengan dalih untuk
meningkatkan gairah kerja tersebut jelas akan berdampak pada iklim kerja
(work atmosphere) yang tidak kondusif. Itulah makanya, segala bentuk
tindakan pelecehan seksual di tempat bekerja akan menciptakan lingkungan
bekerja yang tidak nyaman (the creation of a hostile working condition)(ILO,
2001)(lihat Diagram 5.2).
51
Diagram 5.2 Bentuk Pelecehan Seksual di Tempat Bekerja
Pelecehan Seksual
52
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima
salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan
permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja
diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di
wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah
mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti
pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun
demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.
Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
53
pertama, secara ekonomi dapat dijadikan sebagai indikator fleksibilitas sistem
ekonomi di perdesaan yang adaptif dan resisten terhadap krisis, sehingga
mekanisme pembagian pekerjaan (sharing occupation mechanism) dapat
berfungsi sebagai katup pengaman atau strategi mempertahankan
kelangsungan hidup rumah tangga. Kedua, secara sosial menunjukkan
beratnya posisi ibu rumah tangga, di satu sisi sebagai pengasuh anak,
pendamping suami dan pengatur rumah tangga, di sisi lain harus masuk
dalam pasar kerja. Tentunya diperlukan manajemen waktu yang optimal
antara mengatur rumah tangga dengan bekerja. Muara dari peran ganda ini
dapat berupa eksploitasi sumber daya penduduk perempuan dan subordinasi
struktural dalam rumah tangga.
Permasalahannya adalah apakah perempuan desa yang dominan pada
kegiatan ekonomi pertanian tersebut menikmati pekerjaan yang dijalani atau
tidak. Yang terpenting sebetulnya bukan saja bekerja atau tidak, tetapi makna
dari pekerjaan tersebut, dan kenyataanya, penduduk perempuan lebih banyak
berperan sebagai pekerja keluarga daripada pekerja ekonomis. Persepsi ini
penting untuk mengetahui latar belakang masuknya mereka dalam pasar
kerja, apakah mereka rela memasukinya, atau justru masuknya mereka dalam
pasar kerja informal tersebut karena terpaksa yang sesungguhnya tidak
dikehendaki (unwanted occupation). Berbagai permasalan perempuan dalam
sistem ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Belum optimalnya kegiatan ekonomi dalam bentuk kelompok dengan
fungsi pemenuhan kebutuhan dasar ekonomi
2. Belum terdapat pelembagaan kegiatan ekonomi yang bersifat swadaya
3. Kaum perempuan belum diintegrasikan dalam berbagai kegiatan
ekonomi
4. Belum optimalnya berbagai mekanisme subsidi permodalan, masih
banyak usaha yang bertopang pada jasa rentener.
5. Masih banyak penduduk perempuan rentan miskin yang belum
diberdayakan
6. Belum optimalnya kegiatan perempuan secara mandiri dalam
pengembangan ekonomi rumah tangga dan masyarakat
7. Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pemberdayaan
perempuan
8. Kesadaran terhadap kesetaraan gender masih rendah, baik pada tingkat
individu, rumah tangga, maupun masyarakat
9. Belum optimalnya dukungan sosial masyarakat secara berkelanjutan
terhadap upaya pengembangan lingkungan sosial yang harmonis, dalam
54
arti tercipta keselarasan dan kesetaraan antara laki-laki dengan
perempuan
10. Kualitas sumber daya kaum perempuan yang masih rendah, baik dari sisi
pendidikan, ketrampilan, tingkat upah, partisipasi dalam angkatan kerja,
tingkat kesehatan dan sebagainya.
11. Belum adanya pengembangan kelembagaan secara terpadu yang
didukung oleh kebijakan perundangan yang kondusif mendukung
program pemberdayaan perempuan baik di tingkat lokal maupun daerah.
12. Belum optimalnya program pemberdayaan bagi perempuan
terpinggirkan seperti perempuan tua, penyandang cacat, dan perempuan
miskin.
Contoh :
Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga
dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah
yang diterima.
Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK
dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja
karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan,
pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi,
hamil, melahirkan dan menyusui.
Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern
dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja
perempuan,
55
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan
memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau
reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Contoh :
Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran
pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.
Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang,
karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik
(anggota legislative dan eksekutif ).
5.1.6 Persoalan Buruknya Perundangan Kesetaraan Gender
Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender
dirumuskan dalam UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
28C ayat 1. Landasan hukum lain yang memastikan terciptanya kesetaraan
dan keadilan gender adalah UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan; Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan
gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan; dan UU No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kendala yang dihadapi dalam peningkatan keadilan dan kesetaraan
gender disebabkan oleh beberapa hal yaitu lemahnya KUHP terhadap
perlindungan perempuan korban kekerasan seperti pelecehan seksual,
perkosaan, pornografi dan pornoaksi; sementar itu UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 yang biasa gender masih berlaku terkait dengan pasal 3 dimana
memperbolehkan poligami dengan syarat ada ijin dari istri. Poligami sebagai
wujud konkrit dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga, dan ijin isteri
tidak meniadakan watak hegemonis dari sitem perkawinan seperti itu.
Persyaratan ijin seringkali diabaikan, atau diberikan oleh isteri dalam situasi
tertekan.
56
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7/1990 yang hanya mengakui
tunjangan untuk istri dan anak yang mengakibatkan perbedaan upah pekerja
laki-laki dan perempuan. Pasal 34 UU yang sama mengatakan bahwa laki-laki
wajib memberikan nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah
tangga. Pasal ini sangat bias gender karena baik laki-laki maupun perempuan
sangat terbebani oleh peran gender mereka. UU No. 39 Tahun 1999 mengatur
tentang pelarangan perdagangan perempuan. Kenyataan menunjukkan bahwa
perdagangan perempuan dari waktu ke waktu kian meningkat. Oleh Karena
itu, negara perlu mengambil peran yang lebih besar guna melindungi
perempuan dari akibat buruk.
Kebijakan yang perlu ditempuh adalah revisi undang-undang terbaru tentang
ketenagakerjaan agar lebih berorientasi penegakan hukum bagi perlindungan
buruh migran, dan pencegahan terjadinya perdagangan perempuan. UU
tersebut juga harus dilaksanakan secara konsisten untuk memberantas
perdagangan perempuan dan melindungi perempuan dan anak dari
kekerasan, penipuan, dan memperhatikan implikasi kesehatan dan sosial dari
migrasi lintas batas.
57
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun. Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
Kemudian kebijakan tentang perlunya kesetaraan gender menjadi
salah satu agenda dalam Program Pembangunan Nasional, yang dilakukan
melalui berbagai program pemberdayaan perempuan dengan maksud agar
antara laki-laki dan perempuan menjadi mitra sejajar dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik di bidang politik, ekonomi dan
kehidupan rumah tangga. Untuk itu Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan kebijakan yang sangat
strategis dan penting terutama bagi para penentu kebijakan dan pengambil
keputusan dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berwawasan
keadilan dan kesetaraan gender. Pembangunan berwawasan gender dengan
berpegang pada prinsip keadilan dan kesetaraan gender maka semua
penduduk tanpa memandang jenis kelamin dijamin haknya untuk dapat
berpartisipasi dalam semua program pembangunan yang diimplementasikan
agar memperoleh manfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan secara individu.
