Anda di halaman 1dari 184

PRIORITASI LOKASI PENYEDIAAN LAHAN DALAM UPAYA

PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK PERKOTAAN


DI KOTA MALANG

SKRIPSI
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Ditujukan untuk Memenuhi


Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Teknik

BAGUS ARTANDIO
NIM. 115060601111024

UNIVERSITAS
BRAWIJAYA FAKULTAS
TEKNIK MALANG
2018
IDENTITAS TIM PENGUJI SKRIPSI

JUDUL SKRIPSI:
Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik Perkotaan di Kota Malang

Nama Mahasiswa : Bagus Artandio


NIM 115060601111024
Program Studi : Perencanaan Wilayah dan Kota

KOMISI PEMBIMBING:
Ketua : Deni Agus Setyono, ST., M.Eng.
Anggota : Eddi Basuki Kurniawan, ST., MT

TIM DOSEN PENGUJI:


Dosen Penguji 1 : Dr.Ir. Surjono, MTP
Dosen Penguji 2 : Chairul Maulidi, ST., MT.
Tanggal Ujian : 2 Juli 2018
SK Penguji : 1340/UN10.F07/SK/2018
RINGKASAN

Bagus Artandio, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya, Juli 2018, Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan
Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang, Dosen Pembimbing: Deni Agus
Setyono, ST., M.Eng. dan Eddi Basuki Kurniawan, ST., MT

Kota Malang merupakan salah satu pioner dalam pengembangan Green Cities di
Indonesia. Salah satu atribut penting dari penciptaan green cities adalah ketersedian
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memiliki fungsi utama sebagai penjaga
keseimbangan ekologi kota. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 disebutkan
bahwa kondisi ideal RTH suatu perkotaan adalah mencakup 30% luas kota, yang terbagi
kedalam 20% RTH Publik dan 10% RTH privat. Namun, saat ini luasan RTH di Kota
Malang belum mencapai ketentuan tersebut. Tidak terpenuhinya kondisi ideal tersebut
akan mempengaruhi kondisi lingkungan, dan kondisi sosial budaya.
Pemerintah Kota Malang telah menyadari kebutuhan untuk mengembangkan RTH
eksisting. Salah satunya tercantum dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH),
yaitu program kolaborasi antara pemerintah kota/kabupaten, untuk mewujudkan
komitmen kota hijau. Namun demikian, Dokumen Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH)
yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, ternyata belum memuat
rencana spesifik untuk memenuhi luasan ruang terbuka hijau publik sebesar 20%.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan prioritas lokasi lahan
potensial yang dapat dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau publik. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif berupa analisis potensial areal, Analytic Hierarchy
Process, dan analisis skoring.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa di Kota Malang, pemenuhan kebutuhan
akan luasan RTH sesuai dengan ketetapan UU No 26 Tahun 2007 masih menjadi
permasalahan. Saat ini, secara eksisting RTH Publik yang berada pada Kota Malang
baru mencapai 14,71% (1.634,35 Ha) dari keseluruhan luasan kota. Sehingga untuk
memenuhi ketentuan RTH Publik sebesar 20% dari luasan kota, Kota Malang masih
membutuhkan tambahan RTH sebesar 587,25 Ha. Demikian pula apabila standar
pemenuhan RTH tersebut diukur melalui kebutuhan perkapita. Berdasarkan jumlah
penduduknya, maka Kota Malang masih memiliki kekurangan RTH sebesar 668,99 Ha.
Saat ini, Kota Malang memiliki total luasan lahan kosong sebesar 264,94 Ha.
Ditambah dengan aset tanah Pemerintah Kota Malang yang dapat dikembangkan seluas
46,87 Ha. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk juga terus memacu laju kebutuhan akan
fungsi lahan lainnya. Jika dihitung, terdapat 4.15% luasan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar kebutuhan RTH publik perkotaan, seluas 461,15 Ha. Luas lahan
potensial yang teridentifikasi ternyata belum mampu menjawab kekurangan RTH publik
perkotaan di Kota Malang..
Dari hasil analisa, diketahui bahwa lahan dengan kategori prioritas I untuk
pembangunan RTH adalah TA-A-Tlogomas dan TA-A Pandanwangi. Pada Prioritas 2
terdapat delapan lahan, yaitu MTG- Bumiayu-2, MTL-Arjosari-2, MU-Dinoyo-1, TA-
Merjosari, TA-Tungulwulung, TA-B-Lesanpuro, TA-C-Tlogowaru dan TA-D-
Tlogowaru. Selain lahan tersebut, tersebar 56 lahan kosong lainnya pada 6 BWP di
Malang Raya.

Kata Kunci: Ruang-Terbuka-Hijau-Publik, Lahan, Prioritas

i
SUMMARY

Bagus Artandio, Department of Urban and Regional Planning, Faculty of Engineering


Brawijaya University, July 2018, Prioritization of Location for Land Provision in
Malang City Urban Green Open Space Fulfillment, Academic Supervisor: Deni Agus
Setyono, ST., M.Eng. and Eddi Basuki Kurniawan, ST., MT

Malang listed as one of the Indonesia’s pioneers in developing Green Cities.


Whereas, Green Open Space (RTH) is one of the main attributes. Green Open Space
functions as an ecological balancer of the city. Based on Indonesian Law no. 26 in
2007, Green Open Space should cover 30% of urban area, divided into 20% public
green open space and 10% private green open space. Despite that, green open space in
Malang has not reached these requirements. The inability to meet the ideal conditions
will affect the condition of the environment, and socio-cultural conditions.
The Government of Malang City has realized the urgency to develop green open
space area. The government developed Green City Development Program (P2KH), a
collaborative program to realized the green city commitment. However, the Green City
Action Plan Document which is expected to solve the problem, has not contain specific
plans to meet the 20% green open space.
Therefore, this study aims to formulate the priority of potential land locations
that can be developed as a green open space public. This research uses descriptive
method of area potential analysis, Analytic Hierarchy Process, and scoring analysis.
From the analysis results, this study note that the green open space in Malang
City currently has reached 14.71% (1,634.35 Ha) of the total city area. In order to meet
the provisions of Public Spaces by 20% of urban area, Malang City required additional
green open space equal to 587,25 Ha. Similarly, if the green open space fulfillment
standard is measured through per capita needs, Malang City still has a green open
space shortage of 668.99 ha.
In the Status Quo, Malang City has a total land area of 264.94 hectares of
vacant land. Coupled with the land assets of the Government of Malang City that can be
developed area of 46.87 Ha. If calculated, there are 4.15% of the area required to
achieve the standard urban public transport requirement, covering an area of 461.15
Ha. The identified potential land area has not been able to answer the shortage of
public urban green space in Malang City.
From the results of the analysis, it is known that the land with the category I for
the development of green space is TA-A-Tlogomas and TA-A Pandanwangi. In Priority
2 there are 8 lands, namely MTG-Bumiayu-2, MTL-Arjosari-2, MU-Dinoyo-1, TA-
Merjosari, TA-Tungulwulung, TA-B-Lesanpuro, TA-C-Tlogowaru and TA- Tlogowaru.
In addition, 56 other vacant land at 6 BWP scattered in various part Malang Raya.

Keywords: Public-Green-Open-Space, Land, Priority

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang. Penulis menyadari
bahwa tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yaitu Bapak Hadi Purwanto dan Ibu Sri Lestariningsih (Alm.) , Adik
Cantika Putri Hariyanti serta seluruh keluarga yang telah memberi doa dan dukungan
dalam proses perkuliahan.
2. Bapak Deni Agus Setyono dan Bapak Eddi Basuki Kurniawan selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia memberikan pengarahan serta bimbingan.
3. Bapak Surjono dan Bapak Chairul Maulidi selaku dosen penguji yang telah bersedia
memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.
4. Dosen-dosen serta staf dan karyawan pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota,
terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan
5. Terimakasih kepada rekan-rekan “History Maker” PWK FT-UB 2011, yang telah
memberikan bantuan baik dalam proses perkuliahan dan organisasi.
6. Terimakasih kepada Daneta Fildza Adany yang telah menemani penulis, memberikan
motivasi, dukungan dan bantuannya selama ini.
7. Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendukung
terselesaikannya Tugas Akhir ini.
Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak demi terciptanya penelitian yang lebih baik di masa
mendatang. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Malang, 20 Juli 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN........................................................................................................................i
SUMMARY............................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...............................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah...............................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Studi.............................................................................................4
1.5.1 Ruang Lingkup Materi Studi.....................................................................4
1.5.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi...................................................................6
1.6 Kerangka Pemikiran...............................................................................................8
1.7 Sistematika Pembahasan........................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................11
2.1 Tinjauan Tentang Ruang Terbuka Hijau..............................................................11
2.1.1 Definisi Ruang Terbuka Hijau.................................................................11
2.2 Tinjauan tentang Rencana Aksi Kota Hijau.........................................................11
2.2.1 Jenis RTH dalam wilayah Kota berdasarkan RAKH Kota Malang.........12
2.2.2 Strategi Penetapan dan Pengembangan RTH berdasarkan
RAKH Kota Malang................................................................................15
2.2.3 Tahapan Pengembangan RTH Berdasarkan RAKH Kota Malang..........17
2.3 Pengadaan Ruang Terbuka Hijau.........................................................................17
2.3.1 Ketentuan Pengadaan RTH berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008.........................................................17
2.3.2 Prosedur Perencanaan RTH.....................................................................19
2.3.3 Pengadaan Lahan RTH............................................................................22
2.4 Tinjauan Aset Pemerintah....................................................................................31
2.5 Tinjauan Metode Analytical Hierarcy Process....................................................32
2.6 Tinjauan Multifactor Evaluation Process (Analisis Pembobotan/Skoring)........34
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG).......................................................................35
2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu.............................................................................36
2.9 Kerangka Teori....................................................................................................40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................41
3.1 Definisi Operasional........................................................................................41
3.2 Jenis Penelitian................................................................................................42
3.3 Instrumen Penelitian........................................................................................43
3.3.1 Penentuan Variabel...............................................................................43
3.3.2 Penentuan Parameter.............................................................................46
3.3.3 Penentuan Responden Ahli...................................................................51
3.4 Diagram Alir Penelitian..................................................................................51

iv

3.5 Tahapan Pengumpulan Data............................................................................53


3.5.1 Jenis Data...................................................................................................53
3.5.2 Metode Pengumpulan Data.......................................................................54
3.6 Metode Analisis...............................................................................................55
3.7 Tahapan Pembuatan Peta.................................................................................60
3.8 Kerangka Analisis...........................................................................................62
3.9 Desain Penelitian.............................................................................................64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................67
4.1 Kondisi Geografis Kota Malang............................................................................67
4.2 Kondisi Demografis Kota Malang.........................................................................68
4.2.1 Jumlah Penduduk Kota Malang..................................................................68
4.2.2 Kepadatan Penduduk Kota Malang.............................................................70
4.3 Kondisi Eksisting RTH Kota Malang....................................................................71
4.3.1 RTH Taman Kota dan Taman Lingkungan.................................................71
4.3.2 RTH Hutan Kota.........................................................................................74
4.3.3 RTH Jalur Hijau, Pulau Jalan dan Median Jalan.........................................78
4.3.4 RTH Fungsi Tertentu..................................................................................80
4.4 Kebutuhan RTH di Kota Malang...........................................................................89
4.5 Identifikasi Lahan Potensial Kota Malang............................................................93
4.6 Identifikasi Tanah Aset Kota Malang....................................................................95
4.7 Gambaran Umum Kriteria Lokasi Lahan Potensial RTH...................................100
4.7.1 Luas Minimum Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau............................100
4.7.2 Aksesibilitas Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau................................103
4.7.3 Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota.............................106
4.7.4 Pengawasan Stakeholder Terkait Lahan Potensial RTH...........................110
4.7.5 Fungsi Lahan Potensial RTH....................................................................114
4.7.6 Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan...........................117
4.7.7 Status Lahan Potensial RTH.....................................................................121
4.7.8 Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH........................124
4.8 Penentuan Bobot dalam Prioritas Kriteria Lahan Ruang Terbuka
Hijau Berdasarkan Persepsi Stakeholder.............................................................127
4.9 Perhitungan Nilai Kriteria Lahan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota
Malang.................................................................................................................133
4.9.1 Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau.............133
4.9.2 Penilaian Aksesibilitas Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau................135
4.9.3 Penilaian Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota.............136
4.9.4 Penilaian Pengawasan Stakeholder Terkait Lahan Potensial RTH...........138
4.9.5 Penilaian Fungsi Lahan Potensial RTH....................................................140
4.9.6 Penilaian Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan...........142
4.9.7 Penilaian Status Lahan Potensial RTH.....................................................144
4.9.8 Penilaian Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH........146
4.9.9 Peniliaian dan Ranking Lahan Potensial di Kota Malang.........................148
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................161
5.1 Kesimpulan........................................................................................................161
5.2 Saran..................................................................................................................164
5.2.1 Pemerintah................................................................................................164
5.2.2 Akademisi.................................................................................................164
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................165

v
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


Tabel 2. 1 Proporsi RTH per Jumlah Penduduk...............................................................19
Tabel 2. 2 Skala Banding Secara Berpasangan................................................................34
Tabel 2. 3 Tinjauan Penelitian Terdahulu........................................................................37
Tabel 3. 1 Variabel Penelitian..........................................................................................44
Tabel 3. 2 Parameter Penelitian........................................................................................50
Tabel 3. 3 Stakeholder yang Dipilih Sebagai Sampel......................................................51
Tabel 3. 4 Data Primer Penelitian.....................................................................................53
Tabel 3. 5 Data Sekunder Penelitian................................................................................53
Tabel 3. 6 Perbandingan Berpasangan.............................................................................57
Tabel 3. 7 Matriks Perbandingan......................................................................................58
Tabel 3. 8 Matriks Random Index....................................................................................59
Tabel 3. 9 Desain Survei Penelitian..................................................................................65
Tabel 4. 1 Jumlah Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP.........................................69
Tabel 4. 2 Kepadatan Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP...................................70
Tabel 4. 3 Luasan Taman Kota di Kota Malang berdasarkan BWP.................................74
Tabel 4. 4 Luasan Hutan Kota di Kota Malang berdasarkan BWP..................................76
Tabel 4. 5 Luasan Pulau Jalan, Median Jalan, Jalur Hijau di Kota Malang
berdasarkan BWP............................................................................................80
Tabel 4. 6 Luasan RTH Fungsi Tertentu di Kota Malang berdasarkan BWP..................80
Tabel 4. 7 Ketersediaan RTH di Kota Malang berdasarkan Jenis dan BWP...................87
Tabel 4. 8 Kebutuhan RTH Publik berdasarkan Luas BWP............................................89
Tabel 4. 9 Kebutuhan RTH Publik berdasarkan Jumlah Penduduk per Kapita...............91
Tabel 4. 10 Selisih antara Kebutuhan dan Ketersediaan RTH Publik................................92
Tabel 4. 11 Rencana Pengembangan berdasarkan jenis RTH dan BWP............................95
Tabel 4. 12 Tanah Aset BWP Malang Utara......................................................................96
Tabel 4. 13 Tanah Aset BWP Malang Timur Laut.............................................................96
Tabel 4. 14 Tanah Aset BWP Malang Timur.....................................................................97
Tabel 4. 15 Tanah Aset BWP Malang Tenggra..................................................................97
Tabel 4. 16 Tanah Aset BWP Malang Barat......................................................................98
Tabel 4. 17 Rencana Pengembangan berdasarkan jenis RTH dan BWP............................98
Tabel 4. 18 Potensi Pengembangan Aset BWP Kota Malang............................................99
Tabel 4. 19 Luas Lahan Potensial Menurut RAKH Kota Malang....................................100
Tabel 4. 20 Hiraki Jalan Lahan Potensial RTH Kota Malang..........................................105
Tabel 4. 21 Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota.................................107
Tabel 4. 22 Pengawasan Stakeholder Terkait...................................................................110
Tabel 4. 23 Tabel Fungsi Lahan Potensial RTH...............................................................116
Tabel 4. 24 Tabel Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan.....................118
Tabel 4. 25 Status Lahan Potensial RTH..........................................................................121
Tabel 4. 26 Komposisi Ruang Hijau Lahan Potensial RTH.............................................124
Tabel 4. 27 Matriks Perbandingan....................................................................................127
Tabel 4. 28 Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector................................................127
Tabel 4. 29 Perhitungan Nilai Konsistensi.......................................................................128
Tabel 4. 30 Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor............................................................128
Tabel 4. 31 Matriks Perbandingan....................................................................................129
Tabel 4. 32 Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector................................................129
Tabel 4. 33 Perhitungan Nilai Konsistensi.......................................................................130
Tabel 4. 34 Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor............................................................130

vi
Tabel 4. 35 Matriks Perbandingan....................................................................................130
Tabel 4. 36 Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector................................................131
Tabel 4. 37 Perhitungan Nilai Konsistensi.......................................................................131
Tabel 4. 38 Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor............................................................132
Tabel 4. 39 Peringkat Faktor Berdasarkan Pembobotan..................................................132
Tabel 4. 40 Hasil Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial RTH.................................133
Tabel 4. 41 Hasil Penilaian Aksesibilitas Lahan Potensial RTH......................................135
Tabel 4. 42 Hasil Penilaian Kedekatan Lahan Potensial terhadap Pusat Kota.................137
Tabel 4. 43 Hasil Penilaian Pengawasan Stakeholder Lahan Potensial...........................139
Tabel 4. 44 Hasil Penilaian Fungsi Lahan Potensial........................................................140
Tabel 4. 45 Hasil Penilaian Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan......142
Tabel 4. 46 Status Lahan Potensial RTH..........................................................................144
Tabel 4. 47 Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH............................146
Tabel 4. 48 Hasil Penilaian Kriteria Lahan Potensial RTH..............................................149
Tabel 4. 49 Kelas Prioritas Menggunakan Metode Sturges.............................................153

vii
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


Gambar 1. 1 Peta Wilayah Studi......................................................................................7
Gambar 1. 2 Kerangka Pemikiran....................................................................................8
Gambar 2. 1 Ilustrasi Proporsi Pengadaan RTH Wilayah Perkotaan..............................18
Gambar 2. 2 Kerangka Teori...........................................................................................40
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian..............................................................................52
Gambar 3. 2 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Pemilihan Atribut....................61
Gambar 3. 3 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Pengisian Kolom Atribut
dengan Skor................................................................................................62
Gambar 3. 4 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Penggabungan Dua Data.........64
Gambar 3. 5 Kerangka Analisis Penelitian.....................................................................67
Gambar 4. 1 Persentase Persebaran Luasan BWP di Kota Malang...............................68
Gambar 4. 2 Jumlah Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP....................................68
Gambar 4. 3 Persentase Persebaran Penduduk per BWP di Kota Malang.....................69
Gambar 4. 4 Kepadatan Penduduk Kota Malang 2011-2014..........................................70
Gambar 4. 5 Persentase Kepadatan Penduduk per BWP di Kota Malang.....................71
Gambar 4. 6 Taman Kota Malang dengan Kondisi Terpelihara.....................................72
Gambar 4. 7 Taman Kota Malang dengan Kondisi Tidak Terpelihara...........................72
Gambar 4. 8 Peta Taman Kota di Kota Malang..............................................................73
Gambar 4. 9 Hutan Kota di Kota Malang.......................................................................75
Gambar 4. 10 Peta Hutan Kota..........................................................................................77
Gambar 4. 11 RTH Taman Pulau Jalan dan Median Jalan...............................................78
Gambar 4. 12 Peta Jalur Hijau Kota Malang.....................................................................79
Gambar 4. 13 RTH Jalur Hijau Jalan................................................................................80
Gambar 4. 14 Peta Lokasi Makam di Kota Malang..........................................................82
Gambar 4. 15 Peta Sempadan Sungai Kota Malang.........................................................83
Gambar 4. 16 Peta Sempadan Rel KA..............................................................................84
Gambar 4. 17 Peta Sempadan SUTT.................................................................................85
Gambar 4. 18 Persentase Persebaran Jenis RTH di Kota Malang....................................88
Gambar 4. 19 Persentase Persebaran RTH per BWP di Kota Malang..............................88
Gambar 4. 20 Ketersediaan dan Kebutuhan RTH di Kota Malang...................................90
Gambar 4. 21 Peta Lahan Kosong.....................................................................................94
Gambar 4. 22 Peta Skoring Luasan Minimum Potensial RTH.......................................102
Gambar 4. 23 Peta Skoring Aksesibiltas Lahan Potensial..............................................104
Gambar 4. 24 Peta Skoring Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota.......109
Gambar 4. 25 Peta Skoring Pengawasan Stakeholder.....................................................113
Gambar 4. 26 Peta Skoring Fungsi Lahan.......................................................................115
Gambar 4. 27 Peta Skoring Lokasi Kawasan Perkotaan.................................................120
Gambar 4. 28 Peta Skoring Status Lahan Potensial........................................................123
Gambar 4. 29 Peta Skoring Komposisi Lansekap/Ruang Hijau.....................................126
Gambar 4. 30 Peta Lokasi Kelas Prioritas.......................................................................155
Gambar 4. 31 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Utara......................................156
Gambar 4. 32 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Timur Laut............................157
Gambar 4. 33 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Timur.....................................158
Gambar 4. 34 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Tenggara................................159
Gambar 4. 35 Persentase Pemenuhan Lahan RTH Publik Terhadap
Lahan Perkotaan.......................................................................................160

viii
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman


Lampiran 1. Kuesioner Analytical Hierarchy Process................................................169
Lampiran 2. Perhitungan Consistency Ratio Responden 1..........................................176
Lampiran 3. Perhitungan Consistency Ratio Responden 2..........................................176
Lampiran 4. Perhitungan Consistency Ratio Responden 3..........................................176

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep pembangunan wilayah perkotaan terus mengalami perkembangan.
Mulanya, pembangunan hanya difokuskan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Du Pisani (2006) mengungkapkan bahwa pemikiran ini berkembang dari masa
pre-modern hingga masa revolusi industri. Dalam masa revolusi industri, perkembangan
manusia dianggap mencapai puncak progresivitasnya, terutama bagi pihak yang percaya
bahwa dominasi terhadap sumber daya alam untuk menciptakan barang konsumsi adalah
suatu hal yang benar. Di sisi lain, lingkungan mengalami regresi karena eksploitasi yang
terus menerus, sehingga menciptakan konflik ekonomi dan sosial yang berkepanjangan.
Dengan adanya kondisi tersebut, maka ide mengenai pembangunan ditinjau ulang.
Untuk menghindari terjadinya krisis, isu-isu mengenai keberlanjutan lingkungan mulai
menjadi perhatian dalam mengembangkan suatu wilayah. Sehingga muncul terminologi
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada pertengahan abad ke-20.
Perhatian dunia terhadap pembangunan berkelanjutan juga ditunjukkan ketika OECD
mengadakan konvensi di tahun 2009 mengenai konsep Green Cities. Terminologi tersebut
mengacu kepada pembangunan wilayah kota yang mengedepankan kondisi sosial dan
lingkungan tanpa mengabaikan pembangunan ekonomi yang terjadi. Sehingga
pembangunan saat ini dapat dinikmati oleh generasi di masa yang akan datang. OECD juga
menyadari bahwa salah satu penggerak utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah
pemerintah. Sehingga konsep Green Cities yang diusung pada konvensi tersebut juga harus
dipahami dan diterapkan oleh pemerintah wilayah.
Dengan mengusung semangat untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan
lingkungan, salah satu aspek utama dalam Green Cities adalah ketersediaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH). Setidaknya RTH memiliki dua fungsi utama dalam tataran
perkotaan, yaitu fungsi intrinsik sebagai penjaga keseimbangan ekologi kota, dan fungsi
ekstrinsik yang mencakup: (i) fungsi sosial budaya, yaitu sebagai sarana masyarakat untuk
berkumpul dan berinteraksi, (ii) fungsi estetika, yaitu untuk menambah keindahan kota,
dan (iii) fungsi ekonomi, yang menciptakan lapangan pekerjaan baru karena adanya
aktivitas di dalam RTH.

1
2

Kota Malang merupakan salah satu pioner dalam pengembangan Green Cities di
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari pencapaian Kota Malang sebagai Best Practice Green
City dalam 2nd ASEAN Mayors Forum 2015 pada 9-11 September oleh United Cities and
Local Government (UCLG). Karena pencapaian terhadap pembangunan berkelanjutan
yang baik, Kota Malang juga mendapatkan bantuan finansial dari Asean Development Bank
(ADB). Hal ini tentunya tidak terlepas dari komitmen Pemerintah Kota Malang yang
nampak dari disusunnya Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) beserta program-program
pendukungnya.
Sejalan dengan konsep Green Cities yang mengusung RTH, dokumen RAKH juga
menyebutkan bahwa salah satu atribut dalam perwujudan kota hijau adalah tersedianya
Green Open Space atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menyikapi pentingnya peranan RTH
dalam perkotaan, Kota Malang menuangkan perencanaan dan pengembangan RTH dalam
Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang 2010-2030.
Sedangkan tolak ukur keberhasilan pengembangan RTH dapat ditinjau melalui dokumen
RAKH yang didukung dengan Perda Kota Malang Nomor 4 tahun 2011 tentang RTRW
Kota Malang 2010-2030. Dari dokumen tersebut, tolak ukur keberhasilan pembangunan
RTH di Kota Malang dapat ditinjau dari dua aspek utama, yaitu aspek kuantitas dan aspek
kualitas.
Aspek kuantitas menilai ketercukupan pemenuhan RTH dalam suatu kota, dimana
aturan mengenai standar pencapaiannya tertuang dalam Peraturan Menteri No 5 Tahun
2008. Peraturan tersebut mengklasifikasikan RTH berdasarkan kepemilikannya kedalam
dua kelompok, yaitu RTH dengan kepemilikan publik dan RTH dengan kepemilikan
privat. Tentunya, pemerintah memiliki wewenang yang lebih besar dalam menyediakan
RTH publik, yang juga berfungsi sebagai ruang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan kenyamanan, relaksasi, dan kegiatan pasif di luar aktivitas sehari-hari yang biasa
dilakukan masyarakat. Karena kebermanfaatan yang luas tersebut, ruang kota harus
menyediakan ruang publik yang cukup untuk memelihara interaksi antar penghuninya.
Undang-Undang No 26 tahun 2007 menyebutkan bahwa standar minimum RTH perkotaan
adalah 30%, yang terbagi menjadi RTH Publik dengan presentase sebesar 20% dan RTH
Privat dengan presentase sebesar 10%.
Pada aspek inilah Kota Malang dihadapkan pada kenyataan bahwa komitmen untuk
mencanangkan pembangunan yang berkelanjutan terkadang terbentur oleh hal-hal tertentu.
Saat ini, secara eksisting Kota Malang memiliki RTH yang terbagi dalam : (i) RTH Jalur
Jalan, (ii) RTH Taman, (iii) RTH Lapangan Olahraga dan Makam, (iv) RTH Hutan Kota,
(v) RTH Pengaman Jalur Kereta Api, (vi) RTH Pengaman Jalur SUTT, (vii) RTH Sempadan
3

Sungai. Luasan RTH publik Kota Malang tersebut baru mencapai 14,71% dari luas kota
Malang 110,08 km2. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga keseimbangan
ekologis secara ideal, Kota Malang masih perlu menambah luasan RTH Publik sebesar
5,29% dari luas perkotaan.
Mengingat pentingnya peranan RTH dalam kehidupan kota, kurangnya RTH di
Kota Malang tentunya akan menimbulkan masalah karena ketidakseimbangan yang
diciptakan. Misalnya, berkurangnya produksi oksigen dan air tanah, ketidakstabilan iklim,
hilangnya sarana berinteraksi masyarakat, hingga berkurangnya estetika suatu wilayah
perkotaan. Pemerintah Kota Malang, sebagai pemerintah yang berkomitmen terhadap
pembangunan berkelanjutan, telah berupaya untuk menambah luasan taman di Kota. Akan
tetapi upaya tersebut masih terbentur kepada dua masalah utama, yaitu (i) perencanaan
tersebut belum memenuhi standar luasan RTH dan (ii) belum adanya penjelasan teknis
terhadap rencana pengembangan RTH baru.
Melihat besarnya kebutuhan lahan RTH di Kota Malang dan minimnya penjelasan
teknis, dikhawatirkan rencana pengembangan tersebut akan mendapat kendala pada tahap
implementasinya. Terlebih saat ini Kota Malang belum menerapkan rencana preskriptif
untuk mencegah adanya kekurangan lahan di masa yang akan datang. Tanpa adanya
rencana preskriptif, upaya pemenuhan lahan menjadi lebih berat karena terdesak oleh
kebutuhan penduduk atas peruntukan lahan lainnya. Maka dari itu, penelitian Prioritasi
Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik
Perkotaan di Kota Malang ini menjadi penting untuk dilakukan. Adapun penelitian ini akan
berfokus kepada detail pemenuhan RTH publik dan pemetaan potensi lokasi sebagai upaya
peningkatan proporsi RTH publik berdasarkan arahan dokumen RAKH.

1.2 Identifikasi Masalah


Permasalahan yang menjadi isu pokok dalam penelitian Prioritasi Lokasi
Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di
Kota Malang antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pemenuhan RTH Kota sebesar 30% menjadi permasalahan utama di setiap
perkotaan. Hal ini berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan RTH di perkotaan yang
belum optimal mencapai standar yang ditetapkan. Kebutuhan akan ruang terbuka
hijau di perkotaan semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk. Sehingga masyarakat membutuhkan ruang terbuka hijau yang cukup
agar bisa saling berinteraksi.
4

2. Terdapat empat kota yang menjadi pencontohan kota hijau untuk kota se-Asia
Tenggara. Terpilihnya Kota Malang sebagai kota hijau merupakan hal yang
selayaknya diperhatikan oleh pemerintah Kota Malang untuk membenahi atribut
kota hijau. Salah satunya adalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau. Prestasi yang
dicapai oleh Kota Malang setidaknya akan menjadi panutan kota/kabupaten
lainnya, namun kondisi riil ruang terbuka hijau masih belum memenuhi syarat
maupun standar yang berlaku.
3. Dokumen RAKH telah mencantumkan garis besar pengembangan RTH di Kota
Malang, namun diperlukan penjabaran yang lebih detail dan bersifat teknis agar
pengembangan RTH dapat diimplementasikan dengan baik.

1.3 Rumusan Masalah


Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka
Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang dapat dijabarkan dalam dua rumusan masalah
utama, yaitu:
1. Bagaimana karakteristik Ruang Terbuka Hijau dan tingkat kebutuhan RTH publik
di Kota Malang?
2. Bagaimana prioritas penyediaan lahan dalam upaya pemenuhan luasan RTH Publik
di Kota Malang?

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, maka perumusan Prioritasi Lokasi Penyediaan
Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang
dapat dijabarkan tiga tujuan utama, yaitu:
1. Mengetahui karakteristik Ruang Terbuka Hijau Publik dan tingkat kebutuhan RTH
publik di Kota Malang
2. Mengidentifikasi lahan yang dapat diprioritaskan dalam upaya menyediakan Ruang
Terbuka Hijau Publik Kota Malang

1.5 Ruang Lingkup Studi


1.5.1 Ruang Lingkup Materi Studi
Dalam pelaksanaan studi ini diperlukan pembatasan terhadap lingkup materi studi
agar studi yang dilakukan dapat terselesaikan secara terarah.Lingkup materi studi Prioritasi
Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik
Perkotaan di Kota Malang antara lain :
5

1. Identifikasi karakteristik dan kebutuhan RTH di Kota Malang dilakukan untuk


mengetahui tingkat kebutuhan RTH pada masing-masing BWP (Bagian Wilayah
Perkotaan), baik secara geografis maupun demografis.
a. Penentuan Luas RTH minimum kota dibatasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku yaitu Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 dimana setiap
kota wajib memenuhi proporsi 30% dari luas wilayah perkotaan yang berasal dari
20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.
b. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan menjadi RTH Publik dan RTH Privat.
Dalam penelitian ini RTH yang dipilih adalah yang kepemilikannya bersifat
publik.
c. Di dalam RTH publik sendiri terdapat RTH fugsi tertentu seperti makam dan
sempadan, namun identifikasi berupa luasan dikarenakan standar kebutuhan yang
ingin difokuskan dalam penelitian ini adalah taman lingkungan, taman kota, hutan
kota, serta permakaman.
2. Penentuan prioritas digunakan untuk mengetahui peringkat dari lahan yang diajukan
sebagai bakal lahan RTH. Prioritas yang dimaksud dalam penelitian ini mancakup
skala priotas dan lokasi prioritas.
a. Identifikasi lahan difokuskan kepada lahan kosong yang bersifat non pertanian
sesuai data yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk membatasi penelitian sesuai
panduan yang tersedia.
b. Skala prioritas ditujukan untuk mengetahui kualifikasi lahan yang sekiranya ideal
untuk dapat dikembangkan menjadi RTH. Sedangkan lokasi prioritas merupakan
tempat atau lokasi yang memiliki peringkat tertinggi, dihitung dan dibobotkan
berdasarkan kriteria yang ada.
c. Lokasi dalam penelitian mengacu kepada dokumen Rencana Aksi Pencapaian
RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Publik dan SK Walikota
188.45/184/35.73.112/2016 Malang tentang RTH Kota Malang dan Roadmap
Landbanking Kota Malang sehingga lokasi beserta luasan yang dianggap adalah
yang tercantum dalam dokumen tersebut.
d. Penentuan lokasi lahan aset dan lahan yang potensial untuk penempatan RTH
publik berada pada wilayah Kota Malang, khususnya pada wilayah BWP Kota
Malang dalam lingkup spasial. Untuk tahap pengembangan dan rancangan teknis
RTH tidak dibahas dalam penelitian ini karena hanya berfokus pada pemilihan
lokasi ideal.
6

1.5.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi


Wilayah studi Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang
Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang adalah seluruh wilayah Kota Malang,
yang meliputi luas Kota Malang 110,08 km2, yang terdiri dari 5 Kecamatan dan 57
Kelurahan, dengan batas-batas wilayah, yaitu:
1. Utara: Kecamatan Karangploso, Kecamatan Singosari (Kab. Malang),
2. Timur: Kecamatan Dau (Kota Batu), Kecamatan Wagir (Kab. Malang),
3. Selatan: Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Tajinan (Kab.Malang),
4. Barat: Kecamatan Pakis, Kecamatan Tumpang (Kab.Malang).
Dimana saat ini Kota Malang terbagi menjadi 6 BWP (Bagian Wilayah Perkotaan),
yaitu BWP Malang Tengah (805 Ha), BWP Malang Utara (2.388 Ha), BWP Malang Timur
Laut (1.176 Ha), BWP Malang Timur (1.677 Ha), BWP Malang Tenggara (2.951 Ha), dan
BWP Malang Barat (1.561 Ha).
Gambar 1. 1 Peta Wilayah Studi

7
8
1.6 Kerangka Pemikiran

Gambar 1. 2 Kerangka Pemikiran


9

1.7 Sistematika Pembahasan


Sistematika pembahasan merupakan tahapan yang dilakukan pada setiap bab yang
ada dalam penelitian.
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab I Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang, identifikasi
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, lingkup
penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada Bab II Kajian Pustaka berisi tentang landasan teori yang digunakan
pada penelitian. Dimana landasan teori pada Bab II berhubungan dengan
lingkup bahasan yang dilakukan pada penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada Bab III berisikan metode yang digunakan dalam penelitian dimana
terdiri dari jenis penelitian apa yang dilakukan, penentuan variabel
penelitian, metode penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis
data, penetapan populasi dan sampel, alur dari penelitian, dan desain survey
yang berguna sebagai pedoman selama melakukan penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Bab IV berisi tentang data yang dianalisis dengan metode yang telah
dibahas pada Bab III, sehingga menghasilkan sebuah arahan pengembangan
yang sesuai.
BAB V PENUTUP
Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran yang didapat dari penelitian
dimana dapat menjadi rekomendasi yang berhubungan dengan hasil
penelitian.
10

Halaman ini sengaja dikosongkan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ruang Terbuka Hijau


2.1.1 Definisi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi
keberadaannya oleh setiap kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Peraturan Menteri
PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open
space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan
oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan
wilayah perkotaan tersebut.

2.2 Tinjauan tentang Rencana Aksi Kota Hijau


Kota hijau akan dapat terwujud oleh adanya kesadaran, niat baik, perencanaan yang
cermat, kerja keras yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan secara
sinergi, serta terlembaga dalam suatu sistem tatanan secara kuat yang didukung oleh
peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab.
Karakter P2KH merupakan faktor kunci dalam perwujudan Kota Hijau yang berkelanjutan,
diantaranya:
1 Inovatif : berorientasi pada aksi nyata dan solusi berkelanjutan untuk masalah
perkotaan.
2 Partisipatif : P2KH diselenggarakan melalui kolaborasi aktif pemerintah, swasta,
komunitas, dan masyarakat (gerakan kolektif kota hijau).
3 Sinergis : P2KH sebagai platform untuk sektor-sektor, sekaligus pemberdayaan
bagi seluruh stakeholder.