Negara menjamin pelaksanaan prinsip kesamaan (equity) sesuai dengan
prioritas pembangunan yang ditetapkan sebagaimana yang diamanatkan
dalam UUD 1945.
Dewasa ini yang menjadi permasalahan utama dalam mengamati
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan
bermasyarakat dalam kesehari-hariannya di Indonesia adalah masih cukup
banyaknya persepsi subordinasi hampir di seluruh komunitas, dimana laki-
laki ditempatkan sebagai seorang pemimpin dan perempuan sebagai
pengikutnya. Persepsi yang demikian ini menempatkan perempuan pada
posisi yang kurang diuntungkan yang kemudian dapat merupakan salah satu
penyebab terjadinya ketidak adilan, terutama ketika dihadapkan pada
kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas diri seseorang.
Kemudian juga dalam kehidupan berkeluarga, kedudukan perempuan
sering dinomorduakan, misalnya untuk meningkatkan kualitas diri seseorang
melalui bidang pendidikan dan ketika sumberdaya keluarga terbatas maka
anak laki-laki yang lebih diutamakan. Demikian juga dalam kehidupan
bermasyarakat, ketika misalnya pemberi kerja harus mengambil keputusan
58
untuk memperkerjakan perempuan atau laki-laki meskipun keduanya sama-
sama memenuhi persyaratan untuk suatu jabatan, maka preferensi yang
terjadi seringkali menguntungkan pihak laki-laki. Dari kedua kasus tersebut
dan mungkin kasus-kasus lain serupa yang dapat ditemukan, ini menunjukan
masih adanya diskriminasi dan belum adanya kesetaraan gender dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Bila situasi demikian yang kita temui,
maka posisi perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Kita ketahui bersama bahwa sejak dahulu, mulai masyarakat berburu
sampai berkembang menjadi masyarakat bertani dan industri, perempuan
diposisikan dalam kehidupan rumah tangga (domestic). Sejalan dengan
perkembangan jaman, perempuan menyadari ketertinggalannya dalam
kehidupan publik. Kesadaran ini mendorong kaum perempuan untuk
memperjuangkan haknya dan posisinya dengan mengaktualisasikan dirinya,
berperan dalam pembangunan serta memperoleh akses yang sama dengan
laki-laki.
Untuk dapat mencapai hal ini, perempuan perlu meningkatkan
kemampuan-nya agar menjadi sumber daya yang potensial dan teruji,
sehingga eksistensi dirinya secara berangsur-angsur akan dapat
meningkatkan posisinya sehingga sejajar dengan laki-laki secara terstruktur
dalam masyarakat. Namun dalam posisi dan peran yang lebih strategis masih
perlu perjuangan panjang, melalui pembangunan keluarga berkualitas yang
tinggi, serta kerja keras dan jiwa profesional serta mempunyai kemampuan
self empowerment.
Kekerasan merupakan hal yang paling nampak dan sering terekspos
media baik cetak maupun elektronik. Lebih lanjut mengenal kekerasan dapt
dengan memahami pengertian dari kekerasan itu sendiri. Ada beberapa
pengertian yang dapat membantu kita untuk memahami makna dari
kekerasan, kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak,
yaitu:
Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau
tenpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan
bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya
kemerdekaan seseorang.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk acaman tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik
atau dalam kehidupan pribadi.
59
Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental,
seksual, psikologis, termasuk penelentaraan dan perlakuan buruk yang
mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.
60
disingkat sebagi Konvensi Perempuan), harus memasukkan dalam laporan
mereka masalah kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi No. 19 secara
tegas mengarahkan perhatian negara-negara yang meratifikasi Konvensi
Perempuan agar dapat menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan, sebagai bagian dari kewajiban legalnya.
Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Segala
Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, atau sering disebut sebagai Deklarasi
Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Terobosan tersebut kemudian
ditindaklanjuti lagi pada Konferensi Dunia PBB IV tentang Perempuan, yang
diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995, sehingga komitmen masyarakat
internasional semakin mendapatkan penegasan untuk menyikapi segala
bentuk kekerasan yang dialami perempuan. Dalam konferensi ini kekerasan
terhadap perempuan ditetapkan sebagai salah satu dari 12 bidang kepedulian
masyarakat dunia dan sebagai hambatan dalam mencapai "kesetaraan,
pembangunan dan perdamaian".
CEDAW telah membuat rekomendasi kepada semua negara yang telah
meratifikasinya untuk dimasukkan dalam laporan mereka masalah kekerasan
terhadap perempuan. Dengan ditetapkannya kekerasan terhadap perempuan
sebagai isu global dan pelanggaran HAM, maka muncullah Definisi tentang
kekerasan terhadap perempuan yang disepakati secara internasional. Definisi
tersebut adalah: "Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi
(Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1).
61
laki menganggapnya sebagai hal yang benar. Belum banyak yang berfikir
bahwa hal itu adalah merupakan sebuah diskriminasi terhadap perempuan
dengan segala konsekuensinya.
62
selisih jauh dari Kab. Gunung Kidul (25%) dari total kasus dan paling sedikit
adalah Kota Yogyakarta ( 19%).
Data tersebut b elum dapat dipastikan meningkat atau menurun
secara umum, karena k etersediaan data yang masih belum bagus dari segi
pencatatannya, harapannya kedepannya akan lebih bagus sehingg a dapat
diperbandingkan jumlah kasus sehingga dapat diketahui trend dari kasus
kekerasan terhadap per empuan dan anak naik atau turun. Diantara lima
Kabupaten/ Kota di pro vinsi DI. Yogyakarta sebenarnya tercatat bahw a pada
tahun 2009 terdapat 32 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kab. Gunung
Kidul. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 67 kasus,
Sementara pada kasus kekerasan terhadap anak juga mengalami k enaikan
jumlah pelaporan dari 17 kasus ke 34 kasus. Hal ini menu njukkan
peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kab upaten
tersebut sebesar lebih dari 100% selama satu tahun. Data semacam i ni perlu
untuk dicermati kare na disamping kenaikan secara kuantitatif yang
signifikan, dampak kualitatif semacam psikis korban juga wajib dipikirkan
jalan keluarnya.
63
Grafik 5.4 Jumlah K orban Kekerasan Terhadap Anak di Provi nsi
DI. Yogyakarta Tahun 2010
64
Tabel 5.1 Jumlah Korban Kekerasan di Provinsi DI. Yogyakarta
BerdasarkanCiri-Ciri Korban Tahun 2010
JUMLAH KASUS
Ciri-Ciri Slema Gunun Kulon Kota Provins
Bantul Yogyakart
Korban n g Kidul Progo i
a
Jenis Kelamin
L 17 3 1 1 7 71
P 86 64 53 84 184 607
Usia
0-17 36 34 24 26 18 160
18-24 18 10 7 10 28 94
25 + 48 21 23 49 144 412
Pendidikan
Tdk Sklh 3 0 0 5 3 60
SD 8 1 8 11 33 81
SLTP 18 13 15 13 31 56
SLTA 30 7 23 39 92 259
PT 5 0 1 5 20 146
Pekerjaan
Tdk Bkrja 21 18 6 20 51 191
Bekerja 82 49 48 65 140 487
Status
Perkawinan
Blm Kawin 46 33 26 33 93 238
Kawin 55 25 28 51 96 422
Cerai 0 0 0 0 2 11
65
dan keberlangsungan kehidupan mereka, serta untuk memperoleh
perlindungan yang memadai sejak dari dalam kandungan sampai anak
berusia 18 tahun. Hal ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa
bangsa Indonesia ke kondisi dan kemampuan yang lebih baik di masa yang
akan datang.
Situasi dan kondisi anak saat ini masih mencerminkan adanya
penyalahgunaan (abuse), eksploitasi, diskriminasi, dan masih mengalami
beberapa tindak kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani,
rohani, dan sosial anak. Padahal, anak adalah amanah dan karunia sebagai
generasi penerus perjuangan penentu masa depan bangsa dan negara. Oleh
karena itu, diperlukan upaya-upaya yang memberi periindungan khusus
kepada anak-anak yang berada dalam keadaan sulit tersebut.
Pasal 59 UU No.23 tahun 2002 tentang Periindungan Anak
menyatakan bahwa periindungan khusus diberikan kepada:
1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan,
anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata)
2. Anak yang berhadapan dengan hukum
3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan /atau seksual
5. Anak yang diperdagangkan
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza)
7. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan
8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental
9. Anak korban perlakuan salah/penelantaran
10. Anak penyandang cacat.
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. Kota Yogyakarta 105 90
2. Kab. Bantul 56 27
3. Kab. Kulonprogo 80 13
4. Kab.Gunung Kidul 77 3
5. Kab. Sleman 23 7
6 Provinsi DIY 341 140
Sumber: Dinas sosial Provinsi DIY
66
Ket: Data merupakan jumlah anak yang hidup dijalanan yang tercatat di dinas
sosial
Anak jalanan yang tercatat pada dinas sosial Provinsi DIY memiliki
rincian 341 orang anak laki-laki dan 140 orang anak perempuan. Anak
jalanan dan anak terlantar di DI. Yogyakarta tersebut rentan akan kekerasan,
dan kriminalitas lainnya. Anak jalanan dengan jenis kelamin laki-laki (105
anak) dan perempuan (90 anak) paling tinggi terkonsentrasi di Kota
Yogyakarta, sedangkan paling rendah di Sleman. Anak jalanan dengan jenis
kelamin laki-laki (23 anak) dan untuk perempuan paling rendah ada di
Kabupaten Gunung Kidul (3 orang)
67
5.4 ISU STRATEGIS TINGKAT KABUPATEN
Isu yang ada di kota Yogyakarta berdasarkan atas data statistik yang
berhasil dikumpulkan oleh BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta
menunjukkan bahwa kota Yogyakarta masih memiliki catatan kekerasan baik
terhadap perempuan maupun anak-anak. Kekerasan terhadap perempuan di
Kota Yogyakarta dilihat dari jumlah kasus kekerasan yang ada terlihat bahwa
96% kekerasan terjadi pada perempuan, dimana kekerasan yang terjadi
paling banyak menimpa pada korban dengan usia lebih dari 25 tahun (75,4
%). Kekerasan tersebut paling banyak menimpa korban dengan pendidikan
SLTA (48 %). Pendidikan yang menjadi sasaran korban kekerasan disini
termasuk dalam Lanjutan tingkat atas, seharusnya memiliki tingkat
pendidikan yang cukup bagus dengan wawasan yang cukup untuk turun di
dunia kerja, tetapi masih tercatat korban kekerasan di Kota Yogyakarta
terbanyak dari tingkatan tersebut. Korban kekerasan tersebut sebagian besar
adalah sudah bekerja (73 %), tetapi menurut data yang tercatat
BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta kekerasan terjadi sebagian besar (163
kasus) di rumah tangga, sementara di tempat kerja tercatat hanya ada satu
kasus. Hal ini mengindikasikan bahwa korban adalah pasangan yang sudah
memiliki keluarga atau telah menikah (50,3 %).
Isu yang ada di Kab. Sleman berdasarkan atas data statistik yang
berhasil dikumpulkan oleh BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta
menunjukkan bahwa Kab. Sleman masih memiliki catatan kekerasan baik
terhadap perempuan maupun anak-anak. Akan tetapi jika dibandingkan
dengan kota Yogyakarta, data yang tercatat relatif lebih sedikit. Kekerasan
terhadap perempuan di Kab. Sleman dilihat dari jumlah kasus kekerasan yang
ada terlihat bahwa 83,5 % kekerasan terjadi pada perempuan, dimana
kekerasan yang terjadi paling banyak menimpa pada korban dengan usia lebih
dari 25 tahun (46,6 %). Kekerasan tersebut paling banyak menimpa korban
dengan pendidikan SLTA (29,1 %). Pendidikan yang menjadi sasaran korban
kekerasan disini termasuk dalam Lanjutan tingkat atas, seharusnya memiliki
tingkat pendidikan yang cukup bagus dengan wawasan yang cukup untuk
turun di dunia kerja, tetapi masih tercatat korban kekerasan di Kota
Yogyakarta terbanyak dari tingkatan tersebut. Korban kekerasan tersebut
68
sebagian besar adalah sudah bekerja (79,6 %), tetapi menurut data yang
tercatat BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta kekerasan terjadi sebagian
besar (27 kasus) di rumah tangga, sementara di tempat kerja tidak ada
catatan kasus. Hal ini mengindikasikan adanya KDRT dari pasangan, buktinya
adalah korban kekerasan tercatat sudah memiliki keluarga atau telah menikah
(53,4 %).
Isu yang ada di Kab. Bantul berdasarkan atas data statistik yang
berhasil dikumpulkan oleh BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta
menunjukkan bahwa Kab. Bantul masih memiliki catatan kekerasan baik
terhadap perempuan maupun anak-anak. Akan tetapi jika dibandingkan
dengan kota Yogyakarta, data yang tercatat relatif lebih sedikit. Kekerasan
terhadap perempuan di Kab. Bantul dilihat dari jumlah kasus kekerasan yang
ada terlihat bahwa 98,8 % kekerasan terjadi pada perempuan, dimana
kekerasan yang terjadi paling banyak menimpa pada korban dengan usia lebih
dari 25 tahun (57,6 %). Kekerasan tersebut paling banyak menimpa korban
dengan pendidikan SLTA (45,9 %). Pendidikan yang menjadi sasaran korban
kekerasan disini termasuk dalam Lanjutan tingkat atas, seharusnya memiliki
tingkat pendidikan yang cukup bagus dengan wawasan yang cukup untuk
turun di dunia kerja, tetapi masih tercatat korban kekerasan di Kota
Yogyakarta terbanyak dari tingkatan tersebut. Korban kekerasan tersebut
sebagian besar adalah sudah bekerja (76.5 %), tetapi menurut data yang
tercatat BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta kekerasan terjadi sebagian
besar (43 kasus) di rumah tangga, dan 26 kasus terjadi di tempat lainnya,
sementara di tempat kerja tidak ada catatan kasus. Hal ini mengindikasikan
adanya KDRT dari pasangan, dan kekerasan lainnya buktinya adalah korban
kekerasan tercatat sudah memiliki keluarga atau telah menikah (60 %).