11
12

Penyelenggaraan P2KH diharapkan dapat menjadi tonggak pembelajaran serta


penyempurnaan konsep dan langkah-langkah dalam membangun sinergi bersama
pemerintah kota dan kabupaten untuk mewujudkan kota yang mampu menyandang delapan
atribut kota hijau.
2.2.1 Jenis RTH dalam wilayah Kota berdasarkan RAKH Kota Malang
1. Taman Kota
Taman kota merupakan ruang terbuka diberbagai tempat suatu wilayah kota yang
secara optimal digunakan sebaghia area penghijauan dan berfungsi baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk kehidupan dan kesejahreaan warga kotanya. Di
dalam penataan ruang perkotaan maka pengembangan taman kota harus menjadi
komponen penting pola ruang kota. Keberadaan taman kota sangat penting dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lansekap perkotaan
Taman kota merupakan bagian dari ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka
hijau adalah ruang terbuka yang terbentui secara alamiah dan merupakan jaringan atau
system serbaguna dari ruang ruang yang berhubungan erat dengan pengembangan
suatu areal dalam skala yang luas. Taman kota merupakan wahana keannekaragaman
hayati yang harus diupayakan seoptimal mungkin terjadi suatu komunitas vegetasi
yang tumbbuh di lahan kota dengan struktur menyerupai hutan alam dan membawa
habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa (Zoer’aini, 1997).
RTH Taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota
atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk dengan
standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m 2.
Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan
fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80% -
90%. Semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum. Jenis vegetasi yang dipilih berupa
pohon tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau menyebar
berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.
2. Hutan Kota
Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu
menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di
perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga tidak
harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada berbagai
penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan bentuk dan
luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah kriteria
lingkungan. Hal ini berkaitan
13

dengan manfaat penting hutan kota berupa manfaat lingkungan yang terdiri atas
konservasi mikroklimat, keindahan, serta konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli,
2004).
Kehadiran pohon dalam lingkungan kehidupan manusia, khususnya
diperkotaan, memberikan nuansa kelembutan tersendiri. Perkembangan kota yang
lazimnya diwarnai dengan aneka rona kekerasan, dalam arti harfiah ataupun kiasan,
sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen alamiah seperti air (baikyang
diam-tenang maupun yang bergerak-mengalir) dan aneka tanaman (mulai dari
rumput, semak sampai pohon) (Budihardjo, 1993).
Dalam pelaksanaan pembangunan hutan kota dan pengembangannya,
ditentukan berdasarkan pada objek yang akan dilindungi, hasil yang dicapai dan
letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan letaknya, hutan kota dapat dibagi
menjadi lima kelas yaitu :
1. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi
terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon
dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;
2. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas
minimal 2500 m. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar
dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil;
3. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90% - 100% dari luas
hutan kota;
4. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti
bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal
hutan kota berbentuk jalur adalah 30 m.
Hutan kota dibuat dengan tujuan sebagai penyangga lingkungan kota yang
berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika,
meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian olingkungan fisik kota,
serta mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati.
3. Sabuk Hijau
Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan
untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah
kawasan,dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar
tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Sabuk hijau dapat berbentuk: RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area
atau
14

penggunaan lahan tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai


pembatas atau pemisah; Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada
sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum,
dipertahankan keberadaannya.
4. Jalur Hijau Jalan
Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara
20–30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan klas jalan. Untuk menentukan
pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan
persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah
setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.
Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada
persimpangan tiga atau bundaran jalan. Sedangkan median berupa jalur pemisah yang
membagi jalan menjadi dua lajur atau lebih. Median atau pulau jalan dapat berupa
taman atau non taman
5. Pemakaman
Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki fungsi
utama sebagai tempat penguburan jenasah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai
daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro
serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat di sekitar seperti beristirahat
dan sebagai sumber pendapatan. Pemilihan vegetasi dipemakaman disamping sebagai
peneduh juga untuk meningkatkan peran ekologis pemakaman termasuk habitat burung
serta keindahan
6. RTH Fungsi Tertentu
RTH fungsi tertentu adalah jalur hijau antara lain RTH sempadan rel kereta api,
RTH jaringan listrik tegangan tinggi, RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai,
RTH sempadan danau, RTH pengamanan sumber air baku/mata air. Penyediaan RTH
pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang memiliki fungsi utama
untuk membatasi interaksi antarakegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. RTH
sempadan jaringan tenaga listrik merupakan RTH yang memiliki fungsi utama
membatasi aktivitas masyarakat untuk pengamanan jaringan tenaga listrik khususnya
jaringan tegangan tinggi. RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di
bagian kiri dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai
tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya.
RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk danau dan
waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 50
(lima
15

puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk mata air, RTH terletak pada
garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar
mata air.
2.2.2 Strategi Penetapan dan Pengembangan RTH berdasarkan RAKH Kota
Malang
Pemerintah Kota Malang melalui Rencana Aksi Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Pu

1. Kebijakan I : Mewujudkan RTH Publik 20%


Strategi yang diterapkan :
a) Menetapkan lahan-lahan potensial RTH untuk tidak boleh dibangun melalui
legalitas daerah;
b) Meningkatkan kualitas RTH yang ada melalui refungsi;
c) Mengembangkan koridor ruang hijau di kawasan perkotaan pada Kota
Malang;
d) Menguasai lahan baru melalui pembelian lahan untuk dijadikan RTH daerah;
e) Peningkatan kualitas RTH kota melalui refungsi RTH eksisting;
f) Menghijaukan bangunan (green roof/green wall);
g) Menyusun kebijakan hijau;
h) Melakukan kerjasama dengan swasta untuk mewujudkan RTH Kota Malang;
i) Melakukan kegiatan publikasi mengenai penerapan konsep kota hijau yang
telah dilakukan oleh semua pihak;dan
j) Memberdayakan komunitas hijau.
2. Kebijakan II: Mengembangkan RTH Publik Pada Lokasi
Prioritas Strategi yang digunakan:
a) Melakukan peningkatan kualitas RTH melalui refungsi dalam bentuk
penataan kawasan di lokasi dengan karakteristik dan konsep yang telah
disusun;
b) Melakukan peningkatan minat baca dengan bentuk perpustakaan keliling
yang ditempelkan pada penciptaan fungsi-fungsi baru di kawasan RTH yang
akan ditata;
c) Melakukan kerjasama dalam bentuk partisipasi swasta untuk mewujudkan
RTH di lokasi rencana;
16

d) Melakukan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemeliharaan kawasan


RTH yang telah ditata
3. Kebijakan III : Penetapan Kesesuaian Spasial (Keruangan) Lokasi RTH
Publik Strategi yang dipakai :
a) Penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah
ditentukan dalam rencana tata ruang (RTRW/RDTR dll)
b) Penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang dilaksanakan oleh
pemerintah Kota Malang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
c) Tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi: Perencanaan,
Pengadaan lahan, Perancangan teknik, Pelaksanaan pembangunan RTH,
Pemanfaatan dan pemeliharaan.
d) Penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh
masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan perijinan
pembangunan
4. Kebijakan IV: Pembangunan RTH Publik Untuk Mendukung Pencapaian RTH
Pubik 20%
Strategi: Dalam rangka perwujudan pencapaian RTH publik 20% di Kota
Malang maka RTH potensial yang ada di Kota Malang dilakukan
memaksimalkan fungsi sebagai pendukung tercapainya RTH publik 20%.
5. Kebijakan V: Pembangunan RTH Publik Yang Melibatkan Peran Serta
Stakeholders
Strategi: Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH
merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan
atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian. Berfungsi untuk menjamin hak stakeholder serta memberikan
kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang
dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan
6. Kebijakan VI: Pemberian penghargaan dan kompensasi dalam pengembangan
RTH Publik
Strategi: Penghargaan dan kompensasi terhadap masyarakat/perseorangan,
swasta, dan badan hukum dalam penyediaan, pembangunan, pemeliharaan
maupun peningkatan kesadaran masyarakat terhadap RTH
17

2.2.3 Tahapan Pengembangan RTH Berdasarkan RAKH Kota Malang


Pengadaan RTH publik bagi kota yang sudah terbangun membutuhkan
pertanggung- jawaban. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam pembangunan dan
pengembangan RTH. Dalam Rencana Aksi Pencapaian RTH dan Sistem Informasi
Capaian RTH Publik Kota Malang Kota Malang, pertimbangan tersebut diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu pengembangan jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam pengembangan jangka pendek dilakukan refungsionalisasi dan pengamanan
jalur-jalur hijau alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang
(fly-over), bantaran/sempadan sungai, saluran teknis irigasi, bantaran/sempadan rel kereta
api, jalur SUTET, Tempat Pemakaman Umum (TPU, makam), dan lapangan olahraga, dari
okupasi permukiman liar. Selain itu dilakukan pemeliharaan taman-taman kota yang sudah
ada, berdasar pada prinsip fungsi pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masing-masing
lokasi. Salah satunya dengan memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat strategis,
seperti batas-batas kota, dan alun-alun kota. Upaya lain dilakukan melalui pemberian
motivasi dan insentif secara material dan moral terhadap peran serta masyarakat dalam
pengembangan dan pemeliharaan RTH secara optimal, baik melalui proses perencanaan
kota, maupun gerakan-gerakan penghijauan. Sementara dalam jangka panjang, seharusnya
dilakukan penambahan lahan RTH dan optimalisasi fungsi masing-masing stakeholder.

2.3 Pengadaan Ruang Terbuka Hijau


2.3.1 Ketentuan Pengadaan RTH berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No 5 Tahun 2008
1. Berdasarkan Luas Wilayah Perkotaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, penyediaan
RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: (i) ruang terbuka
hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; (ii) proporsi RTH pada
wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka
hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; (iii) apabila luas RTH baik
publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar
dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap
dipertahankan keberadaannya. Kebutuhan RTH berdasarkan proporsi luas wilayah
dianalisis pada tingkat kelurahan dan kecamatan untuk terciptanya distribusi RTH yang
berimbang antar wilayah. Analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah mengacu
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
18

Ruang. Peraturan tersebut mensyaratkan proporsi RTH pada wilayah kota paling
sedikit 30% persen wilayah dan khusus untuk RTH publik sebesar 20% luas wilayah.
Rumus perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut :

Kebutuhan RTH (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 30%............(2-1)

Kebutuhan RTH Publik (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 20%..........(2-2)

Melalui hasil perhitungan kebutuhan RTH tersebut dapat diketahui apakah luas
RTH di suatu wilayah telah sesuai peraturan yang berlaku atau terdapat kekurangan
luasan sehingga perlu penambahan. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota. Adapun target luas sebesar 30% dari luas wilayah
kota dapat dicapai secara bertahapmelalui pengalokasian lahan perkotaan sebagaimana
Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Ilustrasi Proporsi Pengadaan RTH Wilayah Perkotaan


Sumber: Permen PU No 5 Tahun 2008

2. Berdasarkan Jumlah Penduduk


Penentuan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH perkapita sesuai
19

peraturan yang berlaku. Standar luas RTH perkapita berikut luasan minimal RTH
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008
tertera pada tabel 2.3. Berdasar pada peraturan tersebut diketahui bahwa untuk menjaga
kondisi lingkungan yang ideal, setiap kapita individu memiliki kebuthan terhadap
luasan RTH yang harus dipenuhi. Maka dari itu, kebutuhan agregat RTH di suatu kota
dapat diketahui berdasarkan perkalian antara kebutuhan perkapita terhadap jumlah
penduduknya. Luasan RTH terhadap jumlah penduduk dilakukan perhitungan sebagai
berikut:

Luas RTH Ideal= Jumlah Pddk x Luas Min/Kapita............(2-3)

Berikut adalah proporsi luas ideal RTH Publik yang menjadi acuan pemerintah
dalam pengembangan RTH perkotaan.
Tabel 2. 1
Proporsi RTH per Jumlah Penduduk
Luas minimal/
No RTH Luas Minimal/unit (m2) Lokasi
kapita (m2)

1 Taman RT 250 Di lingkungan


1,0 RT

2 Taman RW 1.250 di pusat


0,5 kegiatan RW

Dikelompokkan
3 Taman Kelurahan 9.000 dengan
0,3 sekolah/pusat
kelurahan

Dikelompokkan
Taman Kecamatan 24.000 dengan
0,2 sekolah/pusat
4 kecamatan

144.000 (disesuaikan-
Pemakaman
uk. 1,2 Tersebar
120 ribu jiwa)
Dipusat
Taman Kota 144.000 0,3 wilayah
kota

1.920.000 Didalam/
Hutan Kota (disesuaikan-uk 40 ribu 4,0 kawasan
5 jiwa) pinggiran

6.000.000
Untuk fungsi Sesuai
(disesuaikan- uk 12,5
tertentu kebutuhan
480ribu jiwa)
Sumber: Permen PU No 5 Tahun 2008

2.3.2 Prosedur Perencanaan RTH


Dalam dokumen yang sama disebutkan bahwa terdapat beberapa tahap dalam
perencanaan RTH. Pertama, penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang
20

telah ditentukandalam rencana tata ruang (RTRW Kota/RTR Kawasan Perkotaan/RDTR


Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/Rencana Induk RTH) yang ditetapkan oleh
pemerintahdaerah setempat. Kedua, penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang
dilaksanakan oleh pemerintahdisesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
Ketiga, tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi: (i) perencanaan; (ii)
pengadaan lahan; (iii) perancangan teknik; (iv) pelaksanaan pembangunan RTH; (v)
pemanfaatan dan pemeliharaan. Keempat, penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang
dilaksanakan oleh masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan
perijinan pembangunan; Kelima, pemanfaatan RTH untuk penggunaan lain seperti
pemasangan reklame (billboard) atau reklame 3 dimensi, harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: (i) mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku pada masing-masing
daerah; (ii) tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman
misalnyamenghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan tanaman yang dapatmerusak
keutuhan bentuk tajuknya; (iii) tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTH; (iv)
memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna RTH; (v) tidak mengganggu
fungsi utama RTH yaitu fungsi sosial, ekologis dan estetis.
Kebutuhan RTH pada kawasan perkotaan menjadi sebuah hal yang penting.
Dengan keterbatasan lahan dan kepadatan penduduk, pemerintah menghadapi tantangan
baru dalam pemenuhan lahan. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, pemenuhan
lahan RTH perlu dipandang sebagai sebuah proses yang membutuhkan inovasi.
Pada dasarnya, pemenuhan lahan RTH dapat dilakukan dengan beberapa cara
berbeda, tergantung pada kebutuhan lokasi, kemampuan lahan, dan ketersediaan asset yang
ada. Secara garis besar, pemenuhan lahan tersebut dapat dikategorikan kepada (State
Government of Victoria, 2013) :
1. Mendapatkan lahan melalui pembelian lahan dalam pasar properti
Pemerintah dapat berpartisipasi pada pasar properti dan membeli lahan baru. Pada
umumnya lahan yang diakusisi melalui metode ini merupakan lahan dengan status
kepemilikan privat. Akusisi dapat dilakukan melalui proses penjualan pribadi
maupun lelang. Metode ini membutuhkan ketelitian untuk menangkap peluang
penjualan dari situs yang potensial. Pada umumnya langkah dalam pembelian lahan
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi, terutama pada lahan-lahan potensial dan proses penjualan
b. Assessment, yaitu terhadap kriteria fisik dan nonfisik lahan, pengembangan
desain RTH, dan keseuaian harga lahan yang ditawarkan
21

c. Pembelian, setelah terjadi kesepakatan harga dan kecocokan kriteria


2. Mengakuisisi lahan asset pemerintah yang telah terdaftar
Selain membeli lahan privat melalui pasar properti, untuk pengadaan lahan RTH
pemerintah dapat melakukan akuisisi lahan asset antar dinas. Terutama apabila
terdapat surplus lahan pada dinas lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh dinas
pertamanan. Tantangan terbesar dari metode ni adalah ketika lahan yang dimiliki
memiliki ketidak sesuaian dengan kriteria lahan RTH, misalnya akses yang buruk.
Namun apabila tantangan tersebut dapat diatasi, maka lahan tersebut dapat menjadi
aset yang berharga bagi pengembangan RTH.
3. Menciptakan ruang terbuka baru dari asset yang telah terbangun
Untuk menciptakan ruang terbuka baru, pemerintah dapat meninjau asset tanah
yang ada untuk mengidentifikasi peluang mengubah asset yang berkinerja buruk
agar dapat dikonversi menjadi penggunaan yang lebih baik. Namun pendekatan ini
berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pengguna ruang yang berbeda.
Dibutuhkan pemahaman terhadap masing-masing pengguna ruang untuk mencapai
kesepakatan penggunaan yang terbaik.

2.3.3 Pengadaan Lahan RTH


Permen PU nomor 5 tahun 2008 telah menetapkan luasan minimum ideal untuk
setiap kategori RTH. Akan tetapi, selain mengacu pada peraturan tersebut, penetapan lahan
yang akan difungsikan sebagai RTH perlu memahami kualitas lahan yang dipilih. Kualitas
lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan.
Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap
kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih
karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau
diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan
karakteristik lahan (FAO, 1976). Sehingga, diperlukan identifikasi karakteristik lahan yang
ideal difungsikan sebagai RTH untuk menjamin sustainabilitas dari pembangunan, baik
yang telah direncanakan maupun yang sudah dilaksanakan.
Berdasarkan ketetapan pemerintah Kota Malang, konsep ideal RTH secara garis
besar diciptakan melalui perbandingan diantara luasan dan penggunaan, dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Besaran lahan ideal tersebut kemudian dilengkapi
dengan kriteria untuk menjamin keberlangsungan RTH dalam jangka panjang. Namun
22

demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat aspek-aspek diluar hal-hal tersebut yang
mempengaruhi pembangunan RTH yang ideal.
Rencana Aksi Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Publik Kota
Malang menyebutkan bahwa terdapat 8 kriteria lahan ideal untuk pengembangan RTH.
Kriteria penentuan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau publik di kota Malang antara
lain, yaitu (i) Luas minimum lahan RTH; (ii) Aksesibilitas RTH; (iii) Kedekatan dengan
pusat kota; (iv) Pengawasan dari stakeholder terkait; (v) Fungsi lahan; (vi) Lokasi terletak
pada kawasan perkotaan; (vii) Status kepemilikan lahan; dan (viii) Komposisi ruang hijau
minimum. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kriteria tersebut.
1. Luas minimal Lahan RTH
Kondisi ini mengacu pada Permen PU No 05 Tahun 2008 yang memuat batas
luasan minimal RTH berdasarkan cakupan wilayahnya serta berdasarkan jumlah
penduduk. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa luasan RTH Taman RT
minimal sebesar 250 m2, Taman RW sebesar 1250 m2, Taman Kelurahan 9000 m2,
RTH Kecamatan 24.000 m2, Taman Kota 144.000 m2 dan Hutan Kota sebesar
1.920.000 m2. Batas tersebut memiliki pertimbangan terhadap kebermanfaatan dan
kegunaan RTH. Oleh karena itu, apabila luasan lahan tidak memenuhi kriteria,
dikhawatirkan fungsi RTH tidak berjalan secara optimal.
2. Aksesibilitas RTH
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bagi seluruh lapisan masyarakat,
idealnya lokasi RTH memiliki aksesibilitas yang baik. Black (1981) menyebutkan
bahwa pada dasarnya aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau
kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain, yang mana dapat
diukur melalui mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi.
Untuk mengukur nilai aksesibilitas menjadi sebuah variabel kuantitatif,
(Bintarto,1989)
Sistem Jaringan Jalan adalah suatu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang
berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. Berdasarkan
sistem jaringannya, jalan dikelompokkan ke dalam klasifikasi fungsi dan kelas jalan
meliputi jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder, sedangkan berdasarkan
peranannya, jalan dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor dan jalan
lokal.
Jaringan jalan secara tidak langsung menentukan aksesibilitas RTH. Apabila
didukung dengan jaringan jalan yang memadai, penduduk dapat mengakses RTH
23

melalui beragam moda transportasi. Dengan aksesibilitas yang baik frekuensi dan
jangkauan penggunaan RTH menjadi meningkat, sehingga manfaat dari keberadaan
RTH dapat dinikmati secara inklusif dan berkala. Kenyamanan menggunakan
fasilitas juga dipengaruhi oleh jarak dan waktu tempuh. Berdasarkan standar,
bahwa jarak tempuh terjauh pejalan kaki yang dianggap masih nyaman adalah
(300-400) meter.
Hirarki jaringan jalan dibagi berdasarkan fungsi strategisnya terhadap
kepentingan nasional. Oleh karena itu, jaringan jalan terdiri dari ruas-ruas jalan
yang menghubungkan satu dengan yang lain pada titik pertemuan yang merupakan
simpul-simpul transportasi yang dapat memberikan alternatif pilihan bagi pengguna
jalan, Semakin tinggi dan strategis peranan jalan tersebut terhadap kepentingan
nasional, maka simpul transportasinya akan menjadi semakin baik. Miro (1997) dan
Desutama (2007) mengklasifikasikan ketiga tingkatan hierarki jalan tersebut
sebagai berikut :
a. Sebagai penghubung berbagai kepentingan, jalan arteri dapat melayani
berbagai macam angkutan. Jalan arteri memiliki lebar badan jalan > 8.0 m
dengan kapasitas dan volume yang besar. Jalan arteri tidak boleh terganggu
kegiatan lokal dan tidak terputus meski memasuki wilayah perkotaan.
b. Jalan Kolektor tidak dapat melayani angkutan jarak jauh. Lebar badan jalan
lebih kecil, yaitu > 7.0 m, dengan kapasitas dan volume lalu lintas rata-rata.
Jalan kolektor juga tidak terganggu oleh kegiatan lokal dan tidak terputus
dalam wilayah perkotaan.
c. Jalan Lokal hanya dapat melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat)
dengan kecepatan rata-rata rendah. Lebar badan jalan >6.0 m dengan
kapasitas dan volume kecil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hirarki jalan yang lebih tinggi
akan memberikan tingkat mobilitas dan pilihan yang lebih baik kepada
penggunanya. Sehingga lokasi yang berada dekat dengan herarki jalan tinggi
memiliki aksesibilitas yang lebih baik Dalam pengukuran aksesibilitas, semakin
banyak sistem jaringan yang tersedia pada daerah tersebut maka semakin tinggi
tingkat aksesibilitasnya. Sebaliknya, semakin sedikit sistem jaringan jalan yang
tersedia, maka daerah tersebt menjadi semakin sulit dijangkau sehingga tingkat
aksesibilitas daerah tersebut semakin rendah.
24

3. Kedekatan Pusat Kota


Salah satu hal yang sering dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak
terhadap intensitas berpergian satu individu dari suatu lokasi ke lokasi lainnya.
Analisis ini digunakan untuk memetakan lokasi yang memiliki daya tarik terhadap
individu dibandingkan dengan lokasi lainnya. Salah satu faktor yang sering
digunakan untuk menentukan daya tarik lokasi adalah tingkat aksesibilitas. Tarigan
(2006) mengemukakan bahwa Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan
untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya.
Tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan,
ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat
keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Dalam keadaan yang
mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata,
1999) seperti diterangkan di bawah ini.
a. Kawasan komersial akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan
jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km. Secara teori tiap pusat
pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan radius 3,5 km
(satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak di pusat
kawasan tersebut. Teori ini disebut teori tempat pemusatan (central place
theory).
b. Kawasan-kawasan berbentuk lingkaran yang saling berbatasan, walaupun
bentuk lingkaran adalah paling efisien, akan mempunyai bagian-bagian yang
bertumpang tindih atau bagian-bagian yang senjang (kosong), sehingga bentuk
lingkaran itu tidak biasa digunakan untuk kawasan atau wilayahnya.
Berhubung dengan itu Christaller mengemukakan bahwa pusat pelayanan akan
berlokasi menurut pola heksagon, sehingga wilayah akan saling berbatasan
tanpa bertumpang tindih.
c. Dalam wilayah akan berkembang ajang niaga dalam pola heksagon. Yang
palng banyak adalah dusun-dusun sebagai pusat perdagangan yang melayani
penduduk wilayah pedesaan. Satu dusun dengan dusun lainnya akan
menempuh jarak 7 km
4. Pengawasan Stakeholder Terkait
RTH merupakan salah satu bagian dari penciptaan kota hijau. Untuk
menyempurnakannya, maka RTH sebaiknya terintegrasi dengan aspek-aspek
lainnya, salah satunya yaitu aspek ekologis dan estetika. Semisal lahan
teridentifikasi sebagai kawasan lindung, sempadan sungai, dan rel kereta api maka
akan lebih ideal
25

apabila aspek tersebut dipertahankan dan dikembangkan agar ruang terbuka yang
sudah ada berfungsi lebih optimal. Apabila lahan tidak berbatasan langsung,
setidaknya lahan dapat difungsikan menjadi koridor hijau atau sebagai penghubung
antar ruang terbuka yang telah tersedia.
Menurut Nugroho (2014), stakeholder dalam program pembangunan dapat
diklasifikasikan berdasarkan peranannya, antara lain:
a. Policy creator yaitu stakeholder yang berperan sebagai pengambil
keputusan dan penentu suatu kebijakan
b. Koordinator yaitu stakeholder yang berperan mengkoordinasikan
stakeholder lain yang terlibat.
c. Fasilitator yaitu stakeholder sebagai fasilitator yang berperan menfasilitasi
dan mencukupi apa yang dibutuhkan kelompok sasaran
d. Implementer yaitu stakeholder pelaksana kebijakan yang di dalamnya
termasuk kelompok sasaran, dan;
e. Akselerator yaitu stakeholder yang berperan mempercepat dan memberikan
kontribusi agar suatu program dapat berjalan sesuai sasaran atau bahkan
lebih cepat waktu pencapaiannya.
Menurut Kadarman (1999) terdapat empat langkah utama dalam proses
pengawasan, yaitu :
a. Menetapkan Tujuan
Karena perencanaan dilakukan untuk mencapai sesuatu, maka tahapan awal
dalam proses pengawasan adalah menyepakati tujuan yang ingin dicapai.
b. Menetapkan Standar
Karena tujuan merupakan tolak ukur untuk merancang pengawasan dalam
perencanaan, maka secara langkah selanjutnya dalam proses pengawasan
adalah menyusun standar dalam menjalankan perencanaan.
c. Mengukur Kinerja
Langkah ketiga dalam pengawasan adalah mengukur atau mengevaluasi
kinerja yang dicapai terhadap standar yang telah ditentukan.
d. Memperbaiki Penyimpangan
Proses pengawasan tidak akan lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan
terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu,
perbaikan penyimpangan merupakan tahapan akhir dalam sebuah
pengawasan untuk memastikan perencanaan berjalan sebagaimana mestinya.
26

Sedangkan Donelly (1996) mengelompokkan pengawasan menjadi tiga tipe


pengawasan yaitu:
a. Pengawasan Pendahuluan (preliminary control).
Pengawasan Pendahuluan mencakup semua upaya manajerial guna
memperbesar kemungkinan bahwa hasil-hasil aktual akan berdekatan hasilnya
dibandingkan dengan tujuan yang telah direncanakan. Dengan ini, manajemen
menciptakan standar seperti kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur dan aturan-
aturan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
b. Pengawasan pada saat kerja berlangsung (cocurrent control)
Pengawasan yang terjadi ketika pekerjaan dilaksanakan. Memonitor
pekerjaan yang berlangsung guna memastikan bahwa sasaran-sasaran telah
dicapai. Concurrent control terutama terdiri dari tindakan bagaimana cara
penerapan metode-metode serta prosedur-prsedur yang tepat sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan, dan mengawasi agar pekerjaan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
c. Pengawasan Feed Back (feedback control)
Pengawasan Feed Back yaitu mengukur hasil suatu kegiatan yang telah
dilaksakan, guna mengukur penyimpangan yang mungkin terjadi atau tidak
sesuai dengan standar. Pengawasan yang dipusatkan pada kinerja organisasional
dimasa lalu. Tindakan korektif ditujukan ke arah proses pembelian sumber daya
atau operasi-operasi aktual. Sifat kas dari metode-metode pengawasan feedback
(umpan balik) adalah bahwa dipusatkan perhatian pada hasil-hasil historikal,
sebagai landasan untuk mengoreksi tindakan-tindakan masa mendatang
Pengawasan merupakan salah satu faktor determinan dari manajemen lahan.
Siagian (2000) menyebutkan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi
organik yang menunjang keberhasilan pembangunan dan pemanfaatan lahan.
Kegiatan pengawasan dapat dilakukan pada saat sebelum kegiatan dilakukan, pada
saat kegiatan sedang berproses dan pada saat kegiatan telah selesai. Hal tersebut
dilakukan dengan maksud menyiapkan segala sesuatu danmenjamin tidak
terjadinya penyimpangan. Sehingga, permasalahan yang mungkin muncul dapat
dicegah. Pengawasan juga dapat diturunkan sebagai tindakan koreksi apabila terjadi
kesalahan pasca kegiatan selesai dilakukan.
27

Kreitner (1992) memiliki tiga pendekatan dalam memahami pengawasan


dengan mempertimbangkan input, proses, dan output. Pendekatan tersebut antara
lain adalah :
a. Tujuan
Tujuan adalah target yang menjelaskan apa yang harus dicapai dan kapan hal
tersebut harus dicapai. Tujuan merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap
sistem pengawasan karena mereka menyediakan poin referensi yang terukur
untuk tindakan korektif.
b. Standar
Apabila tujuan berfungsi sebagai target terukur, maka standar berfungsi
sebagai tonggak penunjuk pada cara untuk mencapai target tersebut. Standar
memberikan pengawasan prefentive untuk mencegah apabila kegiatan tidak
berada pada jalur yang teah ditetapkan.
c. Sistem Evaluasi
Penilaian kinerja diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh fungsi telah
sesuai dengan tujuan dan standar yang ditetapkan. Dengan adanya pengawasan
sebagai sistem evaluasi, maka peningkatan dan perbaikan terhadap kondisi
sebelumnya dapat didokumentasikan. Apabila didorong dengan adanya
penghargaan, maka motivasi kinerja dapat mengalami peningkatan.
5. Fungsi Lahan
Lahan fungsi ganda yang dimaksud adalah seperti lahan produksi dan lahan
TPU. Karena lokasi dengan kondisi tersebut akan menimbulkan permasalahan
jangka panjang. Arahan pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW
Kabupaten/Kota seharusnya dikelola dalam rangka optimalisasi implementasi
rencana. Di dalam Undang Undang No 26 Tahun 2007 diterangkan bahwa arahan
pola ruang dibagi dalam dua kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung adalah suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam, sumber daya buatan yang mempunyai nilai sejarah/budaya bangsa.
Sedangkan kawasan budidaya merupakan wilayah
yang ditetepakan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi
dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Khusus untuk ruang terbuka hijau masuk kategori
rencana pengembangan kawasan fasilitas umum
28

6. Lokasi terletak pada kawasan perkotaan


Pemilihan lokasi pembangunan RTH sebaiknya berada pada kawasan
perkotaan yang diperkirakan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan di
masa yang akan datang. Sebab, pembangunan RTH merupakan bagian dari
perencanaan tata kota yang memiliki sifat berkelanjutan. Sehingga dengan
berada pada kawasan yang strategis di masa yang akan datang, RTH dapat
berfungsi optimal. Optimalisasi fungsi RTH yang berada pada kawasan
strategis tersebut antara lain muncul karena prinsip keadilan yang terpenuhi
dengan banyaknya aktivitas di sekitar RTH.

RAKH kota Malang menghendaki pembangunan RTH yang dekat


dengan kawasan perkotaan. Pada umumnya kawasan pekotaan bersifat
padat penduduk dan padat kegiatan. Sehingga salah satu pertimbangan
yang mendasari hal tersebut, adalah untuk menyeimbangkan kebutuhan
RTH di kawasan perkotaan.
Pada dasarnya, kawasan perkotaan ditentukan dari beberapa kriteria,
diantaranya adalah kelengkapan dan kualitas pelayanan kota. Semakin lengkap
ketersediaan fasilitas dalam suatu wilayah maka sifat kekotaan cenderung berada
pada wilayah tersebut. Untuk lokasi dengan kelengkapan pelayanan yang belum
optimal, potensi strategis dan aksesibilitas juga menjadi faktor dominan. Adapun,
penetapan system dan fungsi kota mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
Untuk mengoptimalkan fungsi RTH bagi masyarakat, RTH sebaiknya
bertempat didekat pemukiman atau pusat kegiatan penduduk. Berdasarkan hasil
analisa tentang struktur wilayah, Kota Malang dibagi menjadi Pusat sdan Sub Pusat
kota. Tingkatan Pusat dan Sub-Pusat perkotaan tersebut dibentuk oleh
perkembangan dan pertumbuhan kota itu sendiri.
Penentuan struktur tata ruang/hirarki di Kota Malang didasarkan pada jalur
upaya pemantapan-pemantapan fungsi kota dalam kerangka strategi dan
kebijaksanaan pengembangan peta struktur tata ruang wilayah Kota Malang.
Dengan demikian struktur kota ini diarahkan pada tujuan keseimbangan
pembangunan antar wilayah. Artinya, adanya keseimbangan pembangunan antara
perkembangan wilayah pusat, wilayah transisi, dan wilayah belakang sehingga
wilayah sekitar dapat ikut berkembang akibat multiplier effect dari sistem kegiatan
ekonomi pada pusat- pusat pengembangan. Untuk menciptakan kondisi ini, maka
struktur ekonomi yang
29

mantap dan seimbang diperlukan diantara sektor primer, sekunder, dan sektor
tersier.
Untuk mengukur kedekatan dengan kawasan perkotaan, Achsan (2015)
menggunakan variabel kedekatan jarak dari pusat kota. Variabel tersebut dibagi
kedalam tiga kategori yaitu:
a. Dekat, yaitu lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kota
b. Sedang, yaitu lokasi dengan jarak 500-1000 m dari pusat kota, dan
c. Jauh, yaitu lokasi dengan jarak > 1000 m dari pusat kota
Pembangunan RTH mempertimbangkan kemudahan penduduk untuk
menggunakan fasilitas RTH. Untuk membuat RTH yang dapat dinikmati secara
rutin, sebaiknya RTH dibangun pada daerah yang dekat dengan pusat penduduk.
Selain tingkat mempertimbangkan konsentrasi penduduk saat ini, pembangunan
RTH juga dapat dilakukan pada daerah yang teridentifikasi memiliki potensi
menjadi daerah padat penduduk di masa yang akan datang.
7. Status lahan
Dalam pendataan administrasi dan sustainabilitas jangka panjang, status lahan
RTH menjadi faktor yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, status yang
dinilai akan menunjang sustainabilitas RTH adalah status tanah negara. Karena
kepemilikannya sebagai asset pemerintah memperkecil kemungkinan adanya
konflik dan meminimalisir biaya akuisisi tanah dalam pengembangan RTH.
Tidak adanya kejelasan status hukum atas kepemilikan lahan menyebabkan
kemungkinan terjadinya konflik di kemudian hari. Satriana (2016) dalam
penelitiannya mengungkapkan, inisiasi pembangunan RTH di Bandar Lampung
pada tahun 2009 tidak memiliki kejelasan status hukum. Sehingga dalam
perkembangannya, lokasi yang diklaim sebagai taman hutan kota tersebut
kemudian diambil alih oleh pemilik lahan swasta dan menjadi kawasan pusat
ekonomi. Anastasia dan Sulisyarto (2016) mengungkapkan bahwa status hukum
lahan merupakan salah satu preferensi utama dalam pengembangan lahan RTH.
Hak atas tanah pada hakikatnya merupakan hubungan hukum konkrit antara
orang (termasuk badan hukum) dengan tanah, dimana hubungan tersebut
memperoleh perlindungan hukum. Tujuan dari hak tanah adalah memberikan
kepastian hukum terhadap hubungan hukum sehingga pemegang hak dapat
menjalankan kewenangan/isi hak tanahnya dalam koridor hukum yang berlaku.
30

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria menyebutkan bahwa negara berwenang untuk menentukan dan
memberikan hak atas tanah. Dalam UUPA dijelaskan bahwa sumber kepemilikan
hak perorangan itu berasal dari dua unsur, yaitu :
a. Hak yang timbul karena hak ulayat, yang diperoleh secara hukum adat,
turun temurun yang berasal dari pengakuan atau pembukaan hutan oleh
masyarakat adat yang belum ada pengusahaan sebelumnya.
b. Hak yang diperoleh oleh orang-orang, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum
Macam-macam hak atas tanah tersebut, diantaranya : hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, dan hak hak lain yang tidak termasuk dalam hak telah
disebutkan sebelumnya. Tanah adalah bagian dari hak milik yang dapat dimiliki
secara perorangan.
.Pemilik lahan juga wajib memenuhi kewajibannya. Kewajiban tersebut antara
lain berkaitan dengan ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka penataan ruang,
khususnya yang berkaitan dengan jenis penggunaan (use), ukuran luas (bulk), dan
ketinggian (height). Kewenangan–kewenangan yang dipunyai oleh pemegang hak
atas tanah pada hakikatnya itu ditujukan untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu,
yaitu : (i). Untuk diusahakan, misalnya untuk usaha pertanian, perkebunan,
perikanan (tambak) atau peternakan; (ii). Tanah dipakai sebagai tempat
membangun sesuatu, seperti untuk membangun bangunan gedung, bangunan air,
bangunan jalaan lapangan olahraga, pelabuhan pariwisata dan lain-lainnya
RTH sendiri dapat dibangun pada lahan yang telah eksisting dimiliki oleh
pemerintah. Apabila lahan ternyata dimiliki oleh instansi yang tidak secara
langsung berkaitan dengan pembangunan RTH, maka instansi terkait dapat
melakukan upaya penukaran asset atau pembelian. Apabila lahan milik pemerintah
untuk pembangunan RTH tidak tersedia, maka pemerintah dapat melakukan
pembelian pada developer maupun individu yang telah memiliki hak atas tanah
tersebut.
Status tanah yang dikehendaki adalah status tanah privat dengan kepemilikan
individu yang jelas. Meskipun konflik dapat diminimalisir, namun pemerintah perlu
mengeluarkan biaya untuk akuisisi lahan. Sedangkan status yang dihindari karena
berpotensi untuk timbulnya konflik secara berturut-turut adalah tanah wakaf, tanah
adat, tanah yang tidak diketahui kepemilikannya, serta tanah sengketa.
31

8. Komposisi Lansekap/Ruang Hijau


Komposisi ruang hijau atau yang juga biasa disebut dengan Koefisien Dasar
Hijau adalah angka presentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di
luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan. Koefisien Dasar Hijau (KDH) merupakan
angka ruang terbuka alamiah merupakan bagian dari ruang di luar bangunan yang
tidak tertutup oleh beton/tidak ada penghambat bagi air untuk meresap kedalam
tanah
Dalam peraturan RAKH, komposisi ruang hijau diatur dalam perbandingan
70:30 untuk hardscape dan material ramah lingkungan. Hal ini perlu diperhatikan
untuk mengakomodir fungsi RTH sebagai retainer air tanah. Selain itu, dalam
Permen PU No.29/PRT/M/2006 juga mempertimbangkan pemenuhan Koefisien
Dasar Hijau (KDH).
KDH adalah angka perbandingan antara luas ruang terbuka di luar bangunan
untuk penghijauan, terhadap luar persil. Ruang terbuka alamiah merupakan bagian
dari ruang di luar bangunan yang tidak tertutup oleh beton/tidak ada penghambat
bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Besaran KDH sebagaimana telah ditetapkan
Permen PU No.29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung yaitu mengharuskan minimal sebesar 10% dari luas persil keseluruhan.
Besaran KDH sebagaimana telah ditetapkan Permen PU No.29/PRT/M/2006
tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung yaitu mengharuskan
minimal sebesar 10% dari luas persil keseluruhan.