69
lebih dari 25 tahun (42,6 %). Kekerasan tersebut paling banyak menimpa
korban dengan pendidikan SLTA (42,6 %). Pendidikan yang menjadi sasaran
korban kekerasan disini termasuk dalam Lanjutan tingkat atas, seharusnya
memiliki tingkat pendidikan yang cukup bagus dengan wawasan yang cukup
untuk turun di dunia kerja, tetapi masih tercatat korban kekerasan di Kota
Yogyakarta terbanyak dari tingkatan tersebut. Korban kekerasan tersebut
sebagian besar adalah sudah bekerja (88.9 %), tetapi menurut data yang
tercatat BPPM/FKP2PA Provinsi DI. Yogyakarta kekerasan terjadi sebagian
besar (34 kasus) di rumah tangga, dan 20 kasus terjadi di tempat lainnya,
sementara di tempat kerja ada satu catatan kasus. Hal ini mengindikasikan
adanya KDRT dari pasangan, dan kekerasan lainnya. Adanya KDRT dikuatkan
dengan angka jumlah korban kekerasan tercatat sudah memiliki keluarga atau
telah menikah (51,9 %).
70
Bab
6
72
perempuan dengan perubahan knowledge, attitude dan practice (KAP).
Seirama dengan program pemberdayaan perempuan, berbagai dimensi good
governance juga diterapkan. Ini merupakan perbaikan dari beberapa model
pemberdayaan yang telah ada, seperti Kampung Improvement Programme
(KIP), Community Based Development (CBD), Pembangunan Perumahan
Bertumpu pada Kelompok (P2BPK), Gerakan Terpadu Pengentasan
Kemiskinan (Raskin), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
73
seimbang dengan penyedia pelayanan. Mereka berada dalam posisi yang lebih
rendah. Suka atau tidak suka kaum perempuan harus mengikuti aturan main
dari penyedia layanan. Yang kedua, kondisi seperti ini mengakibatkan kaum
perempuan dalam posisi tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan diri dari
keterbatasan yang dihadapi. Oleh karena itu, alternatif mendapatkan
kesempatan memperoleh bantuan kredit sebagai wujud exit mechanism
merupakan bentuk pemberdayaan bagi perempuan miskin desa untuk
melepaskan diri dari keterbatasan yang mereka hadapi.
Dilihat dari signifikansi pinjaman pemerintah, seberapa besarnya kredit
yang diberikan diharapkan mampu menciptakan peluang kerja, meningkatkan
skala usaha, dan kemampuan berkompetisi dengan usaha sejenis lainnya.
Upaya ini tentu saja mampu mengangkat berbagai usaha penyedia jasa,
pekerja mandiri, dan usaha ekonom kecil seperti pedagang asongan, warung
makan, warung kelontong dan usaha sejenis lainnya untuk menjadi lebih
maju. Begitu pun halnya dengan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan,
bantuan kredit dapat saja menjadi pondasi awal bagi berdirinya banyak usaha
mikro baru.
74
etnis, dan kultur lokal menjadi alasan utama mengapa dimensi sosial sulit
diterapkan. Beberapa hal yang patut mendapat perhatian adalah:
1. sosialisasi terhadap pentingnya program pemberdayaan perempuan
dalam pembangunan ekonomi desa secara keseluruhan.
2. integrasi secara sosial kaum perempuan dalam kegiatan sosial
masyarakat.
3. penyadaran sosial akan pentingnya kebersamaan sosial antara laki-
laki dan perempuan.
4. penyadaran terhadap perilaku-perilaku tradisional yang
kontraproduktif terhadap nilai-nilai sosial kesetaraan gender.
5. penyadaran terhadap prinsip pemberdayaan perempuan
berkelanjutan (sustainable women empowerment).
75
berkiprah dalam pembangunan desa secara umum. Hal ini merupakan proses
yang sangat penting dalam memberdayakan perempuan desa.
Orientasi pembangunan lingkungan fisik wilayah beserta fasilitas
lainnya harus menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat secara umum.
Pilihan-pilihan fasilitas yang dibangun, target sasaran pembangunan, dan
mekanisme pemberian bantuan seyogyanya melibatkan unsur kaum
perempuan. Pelibatan seperti ini akan memberikan rasa memiliki dan rasa
nyaman di masyarakat. Sebagai langkah awal, tampaknya partisipasi
perempuan dapat optimal pada beberapa program pembangunan sebagai
berikut.
1. pengembangan lingkungan fisik rumah tangga
2. pengembangan sanitasi lingkungan
3. pengembangan fasilitas pendidikan
4. pengembangan fasilitas kesehatan
5. penataan ruang wilayah
6. pengembangan sarana dan prasarana lingkungan seperti jalan,
sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, kegiatan swadaya
masyarakat dll
76
bahwa Posdaya adalah bagian integral dari program pemerintah di tingkat
desa sebagai upaya terpadu pemberdayaan masyarakat, tak terkecuali
perempuan.
Program advokasi atau perlindungan yang ditawarkan oleh Posdaya
adalah program-program yang mendukung penyegaran fungsi-fungsi
keluarga. Setidaknya ada 8 pilar fungsi keluarga yang patut dipertimbangkan,
yaitu:
1. fungsi keagamaan,
2. fungsi budaya,
3. fungsi cinta kasih,
4. fungsi perlindungan,
5. fungsi reproduksi dan kesehatan,
6. fungsi pendidikan,
7. fungsi ekonomi, dan
8. fungsi lingkungan.
Melalui penguatan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat tercipta
mekanisme pemberdayaan keluarga dalam arti luas, sehingga tercipta
keluarga sejahtera, mandiri, dan sanggup menghadapi tantangan masa depan
dengan lebih baik. Muaranya tentu saja keluarga yang mandiri akan mampu
berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa melalui perannya dalam
bidang KB, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Pada tataran operasional,
Posdaya bekerja dalam mekanisme kelompok, dilakukan dari, oleh, dan untuk
masyarakat secara swadaya sebagai upaya memberdayakan keluarga
sejahtera dan membangun kesejahteraan masyarakat luas.
Ruh gerakan Posdaya adalah pemberdayaan masyarakat secara terpadu
yang dinamis, yaitu pemberdayaan pembangunan keluarga secara terpadu
dengan keluarga lainnya dalam konteks kemasyarakatan. Salah satu tujuannya
adalah pimpinan keluarga, utamanya suami, mengetahui peran dan fungsinya.