2.4 Tinjauan Aset Pemerintah


Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di
masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta
dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan
untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara
karena alasan sejarah dan budaya. Aset daerah menurut sumber pengadaannya, yaitu ABPD
dan dari luar APBD. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output
/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Sedangkan asset
yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD merupakan asset yang tidak diperoleh dari
realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja melainkan dari
pihak lain, seperti
32

lembaga donor dan masyarakat.


Secara lebih rinci dijelaskan bahwa yang disebut sebagai barang milik daerah
sebagai berikut:
1. Barang milik daerah, meliputi:
a. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD, dan
b. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Barang yang deiperoleh dari hibah maupun perjanjian sejenis;
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak;
c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang undang, atau;
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
Hidayat (2012) mendefinisikan manajemen aset sebagai suatu proses untuk
mengelola permintaan dan panduan akuisisi, penggunaan dan pembuangan asset untuk
memaksimalkan potensi layanan, mengelola resiko, dan mengelola biaya dalam jangka
waktu kepemilikan asset. Adapun pengelolaan asset harus memenuhi beberapa aspek,
antara lain akuntabilitas hukum, akuntabilitas proses, sumber daya manusia yang
berkualitas, anggaran, dan pengawasan (Mardiasmo, 2002). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi,
akuntabilitas dan kepastian nilai.
Salah satu komponen penting dalam pengelolaan asset daerah adalah pengamanan
asset, yang umumnya digunakan pada asset tidak bergerak, misalnya lahan. Dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah, pengamanan adalah kegiatan tindakan pengendalian
dalam pengurusan barang milik daerah dalam bentuk fisik, administratif dan tindakan
upaya hukum dalam hal legal audit, merupakan suatu ruang lingkup untuk
mengidentifikasi dan mencari solusi atas permasalahan legal mengenai prosedur
penguasaan atau pengalihan aset seperti status hak penguasaan yang lemah, aset yang
dikuasai pihak lain, pemindahan aset yang tidak termonitor dan lain-lain. Adapun
pengamanan aset daerah yang diperlukan meliputi pengamanan administrasi dan catatan,
pengamanan secara hukum, dan pengamanan fisik.

2.5 Tinjauan Metode Analytical Hierarcy Process


Proses Analisis Hierarcy Processs dikembangkan pertama kali oleh Thomas L.
Saaty, yaitu ahli matematika dari Universutas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-
33

an. Pada situasi dimana kita dapat dengan mudah menentukan evaluasi dan penilaian
terhadap berbagai faktor keputusan, proses evaluasi multi faktor sebagaimana yang dibahas
sebelumnya telah bekerja dengan baik. Pada kasus yang lebih kompleks, para pengambil
keputusan mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan secara akurat berbagai nilai
faktor dan evaluasi. Untuk masalah yang lebih kompleks, proses Analytic Hierarchy
Process (AHP) dapat digunakan. AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dan
dipublikasikan pertama kali dalam bukunya tahun 1980, The Analytic Hierarchy Process.
AHP dilakukan dengan memanfaatkan perbandingan berpasangan (pairwise
comparison). Pengambil keputusan dimulai dengan membuat lay out dari keseluruhan
hirarki keputusannya. Hirarki tersebut menunjukkan faktor – faktor yang ditimbang serta
berbagai alternatif yang ada. Kemudian, sejumlah perbandingan berpasangan dilakukan,
untuk mendapatkan penetapan nilai faktor dan evaluasinya. Sebelum penetapan, terlebih
dahulu ditentukan kelayakan hasil nilai faktor yang didapat dengan mengukur tingkat
konsistensinya. Pada akhirnya alternatif dengan jumlah nilai tertinggi dipilih sebagai
alternatif terbaik.
Metode ini pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang
yang berhubungan dengan erat dengan preferensi di anrara berbagai alternatif. Metode
tersebut juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan,
alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki saat situasi
konflik. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tak
terstruktur, startegis, dan dinamik menjadi bagian bagiannya serta menata dalam suatu
hirarki.
Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif
tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi
hasil pada system tersebut (Marimin, 2004)
Menggunakan metode AHP, kemungkinan orang memperhalus definisi mereka
pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan. Dalam menetapkan prioritas elemen-elemen dalam suatu persoalan
keputusan yaitu dengan membuat perbandingan berpasang (Saaty, 1993). Adapun skala
banding berpasangan yang digunakan dalam meode AHP yaitu dapat dilihat pada tabel 2.2.
34

Tabel 2. 2
Skala Banding Secara Berpasangan
Skala/tingkat
Definisi Penjelasan
kepentingan
Dua elemen penyumbang sama kuat pada
1 Kedua elemen sama pentingnya
sifatnya
Pengalaman dan pertimbangan
Elemen yang satu sedikit lebih
3 sedikit meyokong satu elemen atas
penting ketimbang lainnya
elemen
lainnya
Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan dengan
5 sangat penting dari elemen kuat meyokong satu elemen atas elemen
lainnya lainnya
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong dan
7
dari elemen lainnya dominasinya telah terlibat dalam praktek
Bukti yang menyokong elemen yang satu
Satu elemen mutlak lebih
9 memiliki tingkat penegasan tertinggi
penting ketimbang lainnya
yang mungkin menguatkannya
Nilai-nilai di antara dua
Kompromi doperlukan diantara dua
2,4,6,8 pertimbangan lainnya yang
pertimbangan
berdekatan

Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat suatu angka bila dibandingkan


(1/2,1/3…dst) dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dengan i

Sumber : Saaty (1993)

Beberapa kelebihan dari metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 1993)
1. AHP memberi satu modal tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur
2. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas
3. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan
dalam menetapkan berbagai prioritas
4. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi merka pada suatu persoalan dan
memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan

2.6 Tinjauan Multifactor Evaluation Process (Analisis Pembobotan/Skoring)


Proses pemilihan alternative terbaik dapat menggunakan weighting system, dimana
metode tersebut merupakan metode kuantitatif, disebut sebagai metode Multifactor
Evaluation Process (MFEP).
Dalam pengambilan keputusan multi faktor, pengambilan keputusan secara
subjektif dan intuitif menimbang berbagai faktor yang mempunyai pengaruh penting
terhadap alternative pilihan mereka. Untuk keputusan yang mempunyai pengaruh secara
strategis, lebih dianjurkan menggunakan sebuah pendekatan kuantitatif seperti MFEP.
Dalam MFEP
35

pertama tama seluruh kriteria yang menjadi faktor penting dalam melakukan pertimbangan
diberikan pembobotan (Weighting) yang sesuai. Langkah yang sama juga dilakukan
terhadap alternative-alternatif yang akan dipilih, yang kemudian dapat dievaluasi berkaitan
dengan faktor-faktor pertimbangan tersebut.
MFEP merupakan metode yang serupa dengan AHP tetapi lebih sederhana. Dalam
penerapan MFEP yang harus dilakukan pertama kali adalah penentuan faktor faktor yang
dianggap penting dalam pemilihan yang dilakukan. Sebagai contoh ditetapkan bahwa
faktor- faktor tersebut adalah x,y, dan z. langkah selanjutnya adalah pembandingan faktor
faktor tersebut untuk mendapatkan mana faktor yang paling penting, kedua terpenting , dan
seterusnya. Selanjutnya memberikan pembobobtan kepada faktor-faktor yang digunakan
dimana total pembobotan harus sama dengan 1 ( Σ pembobotan = 1).

2.7 Sistem informasi Geografis (SIG)


Sistem informasi Geografis atau Geographic Information System (GIS) merupakan
suatu system yang dapat dikembangkan berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) untuk kepentingan pemetaan, supaya fakta wilayah dapat
disajikan dalamm satu system berbasis computer (Purwadhi, 2007)
Konsep dasar Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem yang
mengorganisir perangkat keras, perangkat lunak, dan data serta mendayagunakan sistem
penyimpanan, pengolahanm maupun analisis data sevara simultan sehingga dapat
diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG juga merupakan
manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis computer, dengan tiga karakteristik
dasar, yaitu
1. Mempunyai fenomena aktual, berhubungan topik masalah dan tujuannya;
2. Merupakan suatu kejadian di suatu lokasi;
3. Mempunyai dimensi waktu.
Overlay merupakan proses dua peta tematik dengan area yang sama dan
menghamparkan satu dengan yang lain untuk membentuk satu layer peta baru. Konsep
overlay peta antara lain:
1. Alamat overlay peta merupakan hubungan interseksi dan saling melengkapi antara
fitur-fitur spasial.
2. Overlay peta mengkombinasikan data spasial dan data atribut dari dua tema
masukan.
Tiga tipe fitur input melalui overlay yang merupakan polygon yaitu:
1. Titik dengan Polygon, mengasilkan keluaran dalam bentuk titik-titik
36

2. Garis dengan Polygon, menghasilkan keluaran dalam bentuk garis


3. Polygon dengan polygon, mengasilkan keluaran dalam bentuk Polygon
Berikut merupakan analisis overlay pada SIG menurut Purwadhi (2007) antara lain,
1. Analisis lebar menghasilkan persebaran melebar, seperti pelebaran pola sungai
2. Analisis And menggambarkan kriteria penggabungan (A dan B) suatu lokasi
3. Analisis Or menggambarkan lokasi yang masuk satu kriteria A atau B
4. Analisis Not menunjukkan kriteria lain (bukan) misalnya diketahui kriteria A, maka
yang lain kriteria bukan A
5. Analisis And dan Not merupakan analisis lokasi kriteria gabungan misalnya kriteria
(A) dengan tidak diketahui (Not B) hasil gabungan (A dan Not B)
6. Analisisi penjumlahan merupakan penjumlahan dua kriteria atau lebih yang
diketahui
7. Analisis interseksi merupakan analisis penggabungan garis. Analisis ini digunakan
untuk mencari lokasi yang perlu penanganan khusus seperti jaringan sungai dan rel
kereta api
8. Analisis Polygon, garis, dan bidang merupakan analisis gabungan interseksi (garis)
dan bidang. Analisis untuk melakukan evaluasi atau penilaian lokasi
Dalam konsep keruangan, penggunaan SIG dapat menjelaskan pembagian
keruangan berdasarkan input yang digunakan dalam penelitian

2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu


Studi terhadap penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
melakukan kajian. Ringkasan dari penelitian terdahulu sebagai literatur kajian ditunjukkan
dalam Tabel 2.3.
Tabel 2. 3
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Judul dan Nama
No. Tujuan Variabel Metode Analisis Output Perbandingan
Peneliti

Menghitung Berdasarkan hasil penelitian


 Persamaan:
kebutuhan oksigen diketahui bahwa Kota Bekasi
Analisis menggunakan metode
Potensi sediaan RTH dan kebutuhan air belum mampu memenuhi
1. Deskriptif analisa deskriptif kualitatif
Kota Bekasi (Intan penduduk pada  Luasan RTH ketentuan RTH, dimana potensi
Kualitatif,  Peerbedaan:
Ganura, Iwan suatu kota untuk  Jenis RTH pengembangannya perlu
Deskriptif Tidak memberikan pemetaan
Kustiawan) menentukan luas diperhatikan terutama mengingat
Spasial, yang jelas terkait lokasi
RTH minimal yang terjadinya peningkatan
Preskriptif pengembangan RTH
diperlukan perkembangan penduduk

Implikasi Program
Pengembangan Kota Mengkaji capaian
Luas RTH di Kota Semarang  Persamaan : Mengkaji
Hijau (P2KH) terhadap sasaran dan
telah memenuhi standar 30% permasalahan luasan
Pemenuhan Luasan manfaat dari  Luas RTH
Analisis Deskriptif namun persebarannya tidak ruang RTH
2. Ruang Terbuka Hijau pelaksanaan P2KH  Sebaran RTH
Kualitatif, merata. Terdapat kendala dalam  Perbedaan : Metode analisa
(RTH) Perkotaan dalam menambah  Besaran
Rasionalistik pemenuuhan lahan, sistem yang digunakan, dan variabel
(Yohanes Eka Putra, besaran RTH di Atribut Hijau
lelang, dan penyediaan solar penelitian berbeda.
Margareta Maria Kawasan Perkotaan lainnya
cell.
Sudarwani)

37
38
Judul dan Nama
No. Tujuan Variabel Metode Analisis Output Perbandingan
Peneliti

Hasil menunjukkan bahwa  Persamaan : Mengkaji


ketersediaan dan kebutuhan RTH kebutuhan dan ketersediaan
Mengevaluasi
Kebutuhan dan publik dipengaruhi oleh ukuran ruang RTH dalam wilayah
penyediaan RTH
Kajian Ketersediaan KetersediaanRTH kota. Bagi Kota Menengah perkotaan. Penggunaan
publik di kota pesisir
dan Kebutuhan Ruang berdasarkan penyediaan RTH cenderung metode untuk mengkaji
yang berbeda ukuran
3. Terbuka Publik di Kota jumlah Analisis statistik tidak bermasalah, sebaliknya kebutuhan berdasarkan
dengan menganalisis
Pesisir (Renitha Sari, penduduk, luas deskriptif untuk Kota Metropolitan luasan dan jumlah
ketersediaan dan
Iwan Kustiawan) wlayah, jenis menemui kendala akibat penduduk
kebutuhan RTH
RTH, dan perkembangan kota dan  Perbedaan :
publik.
kebutuhan O2 keterbatasan lahan. Tidak memberikan pemetaan
Untuk itu perlu dilakukan dan rekomendasi mengenai
kerjasama antar wilayah. lokasi RTH baru

 Mengelola
parameter penyebab
Pemanfaatan Data
banjir dengan  Curah hujan
Penginderaan Jauh dan  Persamaan : Menggunakan
menggunakan  Citra Landsat
SIG untuk Analisa Daerah bahaya banjir yang metode SIG dalam penelitian
perangkat lunak SIG  DAS Sistem Informasi
Banjir , Studi Kasus dibuat Pemerintah Provinsi DKI untuk memetakan suatu
4.  Membuat peta  Tekstur Geografis,
DKI Jakarta (Yuan 100% semuanya masuk dalam lokasi
bahaya banjir Tanah Metode Skoring
Karisma, Yanto daerah sangat bahaya banjir  Perbedaan : fokus dan
untuk kawasan  DEM SRTM
Budisusanto, Indah variabel penelitan
DKI Jakarta  Daerah titik
Prasasti) berbeda.
dengan metode bahaya banjir
skoring,
pembobotan, dan
SIG
39

2.9 Kerangka Teori


Penelitian Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang
Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang dilakukan menggunakan beberapa teori
atau kajian yang mendukung kegiatan penelitian. Adapun keterkaitan atar teori yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
40
Gambar 2. 2 Kerangka Teori
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional


Penyediaan RTH Publik merupakan permasalahan bagi kota-kota besar yang sudah
berkembang karena adanya konversi guna lahan dan perkembangan kota. Salah satu kota
yang belum menyediakan RTH publik sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah
Kota Malang. Maka dari itu, dalam rangka perwujudan program Rencana Aksi Kota Hijau
di Kota Malang, diperlukan adanya pengembangan luasan RTH yang saat ini masih minim.
Penelitian ini membahas tentang Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang. Secara lebih spesifik,
fokus dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Prioritasi
Prioritasi dapat diartikan sebagai yang mendahulukan atau mengutamakan sesuatu

daripada yang lain. Mengingat adanya keterbatasan dalam pemenuhan RTH di Kota
malang, maka diperlukan urutan perencanaan yang jelas. Oleh karena itu, penelitian
ini dimaksudkan untuk mencari prioritasi mengenai urutan serta peringkat lahan
potensial yang harus diutamakan dalam rangka memenuhi luasan RTH Publik di
Kota Malang.
2. Lokasi
Lokasi adalah tempat dimana suatu usaha atau aktivitas usaha dilakukan (Swastha,
2002). Dalam penelitian ini, lokasi yang dimaksudkan adalah lahan yang masih
kosong, serta potensial untuk dikembangkan sebagai RTH Publik. Selain itu, lokasi
juga dapat diartikan sebagai posisi pasti dalam ruang. Dalam pandangan tersebut,
lokasi memiliki dua makna, yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut
adalah lokasi yang ditentukan oleh sistem koordinat garis lintang dan bujur.
Sedangkan lokasi relatif adalah lokasi suatu objek yang nilainya ditentukan oleh
objek-objek di sekitarnya. Penelitian ini lebih banyak melakukan pendekatan
kepada lokasi relatif, untuk mengetahui potensi dan kebermanfaatannya sebagai
RTH Pubik.
41
42

3. Penyediaan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyediaan dapat diartikan

sebagai proses, cara, atau perbuatan menyediakan. Dalam penelitian ini, penyediaan
yang dimaksudkan berkaitan dengan proses, cara, dan perbuatan untuk
menyediakan lahan potensial yang dapat dikembangkan sebagai RTH publik di
Kota Malang.
4. Lahan
Lahan dapat didefinisikan sebagai seluruh sumber daya yang dapat dimanfaatkan di
bawah, pada, maupun di atas suatu bidang. Namun dalam keseharian, lahan lebih
banyak diartikan sebagai tanah. Dalam penelitian ini, lahan yang menjadi fokus
utama objek penelitian adalah lahan kosong, atau terbuka yang belum memiliki
fungsi lain, dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai RTH di Kota
Malang. Dengan mengetahui jumlah lahan potensial, proyeksi peningkatan luasan
RTH di Kota Malang dapat diketahui. Selain itu, lahan tersebut akan diurutkan
sesuai prioritasnya untuk mengetahui lokasi-lokasi penting yang dapat segera
diakuisisi oleh pemerintah.
5. Upaya Pemenuhan
Upaya pemenuhan adalah suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam
rangka mencapai suatu ketentuan atau target yang ditetapkan. Dalam penelitian ini,
target yang dimaksudkan adalah ketetapan bahwa luasan RTH minimal mencapai
20% dari luasan administratif perkotaan. Saat ini, Kota Malang belum mencapai
persentase tersebut. Oleh karena itu kegiatan yang disarankan dalam penelitian ini
adalah penambahan RTH publik berdasarkan lokasi prioritas yang ditemukan.
6. Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007, RTH adalah area memanjang/jalur dan atau
mengelompok, penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sementara
public mengacu kepada penggunaan RTH yang bersifat inklusif, sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat umum. Perkotaan merujuk pada lokasi RTH, yaitu pada
kawasan perkotaan.

3.2 Jenis Penelitian


Penelitian Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan
Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malangmerupakan jenis penelitian
kuantitatif. Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian deksriptif berdasarkan
43

sifatnya yang mencoba mengungkap fakta dan memberikan gambaran secara


objektif mengenai keadaan sebenanrya pada objek yang sedang diteliti. Objek
utama penelitian ini adalah ruang terbuka hijau. Pokok utama yang dilihat dari
Ruang Terbuka Hijau adalah luasannya, yang berdasarkan studi literatur besarnya
dapat ditentukan berdasarkan luas wilayahnya dan berdasarkan jumlah penduduk
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif, karena analisisnya berdasarkan pada data-data numerikal, antara lain
terkait ketersediaan RTH eksisting, karakteristik RTH eksisting, kebutuhan luasan
RTH, ketersediaan lahan kosong, dan pemberian bobot pada masing-masing lahan
kosong berdasarkan kecocokan dengan parameter yang ditentukan. Oleh karena itu,
pendekatan dalam studi ini dapat dikatakan sebagai pendekatan deskriptif
kuantitatif. Penelitian deskriptif berkaitan dengan pengumpulan data untuk
memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala pada suatu objek.
Sifatnya sekedar mengungkap fakta dan memberika gambaran secara objektif
tentang keadaan sebenarnya dari objek yang sedang diteliti (Rianse, 2009)

3.3 Instrumen Penelitian


3.3.1 Penentuan Variabel
Menurut Sugiyono (2011), variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat, nilai
dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
44
Tabel 3. 1
Variabel Penelitian
No Tujuan Variabel Parameter Sumber Keterangan

1. Mengetahui karakteristik Mengidentifikasi luasan eksisting dan


Ruang Terbuka Hijau kebutuhan yang diperlukan dalam
Publik dan tingkat Luas Ruang Terbuka Hijau Luasan RTH per BWP
rangka memenuhi UUTR No 26 Tahun
kebutuhan RTH publik di Kota Malang
2007
Kota Malang
Titik lokasi RTH per Mengidentifikasi lokasi sebaran RTH
Lokasi Ruang Terbuka Hijau
BWP Kota Malang Permen PU No 5 tahun Aktual
2008, RAKH, Green Open
Klasifikasi jenis Space Strategy, 2006
RTH berdasarkan
RAKH : Taman kota
&
Jenis Ruang Terbuka lingkungan, Hutan Mengidentifikasi Proporsi RTH
Hijau kota, Median jalan, berdasarkan jenisnya
Jalur hijau,
Pemakaman,
RTH fungsi lain

Menidentifikasi sebaran dan proyeksi


Jumlah penduduk
kebutuhan RTH berdasarkan kepadatan
Kepadatan penduduk per BWP Kota
penduduk
Malang
Permen PU No. 5 2008 Mengidentifikasi sebaran dan proyeksi
Luas wilayah per kebutuhan RTH berdasarkan luasan
Luas wilayah BWP BWP Kota Malang
BWP

2. Mengidentifikasi lahan yang Lokasi dan luasan lahan Creating Liveable Open Mengidentifikasi sebaran lahan
dapat diprioritaskan dalam Lahan Potensial kosong serta lahan aset potensial yang dapat diarahkan
upaya menyediakan Ruang Space 2013, RAKH
pemerintah pemanfaatannya menjadi RTH
Terbuka Hijau Publik Kota 2015
Malang
Luas minimum RAKH 2015, Permen PU No.
Luas minimum lahan RTH
lahan 2
5 2008
RTH 5.000 m
No Tujuan Variabel Parameter Sumber Keterangan

Bintarto 1989, Desutama


Kemudahan mencapai
Aksesibilitas RTH 2007, Miro 1997, RAKH
lokasi
2015

Kedekatan RTH terhadap Jarak pencapaian Jayadinata 1999, RAKH


Pusat Kota menuju pusat kota 2015

Peran serta stakeholder Donelly 1996, Kadarman


Pengawasan Stakeholder Mengklasifikasikan kriteria-kriteria
terhadap pengawasan 1999, Kreitner 1992, RAKH
Terkait lahan untuk penyediaan RTH publik
lahan 2015
yang ideal.
Arahan Pola Ruang UU No 26 th 2007, RAKH
Fungsi Lahan
Lahan Perkotaan 2015

Lokasi pada Kawasan Skala Pelayanan Achsan , Andi Chairul


Perkotaan Kawasan Perkotaan 2015, RAKH 2015

Anastasia 2016, Satriana


Status Lahan Kepemilikan Lahan 2015, RAKH 2015, UUPA
No 5 1960

Komposisi Lansekap/ Ruang Komposisi Ruang Permen PU No.29 2006,


Hijau Hijau minimum 70% RAKH 2015

Sumber: Hasil Pemikiran

45
46

3.3.2 Penentuan Parameter


Kriteria penentuan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau publik di kota Malang
dibagi kedalam 8 indikator yaitu luas minimum lahan, kepemilikan lahan, skala pelayanan
fasilitas, kemudahan mencapai lokasi, kedekatan dengan pusat dan sub pusat kota,
pengawasan dari stakeholder terkait, fungsi Lahan, dan komposisi ruang hijau minimum.
1. Luas minimal Lahan RTH
Kondisi ini mengacu pada Permen PU No 05 Tahun 2008 yang memuat batas
luasan minimal RTH berdasarkan cakupan wilayahnya serta berdasarkan jumlah
penduduk. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa luasan RTH Taman RT
minimal sebesar 250 m2, Taman RW sebesar 1.250 m 2, Taman Kelurahan 9.000 m2,
RTH Kecamatan 24.000 m2, Taman Kota 144.000 m2 dan Hutan Kota sebesar
1.920.0 m2. Batas tersebut memiliki pertimbangan terhadap kebermanfaatan dan
kegunaan RTH. Sedangkan, dalam dokumen RAKH dicantumkan bahwa luasan
minimal lahan RTH adalah 5.000 m2. Dengan mempertimbangkan kedua pedoman
tersebut, dan kebermanfaatannya bagi banyak pihak, peneliti membagi bobot lahan
dengan prioritas sebagai berikut :
a. Lahan dengan luasan 5.000 m2 – 9.000 m2
b. Lahan dengan luasan 9.000 m2 – 24.000 m2
c. Lahan dengan luasan lebih dari 24.000 m2
2. Aksesibilitas RTH
Untuk mengukur nilai aksesibilitas menjadi sebuah variabel kuantitatif,
(Bintarto,1989) menggunakan ukuran hirarki sistem jaringan jalan. Sistem Jaringan
Jalan adalah suatu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh
pelayanannya dalam satu hubungan hirarki. Semakin tinggi dan strategis peranan
jalan tersebut terhadap kepentingan nasional, maka simpul transportasinya akan
menjadi semakin baik. Miro (1997) dan Desutama (2007) mengklasifikasikan ketiga
tingkatan hirarki jalan tersebut sebagai berikut :
a. Sebagai penghubung berbagai kepentingan, jalan arteri dapat melayani berbagai
macam angkutan. Jalan arteri memiliki lebar badan jalan > 8 m dengan
kapasitas dan volume yang besar. Jalan arteri tidak boleh terganggu kegiatan
lokal dan tidak terputus meski memasuki wilayah perkotaan.
b. Jalan Kolektor tidak dapat melayani angkutan jarak jauh. Lebar badan jalan
lebih kecil, yaitu > 7 m, dengan kapasitas dan volume lalu lintas rata-rata.
Jalan
47

kolektor juga tidak terganggu oleh kegiatan lokal dan tidak terputus dalam
wilayah perkotaan.
c. Jalan Lokal hanya dapat melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat)
dengan kecepatan rata-rata rendah. Lebar badan jalan > 6 m dengan kapasitas
dan volume kecil.
3. Kedekatan Pusat Kota
Tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan,
ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat
keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Dalam keadaan yang
mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata,
1999) seperti diterangkan di bawah ini.
a. Tiap pusat pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan
radius 3,5 km (satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak
di pusat kawasan tersebut.
b. Kawasan komersial akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan
jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km.
c. Perkembangan dan pelayanan pusat kota tidak akan mencapai diluar radius 7 km
4. Pengawasan Stakeholder Terkait
Pengawasan merupakan salah satu faktor determinan dari manajemen lahan.
Siagian (2000) menyebutkan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi
organik yang menunjang keberhasilan pembangunan dan pemanfaatan lahan.
Kreitner (1992) memiliki tiga pendekatan dalam memahami pengawasan dengan
mempertimbangkan input, proses, dan output. Pendekatan tersebut antara lain
adalah :
a. Tujuan
Tujuan adalah target yang menjelaskan apa yang harus dicapai dan kapan hal
tersebut harus dicapai.
b. Standar
Apabila tujuan berfungsi sebagai target terukur, maka standar berfungsi sebagai
tonggak penunjuk pada cara untuk mencapai target tersebut.
c. Sistem Evaluasi
Penilaian kinerja diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh fungsi telah
sesuai dengan tujuan dan standar yang ditetapkan. Dengan adanya pengawasan
sebagai
48

sistem evaluasi, maka peningkatan dan perbaikan terhadap kondisi sebelumnya


dapat didokumentasikan.
Hal tersebut juga didukung oleh Kadarman (1999) yang mengungkapkan bahwa
terdapat beberapa langkah utama dalam proses pengawasan, yaitu :
a. Menetapkan Tujuan
Karena perencanaan dilakukan untuk mencapai sesuatu, maka tahapan awal
dalam proses pengawasan adalah menyepakati tujuan yang ingin dicapai.
b. Menetapkan Standar
Karena tujuan merupakan tolak ukur untuk merancang pengawasan dalam
perencanaan, maka secara langkah selanjutnya dalam proses pengawasan
adalah menyusun standar dalam menjalankan perencanaan.
c. Mengukur Kinerja
Langkah ketiga dalam pengawasan adalah mengukur atau mengevaluasi kinerja
yang dicapai terhadap standar yang telah ditentukan.
5. Fungsi Lahan
Di dalam Undang Undang No 26 Tahun 2007 diterangkan bahwa arahan pola
ruang dibagi dalam dua kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kawasan lindung adalah suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan yang mempunyai nilai sejarah/budaya bangsa. Sedangkan
kawasan budidaya merupakan wilayah yang ditetepakan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia dan sumber daya buatan. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
sendiri secara khusus masuk kedalam kategori fasilitas umum, dengan
pengembangan RTH sebagai fungsi utama. Sehingga apabila diurutkan, maka
prioritas lahan untuk pembangunan RTH adalah sebagai berikut :
a. Pengembangan RTH pada lahan di kawasan budidaya
b. Pengembangan RTH pada lahan di kawasan lindung
c. Pengembangan RTH pada lahan dengan RTH sebagai fungsi utama
6. Lokasi terletak pada kawasan perkotaan
Pembangunan RTH mempertimbangkan kemudahan penduduk untuk
menggunakan fasilitas RTH. Untuk membuat RTH yang dapat dinikmati secara
rutin, sebaiknya RTH dibangun pada daerah yang dekat dengan pusat penduduk.
Untuk mengukur kedekatan dengan kawasan perkotaan, Achsan (2015)
49

menggunakan variabel kedekatan jarak dari pusat kota. Variabel tersebut dibagi
kedalam tiga kategori yaitu:
a. Dekat, yaitu lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kota
b. Sedang, yaitu lokasi dengan jarak 500-1.000 m dari pusat kota, dan
c. Jauh, yaitu lokasi dengan jarak > 1000 m dari pusat kota
7. Status lahan
Anastasia dan Sulistyarto (2016) mengungkapkan bahwa status hukum lahan
merupakan salah satu preferensi utama dalam pengembangan lahan RTH.
Sedangkan Satriana (2016) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa inisiasi
pembangunan RTH sebaiknya dilakukan dengan prioritas berikut :
a. Pada lahan milik individu atau pribadi, apabila mengacu pada hak milik tanah.
b. Peneliti menambahkan kriteria berupa lahan dengan kepemilikan pribadi non-
pribadi/pemerintah(aset), dengan pertimbangan badan-badan hukum lain yang
kelengkapan dokumen, proses transaksi, dan pertanggung jawaban yang sah.
c. Pada lahan yang dimiliki oleh pihak pemerintah, sehingga dokumen dan aspek
legalitasnya menjadi lebih jelas, serta sejalan dengan program dan peraturan
pemerintah terkait penelitian yang dilakukan.
8. Komposisi Lansekap/Ruang Hijau
Koefisien Dasar Hijau (KDH) merupakan angka ruang terbuka alamiah
merupakan bagian dari ruang di luar bangunan yang tidak tertutup oleh beton/tidak
ada penghambat bagi air untuk meresap kedalam tanah. Dalam peraturan RAKH,
komposisi ruang hijau diatur dalam perbandingan 70:30 untuk hardscape dan
material ramah lingkungan. Hal ini perlu diperhatikan untuk mengakomodir fungsi
RTH sebagai retainer air tanah. Selain itu, dalam Permen PU No.29/PRT/M/2006
juga mempertimbangkan pemenuhan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Sehingga
peneliti menggunakan skala berikut untuk memberikan pembobotan KDH :
a. Lahan dengan perbandingan 30:70 untuk tutupan hijau dan material lainnya
b. Lahan dengan perbandingan antara 30:70 – 70:30 untuk tutupan hijau dan
material lainnya
c. Lahan dengan perbandingan 70:30 atau lebih untuk tutupan hijau dan material
lainnya
50

Tabel 3. 2
Parameter Penelitian
No Variabel Indikator Parameter Skor

5.000 < Luas lahan < 9.000 m2 1


Luas minimum Luas minimum
1 9.000 < Luas lahan < 24.000 m2 2
lahan RTH lahan RTH 5.000 m2
Luas lahan > 24.000 m2 3

Lokal 1
Aksesibilitas Hirarki Jaringan Kolektor
2 RTH Jalan Kota 2

Arteri 3

Jarak > 7 km dari pusat kota 1


Kedekatan RTH
Jarak pencapaian
3 terhadap Pusat 3,5 < Jarak < 7 km dari pusat kota 2
menuju pusat kota
Kota
Jarak < 3,5 km dari pusat kota 3

Pengawasan Tujuan 1
Peran serta
Pengawasan
pengawasan Pengawasan Standar 2
4 Stakeholder
Terkait stakeholder
terhadap lahan Pengawasan Sistem Evaluasi 3

Arahan lahan kawasan budidaya 1


Arahan Pola Ruang Arahan lahan kawasan lindung 2
5 Fungsi Lahan Lahan Perkotaan
Arahan lahan RTH sebagai fungsi utama 3

Jarak > 1.000 m dari pusat kawasan


1
perkotaan
Lokasi pada Jarak 500 m-1.000 m dari pusat kawasan
Skala Pelayanan
6 Kawasan 2
Kawasan Perkotaan perkotaan
Perkotaan
Jarak < 500 m dari pusat kawasan
3
perkotaan

Lahan milik pribadi 1

7 Status Lahan Kepemilikan Lahan


Selain aset pemerintah & lahan pribadi 2

Aset Pemerintah 3

Tutupan lahan hijau < 30 % 1


Komposisi Komposisi Ruang
8 Lansekap/ Hijau minimum 30 < Tutupan lahan hijau < 70 % 2
Ruang Hijau 70%
Tutupan lahan hijau > 70 % 3
Sumber: Gabungan berbagai literatur