Pada akhirnya diharapkan tercipta pemberdayaan terhadap seluruh anggota
keluarga, termasuk di dalamnya adalah istri. Kata kunci dari Posdaya adalah
terpadu, mengandung makna bahwa dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pembinaan dan evaluasi melibatkan berbagai petugas atau
sukarelawan secara terkoordinir, yaitu petugas pemerintah, organisasi sosial,
dan unsur-unsur masyarakat. Penyerasian dinamis berarti diperlukan adanya
keserasian dalam hal memadukan kepentingan masyarakat dan kemampuan
penyediaan bantuan profesional dari pemerintah dan swasta yang disediakan
untuk mendukung kegiatan.
Secara umum ada 3 tujuan Posdaya, yaitu:
77
1. Dihidupkannya dukungan sosial budaya atau social capital seperti hidup
gotong royong dalam masyarakat untuk menolong keluarga lain,
membantu pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama
memecahkan masalah kehidupan yang kompleks, melalui wadah atau
forum yang memberi kesempatan para keluaga untuk saling asah, asih, dan
asuh, dalam memenuhi kebutuhan membangun keluarga sejahtera.
2. Terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan
solid, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat atau kohesi sosial,
sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai, dan memiliki
dinamika yang tinggi.
3. Terbentuknya lembaga sosial dengan keanggotaan dan partisipasi keluarga
di desa atau kelurahan yang dinamis dan menjadi wadah atau wahana
partisipasi sosial, sehingga para keluarga dapat memberi dan menerima
pembaharuan yang dapat membantu proses pembangunan
keluarga.
Sesuai dengan 8 (delapan) fungsi keluarga, sasaran kegiatan yang dituju
adalah upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan
melaksanakan delapan fungsi keluarga tersebut. Ini berarti Posdaya menjadi
wahana bersama agar masing-masing keluarga dapat belajar satu sama lain
sehingga akan tercipta kemandirian dalam membangun anggota kelurganya.
Diharapkan sampai akhir 2009 dapat dikembangkan 1 (satu) Posdaya pada
setiap desa dari sekitar 70.000 desa/kelurahan di Indonesia.
78
Setidaknya ada empat komponen utama yang perlu didudukkan
bersama dalam konteks pemberdayaan perempuan di Provinsi D.I. Yogyakarta
adalah sebagai berikut.
2. Masyarakat
Unsur masyarakat memegang peranan penting dalam proses
pemberdayaan perempuan. Masyarakatlah yang menentukan kiprah
perempuan, apakah perempuan oleh masyarakat diharkati sebagai insan
bermartabat, dalam arti hasil budi, daya, dan karsanya diakui, atau justru
masyarakat memandang perempuan sebagai makhluk rendah yang tidak
dapat berkembang. Terkait dengan pemberdayaan, berbagai organisasi
sosial yang melibatkan perempuan seperti Dasawisma, PKK, dan
Posyandu tampaknya penting untuk dikaji ulang. Kelembagaan yang
perlu dilibatkan di sini adalah lembaga-lembaga lokal tingkat kelurahan
seperti RT, RW, BPK (Badan Pemerintah Kelurahan), LPMD (Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa), dan Pemerintah Desa.
3. Lembaga/Sektor Swasta
Sektor swasta yang dimaksud adalah institusi nonpemerintah yang
mempunyai kepedulian untuk bekerja sama dengan masyarakat
memberikan dukungan dalam berbagai bentuk terhadap program
pemberdayaan perempuan. Beberapa lembaga yang relevan dalam
pemberdayaan adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Kelompok
Pengusaha Peduli, dan unit-unit ekonomi produksi seperti
pabrik/industri.
79
4. Institusi Pemerintah
Legalitas hukum dan peraturan pemerintah yang kondusif terhadap
pemberdayaan perempuan mutlak diperlukan demi kelancaran program.
Landasan hukum ini tidak saja memberikan motivasi dan pijakan hukum
bagi program, tetapi lebih ke arah kepedulian pemerintah terhadap warga
masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, institusi pemerintah yang
utama adalah pemerintah desa sebagai basis pemberdayaan pada tingkat
lokal, walaupun pada prakteknya tetap harus berinteraksi dengan
pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten, bahkan juga pemerintah
propinsi. Program pemberdayaan perempuan haruslah mengacu pada
rencana induk provinsi yang kemudian dijabarkan di masing-masing
kabupaten. Program Nasional Pemberdayaan Perempuan (PNPM) yang
saat ini gencar didengungkan merupakan pijakan penting bagi program-
program ikutan di bawahnya. Kebijakan pemerintah kabupaten dalam
kaitannya dengan pembangunan daerah menjadi sangat penting untuk
dikaji kembali. Pada ranah tanggung jawab dan pembiayaan, tampaknya
pemerintah kabupaten harus menjadi pionir pengembangan.
Pendanaan
Institusi Pemerintah
- BPPM
Sektor swasta - BKKBN
- Departemen
Masyarakat Pendidikan
- Departemen
Perempuan
Partisipasi
Satuan Tingkat Pengusaha
Pemberdayaan Dasawisma
Industri, Pabrik
- Individu PKK
- Rumah Tangga
- Lingkungan Desa
- Lingkungan
Daerah
80
Stakeholders yang berkompeten dalam pemberdayaan perempuan
sebagaimana terlihat pada diagram 6.1 dalam prakteknya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Letak lingkaran mulai dari yang paling dalam,
tengah dan lingkaran terluar adalah manifestasi tanggung jawab dan
partisipasi dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan. Ini dapat
dimengerti karena jika dikaji satu demi satu, lingkaran terdalam adalah
lingkungan masyarakat tempat kaum perempuan miskin berada. Oleh
karenanya kaum perempuan pada lingkungan masyarakat ini haruslah secara
optimal berpartisipasi dalam rangkaian program pemberdayaan, selalu
meleburkan diri, dan menyatu dalam masyarakat. Lembaga-lembaga pada
unit kegiatan sosial masyarakat baik tingkat RT, dusun maupun desa seperti
dasawisma dan PKK juga menjadi tonggak bagi terbina dan terciptanya
partisipasi perempuan dalam pengembagnan ekonomi desa yang diidamkan.
Lingkaran tengah dan lingkaran terluar dalam hal partisipasi dan tanggung
jawab terhadap pelaksanaan program dapat dikatakan relatif lebih rendah,
namun tidak demikian halnya jika dikaji dari sisi pendanaan. Masih
berpedoman pada diagram yang sama, semakin ke arah luar, maka tanggung
jawab terhadap pendanaan semakin tinggi.
Dalam kaitannya dengan pendanaan, unsur pemerintah baik
pemerintah pada tingkat kabupaten maupun pemerintah pada tingkat pusat
adalah penyandang dana utama bagi program pemberdayaan perempuan.