Berdasarkan variabel dan indikator yang telah ditentukan maka selanjutnya


dliakukan skoring pada setiap parameter. Skoring dilakukan untuk memberikan ukuran
51

kesesuaian pada setiap sub kriteria dimana skor yang diberikan berada pada skala 1-3 (skor
3 = kesesuaian tinggi, skor 2 = kesesuaian sedang, dan skor 1 = kesesuaian rendah).
3.3.3 Penentuan Responden Ahli
Penentuan sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini digunakan
karena responden yang dipilih adalah responden yang memenuhi kriteria sesuai dengan
tujuan penelitian. Kriteria pertama adalah memiliki keahlian atau menguasai secara
akademik bidang yang diteliti. Kriteria kedua yaitu memiliki reputasi dan kedudukan atau
jabatan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti.
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah ahli atau stakeholder yang
dijadikan kemudian dipilih beberapa orang untuk dijadikan sampel dalam penelitian,
sampel berasal baik dari instansi pemerintah dan akademisi. Jumlah responden yang
digunakan sebanyak 3 orang berdasarkan atas pertimbangan bahwa yang dijadikan
responden merupakan orang yang paham dan mengerti tentang potensi penyediaan RTH
ditujukan untuk mendukung program Rencana Aksi Kota Hijau di Kota Malang. Adapun
para ahli atau stakeholder yang akan diperoleh persepsinya dengan menggunakan teknik
wawancara dengan kuesioner antara lain
Tabel 3. 3
Stakeholder yang Dipilih Sebagai Responden

No. Asal Instansi, Lembaga dan Alasan


Bidang Keahlian

Badan Perencanaan Penelitian dan Memiliki kompetensi dalam


1
Pengembangan Kota Malang bidang perencanaan Kota Malang

Dinas Perumahan dan Kawasan Memiliki kompetensi dalam perencanaan


2
Permukiman Kota Malang ruang terbuka hijau publik di Kota Malang

Memiliki kompetensi dalam melakukan


3 Akademisi Universitas Brawijaya penilaian terhadap potensi penyediaan lahan
ruang terbuka hijau publik

3.4 Diagram Alir Penelitian


Diagram alir penelitian disusun untuk mempermudah peneliti dalam melakukan
alur penelitian sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan. Berikut merupaka
diagram alir penelitian Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan
Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang.
52

Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian


53

3.5 Tahapan Pengumpulan Data


3.5.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian Lokasi Prioritas Penyediaan Lahan
Ruang Terbuka Hijau Publik dalam Pencapaian Rencana Aksi Kota Hijau di Kota Malang.
adalah data primer dan data sekunder.
A. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung oleh peneliti dari
narasumber yang ditentukan, sehingga peneliti menjadi tangan pertama dalam pengolahan
data. Data yang dibutuhkan antara lain:
Tabel 3. 4
Data Primer Penelitian
No. Kebutuhan Data Primer Sumber Data

Observasi Lapangan,
1 Lokasi lahan potensial
Dokumentasi Lapangan

Observasi Lapangan,
2 Karakteristik & kriteria lahan potensial
Dokumentasi Lapangan

Pengembangan dan pelaksanaan


3 Observasi Lapangan
pengembangan Rencana Aksi Kota
Hijau
Wawancara, Kuesioner
4 Data persepsi stakeholder/ahli
AHP

Adapun secara lebih lanjut variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan
dalam subbab desain penelitian.
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya dokumen. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini
dapat dilihat dari Tabel.
Tabel 3. 5
Data Sekunder Penelitian
No. Data Sekunder Sumber Data
1 Luasan RTH di Kota Malang (2015) Bappeda Kota Malang
2 Jenis RTH Aktual Kota Malang (2015) DKP, RAKH Kota Malang
3 Lokasi RTH di Kota Malang (2015) DKP, RAKH Kota Malang
5 Luasan BWP Kota Malang (2015) RDTR Kota Malang
6 Data Kependudukan BWP Kota Malang (2010) BPS Kota Malang
Lokasi dan Luasan Lahan Aset Pemerintah
7 DKP, Bappeda
dan Lahan Kosong Potensial (2016)
8 Land Use Kota Malang (2011) Bappeda Kota Malang
54

No. Data Sekunder Sumber Data


Struktur dan Pola Ruang Kota Malang
10 Bappeda Kota Malang
(2011)
Arahan Pemanfaatan RTH, Pengembangan DKP, Bappeda Kota
11
Lahan Aset (2015) Malang, RAKH

3.5.2 Metode Pengumpulan Data


Teknik Pengumpulan data adalah suatu proses penerapan metode penelitian pada
masalah yang sedang diteliti. Teknik pengumpulan adalah mengamati variabel yang akan
diteliti dengan metode interview, tes, observasi, kuisioner dan sebaginya.
Pengumpulan data untuk penelitian Lokasi Prioritas Penyediaan Lahan Ruang
Terbuka Hijau Publik dalam Pencapaian Rencana Aksi Kota Hijau di Kota Malang adalah
data primer dan data sekunder. menggunakan metode pengumpulan data dengan survey
primer wawancara, observasi lapangan, dan kuesioner.
1. Observasi
Kegiatan yang akan dilakukan dalam observasi sebagaimana disebutkan mengenai
definisi observasi melakukan pencatatan secara sistematis kejadian-kejadian, perilaku,
obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung
penelitian yang akan dilakukan. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
melihat langsung kejadian di lapangan serta dengan melakukan studi literatur dengan
menggunakan jurnal, buku referensi, abstrak hasil penelitian yang dapat mendukung
penelitian ini.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah datang melakukan tinjauan
lokasi lahan kosong yang menjadi objek utama penelitian. Kegiatan pra-survey
dilakukan untuk memastikan apakah data yang dimiliki sesuai dengan kondisi riil di
lapangan. Selanjutnya kegiatan pengamatan dan pencatatan sesuai dengan variabel
penelitian yang telah ditentukan. observasi lapangan difokuskan pada variabel dan
parameter penelitian pengawasan stakeholder, fungsi lahan, status lahan serta
komposisi lansekap ruang hijau.

2. Wawancara
Maksud dilakukan wawancara untuk mengetahui informasi tentang pribadi
responden, perasaan, pendapat, anggapan, aktivitas, motivasi dan tujuan (Moleong
2004). Metode wawancara dilakukan untuk mendukung kegiatan observasi lapangan.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hasil pengamatan lapangan yang dilakukan
oleh peneliti. Dengan adanya wawancara, memungkinkan adanya penambahan data
yang
55

nantinya dapat dikembangkan dalam penelitian. Wawancara yang dilakukan peneliti


tidak terlepas dari variabel dan parameter yang ditetapkan. Wawancara difokuskan
untuk variabel pengawasan stakeholder dan status lahan.
3. Kuesioner
Angket/ kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari reponden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-
hal yang mereka ketahui (Arikunto,2006).
Kuisioner diberikan kepada responden untuk mengetahui respon terhadap penelitian
yang dilakukan dimana responden dapat memberikan pendapat yang berhubungan
dengan penelitian sehingga data dapat digunakan sebagai masukan untuk menganalisis
permasalahan pada penelitian ini. Kuesioner yang diberikan merupakan kuesioner
Analisis Hirarki Proses yang disusun berdasar variabel penelitian. Kuesioner diberikan
kepada para responden ahli yang berkompeten di bidang sesuai dengan topik
penelitian.

3.6 Metode Analisis


Data yang didapat selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan beberapa
analisis yang dapat memberikan gambaran yang terkait dengan penelitian ini. Analisis data
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensisntesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang akan dijelaskan kepada orang lain.
Secara umum, analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
deskriptif, yang bersifat mengumpulkan, menyajikan dan menganalisis data untuk
menggambarkan fenomena atau fakta yang terjadi. Analisis ini menggunakan data-data
numerik (statistik) yang kemudian dihitung secara kuantitatif untuk melihat sediaan luas
RTH yang dibutuhkan, kemudian hasilnya diinterpretasikan secara deskriptif.
Analisis deskriptif spasial untuk melihat persebarannya dari luasan RTH. Analisis
deskriptif adalah analisis tentang kondisi eksisting dengan menggunakan motede startistik
deskriptif melalui tabel, foto,grafik, diagram, peta, dll. Analisis
Pada tahap analisis ketersediaan lahan dilakukan dengan cara tabulasi data dengan
membangun grafik dan tabel dari penggunaan lahan aktual untuk mengetahui ketersediaan
RTH yang ada. Kemudian dilakukan perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan luas
wilayah dan jumlah penduduk. Luas RTH yang dibutuhkan didasarkan pada luas wilayah
dihitung dengan cara mengalikan 20% dari luas wilayah masing-masing kelurahan sesuai
dengan UU
56

No. 26 Tahun 2007, sehingga didapatkan kecukupan RTH masing-masing kelurahan.


Kecukupan RTH yang didasarkan pada jumlah penduduk dihitung dengan cara mengalikan
jumlah penduduk dengan standar luas RTH per kapita yang diatur dalam Permen PU No. 5
Tahun 2008. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
RTH Pi = Pi x k …. m2/ penduduk...............(3-1)
Keterangan:
k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008.
Pi = Jumlah penduduk di wilayah i.
Dalam penyusunan rencana pengembangan RTH maka perlu diketahui lokasi yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH. Lokasi yang berpotensi tersebut
diidentifikasi dengan menggunakan analisis potensial areal. Tahapan penggunaan analisis
dalam penelitian ini secara teknis dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Tahapan diawali dengan melakukan evaluasi data tata guna lahan perkotaan yang
telah ditetapkan pada RTRW serta RDTRK Kota Malang tahun 2010 – 2030.
Selanjutnya dipilah menurut fungsi lahan dan Bagian Wilayah Perkotaan
2. Fungsi lahan yang digunakan sebagai dasar lokasi penelitian adalah tata guna lahan
kosong. Atribut lahan kosong didapat dari analisis penggunaan lahan melalui
software ArcGis. Ketersediaan lahan kosong diperlukan agar arahan yang disusun
dapat diaplikasikan di lapangan.
3. Setelah lahan kosong terpilih, dilakukan pengambilan citra hasil visual
GoogleEarth 2017. Citra tersebut berdasarkan kondisi aktual penggunaan lahan
kota berupa lahan terbuka dan hijauan. Tahapan selanjutnya adalah melakukan
overlay data lahan kosong terhadap citra visual. Maksud dari tahapan ini adalah
untuk mengevaluasi land use lahan kosong apakah masih memiliki fungsi tetap
atau terjadi perubahan pada kondisi riil di lapangan. Hasil dari dijitasi tersebut akan
menghasilkan peta lahan kosong potensial untuk pengembangan RTH.
4. Peta lahan kosong potensial untuk pengembangan RTH yang telah didijitasi
kemudian di-overlay dengan peta kriteria lahan RTH. Terdapat delapan kriteria
lahan ideal untuk pengembangan RTH publik di kota Malang antara lain, (i) Luas
minimum lahan RTH; (ii) Aksesibilitas RTH; (iii) Kedekatan dengan pusat kota;
(iv) Pengawasan dari stakeholder terkait; (v) Fungsi lahan; (vi) Lokasi terletak pada
kawasan perkotaan; (vii) Status kepemilikan lahan; dan (viii) Komposisi ruang
hijau minimum.
57

5. Melakukan perhitungan dari setiap kriteria sehingga didapatkan peta area lahan
yang berpotensi untuk pengembangan RTH pada lokasi penelitian.

Analisis potensi areal untuk pengembangan RTH mengacu pada hasil analisis dari
penggunaan lahan. Analisis ini mempertimbangkan kriteria yang merupakan variabel
dalam penelitian, yang digunakan dalam penyusunan prioritas pengembangan RTH di
dalam dokumen RAKH.
Luas areal penambahan RTH yang telah didigitasi kemudian ditambahkan dengan
luas RTH aktual dan dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah
penduduk untuk mengetahui apakah dengan penambahan luas areal RTH dapat mencukupi
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan dilakukan dengan
analisis deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Penentuaan bobot kriteria menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP)
Metode AHP digunakan untuk memperoleh penlaian atau persepsi dari stakeholder guna
mencari nilai masing-masing variabel kriteria yang di gunakan dalam penelitian.
Penggunaan metode ini dilakukan dengan cara pembagian kuesioner ke beberapa ahli yang
telah dutentukan sebelumnya. Pembobotan untuk menentukan nilai kepentingan antara
beberapa kriteria ditinjau dari penilaian responden yang terdapat pada kuesioner. Teknik
perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau
pendapat dari responden yang dianggap sebagai keyperson, yaitu dapat terdiri atas
pengambil keputusan, para ahli, serta orang yang terlibay dan memahami permasalahn
yang dihadapi. Adapun tahap-tahap dan rumus dalam metode AHP adalah sebagai berikut
(Saaty, 1993)

1. Definisikan persoalan dan rinci solusi yang diinginkan


2. Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
sub-tujuan, kriteria dan kemungkinan-kemungkina alternatif pada tingkatan kriteria
paling bawah
3. Membuat sebuah matriks banding berpasangan. Perbandingan berpasangan
dilakukan dalam beberapa kali tergantung banyaknya hal yang ingin dibandingkan

Tabel 3. 6
Perbandingan Berpasangan
Number of things 1 2 3 4 5 6 7 N
𝑛(𝑛 − 1)
Number of comparison 0 1 3 6 10 15 21
2

4. Matriks perbandingan (comparison matrix) dapat disajikan sebagai berikut:


58

Tabel 3. 7
Matriks Perbandingan
Kedekatan
Luasan Komposisi
RTH Pengawa-san Lokasi pada
minimum Aksesibili- Fungsi Status Lansekap/
Indikator terhadap Stakeholder Kawasan
lahan tas RTH Lahan Lahan Ruang
Pusat Terkait Perkotaan
RTH Hijau
Kegiatan
Luasan
minimum lahan 1
RTH
Aksesibilitas
1
RTH
Kedekatan RTH
terhadap Pusat 1
Kegiatan
Pengawasan
Stakeholder 1
Terkait
Fungsi Lahan 1
Lokasi pada
Kawasan 1
Perkotaan
Status Lahan 1
Komposisi
Lansekap/Ruang 1
Hijau
Total

Dalam hal ini A1, A2, A3,……… An adalah set elemen paada satu tingkat dalam
hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk
matriks n x n. nilai matriks merupakan nilai pendapat hasil perbandingan yang
mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj. selanjutnya menjumlahkan nilai
dalam setiap kolom dan membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah
pada kolom tersebut agar memperoleh matriks yang dinormalisasi. Kemudian
dilakukan penentuan priority vectors atau vektor prioritas. Semakin tinggi nilai
vektor prioritas maka akan semakin tinggi prioritasnya. Penentuan prioritas dengan
mengambil nilai vektor prioritas yang tinggi yatu dengan nilai > 0,10
5. Mencari konsistensi maksimum dengan rumus:
𝐿𝑎𝑚𝑑𝑎 max = ∑ 𝑣𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑖𝑜𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠...........(3-2)
Lamda max selalu lebih besar daripada ukuran matriks (n) x 1. Apabila Lamda max
semakin dekat dengan nilai n maka nilai observasi dalam matriks semakin
konsisten. Setelah itu mencari consistency index dengan rumus:
𝐿𝑎𝑚𝑑𝑎 max − 𝑛......................
𝐶𝐼 = 𝑛−1 (3-3)
CI = Consistency Index
Lamda max = Maximum Eigen Value
n = Banyak kriteria atau sub kriteria
59

6. Consistensy ratio (rasio konsistensi)


Selanjutnya menghitung nilai rasio konsistensi yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Dengan nilai indeks random sebagai berikut:
𝐶𝐼
𝐶𝑅 = ………..…….(3-4)
𝑅𝐼
CR = Consistency
Ratio CI = Consistency
Index RI = Random
Index

Tabel 3. 8
Matriks Random Index
1 2 3 4 5 6 7 8
RI 0,0 0,0 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41
9 10 11 12 13 14 15
RI 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1.59

Apabila hasil perhitungan CR < 10% menyimpulkan bahwa proses perbandingan


dilakukan secara konsisten. Apabila faktor-faktor yang diperbandingkan telah
konsisten, maka selanjutnya dilakukan perkalian antara hasil perhitungan dengan
AHP dengan nilai yang telah ditetapkan pada masing-masing indikator. Adapun
hasil akhir penilaian untuk setiap lahan adalah penjumlahan dari perkalian antara
hasil AHP dengan nilai untuk seluruh indikator.
Sebagai contoh ditetapkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah x,y, dan z.
langkah selanjutnya adalah pembandingan faktor faktor tersebut untuk
mendapatkan mana faktor yang paling penting, kedua terpenting , dan seterusnya.
Selanjutnya memberikan pembobobtan kepada faktor-faktor yang digunakan
dimana total pembobotan harus sama dengan 1 ( Σ pembobotan = 1). Tiap alternatif
keputusan dinilai berdasarkan seberapa jauh faktor dapat memenuhi kriteria yang
ada, berdasarkan formula berikut :
𝑆𝑖 = ∑ 𝐺𝑖𝑗 𝑊𝑗……………….(3-5)
Wj = Suatu bobot antara 0 sampai 1 yang diberikan pada kriteria j sesuai dengan kepentingan
relatifnya
Si = Total skor untul alternative keputusan I, dimana semakin tinggi skor semakin baik
Gij = Suatu nilai antara 0 – 100 yang mencerminkan seberapa jauh alternatif keputusan i memuaskan
keputusan j
60

Untuk dapat membagi data kedalam kelas-kelas interval secara benar, penelitian ini
menggunakan metode Sturges. Berikut adalah langkah – langkah untuk menentukan
interval kelas :
1) Range
Range adalah rentang selisih diantara data terbesar dikurangi data terkecil.
Range dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 𝑋 𝑚𝑎𝑘𝑠 − Xmin.............(3-6)
Banyaknya kelas dapat dihitung dengan rumus :
𝐾 = 1 + 3.332 𝐿𝑜𝑔10𝑁………….(3-7)
K = Banyak kelas
N = Banyak data
2) Interval kelas
Interval kelas/panjang kelas adalah selisih antara data terbesar dengan data
terkecil dibagi dengan banyaknya kelas, dapat dirumuskan :
𝑟
𝑝 = ......................(3-8)
𝐾
P = Kelas Interval
r = Range
K = Banyak kelas

3.7 Tahapan Pembuatan Peta


Tahapan peta pembuatan peta dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.
1. Pengolahan data lahan yang didapat dari dokumen RDTRK Kota Malang dalam
format shapefile. Data yang digunakan adalah tata guna lahan BWP Kota Malang.
Setelah diklasifikasikan dalam ArcGis, maka diklasifikasikan menurut fungsi lahan
semisal permukiman, industri, pertanian, sarana pelayanan umum dan seterusnya
2. Setelah itu pilih Selection > Select By Attribute. Lalu klik dua kali kolom yang
akan diseleksi yang mengindikasikan bahwa lahan merupakan ruang terbuka hijau
3. Citra Google Earth diunduh sesuai dengan koordinat lokasi survei, yaitu berlokasi
di Kota Malang. Masukkan koordinat yang dimiliki lalu unduh citra lokasi yang
dibutuhkan. Lakukan projecting citra yang diunduh menggunakan ArcGis sehingga
citra akan muncul tepat pada shapefile tata guna lahan yang telah klasifikasi.
4. Overlay kedua data tersebut dan lakukan tinjauan pada lokasi yang dituju.
Tujuannya adalah melakukan pra-survei apabila telah terjadi perubahan tata guna
lahan antara data dan lokasi sesungguhnya. Hasil dari overlay tersebut kemudian di
analisa dan diolah dengan menggunakan metode yang akan dipakai.
61

Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai terhadap masing -
masing value parameter untuk menentukan tingkat kemampuannya. penilaian ini
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan metode pembobotan atau disebut
juga weighting adalah suatu metode yang digunakan apabila setiap karakter memiliki
peranan berbeda atau jika memiliki beberapa parameter untuk mementukan kemampuan
lahan atau sejenisnya. Skoring dan Pembobotan adalah proses pengolahan data yang
dilakukan setelah proses reclassify. Proses ini dilakukan dengan caramemberikan nilai
pada setiap parameter Pembuatan Peta skoring diolah dengan software ArcGIS 10.2.
a. Buka atribut pada masing-masing layer, tambah satu field atau kolom pada atribut
untuk mengisi nilai skor parameter
b. Setelah membuat field lalu isi kolom sesuai dengan data yang diperoleh atau dimiliki.
c. Klik Selection > Select By Attribute.

Gambar 3. 2 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Pemilihan Atribut

d. Klik dua kali kolom yang akan diseleksi


e. Pilih parameter yang digunakan ( =, <>, >, < ,>= dll)
f. Klik Get Unique Values untuk memunculkan isi kolom yang akan dipilih), lalu pilih OK.
g. Baris-baris yang terseleksi akan berwarna biru pada semua kolom field. Isi field yang
telah dibuat dengan skor yang telah ditentukan.
62

Gambar 3. 3 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Pengisian Kolom Atribut dengan Skor
h. Lakukan hal ini pada semua unique value yang ada dan semua field baru yang
ditambahkan pada parameter lainnya.
i. Apabila data berupa shapefile, maka tahap yang dilakukan yaitu menyatukan semua
layer tersebut melalui proses Union.

Gambar 3. 4 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Penggabungan Dua Data


j. Melalui proses Union, 2 atribut layer yang berbeda menjadi satu file sehingga
mempermudah dalam menyeleksi data untuk dilakukan skoring.

3.8 Kerangka Analisis


Kerangka analisis digunakan untuk mempermudah peneliti dalam tahapan
melakukan analisis dalam penelitian ini. Adapun kerangka analisis pada penelitian
Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik Perkotaan di Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 3.5.
63

3.9 Desain Penelitian


Desain penelitian disusun untuk memperudah proses penelitian terkait dengan alur
pelaksanaan penelitian dimana berdasar pada tujuan yang ada dan dilakukan penelitian
berdasarkan variabel yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan output yang
diharapkan. Desain penelitian untuk Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang dapat dilihat pada
Tabel 3.9.
64

Gambar 3. 5 Kerangka Analisis Penelitian


Tabel 3. 9
Desain Survei Penelitian
Metode
Metode Analisis
No Tujuan Variabel Data yang Dibutuhkan Sumber Data Pengumpulan
Data
Data

Data luas terkait RTH di BAPPEDA, DKP Survei data


Luas RTH Kota Malang
Kota Malang sekunder

Persebaran RTH di Kota Survei data


Lokasi RTH Malang DKP Kota Malang
sekunder
Analisa
Data jenis RTH yang DKP Kota Survei data Ketersediaan dan
1. Mengidentifikasi karakteristik Jenis RTH terdapat di Kota Malang
RTH dan tingkat kebutuhan Malang, RAKH sekunder Kebutuhan Lahan
publik di Kota Malang (Deskriptif Statistik,
Data Kepadatan Badan Pusat Survei data Deskriptif Spasial)
Penduduk
Kepadatan Penduduk Statistik, RDTRK
di Kota sekunder
Kota Malang
Malang

Data Luas Area BWP Kota


Luas BWP Kota Malang Malang RDTRK Kota Survei data
Malang sekunder

2. Bagaimana priotitas Survei data


penyediaan lahan dalam upaya sekunder
pemenuhan luasan RTH Publik Lokasi Lahan Potensial Data luasan Lahan kosng &
BAPPEDA, DKP ditunjang Analisis Potensial
di Kota Malang? 1.Lahan Kosong aset pemerintah, Lokasi
Kota Malang dengan Areal
2.Lahan Aset Pemerintah lahan kosong & aset
observasi
potensial pemerintah
lapangan

RAKH, RTRW & Analisis AHP dan


Survei Data
Luas lahan aset dan RDTR, SK Wali Analisis
Luas Lahan RTH Lahan kosong Sekunder
Kota Malang Pembobotan
Tentang RTH (Skoring)

65
66
Metode
Metode Analisis
No Tujuan Variabel Data yang Dibutuhkan Sumber Data Pengumpulan
Data
Data

Survei Data
RILLAJ Kota
Data Jaringan jalan Kota Sekunder,
Aksesibilitas RTH Malang, Tinjauan
Malang Observasi
lokasi lahan
lapangan

Analisis AHP dan


Kedekatan RTH terhadap Rencana struktur Kota RTRW & RDTR Survei Data Analisis
Pusat Kota Malang Kota Malang Sekunder Pembobotan
(Skoring)
Survei Data
Data Stakeholder terkait Tinjauan lokasi Sekunder,
Pengawsan Stakeholder
penggunaan lahan lahan Observasi
lapangan

Rencana Pola Ruang Data


Tinjauan lokasi Observasi
Fungsi Lahan Tata Guna Lahan Kota
lahan lapangan
Malang

RTRW & RDTR Survei Data


Lokasi pada Kawasan Rencana Pola Ruang, Data Kota Malang, Sekunder,
Perkotaan tata guna lahan Kota Malang Tinjauan lokasi Observasi
lahan lapangan

Survei Data
Roadmad
Sekunder,
Status Lahan Data status lahan Landbanking Kota
Observasi
Malang, RAKH
lapangan

Survei Primer
Komposisi Lansekap/ Data Koefisien dasar Observasi
Koefisien dasar
Ruang Hijau bangunan lapangan
hijau lahan
Sumber: Hasil Pemikiran
BAB IV

PEMBAHASA

4.1 Kondisi Geografis Kota Malang

Secara astronomis, Kota Malang terletak pada 112,06-112,07 Bujur Timur dan
7,06- 8,02 Lintang Selatan. Kota Malang berbatasan dengan Kabupaten Malang, yaitu
dengan Kecamatan Singosari dan Karangploso pada wilayah utara, Kecamatan Pakis dan
Tumpang pada wilayah timur, Kecamatan Tajinan dan Pakisaji pada wilayah selatan, serta
Kecamatan Wagir dan Dau pada wilayah Barat. Letak kota malang pada ketinggian 440-
667 meter diatas permukaan laut membuat iklim kota Malang cenderung sejuk, dengan
dataran tinggi yang cocok dikembangkan sebagai wilayah industri dan pertanian.
Kota Malang memiliki luas wilayah sebesar 111,08 km 2 yang terbagi kedalam lima
kecamatan. Kecamatan terluas adalah Kedungkandang seluas 39,89 km2. Lowokwaru,
dengan luas sebesar 22,60 km2, Sukun seluas 20,97 km2, Blimbing seluas 17,77 km2 dan
Klojen seluas 8,83 Km2. Sedangkan dalam dokumen RAKH, Kota Malang terbagi kedalam
enam Bagian Wilayah Kota (BWP), yaitu:
1. BWP Malang Utara, meliputi Kelurahan Tasikmadu, Tunggulwulung, Tologomas,
Merjosari, Dinoyo, Sumbersari, Ketawanggede, Jatimulyo, Tunjungsekar,
Mojolangu, Tulusrejo, Lowokwaru, dan Penanggungan.
2. BWP Malang Tengah, meliputi Kelurahan Kasin, Sukoharjo, Kiduldalem, Kauman,
Bareng, Gadingkasri, Oro-Oro Dowo, Klojen, Rampal Celaket, dan Samaan.
3. Malang Timur Laut, meliputi Kelurahan Balearjosari, Arjosari, Polowijen,
Purwodadi, Blimbing, Pandanwangi, Purwantoro, Bunulrejo, Kesatrian, Polehan,
dan Jodipan.
4. Malang Timur, meliputi Kelurahan Kedungkandang, Sawojajar, Madyopuro,
Lesanpuro, dan Cemorokandang.
5. Malang Tenggara, meliputi Kelurahan Kebonsari, Gadang, Ciptomulyo, Sukun,
Bandungrejosari, Arjowinangun, Tlogowaru, Wonokoyo, Bumiayu, Buring,
Mergosono, dan Kotalama.
6. Malang Barat, meliputi kelurahan Bandungrejosari, Bakalan Krajan, Mulyorejo,
Bandulan, Tanjungrejo, Pisang Candi, dan Karang Besuki.
67
68

Berdasarkan BWP tersebut, maka wilayah dengan luasan terbesar adalah Malang
Tenggara, Malang Utara, dan Malang Timur Laut.

7.2%
16.0% Malang Timur Malang Tenggara Malang Utara Malang Tim
14.1% Malang Tengah

15.1% 26.6%

21.0%

Gambar 4.1 Persentase Persebaran Luasan BWP di Kota Malang


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

4.2 Kondisi Demografis Kota Malang


4.2.1 Jumlah Penduduk Kota Malang
Kota Malang memiliki jumlah penduduk cukup besar di Jawa Timur. Gambar 4.2
menunjukkan jumlah penduduk di Kota Malang selama 10 tahun. Dari gambar tersebut,
dapat diketahui bahwa selama periode 2010 hingga 2014, jumlah penduduk kota Malang
terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah penduduk tersebut disisi lain juga
menunjukkan kebutuhan RTH yang semakin meningkat.

420
Ribu

410
400
390
380
370
360
350
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Gambar 4. 2 Jumlah Penduduk Kota Malang 2000-2010


Sumber: BPS Kota Malang, 2017
69

Apabila dilihat berdasarkan wilayah BWP, maka jumlah penduduk terbesar di Kota
Malang pada tahun 2010 berada pada BWP Malang Utara diikuti dengan BWP Malang
Tenggara dan Malang Timur Laut. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2015, yang mana
penduduk terbesar berada pada BWP Malang Tengah, diikuti dengan BWP Malang
Tenggara, dan BWP Malang Utara. Pergeseran jumlah penduduk di Kota Malang yang
cenderung fluktuatif tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa perkembangan
penduduk mengikuti pembangunan infrastruktur.

Tabel 4. 1
Jumlah Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Penduduk 2010 Penduduk 2015
1 Malang Utara 194.008 186.920
2 Malang Tengah 125.782 202.084
3 Malang Timur Laut 177.041 180.170
4 Malang Timur 85.025 85.426
5 Malang Tenggara 182.197 190.135
6 Malang Barat 124.689 131.983
Total 888.743 976.718
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

20.7% 18.5% Malang Timur


Malang Tenggara Malang Utara

13.5% 19.5% Malang Timur Laut

Malang Barat
8.7% Malang Tengah
19.1%

Gambar 4. 3 Persentase Persebaran Penduduk per BWP di Kota Malang


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

4.2.2 Kepadatan Penduduk Kota Malang


Meskipun berada pada urutan ke-23 berdasarkan jumlah penduduk, namun Kota
Malang merupakan wilayah dengan penduduk terpadat kedua setelah Kota Surabaya.
Gambar 4.4 menunjukkan kepadatan penduduk di Kota Malang selama periode 2011
hingga
70

2014 yang terus mengalami peningkatan. Pada sisi yang lain, peningkatan kepadatan
penduduk tersebut mencerminkan adanya keterbatasan lahan terhadap kepentingan masing-
masing individu. Dengan demikian, perencanaan lahan yang tepat menjadi isu penting di
Kota Malang.
7 750

7 700

7 650

7 600

7 550

7 500

7 450
2011 2012 2013 2014

Gambar 4.4 Kepadatan Penduduk Kota Malang 2011-2014


Sumber: BPS Kota Malang, 2017
Secara lebih lanjut, berdasarkan masing-masing BWP, BWP dengan kepadatan
penduduk tertinggi pada tahun 2010 berada pada BWP Malang Tengah, diikuti dengan
Malang Timur Laut, dan Malang Utara. Untuk tahun 2015, BWP dengan kepadatan
tertinggi tetap berada pada BWP Malang Tengah, dan diikuti dengan BWP Malang Timur
Laut, serta BWP Malang Barat.

Tabel 4. 1
Kepadatan Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Kepadatan Penduduk 2010 Kepadatan Penduduk 2015
1 Malang Utara 83 88
2 Malang Tengah 156 274
3 Malang Timur Laut 100 101
4 Malang Timur 51 51
5 Malang Tenggara 62 64
6 Malang Barat 80 85
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
71

13% 13%
Malang Utara Malang Tengah Malang Timur Laut
Malang Timur
10%

8%

41% Malang Tenggara


15% Malang Barat

Gambar 4.5 Persentase Kepadatan Penduduk per BWP di Kota Malang


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

4.3 Kondisi Eksisting RTH Kota Malang

Dalam dokumen RAKH Kota Malang dicantumkan bahwa terdapat luasan total
RTH sebesar 1,379.47 Ha. Luasan tersebut memenuhi 12% dari luas total Kota Malang.
Kemudian, RTH tersebut diklasifikasikan kedalam empat jenis, yaitu (i) RTH taman
lingkungan, taman kota, dan hutan kota, (ii) RTH jalur hijau, (iii) pulau jalan dan median
jalan, (iv) RTH fungsi tertentu seperti makam, sempadan serta PSU Perumahan.

4.3.1 RTH Taman Kota dan Taman Lingkungan


Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, RTH
taman, khususnya pada lingkungan/permukiman terdiri dari RTH Taman Rukun Tangga,
RTH Taman Rukun Warga, RTH Kelurahan dan RTH Kecamatan, dimana RTH tersebut
merupakan RTH Lingkungan. RTH Taman Kota adalah taman yang ditunjukan untuk
melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini dapat berbentuk sebagai
RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahrga, dan kompleks
olahraga dengan minimal RTH 80%-90% dan semua fasilitas tersebut terbuka untuk
umum. Karena taman kota berfungsi rekreatif dan dilengkapi oleh fasilitas publik,
beberapa taman kota yang juga menjadi landmark ikonik Kota Malang adalah :
1. Taman Alun-Alun Tugu
2. Taman Trunojoyo
3. Taman Alun-Alun Merdeka
72

4. Taman Merbabu
5. Taman Singha Merjosari
Namun disayangkan, beberapa titik taman di Kota Malang berstatus tidak terpelihara.
Perbandingan antara taman kota terpelihara dan tidak terpelihara dapat dilihat pada Gambar
4.6 dan Gambar 4.7.

Gambar 4. 6 Taman Kota Malang dengan Kondisi Terpelihara


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

Gambar 4. 7 Taman Kota Malang dengan Kondisi Tidak Terpelihara


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
Gambar 4. 8 Peta Taman Kota di Kota Malang

73
74

Dalam dokumen RAKH disebutkan bahwa Kota Malang memiliki taman kota
seluas 16,36 Ha. Taman kota tersebut tersebar dalam keenam BWP, kecuali pada BWP
Malang Timur dan Malang Timur Laut. Selain taman kota, dalam RAKH disebutkan
bahwa Kota Malang juga memiliki taman lingkungan yang tersebar pada seluruh BWP
dengan luasan total sebesar 7,57 Ha. Rincian mengenai RTH Taman Kota dan Taman
Lingkungan dapat dilihat secara lebih lanjut pada tabel 4.4.
Tabel 4. 2
Luasan Taman Kota di Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Luas Taman Kota (Ha) Luas Taman Lingkungan (Ha)
1 Malang Utara 3,19 0,565
2 Malang Tengah 10,06 3,256
3 Malang Timur Laut - 2,145
4 Malang Timur - 1,228
5 Malang Tenggara 2,30 -
6 Malang Barat 0,78 0,379
Total 16,36 7,57
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

4.3.2 RTH Hutan Kota


Pada dasarnya, RTH hutan kota dapat dibagi kedalam dua jenis berdasarkan
strukturnya, yaitu: (i) Hutan kota berstrata dua, yaitu hanyak memiliki komunitas tumbuh-
tumbuhan pepohonan dan rumput; dan (ii) Hutan kota berstrata banyak, yaitu memiliki
komunitas tumbuh-tumbuhan selain terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat
semak dan penutup tanah dengan jarak tanam tidak beraturan.
Hutan kota memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem
kota, antara lain (i) Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; (ii)
Meresapkan air; (iii) Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan
(iv) Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.
Dokumen RAKH Kota Malang mencantumkan 4 titik hutan kota dengan luasan
sebesar 4.96 Ha yang terletak pada BWP Malang Tengah dan BWP Malang Timur. Namun
dalam dokumen SK Walikota tercantum 7 titik hutan kota dengan luasan sebesar 7,50 Ha
pada seluruh BWP Kota Malang, terkecuali BWP Malang Utara. Perbedaan luasan tersebut
antara lain disebabkan oleh adanya tambahan 3 titik taman kota, serta pencantuman luasan
hutan kota yang berbeda pada masing-masing dokumen.
Adapun hutan kota yangtercantum dalam RAKH Kota Malang adalah sebagai berikut:
75

1. Hutan Kota Malabar


Berlokasi di Jalan Malabar, Oro-Oro Dowo – Klojen, dengan luasan sebesar
1,817 Ha. Hutan Kota Malabar memiliki vegetasi utama berupa palem, beringin,
cemara, jambu, sono, mahoni, akasia, pinus, dan asam londho. Hutan Kota
Malabar juga dilengkapi fasilitas berupa kursi, jogging track, lampu, kamar
mandi, tempat sampah, dan kolam retensi.
2. Hutan Kota Jakarta (Taman Kunang – Kunang)
Terletak di Jalan Jakarta, Gading Kasri - Klojen dengan luas 1,27 Ha. Hutan
Kota Jakarta memiliki vegetasi utama berupa alpukat, nangka, mahoni, melinjo,
mangga, asam, jambu biji, beringin, cemara laut, keben, sengon, kelapa dan
flamboyan. Hutan Kota Jakarta juga dilengkapi fasilitas berupa kursi, jogging
track, lampu dan tempat sampah.
3. Hutan Kota Kediri
Hutan Kota Kediri terletak di Jalan Kediri, Gading Kasri – Klojen dengan luas
5.479 m2. Vegetasi yang ada meliputi mahoni, saman, angsana, flamboyan,
palem, mangga, kliris, mlinjo, randu, filisium, jolali, alpukat, bungir, glodokan
tiang, sogo telik, tanjung, ketepeng, soga dan akasia. Berbeda dengan kedua
hutan kota sebelumnya, Hutan Kota Kediri tidak memiliki fasilitas publik.
4. Hutan Kota Vellodrome
Hutan Kota Vellodrome terletak di Jalan Simpang Terusan Danau Sentani,
Madyopuro – Kedungkandang dengan luas 12.500 m2. Vegetasi yang ada
meliputi sono, trembesi, ketapang dan cemara. Sama halnya dengan Hutan Kota
Kediri, Hutan Kota Vellodrome tidak memiliki fasilitas publik.

Gambar 4. 9 Hutan Kota di Kota Malang


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
76

Secara lebih rinci, komparasi mengenai RTH hutan kota dalam Dokumen RAKH dan
SK Walikota dapat dilihat dalam tabel 4.5.
Tabel 4. 3
Luasan Hutan Kota di Kota Malang berdasarkan BWP

No Nama BWP Luas Hutan Kota (Ha)

1 Malang Utara -
2 Malang Tengah 3,70
3 Malang Timur Laut 0,25
4 Malang Timur 1,25
5 Malang Tenggara 1,8
6 Malang Barat 0,5
Total 7,50
Sumber: SK Walikota RTH Kota Malang, 2017
Gambar 4. 10 Peta Hutan Kota

77
78

4.3.3 RTH Jalur Hijau, Pulau Jalan dan Median Jalan


Taman pulau jalan adalah RTH yang berbentuk oleh geometris jalan, seperti pada
persimpangan tiga atau bundaran jalan. Sedangkan median berupa jalur pemisah yang
membagi jalan menjadi dua lajur atau lebih. Median atau pulau jalan dapat berupa taman
atau non taman. RTH pulau jalan dan median jalan berfungsi sebagai peneduh, penyerap
polusi udara, peredam kebisingan, pemecah angin, pembatas pandang dan penahan silau
lampu kendaraan. RTH Jalur Hijau Jalan yang terdapat di Kota Malang tersebar di seluruh
BWP yang ada di kota tersebut.

Gambar 4. 11 RTH Taman Pulau Jalan dan Median Jalan


Sumber: RAKH Kota Malang, 2015

Selanjutnya, jalur hijau adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap
lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan (Rumija) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (Ruwasja), sering disebut jalur hijau, karena didominasi elemen lansekap
adalah tanaman yang umumnya berwarna hijau.
Selanjutnya untuk jalur hijau, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Malang
Nomor 188.45/35.73.112/2016 tentang Penetapan Taman Kota, Hutan Kota, dan Jalur
Hijau Kota, bahwa setiap berm jalan di seluruh daerah dapat ditanami tanaman penghijau.
Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20 –
30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan
pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatian 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan
persyaratan penempatannya, disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat,
yang disukai oleh burung- burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulakn bahwa semua jalan yang ada di Kota Malang dapat ditanami
tanaman penghijau. Untuk lebar jalur hijau pada jalan utama sebesar 2 m sedangkan pada
jalan lingkungan lebar jalur hijau sebesar 1 m.
Gambar 4. 12 Peta Jalur Hijau Kota Malang

79
80

Gambar 4. 13 RTH Jalur Hijau


Jalan Sumber: RAKH Kota Malang,
2015

Secara rinci, luasan pulau jalan, median jalan, dan jalur hijau di Kota Malang
berdasarkan pembagain wilayah BWP terdapat pada Tabel 4.5.
Tabel 4. 4
Luasan Pulau Jalan, Median Jalan, Jalur Hijau di Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Luas Median dan Pulau Jalan (Ha) Luas Jalur HIjau (Ha)
1 Malang Utara 2,815
2 Malang Tengah 2,670
3 Malang Timur Laut 8,019
43,40
4 Malang Timur 2,246
5 Malang Tenggara 1,190
6 Malang Barat 2,153
Total 19,093 43,40
Sumber: SK Walikota RTH Kota Malang, RAKH, 2017

4.3.4 RTH Fungsi Tertentu


RTH fungsi tertentu hanya tercantum dalam dokumen RAKH Kota Malang. Dalam
klasifikasi RTH Fungsi tertentu, terdapat beberapa bentuk RTH yaitu sempadan, makam
dan PSU Perumahan yang telah diserahkan. Saat ini, RTH dalam bentuk Makam memiliki
luasan yang lebih besar dibandingkan dengan RTH lainnya, yaitu sebesar 1.285,57 Ha atau
95% dari keseluruhan RTH total yang tercantum dalam dokumen RAKH. Sedangkan PSU
Perumahan hanya memiliki luasan sebesar 6,85 Ha. Secara lebih rinci, RTH Makam dan
PSU Perumahan terdapat pada tabel 4.
Tabel 4. 5
Luasan RTH Fungsi Tertentu di Kota Malang berdasarkan BWP
Luas RTH Fungsi Tertentu
No Nama BWP
PSU Potensi Sempadan
Makam
Perumahan Sungai Rel KA SUTT Mata Air
1 Malang Utara 264,96 0,27 34,20 - 27,48 26
2 Malang Tengah 0,094 0,00 0,37 2,89 - -
81

Luas RTH Fungsi Tertentu


No Nama BWP PSU Potensi Sempadan
Makam
Perumahan Sungai Rel KA SUTT Mata Air
3 Malang Timur Laut 248,296 1,08 22,72 9,50 7,18 -
4 Malang Timur 249,032 5,10 16,27 - 35,27 -
5 Malang Tenggara 260,694 0,28 42,34 6,19 - -
6 Malang Barat 249,795 0,11 - - 17,63 -
Dikelola Pemerintah 12,703 - - - - -
Total 1285,57 6.85 115,92 18,58 87,53 26

Sumber: RAKH Kota Malang, 2017

Selain itu, RTH juga wajib berada pada kawasan sempadan untuk menjaga keamanan dan
ekosistem wilayah tersebut. Terdapat tiga jenis RTH sempadan, yaitu :
a. RTH Sempadan Sungai
RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan kanan
sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari berbagai
gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya.
b. RTH Sempadan Kereta Api
Penyediaan RTH pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang
memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat
dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas
menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan.
c. RTH Sempadan Jaringan Listrik Tegangan Tinggi
Ketentuan lebar sempadan jaringan tenaga listrik yang dapat digunakan sebagai
RTH adalah sebagai berikut : (i) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64
m yang ditetapkan dari titik tengah jaringan tenaga listrik; (ii) Ketentuan jarak
bebas minimum antara penghantar SUTT dan SUTET dengan tanah dan benda lain
sesuai dengan ketetapan pemerintah.
82
Gambar 4. 14 Peta Lokasi Makam di Kota Malang
Gambar 4. 15 Peta Sempadan Sungai Kota Malang

83
84
Gambar 4. 16 Peta Sempadan Rel KA
Gambar 4. 17 Peta Sempadan SUTT

85
86

RTH Sempadan Jaringan Listrik Tegangan Tinggi yang terdapat di Kota Malang
melalui beberapa BWP, salah satunya adalah BWP Malang Utara, BWP Malang Timur
Laut, Malang Tenggara dan Malang Barat. Pada sempadan SUTT yang berada di Kota
Malang, difungsikan sebagai taman apabila SUTT tersebut melalui perumahan, seperti
SUTT yang melalui Perumahan Puri Kartika Asri di BWP Malang Tenggara, Perumahan
Joyogrand di BWP Malang Utara, Perumahan Puncak Dieng di BWP Malang Barat dan
SUTT, sedangkan SUTT yang tidak melalui kawasan perumahan, melainkan melalui
kawasan pertanian, seperti SUTT di BWP Malang Utara dan SUTT di BWP Malang
Timur Laut.
RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk danau dan
waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk mata air, RTH terletak pada
garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar mata
air. RTH Sumber Air Baku/Mata Air yang terdapat di Kota Malang berada pada BWP
Malang Utara, yaitu di Kelurahan Lowokwaru di Sumber Mata Air Jalan Akordion
Selatan, serta Sumber Mata Air di Jalan Sudimoro
Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki fungsi
utama sebagai tempat penguburan jenasah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai
daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro serta
tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat disekitar seperti beristirahat dan
sebagai sumber pendapatan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kondisi RTH eksisting di Kota Malang dengan
klasifikasi berdasarkan BWP dan jenisnya dapat disederhanakan dalam tabel 4.8.
Tabel 4. 6
Ketersediaan RTH di Kota Malang berdasarkan Jenis dan BWP
Fungsi Lain
Taman Taman Hutan Median dan Jalur Potensi Sempadan
No Nama BWP Total
Lingk. Kota Kota Pulau Jalan Hijau Makam PSU Total
Mata
Sungai Rel KA SUTT
Air
1 Malang Utara 271,53 0,56 3,19 - 2,81 - 264,96 0,27 34,20 - 27,48 26 87,95
2 Malang Tengah 19,78 3,25 10,06 3,70 2,67 0,094 0,00 0,37 2,89 - - 3,26
Malang Timur
3 258,71 2,14 - 0,25 8,01 248,29 1,08 22,72 9,50 7,18 - 40,48
Laut
4 Malang Timur 253,75 1,22 - 1,25 2,24 249,03 5,10 16,27 - 35,27 - 56,64
5 Malang Tenggara 265,98 - 2,30 1,8 1,19 260,69 0,28 42,34 6,19 - - 48,81
6 Malang Barat 253,60 0,37 0,78 0,5 2,15 249,79 0,11 - - 17,63 - 17,74
Dikelola
56.10 - - - - 43,40 12,70 - - - - -
Pemerintah
Total 1379,47 7,57 16,36 7,50 19,09 1285,57 6,85 115,92 18,58 87,53 26 254,88
Grand Total 1634,35
Sumber: RAKH Kota Malang

87
88

Berdasarkan data tersebut, 78.7% RTH di Kota Malang di dominasi oleh makam,
disusul dengan 7.1% merupakan sempadan sungai, 5.4% berupa sempadan SUTT, 2.7%
merupakan jalur hijau, 1.6% sempadan mata air, 1.2% berupa median jalan, 1.1%
sempadan rel KA, 1% Taman kota, 0.5 berupa Taman lingkungan serta 0.4% merupakan
PSU dan hutan kota. Data tersebut secara umum menggambarkan bahwa persentase RTH
Publik berdasarkan jenis di Kota Malang masih belum proporsional.
RTH Publik

0 200 400 600 800 1000 1200 1400


Mata Air PSU SUTT Rel KA Jalur Hijau Sungai
Hutan Kota Makam Taman Kota Median & Pulau Jalan
Taman Lingk.

Gambar 4. 18 Persentase Persebaran Jenis RTH di Kota Malang


Sumber : RAKH Kota Malang.
Kondisi tersebut menggambarkan adanya ketimpangan yang cukup tinggi dalam
persebaran jenis RTH. Selain persebaran berdasarkan jenis, RTH di Kota Malang dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi. Dalam lingkup BWP, dapat dikatakan bahwa
persebaran RTH di Kota Malang sebenarnya cukup merata. Namun kondisi tersebut
memiliki pengecualian pada BWP Malang Tengah yang hanya memiliki kontribusi sebesar
1%.

19% 21% Malang Utara Malang Tengah Malang Timur Laut Malang
1% Malang Barat

20%
20%

19%

Gambar 4. 19 Persentase Persebaran RTH per BWP di Kota Malang


Sumber : RAKH Kota Malang.
89

Disisi lain, dokumen SK Walikota mengenai RTH hanya mengklasifikasikan RTH


eksisiting kedalam tiga jenis, yaitu (i) taman kota, (ii) hutan kota, dan (iii) jalur hijau dan
median jalan. Dengan tiga klasifikasi tersebut, luas RTH di Kota Malang secara total
adalah sebesar 85,35 Ha. Artinya, luasan RTH eksisting pada saat ini hanya memenuhi
7,6% dari luas keseluruhan wilayah Kota Malang.
Berdasarkan data yang dihimpun, menunjukkan bahwa ketersediaan lahan ruang
terbuka hijau publik adalah sebesar 1.634,35 Ha, dimana luasan utamanya sebesar 1.379,47
Ha dan luasan potensi lain berupa sempadan seluas 254,88 Ha atau jika dihitung hanya
memenuhi 14,71% dari RTH Publik kota. Namun jika mengacu pada pembatasan ruang
lingkup penelitian, luasan yang digunakan untuk perhitungan adalah luasan RTH taman
kota, taman lingkungan, hutan kota, serta pemakaman dikarenakan lokasi tersebut
memiliki standar perhitungan kebutuhan yaitu Peraturan Menteri PU no 5 Tahun 2008.

4.4 Kebutuhan RTH di Kota Malang

Terdapat dua pertimbangan dalam menentukan kebutuhan RTH di Kota Malang.


Pertama, Undang Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang
mencantumkan bahwa luasan minimal RTH publik adalah 20% dari luasan kota.
Berdasarkan dokumen RAKH dan SK Walikota Malang tentang RTH, luasan total RTH di
Kota Malang adalah sebesar 1.379.47 Ha, atau 12,41% dari luas total Kota Malang.
Ketersersedian RTH di Kota Malang tersebut masih memenuhi 61% dari luasan ideal.
Analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah mengacu pada Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan tersebut
mensyaratkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% persen wilayah dan
khusus untuk RTH publik sebesar 20% luas wilayah. Rumus perhitungan kebutuhan RTH
berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut :
Kebutuhan RTH Publik (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 20% (4-1)
Sehingga didapatkan jumlah luasan kebutuhan RTH Publik Kota Malang
berdasarkan luasan Kota Malang yaitu 11.108 Ha maka luasan kebutuhan RTH Publik
adalah sebesar 2.221,6 Ha.
Tabel 4. 7
Persentase 20% Luas BWP
No Nama BWP Luas Lahan (ha) 20% Luas Lahan (Ha)
1 Malang Utara 2.338 467,6
2 Malang Tengah 805 161
3 Malang Timur Laut 1.776 335,4
90

No Nama BWP Luas Lahan (ha) 20% Luas Lahan (Ha)


4 Malang Timur 1.677 355,2
5 Malang Tenggara 2.951 590,2
6 Malang Barat 1.561 312,2
Total 11.108 2221,6
Sumber: Hasil Analisa 2017

Tabel 4.8 menmperlihatkan apabila kebutuhan luasan RTH dihitung dari luasan
setiap BWP. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa jika proporsi RTH diharapkan
tersebar merata dan tidak berpusat pada BWP tertentu, maka luasan tersebut harus
dicadangkan di setiap BWP untuk memenuhi kebutuhan RTH. Demi mencapai luasan ideal
sebesar 2.221,6 Ha , Kota Malang masih membutuhkan tambahan RT sebesar 587,25 Ha
(Gambar 4.20).

587.25

Kondisi Eksisting RTH Kota Malang


Selisih dengan Luasan Ideal RTH Publik Kota Malang

1634.35

Gambar 4. 20 Ketersediaan dan Kebutuhan RTH di Kota Malang


Sumber: RAKH dan SK Walikota Malang, 2017
Kebutuhan masing-masing jenis RTH diproyeksikan melalui Peraturan Menteri PU
no 5 Tahun 2008 yang mencantumkan kebutuhan RTH untuk masing-masing penduduk
yaitu taman RT, taman RW, dan taman kelurahan sebesar 1,3 m 2 untuk setiap penduduk,
taman kota sebesar 0,3 m2 untuk setiap penduduk, hutan kota sebesar 0,4 m 2 untuk setiap
penduduk, dan makam sebesar 1,25 m2 untuk setiap penduduk.
RTH Pi = Pi x k …. m2/ penduduk..............(4-2)
Keterangan:
k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008.
Pi = Jumlah penduduk di wilayah i.
Tabel 4.9 menunjukkan kebutuhan masing-masing jenis RTH berdasarkan dasar
hukum tersebut. Dari hasil perhitungan, ternyata luasan RTH jenis taman lingkungan,
taman kota, hutan kota, dan makam yang dibutuhkan setiap penduduk lebih kecil
dibandingkan
91

luasan total kebutuhan RTH. Sehingga diasumsikan bahwa terdapat RTH selain keempat
jenis tersebut, dengan luasan kebutuhan sejumlah selisih diantara kebutuhan total dan
kebutuhan keempat jenis yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Tabel 4. 8
Kebutuhan RTH Publik berdasarkan Jumlah Penduduk per Kapita
Jumlah Total Taman Taman Hutan Makam Lain-
Nama BWP *4
Penduduk (Ha) Lingkungan*1 Kota*2 Kota*3 lain*5

Malang Utara 186.290 127,62 24,22 5,59 74,52 23,29

Malang Tengah 202.084 138,42 26,27 6,06 80,83 25,26


Malang Timur Laut 85.426 58,52 11,11 2,56 34,17 10,68
173,14*5
Malang Timur 180.710 123,78 23,49 5,42 72,28 22,59
Malang Tenggara 190.135 130,24 24,72 5,7 76,05 23,77
Malang Barat 131.983 90,41 17,16 3,96 52,79 16,5
126,97 29,29 390,64 122,09 668,99
Total
Kebutuhan RTH Publik 842,13
Sumber: Hasil Analisa 2017
Keterangan:
Total kebutuhan luas RTH didasarkan pada Permen PU No 5 Tahun 2008 tentang ketersediaan RTH publik
minimal sebesar 20% dari luas wilayah
*1) Kebutuhan taman lingkungan didasarkan pada Permen PU No 5 Tahun 2008 tentang ketersediaan taman
RT sebesar 1 m2, taman RW sebesar 0,5 m2.
*2) Kebutuhan taman kota didasarkan pada Permen PU No 5 Tahun 2008 tentang ketersediaan minimal sebesar
0,3 m2 per penduduk
*3) Kebutuhan hutan kota didasarkan pada Permen PU No 5 Tahun 2008 tentang ketersediaan minimal
sebesar 4 m2 per penduduk
*4) Kebutuhan makam didasarkan pada Permen PU No 5 Tahun 2008 tentang ketersediaan minimal sebesar
1,2 m2 per penduduk
*5) Kebutuhan lain-lain didasarkan pada selisih antara total kebutuhan RTH dengan komponen taman
lingkungan, taman kota, hutan kota, dan makam.

Melalui hasil perhitungan proyeksi, maka didapatkan bahwa kebutuhan akan RTH
Publik sebesar 668,99 Ha. Proyeksi RTH tersebut kemudian dibandingkan dengan
keberadaan RTH eksisting di Kota Malang. Hasil perbandingannya merupakan selisih yang
harus dipenuhi dalam mencapai kondisi RTH ideal di Kota Malang. Berdasarkan
perhitungan selisih dalam Tabel 4.10, kebutuhan RTH dengan jenis makam di Kota
Malang telah terpenuhi, bahkan berlebih. Selisih pemenuhan RTH paling besar berada
pada kategori lain-lain. Sedangkan diluar kategori tersebut, selisih pemenuhan RTH
terbesar berada pada taman lingkungan dan diikuti denan hutan kota. Sementara kebutuhan
RTH Taman Kota telah terpenuhi seperti halnya makam, namun distribusi RTH tersebut
belum merata.
92
Tabel 4. 9
Selisih antara Kebutuhan dan Ketersediaan RTH Publik
Ketersediaan Kebutuhan Selisih
No Nama BWP
Taman Taman Hutan Taman Taman Hutan Taman Taman Hutan
Makam Makam Makam
Lingk. Kota Kota Lingk. Kota Kota Lingk. Kota Kota

1 Malang Utara 0,56 3,19 - 264,96 24,22 5,59 74,52 23,29 23,65 2,4 74,52 241,67

2 Malang Tengah 3,25 10,06 3,70 0,094 26,27 6,06 80,83 25,26 23,01 4 77,13 25,16

3 Malang Timur Laut 2,14 - 0,25 248,296 11,11 2,56 34,17 10,68 8,96 2,56 33,92 237,61

4 Malang Timur 1,22 - 1,25 249,03 23,49 5,42 72,28 22,59 22,26 5,42 71,03 226,44

5 Malang Tenggara - 2,30 1,8 260,69 24,72 5,7 76,05 23,77 24,72 3,4 74,25 236,92

6 Malang Barat 0,37 0,78 0,5 249,79 17,16 3,96 52,79 16,5 16,78 3,18 52,29 233,29

7,57 16,36 7,50 1.272,87 126,97 29,29 390,64 122,09 -


Total
1.304.30 668,99 635,29
Sumber: Hasil Analisa 2017
93

Jika ditinjau berdasarkan BWP, maka BWP yang telah terpenuhi kebutuhan RTH
adalah Malang Tengah. Meski demikian, penyebaran jenis RTH pada BWP Malang
Tengah masih belum merata. Sedangkan BWP yang memiliki kebutuhan pemenuhan RTH
terbanyak adalah Malang Timur, diikuti dengan Malang Tenggara, Malang Utara, Malang
Timur Laut, dan Malang Barat.
Rincian mengenai kebutuhan berdasarkan luasan maupun berdasarkan jumlah
penduduk tersebut dapat menjadi dasar bagi pengembangan lokasi RTH di Kota Malang.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Kota Malang saat ini membutuhkan RTH dalam
bentuk median jalan dan sempadan sungai, taman lingkungan, serta hutan kota. Sedangkan
wilayah pengembangan yang paling membutuhkan RTH adalah Malang Timur, Malang
Tenggara, dan Malang Utara.

4.5 Identifikasi Lahan Potensial Kota Malang

Penyediaan solusi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan RTH di Kota Malang


dianalisis dengan melakukan identifikasi lahan potensial. Langkah pertama adalah
memetakan lahan kosong yang tersedia di Kota Malang. Lahan kosong dipilih sebagai
salah satu kriteria dalam menilai lahan potensial, sebab lahan kosong tidak bertabrakan
dengan kepentingan lain sehingga fungsi RTH dapat teroptimalisasi tanpa mengabaikan
fungsi lahan sebelum terjadi konversi.
Berdasarkan data RDRTK Kota Malang, luasan lahan kosong secara total adalah
sebesar 264,94 Ha. Namun lahan tersebut pastinya telah memiliki arahan masing-masing
dan tidak seluruhnya memiliki arahan untuk menjadi RTH. Setelah dilakukan pra-survey,
ternyata beberapa lahan telah berubah alih fungsi yang sebelumnya berupa lahan kosong
telah menjadi fungsi laha lain.
Apabila disesuaikan dengan ketentuan luasan RTH yang tertera dalam Permen PU
no 5 tahun 2008 dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan ketersediaan setiap jenis
RTH di Kota Malang, maka luasan lahan kosong yang tersedia dapat memenuhi kriteria
untuk jenis RTH berupa (i) taman kecamatan, (ii) taman kelurahan, (iii) taman RW, dan
(iv) taman RT. Secara rinci, luasan lahan kosong pada masing masing BWP berikut
Rencana Pengembangan Lahan berdasarkan BWP pada Tabel 4.11.
94
Gambar 4. 21 Peta Lahan Kosong
95

Tabel 4. 10
Rencana Pengembangan Lahan berdasarkan BWP
Nama BWP Arahan Guna Lahan Luasan (Ha)
Perdagangan Jasa 1,779
Malang Timur Laut
Perumahan 64,70
Perumahan 101,09
Malang Utara RTH 1,70
SPU 1,52
Perdagangan Jasa 3,23
Malang Timur Perkantoran 0.629
Perumahan 40,76
Industri 0,69
Perlindungan 1,05
Malang Barat
Perumahan 22,03
SPU 0,093
Malang Tenggara Perumahan 25,65
Total 264,94
Sumber: Hasil Analisa 2017

Total luasan lahan kosong di Kota Malang adalah sebesar 264,94 Ha. Luasan
tersebut sebenarnya tidak memenuhi selisih antara kebutuhan dan ketersediaan RTH di
Kota Malang. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa data mengenai lahan
kosong tersebut pada kondisi riil telah mengalami alih fungsi, maupun memiliki
ketidaksesuaian dengan kriteria lahan ideal bagi RTH. Oleh karena itu, telah lebih lanjut
terhadap masing-masing lahan kosong menjadi penting dalam menyediakan alternatif
solusi penemuhan RTH di Kota Malang.

4.6 Identifikasi Tanah Aset Kota Malang

Aset Pemerintah Daerah dapat berupa tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan,
irigasi dan saluran, konstruksi yang masih dalam tahap pengerjaan, dan aset lainnya. Data
tanah aset di bawah penguasaan Pemerintah Kota Malang sebagaimana tercatat dalam
Kartu Inventaris Barang (KIB) Milik Daerah dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah (BPKAD) Kota Malang adalah sebanyak 185,91 ha bidang tanah Jumlah tanah aset
Pemerintah Kota Malang yang dikategorikan sebagai tanah kosong sebanyak 600 petak
bidang tanah tersebar di beberapa wilayah kecamatan,dengan karakteristik berbeda, baik
dari segi penguasaan, jenis penggunaan, maupun lokasinya.
96

Tabel 4. 11
Tanah Aset BWP Malang Utara
No. Lokasi Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Tanah Kosong 0,032


1 Jatimulyo Sawah 3,052
Makam 0,002
Tanah Kosong 0,887
Fasilitas Umum 0,025
2 Merjosari
Pendidikan 0,067
Sawah 12,524
Tanah Kosong 0,001
Fasilitas Umum 0,061
3 Mojolangu
RTH 1,232
Sawah 2,297
Tanah Kosong 0,002
Fasilitas Umum 0,215
4 Tasikmadu Pendidikan 0,235
Sawah 12,452
Sempadan Sungai 0,016
Tanah Kosong 1,002
Fasilitas Umum 0,006
5 Tlogomas
Pendidikan 0,013
Sawah 3,415
Tanah Kosong 0,153
6 Tunggulwulung
Sawah 14,425
Permukiman 0,746
7 Tunjungsekar
Sawah 8,475
Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Utara 61,335
Sumber : Bappeda Kota Malang

Tabel 4. 12
Tanah Aset BWP Malang Timur Laut
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Permukiman 0,500
1 Balearjosari Pendidikan 0,185
Sawah 4,708
Permukiman 2,024
Pendidikan 0,000
2 Pandanwangi
Sawah 14,951
Sungai 0,052
3 Polowijen Permukiman 0,853
97

No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)


Jasa 0,169
Pendidikan 0,186
Sawah 0,382
Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Timur Laut 24,01
Sumber : Bappeda Kota Malang
Tabel 4. 13
Tanah Aset BWP Malang Timur
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Permukiman 0,566
Fasilitas Umum 1,445
1 Cemorokandang
Kebun 13,051
Sawah 4,706
Permukiman 1,794
2 Lesanpuro
Kebun 6,079
Permukiman 0,001
3 Madyopuro
Sawah 3,073
Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Timur 30,72
Sumber : Bappeda Kota Malang, 2015

Tabel 4. 14
Tanah Aset BWP Malang Tenggra
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Permukiman 0,870
1 Arjowinangun Kebun 2,851
Sawah 28,886
Kebun 0,123
2 Bumiayu Sawah 10,184
Sungai 0,002
Permukiman 3,180
Kebun 1,050
3 Buring Pendidikan 0,298
Sawah 8,788
Tegalan 2,072
4 Gadang Sawah 0,853
Permukiman 0,001
5 Kebonsari
Sawah 5,808
Permukiman 4,283
Kebun 8,165
6 Tlogowaru
Sawah 20,998
Sungai 0,000
Permukiman 0,480
7. Wonokoyo Kebun 1,344
Sawah 2,100
98

No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)


Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Tenggara 102,34
Sumber : Bappeda Kota Malang, 2015

Tabel 4. 15
Tanah Aset BWP Malang Barat
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Fasilitas Umum 0,127
Pendidikan 0,059
1 Balakankrajan
Sawah 8,735
Permukiman 1,422
2 Bandulan Sawah 10,105
Fasilitas Umum 0,290
3 Bandungrejosari Sawah 2,110
Sawah 2,172
4 Karangbesuki Permukiman 0,398
Sawah 0,005
5 Merjosari
Permukiman 0,000
Permukiman 0,062
Sawah 0,593
Sawah 1,007
6 Mulyorejo
Sawah 0,596
Tegalan 1,086
Permukiman 0,084
Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Barat 28,85
Sumber : Bappeda Kota Malang, 2015
Menyikapi masih adanya kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan RTH di Kota
Malang, maka Pemerintah Kota Malang menyusun rencana pengembangan RTH yang
tertuang dalam dokumen Roadmap Land Banking. Dalam dokumen tersebut, terdapat dua
jenis RTH yang menjadi fokus, yaitu antara lain (i) Taman Kota dan Hutan Kota dan (ii)
Sempadan berupa sempadan mata air, sempadan KA, dan sempadan sungai. Pembagian
rencana pengembangan RTH di Kota Malang secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel
4.17.
Tabel 4. 16
Rencana Pengembangan berdasarkan jenis RTH dan BWP
Jenis RTH
No Nama BWP Hutan Kota
Sempadan Sempadan Sempadan
Total dan Taman
Sungai KA Mata Air
Kota
1 Malang Timur 131,76 84,81 46,95 - -
2 Malang Tenggara 330,48 239,09 79,76 11,63 -
3 Malang Utara 68,15 - 63,77 - 4,38
4 Malang Timur Laut 58,15 - 48,73 9,42 -
99

Jenis RTH
No Nama BWP Hutan Kota
Sempadan Sempadan Sempadan
Total dan Taman
Sungai KA Mata Air
Kota
5 Malang Barat 41,27 - 41,27 - -
6 Malang Tengah 14,80 - 7,05 7,75 -
Total 644,61 323,90 287,53 28,80 4,38
Sumber: Roadmap Landbanking Kota Malang, 2015
Berdasarkan rencana pengembangan tersebut, maka luasan RTH di Kota Malang
mendapatkan tambahan sebesar 644.61 Ha, yang terbagi kedalam 323.90 Ha Hutan Kota
dan Taman Kota, serta 287,53Sempadan. Adapun dengan adanya perencanaan tersebut,
luasan total untuk hutan kota dan taman kota telah memenuhi kebutuhan penduduk di Kota
Malang.
Tabel 4. 17
Potensi Pengembangan Aset BWP Kota Malang
Lokasi Aset Tanah Pemerintah Kota Malang
No. Nama BWP yang Dapat Dikembang Per Kelurahan
Luas (Ha)

Kelurahan Tunggulwulung 0,652

Kelurahan Tunggulwulung, Jalan Akordion 0,350


1 BWP Malang Utara
Utara
Kelurahan Mertojoyo, belakang Perum. 0,800
Villa Bukit Tidar
Kelurahan Tlogomas, belakang perumahan 4,300
Bukit Permata Hijaua
Kelurahan Buring, Jalan Lembayung 1,365
Kelurahan Tlogowaru dibawah SUTT 12,626
2 BWP Malang
Tenggara Kelurahan Tlogowaru, Jalan Sekarsari 4,567
Kelurahan Tlogowaru 8,032
Kelurahan Lesanpuro 7,873
BWP Malang
4 Timur Laut Kelurahan Pandanwangi 6,309

Total Luas Aset Tanah Pemkot Malang yang Dapat Dikembangkan 46,87
Sumber: RAKH Kota Malang, 2017

Penambahan jumlah tersebut mengurangi selisih total antara kebutuhan dan


ketersediaan RTH di Kota Malang menjadi sebesar 249,49 Ha. Sehingga, upaya alternatif
diluar rencana pemerintah tetap diperlukan. Alasan lain yang mendasari pentingnya upaya
alternatif tersebut juga muncul karena adanya konversi lahan pertanian sebagai RTH, yang
mana bukan merupakan kondisi pengembangan RTH yang ideal.
100

4.7 Gambaran Umum Kriteria Lokasi Lahan Potensial RTH


4.7.1 Luas Minimum Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau
Dokumen Rencana Aksi Kota Hijau menyebutkan bahwa luasan minimal lahan
yang akan dijadikan RTH adalah seluas 5.000 m2 atau setara dengan 0,5 Ha. Penelitian ini
menggunakan acuan tersebut untuk menyaring data lahan yang telah didapatkan. Hasil dari
penyaringan tersebut memunculkan lahan potensial yang memiliki luasan lebih dari 0,5 Ha,
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Secara rinci, BWP Malang Barat memiliki 3 titik dengan luasan sebesar 2,01 Ha.
BWP Malang Tenggara memiliki 16 titik dengan luasan sebesar 50,71 Ha. BWP Malang
Timur juga memiliki 13 titik dengan luasan lebih rendah yaitu sebesar 13,16 Ha. BWP
Timur Laut memiliki 22 titik dengan luasan sebesar 38,15 Ha. Terakhir, BWP Malang
Utara memiliki 12 titik dengan luasan sebesar 22,07 Ha. Sehingga secara keseluruhan,
jumlah lahan kosong yang potensial di Kota Malang adalah sebesar 126,1 Ha. Keterangan
mengenai titik lahan potensial di Kota Malang disajikan dalam Tabel 4.19.
Tabel 4. 18
Luas Lahan Potensial Menurut RAKH Kota Malang
No. BWP Kelurahan Kode Lokasi Hektar (ha)
1 Barat Bandulan MB-Bandulan-1 0,72
2 Barat Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 0,64
3 Barat Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 0,65
4 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 0,50
5 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 0,77
6 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 2,83
7 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 2,36
8 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 1,39
9 Tenggara Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 0,85
10 Tenggara Bumiayu MTG-Bumiayu-1 3,15
11 Tenggara Bumiayu MTG-Bumiayu-2 4,66
12 Tenggara Buring MTG-Buring-1 2,52
13 Tenggara Buring MTG-Buring-2 1,16
14 Tenggara Mergosono MTG-Mergosono-1 0,66
15 Tenggara Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 2,89
16 Tenggara Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 1,91
17 Timur Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 3,17
18 Timur Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 0,71
19 Timur Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 2,08
20 Timur Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 0,53
21 Timur Madyopuro MT-Madyopuro-1 0,91
22 Timur Madyopuro MT-Madyopuro-2 0,59
23 Timur Madyopuro MT-Madyopuro-3 0,83
101

No. BWP Kelurahan Kode Lokasi Hektar (ha)


24 Timur Madyopuro MT-Madyopuro-4 0,58
25 Timur Sawojajar MT-Sawojajar-1 0,56
26 Timur Sawojajar MT-Sawojajar-2 0,93
27 Timur Sawojajar MT-Sawojajar-3 0,61
28 Timur Sawojajar MT-Sawojajar-4 0,80
29 Timur Sawojajar MT-Sawojajar-5 0,86
30 Timur Laut Arjosari MTL-Arjosari-1 5,08
31 Timur Laut Arjosari MTL-Arjosari-2 1,24
32 Timur Laut Arjosari MTL-Arjosari-3 2.08
33 Timur Laut Balearjosari MTL-Balearjosari-1 1,22
34 Timur Laut Balearjosari MTL-Balearjosari-2 1,92
35 Timur Laut Balearjosari MTL-Balearjosari-3 0,53
36 Timur Laut Balearjosari MTL-Balearjosari-4 0,55
37 Timur Laut Blimbing MTL-Blimbing-1 2,48
38 Timur Laut Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 0,55
39 Timur Laut Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 1,74
40 Timur Laut Polowijen MTL-Polowijen-1 2,76
41 Timur Laut Polowijen MTL-Polowijen-2 0,74
42 Timur Laut Polowijen MTL-Polowijen-3 1,29
43 Timur Laut Polowijen MTL-Polowijen-4 1,07
44 Timur Laut Polowijen MTL-Polowijen-5 0,97
45 Timur Laut Purwantoro MTL-Purwantoro-1 1,10
46 Timur Laut Purwantoro MTL-Purwantoro-2 3,01
47 Timur Laut Purwodadi MTL-Purwodadi-1 0,51
48 Timur Laut Purwodadi MTL-Purwodadi-2 0,54
49 Timur Laut Purwodadi MTL-Purwodadi-3 1,20
50 Timur Laut Purwodadi MTL-Purwodadi-4 1,26
51 Utara Dinoyo MU-Dinoyo-1 0,89
52 Utara Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 2,49
53 Utara Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 1,00
54 Utara Merjosari MU-Merjosari-1 5,76
55 Utara Merjosari MU-Merjosari-2 2,66
56 Utara Merjosari MU-Merjosari-3 0,88
57 Utara Tlogomas MU-Tlogomas-1 0,67
58 Utara Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 0,79
59 Utara Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 1,18
60 Utara Merjosari TA-Merjosari 0,80
61 Utara Tunggulwulung TA-Tunggulwulung 0,65
62 Utara Tlogomas TA-A-Tlogomas 4,30
63 Timur Laut Pandanwangi TA-Pandanwangi 6,31
64 Tenggara Lesanpuro TA-B-Lesanpuro 7,87
65 Tenggara Tlogowaru TA-C-Tlogowaru 4,57
66 Tenggara Tlogowaru TA-D-Tlogowaru 12,62
Sumber: Hasil Analisa, 2018
102
Gambar 4. 22 Peta Skoring Luasan Minimum Potensial RTH
103

Berdasarkan hasil analisis, lahan potensial yang memiliki luasan paling tinggi
antara lain MTG-Bumiayu-1, MTG-Bumiayu-2, MT-Cemorokandang-1, MTL-Arjosari-1,
MU- Merjosari-1, TA-A Tlogomas. Sedangkan luasan paling tinggi dimiliki oleh TA-D-
Tlogowaru seluas12.62 Ha. Penamaan lokasi menggunakan kode BWP dan nama
kelurahan dimana lahan tersebut berada. Pemberian nomor menunjukkan jumlah lahan
pada satu kelurahan tertentu.