Dalam hal ini aspek pendanaan sudah harus dipikirkan di masing-masing
kabupaten, atau dengan kata lain, pemerintah tingkat kabupaten mempunyai
tanggung jawab yang paling besar. Seirama dengan prinsip otonomi daerah,
dimana tiap-tiap kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal
pembangunan, termasuk juga penganggarannya. Ini cukup beralasan karena
jika dilihat dari aksesnya terhadap uang, merekalah yang mempunyai jalinan
dan kekuatan untuk membiayai program. Demi mengurangi kemungkinan
bocor berkenaan dengan pengucuran dana dari pemerintah untuk berbagai
program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya pemberdayaan
perempuan, maka ada baiknya jika dana yang berasal dari pemerintah
kabupaten tersebut langsung menuju pada kawasan perencanaan. Ini berarti
bantuan tersebut bersifat langsung, baik yang berujud bantuan uang untuk
penguatan modal bari perempuan yang berkarya, bantuan barang dan
peralatan aktivitas ekonomi produktif, maupun berbagai kegiatan penyuluhan
yang berorientasi pada pemberdayaan.
81
Bantuan langsung dari pemerintah yang dikucurkan merupakan aset
dan/ atau dana masyarakat yang harus dijaga dan dikembangkan secara
mandiri dan lestari. Untuk itu maka pada tingkat operasional satuan kawasan
pemberdayaan, dalam hal ini lingkungan masyarakat tempat perempuan
berada, harus berujud lembaga atau organisasi dan bukannya individu
perempuan. Ini penting sebagai manifestasi dari mekanisme kontrol dan
kemudahan evaluasi program. Sudah semestinya jika ada lembaga berbasis
masyarakat yang mengontrol pelaksanaan program, misalnya Dewan
Ketahanan Masyarakat (DKM), yang terdiri dari unsur pamong kelurahan,
para tokoh masyarakat, para ulama/tokoh agama, dan komponen dari warga
masyarakat. Selain berfungsi sebagai pengontrol program, lembaga inilah
yang bertanggung jawab terhadap seluruh pelaksanaan program, meliputi
proses sosialisasi program, perencanaan program bersama masyarakat,
pelaksanaan, monitoring dan penjagaan terhadap keberlangsungan program.
Pada tahapan yang paling mendasar, maka seluruh lembaga lokal yang
berbasis masyarakat haruslah seirama dan sejalan, bersatu padu melakukan
program pemberdayaan ekonomi desa dengan melibatkan kaum perempuan.
Utamanya pada aspek partisipasi, seluruh stakeholders dalam masyarakat
harus bahu-membahu demi keberlangsungan program. Maka tidak bisa tidak,
rembug warga sebagai dasar dari mufakat terhadap pelaksanaan program
harus selalu dijunjung tinggi. Perwujudan rembug warga dapat dilaksanakan
baik secara formal di kantor kelurahan, maupun tidak resmi melalui berbagai
pertemuan sarasehan, pengajian, arisan, dan berbagai bentuk pertemuan
warga yang ditujukan untuk membangun kesepakatan kolektif guna
kepentingan bersama. Sosialisasi dan implementasi program ditentukan
dalam forum-forum tersebut. Diharapkan bahwa Dewan Ketahanan
Masyarakat bersama-sama dengan unit pelaksana teknis melalui rembug
warga mampu mengikat kohesifitas dan solidaritas masyarakat.
Satuan tingkat pemberdayaan sebagai unit dasar bagi pengembangan
potensi perempuan, baik pada tingkat individu, rumah tangga, lingkungan
masyarakat dan lingkungan daerah secara kelembagaan harus dibina melalui
revitalisasi lembaga-lembaga lokal pada tingkat RT, RW sampai tingkat
kelurahan. Dalam hal ini diharapkan DKM mampu menjadi fasilitator dalam
memberdayakan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. DKM merupakan
agen perubahan, melalui berbagai organisasi lokal yang ada dimasyarakat
bekerja bersama untuk melakukan dua hal penting, yaitu peningkatan
partisipasi perempuan dalam pengembangan ekonomi desa dan peningkatan
kesadaran kaum laki-laki sebagai mitra sejajar secara bersama
82
membangun mulai dari ekonomi rumah tangga sampai pengembangan
ekonomi daerah.
Pesan politik yang diusung dalam kaitannya dengan tujuan membangun
relasi harmonis antara kaum perempuan dengan lingkungan masyarakat
tempat mereka tinggal adalah adanya jaminan hukum dari negara secara
keberlanjutan. Kepedulian pemerintah dalam hal keberlanjutan program
menjadi penting ketika dibenturkan dengan fenomena banyak program
dan/atau proyek pemerintah yang begitu saja ditinggalkan setelah proyek
selesai. Dimensi keberlanjutan yang sesungguhnya penting dalam suatu
program dan/atau proyek sudah saatnya untuk ditilik secara serius. Itulah
makanya, kaum perempuan di satuan kawasan pengembangan harus dididik
agar tidak phobia kepada birokrasi, sementara di sisi lain, pihak pemerintah
yang sarat akan birokrasi harus juga berpihak pada kaum perempuan. Ini
berarti bahwa Birokrasi pemerintah daerah tidak hanya terlibat pada kegiatan
orientasi awal pengenalan program, tetapi juga pada substansi kegiatan
secara komprehensif sampai pada pemeliharaan dan keberlanjutan program.
Dengan berbagai potensi regulasi, dukungan anggaran, serta pengaruh politik-
pemerintahan yang dimilikinya, birokrasi dan aparatur pelaksananya jelas
akan memainkan peran besar dalam mengontrol program pemberdayaan
perempuan di desa.
Pada tingkat kelurahan dan kecamatan, lurah dan camat dapat
ditempatkan sebagai pelindung atau penasehat dalam struktur
kepengurusan DKM, bekerja bersama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama,
pelaku bisnis, dan warga. Aspek perlindungan yang dimaksud bukan untuk
kepentingan kontrol dan penguasaan, tetapi lebih ke arah jaminan politik,
regulasi, dan dukungan anggaran. Arti dari semua ini adalah bahwa unsur
masyarakat dan pemerintah berada dalam suatu jalinan relasi yang harmonis.
Pada tingkat kabupaten, peran birokrasi pemerintah dalam
menciptakan kelestarian program semakin dirasakan. Selain aspek regulasi,
dukungan anggaran adalah hal yang utama. Berbagai dinas dan departemen
seperti Departemen Sosial, Departemen Pendidikan, Departemen Tenaga
Kerja, Depertemen Kesehatan, dll harus bahu membahu berjalan seiring
sejalan demi keberlanjutan program. Hal ini akan menjadi pemecah bagi
konsekuensi munculnya kendala politis jalannya program pemberdayaan
perempuan di masyarakat yang sarat akan budaya patriarkhi. Hal mendasar
yang juga harus dilihat secara hati-hati untuk tujuan keberlanjutan dan
kolaborasi ini adalah merumuskan aturan main yang jelas, antara kaum
perempuan sebagai ujung tombak program pemberdayaan dengan birokrasi
83
pemerintah, apakah mau dibuat semacam kontrak politik yang transparan,
atau cukup komitmen bersama. Peran dan keterlibatan birokrasi pemerintah
hendaknya dapat dirumuskan secara proporsional sehingga tidak memiliki
tendensi intervensi atau mengkooptasi perempuan terlalu jauh secara
institusional.