4.7.2 Aksesibilitas Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau


Sebagaimana disebutkan dalam teori yang ditinjau dalam penelitian ini,
aksesibilitas merupakan salah satu aspek penting dalam menilai potensi suatu lokasi.
Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat aksesibilitas lokasi
adalah hierarki jalan. Dimana, perencanaan Kota Malang membagi jaringan jalan kedalam
3 kategori utama, yaitu jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lingkungan yang juga dikenal
sebagai jalan lokal. Semakin tinggi hierarki suatu jalan menandakan tngkat aksesibilitas
yang semakin baik.
Sehingga, lokasi potensial yang sebelumnya telah disaring dalam Tabel 4.19
kemudian ditinjau dari segi hierarki jalan sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.20.
104
Gambar 4. 23 Peta Skoring Aksesibiltas Lahan Potensial
105

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hierarki jalan yang melintasi lokasi lahan,
diketahui bahwa mayoritas lahan potensial terletak pada hierarki lokal, yaitu sebesar 36
lokasi. Selanjutnya, hanya terdapat 6 lokasi lahan potensial yang dilintasi oleh jaringan
jalan dengan kategori jalan kolektor. Namun, lokasi lahan potensial yang dilalui oleh jalan
arteri ternyata cukup banyak, yaitu sejumlah 24 titik lokasi.
Lokasi yang terlayani jaringan jalan arteri antara lain MU-Jatimulyo-1, MU-
Jatimulyo-2, MTL-Polowijen-3, MTL-Polowijen-4, MTL-Polowijen-5, MTL-Purwantoro-
1, MTL-Purwantoro-2, MTL-Pandanwangi-1, MTL-Pandanwangi-2, MTL-Arjosari-2, MT-
Sawojajar-3, MT-Sawojajar-4
Tabel 4. 19
Hiraki Jalan Lahan Potensial RTH Kota Malang
No. Kelurahan Kode Lokasi Hirarki Jalan
1 Bandulan MB-Bandulan-1 Lokal
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 Lokal
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 Lokal
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 Lokal
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 Lokal
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 Lokal
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 Lokal
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 Lokal
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 Lokal
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 Kolektor
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 Kolektor
12 Buring MTG-Buring-1 Lokal
13 Buring MTG-Buring-2 Lokal
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 Arteri
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 Lokal
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 Lokal
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 Lokal
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 Arteri
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 Arteri
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 Arteri
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 Lokal
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 Lokal
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 Arteri
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 Arteri
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 Lokal
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 Lokal
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 Arteri
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 Arteri
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 Lokal
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 Lokal
106

No. Kelurahan Kode Lokasi Hirarki Jalan


31 Arjosari MTL-Arjosari-2 Arteri
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 Lokal
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 Lokal
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 Lokal
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 Lokal
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 Arteri
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 Arteri
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 Arteri
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 Arteri
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 Kolektor
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 Kolektor
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 Arteri
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 Arteri
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 Arteri
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 Arteri
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 Arteri
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 Lokal
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 Arteri
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 Arteri
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 Arteri
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 Lokal
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 Arteri
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 Arteri
54 Merjosari MU-Merjosari-1 Lokal
55 Merjosari MU-Merjosari-2 Lokal
56 Merjosari MU-Merjosari-3 Lokal
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 Lokal
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 Lokal
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 Lokal
60 Merjosari TA-Merjosari Lokal
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung Kolektor
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas Kolektor
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi Arteri
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro Lokal
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru Lokal
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru Lokal
Sumber: Dinas Perhubungan Kota Malang, 2014

4.7.3 Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota


Penelitian ini mengasumsikan bahwa lahan yang dekat terhadap pusat kota lebih
potensial dibandingkan dengan lahan yang jauh dari pusat kota. Hal ini dikarenakan
aktifitas masyarakat lebih banyak terletak di pusat kota, sehingga pemanfaatan terhadap
RTH dapat menjadi lebih optimal. Dalam penelitian ini, Jarak kedekatan lahan potensial
RTH terhadap
107

pusat Kota Malang dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu jarak > 7 km terhadap pusat kota,
jarak 3,5-7 km dari pusat kota, dan jarak < 3,5 km terhadap pusat kota sesuai yang tertera
pada tabel 4.20
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa hanya terdapat 7 lahan yang
memikliki jarak > 7 km dari pusat kota. Mayoritas lahan, yaitu dengan total sebanyak 48
titik memiliki jarak diantara 3,5 km hingga 7 km dari pusat kota. Sehingga jumlah lahan
yang berada pada jarak < 3,5 km dari pusat kota adalah sebesar 11 lahan.
Tabel 4. 20
Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota
No. Kelurahan Kode Lokasi Jarak Terhadap Pusat Kota
1 Bandulan MB-Bandulan-1 < 3,5 km
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 < 3,5 km
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 < 3,5 km
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 3,5 < …. < 7 km
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 3,5 < …. < 7 km
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 3,5 < …. < 7 km
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 3,5 < …. < 7 km
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 3,5 < …. < 7 km
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 3,5 < …. < 7 km
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 < 3,5 km
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 3,5 < …. < 7 km
12 Buring MTG-Buring-1 3,5 < …. < 7 km
13 Buring MTG-Buring-2 < 3,5 km
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 < 3,5 km
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 3,5 < …. < 7 km
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 3,5 < …. < 7 km
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 3,5 < …. < 7 km
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 < 3,5 km
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 < 3,5 km
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 3,5 < …. < 7 km
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 3,5 < …. < 7 km
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 3,5 < …. < 7 km
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 3,5 < …. < 7 km
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 3,5 < …. < 7 km
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 3,5 < …. < 7 km
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 < 3,5 km
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 3,5 < …. < 7 km
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 < 3,5 km
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 < 3,5 km
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 3,5 < …. < 7 km
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 3,5 < …. < 7 km
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 3,5 < …. < 7 km
108

No. Kelurahan Kode Lokasi Jarak Terhadap Pusat Kota


33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 >7 km
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 >7 km
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 >7 km
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 >7 km
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 3,5 < …. < 7 km
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 3,5 < …. < 7 km
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 3,5 < …. < 7 km
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 3,5 < …. < 7 km
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 3,5 < …. < 7 km
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 3,5 < …. < 7 km
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 3,5 < …. < 7 km
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 3,5 < …. < 7 km
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 3,5 < …. < 7 km
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 3,5 < …. < 7 km
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 3,5 < …. < 7 km
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 3,5 < …. < 7 km
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 3,5 < …. < 7 km
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 3,5 < …. < 7 km
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 3,5 < …. < 7 km
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 3,5 < …. < 7 km
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 3,5 < …. < 7 km
54 Merjosari MU-Merjosari-1 3,5 < …. < 7 km
55 Merjosari MU-Merjosari-2 3,5 < …. < 7 km
56 Merjosari MU-Merjosari-3 3,5 < …. < 7 km
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 3,5 < …. < 7 km
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 3,5 < …. < 7 km
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 3,5 < …. < 7 km
60 Merjosari TA-Merjosari 3,5 < …. < 7 km
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung >7 km
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas 3,5 < …. < 7 km
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi 3,5 < …. < 7 km
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro 3,5 < …. < 7 km
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru >7 km
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru >7 km
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa lokasi berikut merupakan lahan potensial
yang lokasinya dekat dengan pusat kota, yaitu MB-Bandulan-1, MB-Tanjungrejo-1, MB-
Tanjungrejo-2,MTG-Bumiayu-1,MTG-Buring-2,MTG-Mergosono-1,MT-Kedungkandang-
1, MT-Lesanpuro-1, MT-Sawojajar-2, MT-Sawojajar-4, MT-Sawojajar-5.
Gambar 4. 24 Peta Skoring Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota

109
110

4.7.4 Pengawasan Stakeholder Terkait Lahan Potensial RTH


Pada tinjauan pustaka, penelitian ini mengklasifikasikan tingkat pengawasan
stakeholder dalam parameter yang didasarkan kepada tujuan, standar, dan sistem evaluasi.
Pengawasan stakeholder berbasis tujuan diartikan sebagai penggunaan lokasi lahan
potensial yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Berikutnya, pengawasan standar
menunjukkan bahwa terdapat suatu aturan yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan
pengawasan, sehingga tidak terjadi penyimpangan dari hal-hal yang telah ditetapkan.
Misalnya, dalam konteks lokasi lahan, saat observasi lapangan ditemukan lahan yang
diberikan pagar pembatas. Kondisi ini menandakan bahwa pemilik lahan telah menetapkan
suatu acuan mengenai batasan-batasan yang jelas terhadap lokasi lahan, untuk menghindari
terjadinya penyimpangan luasan. Terakhir, pengawasan yang menggunakan sistem
evaluasi menunjukkan fungsi yang dilakukan pada lokasi tersebut, dalam kurun waktu
tertentu, berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan dan standar yang ditetapkan. Misalnya,
tanah asset pemerintah yang disewakan kepada warga sebagai tempat usaha pertanian
memiliki evaluasi berkala dan marka-marka khusus untuk menjaga keberlangsungan dan
meminimalisir penyalahgunaan lahan.
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa mayoritas lahan potensial, yaitu sebesar
36 titik memiliki pengawasan pada tingkat tujuan. Selanjutnya, sebesar 22 titik telah
menerapkan pengawasan berbasis standar. Sisanya, yaitu sebesar 8 titik memiliki
pengawasan stakeholder yang berada pada tataran pelaksanaan sistem evaluasi. Detail
mengenai pengawasan stakeholder pada masing-masing dapat dilihat dalam Tabel 4.22.
Tabel 4. 21
Pengawasan Stakeholder Terkait
No. Kelurahan Kode Lokasi Pengawasan Stakeholder
1 Bandulan MB-Bandulan-1 Standar
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 Tujuan
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 Tujuan
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 Tujuan
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 Tujuan
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 Tujuan
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 Tujuan
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 Tujuan
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 Tujuan
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 Tujuan
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 Tujuan
12 Buring MTG-Buring-1 Tujuan
13 Buring MTG-Buring-2 Tujuan
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 Tujuan
111

No. Kelurahan Kode Lokasi Pengawasan Stakeholder


15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 Tujuan
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 Tujuan
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 Standar
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 Standar
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 Standar
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 Standar
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 Tujuan
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 Standar
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 Standar
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 Standar
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 Standar
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 Tujuan
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 Standar
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 Standar
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 Standar
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 Tujuan
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 Standar
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 Tujuan
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 Standar
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 Standar
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 Tujuan
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 Tujuan
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 Standar
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 Standar
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 Standar
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 Tujuan
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 Tujuan
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 Tujuan
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 Tujuan
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 Tujuan
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 Tujuan
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 Tujuan
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 Tujuan
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 Tujuan
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 Standar
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 Standar
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 Sistem Evaluasi
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 Standar
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 Tujuan
54 Merjosari MU-Merjosari-1 Standar
55 Merjosari MU-Merjosari-2 Tujuan
56 Merjosari MU-Merjosari-3 Tujuan
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 Tujuan
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 Tujuan
112

No. Kelurahan Kode Lokasi Pengawasan Stakeholder


59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 Tujuan
60 Merjosari TA-Merjosari Sistem Evaluasi
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung Sistem Evaluasi
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas Sistem Evaluasi
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi Sistem Evaluasi
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro Sistem Evaluasi
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru Sistem Evaluasi
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru Sistem Evaluasi
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Berdasarkan penjelasan tabel di atas diketahui bahwa lahan dengan pengawasan


sistem evaluasi antara lain MU-Dinoyo-1,TA-Merjosari,TA-Tunggulwulung,TA-A-
Tlogomas,TA-Pandanwangi,TA-B-Lesanpuro,TA-C-Tlogowaru,TA-D-Tlogowaru. Lahan
tersebut merupakan lahan-lahan aset milik pemerintah sehingga pengawasan lahan
dilakukan dengan optimal.
Gambar 4. 25 Peta Skoring Pengawasan Stakeholder

113
114

4.7.5 Fungsi Lahan Potensial RTH


Fungsi lahan potensial ditinjau dari arahan pola ruang Kota Malang, yang tertuang
pada dokumen RTRW Kota Malang maupun RDTRK pada tiap BWP Kota Malang. Dalam
ketentuan mengenai pola ruang tersebut, dijelaskan bahwa tiap-tiap blok lahan telah
memiliki arahan yang telah ditetapkan. Penelitian ini membagi arahan tersebut kedalam
tiga kategori lahan yaitu kawasan budidaya, arahan kawasan lindung, dan arahan lahan
RTH sebagai fungsi utama.
Analisa yang dilakukan terhadap fungsi masing-masing lahan potensial RTH
memberikan hasil bahwa seluruh lahan potensial terletak pada kawasan budidaya. Secara
spesifik kawasan tersebut memiliki arahan pola ruang berupa kawasan budaya pemukiman,
tidak ada lahan potensial yang teridentifikasi memiliki arahan pola ruang berupa kawasan
lindung atupun fasilitas umum berupa ruang terbuka hijau.
Gambar 4. 26 Peta Skoring Fungsi Lahan

115
116

Seluruh lahan potensial ternyata melimiki arahan pola ruang permukiman. Namun
secara realita, walaupun sudah termasuk arahan kawasan budidaya permukiman, tidak
menutup kemungkinan apabila lahan dapat dikonversi menjadi RTH. Hanya saja jika
dalam lingkup penelitian ini, arahan kawasan budidaya tidak mencapai nilai yang optimal
dikarenakan dalam parameter disebut bahwa lahan yang arahan utamanya sebagai RTH
yang mendapat skor tertinggi.
Tabel 4. 22
Tabel Fungsi Lahan Potensial RTH
No. Kelurahan Kode Lokasi Arahan Pola Ruang (Fungsi Lahan)

1 Bandulan MB-Bandulan-1 Arahan Kawasan Budidaya


2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 Arahan Kawasan Budidaya
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 Arahan Kawasan Budidaya
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 Arahan Kawasan Budidaya
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 Arahan Kawasan Budidaya
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 Arahan Kawasan Budidaya
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 Arahan Kawasan Budidaya
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 Arahan Kawasan Budidaya
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 Arahan Kawasan Budidaya
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 Arahan Kawasan Budidaya
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 Arahan Kawasan Budidaya
12 Buring MTG-Buring-1 Arahan Kawasan Budidaya
13 Buring MTG-Buring-2 Arahan Kawasan Budidaya
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 Arahan Kawasan Budidaya
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 Arahan Kawasan Budidaya
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 Arahan Kawasan Budidaya
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 Arahan Kawasan Budidaya
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 Arahan Kawasan Budidaya
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 Arahan Kawasan Budidaya
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 Arahan Kawasan Budidaya
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 Arahan Kawasan Budidaya
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 Arahan Kawasan Budidaya
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 Arahan Kawasan Budidaya
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 Arahan Kawasan Budidaya
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 Arahan Kawasan Budidaya
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 Arahan Kawasan Budidaya
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 Arahan Kawasan Budidaya
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 Arahan Kawasan Budidaya
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 Arahan Kawasan Budidaya
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 Arahan Kawasan Budidaya
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 Arahan Kawasan Budidaya
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 Arahan Kawasan Budidaya
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 Arahan Kawasan Budidaya
117

No. Kelurahan Kode Lokasi Arahan Pola Ruang (Fungsi Lahan)


34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 Arahan Kawasan Budidaya
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 Arahan Kawasan Budidaya
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 Arahan Kawasan Budidaya
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 Arahan Kawasan Budidaya
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 Arahan Kawasan Budidaya
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 Arahan Kawasan Budidaya
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 Arahan Kawasan Budidaya
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 Arahan Kawasan Budidaya
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 Arahan Kawasan Budidaya
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 Arahan Kawasan Budidaya
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 Arahan Kawasan Budidaya
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 Arahan Kawasan Budidaya
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 Arahan Kawasan Budidaya
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 Arahan Kawasan Budidaya
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 Arahan Kawasan Budidaya
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 Arahan Kawasan Budidaya
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 Arahan Kawasan Budidaya
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 Arahan Kawasan Budidaya
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 Arahan Kawasan Budidaya
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 Arahan Kawasan Budidaya
54 Merjosari MU-Merjosari-1 Arahan Kawasan Budidaya
55 Merjosari MU-Merjosari-2 Arahan Kawasan Budidaya
56 Merjosari MU-Merjosari-3 Arahan Kawasan Budidaya
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 Arahan Kawasan Budidaya
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 Arahan Kawasan Budidaya
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 Arahan Kawasan Budidaya
60 Merjosari TA-Merjosari Arahan Kawasan Budidaya
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung Arahan Kawasan Budidaya
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas Arahan Kawasan Budidaya
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi Arahan Kawasan Budidaya
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro Arahan Kawasan Budidaya
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru Arahan Kawasan Budidaya
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru Arahan Kawasan Budidaya
Sumber: Hasil Analisa, 2018, RDTRK Kota Malang.

4.7.6 Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan


Apabila dalam pembahasan sebelumnya jarak terhadap pusat kota menjadi
parameter yang penting, dalam bagian ini peneliti mengukur radius lahan potensial terhadap
kawasan perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan di masa yang akan datang. Pada
struktur ruang Kota Malang, setiap BWP memiliki kawasan yang dikategorikan sebagai
kawasan perkotaan. Karakteristik dari kawasan perkotaan pada masing-masing BWP
antara lain dapat ditinjau
118

dari kegiatan utama dan ketersediaan sarana pendukung. Karena itu, kawasan perkotaan
biasanya menjadi pusat dari BWP. Untuk bisa mengetahui cakupan lokasi, maka
ditentukan jarak radius dari Pusat BWP, atau Sub-Pusat BWP.
Terdapat tiga interval radius antara lain Jarak > 1000 m dari pusat kota, Jarak 500
m- 1000 m dari pusat kota, serta Jarak < 500 m dari pusat kota. Dari hasil analisis, terdapat
31 lokasi yang memiliki jarak > 1000m terhadap pusat kawasan perkotaan. Sejumlah 24
lokasi memiliki jarak diantara 500 – 1000 m terhadap pusat perkotaan. Sehingga terdapat
11 lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kawasan perkotaan.
Tabel 4. 23
Tabel Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan
Jarak Terhadap Pusat Kawasan
No. Kelurahan Kode Lokasi
Perkotaan
1 Bandulan MB-Bandulan-1 500 < … < 1000 m
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 > 1000 m
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 > 1000 m
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 > 1000 m
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 > 1000 m
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 > 1000 m
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 > 1000 m
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 > 1000 m
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 > 1000 m
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 > 1000 m
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 > 1000 m
12 Buring MTG-Buring-1 500 < … < 1000 m
13 Buring MTG-Buring-2 500 < … < 1000 m
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 > 1000 m
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 > 1000 m
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 > 1000 m
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 > 1000 m
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 > 1000 m
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 > 1000 m
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 500 < … < 1000 m
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 < 500 m
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 < 500 m
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 500 < … < 1000 m
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 500 < … < 1000 m
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 500 < … < 1000 m
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 500 < … < 1000 m
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 < 500 m
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 > 1000 m
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 > 1000 m
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 500 < … < 1000 m
119

Jarak Terhadap Pusat Kawasan


No. Kelurahan Kode Lokasi
Perkotaan
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 < 500 m
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 < 500 m
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 > 1000 m
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 500 < … < 1000 m
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 < 500 m
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 < 500 m
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 < 500 m
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 > 1000 m
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 > 1000 m
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 500 < … < 1000 m
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 500 < … < 1000 m
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 500 < … < 1000 m
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 500 < … < 1000 m
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 500 < … < 1000 m
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 500 < … < 1000 m
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 > 1000 m
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 500 < … < 1000 m
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 < 500 m
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 500 < … < 1000 m
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 500 < … < 1000 m
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 500 < … < 1000 m
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 500 < … < 1000 m
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 500 < … < 1000 m
54 Merjosari MU-Merjosari-1 > 1000 m
55 Merjosari MU-Merjosari-2 > 1000 m
56 Merjosari MU-Merjosari-3 < 500 m
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 500 < … < 1000 m
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 < 500 m
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 > 1000 m
60 Merjosari TA-Merjosari > 1000 m
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung > 1000 m
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas 500 < … < 1000 m
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi > 1000 m
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro > 1000 m
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru > 1000 m
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru > 1000 m
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Berdasar hasil penjabaran tabel diatas, MU-Tulusrejo-1, MTL-Purwodadi-2, MTL-
Balearjosari-3, MTL-Balearjosari-4, MTL-Blimbing-1, MTL-Arjosari-2, MTL-Arjosari-3,
MT-Sawojajar-3, MT-Madyopuro-1, MT-Madyopuro-2 merupakan lokasi lahan yang
letaknya dekat dengan kawasan perkotaan masing-masing BWP.
120
Gambar 4. 27 Peta Skoring Lokasi Kawasan Perkotaan
121

4.7.7 Status Lahan Potensial RTH


Status lahan ditinjau berdasarkan hak penguasaan tanah baik individu atau badan
hukum. Terdapat tiga kategori utama dalam status kepemilikan lahan potensial, yaitu lahan
milik pribadi, selain aset pemerintah & lahan pribadi yaitu lahan dengan pemilik berupa
developer / perusahaan/ badan hokum non pemerintah, dan aset pemerintah. Dalam hal ini,
lahan milik pemerintah dianggap sebagai lahan potensial, diikuti dengan lahan non asset
pemerintah dan pribadi karena potensi pengambil alihan yang lebih mudah, dan terakhir
adalah lahan pribadi.
Dari hasil analisa, mayoritas lahan memiliki status sebagai aset pribadi. Terdapat
38 lokasi dengan status kepemilikan pribadi. Lokasi dengan kepemilikan non asset
pemerintah dan pribadi memiliki jumlah sebanyak 19 titik. Sedangkan kepemilikan lahan
pemerintah ada pada 9 titik yaitu MU-Dinoyo-1, TA-Merjosari, TA-Tunggulwulung, TA-
A-Tlogomas, TA-Pandanwangi, TA-B-Lesanpuro, TA-C-Tlogowaru, TA-D-Tlogowaru.
Tabel 4. 24
Status Lahan Potensial RTH
No. Kelurahan Kode Lokasi Status Lahan
1 Bandulan MB-Bandulan-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 Lahan Pribadi
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 Lahan Pribadi
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 Lahan Pribadi
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 Lahan Pribadi
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 Lahan Pribadi
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 Lahan Pribadi
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 Lahan Pribadi
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 Lahan Pribadi
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 Lahan Pribadi
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 Aset Pemerintah
12 Buring MTG-Buring-1 Lahan Pribadi
13 Buring MTG-Buring-2 Lahan Pribadi
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 Lahan Pribadi
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 Lahan Pribadi
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 Lahan Pribadi
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 Lahan Pribadi
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 Lahan Pribadi
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
122

No. Kelurahan Kode Lokasi Status Lahan


25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 Lahan Pribadi
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 Lahan Pribadi
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 Lahan Pribadi
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 Lahan Pribadi
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 Lahan Pribadi
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 Lahan Pribadi
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 Lahan Pribadi
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 Lahan Pribadi
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 Lahan Pribadi
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 Lahan Pribadi
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 Lahan Pribadi
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 Lahan Pribadi
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 Lahan Pribadi
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 Lahan Pribadi
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 Lahan Pribadi
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 Aset Pemerintah
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 Lahan Pribadi
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 Lahan Pribadi
54 Merjosari MU-Merjosari-1 Lahan Pribadi
55 Merjosari MU-Merjosari-2 Lahan Pribadi
56 Merjosari MU-Merjosari-3 Lahan Pribadi
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 Lahan Pribadi
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 Selain Aset pemerintah & Lahan Pribadi
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 Lahan Pribadi
60 Merjosari TA-Merjosari Aset Pemerintah
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung Aset Pemerintah
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas Aset Pemerintah
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi Aset Pemerintah
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro Aset Pemerintah
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru Aset Pemerintah
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru Aset Pemerintah
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Gambar 4. 28 Peta Skoring Status Lahan Potensial

123
124

4.7.8 Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH


Komposisi lansekap/ruang hijau dalam kriteria lahan potensial RTH mengacu
kepada koefisien dasar hijau dari lahan tersebut. Komposisi lansekap secara nominal
menunjukkan persentase tutupan ruang hijau pada suatu wilayah. Berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan, lahan RTH minimal memiliki 70% ruang hijau.
Total 66 lokasi memiliki tutupan lahan hijau > 70 %. Secara detail, terdapat 3
lokasi yang memiliki koefisien dasar hijau sebesar 70%. 2 lahan lainnya memiliki koefsien
dasar hijau sebesar 90%. Sedangkan 61 sisanya, memiliki koefisien dasar hijau sebesar
100%.
Tabel 4. 25
Ruang Hijau Lahan Potensial RTH
No. Kelurahan Kode Lokasi Koefisien Dasar Hijau (%)
1 Bandulan MB-Bandulan-1 100
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 100
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 100
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 100
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 100
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 100
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 100
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 100
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 100
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 100
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 100
12 Buring MTG-Buring-1 100
13 Buring MTG-Buring-2 100
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 100
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 100
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 100
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 100
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 100
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 100
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 100
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 70
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 100
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 100
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 100
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 100
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 100
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 100
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 100
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 100
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 90
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 100
125

No. Kelurahan Kode Lokasi Koefisien Dasar Hijau (%)


32 Arjosari MTL-Arjosari-3 100
33 Balearjosari MTL-Balearjosari-1 70
34 Balearjosari MTL-Balearjosari-2 100
35 Balearjosari MTL-Balearjosari-3 70
36 Balearjosari MTL-Balearjosari-4 100
37 Blimbing MTL-Blimbing-1 90
38 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-1 100
39 Pandanwangi MTL-Pandanwangi-2 100
40 Polowijen MTL-Polowijen-1 100
41 Polowijen MTL-Polowijen-2 100
42 Polowijen MTL-Polowijen-3 100
43 Polowijen MTL-Polowijen-4 100
44 Polowijen MTL-Polowijen-5 100
45 Purwantoro MTL-Purwantoro-1 100
46 Purwantoro MTL-Purwantoro-2 100
47 Purwodadi MTL-Purwodadi-1 100
48 Purwodadi MTL-Purwodadi-2 100
49 Purwodadi MTL-Purwodadi-3 100
50 Purwodadi MTL-Purwodadi-4 100
51 Dinoyo MU-Dinoyo-1 100
52 Jatimulyo MU-Jatimulyo-1 100
53 Jatimulyo MU-Jatimulyo-2 100
54 Merjosari MU-Merjosari-1 100
55 Merjosari MU-Merjosari-2 100
56 Merjosari MU-Merjosari-3 100
57 Tlogomas MU-Tlogomas-1 100
58 Tulusrejo MU-Tulusrejo-1 100
59 Tunjungsekar MU-Tunjungsekar-1 100
60 Merjosari TA-Merjosari 100
61 Tunggulwulung TA-Tunggulwulung 100
62 Tlogomas TA-A-Tlogomas 100
63 Pandanwangi TA-Pandanwangi 100
64 Lesanpuro TA-B-Lesanpuro 100
65 Tlogowaru TA-C-Tlogowaru 100
66 Tlogowaru TA-D-Tlogowaru 100
Sumber: Hasil Analisa, 2018
126
Gambar 4. 29 Peta Skoring Komposisi Lansekap/Ruang Hijau
127

4.8 Penentuan Bobot dalam Prioritas Kriteria Lahan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Persepsi Stakeholder

Penggunaan AHP bertujuan untuk menentukan faktor-faktor penting dari kriteria


lahan ideal ruang terbuka hijau publik berdasarkan pendapat ahli. Dalam hal ini ahli yang
dijadikan responden yaitu:
1. Barenlitbang Kota Malang (Staff Bidang IPW).
2. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Staff Bidang Pertamanan)
3. Akademisi Arsitek Lansekap (Universitas Brawijaya)
Pembobotan faktor dalam kriteri lahan ruang terbuka hijau publik menggunakan metode
Analytic Hierarchy Process supaya kriteria yag dihasilkan tidak bersifat subjektif peneliti,
tetapi melibatkan pendapat ahli terkait. Berikut adalah pembobotan faktor dalam kriteria
lahan ruang terbuka hijau publik dari setiap sudut pandang ahli terkait :
A. Responden 1 (Staff Bidang IPW Barenlitbang Kota Malang)
Berikut adalah perhitungan pembobotan faktor dalam kriteria lahan ruang terbuka
hijau publik dari sudut pandang ahli 1 adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 26
Matriks Perbandingan
A B C D E F G H
A 1.00 0.20 0.20 0.17 0.11 0.17 0.11 1.00
B 5.00 1.00 1.00 2.00 0.11 1.00 0.11 5.00
C 5.00 1.00 1.00 1.00 0.11 0.33 0.11 5.00
D 6.00 0.50 1.00 1.00 0.11 1.00 0.11 1.00
E 9.00 9.00 9.00 9.00 1.00 5.00 1.00 9.00
F 6.00 1.00 3.00 1.00 0.2 1.00 0.11 5.00
G 9.00 9.00 9.00 9.00 1.00 9.00 1.00 9.00
H 1.00 0.20 0.20 1.00 0.11 0.2 0.1 1.00
Jumlah 42 21.9 24.4 24.17 2.76 17.7 2.67 36
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 27
Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector
A B C D E F G H Eigen Vector
A 0.02 0.01 0.01 0.01 0.04 0.01 0.04 0.03 0.02
B 0.13 0.05 0.04 0.08 0.04 0.06 0.04 0.14 0.07
C 0.12 0.05 0.04 0.04 0.04 0.02 0.04 0.14 0.06
D 0.14 0.02 0.04 0.04 0.04 0.06 0.04 0.03 0.05
E 0.21 0.41 0.37 0.37 0.36 0.28 0.38 0.25 0.33
F 0.14 0.05 0.12 0.04 0.07 0.06 0.04 0.14 0.08
G 0.21 0.41 0.37 0.37 0.36 0.51 0.38 0.25 0.36
128

A B C D E F G H Eigen Vector
H 0.02 0.01 0.01 0.04 0.04 0.01 0.04 0.03 0.03
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Selanjutnya dilakukan uji konsesitensi dengan melakukan perhitungan tertera pada


lampiran. Matriks yang mempunyai orde 8x8, dinyatakan konsisten apabila CI lebih kecil
atau sama dengan RI (0.1) sedangkan matriks dengan orde 8x8 dinyatakan konsisten
apabila nilai CR lebih rendah atau sama dengan RI (0.1).
Tabel 4. 28
Perhitungan Nilai Konsistensi
Indikator Awal Akhir Awal*Akhir
A 42,00 0,021508 0,90335
B 17,90 0,073908 1,32295
C 20,40 0,063428 1,29393
D 24,16 0,054331 1,31301
E 2,75 0,328409 0,90495
F 15,70 0,087999 1,38158
G 2,66 0,344333 0,91822
H 36,00 0,026084 0,93902
λ Maksimum 8.97701
C.I 0.13957249
C.R 0.098987581
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa pendapat dari responden konsisten


dengan nilai konsitensi rasio berada di angka 0.098. menurut responden, dari kedelapan
faktor tersebut memiliki kepentingan utama status lahan sebagai kriteria yang memiliki
bobot paling tinggi.
Tabel 4. 29
Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor
Faktor Bobot
A Luasan Minimum RTH 0.02
B Aksesibilitas RTH 0.07
C Kedekatan RTH terhadap Pusat Kegiatan 0.06
D Pengawasan Stakeholder Terkait 0.05
E Fungsi Lahan 0.33
F Lokasi pada Kawasan Perkotaan 0.08
G Status Lahan 0.36
H Komposisi Lansekap/Ruang Hijau 0.03
Sumber: Hasil Analisa, 2018
129

B. Responden 2 (Staff Bidang Pertamanan Dinas Perumahan dan Kawasan


Permukiman)

Berikut adalah perhitungan pembobotan faktor dalam kriteria lahan ruang terbuka
hijau publik dari sudut pandang ahli 2 adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 30
Matriks Perbandingan
A B C D E F G H
A 1.00 3.00 5.00 7.00 0.50 3.00 0.17 1.00
B 0.33 1.00 3.00 5.00 0.14 1.00 0.12 1.00
C 0.20 0.33 1.00 2.00 0.14 1.00 0.12 0.30
D 0.14 0.20 0.50 1.00 0.17 0.25 0.12 0.20
E 2.00 7.00 7.00 6.00 1.00 4.00 1.00 3.00
F 0.33 1.00 1.00 4.00 0.25 1.00 0.17 2.00
G 6.00 8.00 8.00 8.00 1.00 6.00 1.00 8.00
H 1.00 1.00 3.00 5.00 0.33 0.50 0.12 1.00
Jumlah 11 21.53 28.5 38 3.53 16.75 2.82 16.53
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 31
Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector

A B C D E F G H Eigen Vector

A 0.09 0.14 0.18 0.18 0.14 0.18 0.06 0.06 0.13


B 0.03 0.05 0.11 0.13 0.04 0.06 0.04 0.06 0.06
C 0.02 0.02 0.04 0.05 0.04 0.06 0.04 0.02 0.04
D 0.01 0.01 0.02 0.03 0.05 0.01 0.04 0.01 0.02
E 0.18 0.33 0.25 0.16 0.28 0.24 0.35 0.18 0.25
F 0.03 0.05 0.04 0.11 0.07 0.06 0.06 0.12 0.07
G 0.55 0.37 0.28 0.21 0.28 0.35 0.35 0.48 0.36
H 0.09 0.05 0.11 0.13 0.09 0.03 0.04 0.06 0.08
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Selanjutnya dilakukan uji konsesitensi dengan melakukan perhitungan tertera pada


lampiran.. Matriks yang mempunyai orde 8x8, dinyatakan konsisten apabila CI lebih kecil
atau sama dengan RI (0.1) sedangkan matriks dengan orde 8x8 dinyatakan konsisten
apabila nilai CR lebih rendah atau sama dengan RI (0.1).
130

Tabel 4. 32
Perhitungan Nilai Konsistensi
Indikator Awal Akhir Awal*Akhir
A 11.00 0,128928 1,41821
B 21.53 0,064462 1,38788
C 28.50 0,035388 1,00857
D 38.00 0,022952 0,87216
E 3.53 0,246081 0,86866
F 16.75 0,066075 1,10675
G 2.82 0,361041 1,01814
H 16.53 0,075073 1,24095
λ Maksimum 8,92132
C.I 0,131617183
C.R 0.09334552
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa pendapat dari responden


konsisten dengan nilai konsitensi rasio berada di angka 0,093 menurut responden, dari
kedelapan faktor tersebut memiliki kepentingan utama status lahan sebagai kriteria yang
memiliki bobot paling tinggi.
Tabel 4. 33
Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor
Faktor Bobot
A Luasan Minimum RTH 0.13
B Aksesibilitas RTH 0.06
C Kedekatan RTH terhadap Pusat Kegiatan 0.04
D Pengawasan Stakeholder Terkait 0.02
E Fungsi Lahan 0.25
F Lokasi pada Kawasan Perkotaan 0.07
G Status Lahan 0.36
H Komposisi Lansekap/Ruang Hijau 0.08
Sumber: Hasil Analisa, 2018

C. Responden 3 (Dosen Arsitek Lansekap Universitas Brawijaya)


Berikut adalah perhitungan pembobotan faktor dalam kriteria lahan ruang terbuka
hijau publik dari sudut pandang ahli 3 adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 34
Matriks Perbandingan
A B C D E F G H
A 1.00 0.20 0.20 0.33 0.33 0.20 0.11 0.20
B 5.00 1.00 1.00 5.00 5.00 1.00 0.20 5.00
C 5.00 1.00 1.00 3.00 3.00 1.00 0.20 3.00
D 3.00 0.20 0.33 1.00 3.00 0.20 0.20 0.33
131

A B C D E F G H
E 3.00 0.20 0.33 0.33 1.00 0.20 0.11 0.33
F 5.00 1.00 1.00 5.00 5.00 1.00 0.11 3.00
G 9.00 5.00 5.00 5.00 7.00 7.00 1.00 7.00
H 5.00 0.20 0.33 3.00 3.00 0.33 0.11 1.00
Jumlah 36 8.8 9.19 22.66 27.33 10.93 2.04 19.86
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 35
Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector
Eigen
A B C D E F G H
Vector
A 0.028 0.02 0.02 0.01 0.012 0.018 0.054 0.01 0.02
B 0.139 0.11 0.11 0.22 0.183 0.091 0.098 0.25 0.15
C 0.139 0.11 0.11 0.13 0.11 0.091 0.098 0.15 0.12
D 0.083 0.02 0.04 0.04 0.11 0.018 0.098 0.02 0.05
E 0.083 0.02 0.04 0.01 0.037 0.018 0.054 0.02 0.04
F 0.139 0.11 0.11 0.22 0.183 0.091 0.054 0.15 0.13
G 0.25 0.57 0.54 0.22 0.256 0.64 0.49 0.35 0.42
H 0.139 0.02 0.04 0.13 0.11 0.03 0.054 0.05 0.07
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Selanjutnya dilakukan uji konsitensi dengan melakukan perhitungan tertera pada


lampiran.. Matriks yang mempunyai orde 8x8, dinyatakan konsisten apabila CI lebih kecil
atau sama dengan RI (0.1) sedangkan matriks dengan orde 8x8 dinyatakan konsisten
apabila nilai CR lebih rendah atau sama dengan RI (0.1).
Tabel 4. 36
Perhitungan Nilai Konsistensi
Indikator Awal Akhir Awal*Akhir
A 36.00 0.022078 0,79479
B 8.80 0.144572 1,27223
C 9.19 0.113579 1,04379
D 22.66 0.052123 1,18112
E 27.33 0.035245 0,96324
F 10.93 0.131117 1,43311
G 2.04 0.435965 0,88937
H 19.86 0.070833 1,40675
λ Maksimum 8,98440
C.I 0,140628622
C.R 0.099736611
Sumber: Hasil Analisa, 2018
132

Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa pendapat dari responden konsisten


dengan nilai konsitensi rasio berada di angka 0.099. menurut responden, dari kedelapan
faktor tersebut memiliki kepentingan utama status lahan sebagai kriteria yang memiliki
bobot paling tinggi.
Tabel 4. 37
Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor
Faktor Bobot
A Luasan Minimum RTH 0,02
B Aksesibilitas RTH 0,15
C Kedekatan RTH terhadap Pusat Kegiatan 0,12
D Pengawasan Stakeholder Terkait 0,05
E Fungsi Lahan 0,04
F Lokasi pada Kawasan Perkotaan 0,13
G Status Lahan 0,42
H Komposisi Lansekap/Ruang Hijau 0,07
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Tabel 4. 38
Peringkat Faktor Berdasarkan Pembobotan
Eigen Eigen Eigen
Indikator Rata-rata Peringkat
Vector 1 Vector 2 Vector 3
Luas Minimum RTH 0.02 0.13 0.02 0.058 6
Aksesibilitas RTH 0.07 0.06 0.15 0.096 3
Kedekatan RTH terhadap
0.06 0.04 0.12 0.072 5
Pusat Kegiatan
Pengawasan Stakeholder
0.05 0.02 0.05 0.044 8
Terkait
Fungsi Lahan 0.33 0.25 0.04 0.203 2
Lokasi pada Kawasan
0.09 0.07 0.13 0.096 4
Perkotaan
Status Lahan 0.34 0.36 0.42 0.374 1
Komposisi Lansekap/Ruang
0.03 0.08 0.07 0.058 7
Hijau
Sumber: Hasil Analisa, 2018

Kuesioner AHP diberikan kepada 3 ahli dalam bidang tata kota. Hasil dari
kuesioner AHP tersebut menunjukkan bahwa secara runtut, kriteria terpenting dalam
mengasses pontensi lahan untuk pembangunan RTH adalah : (i) status lahan, (ii) fungsi
lahan, (iii) aksesibilitas rth, (iv) lokasi pada kawasan perkotaan, (v) kedekatan terhadap
pusat kegiatan,
(vi) luas minimum rth, (vii) komposisi lansekap ruang hijau dan (viii) pengawasan
stakeholder terkait. Hasil dari eigen factor akan dikalikan dengan masing-masing variabel
133

yang melekat pafa lahan untuk mendapatkan pembobotan yang sesuai dengan kaidah
penelitian. Untuk mempermudah penghitungan, eigen factor yang didapatkan dikalikan
dengan 100.

4.9 Perhitungan Nilai Kriteria Lahan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Malang
4.9.1 Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau
Untuk mempermudah penilaian, 66 lokasi yang tersaring diberikan kode yang
lokasi sesuai dengan BWP dan kelurahan tempat lahan tersebut berada. Sesuai dengan
parameter yang ditetapkan, interval skor untuk luas lahan minimum terdiri dari 3 kelas
yaitu luas lahan
5.000 <…< 9.000 m2 mendapat skor 1, 9.000 <…< 24.000 m2 mendapat skor 2, sedangkan
Luas lahan > 24.000 m2 mendapatkan skor 3. Berdasar parameter maka presentasenya
adalah 40,9% Skor 1, dilanjut 30,3% Skor 2, dan 28,8% Skor 3. Hasil analisis hirarki
proses (AHP) menunjukkan eigen vector sebesar 0.058. Tabel 4.39 menunjukkan hasil
kalkulasi eigen vector dengan skor luasan lahan.
Tabel 4. 39
Hasil Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial RTH
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 1 5.77 5.77
2 MB-Tanjungrejo-1 1 5.77 5.77
3 MB-Tanjungrejo-2 1 5.77 5.77
4 MTG-Arjowinangun-1 1 5.77 5.77
5 MTG-Arjowinangun-2 1 5.77 5.77
6 MTG-Arjowinangun-3 3 5.77 17.31
7 MTG-Arjowinangun-4 2 5.77 11.54
8 MTG-Arjowinangun-5 2 5.77 11.54
9 MTG-Arjowinangun-6 1 5.77 5.77
10 MTG-Bumiayu-1 3 5.77 17.31
11 MTG-Bumiayu-2 3 5.77 17.31
12 MTG-Buring-1 3 5.77 17.31
13 MTG-Buring-2 2 5.77 11.54
14 MTG-Mergosono-1 1 5.77 5.77
15 MTG-Tlogowaru-1 3 5.77 17.31
16 MTG-Tlogowaru-2 2 5.77 11.54
17 MT-Cemorokandang-1 3 5.77 17.31
18 MT-Kedungkandang-1 1 5.77 5.77
19 MT-Lesanpuro-1 2 5.77 11.54
20 MT-Lesanpuro-2 1 5.77 5.77
21 MT-Madyopuro-1 2 5.77 11.54
22 MT-Madyopuro-2 1 5.77 5.77
23 MT-Madyopuro-3 1 5.77 5.77
24 MT-Madyopuro-4 1 5.77 5.77
134

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


25 MT-Sawojajar-1 1 5.77 5.77
26 MT-Sawojajar-2 2 5.77 11.54
27 MT-Sawojajar-3 1 5.77 5.77
28 MT-Sawojajar-4 1 5.77 5.77
29 MT-Sawojajar-5 1 5.77 5.77
30 MTL-Arjosari-1 3 5.77 17.31
31 MTL-Arjosari-2 2 5.77 11.54
32 MTL-Arjosari-3 2 5.77 11.54
33 MTL-Balearjosari-1 2 5.77 11.54
34 MTL-Balearjosari-2 2 5.77 11.54
35 MTL-Balearjosari-3 1 5.77 5.77
36 MTL-Balearjosari-4 1 5.77 5.77
37 MTL-Blimbing-1 3 5.77 17.31
38 MTL-Pandanwangi-1 1 5.77 5.77
39 MTL-Pandanwangi-2 2 5.77 11.54
40 MTL-Polowijen-1 3 5.77 17.31
41 MTL-Polowijen-2 1 5.77 5.77
42 MTL-Polowijen-3 2 5.77 11.54
43 MTL-Polowijen-4 2 5.77 11.54
44 MTL-Polowijen-5 2 5.77 11.54
45 MTL-Purwantoro-1 2 5.77 11.54
46 MTL-Purwantoro-2 3 5.77 17.31
47 MTL-Purwodadi-1 1 5.77 5.77
48 MTL-Purwodadi-2 1 5.77 5.77
49 MTL-Purwodadi-3 2 5.77 11.54
50 MTL-Purwodadi-4 2 5.77 11.54
51 MU-Dinoyo-1 1 5.77 5.77
52 MU-Jatimulyo-1 3 5.77 17.31
53 MU-Jatimulyo-2 2 5.77 11.54
54 MU-Merjosari-1 3 5.77 17.31
55 MU-Merjosari-2 3 5.77 17.31
56 MU-Merjosari-3 1 5.77 5.77
57 MU-Tlogomas-1 1 5.77 5.77
58 MU-Tulusrejo-1 1 5.77 5.77
59 MU-Tunjungsekar-1 2 5.77 11.54
60 TA-Merjosari 1 5.77 5.77
61 TA-Tunggulwulung 1 5.77 5.77
62 TA-A-Tlogomas 3 5.77 17.31
63 TA-Pandanwangi 3 5.77 17.31
64 TA-B-Lesanpuro 3 5.77 17.31
65 TA-C-Tlogowaru 3 5.77 17.31
66 TA-D-Tlogowaru 3 5.77 17.31
Sumber: Hasil Analisa, 2018
135

4.9.2 Penilaian Aksesibilitas Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau


Berdasarkan hasil perhitungan AHP diketahui bahwa eigen vector dari
asksesibilitas adalah sebesar 9.64. Hasil tersebut kemudian dikalikan dengan skor yang
diberikan untuk masing-masing kategori aksesibilitas lahan. Sehingga dari hasil analisis
diketahui bahwa lokasi lahan potensial yang memiliki nilai paling tinggi dari kriteria
aksesibilitas adalah MT- Kedungkandang-1, MT-Lesanpuro-1, MT-Madyopuro-3, MT-
Sawojajar-3, MTL-Arjosari- 2, MTL-Balearjosari-4, MTL-Pandanwangi-2 dengan nilai
sebesar 28.91. Berdasar parameter maka presentasenya adalah 54.5% Skor 1, dilanjut
9.09% Skor 2, dan 36.4% Skor
3. Karena lokasi tersebut terlewati oleh jalur arteri kota sehingga menjadikan lahan
memiliki skor maksimal yaitu 3. Perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.41.
Tabel 4. 40
Hasil Penilaian Aksesibilitas Lahan Potensial RTH
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 1 9.64 9.64
2 MB-Tanjungrejo-1 1 9.64 9.64
3 MB-Tanjungrejo-2 1 9.64 9.64
4 MTG-Arjowinangun-1 1 9.64 9.64
5 MTG-Arjowinangun-2 1 9.64 9.64
6 MTG-Arjowinangun-3 1 9.64 9.64
7 MTG-Arjowinangun-4 1 9.64 9.64
8 MTG-Arjowinangun-5 1 9.64 9.64
9 MTG-Arjowinangun-6 1 9.64 9.64
10 MTG-Bumiayu-1 2 9.64 19.28
11 MTG-Bumiayu-2 2 9.64 19.28
12 MTG-Buring-1 1 9.64 9.64
13 MTG-Buring-2 1 9.64 9.64
14 MTG-Mergosono-1 3 9.64 28.91
15 MTG-Tlogowaru-1 1 9.64 9.64
16 MTG-Tlogowaru-2 1 9.64 9.64
17 MT-Cemorokandang-1 1 9.64 9.64
18 MT-Kedungkandang-1 3 9.64 28.91
19 MT-Lesanpuro-1 3 9.64 28.91
20 MT-Lesanpuro-2 3 9.64 28.91
21 MT-Madyopuro-1 1 9.64 9.64
22 MT-Madyopuro-2 1 9.64 9.64
23 MT-Madyopuro-3 3 9.64 28.91
24 MT-Madyopuro-4 3 9.64 28.91
25 MT-Sawojajar-1 1 9.64 9.64
26 MT-Sawojajar-2 1 9.64 9.64
27 MT-Sawojajar-3 3 9.64 28.91
28 MT-Sawojajar-4 3 9.64 28.91
136

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


29 MT-Sawojajar-5 1 9.64 9.64
30 MTL-Arjosari-1 1 9.64 9.64
31 MTL-Arjosari-2 3 9.64 28.91
32 MTL-Arjosari-3 1 9.64 9.64
33 MTL-Balearjosari-1 1 9.64 9.64
34 MTL-Balearjosari-2 1 9.64 9.64
35 MTL-Balearjosari-3 1 9.64 9.64
36 MTL-Balearjosari-4 3 9.64 28.91
37 MTL-Blimbing-1 3 9.64 28.91
38 MTL-Pandanwangi-1 3 9.64 28.91
39 MTL-Pandanwangi-2 3 9.64 28.91
40 MTL-Polowijen-1 2 9.64 19.28
41 MTL-Polowijen-2 2 9.64 19.28
42 MTL-Polowijen-3 3 9.64 28.91
43 MTL-Polowijen-4 3 9.64 28.91
44 MTL-Polowijen-5 3 9.64 28.91
45 MTL-Purwantoro-1 3 9.64 28.91
46 MTL-Purwantoro-2 3 9.64 28.91
47 MTL-Purwodadi-1 1 9.64 9.64
48 MTL-Purwodadi-2 3 9.64 28.91
49 MTL-Purwodadi-3 3 9.64 28.91
50 MTL-Purwodadi-4 3 9.64 28.91
51 MU-Dinoyo-1 1 9.64 9.64
52 MU-Jatimulyo-1 3 9.64 28.91
53 MU-Jatimulyo-2 3 9.64 28.91
54 MU-Merjosari-1 1 9.64 9.64
55 MU-Merjosari-2 1 9.64 9.64
56 MU-Merjosari-3 1 9.64 9.64
57 MU-Tlogomas-1 1 9.64 9.64
58 MU-Tulusrejo-1 1 9.64 9.64
59 MU-Tunjungsekar-1 1 9.64 9.64
60 TA-Merjosari 1 9.64 9.64
61 TA-Tunggulwulung 2 9.64 19.28
62 TA-A-Tlogomas 2 9.64 19.28
63 TA-Pandanwangi 3 9.64 28.91
64 TA-B-Lesanpuro 1 9.64 9.64
65 TA-C-Tlogowaru 1 9.64 9.64
66 TA-D-Tlogowaru 1 9.64 9.64
Sumber: Hasil Analisa, 2018
4.9.3 Penilaian Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota
Berdasarkan hasil perhitungan AHP diketahui bahwa eigen vector dari kedekatan
lahan potensial RTH terhadap pusat kota adalah sebesar 7.23. Hasil tersebut kemudian
137

dikalikan dengan skor yang diberikan untuk masing-masing kategori pada variabel
kedekatan lahan dengan pusat kota. Berdasar parameter maka presentasenya adalah 16.7%
Skor 1, dilanjut 72.7% Skor 2, dan 10.6% Skor 3. Hasilnya, terdapat 9 lokasi yang letaknya
pada radius paling dekat dengan pusat Kota Malang yang berada di Kecamatan Klojen.
Perhitungan rinci mengenai variabel kedekatan lahan dengan pusat kota dapat dilihat pada
Tabel 4.42.
Tabel 4. 41
Hasil Penilaian Kedekatan Lahan Potensial terhadap Pusat Kota

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

1 MB-Bandulan-1 3 7.23 21.68


2 MB-Tanjungrejo-1 3 7.23 21.68
3 MB-Tanjungrejo-2 3 7.23 21.68
4 MTG-Arjowinangun-1 2 7.23 14.46
5 MTG-Arjowinangun-2 2 7.23 14.46
6 MTG-Arjowinangun-3 2 7.23 14.46
7 MTG-Arjowinangun-4 2 7.23 14.46
8 MTG-Arjowinangun-5 2 7.23 14.46
9 MTG-Arjowinangun-6 2 7.23 14.46
10 MTG-Bumiayu-1 3 7.23 21.68
11 MTG-Bumiayu-2 2 7.23 14.46
12 MTG-Buring-1 2 7.23 14.46
13 MTG-Buring-2 3 7.23 21.68
14 MTG-Mergosono-1 3 7.23 21.68
15 MTG-Tlogowaru-1 2 7.23 14.46
16 MTG-Tlogowaru-2 2 7.23 14.46
17 MT-Cemorokandang-1 2 7.23 14.46
18 MT-Kedungkandang-1 3 7.23 21.68
19 MT-Lesanpuro-1 3 7.23 21.68
20 MT-Lesanpuro-2 2 7.23 14.46
21 MT-Madyopuro-1 2 7.23 14.46
22 MT-Madyopuro-2 2 7.23 14.46
23 MT-Madyopuro-3 2 7.23 14.46
24 MT-Madyopuro-4 2 7.23 14.46
25 MT-Sawojajar-1 2 7.23 14.46
26 MT-Sawojajar-2 3 7.23 21.68
27 MT-Sawojajar-3 2 7.23 14.46
28 MT-Sawojajar-4 3 7.23 21.68
29 MT-Sawojajar-5 3 7.23 21.68
30 MTL-Arjosari-1 2 7.23 14.46
31 MTL-Arjosari-2 2 7.23 14.46
32 MTL-Arjosari-3 2 7.23 14.46
33 MTL-Balearjosari-1 1 7.23 7.23
138

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

34 MTL-Balearjosari-2 1 7.23 7.23


35 MTL-Balearjosari-3 1 7.23 7.23
36 MTL-Balearjosari-4 1 7.23 7.23
37 MTL-Blimbing-1 2 7.23 14.46
38 MTL-Pandanwangi-1 2 7.23 14.46
39 MTL-Pandanwangi-2 2 7.23 14.46
40 MTL-Polowijen-1 2 7.23 14.46
41 MTL-Polowijen-2 2 7.23 14.46
42 MTL-Polowijen-3 2 7.23 14.46
43 MTL-Polowijen-4 2 7.23 14.46
44 MTL-Polowijen-5 2 7.23 14.46
45 MTL-Purwantoro-1 2 7.23 14.46
46 MTL-Purwantoro-2 2 7.23 14.46
47 MTL-Purwodadi-1 2 7.23 14.46
48 MTL-Purwodadi-2 2 7.23 14.46
49 MTL-Purwodadi-3 2 7.23 14.46
50 MTL-Purwodadi-4 2 7.23 14.46
51 MU-Dinoyo-1 2 7.23 14.46
52 MU-Jatimulyo-1 2 7.23 14.46
53 MU-Jatimulyo-2 2 7.23 14.46
54 MU-Merjosari-1 2 7.23 14.46
55 MU-Merjosari-2 2 7.23 14.46
56 MU-Merjosari-3 2 7.23 14.46
57 MU-Tlogomas-1 2 7.23 14.46
58 MU-Tulusrejo-1 2 7.23 14.46
59 MU-Tunjungsekar-1 2 7.23 14.46
60 TA-Merjosari 2 7.23 14.46
61 TA-Tunggulwulung 1 7.23 7.23
62 TA-A-Tlogomas 2 7.23 14.46
63 TA-Pandanwangi 2 7.23 14.46
64 TA-B-Lesanpuro 2 7.23 14.46
65 TA-C-Tlogowaru 1 7.23 7.23
66 TA-D-Tlogowaru 1 7.23 7.23
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.4 Penilaian Pengawasan Stakeholder Terkait Lahan Potensial RTH


Pengawasan stakeholder memiliki eigen vector yang paling rendah yaitu hanya
sebesar 4.36. Hal ini menandakan bahwa dalam kacamata ahli, peran serta stakeholder
tidak terlalu memiliki pengaruh dalam kriteria lokasi lahan potensial RTH publik.
Pembobotan skor parameter stakeholder terbagi kedalam kategori yang telah ditetukan
yaitu pengawasan berdasar tujuan, standar, dan sistem evaluasi. Berdasar parameter maka
presentasenya adalah
139

54.5% Skor 1, dilanjut 33.3% Skor 2, dan 12.1% Skor 3. Hasil dari perkalian skor dan eigen
vector dapat dilihat dalam Tabel 4.43.
Tabel 4. 42
Hasil Penilaian Pengawasan Stakeholder Lahan Potensial
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 2 4.36 8.73
2 MB-Tanjungrejo-1 1 4.36 4.36
3 MB-Tanjungrejo-2 1 4.36 4.36
4 MTG-Arjowinangun-1 1 4.36 4.36
5 MTG-Arjowinangun-2 1 4.36 4.36
6 MTG-Arjowinangun-3 1 4.36 4.36
7 MTG-Arjowinangun-4 1 4.36 4.36
8 MTG-Arjowinangun-5 1 4.36 4.36
9 MTG-Arjowinangun-6 1 4.36 4.36
10 MTG-Bumiayu-1 1 4.36 4.36
11 MTG-Bumiayu-2 1 4.36 4.36
12 MTG-Buring-1 1 4.36 4.36
13 MTG-Buring-2 1 4.36 4.36
14 MTG-Mergosono-1 1 4.36 4.36
15 MTG-Tlogowaru-1 1 4.36 4.36
16 MTG-Tlogowaru-2 1 4.36 4.36
17 MT-Cemorokandang-1 2 4.36 8.73
18 MT-Kedungkandang-1 2 4.36 8.73
19 MT-Lesanpuro-1 2 4.36 8.73
20 MT-Lesanpuro-2 2 4.36 8.73
21 MT-Madyopuro-1 1 4.36 4.36
22 MT-Madyopuro-2 2 4.36 8.73
23 MT-Madyopuro-3 2 4.36 8.73
24 MT-Madyopuro-4 2 4.36 8.73
25 MT-Sawojajar-1 2 4.36 8.73
26 MT-Sawojajar-2 1 4.36 4.36
27 MT-Sawojajar-3 2 4.36 8.73
28 MT-Sawojajar-4 2 4.36 8.73
29 MT-Sawojajar-5 2 4.36 8.73
30 MTL-Arjosari-1 1 4.36 4.36
31 MTL-Arjosari-2 2 4.36 8.73
32 MTL-Arjosari-3 1 4.36 4.36
33 MTL-Balearjosari-1 2 4.36 8.73
34 MTL-Balearjosari-2 2 4.36 8.73
35 MTL-Balearjosari-3 1 4.36 4.36
36 MTL-Balearjosari-4 1 4.36 4.36
37 MTL-Blimbing-1 2 4.36 8.73
38 MTL-Pandanwangi-1 2 4.36 8.73
39 MTL-Pandanwangi-2 2 4.36 8.73
140

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


40 MTL-Polowijen-1 1 4.36 4.36
41 MTL-Polowijen-2 1 4.36 4.36
42 MTL-Polowijen-3 1 4.36 4.36
43 MTL-Polowijen-4 1 4.36 4.36
44 MTL-Polowijen-5 1 4.36 4.36
45 MTL-Purwantoro-1 1 4.36 4.36
46 MTL-Purwantoro-2 1 4.36 4.36
47 MTL-Purwodadi-1 1 4.36 4.36
48 MTL-Purwodadi-2 1 4.36 4.36
49 MTL-Purwodadi-3 2 4.36 8.73
50 MTL-Purwodadi-4 2 4.36 8.73
51 MU-Dinoyo-1 3 4.36 13.09
52 MU-Jatimulyo-1 2 4.36 8.73
53 MU-Jatimulyo-2 1 4.36 4.36
54 MU-Merjosari-1 2 4.36 8.73
55 MU-Merjosari-2 1 4.36 4.36
56 MU-Merjosari-3 1 4.36 4.36
57 MU-Tlogomas-1 1 4.36 4.36
58 MU-Tulusrejo-1 1 4.36 4.36
59 MU-Tunjungsekar-1 1 4.36 4.36
60 TA-Merjosari 3 4.36 13.09
61 TA-Tunggulwulung 3 4.36 13.09
62 TA-A-Tlogomas 3 4.36 13.09
63 TA-Pandanwangi 3 4.36 13.09
64 TA-B-Lesanpuro 3 4.36 13.09
65 TA-C-Tlogowaru 3 4.36 13.09
66 TA-D-Tlogowaru 3 4.36 13.09
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.5 Penilaian Fungsi Lahan Potensial RTH


Berdasarkan pendapat ahli, fungsi lahan potensial RTH merupakan salah satu faktor
penting. Hal ini ditunjukkan dari besarnya hasil eigen vector, yaitu 20.32. Namun, arahan
fungsi pola ruang lahan potensial RTH Publik seluruhnya berupa arahan kawasan
budidaya. Tidak ada lahan potensial yang memliki arahan khusus sebagai kawasan lindung
maupun secara khusus dijadikan sebagai RTH. Sehingga 100% lahan potensial memiliki
nilai yang sama.
Tabel 4. 43
Hasil Penilaian Fungsi Lahan Potensial
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 1 20.32 20.32
2 MB-Tanjungrejo-1 1 20.32 20.32
3 MB-Tanjungrejo-2 1 20.32 20.32
141

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


4 MTG-Arjowinangun-1 1 20.32 20.32
5 MTG-Arjowinangun-2 1 20.32 20.32
6 MTG-Arjowinangun-3 1 20.32 20.32
7 MTG-Arjowinangun-4 1 20.32 20.32
8 MTG-Arjowinangun-5 1 20.32 20.32
9 MTG-Arjowinangun-6 1 20.32 20.32
10 MTG-Bumiayu-1 1 20.32 20.32
11 MTG-Bumiayu-2 1 20.32 20.32
12 MTG-Buring-1 1 20.32 20.32
13 MTG-Buring-2 1 20.32 20.32
14 MTG-Mergosono-1 1 20.32 20.32
15 MTG-Tlogowaru-1 1 20.32 20.32
16 MTG-Tlogowaru-2 1 20.32 20.32
17 MT-Cemorokandang-1 1 20.32 20.32
18 MT-Kedungkandang-1 1 20.32 20.32
19 MT-Lesanpuro-1 1 20.32 20.32
20 MT-Lesanpuro-2 1 20.32 20.32
21 MT-Madyopuro-1 1 20.32 20.32
22 MT-Madyopuro-2 1 20.32 20.32
23 MT-Madyopuro-3 1 20.32 20.32
24 MT-Madyopuro-4 1 20.32 20.32
25 MT-Sawojajar-1 1 20.32 20.32
26 MT-Sawojajar-2 1 20.32 20.32
27 MT-Sawojajar-3 1 20.32 20.32
28 MT-Sawojajar-4 1 20.32 20.32
29 MT-Sawojajar-5 1 20.32 20.32
30 MTL-Arjosari-1 1 20.32 20.32
31 MTL-Arjosari-2 1 20.32 20.32
32 MTL-Arjosari-3 1 20.32 20.32
33 MTL-Balearjosari-1 1 20.32 20.32
34 MTL-Balearjosari-2 1 20.32 20.32
35 MTL-Balearjosari-3 1 20.32 20.32
36 MTL-Balearjosari-4 1 20.32 20.32
37 MTL-Blimbing-1 1 20.32 20.32
38 MTL-Pandanwangi-1 1 20.32 20.32
39 MTL-Pandanwangi-2 1 20.32 20.32
40 MTL-Polowijen-1 1 20.32 20.32
41 MTL-Polowijen-2 1 20.32 20.32
42 MTL-Polowijen-3 1 20.32 20.32
43 MTL-Polowijen-4 1 20.32 20.32
44 MTL-Polowijen-5 1 20.32 20.32
45 MTL-Purwantoro-1 1 20.32 20.32
46 MTL-Purwantoro-2 1 20.32 20.32
47 MTL-Purwodadi-1 1 20.32 20.32
142

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


48 MTL-Purwodadi-2 1 20.32 20.32
49 MTL-Purwodadi-3 1 20.32 20.32
50 MTL-Purwodadi-4 1 20.32 20.32
51 MU-Dinoyo-1 1 20.32 20.32
52 MU-Jatimulyo-1 1 20.32 20.32
53 MU-Jatimulyo-2 1 20.32 20.32
54 MU-Merjosari-1 1 20.32 20.32
55 MU-Merjosari-2 1 20.32 20.32
56 MU-Merjosari-3 1 20.32 20.32
57 MU-Tlogomas-1 1 20.32 20.32
58 MU-Tulusrejo-1 1 20.32 20.32
59 MU-Tunjungsekar-1 1 20.32 20.32
60 TA-Merjosari 1 20.32 20.32
61 TA-Tunggulwulung 1 20.32 20.32
62 TA-A-Tlogomas 1 20.32 20.32
63 TA-Pandanwangi 1 20.32 20.32
64 TA-B-Lesanpuro 1 20.32 20.32
65 TA-C-Tlogowaru 1 20.32 20.32
66 TA-D-Tlogowaru 1 20.32 20.32
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.6 Penilaian Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan


Berdasarkan hasil perhitungan AHP diketahui bahwa eigen factor dari variabel
jarak terhadap kawasan perkotaan adalah sebesar 9.56. Kawasan perkotaan berlokasi pada
pusat Bagian Wilayah Perkotaan maupun Sub-Pusat Bagian Wilayah Perkotaan (BWP).
Dengan radius yang telah ditentukan dalam parameter, maka lahan potensial diberikan skor
sesuai dengan jarak dari pusat kawasan perkotaan dari masing-masing BWP. Sebab, selain
menjadi sarana rekreatif, RTH juga bisa menjadi kawasan buffer bagi pusat kawasan
perkotaan untuk menjaga aspek-aspek ekologis. Berdasar parameter maka presentasenya
adalah 47.0% Skor 1, dilanjut 36.4% Skor 2, dan 16.7% Skor 3. Pehitungan terhadap
pengalian skor dan bobot untuk radius pada kawasan perkotaan ditunjukkan dalam Tabel
4.45.
Tabel 4. 44
Hasil Penilaian Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

1 MB-Bandulan-1 2 9.56 19.12


2 MB-Tanjungrejo-1 1 9.56 9.56
3 MB-Tanjungrejo-2 1 9.56 9.56
4 MTG-Arjowinangun-1 1 9.56 9.56
5 MTG-Arjowinangun-2 1 9.56 9.56
6 MTG-Arjowinangun-3 1 9.56 9.56
143

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

7 MTG-Arjowinangun-4 1 9.56 9.56


8 MTG-Arjowinangun-5 1 9.56 9.56
9 MTG-Arjowinangun-6 1 9.56 9.56
10 MTG-Bumiayu-1 1 9.56 9.56
11 MTG-Bumiayu-2 1 9.56 9.56
12 MTG-Buring-1 2 9.56 19.12
13 MTG-Buring-2 2 9.56 19.12
14 MTG-Mergosono-1 1 9.56 9.56
15 MTG-Tlogowaru-1 1 9.56 9.56
16 MTG-Tlogowaru-2 1 9.56 9.56
17 MT-Cemorokandang-1 1 9.56 9.56
18 MT-Kedungkandang-1 1 9.56 9.56
19 MT-Lesanpuro-1 1 9.56 9.56
20 MT-Lesanpuro-2 2 9.56 19.12
21 MT-Madyopuro-1 3 9.56 28.67
22 MT-Madyopuro-2 3 9.56 28.67
23 MT-Madyopuro-3 2 9.56 19.12
24 MT-Madyopuro-4 2 9.56 19.12
25 MT-Sawojajar-1 2 9.56 19.12
26 MT-Sawojajar-2 2 9.56 19.12
27 MT-Sawojajar-3 3 9.56 28.67
28 MT-Sawojajar-4 1 9.56 9.56
29 MT-Sawojajar-5 1 9.56 9.56
30 MTL-Arjosari-1 2 9.56 19.12
31 MTL-Arjosari-2 3 9.56 28.67
32 MTL-Arjosari-3 3 9.56 28.67
33 MTL-Balearjosari-1 1 9.56 9.56
34 MTL-Balearjosari-2 2 9.56 19.12
35 MTL-Balearjosari-3 3 9.56 28.67
36 MTL-Balearjosari-4 3 9.56 28.67
37 MTL-Blimbing-1 3 9.56 28.67
38 MTL-Pandanwangi-1 1 9.56 9.56
39 MTL-Pandanwangi-2 1 9.56 9.56
40 MTL-Polowijen-1 2 9.56 19.12
41 MTL-Polowijen-2 2 9.56 19.12
42 MTL-Polowijen-3 2 9.56 19.12
43 MTL-Polowijen-4 2 9.56 19.12
44 MTL-Polowijen-5 2 9.56 19.12
45 MTL-Purwantoro-1 2 9.56 19.12
46 MTL-Purwantoro-2 1 9.56 9.56
47 MTL-Purwodadi-1 2 9.56 19.12
48 MTL-Purwodadi-2 3 9.56 28.67
49 MTL-Purwodadi-3 2 9.56 19.12
144

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

50 MTL-Purwodadi-4 2 9.56 19.12


51 MU-Dinoyo-1 2 9.56 19.12
52 MU-Jatimulyo-1 2 9.56 19.12
53 MU-Jatimulyo-2 2 9.56 19.12
54 MU-Merjosari-1 1 9.56 9.56
55 MU-Merjosari-2 1 9.56 9.56
56 MU-Merjosari-3 3 9.56 28.67
57 MU-Tlogomas-1 2 9.56 19.12
58 MU-Tulusrejo-1 3 9.56 28.67
59 MU-Tunjungsekar-1 1 9.56 9.56
60 TA-Merjosari 1 9.56 9.56
61 TA-Tunggulwulung 1 9.56 9.56
62 TA-A-Tlogomas 2 9.56 19.12
63 TA-Pandanwangi 1 9.56 9.56
64 TA-B-Lesanpuro 1 9.56 9.56
65 TA-C-Tlogowaru 1 9.56 9.56
66 TA-D-Tlogowaru 1 9.56 9.56
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.7 Penilaian Status Lahan Potensial RTH


Berdasarkan hasil perhitungan AHP diketahui status lahan potensial memiliki eigen
factor terbesar yaitu 37,35. Dengan preferensi pada lahan pemerintah, diikuti dengan lahan
non pemerintah dan non pribadi, dan lahan pribadi. Dengan pengali tersebut, lahan
pemerintah dapat memiliki nilai sesudah pembobotan hingga 112.06. Berdasar parameter
maka presentasenya adalah 57.6% Skor 1, dilanjut 28.2% Skor 2, dan 13.6% Skor 3. Hasil
pengalian antara skor dan eigen factor status lahan dapat dilihat pada Tabel 4.46.
Tabel 4. 45
Hasil Penilaian Status Lahan Potensial RTH
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

1 MB-Bandulan-1 2 37.35 74.71


2 MB-Tanjungrejo-1 1 37.35 37.35
3 MB-Tanjungrejo-2 1 37.35 37.35
4 MTG-Arjowinangun-1 1 37.35 37.35
5 MTG-Arjowinangun-2 1 37.35 37.35
6 MTG-Arjowinangun-3 1 37.35 37.35
7 MTG-Arjowinangun-4 1 37.35 37.35
8 MTG-Arjowinangun-5 1 37.35 37.35
9 MTG-Arjowinangun-6 1 37.35 37.35
10 MTG-Bumiayu-1 1 37.35 37.35
11 MTG-Bumiayu-2 3 37.35 112.06
12 MTG-Buring-1 1 37.35 37.35
145