84
Upaya pemerintah menciptakan pemerataan pelayanan kesehatan
yang telah dilaksanakan antara lain yaitu penyebaran tenaga kesehatan (PTT);
kebijakan pembebasan biaya kesehatan melalui Kartu Sehat; Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK); PKPS-BBM Bidang Kesehatan
Tahun 2003; dan beberapa kebijakan lainnya yang diatur oleh Undang-
undang. Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak dasar
atas layanan kesehatan adalah pusat pelayanan terpadu untuk kesehatan
reproduksi perempuan, dan pengembangan mekanisme jaminan kesehatan
yang memadai untuk melindungi kaum perempuan miskin dari goncangan
akibat pengeluaran kesehatan. Upaya ini sesuai dengan Sistem Kesehatan
Nasional 2004, Kepmenkes 131 tahun 2004, dan Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
85
peningkatan mutu pendidikan selama ini belum menjadi prioritas dibanding
pemerataan pendidikan. Berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan
seringkali kurang berhasil karena terhalang oleh kurangnya jumlah guru yang
bermutu, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan
yang tersedia. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa perhatian dan
dukungan terhadap pengembangan pendidikan masih belum memadai.
86
melalui langkah terpadu untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Pada tingkat
desa peningkatan investasi padat pekerja yang selama ini dilakukan juga
harus diprioritaskan untuk perempuan, jangan hanya laki-laki saja yang
menjadi sasaran. Selain itu, pengembangan usaha dan kerja di luar pertanian;
peningkatan akses informasi, teknologi dan pasar; mengembangkan
kelembagaan yang mampu memperjuangkan akses perempuan miskin
terhadap kesempatan kerja perlu diperjuangkan dengan baik.
87
status gizi, pendidikan, kesehatan dan partisipasi. Dalam teori human capital
disebutkan bahwa pendidikan, ketrampilan dan kesehatan adalah pilar bagi
kualitas SDM. Dalam hal ini feminis liberalis beranggapan bahwa kaum
perempuan yang mempunyai tingkat pendidikan dan ketrampilan, didukung
oleh kesehatan prima akan mampu sejajar dengan laki-laki.
Konsep sumber daya manusia yang saat ini sering diacu adalah
konsep yang dikembangkan oleh Riyadi Soeprapto (2004: 30), ada 5 dimensi
yang penting untuk dikembangkan yaitu (1) ketrampilan dan keahlian; (2)
wawasan dan pengetahuan; (3) bakat dan potensi; (4) kepribadian dan motif
bekerja; dan (5) moral dan etos kerja.
Terkait dengan pemberdayaan perempuan, tata urutan kegiatan perlu
mendapat perhatian. Ada setidaknya empat fase dasar yang sebaiknya dilalui
pertama, adalah fase perencanaan, meliputi keterlibatan pihak-pihak tertentu
yang bisa menghasilkan masukan bagi strategi pengembangan SDM, baik dari
dalam maupun luar lembaga pemerintah, misalnya para administrator
komisaris, anggota dewan, yayasan swasta dan lain-lain. Kedua, fase
pelaksanaan yaitu fase menyeleksi pelaksana atau unit-unit administratif
tertentu untuk memulai dan mengimplementasikan suatu program. Ketiga,
fase akuisisi kemampuan, dari berbagai kegiatan dan training yang terjadi
serta pengalaman informal yang didapat akan membentuk keahlian-keahlian
baru termasuk mengasah wawasan, bakat, potensi, dan etos kerja. Keempat
fase ketercapaian dimana hasil pengembangan SDM/pendidikan dan
pelatihan akan termanifestasikan dalam peraihan tugas dan hasil evaluasi
akhir.
Aspek pendidikan dipandang sebagai sarana paling strategis bagi
peningkatan kualitas SDM kaum perempuan. Akan tetapi posisi pendidikan
yang strategis ini hanya mengandung arti dan dapat mencapai tujuannya
dalam rangka peningkatan SDM apabila pendidikan tersebut memliki sistem
yang relevan dengan pembangunan dan kualitas yang tinggi, baik dari segi
proses maupun hasilnya.
Dalam kerangka peningkatan sumberdaya kaum perempuan
pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan langkah yang paling
strategis untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM. Selain itu,
dikarenakan pendidikan merupakan hal yang sangat esensial bahkan
merupakan salah satu elemen terpenting dari kehidupan perempuan. Harus
diakui bahwa tingkat pendidikan dapat menjadi ukuran tingkat kemampuan
berfikir. Ini berarti bahwa jika tingkat pendidikan kaum perempuan
meningkat maka tingkat berpikirnya pun menjadi lebih baik, dan tentu saja
88
kiprahnya dalam pembangunan ekonomi desa utamanya menjadi lebih
bermakna.
Berbicara masalah pengembangan SDM melalui pendidikan bukanlah
hal mudah dan sederhana, karena selain sifatnya kompleks, dinamis dan
kontekstual, pendidikan juga merupakan wahana bagi pembentukan diri
seseorang secara keseluruhan. Peranan Pendidikan dalam pembentukan diri
bertujuan untuk mempertinggi aspek kognitif berupa ketrampilan akademik
dan ketrampilan memecahkan masalah. Pendidikan dalam prosesnya juga
mencakup tujuan pengembangan aspek pribadi dan sosial yang
memungkinkan kaum perempuan bekerja dan hidup dalam kelompok secara
kreatif, inisiatif, empati dan yang memiliki ketrampilan interpersonal yang
memadai sebagai bekal bermasyarakat. Melalui pendidikan diharapkan
melahirkan sosok Srikandi desa yang mumpuni, sebagamana dirumuskan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 pasal 3 yaitu:
89
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi kaum perempuan dengan menekankan
kepada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan
majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi kaum perempuan yang memerlukan bekal pengetahuan,
ketrampilan, kecakapan hidup dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Secara umum, sasaran dari program-program pendidikan nonformal
adalah kaum perempuan yang tergolong kurang beruntung, baik dari aspek
ekonomi, geografis, dan sosial budaya. Oleh karena itu, aspek akademis dan
kecakapan hidup dalam program-program pendidikan nonformal selalu
dibelajarkan secara integrasi.
Hal yang menarik di pendidikan nonformal adalah adanya
kemungkinan bagi kaum perempuan memperoleh berbagai ketrampilan yang
nantinya dapat digunakan sebagai modal untuk turut berpartisipasi dalam
pembangunan. Dengan lain pernyataan, pendidikan nonformal disamping
memberikan kemampuan akademik juga memberikan berbagai kecakapan
hidup yang nantinya setelah peserta didik selesai mengikuti pendidikan dapat
memanfaatkannya untuk bekal mencari nafkah dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup perempuan.
Sementara itu, pendidikan informal adalah pendidikan oleh keluarga
dan lingkungan, berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dalam hal ini,
lingkungan keluarga dipandang sebagai elemen penting bagi proses
pemberdayaan perempuan. Internalisasi kesadaran dan keadilan gender
tonggaknya akan tercipta di lingkungan keluarga. Apabila lingkungan keluarga
mampu dan sanggup menciptakan pribadi-pribadi yang sadar gender, maka
diharapkan akan tercipta sumber daya yang siap berkiprah di masyarakat
yang lebih luas.
90
pendidikan saja tidak cukup sebagai modal bagi perempuan untuk
membangun ekonomi desa. Sudah tentu pendidikan yang diselenggarakan
selama ini belum mampu menghasilkan anak bangsa yang memiliki
ketrampilan atau kecakapan hidup dan kemampuan kreatif yang signifikan
sehingga mampu menghadapi tantangan hidup agar mereka dapat menolong
dirinya sendiri, masyarakatnya dan bangsanya.
Terkait dengan peningkatan ketrampilan, dunia pendidikan
menghadapi berbagai permasalah yang belum terselesaikan antara lain
adalah masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, kualitas
pendidikan, relevansi pendidikan dengan dunia kerja dan masih besarnya
pemborosan dalam pengelolaan pendidikan. Persoalan yang paling mendasar
dari penyelenggaran pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah adalah kenyataan bahwa proses pembelajaran terlalu berorientasi
kepada penguasaan meteri pembelajaran, bukan pada substansi, makna atau
nilai yang dikandungnya. Artinya bahwa model-model
pembelajaran/pengembangan pendidikan yang diterapkan selama ini terlalu
teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan, akibatnya peserta didik tidak
mampu mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di sekolah untuk
memecahkan masalah kehidupannya sehari-hari. Pendidikan seakan
terserabut dan terisolasi dari atmosfir nyata dinamika masyarakat dan
acapkali menghasilkan generasi terasing di lingkungannya sendiri.
Untuk menjawab tantangan tersebut, mekanisme pemberdayaan
perempuan dituangkan secara terintegrasi dalam hal pendidikan dan
ketrampilan. Pada tataran makro perlu ada kebijakan pemerataan/perluasan
akses terhadap pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta
mengembangkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (MPMBS) dan
penyelenggaraan pendidikan berbasis luas, sejalan dengan era desentralisasi
pendidikan. Khusus berkenaan dengan mutu dan relevansi, disamping
mengembangkan kurikulum pendidikan yang berbasis kompetensi, juga
mengarahkan sistem pendidikan diberbagai jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan pada pendidikan kecakapan/ketrampilan hidup atau pendidikan
yang berbasis kepada kebutuhan masyarakat luas, dan atas dukungan
partisipatif dari masyarakat oleh masyarakat luas.
91
satu bahasa asing; (2) kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah
yang diproses lewat pembelajaran berfikir; penelitian, penemuan dan
penciptaan; (3) kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan
teknologi guna mendukung kemampuan tersebut diatas; (5) kemampuan
memanfaatkan beraneka ragam teknologi di berbagai lapangan kehidupan.
Muara dari pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan
harapannya adalah terciptanya kecakapan hidup (Depdiknas, 2002:3). Dalam
hal ini kecakapan hidup kemampuan perempuan untuk mau dan berani
menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan
solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup terbagi ke
dalam empat jenis kecakapan yaitu: (1) kecakapan personal (personal skill),
(2) kecakapan sosial, (3) kecakapan akademik, dan (4) kecakapan kejuruan.
Dalam kehidupan nyata, kesemua jenis kecakapan dan ketrampilan tersebut
berfungsi secara integratif, melebur menjadi sebuah tindakan individu yang
melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual yang amat
berpengaruh pada kematangan kepribadian individu yang bersangkutan.
92
c. Penyediaan Prasarana Dan Sarana Usaha Bagi Perempuan
Miskin
93
Bab
7
7.1 Kesimpulan
Permasalahan seputar pemberdayaan perempuan dan anak memang
kompleks. Hal ini tidak saja terkait dengan permasalahan fisik perempuan,
tetapi juga berhubungan dengan aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Budaya masyarakat pun turut memperburuk upaya pemberdayaan
perempuan, ketika perempuan masih diasosiasikan dengan konco wingking.
Beberapa simbul perempuan yang diejawantahkan dalam peribahasa bahwa
perempuan itu suargo nunut neroko katut atau prinsip perempuan yang baik
adalah memiliki kemampuan dalam hal dapur, kasur, dan pupur adalah
konteks budaya yang kian meminggirkan posisi perempuan. Berdasarkan
uraian profil perempuan dan anak di Provinsi D.I. Yogyakarta, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
95
pemberdayaan perempuan dan anak. Kelembagaan disusun
berdasarkan berbagai komponen pendukung seperti:
a. Aspek masyarakat
b. Aspek pemerintah
c. Aspek sektor swasta
d. Aspek individu perempuan
3. Perlu diwujudkan adanya data pilah berbasis gender baik di
tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota sebagai
dasar bagi perencanaan pembangunan yang lebih terarah.
4. Diperlukan kampanye bebas kekerasan terhadap perempuan di
semua lini kehidupan, baik pada tingkat individu, tingkat rumah
tangga, maupun di tingkat masyarakat. Upaya ini perlu didukung
dengan kebijakan yang kondusif dengan diikuti penegakan
hukum yang kuat.
96
Daftar Pustaka
97
Hugo, Graeme J. 1994. Urbanisation in Indonesia: City and Countryside
Linked, in Josep Gugler, (ed), Patterns of Third World
Urbanisation, London: Oxford University Press.
ILO, 2001. Action Against Sexual Harassment at Work in Asia and the
Pacific, Bangkok, International Labour Office
Kerlinger, Fred N. Foundation of Behavioural Research, third edition,
Holt, Rinehart and Winston Inc.
Mabogunje, Akin. L. 1972. Man, Space and the Environment. New York:
Oxford University Press
Martin, Paul J & Carson, Mary Lesley. 1996. Women and Human Rights:
The Basic Documents, Centre for the Study of Human Rights,
Columbia University
RAN-PKTP, 2000. Catatan untuk bidang-bidang strategis (The Note of
Strategies Field). Jakarta, The Ministry of Womens
Empowerment.
Tong, Rosemarie. 1989, Feminist Thought: A Comprehensive
Introduction, Boulder and San Fransisco: Westview Press
United Nations General Assembly. 1993. Declaration on the Elimination
th
of Violence Against Women. 85 Plenary Meeting, Geneva
Yuarsi, Susi Eja. 2002. Menjadi Tenaga Kerja Wanita: Dari Kekerasan
Domestic ke Kekerasan Public, dalam Tukiran, et.al., (eds),
Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Disiplin
(Indonesian Population Movement: Cross Discipline Perspectives),
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, hal.
121-132.
98