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

13 MTG-Buring-2 1 37.35 37.35


14 MTG-Mergosono-1 1 37.35 37.35
15 MTG-Tlogowaru-1 1 37.35 37.35
16 MTG-Tlogowaru-2 1 37.35 37.35
17 MT-Cemorokandang-1 2 37.35 74.71
18 MT-Kedungkandang-1 2 37.35 74.71
19 MT-Lesanpuro-1 1 37.35 37.35
20 MT-Lesanpuro-2 2 37.35 74.71
21 MT-Madyopuro-1 1 37.35 37.35
22 MT-Madyopuro-2 2 37.35 74.71
23 MT-Madyopuro-3 2 37.35 74.71
24 MT-Madyopuro-4 2 37.35 74.71
25 MT-Sawojajar-1 2 37.35 74.71
26 MT-Sawojajar-2 2 37.35 74.71
27 MT-Sawojajar-3 2 37.35 74.71
28 MT-Sawojajar-4 2 37.35 74.71
29 MT-Sawojajar-5 2 37.35 74.71
30 MTL-Arjosari-1 1 37.35 37.35
31 MTL-Arjosari-2 2 37.35 74.71
32 MTL-Arjosari-3 1 37.35 37.35
33 MTL-Balearjosari-1 2 37.35 74.71
34 MTL-Balearjosari-2 2 37.35 74.71
35 MTL-Balearjosari-3 1 37.35 37.35
36 MTL-Balearjosari-4 1 37.35 37.35
37 MTL-Blimbing-1 1 37.35 37.35
38 MTL-Pandanwangi-1 2 37.35 74.71
39 MTL-Pandanwangi-2 2 37.35 74.71
40 MTL-Polowijen-1 1 37.35 37.35
41 MTL-Polowijen-2 1 37.35 37.35
42 MTL-Polowijen-3 1 37.35 37.35
43 MTL-Polowijen-4 1 37.35 37.35
44 MTL-Polowijen-5 1 37.35 37.35
45 MTL-Purwantoro-1 1 37.35 37.35
46 MTL-Purwantoro-2 1 37.35 37.35
47 MTL-Purwodadi-1 1 37.35 37.35
48 MTL-Purwodadi-2 1 37.35 37.35
49 MTL-Purwodadi-3 2 37.35 74.71
50 MTL-Purwodadi-4 1 37.35 37.35
51 MU-Dinoyo-1 3 37.35 112.06
52 MU-Jatimulyo-1 1 37.35 37.35
53 MU-Jatimulyo-2 1 37.35 37.35
54 MU-Merjosari-1 1 37.35 37.35
55 MU-Merjosari-2 1 37.35 37.35
146

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan

56 MU-Merjosari-3 1 37.35 37.35


57 MU-Tlogomas-1 1 37.35 37.35
58 MU-Tulusrejo-1 2 37.35 74.71
59 MU-Tunjungsekar-1 1 37.35 37.35
60 TA-Merjosari 3 37.35 112.06
61 TA-Tunggulwulung 3 37.35 112.06
62 TA-A-Tlogomas 3 37.35 112.06
63 TA-Pandanwangi 3 37.35 112.06
64 TA-B-Lesanpuro 3 37.35 112.06
65 TA-C-Tlogowaru 3 37.35 112.06
66 TA-D-Tlogowaru 3 37.35 112.06
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.8 Penilaian Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH


Eigen Factor dari komposisi lansekap ruang hijau juga tidak terlalu besar, yaitu sebesar
5.76. Terdapat 66 lokasi memiliki skor sebesar 3, sehingga nilai sesudah pembobotannya
adalah sebesar 17.29, menjadikan 100% lahan potensial memiliki nilai yang sama. Hasil
perkalian antara skor dan bobot untuk variabel komposisi lansekap ditunjukkan dalam tabel
4.47
Tabel 4. 46
Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 3 5.76 17.29
2 MB-Tanjungrejo-1 3 5.76 17.29
3 MB-Tanjungrejo-2 3 5.76 17.29
4 MTG-Arjowinangun-1 3 5.76 17.29
5 MTG-Arjowinangun-2 3 5.76 17.29
6 MTG-Arjowinangun-3 3 5.76 17.29
7 MTG-Arjowinangun-4 3 5.76 17.29
8 MTG-Arjowinangun-5 3 5.76 17.29
9 MTG-Arjowinangun-6 3 5.76 17.29
10 MTG-Bumiayu-1 3 5.76 17.29
11 MTG-Bumiayu-2 3 5.76 17.29
12 MTG-Buring-1 3 5.76 17.29
13 MTG-Buring-2 3 5.76 17.29
14 MTG-Mergosono-1 3 5.76 17.29
15 MTG-Tlogowaru-1 3 5.76 17.29
16 MTG-Tlogowaru-2 3 5.76 17.29
17 MT-Cemorokandang-1 3 5.76 17.29
18 MT-Kedungkandang-1 3 5.76 17.29
19 MT-Lesanpuro-1 3 5.76 17.29
20 MT-Lesanpuro-2 3 5.76 17.29
147

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


21 MT-Madyopuro-1 3 5.76 17.29
22 MT-Madyopuro-2 3 5.76 17.29
23 MT-Madyopuro-3 3 5.76 17.29
24 MT-Madyopuro-4 3 5.76 17.29
25 MT-Sawojajar-1 3 5.76 17.29
26 MT-Sawojajar-2 3 5.76 17.29
27 MT-Sawojajar-3 3 5.76 17.29
28 MT-Sawojajar-4 3 5.76 17.29
29 MT-Sawojajar-5 3 5.76 17.29
30 MTL-Arjosari-1 3 5.76 17.29
31 MTL-Arjosari-2 3 5.76 17.29
32 MTL-Arjosari-3 3 5.76 17.29
33 MTL-Balearjosari-1 3 5.76 17.29
34 MTL-Balearjosari-2 3 5.76 17.29
35 MTL-Balearjosari-3 3 5.76 17.29
36 MTL-Balearjosari-4 3 5.76 17.29
37 MTL-Blimbing-1 3 5.76 17.29
38 MTL-Pandanwangi-1 3 5.76 17.29
39 MTL-Pandanwangi-2 3 5.76 17.29
40 MTL-Polowijen-1 3 5.76 17.29
41 MTL-Polowijen-2 3 5.76 17.29
42 MTL-Polowijen-3 3 5.76 17.29
43 MTL-Polowijen-4 3 5.76 17.29
44 MTL-Polowijen-5 3 5.76 17.29
45 MTL-Purwantoro-1 3 5.76 17.29
46 MTL-Purwantoro-2 3 5.76 17.29
47 MTL-Purwodadi-1 3 5.76 17.29
48 MTL-Purwodadi-2 3 5.76 17.29
49 MTL-Purwodadi-3 3 5.76 17.29
50 MTL-Purwodadi-4 3 5.76 17.29
51 MU-Dinoyo-1 3 5.76 17.29
52 MU-Jatimulyo-1 3 5.76 17.29
53 MU-Jatimulyo-2 3 5.76 17.29
54 MU-Merjosari-1 3 5.76 17.29
55 MU-Merjosari-2 3 5.76 17.29
56 MU-Merjosari-3 3 5.76 17.29
57 MU-Tlogomas-1 3 5.76 17.29
58 MU-Tulusrejo-1 3 5.76 17.29
59 MU-Tunjungsekar-1 3 5.76 17.29
60 TA-Merjosari 3 5.76 17.29
61 TA-Tunggulwulung 3 5.76 17.29
62 TA-A-Tlogomas 3 5.76 17.29
63 TA-Pandanwangi 3 5.76 17.29
148

No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan


64 TA-B-Lesanpuro 3 5.76 17.29
65 TA-C-Tlogowaru 3 5.76 17.29
66 TA-D-Tlogowaru 3 5.76 17.29
Sumber: Hasil Analisa, 2018

4.9.9 Peniliaian dan Ranking Lahan Potensial di Kota Malang


Setelah mengalikan bobot dengan eigen factor, masing masing variabel memiliki
hasil akhir perhitungan. Untuk mendapatkan nilai akhir pada masing-masing lokasi,
dilakukan penjumlahan hasil akhir pada setiap variabel per lokasi lahan potensial. Hasil
dasri penjumlahan tersebut dapat diurutkan untuk mengetahui ranking dari masing-masing
lahan potensial sesuai dengan kondisi lapangan dan pendapat yang diberikan oleh para ahli.
Perhitungan mengenai penjumlahan masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 4.48.
Tabel 4. 47
Hasil Penilaian Kriteria Lahan Potensial RTH
Pusat Fungsi Kawasan Status Komposisi
No. Kode Lokasi Luas Hirarki Stakeholder Total
Kota Lahan Perkotaan Lahan Lansekap
1 MB-Bandulan-1 5.77 9.64 21.68 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 177,26
2 MB-Tanjungrejo-1 5.77 9.64 21.68 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 125,98
3 MB-Tanjungrejo-2 5.77 9.64 21.68 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 125,98
4 MTG-Arjowinangun-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 118,76
5 MTG-Arjowinangun-2 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 118,76
6 MTG-Arjowinangun-3 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 130,30
7 MTG-Arjowinangun-4 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 124,53
8 MTG-Arjowinangun-5 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 124,53
9 MTG-Arjowinangun-6 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 118,76
10 MTG-Bumiayu-1 17.31 19.28 21.68 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 147,16
11 MTG-Bumiayu-2 17.31 19.28 14.46 4.36 20.32 9.56 112.06 17.29 214,64
12 MTG-Buring-1 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 139,85
13 MTG-Buring-2 11.54 9.64 21.68 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 141,31
14 MTG-Mergosono-1 5.77 28.91 21.68 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 145,26
15 MTG-Tlogowaru-1 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 130,30
16 MTG-Tlogowaru-2 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 124,53
17 MT-Cemorokandang-1 17.31 9.64 14.46 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 172,01
18 MT-Kedungkandang-1 5.77 28.91 21.68 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 186,98
19 MT-Lesanpuro-1 11.54 28.91 21.68 8.73 20.32 9.56 37.35 17.29 155,39
20 MT-Lesanpuro-2 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 189,31
21 MT-Madyopuro-1 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 143,64
22 MT-Madyopuro-2 5.77 9.64 14.46 8.73 20.32 28.67 74.71 17.29 179,59
23 MT-Madyopuro-3 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 189,31
24 MT-Madyopuro-4 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 189,31

149
150
Pusat Fungsi Kawasan Status Komposisi
No. Kode Lokasi Luas Hirarki Stakeholder Total
Kota Lahan Perkotaan Lahan Lansekap
25 MT-Sawojajar-1 5.77 9.64 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 170,03
26 MT-Sawojajar-2 11.54 9.64 21.68 4.36 20.32 19.12 74.71 17.29 178,67
27 MT-Sawojajar-3 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 74.71 17.29 198,87
28 MT-Sawojajar-4 5.77 28.91 21.68 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 186,98
29 MT-Sawojajar-5 5.77 9.64 21.68 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 167,70
30 MTL-Arjosari-1 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 139,85
31 MTL-Arjosari-2 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 74.71 17.29 204,64
32 MTL-Arjosari-3 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 143,64
33 MTL-Balearjosari-1 11.54 9.64 7.23 8.73 20.32 9.56 74.71 11.53 159,02
34 MTL-Balearjosari-2 11.54 9.64 7.23 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 168,57
35 MTL-Balearjosari-3 5.77 9.64 7.23 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 130,65
36 MTL-Balearjosari-4 5.77 28.91 7.23 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 149,92
37 MTL-Blimbing-1 17.31 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 37.35 17.29 173,05
38 MTL-Pandanwangi-1 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 179,75
39 MTL-Pandanwangi-2 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 185,52
40 MTL-Polowijen-1 17.31 19.28 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 149,49
41 MTL-Polowijen-2 5.77 19.28 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 137,95
42 MTL-Polowijen-3 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
43 MTL-Polowijen-4 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
44 MTL-Polowijen-5 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
45 MTL-Purwantoro-1 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
46 MTL-Purwantoro-2 17.31 28.91 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 149,57
47 MTL-Purwodadi-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 128,31
48 MTL-Purwodadi-2 5.77 28.91 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 157,15
49 MTL-Purwodadi-3 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 195,08
50 MTL-Purwodadi-4 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 37.35 17.29 157,72
Pusat Fungsi Kawasan Status Komposisi
No. Kode Lokasi Luas Hirarki Stakeholder Total
Kota Lahan Perkotaan Lahan Lansekap
51 MU-Dinoyo-1 5.77 9.64 14.46 13.09 20.32 19.12 112.06 17.29 211,75
52 MU-Jatimulyo-1 17.31 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 37.35 17.29 163,49
53 MU-Jatimulyo-2 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
54 MU-Merjosari-1 17.31 9.64 14.46 8.73 20.32 9.56 37.35 17.29 134,66
55 MU-Merjosari-2 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 130,30
56 MU-Merjosari-3 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 137,87
57 MU-Tlogomas-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 128,31
58 MU-Tulusrejo-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 74.71 17.29 175,23
59 MU-Tunjungsekar-1 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 124,53
60 TA-Merjosari 5.77 9.64 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 202,19
61 TA-Tunggulwulung 5.77 19.28 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 204,60
62 TA-A-Tlogomas 17.31 19.28 14.46 13.09 20.32 19.12 112.06 17.29 232,93
63 TA-Pandanwangi 17.31 28.91 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 233,01
64 TA-B-Lesanpuro 17.31 9.64 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 213,73
65 TA-C-Tlogowaru 17.31 9.64 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 206,50
66 TA-D-Tlogowaru 17.31 9.64 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 206,50
Sumber: Hasil Analisa, 2018

151
152

Selanjutnya, untuk mengetahui lokasi lahan yang potensial untuk dikembangkan


sebagai RTH, penelitian ini menggunakan pengelompokan prioritas. Pengelompokan
tersebut didasarkan kepada pembagian kelas interval berdasarkan skoring yang diberikan.
Untuk dapat membagi data kedalam kelas-kelas interval secara benar, penelitian ini
menggunakan metode Sturges. Berikut adalah langkah langkah untuk menentukan interval
kelas :
1. Range
Range adalah rentang selisih diantara data terbesar dikurangi data terkecil. Range dapat
dirumuskan sebagai berikut :
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 𝑋 𝑚𝑎𝑘𝑠 − Xmin..............(4-3)
Sehingga dalam penelitian ini, range yang didapatkan adalah :
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 233.01 − 118.76
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 114.25
2. Banyaknya kelas dengan rumus :
𝐾 = 1 + (3.332 𝑥 𝐿𝑜𝑔10𝑁)...............(4-4)

Penelitian ini memiliki total 66 data. Sehingga dalam penelitian ini, banyaknya kelas
yang didapatkan adalah :

𝐾 = 1 + (3.332 𝑥 𝐿𝑜𝑔1066)
𝐾 = 1 + (3.332 𝑥 1.819543936)
𝐾 = 1 + 6.004494987
𝐾 = 7.004494987 ~ 7
3. Interval kelas
Interval kelas/panjang kelas adalah selisih antara data terbesar dengan data terkecil
dibagi dengan banyaknya kelas, dapat dirumuskan :
𝑟
𝑝=
𝑘 ………….(4-5)
Dalam penelitian ini, interval kelas yang ditemukan adalah sebesar :

114.25
𝑝=
7
𝑝 = 16.31
153

Mengingat bahwa pemerintah tentunya memiliki keterbatasan dalam pengalokasian


APBD, maka perhitungan kelas interval tersebut akhirnya memunculkan skala prioritas
pembangunan pada masing-masing lokasi. Lokasi yang berada pada kelas interval 1
merupakan lokasi paling strategis untuk pengembangan RTH, sehingga akuisisinya
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Sebaliknya, lokasi yang berada pada kelas interval
7 merupakan lokasi yang kurang strategis bagi pembangunan RTH. Meski dapat
digunakan, namun lokasi tersebut mungkin akan memiliki nilai guna yang lebih tinggi
apabila digunakan untuk mngakomodasi kebutuhan akan fungsi lain.
Berdasarkan klasifikasi berdasarkan kelas interval, lahan dengan kategori prioritas I
untuk pembangunan RTH adalah TA-A-Tlogomas dan TA-A Pandanwangi. Pada Prioritas
2 terdapat 8 lahan, yaitu MTG- Bumiayu-2, MTL-Arjosari-2, MU-Dinoyo-1, TA-
Merjosari, TA-Tungulwulung, TA-B-Lesanpuro, TA-C-Tlogowaru dan TA-D-Tlogowaru.
Prioritas 3 juga memiliki jumlah lahan potensial sebesar 8 titik. Prioritas 4 memiliki jumlah
lahan potensial sebesar 10 titik, sama dengan prioritas 5 yang juga memiliki jumlah lahan
potensial sebesar 10 titik. Prioritas 6 memiliki jumlah 12 titik lahan potensial. Sisanya
sebanyak 16 titik berada pada prioritas 7. Tabel 4.49 menunjukkan hasil pembagian lokasi
potensial berdasarkan perhitungan kelas interval secara lebih rinci.
Tabel 4. 48
Kelas Prioritas Menggunakan Metode Sturges
No Kode Lokasi Total Kelas Interval
1 TA-A-Tlogomas 232,92 1
2 TA-Pandanwangi 233,00 1
3 MTG-Bumiayu-2 214,64 2
4 MTL-Arjosari-2 204,63 2
5 MU-Dinoyo-1 211,74 2
6 TA-Merjosari 202,19 2
7 TA-Tunggulwulung 204,60 2
8 TA-B-Lesanpuro 213,73 2
9 TA-C-Tlogowaru 206,50 2
10 TA-D-Tlogowaru 206,50 2
11 MT-Kedungkandang-1 186,97 3
12 MT-Lesanpuro-2 189,30 3
13 MT-Madyopuro-3 189,30 3
14 MT-Madyopuro-4 189,30 3
15 MT-Sawojajar-3 198,86 3
16 MT-Sawojajar-4 186,97 3
17 MTL-Pandanwangi-2 185,51 3
18 MTL-Purwodadi-3 195,07 3
19 MB-Bandulan-1 177,25 4
20 MT-Cemorokandang-1 172,01 4
154

No Kode Lokasi Total Kelas Interval


21 MT-Madyopuro-2 179,59 4
22 MT-Sawojajar-1 170,03 4
23 MT-Sawojajar-2 178,66 4
24 MT-Sawojajar-5 167,70 4
25 MTL-Balearjosari-2 168,57 4
26 MTL-Blimbing-1 173,05 4
27 MTL-Pandanwangi-1 179,75 4
28 MU-Tulusrejo-1 175,22 4
29 MTL-Balearjosari-1 159,01 5
30 MT-Lesanpuro-1 155,39 5
31 MTL-Polowijen-3 153,36 5
32 MTL-Polowijen-4 153,36 5
33 MTL-Polowijen-5 153,36 5
34 MTL-Purwantoro-1 153,36 5
35 MTL-Purwodadi-2 157,14 5
36 MTL-Purwodadi-4 157,72 5
37 MU-Jatimulyo-1 163,49 5
38 MU-Jatimulyo-2 153,36 5
39 MTG-Bumiayu-1 147,16 6
40 MTG-Buring-1 139,85 6
41 MTG-Buring-2 141,31 6
42 MTG-Mergosono-1 145,26 6
43 MT-Madyopuro-1 143,64 6
44 MTL-Arjosari-1 139,85 6
45 MTL-Arjosari-3 143,64 6
46 MTL-Balearjosari-4 149,92 6
47 MTL-Polowijen-1 149,49 6
48 MTL-Polowijen-2 137,95 6
49 MTL-Purwantoro-2 149,57 6
50 MU-Merjosari-3 137,87 6
51 MB-Tanjungrejo-1 125,98 7
52 MB-Tanjungrejo-2 125,98 7
53 MTG-Arjowinangun-1 118,75 7
54 MTG-Arjowinangun-2 118,75 7
55 MTG-Arjowinangun-3 130,29 7
56 MTG-Arjowinangun-4 124,52 7
57 MTG-Arjowinangun-5 124,52 7
58 MTG-Arjowinangun-6 118,75 7
59 MTG-Tlogowaru-1 130,29 7
60 MTG-Tlogowaru-2 124,52 7
61 MTL-Balearjosari-3 130,64 7
62 MTL-Purwodadi-1 128,31 7
63 MU-Merjosari-1 134,65 7
64 MU-Merjosari-2 130,29 7
65 MU-Tlogomas-1 128,31 7
66 MU-Tunjungsekar-1 124,52 7
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Gambar 4. 30 Peta Lokasi Kelas Prioritas

155
156
Gambar 4. 31 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Utara
Gambar 4. 32 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Timur Laut

157
158
Gambar 4. 2 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Timur
Gambar 4. 3 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Tenggara

159
160

Berdasarkan perhitungan dalam Gambar 4.19, dapat diketahui jika luas 20%
kebutuhan RTH publik berdasar wilayah perkotaan sebesar 2.221,6 Ha, dengan
ketersediaan telah mencapai 1.634,35 Ha dan kekurangan mencapai 587,25 Ha. Dalam arti
kata, pemenuhan RTH publik perkotaan telah mencapai 14.71% dari wilayah perkotaan
dan perlu penambahan sebesar 5.29% jika dipersentasekan.
Jumlah lahan kosong potensial untuk dapat dikembangkan menjadi RTH publik di
Kota Malang adalah sebesar 126,1 Ha atau setara 1,14% jika dihitung berdasar wilayah
perkotaan. Dengan adanya pernambahan tersebut, maka total pemenuhan RTH di Kota
Malang dapat diasumsikan berada pada angka 15,85%. Oleh karena itu, masih dibutuhkan
4.15% agar luasan RTH publik perkotaan mencapai presentase 20% wilayah perkotaan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar
4.35.

14.71%

1.14%
4.15%

80%

Luas Wilayah Perkotaan Ketersediaan RTH Publik Perkotaan Luas Lahan Potensial
Kekurangan Lahan untuk Mencapai Standar RTH Publik Perkotaan

Gambar 4. 35 Persentase Pemenuhan Lahan RTH Publik Terhadap Lahan Perkotaan

Jika melihat pada Gambar 4.34 terdapat 4.15% luasan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar kebutuhan RTH publik perkotaan, seluas 461.15 Ha. Luas lahan
potensial yang teridentifikasi belum mampu menjawab kekurangan RTH publik perkotaan
di Kota Malang. Dengan batasan bahwa lahan potensial tersebut tidak mengalami alih
fungsi lahan dan bisa dikembangkan secara optimal menjadi Ruang Terbuka Hijau Publik,
merujuk pada dinamika pertimbuhan penduduk bahwa kebutuhan akan RTH Publik akan
meningkat dari tahun ke tahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa penelitian Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam
Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan data yang dihimpun, menunjukkan bahwa ketersediaan lahan ruang
terbuka hijau publik adalah sebesar 1.634,35 Ha, dimana luasan RTH Publik
sebesar 1.379,47 Ha dan luasan potensi lain berupa sempadan seluas 254,88 Ha atau
jika dihitung hanya memenuhi 14,71% dari 20% kebutuhan RTH Publik kota.
Sehingga untuk memenuhi ketentuan RTH Publik sebesar 20% dari luasan kota
sebesar 2.221,6 Ha, maka Kota Malang masih membutuhkan tambahan 5,29% RTH
atau sebesar 587,25 Ha. Demikian pula apabila standar pemenuhan RTH tersebut
diukur melalui kebutuhan perkapita. Berdasarkan jumlah penduduknya, maka Kota
Malang masih memiliki kekurangan RTH sebesar 668,99 Ha. Penjabaran hasil
sebagai berikut:
a. RTH di Kota Malang 78.7% didominasi oleh makam, disusul dengan 7.1%
merupakan sempadan sungai, 5.4% berupa sempadan SUTT, 2.7% merupakan
jalur hijau, 1.6% sempadan mata air, 1.2% berupa median jalan, 1.1% sempadan
rel KA, 1% Taman kota, 0.5% berupa Taman lingkungan serta 0.4% merupakan
PSU dan hutan kota. Dari pembagian tersebut terlihat bahwa pada dasarnya,
pembagian RTH berdasarkan klasifikasi jenisnya belum proporsional.
b. Kota Malang memiliki total luasan lahan kosong sebesar 264,94 Ha. Ditambah
dengan aset tanah Pemerintah Kota Malang yang dapat dikembangkan seluas
46,87 Ha. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa luasan lahan kosong yang
teridentifikasi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan RTH publik perkotaan.
2. Untuk menilai potensi lahan, dokumen RAKH mencantumkan 8 kriteria yang dapat
dijadikan acuan dalam penyediaan RTH publik, yaitu (i) luasan lahan, (ii) hierarki
jalan, (iii) kedekatan terhadap pusat kegiatan, (iv) pengawasan stakeholder terkait,
(v) fungsi lahan, (vi) lokasi kepada kawasan perkotaan, (vii) status lahan, dan (viii)
komposisi ruang hijau. Untuk mendapatkan hasil yang objektif, dilakukan penilaian
berdasarkan kondisi fisik lahan dengan melakukan observasi lapangan. Berdasarkan
kriteria potensi lahan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:

161
162

a. Berdasarkan penyaringan pertama terhadap kriteria lahan, terdapat sebaran 66


lahan kosong pada 6 BWP yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai
RTH di Kota Malang. Secara rinci, BWP Malang Barat memiliki 3 titik dengan
luasan sebesar 2,01 Ha. BWP Malang Tenggara memiliki 13 titik dengan luasan
sebesar 25,65 Ha. BWP Malang Timur juga memiliki 13 titik dengan luasan
lebih rendah yaitu sebesar 13.16 Ha. BWP Timur Laut memiliki 22 titik dengan
luasan sebesar 38,15 Ha. BWP Malang Utara memiliki 12 titik dengan luasan
sebesar 22,07 Ha. Terakhir, BWP Malang Tenggara memiliki 3 titik dengan
luasan sebesar 25,06 Ha.
b. Lahan potensial tersebut kemudian diobservasi secara lebih mendetail
berdasarkan kriteria yang terdapat pada dokumen RAKH. Beberapa temuan
yang ada pada pengamatan ini, antara lain adalah :
1) Luas minimum lahan potensial RTH memiliki presentase sebesar 40.9%
lahan dengan luas (5.000 m2 < Luas lahan < 9.000 m2), dilanjut 30.3% lokasi
lahan (9.000 m2 < Luas lahan < 24.000 m2), dan 28.8% luas lahan ( >
24.000 m2).
2) Aksesibilitas RTH sebaran presentasenya adalah 54.5% hiraki jalan lokal,
dilanjut 9.09% hirarki jalan kolektor, dan 36.4% hirarki jaringan jalan arteri.
3) Kedekatan RTH terhadap pusat kota presentasenya adalah 16.7% lokasi
lahan berada pada Jarak > 7 km dari pusat kota, dilanjut 72.7% berada pada
(3,5 < Jarak < 7 km) dari pusat kota, dan 10.6% terletak pada jarak < 3,5 km
dari pusat kota
4) Pengawasan stakeholder terkait memiliki presentase 54.5% pengawasan
tujuan, dilanjut 33.3% pengawasan standar, dan 12.1% merupakan
engawasan sistem evaluasi
5) Fungsi lahan memiliki total 100% lahan potensial merupakan arahan lahan
kawasan budidaya yang memiliki nilai yang sama.
6) Lokasi pada kawasan perkotaan sebaran presentasenya adalah 47.0% (Jarak
> 1.000 m) dari pusat kawasan perkotaan, dilanjut 36.4% (Jarak 500 m-
1.000 m), dan 16.7% (Jarak < 500 m) dari pusat kawasan perkotaan.
7) Berdasar parameter status lahan maka presentasenya adalah 57.6% lahan
milik pribadi, dilanjut 28.2% merupakan lahan selain aset pemerintah &
lahan pribadi, dan 13.6% Aset Pemerintah
163

8) Komposisi ruang hijau memiliki nilai 100% lahan potensial merupakan


memenuhi kaidah koefisien hijau untuk RTH.
3. Berdasarkan pendapat para ahli yang didapatkan dari hasil pengolahan data
terhadap kuesioner AHP, maka secara runtut, kriteria terpenting dalam mengasses
pontensi lahan untuk pembangunan RTH adalah : status lahan dengan bobot 0.374,
fungsi lahan (0.203), aksesibilitas RTH (0.096), lokasi pada kawasan perkotaan
(0.096), kedekatan terhadap pusat kegiatan (0.072), luas minimum RTH (0.058),
komposisi lansekap ruang hijau (0.058) dan pengawasan stakeholder terkait
(0.044). Walaupun para ahli memiliki pendapat berbeda pada masing-masing
variabel, urutan pertama kriteria terpenting pada masing-masing kuesioner adalah
variabel status lahan. Hasil dari pembobotan yang diberikan oleh ahli, menjadi
pengali terhadap nilai yang didapatkan dari observasi. Sehingga diperoleh nilai
untuk masing-masing variabel pada masing-masing lokasi potensial. Nilai variabel
tersebut kemudian ditambahkan untuk mendapatkan skor akhir dari masing-masing
lahan potensial. Sehingga dapat dibuat peringkat untuk menentukan lahan mana
yang seharusnya menjadi fokus dalam pembangunan RTH.
4. Untuk mendapatkan kelompok-kelompok prioritas pembangunan, digunakan
metode Sturges yang mengklasifikasikan nilai berdasarkan kelas interval. Dari hasil
penghitungan rumus sturges, maka diketahui hasil sebagai berikut:
a. Secara perhitungan, objek dalam penelitian ini dapat terbagi kedalam 7 kelas
prioritas. Lokasi yang berada pada kelas interval 1 merupakan lokasi paling
strategis untuk pengembangan RTH, sehingga prioritas akuisisi dapat dilakukan
sesegera mungkin. Sebaliknya, lokasi yang berada pada kelas interval 7
merupakan lokasi yang kurang strategis bagi pembangunan RTH.
b. Berdasarkan klasifikasi berdasarkan kelas interval, lahan dengan kategori
prioritas I untuk pembangunan RTH adalah TA-A-Tlogomas dan TA-A
Pandanwangi. Pada Prioritas 2 terdapat 8 lahan, yaitu MTG- Bumiayu-2, MTL-
Arjosari-2, MU-Dinoyo-1, TA-Merjosari, TA-Tungulwulung, TA-B-Lesanpuro,
TA-C-Tlogowaru dan TA-D-Tlogowaru. Prioritas 3 juga memiliki jumlah lahan
potensial sebesar 8 titik. Prioritas 4 memiliki jumlah lahan potensial sebesar 10
titik, sama dengan prioritas 5 yang juga memiliki jumlah lahan potensial sebesar
10 titik. Prioritas 6 memiliki jumlah 12 titik lahan potensial. Sisanya sebanyak
16 titik berada pada prioritas 7.
164

Jumlah lahan kosong potensial untuk dapat dikembangkan menjadi RTH publik di
Kota Malang adalah sebesar 126,1 Ha atau setara 1,14% jika dihitung berdasar wilayah
perkotaan. Dengan adanya pernambahan tersebut, maka total pemenuhan RTH di Kota
Malang dapat diasumsikan berada pada angka 15,85%. Oleh karena itu, masih
dibutuhkan 4.15% atau setara 461.15 Ha agar luasan RTH publik perkotaan mencapai
presentase 20% wilayah perkotaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

5.2 Saran
5.2.1 Pemerintah
1. Karena telah menggunakan kriteria yang selaras dengan dokumen RAKH,
rekomendasi prioritas lahan potensial yang terdapat pada penelitian ini dapat
digunakan sebagai salah satu acuan dalam membuat arahan pengembangan RTH
Publik di Kota Malang.
2. Memperbaharui kriteria dan landasan teori mengenai lahan potensial RTH Publik.
Perlu adanya kajian ulang syarat kriteria lahan ideal secara lebih mendetail,
sehingga lahan yang diakuisi dapat berfungsi efektif dan efisien untuk pemenuhan
RTH di Kota Malang dan tidak berpotensi untuk menimbulkan permasalahan di
kemudian hari,
3. Menyikapi persoalan kurangnya luasan RTH publik dan ketersediaan lahan kosong
yang tidak memadai, pemerintah perlu merumuskan langkah langkah kreatif dalam
pemenuhan RTH Publik di Kota Malang.

5.2.2 Akademisi
Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan pada penelitian ini. Adapun
kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel yang digunakan untuk penelitian ini perlu untuk dikaji secara lebih
mendalam. Karena mengacu pada dokumen RAKH, variabel dapat bersifat tidak
universal dan menjadi tidak ideal untuk diimplementasikan di lokasi lainnya.
2. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dibahas secara rinci mengenai
rekomendasi penyediaan sesuai jenis RTH, oleh karena itu diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai penyesuaian jenis rencana RTH yang dipilih, maka dari itu
kriteria, bobot, maupun nilai sampai stakeholder/expert yang digunakan pasti
berbeda dengan yang telah dicantumkan dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Trananda Pratama dan Indrajati, Petrus Nalivan. 2012. Strategi Pengadaan Lahan
untuk Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung. Disertasi. Institut Teknologi
Bandung.

Achsan, A. C. 2015. Analisis Kesesuaian Lokasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau


Publik di Kecamatan Palu Timur dan Palu Barat. Arsitektur Lansekap, 1 (2): 81-90.

Anastasia, Shella dan Sulistyarso, Haryo. 2016. Arahan Optimalisasi RTH Publik
Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Jurnal Teknik Its Vol. 5, No. 2.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang. 2015. Peyusunan Rencana Aksi
Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Publik. Malang.Pemerintah
Kota Malang

Bintarto, 1989, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia.

Black, J.A. (1981), Urban Transport Planning: Theory and Practice, London, Cromm

Helm Budiharjo, Eko.1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung : Alumni.

Budiharjo, Eko. 1995. Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Dan Pembangunan Daerah
Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta

Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05


Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan
Umum.

Department of Transport, Planning, and Local Infrastructure. 2013. Creating Liveable


Open Space. State Government of Victoria. Australia.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.2005.Makalah


Lokakarya Pengembangan Sistem RTH Di Perkotaan.Bogor.Laboratorium
Perencanaan Lansekap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB.

Desutama. 2007. Jalan Arteri Primer. Politeknik Negeri Bandung. Bandung

DuPisani,J.A.2006.SustainableDevelopment–HistoricalRootsOfThe
Concept. Environmental Sciences, 3(2), 83-96.

Donnelly, J. H., Gibson, J. L., Ivancevich, J. M. 1996. Organisasi Edisi 8 Jilid 1. Jakarta:
Binarupa Aksara.

Fandeli, Chafid. 2004. Perhutanan Kota. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

FAO Of The United Nations. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Sollis Bulletin
Vol 32.
165
166

Miro, Fidel. 1997. Sistem Transportasi Kota. Bandung: Transito.

Ganura, I & Kustiawan, I. Potensi Sediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi . Jurnal Perencanan Wilayah

Hammer, S., Kamal-Chaoui, L., Robert, A., & Plouin, M. 2011. Cities and green growth: a
conceptual framework. OECD Regional Development Working Papers, 2011(8), 1.

Hidayat, Agus & Prabantoro, Gatot. 2004. Memilih Vendor Pengembang Sistem Informasi
Manajemen Menggunakan Metode AHP. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi. Yogyakarta.

Hidayat, Muchtar. 2012. Manajemen Aset (Privat dan Publik). Jakarta : Laks Bang
PRESSindo.

Ikhsanuddin, Nanda Satriana. 2015. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan RTH Publik
Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2015. Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung

Jayadinata, T. Johara. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan. Pedesaan Perkotaan dan
Wilayah. Institut Teknologi Bandung

Kadarman. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi I’ Cet. II. Jakarta: LP3ES

Kementerian Pekerjaan Umum.2011. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Panduan


Pelaksanaan 2011.Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Kreitner, Robert. 1992. Management (5th ed.). Boston: Houghton Mifflin.

Mardiasmo, 2002, “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”. Penerbit. ANDI,


Yogyakarta

Marimin, M.Sc., Prof., Dr., Ir (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambil. Keputusan Kriteria
Majemuk. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung.PT. Remaja Rosdakarya.

Nugroho, Hermawan Cahyo, Soesilo Zauhar, & Suryadi. 2014. Koordinasi Pelaksanaan
Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Nganjuk. Jurnal J-
PAL, 5(1) : 12-22.

OECD. 2009. Green Cities: New Approaches to Confronting Climate Change. OECD
Workshop Proceedings. Spain.

Pemerintah Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang

Pemerintah Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
167

Pemerintah Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Pemerintah Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.29/PRT/M/2006


tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

Pemerintah Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tentang Pengelolaan Barang


Milik Negara/Daerah yang telah mendapat penyempurnaan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008

Pemerintah Indonesia. 2008. Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman


Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik


Negara/Daerah

Primadasa, Y., & Amalia, V. (2017). Penerapan Metode Multi Factor Evaluation Process
untuk Pemilihan Tanaman Pangan di Kabupaten Musi Rawas. SISFO 7 Vol 7 No
1, 7.

Purwadhi Sri Hardyanti, Tjaturhardjo Budi Sanjoto(2007). Pengantar Interpretasi Citra


Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN-UNNES.

Purwanto, T. H. (2006). Panduan Sistem Informasi Geografi. Yogyakarta: Fakultas


Geografi Universitas Gadjah Mada

Rianse, Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi.
Bandung: CV. Alfabeta.

Saaty, Thomas. 1993. The analytic hierarchy process: A 1993 overview. Central European
Journal for Operations Research and Economics. Vol. 2, No. 2, p. 119-137.

Sari, R & Kustiawan, K. 2010. Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik di Kota Pesisir. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 2 no 21, 45.

Siagian P, Sondang. 2000. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta : Bumi Aksara

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Swastha, Basu. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapan. Jakarta:
Penerbit Liberty.

Tanan, N & Suprayoga, G.B. 2015. Fasilitas Pejalan Kaki dalam Mendukung Program
Pengembangan Kota Hijau. Jurnal HPJI Vol 1 No 1, 17.

Tarigan, R. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah (Edisi Revisi). Jakarta : PT.Bumi


Aksara.

Zoer’aini. 1997. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta : Codesiando.
168

Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai