SKRIPSI
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
BAGUS ARTANDIO
NIM. 115060601111024
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA FAKULTAS
TEKNIK MALANG
2018
IDENTITAS TIM PENGUJI SKRIPSI
JUDUL SKRIPSI:
Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik Perkotaan di Kota Malang
KOMISI PEMBIMBING:
Ketua : Deni Agus Setyono, ST., M.Eng.
Anggota : Eddi Basuki Kurniawan, ST., MT
Bagus Artandio, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya, Juli 2018, Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan
Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang, Dosen Pembimbing: Deni Agus
Setyono, ST., M.Eng. dan Eddi Basuki Kurniawan, ST., MT
Kota Malang merupakan salah satu pioner dalam pengembangan Green Cities di
Indonesia. Salah satu atribut penting dari penciptaan green cities adalah ketersedian
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memiliki fungsi utama sebagai penjaga
keseimbangan ekologi kota. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 disebutkan
bahwa kondisi ideal RTH suatu perkotaan adalah mencakup 30% luas kota, yang terbagi
kedalam 20% RTH Publik dan 10% RTH privat. Namun, saat ini luasan RTH di Kota
Malang belum mencapai ketentuan tersebut. Tidak terpenuhinya kondisi ideal tersebut
akan mempengaruhi kondisi lingkungan, dan kondisi sosial budaya.
Pemerintah Kota Malang telah menyadari kebutuhan untuk mengembangkan RTH
eksisting. Salah satunya tercantum dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH),
yaitu program kolaborasi antara pemerintah kota/kabupaten, untuk mewujudkan
komitmen kota hijau. Namun demikian, Dokumen Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH)
yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, ternyata belum memuat
rencana spesifik untuk memenuhi luasan ruang terbuka hijau publik sebesar 20%.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan prioritas lokasi lahan
potensial yang dapat dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau publik. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif berupa analisis potensial areal, Analytic Hierarchy
Process, dan analisis skoring.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa di Kota Malang, pemenuhan kebutuhan
akan luasan RTH sesuai dengan ketetapan UU No 26 Tahun 2007 masih menjadi
permasalahan. Saat ini, secara eksisting RTH Publik yang berada pada Kota Malang
baru mencapai 14,71% (1.634,35 Ha) dari keseluruhan luasan kota. Sehingga untuk
memenuhi ketentuan RTH Publik sebesar 20% dari luasan kota, Kota Malang masih
membutuhkan tambahan RTH sebesar 587,25 Ha. Demikian pula apabila standar
pemenuhan RTH tersebut diukur melalui kebutuhan perkapita. Berdasarkan jumlah
penduduknya, maka Kota Malang masih memiliki kekurangan RTH sebesar 668,99 Ha.
Saat ini, Kota Malang memiliki total luasan lahan kosong sebesar 264,94 Ha.
Ditambah dengan aset tanah Pemerintah Kota Malang yang dapat dikembangkan seluas
46,87 Ha. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk juga terus memacu laju kebutuhan akan
fungsi lahan lainnya. Jika dihitung, terdapat 4.15% luasan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar kebutuhan RTH publik perkotaan, seluas 461,15 Ha. Luas lahan
potensial yang teridentifikasi ternyata belum mampu menjawab kekurangan RTH publik
perkotaan di Kota Malang..
Dari hasil analisa, diketahui bahwa lahan dengan kategori prioritas I untuk
pembangunan RTH adalah TA-A-Tlogomas dan TA-A Pandanwangi. Pada Prioritas 2
terdapat delapan lahan, yaitu MTG- Bumiayu-2, MTL-Arjosari-2, MU-Dinoyo-1, TA-
Merjosari, TA-Tungulwulung, TA-B-Lesanpuro, TA-C-Tlogowaru dan TA-D-
Tlogowaru. Selain lahan tersebut, tersebar 56 lahan kosong lainnya pada 6 BWP di
Malang Raya.
i
SUMMARY
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang. Penulis menyadari
bahwa tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yaitu Bapak Hadi Purwanto dan Ibu Sri Lestariningsih (Alm.) , Adik
Cantika Putri Hariyanti serta seluruh keluarga yang telah memberi doa dan dukungan
dalam proses perkuliahan.
2. Bapak Deni Agus Setyono dan Bapak Eddi Basuki Kurniawan selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia memberikan pengarahan serta bimbingan.
3. Bapak Surjono dan Bapak Chairul Maulidi selaku dosen penguji yang telah bersedia
memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.
4. Dosen-dosen serta staf dan karyawan pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota,
terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan
5. Terimakasih kepada rekan-rekan “History Maker” PWK FT-UB 2011, yang telah
memberikan bantuan baik dalam proses perkuliahan dan organisasi.
6. Terimakasih kepada Daneta Fildza Adany yang telah menemani penulis, memberikan
motivasi, dukungan dan bantuannya selama ini.
7. Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendukung
terselesaikannya Tugas Akhir ini.
Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak demi terciptanya penelitian yang lebih baik di masa
mendatang. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN........................................................................................................................i
SUMMARY............................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...............................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah...............................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Studi.............................................................................................4
1.5.1 Ruang Lingkup Materi Studi.....................................................................4
1.5.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi...................................................................6
1.6 Kerangka Pemikiran...............................................................................................8
1.7 Sistematika Pembahasan........................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................11
2.1 Tinjauan Tentang Ruang Terbuka Hijau..............................................................11
2.1.1 Definisi Ruang Terbuka Hijau.................................................................11
2.2 Tinjauan tentang Rencana Aksi Kota Hijau.........................................................11
2.2.1 Jenis RTH dalam wilayah Kota berdasarkan RAKH Kota Malang.........12
2.2.2 Strategi Penetapan dan Pengembangan RTH berdasarkan
RAKH Kota Malang................................................................................15
2.2.3 Tahapan Pengembangan RTH Berdasarkan RAKH Kota Malang..........17
2.3 Pengadaan Ruang Terbuka Hijau.........................................................................17
2.3.1 Ketentuan Pengadaan RTH berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008.........................................................17
2.3.2 Prosedur Perencanaan RTH.....................................................................19
2.3.3 Pengadaan Lahan RTH............................................................................22
2.4 Tinjauan Aset Pemerintah....................................................................................31
2.5 Tinjauan Metode Analytical Hierarcy Process....................................................32
2.6 Tinjauan Multifactor Evaluation Process (Analisis Pembobotan/Skoring)........34
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG).......................................................................35
2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu.............................................................................36
2.9 Kerangka Teori....................................................................................................40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................41
3.1 Definisi Operasional........................................................................................41
3.2 Jenis Penelitian................................................................................................42
3.3 Instrumen Penelitian........................................................................................43
3.3.1 Penentuan Variabel...............................................................................43
3.3.2 Penentuan Parameter.............................................................................46
3.3.3 Penentuan Responden Ahli...................................................................51
3.4 Diagram Alir Penelitian..................................................................................51
iv
v
DAFTAR TABEL
vi
Tabel 4. 35 Matriks Perbandingan....................................................................................130
Tabel 4. 36 Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector................................................131
Tabel 4. 37 Perhitungan Nilai Konsistensi.......................................................................131
Tabel 4. 38 Peringkat Faktor Berdasarkan Faktor............................................................132
Tabel 4. 39 Peringkat Faktor Berdasarkan Pembobotan..................................................132
Tabel 4. 40 Hasil Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial RTH.................................133
Tabel 4. 41 Hasil Penilaian Aksesibilitas Lahan Potensial RTH......................................135
Tabel 4. 42 Hasil Penilaian Kedekatan Lahan Potensial terhadap Pusat Kota.................137
Tabel 4. 43 Hasil Penilaian Pengawasan Stakeholder Lahan Potensial...........................139
Tabel 4. 44 Hasil Penilaian Fungsi Lahan Potensial........................................................140
Tabel 4. 45 Hasil Penilaian Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan......142
Tabel 4. 46 Status Lahan Potensial RTH..........................................................................144
Tabel 4. 47 Komposisi Lansekap/Ruang Hijau Lahan Potensial RTH............................146
Tabel 4. 48 Hasil Penilaian Kriteria Lahan Potensial RTH..............................................149
Tabel 4. 49 Kelas Prioritas Menggunakan Metode Sturges.............................................153
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Kota Malang merupakan salah satu pioner dalam pengembangan Green Cities di
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari pencapaian Kota Malang sebagai Best Practice Green
City dalam 2nd ASEAN Mayors Forum 2015 pada 9-11 September oleh United Cities and
Local Government (UCLG). Karena pencapaian terhadap pembangunan berkelanjutan
yang baik, Kota Malang juga mendapatkan bantuan finansial dari Asean Development Bank
(ADB). Hal ini tentunya tidak terlepas dari komitmen Pemerintah Kota Malang yang
nampak dari disusunnya Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) beserta program-program
pendukungnya.
Sejalan dengan konsep Green Cities yang mengusung RTH, dokumen RAKH juga
menyebutkan bahwa salah satu atribut dalam perwujudan kota hijau adalah tersedianya
Green Open Space atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menyikapi pentingnya peranan RTH
dalam perkotaan, Kota Malang menuangkan perencanaan dan pengembangan RTH dalam
Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang 2010-2030.
Sedangkan tolak ukur keberhasilan pengembangan RTH dapat ditinjau melalui dokumen
RAKH yang didukung dengan Perda Kota Malang Nomor 4 tahun 2011 tentang RTRW
Kota Malang 2010-2030. Dari dokumen tersebut, tolak ukur keberhasilan pembangunan
RTH di Kota Malang dapat ditinjau dari dua aspek utama, yaitu aspek kuantitas dan aspek
kualitas.
Aspek kuantitas menilai ketercukupan pemenuhan RTH dalam suatu kota, dimana
aturan mengenai standar pencapaiannya tertuang dalam Peraturan Menteri No 5 Tahun
2008. Peraturan tersebut mengklasifikasikan RTH berdasarkan kepemilikannya kedalam
dua kelompok, yaitu RTH dengan kepemilikan publik dan RTH dengan kepemilikan
privat. Tentunya, pemerintah memiliki wewenang yang lebih besar dalam menyediakan
RTH publik, yang juga berfungsi sebagai ruang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan kenyamanan, relaksasi, dan kegiatan pasif di luar aktivitas sehari-hari yang biasa
dilakukan masyarakat. Karena kebermanfaatan yang luas tersebut, ruang kota harus
menyediakan ruang publik yang cukup untuk memelihara interaksi antar penghuninya.
Undang-Undang No 26 tahun 2007 menyebutkan bahwa standar minimum RTH perkotaan
adalah 30%, yang terbagi menjadi RTH Publik dengan presentase sebesar 20% dan RTH
Privat dengan presentase sebesar 10%.
Pada aspek inilah Kota Malang dihadapkan pada kenyataan bahwa komitmen untuk
mencanangkan pembangunan yang berkelanjutan terkadang terbentur oleh hal-hal tertentu.
Saat ini, secara eksisting Kota Malang memiliki RTH yang terbagi dalam : (i) RTH Jalur
Jalan, (ii) RTH Taman, (iii) RTH Lapangan Olahraga dan Makam, (iv) RTH Hutan Kota,
(v) RTH Pengaman Jalur Kereta Api, (vi) RTH Pengaman Jalur SUTT, (vii) RTH Sempadan
3
Sungai. Luasan RTH publik Kota Malang tersebut baru mencapai 14,71% dari luas kota
Malang 110,08 km2. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga keseimbangan
ekologis secara ideal, Kota Malang masih perlu menambah luasan RTH Publik sebesar
5,29% dari luas perkotaan.
Mengingat pentingnya peranan RTH dalam kehidupan kota, kurangnya RTH di
Kota Malang tentunya akan menimbulkan masalah karena ketidakseimbangan yang
diciptakan. Misalnya, berkurangnya produksi oksigen dan air tanah, ketidakstabilan iklim,
hilangnya sarana berinteraksi masyarakat, hingga berkurangnya estetika suatu wilayah
perkotaan. Pemerintah Kota Malang, sebagai pemerintah yang berkomitmen terhadap
pembangunan berkelanjutan, telah berupaya untuk menambah luasan taman di Kota. Akan
tetapi upaya tersebut masih terbentur kepada dua masalah utama, yaitu (i) perencanaan
tersebut belum memenuhi standar luasan RTH dan (ii) belum adanya penjelasan teknis
terhadap rencana pengembangan RTH baru.
Melihat besarnya kebutuhan lahan RTH di Kota Malang dan minimnya penjelasan
teknis, dikhawatirkan rencana pengembangan tersebut akan mendapat kendala pada tahap
implementasinya. Terlebih saat ini Kota Malang belum menerapkan rencana preskriptif
untuk mencegah adanya kekurangan lahan di masa yang akan datang. Tanpa adanya
rencana preskriptif, upaya pemenuhan lahan menjadi lebih berat karena terdesak oleh
kebutuhan penduduk atas peruntukan lahan lainnya. Maka dari itu, penelitian Prioritasi
Lokasi Penyediaan Lahan Dalam Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik
Perkotaan di Kota Malang ini menjadi penting untuk dilakukan. Adapun penelitian ini akan
berfokus kepada detail pemenuhan RTH publik dan pemetaan potensi lokasi sebagai upaya
peningkatan proporsi RTH publik berdasarkan arahan dokumen RAKH.
2. Terdapat empat kota yang menjadi pencontohan kota hijau untuk kota se-Asia
Tenggara. Terpilihnya Kota Malang sebagai kota hijau merupakan hal yang
selayaknya diperhatikan oleh pemerintah Kota Malang untuk membenahi atribut
kota hijau. Salah satunya adalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau. Prestasi yang
dicapai oleh Kota Malang setidaknya akan menjadi panutan kota/kabupaten
lainnya, namun kondisi riil ruang terbuka hijau masih belum memenuhi syarat
maupun standar yang berlaku.
3. Dokumen RAKH telah mencantumkan garis besar pengembangan RTH di Kota
Malang, namun diperlukan penjabaran yang lebih detail dan bersifat teknis agar
pengembangan RTH dapat diimplementasikan dengan baik.
7
8
1.6 Kerangka Pemikiran
11
12
dengan manfaat penting hutan kota berupa manfaat lingkungan yang terdiri atas
konservasi mikroklimat, keindahan, serta konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli,
2004).
Kehadiran pohon dalam lingkungan kehidupan manusia, khususnya
diperkotaan, memberikan nuansa kelembutan tersendiri. Perkembangan kota yang
lazimnya diwarnai dengan aneka rona kekerasan, dalam arti harfiah ataupun kiasan,
sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen alamiah seperti air (baikyang
diam-tenang maupun yang bergerak-mengalir) dan aneka tanaman (mulai dari
rumput, semak sampai pohon) (Budihardjo, 1993).
Dalam pelaksanaan pembangunan hutan kota dan pengembangannya,
ditentukan berdasarkan pada objek yang akan dilindungi, hasil yang dicapai dan
letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan letaknya, hutan kota dapat dibagi
menjadi lima kelas yaitu :
1. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi
terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon
dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;
2. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas
minimal 2500 m. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar
dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil;
3. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90% - 100% dari luas
hutan kota;
4. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti
bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal
hutan kota berbentuk jalur adalah 30 m.
Hutan kota dibuat dengan tujuan sebagai penyangga lingkungan kota yang
berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika,
meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian olingkungan fisik kota,
serta mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati.
3. Sabuk Hijau
Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan
untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah
kawasan,dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar
tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Sabuk hijau dapat berbentuk: RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area
atau
14
puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk mata air, RTH terletak pada
garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar
mata air.
2.2.2 Strategi Penetapan dan Pengembangan RTH berdasarkan RAKH Kota
Malang
Pemerintah Kota Malang melalui Rencana Aksi Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Pu
Ruang. Peraturan tersebut mensyaratkan proporsi RTH pada wilayah kota paling
sedikit 30% persen wilayah dan khusus untuk RTH publik sebesar 20% luas wilayah.
Rumus perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut :
Melalui hasil perhitungan kebutuhan RTH tersebut dapat diketahui apakah luas
RTH di suatu wilayah telah sesuai peraturan yang berlaku atau terdapat kekurangan
luasan sehingga perlu penambahan. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota. Adapun target luas sebesar 30% dari luas wilayah
kota dapat dicapai secara bertahapmelalui pengalokasian lahan perkotaan sebagaimana
Gambar 2.1.
peraturan yang berlaku. Standar luas RTH perkapita berikut luasan minimal RTH
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008
tertera pada tabel 2.3. Berdasar pada peraturan tersebut diketahui bahwa untuk menjaga
kondisi lingkungan yang ideal, setiap kapita individu memiliki kebuthan terhadap
luasan RTH yang harus dipenuhi. Maka dari itu, kebutuhan agregat RTH di suatu kota
dapat diketahui berdasarkan perkalian antara kebutuhan perkapita terhadap jumlah
penduduknya. Luasan RTH terhadap jumlah penduduk dilakukan perhitungan sebagai
berikut:
Berikut adalah proporsi luas ideal RTH Publik yang menjadi acuan pemerintah
dalam pengembangan RTH perkotaan.
Tabel 2. 1
Proporsi RTH per Jumlah Penduduk
Luas minimal/
No RTH Luas Minimal/unit (m2) Lokasi
kapita (m2)
Dikelompokkan
3 Taman Kelurahan 9.000 dengan
0,3 sekolah/pusat
kelurahan
Dikelompokkan
Taman Kecamatan 24.000 dengan
0,2 sekolah/pusat
4 kecamatan
144.000 (disesuaikan-
Pemakaman
uk. 1,2 Tersebar
120 ribu jiwa)
Dipusat
Taman Kota 144.000 0,3 wilayah
kota
1.920.000 Didalam/
Hutan Kota (disesuaikan-uk 40 ribu 4,0 kawasan
5 jiwa) pinggiran
6.000.000
Untuk fungsi Sesuai
(disesuaikan- uk 12,5
tertentu kebutuhan
480ribu jiwa)
Sumber: Permen PU No 5 Tahun 2008
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat aspek-aspek diluar hal-hal tersebut yang
mempengaruhi pembangunan RTH yang ideal.
Rencana Aksi Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Publik Kota
Malang menyebutkan bahwa terdapat 8 kriteria lahan ideal untuk pengembangan RTH.
Kriteria penentuan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau publik di kota Malang antara
lain, yaitu (i) Luas minimum lahan RTH; (ii) Aksesibilitas RTH; (iii) Kedekatan dengan
pusat kota; (iv) Pengawasan dari stakeholder terkait; (v) Fungsi lahan; (vi) Lokasi terletak
pada kawasan perkotaan; (vii) Status kepemilikan lahan; dan (viii) Komposisi ruang hijau
minimum. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kriteria tersebut.
1. Luas minimal Lahan RTH
Kondisi ini mengacu pada Permen PU No 05 Tahun 2008 yang memuat batas
luasan minimal RTH berdasarkan cakupan wilayahnya serta berdasarkan jumlah
penduduk. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa luasan RTH Taman RT
minimal sebesar 250 m2, Taman RW sebesar 1250 m2, Taman Kelurahan 9000 m2,
RTH Kecamatan 24.000 m2, Taman Kota 144.000 m2 dan Hutan Kota sebesar
1.920.000 m2. Batas tersebut memiliki pertimbangan terhadap kebermanfaatan dan
kegunaan RTH. Oleh karena itu, apabila luasan lahan tidak memenuhi kriteria,
dikhawatirkan fungsi RTH tidak berjalan secara optimal.
2. Aksesibilitas RTH
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bagi seluruh lapisan masyarakat,
idealnya lokasi RTH memiliki aksesibilitas yang baik. Black (1981) menyebutkan
bahwa pada dasarnya aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau
kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain, yang mana dapat
diukur melalui mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi.
Untuk mengukur nilai aksesibilitas menjadi sebuah variabel kuantitatif,
(Bintarto,1989)
Sistem Jaringan Jalan adalah suatu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang
berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. Berdasarkan
sistem jaringannya, jalan dikelompokkan ke dalam klasifikasi fungsi dan kelas jalan
meliputi jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder, sedangkan berdasarkan
peranannya, jalan dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor dan jalan
lokal.
Jaringan jalan secara tidak langsung menentukan aksesibilitas RTH. Apabila
didukung dengan jaringan jalan yang memadai, penduduk dapat mengakses RTH
23
melalui beragam moda transportasi. Dengan aksesibilitas yang baik frekuensi dan
jangkauan penggunaan RTH menjadi meningkat, sehingga manfaat dari keberadaan
RTH dapat dinikmati secara inklusif dan berkala. Kenyamanan menggunakan
fasilitas juga dipengaruhi oleh jarak dan waktu tempuh. Berdasarkan standar,
bahwa jarak tempuh terjauh pejalan kaki yang dianggap masih nyaman adalah
(300-400) meter.
Hirarki jaringan jalan dibagi berdasarkan fungsi strategisnya terhadap
kepentingan nasional. Oleh karena itu, jaringan jalan terdiri dari ruas-ruas jalan
yang menghubungkan satu dengan yang lain pada titik pertemuan yang merupakan
simpul-simpul transportasi yang dapat memberikan alternatif pilihan bagi pengguna
jalan, Semakin tinggi dan strategis peranan jalan tersebut terhadap kepentingan
nasional, maka simpul transportasinya akan menjadi semakin baik. Miro (1997) dan
Desutama (2007) mengklasifikasikan ketiga tingkatan hierarki jalan tersebut
sebagai berikut :
a. Sebagai penghubung berbagai kepentingan, jalan arteri dapat melayani
berbagai macam angkutan. Jalan arteri memiliki lebar badan jalan > 8.0 m
dengan kapasitas dan volume yang besar. Jalan arteri tidak boleh terganggu
kegiatan lokal dan tidak terputus meski memasuki wilayah perkotaan.
b. Jalan Kolektor tidak dapat melayani angkutan jarak jauh. Lebar badan jalan
lebih kecil, yaitu > 7.0 m, dengan kapasitas dan volume lalu lintas rata-rata.
Jalan kolektor juga tidak terganggu oleh kegiatan lokal dan tidak terputus
dalam wilayah perkotaan.
c. Jalan Lokal hanya dapat melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat)
dengan kecepatan rata-rata rendah. Lebar badan jalan >6.0 m dengan
kapasitas dan volume kecil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hirarki jalan yang lebih tinggi
akan memberikan tingkat mobilitas dan pilihan yang lebih baik kepada
penggunanya. Sehingga lokasi yang berada dekat dengan herarki jalan tinggi
memiliki aksesibilitas yang lebih baik Dalam pengukuran aksesibilitas, semakin
banyak sistem jaringan yang tersedia pada daerah tersebut maka semakin tinggi
tingkat aksesibilitasnya. Sebaliknya, semakin sedikit sistem jaringan jalan yang
tersedia, maka daerah tersebt menjadi semakin sulit dijangkau sehingga tingkat
aksesibilitas daerah tersebut semakin rendah.
24
apabila aspek tersebut dipertahankan dan dikembangkan agar ruang terbuka yang
sudah ada berfungsi lebih optimal. Apabila lahan tidak berbatasan langsung,
setidaknya lahan dapat difungsikan menjadi koridor hijau atau sebagai penghubung
antar ruang terbuka yang telah tersedia.
Menurut Nugroho (2014), stakeholder dalam program pembangunan dapat
diklasifikasikan berdasarkan peranannya, antara lain:
a. Policy creator yaitu stakeholder yang berperan sebagai pengambil
keputusan dan penentu suatu kebijakan
b. Koordinator yaitu stakeholder yang berperan mengkoordinasikan
stakeholder lain yang terlibat.
c. Fasilitator yaitu stakeholder sebagai fasilitator yang berperan menfasilitasi
dan mencukupi apa yang dibutuhkan kelompok sasaran
d. Implementer yaitu stakeholder pelaksana kebijakan yang di dalamnya
termasuk kelompok sasaran, dan;
e. Akselerator yaitu stakeholder yang berperan mempercepat dan memberikan
kontribusi agar suatu program dapat berjalan sesuai sasaran atau bahkan
lebih cepat waktu pencapaiannya.
Menurut Kadarman (1999) terdapat empat langkah utama dalam proses
pengawasan, yaitu :
a. Menetapkan Tujuan
Karena perencanaan dilakukan untuk mencapai sesuatu, maka tahapan awal
dalam proses pengawasan adalah menyepakati tujuan yang ingin dicapai.
b. Menetapkan Standar
Karena tujuan merupakan tolak ukur untuk merancang pengawasan dalam
perencanaan, maka secara langkah selanjutnya dalam proses pengawasan
adalah menyusun standar dalam menjalankan perencanaan.
c. Mengukur Kinerja
Langkah ketiga dalam pengawasan adalah mengukur atau mengevaluasi
kinerja yang dicapai terhadap standar yang telah ditentukan.
d. Memperbaiki Penyimpangan
Proses pengawasan tidak akan lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan
terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu,
perbaikan penyimpangan merupakan tahapan akhir dalam sebuah
pengawasan untuk memastikan perencanaan berjalan sebagaimana mestinya.
26
mantap dan seimbang diperlukan diantara sektor primer, sekunder, dan sektor
tersier.
Untuk mengukur kedekatan dengan kawasan perkotaan, Achsan (2015)
menggunakan variabel kedekatan jarak dari pusat kota. Variabel tersebut dibagi
kedalam tiga kategori yaitu:
a. Dekat, yaitu lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kota
b. Sedang, yaitu lokasi dengan jarak 500-1000 m dari pusat kota, dan
c. Jauh, yaitu lokasi dengan jarak > 1000 m dari pusat kota
Pembangunan RTH mempertimbangkan kemudahan penduduk untuk
menggunakan fasilitas RTH. Untuk membuat RTH yang dapat dinikmati secara
rutin, sebaiknya RTH dibangun pada daerah yang dekat dengan pusat penduduk.
Selain tingkat mempertimbangkan konsentrasi penduduk saat ini, pembangunan
RTH juga dapat dilakukan pada daerah yang teridentifikasi memiliki potensi
menjadi daerah padat penduduk di masa yang akan datang.
7. Status lahan
Dalam pendataan administrasi dan sustainabilitas jangka panjang, status lahan
RTH menjadi faktor yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, status yang
dinilai akan menunjang sustainabilitas RTH adalah status tanah negara. Karena
kepemilikannya sebagai asset pemerintah memperkecil kemungkinan adanya
konflik dan meminimalisir biaya akuisisi tanah dalam pengembangan RTH.
Tidak adanya kejelasan status hukum atas kepemilikan lahan menyebabkan
kemungkinan terjadinya konflik di kemudian hari. Satriana (2016) dalam
penelitiannya mengungkapkan, inisiasi pembangunan RTH di Bandar Lampung
pada tahun 2009 tidak memiliki kejelasan status hukum. Sehingga dalam
perkembangannya, lokasi yang diklaim sebagai taman hutan kota tersebut
kemudian diambil alih oleh pemilik lahan swasta dan menjadi kawasan pusat
ekonomi. Anastasia dan Sulisyarto (2016) mengungkapkan bahwa status hukum
lahan merupakan salah satu preferensi utama dalam pengembangan lahan RTH.
Hak atas tanah pada hakikatnya merupakan hubungan hukum konkrit antara
orang (termasuk badan hukum) dengan tanah, dimana hubungan tersebut
memperoleh perlindungan hukum. Tujuan dari hak tanah adalah memberikan
kepastian hukum terhadap hubungan hukum sehingga pemegang hak dapat
menjalankan kewenangan/isi hak tanahnya dalam koridor hukum yang berlaku.
30
an. Pada situasi dimana kita dapat dengan mudah menentukan evaluasi dan penilaian
terhadap berbagai faktor keputusan, proses evaluasi multi faktor sebagaimana yang dibahas
sebelumnya telah bekerja dengan baik. Pada kasus yang lebih kompleks, para pengambil
keputusan mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan secara akurat berbagai nilai
faktor dan evaluasi. Untuk masalah yang lebih kompleks, proses Analytic Hierarchy
Process (AHP) dapat digunakan. AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dan
dipublikasikan pertama kali dalam bukunya tahun 1980, The Analytic Hierarchy Process.
AHP dilakukan dengan memanfaatkan perbandingan berpasangan (pairwise
comparison). Pengambil keputusan dimulai dengan membuat lay out dari keseluruhan
hirarki keputusannya. Hirarki tersebut menunjukkan faktor – faktor yang ditimbang serta
berbagai alternatif yang ada. Kemudian, sejumlah perbandingan berpasangan dilakukan,
untuk mendapatkan penetapan nilai faktor dan evaluasinya. Sebelum penetapan, terlebih
dahulu ditentukan kelayakan hasil nilai faktor yang didapat dengan mengukur tingkat
konsistensinya. Pada akhirnya alternatif dengan jumlah nilai tertinggi dipilih sebagai
alternatif terbaik.
Metode ini pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang
yang berhubungan dengan erat dengan preferensi di anrara berbagai alternatif. Metode
tersebut juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan,
alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki saat situasi
konflik. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tak
terstruktur, startegis, dan dinamik menjadi bagian bagiannya serta menata dalam suatu
hirarki.
Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif
tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi
hasil pada system tersebut (Marimin, 2004)
Menggunakan metode AHP, kemungkinan orang memperhalus definisi mereka
pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan. Dalam menetapkan prioritas elemen-elemen dalam suatu persoalan
keputusan yaitu dengan membuat perbandingan berpasang (Saaty, 1993). Adapun skala
banding berpasangan yang digunakan dalam meode AHP yaitu dapat dilihat pada tabel 2.2.
34
Tabel 2. 2
Skala Banding Secara Berpasangan
Skala/tingkat
Definisi Penjelasan
kepentingan
Dua elemen penyumbang sama kuat pada
1 Kedua elemen sama pentingnya
sifatnya
Pengalaman dan pertimbangan
Elemen yang satu sedikit lebih
3 sedikit meyokong satu elemen atas
penting ketimbang lainnya
elemen
lainnya
Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan dengan
5 sangat penting dari elemen kuat meyokong satu elemen atas elemen
lainnya lainnya
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong dan
7
dari elemen lainnya dominasinya telah terlibat dalam praktek
Bukti yang menyokong elemen yang satu
Satu elemen mutlak lebih
9 memiliki tingkat penegasan tertinggi
penting ketimbang lainnya
yang mungkin menguatkannya
Nilai-nilai di antara dua
Kompromi doperlukan diantara dua
2,4,6,8 pertimbangan lainnya yang
pertimbangan
berdekatan
Beberapa kelebihan dari metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 1993)
1. AHP memberi satu modal tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur
2. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas
3. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan
dalam menetapkan berbagai prioritas
4. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi merka pada suatu persoalan dan
memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan
pertama tama seluruh kriteria yang menjadi faktor penting dalam melakukan pertimbangan
diberikan pembobotan (Weighting) yang sesuai. Langkah yang sama juga dilakukan
terhadap alternative-alternatif yang akan dipilih, yang kemudian dapat dievaluasi berkaitan
dengan faktor-faktor pertimbangan tersebut.
MFEP merupakan metode yang serupa dengan AHP tetapi lebih sederhana. Dalam
penerapan MFEP yang harus dilakukan pertama kali adalah penentuan faktor faktor yang
dianggap penting dalam pemilihan yang dilakukan. Sebagai contoh ditetapkan bahwa
faktor- faktor tersebut adalah x,y, dan z. langkah selanjutnya adalah pembandingan faktor
faktor tersebut untuk mendapatkan mana faktor yang paling penting, kedua terpenting , dan
seterusnya. Selanjutnya memberikan pembobobtan kepada faktor-faktor yang digunakan
dimana total pembobotan harus sama dengan 1 ( Σ pembobotan = 1).
Implikasi Program
Pengembangan Kota Mengkaji capaian
Luas RTH di Kota Semarang Persamaan : Mengkaji
Hijau (P2KH) terhadap sasaran dan
telah memenuhi standar 30% permasalahan luasan
Pemenuhan Luasan manfaat dari Luas RTH
Analisis Deskriptif namun persebarannya tidak ruang RTH
2. Ruang Terbuka Hijau pelaksanaan P2KH Sebaran RTH
Kualitatif, merata. Terdapat kendala dalam Perbedaan : Metode analisa
(RTH) Perkotaan dalam menambah Besaran
Rasionalistik pemenuuhan lahan, sistem yang digunakan, dan variabel
(Yohanes Eka Putra, besaran RTH di Atribut Hijau
lelang, dan penyediaan solar penelitian berbeda.
Margareta Maria Kawasan Perkotaan lainnya
cell.
Sudarwani)
37
38
Judul dan Nama
No. Tujuan Variabel Metode Analisis Output Perbandingan
Peneliti
Mengelola
parameter penyebab
Pemanfaatan Data
banjir dengan Curah hujan
Penginderaan Jauh dan Persamaan : Menggunakan
menggunakan Citra Landsat
SIG untuk Analisa Daerah bahaya banjir yang metode SIG dalam penelitian
perangkat lunak SIG DAS Sistem Informasi
Banjir , Studi Kasus dibuat Pemerintah Provinsi DKI untuk memetakan suatu
4. Membuat peta Tekstur Geografis,
DKI Jakarta (Yuan 100% semuanya masuk dalam lokasi
bahaya banjir Tanah Metode Skoring
Karisma, Yanto daerah sangat bahaya banjir Perbedaan : fokus dan
untuk kawasan DEM SRTM
Budisusanto, Indah variabel penelitan
DKI Jakarta Daerah titik
Prasasti) berbeda.
dengan metode bahaya banjir
skoring,
pembobotan, dan
SIG
39
1. Prioritasi
Prioritasi dapat diartikan sebagai yang mendahulukan atau mengutamakan sesuatu
daripada yang lain. Mengingat adanya keterbatasan dalam pemenuhan RTH di Kota
malang, maka diperlukan urutan perencanaan yang jelas. Oleh karena itu, penelitian
ini dimaksudkan untuk mencari prioritasi mengenai urutan serta peringkat lahan
potensial yang harus diutamakan dalam rangka memenuhi luasan RTH Publik di
Kota Malang.
2. Lokasi
Lokasi adalah tempat dimana suatu usaha atau aktivitas usaha dilakukan (Swastha,
2002). Dalam penelitian ini, lokasi yang dimaksudkan adalah lahan yang masih
kosong, serta potensial untuk dikembangkan sebagai RTH Publik. Selain itu, lokasi
juga dapat diartikan sebagai posisi pasti dalam ruang. Dalam pandangan tersebut,
lokasi memiliki dua makna, yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut
adalah lokasi yang ditentukan oleh sistem koordinat garis lintang dan bujur.
Sedangkan lokasi relatif adalah lokasi suatu objek yang nilainya ditentukan oleh
objek-objek di sekitarnya. Penelitian ini lebih banyak melakukan pendekatan
kepada lokasi relatif, untuk mengetahui potensi dan kebermanfaatannya sebagai
RTH Pubik.
41
42
3. Penyediaan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyediaan dapat diartikan
sebagai proses, cara, atau perbuatan menyediakan. Dalam penelitian ini, penyediaan
yang dimaksudkan berkaitan dengan proses, cara, dan perbuatan untuk
menyediakan lahan potensial yang dapat dikembangkan sebagai RTH publik di
Kota Malang.
4. Lahan
Lahan dapat didefinisikan sebagai seluruh sumber daya yang dapat dimanfaatkan di
bawah, pada, maupun di atas suatu bidang. Namun dalam keseharian, lahan lebih
banyak diartikan sebagai tanah. Dalam penelitian ini, lahan yang menjadi fokus
utama objek penelitian adalah lahan kosong, atau terbuka yang belum memiliki
fungsi lain, dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai RTH di Kota
Malang. Dengan mengetahui jumlah lahan potensial, proyeksi peningkatan luasan
RTH di Kota Malang dapat diketahui. Selain itu, lahan tersebut akan diurutkan
sesuai prioritasnya untuk mengetahui lokasi-lokasi penting yang dapat segera
diakuisisi oleh pemerintah.
5. Upaya Pemenuhan
Upaya pemenuhan adalah suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam
rangka mencapai suatu ketentuan atau target yang ditetapkan. Dalam penelitian ini,
target yang dimaksudkan adalah ketetapan bahwa luasan RTH minimal mencapai
20% dari luasan administratif perkotaan. Saat ini, Kota Malang belum mencapai
persentase tersebut. Oleh karena itu kegiatan yang disarankan dalam penelitian ini
adalah penambahan RTH publik berdasarkan lokasi prioritas yang ditemukan.
6. Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007, RTH adalah area memanjang/jalur dan atau
mengelompok, penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sementara
public mengacu kepada penggunaan RTH yang bersifat inklusif, sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat umum. Perkotaan merujuk pada lokasi RTH, yaitu pada
kawasan perkotaan.
2. Mengidentifikasi lahan yang Lokasi dan luasan lahan Creating Liveable Open Mengidentifikasi sebaran lahan
dapat diprioritaskan dalam Lahan Potensial kosong serta lahan aset potensial yang dapat diarahkan
upaya menyediakan Ruang Space 2013, RAKH
pemerintah pemanfaatannya menjadi RTH
Terbuka Hijau Publik Kota 2015
Malang
Luas minimum RAKH 2015, Permen PU No.
Luas minimum lahan RTH
lahan 2
5 2008
RTH 5.000 m
No Tujuan Variabel Parameter Sumber Keterangan
45
46
kolektor juga tidak terganggu oleh kegiatan lokal dan tidak terputus dalam
wilayah perkotaan.
c. Jalan Lokal hanya dapat melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat)
dengan kecepatan rata-rata rendah. Lebar badan jalan > 6 m dengan kapasitas
dan volume kecil.
3. Kedekatan Pusat Kota
Tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan,
ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat
keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Dalam keadaan yang
mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata,
1999) seperti diterangkan di bawah ini.
a. Tiap pusat pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan
radius 3,5 km (satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak
di pusat kawasan tersebut.
b. Kawasan komersial akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan
jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km.
c. Perkembangan dan pelayanan pusat kota tidak akan mencapai diluar radius 7 km
4. Pengawasan Stakeholder Terkait
Pengawasan merupakan salah satu faktor determinan dari manajemen lahan.
Siagian (2000) menyebutkan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi
organik yang menunjang keberhasilan pembangunan dan pemanfaatan lahan.
Kreitner (1992) memiliki tiga pendekatan dalam memahami pengawasan dengan
mempertimbangkan input, proses, dan output. Pendekatan tersebut antara lain
adalah :
a. Tujuan
Tujuan adalah target yang menjelaskan apa yang harus dicapai dan kapan hal
tersebut harus dicapai.
b. Standar
Apabila tujuan berfungsi sebagai target terukur, maka standar berfungsi sebagai
tonggak penunjuk pada cara untuk mencapai target tersebut.
c. Sistem Evaluasi
Penilaian kinerja diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh fungsi telah
sesuai dengan tujuan dan standar yang ditetapkan. Dengan adanya pengawasan
sebagai
48
menggunakan variabel kedekatan jarak dari pusat kota. Variabel tersebut dibagi
kedalam tiga kategori yaitu:
a. Dekat, yaitu lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kota
b. Sedang, yaitu lokasi dengan jarak 500-1.000 m dari pusat kota, dan
c. Jauh, yaitu lokasi dengan jarak > 1000 m dari pusat kota
7. Status lahan
Anastasia dan Sulistyarto (2016) mengungkapkan bahwa status hukum lahan
merupakan salah satu preferensi utama dalam pengembangan lahan RTH.
Sedangkan Satriana (2016) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa inisiasi
pembangunan RTH sebaiknya dilakukan dengan prioritas berikut :
a. Pada lahan milik individu atau pribadi, apabila mengacu pada hak milik tanah.
b. Peneliti menambahkan kriteria berupa lahan dengan kepemilikan pribadi non-
pribadi/pemerintah(aset), dengan pertimbangan badan-badan hukum lain yang
kelengkapan dokumen, proses transaksi, dan pertanggung jawaban yang sah.
c. Pada lahan yang dimiliki oleh pihak pemerintah, sehingga dokumen dan aspek
legalitasnya menjadi lebih jelas, serta sejalan dengan program dan peraturan
pemerintah terkait penelitian yang dilakukan.
8. Komposisi Lansekap/Ruang Hijau
Koefisien Dasar Hijau (KDH) merupakan angka ruang terbuka alamiah
merupakan bagian dari ruang di luar bangunan yang tidak tertutup oleh beton/tidak
ada penghambat bagi air untuk meresap kedalam tanah. Dalam peraturan RAKH,
komposisi ruang hijau diatur dalam perbandingan 70:30 untuk hardscape dan
material ramah lingkungan. Hal ini perlu diperhatikan untuk mengakomodir fungsi
RTH sebagai retainer air tanah. Selain itu, dalam Permen PU No.29/PRT/M/2006
juga mempertimbangkan pemenuhan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Sehingga
peneliti menggunakan skala berikut untuk memberikan pembobotan KDH :
a. Lahan dengan perbandingan 30:70 untuk tutupan hijau dan material lainnya
b. Lahan dengan perbandingan antara 30:70 – 70:30 untuk tutupan hijau dan
material lainnya
c. Lahan dengan perbandingan 70:30 atau lebih untuk tutupan hijau dan material
lainnya
50
Tabel 3. 2
Parameter Penelitian
No Variabel Indikator Parameter Skor
Lokal 1
Aksesibilitas Hirarki Jaringan Kolektor
2 RTH Jalan Kota 2
Arteri 3
Pengawasan Tujuan 1
Peran serta
Pengawasan
pengawasan Pengawasan Standar 2
4 Stakeholder
Terkait stakeholder
terhadap lahan Pengawasan Sistem Evaluasi 3
Aset Pemerintah 3
kesesuaian pada setiap sub kriteria dimana skor yang diberikan berada pada skala 1-3 (skor
3 = kesesuaian tinggi, skor 2 = kesesuaian sedang, dan skor 1 = kesesuaian rendah).
3.3.3 Penentuan Responden Ahli
Penentuan sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini digunakan
karena responden yang dipilih adalah responden yang memenuhi kriteria sesuai dengan
tujuan penelitian. Kriteria pertama adalah memiliki keahlian atau menguasai secara
akademik bidang yang diteliti. Kriteria kedua yaitu memiliki reputasi dan kedudukan atau
jabatan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti.
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah ahli atau stakeholder yang
dijadikan kemudian dipilih beberapa orang untuk dijadikan sampel dalam penelitian,
sampel berasal baik dari instansi pemerintah dan akademisi. Jumlah responden yang
digunakan sebanyak 3 orang berdasarkan atas pertimbangan bahwa yang dijadikan
responden merupakan orang yang paham dan mengerti tentang potensi penyediaan RTH
ditujukan untuk mendukung program Rencana Aksi Kota Hijau di Kota Malang. Adapun
para ahli atau stakeholder yang akan diperoleh persepsinya dengan menggunakan teknik
wawancara dengan kuesioner antara lain
Tabel 3. 3
Stakeholder yang Dipilih Sebagai Responden
Observasi Lapangan,
1 Lokasi lahan potensial
Dokumentasi Lapangan
Observasi Lapangan,
2 Karakteristik & kriteria lahan potensial
Dokumentasi Lapangan
Adapun secara lebih lanjut variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan
dalam subbab desain penelitian.
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya dokumen. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini
dapat dilihat dari Tabel.
Tabel 3. 5
Data Sekunder Penelitian
No. Data Sekunder Sumber Data
1 Luasan RTH di Kota Malang (2015) Bappeda Kota Malang
2 Jenis RTH Aktual Kota Malang (2015) DKP, RAKH Kota Malang
3 Lokasi RTH di Kota Malang (2015) DKP, RAKH Kota Malang
5 Luasan BWP Kota Malang (2015) RDTR Kota Malang
6 Data Kependudukan BWP Kota Malang (2010) BPS Kota Malang
Lokasi dan Luasan Lahan Aset Pemerintah
7 DKP, Bappeda
dan Lahan Kosong Potensial (2016)
8 Land Use Kota Malang (2011) Bappeda Kota Malang
54
2. Wawancara
Maksud dilakukan wawancara untuk mengetahui informasi tentang pribadi
responden, perasaan, pendapat, anggapan, aktivitas, motivasi dan tujuan (Moleong
2004). Metode wawancara dilakukan untuk mendukung kegiatan observasi lapangan.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hasil pengamatan lapangan yang dilakukan
oleh peneliti. Dengan adanya wawancara, memungkinkan adanya penambahan data
yang
55
5. Melakukan perhitungan dari setiap kriteria sehingga didapatkan peta area lahan
yang berpotensi untuk pengembangan RTH pada lokasi penelitian.
Analisis potensi areal untuk pengembangan RTH mengacu pada hasil analisis dari
penggunaan lahan. Analisis ini mempertimbangkan kriteria yang merupakan variabel
dalam penelitian, yang digunakan dalam penyusunan prioritas pengembangan RTH di
dalam dokumen RAKH.
Luas areal penambahan RTH yang telah didigitasi kemudian ditambahkan dengan
luas RTH aktual dan dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah
penduduk untuk mengetahui apakah dengan penambahan luas areal RTH dapat mencukupi
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan dilakukan dengan
analisis deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Penentuaan bobot kriteria menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP)
Metode AHP digunakan untuk memperoleh penlaian atau persepsi dari stakeholder guna
mencari nilai masing-masing variabel kriteria yang di gunakan dalam penelitian.
Penggunaan metode ini dilakukan dengan cara pembagian kuesioner ke beberapa ahli yang
telah dutentukan sebelumnya. Pembobotan untuk menentukan nilai kepentingan antara
beberapa kriteria ditinjau dari penilaian responden yang terdapat pada kuesioner. Teknik
perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau
pendapat dari responden yang dianggap sebagai keyperson, yaitu dapat terdiri atas
pengambil keputusan, para ahli, serta orang yang terlibay dan memahami permasalahn
yang dihadapi. Adapun tahap-tahap dan rumus dalam metode AHP adalah sebagai berikut
(Saaty, 1993)
Tabel 3. 6
Perbandingan Berpasangan
Number of things 1 2 3 4 5 6 7 N
𝑛(𝑛 − 1)
Number of comparison 0 1 3 6 10 15 21
2
Tabel 3. 7
Matriks Perbandingan
Kedekatan
Luasan Komposisi
RTH Pengawa-san Lokasi pada
minimum Aksesibili- Fungsi Status Lansekap/
Indikator terhadap Stakeholder Kawasan
lahan tas RTH Lahan Lahan Ruang
Pusat Terkait Perkotaan
RTH Hijau
Kegiatan
Luasan
minimum lahan 1
RTH
Aksesibilitas
1
RTH
Kedekatan RTH
terhadap Pusat 1
Kegiatan
Pengawasan
Stakeholder 1
Terkait
Fungsi Lahan 1
Lokasi pada
Kawasan 1
Perkotaan
Status Lahan 1
Komposisi
Lansekap/Ruang 1
Hijau
Total
Dalam hal ini A1, A2, A3,……… An adalah set elemen paada satu tingkat dalam
hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk
matriks n x n. nilai matriks merupakan nilai pendapat hasil perbandingan yang
mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj. selanjutnya menjumlahkan nilai
dalam setiap kolom dan membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah
pada kolom tersebut agar memperoleh matriks yang dinormalisasi. Kemudian
dilakukan penentuan priority vectors atau vektor prioritas. Semakin tinggi nilai
vektor prioritas maka akan semakin tinggi prioritasnya. Penentuan prioritas dengan
mengambil nilai vektor prioritas yang tinggi yatu dengan nilai > 0,10
5. Mencari konsistensi maksimum dengan rumus:
𝐿𝑎𝑚𝑑𝑎 max = ∑ 𝑣𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑖𝑜𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠...........(3-2)
Lamda max selalu lebih besar daripada ukuran matriks (n) x 1. Apabila Lamda max
semakin dekat dengan nilai n maka nilai observasi dalam matriks semakin
konsisten. Setelah itu mencari consistency index dengan rumus:
𝐿𝑎𝑚𝑑𝑎 max − 𝑛......................
𝐶𝐼 = 𝑛−1 (3-3)
CI = Consistency Index
Lamda max = Maximum Eigen Value
n = Banyak kriteria atau sub kriteria
59
Tabel 3. 8
Matriks Random Index
1 2 3 4 5 6 7 8
RI 0,0 0,0 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41
9 10 11 12 13 14 15
RI 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1.59
Untuk dapat membagi data kedalam kelas-kelas interval secara benar, penelitian ini
menggunakan metode Sturges. Berikut adalah langkah – langkah untuk menentukan
interval kelas :
1) Range
Range adalah rentang selisih diantara data terbesar dikurangi data terkecil.
Range dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 𝑋 𝑚𝑎𝑘𝑠 − Xmin.............(3-6)
Banyaknya kelas dapat dihitung dengan rumus :
𝐾 = 1 + 3.332 𝐿𝑜𝑔10𝑁………….(3-7)
K = Banyak kelas
N = Banyak data
2) Interval kelas
Interval kelas/panjang kelas adalah selisih antara data terbesar dengan data
terkecil dibagi dengan banyaknya kelas, dapat dirumuskan :
𝑟
𝑝 = ......................(3-8)
𝐾
P = Kelas Interval
r = Range
K = Banyak kelas
Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai terhadap masing -
masing value parameter untuk menentukan tingkat kemampuannya. penilaian ini
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan metode pembobotan atau disebut
juga weighting adalah suatu metode yang digunakan apabila setiap karakter memiliki
peranan berbeda atau jika memiliki beberapa parameter untuk mementukan kemampuan
lahan atau sejenisnya. Skoring dan Pembobotan adalah proses pengolahan data yang
dilakukan setelah proses reclassify. Proses ini dilakukan dengan caramemberikan nilai
pada setiap parameter Pembuatan Peta skoring diolah dengan software ArcGIS 10.2.
a. Buka atribut pada masing-masing layer, tambah satu field atau kolom pada atribut
untuk mengisi nilai skor parameter
b. Setelah membuat field lalu isi kolom sesuai dengan data yang diperoleh atau dimiliki.
c. Klik Selection > Select By Attribute.
Gambar 3. 3 Tahapan Pembuatan Peta Skoring dengan Pengisian Kolom Atribut dengan Skor
h. Lakukan hal ini pada semua unique value yang ada dan semua field baru yang
ditambahkan pada parameter lainnya.
i. Apabila data berupa shapefile, maka tahap yang dilakukan yaitu menyatukan semua
layer tersebut melalui proses Union.
65
66
Metode
Metode Analisis
No Tujuan Variabel Data yang Dibutuhkan Sumber Data Pengumpulan
Data
Data
Survei Data
RILLAJ Kota
Data Jaringan jalan Kota Sekunder,
Aksesibilitas RTH Malang, Tinjauan
Malang Observasi
lokasi lahan
lapangan
Survei Data
Roadmad
Sekunder,
Status Lahan Data status lahan Landbanking Kota
Observasi
Malang, RAKH
lapangan
Survei Primer
Komposisi Lansekap/ Data Koefisien dasar Observasi
Koefisien dasar
Ruang Hijau bangunan lapangan
hijau lahan
Sumber: Hasil Pemikiran
BAB IV
PEMBAHASA
Secara astronomis, Kota Malang terletak pada 112,06-112,07 Bujur Timur dan
7,06- 8,02 Lintang Selatan. Kota Malang berbatasan dengan Kabupaten Malang, yaitu
dengan Kecamatan Singosari dan Karangploso pada wilayah utara, Kecamatan Pakis dan
Tumpang pada wilayah timur, Kecamatan Tajinan dan Pakisaji pada wilayah selatan, serta
Kecamatan Wagir dan Dau pada wilayah Barat. Letak kota malang pada ketinggian 440-
667 meter diatas permukaan laut membuat iklim kota Malang cenderung sejuk, dengan
dataran tinggi yang cocok dikembangkan sebagai wilayah industri dan pertanian.
Kota Malang memiliki luas wilayah sebesar 111,08 km 2 yang terbagi kedalam lima
kecamatan. Kecamatan terluas adalah Kedungkandang seluas 39,89 km2. Lowokwaru,
dengan luas sebesar 22,60 km2, Sukun seluas 20,97 km2, Blimbing seluas 17,77 km2 dan
Klojen seluas 8,83 Km2. Sedangkan dalam dokumen RAKH, Kota Malang terbagi kedalam
enam Bagian Wilayah Kota (BWP), yaitu:
1. BWP Malang Utara, meliputi Kelurahan Tasikmadu, Tunggulwulung, Tologomas,
Merjosari, Dinoyo, Sumbersari, Ketawanggede, Jatimulyo, Tunjungsekar,
Mojolangu, Tulusrejo, Lowokwaru, dan Penanggungan.
2. BWP Malang Tengah, meliputi Kelurahan Kasin, Sukoharjo, Kiduldalem, Kauman,
Bareng, Gadingkasri, Oro-Oro Dowo, Klojen, Rampal Celaket, dan Samaan.
3. Malang Timur Laut, meliputi Kelurahan Balearjosari, Arjosari, Polowijen,
Purwodadi, Blimbing, Pandanwangi, Purwantoro, Bunulrejo, Kesatrian, Polehan,
dan Jodipan.
4. Malang Timur, meliputi Kelurahan Kedungkandang, Sawojajar, Madyopuro,
Lesanpuro, dan Cemorokandang.
5. Malang Tenggara, meliputi Kelurahan Kebonsari, Gadang, Ciptomulyo, Sukun,
Bandungrejosari, Arjowinangun, Tlogowaru, Wonokoyo, Bumiayu, Buring,
Mergosono, dan Kotalama.
6. Malang Barat, meliputi kelurahan Bandungrejosari, Bakalan Krajan, Mulyorejo,
Bandulan, Tanjungrejo, Pisang Candi, dan Karang Besuki.
67
68
Berdasarkan BWP tersebut, maka wilayah dengan luasan terbesar adalah Malang
Tenggara, Malang Utara, dan Malang Timur Laut.
7.2%
16.0% Malang Timur Malang Tenggara Malang Utara Malang Tim
14.1% Malang Tengah
15.1% 26.6%
21.0%
420
Ribu
410
400
390
380
370
360
350
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Apabila dilihat berdasarkan wilayah BWP, maka jumlah penduduk terbesar di Kota
Malang pada tahun 2010 berada pada BWP Malang Utara diikuti dengan BWP Malang
Tenggara dan Malang Timur Laut. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2015, yang mana
penduduk terbesar berada pada BWP Malang Tengah, diikuti dengan BWP Malang
Tenggara, dan BWP Malang Utara. Pergeseran jumlah penduduk di Kota Malang yang
cenderung fluktuatif tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa perkembangan
penduduk mengikuti pembangunan infrastruktur.
Tabel 4. 1
Jumlah Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Penduduk 2010 Penduduk 2015
1 Malang Utara 194.008 186.920
2 Malang Tengah 125.782 202.084
3 Malang Timur Laut 177.041 180.170
4 Malang Timur 85.025 85.426
5 Malang Tenggara 182.197 190.135
6 Malang Barat 124.689 131.983
Total 888.743 976.718
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
Malang Barat
8.7% Malang Tengah
19.1%
2014 yang terus mengalami peningkatan. Pada sisi yang lain, peningkatan kepadatan
penduduk tersebut mencerminkan adanya keterbatasan lahan terhadap kepentingan masing-
masing individu. Dengan demikian, perencanaan lahan yang tepat menjadi isu penting di
Kota Malang.
7 750
7 700
7 650
7 600
7 550
7 500
7 450
2011 2012 2013 2014
Tabel 4. 1
Kepadatan Penduduk Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Kepadatan Penduduk 2010 Kepadatan Penduduk 2015
1 Malang Utara 83 88
2 Malang Tengah 156 274
3 Malang Timur Laut 100 101
4 Malang Timur 51 51
5 Malang Tenggara 62 64
6 Malang Barat 80 85
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
71
13% 13%
Malang Utara Malang Tengah Malang Timur Laut
Malang Timur
10%
8%
Dalam dokumen RAKH Kota Malang dicantumkan bahwa terdapat luasan total
RTH sebesar 1,379.47 Ha. Luasan tersebut memenuhi 12% dari luas total Kota Malang.
Kemudian, RTH tersebut diklasifikasikan kedalam empat jenis, yaitu (i) RTH taman
lingkungan, taman kota, dan hutan kota, (ii) RTH jalur hijau, (iii) pulau jalan dan median
jalan, (iv) RTH fungsi tertentu seperti makam, sempadan serta PSU Perumahan.
4. Taman Merbabu
5. Taman Singha Merjosari
Namun disayangkan, beberapa titik taman di Kota Malang berstatus tidak terpelihara.
Perbandingan antara taman kota terpelihara dan tidak terpelihara dapat dilihat pada Gambar
4.6 dan Gambar 4.7.
73
74
Dalam dokumen RAKH disebutkan bahwa Kota Malang memiliki taman kota
seluas 16,36 Ha. Taman kota tersebut tersebar dalam keenam BWP, kecuali pada BWP
Malang Timur dan Malang Timur Laut. Selain taman kota, dalam RAKH disebutkan
bahwa Kota Malang juga memiliki taman lingkungan yang tersebar pada seluruh BWP
dengan luasan total sebesar 7,57 Ha. Rincian mengenai RTH Taman Kota dan Taman
Lingkungan dapat dilihat secara lebih lanjut pada tabel 4.4.
Tabel 4. 2
Luasan Taman Kota di Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Luas Taman Kota (Ha) Luas Taman Lingkungan (Ha)
1 Malang Utara 3,19 0,565
2 Malang Tengah 10,06 3,256
3 Malang Timur Laut - 2,145
4 Malang Timur - 1,228
5 Malang Tenggara 2,30 -
6 Malang Barat 0,78 0,379
Total 16,36 7,57
Sumber: RAKH Kota Malang, 2015
Secara lebih rinci, komparasi mengenai RTH hutan kota dalam Dokumen RAKH dan
SK Walikota dapat dilihat dalam tabel 4.5.
Tabel 4. 3
Luasan Hutan Kota di Kota Malang berdasarkan BWP
1 Malang Utara -
2 Malang Tengah 3,70
3 Malang Timur Laut 0,25
4 Malang Timur 1,25
5 Malang Tenggara 1,8
6 Malang Barat 0,5
Total 7,50
Sumber: SK Walikota RTH Kota Malang, 2017
Gambar 4. 10 Peta Hutan Kota
77
78
Selanjutnya, jalur hijau adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap
lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan (Rumija) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (Ruwasja), sering disebut jalur hijau, karena didominasi elemen lansekap
adalah tanaman yang umumnya berwarna hijau.
Selanjutnya untuk jalur hijau, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Malang
Nomor 188.45/35.73.112/2016 tentang Penetapan Taman Kota, Hutan Kota, dan Jalur
Hijau Kota, bahwa setiap berm jalan di seluruh daerah dapat ditanami tanaman penghijau.
Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20 –
30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan
pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatian 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan
persyaratan penempatannya, disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat,
yang disukai oleh burung- burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulakn bahwa semua jalan yang ada di Kota Malang dapat ditanami
tanaman penghijau. Untuk lebar jalur hijau pada jalan utama sebesar 2 m sedangkan pada
jalan lingkungan lebar jalur hijau sebesar 1 m.
Gambar 4. 12 Peta Jalur Hijau Kota Malang
79
80
Secara rinci, luasan pulau jalan, median jalan, dan jalur hijau di Kota Malang
berdasarkan pembagain wilayah BWP terdapat pada Tabel 4.5.
Tabel 4. 4
Luasan Pulau Jalan, Median Jalan, Jalur Hijau di Kota Malang berdasarkan BWP
No Nama BWP Luas Median dan Pulau Jalan (Ha) Luas Jalur HIjau (Ha)
1 Malang Utara 2,815
2 Malang Tengah 2,670
3 Malang Timur Laut 8,019
43,40
4 Malang Timur 2,246
5 Malang Tenggara 1,190
6 Malang Barat 2,153
Total 19,093 43,40
Sumber: SK Walikota RTH Kota Malang, RAKH, 2017
Selain itu, RTH juga wajib berada pada kawasan sempadan untuk menjaga keamanan dan
ekosistem wilayah tersebut. Terdapat tiga jenis RTH sempadan, yaitu :
a. RTH Sempadan Sungai
RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan kanan
sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari berbagai
gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya.
b. RTH Sempadan Kereta Api
Penyediaan RTH pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang
memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat
dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas
menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan.
c. RTH Sempadan Jaringan Listrik Tegangan Tinggi
Ketentuan lebar sempadan jaringan tenaga listrik yang dapat digunakan sebagai
RTH adalah sebagai berikut : (i) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64
m yang ditetapkan dari titik tengah jaringan tenaga listrik; (ii) Ketentuan jarak
bebas minimum antara penghantar SUTT dan SUTET dengan tanah dan benda lain
sesuai dengan ketetapan pemerintah.
82
Gambar 4. 14 Peta Lokasi Makam di Kota Malang
Gambar 4. 15 Peta Sempadan Sungai Kota Malang
83
84
Gambar 4. 16 Peta Sempadan Rel KA
Gambar 4. 17 Peta Sempadan SUTT
85
86
RTH Sempadan Jaringan Listrik Tegangan Tinggi yang terdapat di Kota Malang
melalui beberapa BWP, salah satunya adalah BWP Malang Utara, BWP Malang Timur
Laut, Malang Tenggara dan Malang Barat. Pada sempadan SUTT yang berada di Kota
Malang, difungsikan sebagai taman apabila SUTT tersebut melalui perumahan, seperti
SUTT yang melalui Perumahan Puri Kartika Asri di BWP Malang Tenggara, Perumahan
Joyogrand di BWP Malang Utara, Perumahan Puncak Dieng di BWP Malang Barat dan
SUTT, sedangkan SUTT yang tidak melalui kawasan perumahan, melainkan melalui
kawasan pertanian, seperti SUTT di BWP Malang Utara dan SUTT di BWP Malang
Timur Laut.
RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk danau dan
waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk mata air, RTH terletak pada
garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar mata
air. RTH Sumber Air Baku/Mata Air yang terdapat di Kota Malang berada pada BWP
Malang Utara, yaitu di Kelurahan Lowokwaru di Sumber Mata Air Jalan Akordion
Selatan, serta Sumber Mata Air di Jalan Sudimoro
Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki fungsi
utama sebagai tempat penguburan jenasah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai
daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro serta
tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat disekitar seperti beristirahat dan
sebagai sumber pendapatan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kondisi RTH eksisting di Kota Malang dengan
klasifikasi berdasarkan BWP dan jenisnya dapat disederhanakan dalam tabel 4.8.
Tabel 4. 6
Ketersediaan RTH di Kota Malang berdasarkan Jenis dan BWP
Fungsi Lain
Taman Taman Hutan Median dan Jalur Potensi Sempadan
No Nama BWP Total
Lingk. Kota Kota Pulau Jalan Hijau Makam PSU Total
Mata
Sungai Rel KA SUTT
Air
1 Malang Utara 271,53 0,56 3,19 - 2,81 - 264,96 0,27 34,20 - 27,48 26 87,95
2 Malang Tengah 19,78 3,25 10,06 3,70 2,67 0,094 0,00 0,37 2,89 - - 3,26
Malang Timur
3 258,71 2,14 - 0,25 8,01 248,29 1,08 22,72 9,50 7,18 - 40,48
Laut
4 Malang Timur 253,75 1,22 - 1,25 2,24 249,03 5,10 16,27 - 35,27 - 56,64
5 Malang Tenggara 265,98 - 2,30 1,8 1,19 260,69 0,28 42,34 6,19 - - 48,81
6 Malang Barat 253,60 0,37 0,78 0,5 2,15 249,79 0,11 - - 17,63 - 17,74
Dikelola
56.10 - - - - 43,40 12,70 - - - - -
Pemerintah
Total 1379,47 7,57 16,36 7,50 19,09 1285,57 6,85 115,92 18,58 87,53 26 254,88
Grand Total 1634,35
Sumber: RAKH Kota Malang
87
88
Berdasarkan data tersebut, 78.7% RTH di Kota Malang di dominasi oleh makam,
disusul dengan 7.1% merupakan sempadan sungai, 5.4% berupa sempadan SUTT, 2.7%
merupakan jalur hijau, 1.6% sempadan mata air, 1.2% berupa median jalan, 1.1%
sempadan rel KA, 1% Taman kota, 0.5 berupa Taman lingkungan serta 0.4% merupakan
PSU dan hutan kota. Data tersebut secara umum menggambarkan bahwa persentase RTH
Publik berdasarkan jenis di Kota Malang masih belum proporsional.
RTH Publik
19% 21% Malang Utara Malang Tengah Malang Timur Laut Malang
1% Malang Barat
20%
20%
19%
Tabel 4.8 menmperlihatkan apabila kebutuhan luasan RTH dihitung dari luasan
setiap BWP. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa jika proporsi RTH diharapkan
tersebar merata dan tidak berpusat pada BWP tertentu, maka luasan tersebut harus
dicadangkan di setiap BWP untuk memenuhi kebutuhan RTH. Demi mencapai luasan ideal
sebesar 2.221,6 Ha , Kota Malang masih membutuhkan tambahan RT sebesar 587,25 Ha
(Gambar 4.20).
587.25
1634.35
luasan total kebutuhan RTH. Sehingga diasumsikan bahwa terdapat RTH selain keempat
jenis tersebut, dengan luasan kebutuhan sejumlah selisih diantara kebutuhan total dan
kebutuhan keempat jenis yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Tabel 4. 8
Kebutuhan RTH Publik berdasarkan Jumlah Penduduk per Kapita
Jumlah Total Taman Taman Hutan Makam Lain-
Nama BWP *4
Penduduk (Ha) Lingkungan*1 Kota*2 Kota*3 lain*5
Melalui hasil perhitungan proyeksi, maka didapatkan bahwa kebutuhan akan RTH
Publik sebesar 668,99 Ha. Proyeksi RTH tersebut kemudian dibandingkan dengan
keberadaan RTH eksisting di Kota Malang. Hasil perbandingannya merupakan selisih yang
harus dipenuhi dalam mencapai kondisi RTH ideal di Kota Malang. Berdasarkan
perhitungan selisih dalam Tabel 4.10, kebutuhan RTH dengan jenis makam di Kota
Malang telah terpenuhi, bahkan berlebih. Selisih pemenuhan RTH paling besar berada
pada kategori lain-lain. Sedangkan diluar kategori tersebut, selisih pemenuhan RTH
terbesar berada pada taman lingkungan dan diikuti denan hutan kota. Sementara kebutuhan
RTH Taman Kota telah terpenuhi seperti halnya makam, namun distribusi RTH tersebut
belum merata.
92
Tabel 4. 9
Selisih antara Kebutuhan dan Ketersediaan RTH Publik
Ketersediaan Kebutuhan Selisih
No Nama BWP
Taman Taman Hutan Taman Taman Hutan Taman Taman Hutan
Makam Makam Makam
Lingk. Kota Kota Lingk. Kota Kota Lingk. Kota Kota
1 Malang Utara 0,56 3,19 - 264,96 24,22 5,59 74,52 23,29 23,65 2,4 74,52 241,67
2 Malang Tengah 3,25 10,06 3,70 0,094 26,27 6,06 80,83 25,26 23,01 4 77,13 25,16
3 Malang Timur Laut 2,14 - 0,25 248,296 11,11 2,56 34,17 10,68 8,96 2,56 33,92 237,61
4 Malang Timur 1,22 - 1,25 249,03 23,49 5,42 72,28 22,59 22,26 5,42 71,03 226,44
5 Malang Tenggara - 2,30 1,8 260,69 24,72 5,7 76,05 23,77 24,72 3,4 74,25 236,92
6 Malang Barat 0,37 0,78 0,5 249,79 17,16 3,96 52,79 16,5 16,78 3,18 52,29 233,29
Jika ditinjau berdasarkan BWP, maka BWP yang telah terpenuhi kebutuhan RTH
adalah Malang Tengah. Meski demikian, penyebaran jenis RTH pada BWP Malang
Tengah masih belum merata. Sedangkan BWP yang memiliki kebutuhan pemenuhan RTH
terbanyak adalah Malang Timur, diikuti dengan Malang Tenggara, Malang Utara, Malang
Timur Laut, dan Malang Barat.
Rincian mengenai kebutuhan berdasarkan luasan maupun berdasarkan jumlah
penduduk tersebut dapat menjadi dasar bagi pengembangan lokasi RTH di Kota Malang.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Kota Malang saat ini membutuhkan RTH dalam
bentuk median jalan dan sempadan sungai, taman lingkungan, serta hutan kota. Sedangkan
wilayah pengembangan yang paling membutuhkan RTH adalah Malang Timur, Malang
Tenggara, dan Malang Utara.
Tabel 4. 10
Rencana Pengembangan Lahan berdasarkan BWP
Nama BWP Arahan Guna Lahan Luasan (Ha)
Perdagangan Jasa 1,779
Malang Timur Laut
Perumahan 64,70
Perumahan 101,09
Malang Utara RTH 1,70
SPU 1,52
Perdagangan Jasa 3,23
Malang Timur Perkantoran 0.629
Perumahan 40,76
Industri 0,69
Perlindungan 1,05
Malang Barat
Perumahan 22,03
SPU 0,093
Malang Tenggara Perumahan 25,65
Total 264,94
Sumber: Hasil Analisa 2017
Total luasan lahan kosong di Kota Malang adalah sebesar 264,94 Ha. Luasan
tersebut sebenarnya tidak memenuhi selisih antara kebutuhan dan ketersediaan RTH di
Kota Malang. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa data mengenai lahan
kosong tersebut pada kondisi riil telah mengalami alih fungsi, maupun memiliki
ketidaksesuaian dengan kriteria lahan ideal bagi RTH. Oleh karena itu, telah lebih lanjut
terhadap masing-masing lahan kosong menjadi penting dalam menyediakan alternatif
solusi penemuhan RTH di Kota Malang.
Aset Pemerintah Daerah dapat berupa tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan,
irigasi dan saluran, konstruksi yang masih dalam tahap pengerjaan, dan aset lainnya. Data
tanah aset di bawah penguasaan Pemerintah Kota Malang sebagaimana tercatat dalam
Kartu Inventaris Barang (KIB) Milik Daerah dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah (BPKAD) Kota Malang adalah sebanyak 185,91 ha bidang tanah Jumlah tanah aset
Pemerintah Kota Malang yang dikategorikan sebagai tanah kosong sebanyak 600 petak
bidang tanah tersebar di beberapa wilayah kecamatan,dengan karakteristik berbeda, baik
dari segi penguasaan, jenis penggunaan, maupun lokasinya.
96
Tabel 4. 11
Tanah Aset BWP Malang Utara
No. Lokasi Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Tabel 4. 12
Tanah Aset BWP Malang Timur Laut
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Permukiman 0,500
1 Balearjosari Pendidikan 0,185
Sawah 4,708
Permukiman 2,024
Pendidikan 0,000
2 Pandanwangi
Sawah 14,951
Sungai 0,052
3 Polowijen Permukiman 0,853
97
Tabel 4. 14
Tanah Aset BWP Malang Tenggra
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Permukiman 0,870
1 Arjowinangun Kebun 2,851
Sawah 28,886
Kebun 0,123
2 Bumiayu Sawah 10,184
Sungai 0,002
Permukiman 3,180
Kebun 1,050
3 Buring Pendidikan 0,298
Sawah 8,788
Tegalan 2,072
4 Gadang Sawah 0,853
Permukiman 0,001
5 Kebonsari
Sawah 5,808
Permukiman 4,283
Kebun 8,165
6 Tlogowaru
Sawah 20,998
Sungai 0,000
Permukiman 0,480
7. Wonokoyo Kebun 1,344
Sawah 2,100
98
Tabel 4. 15
Tanah Aset BWP Malang Barat
No. Kelurahan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Fasilitas Umum 0,127
Pendidikan 0,059
1 Balakankrajan
Sawah 8,735
Permukiman 1,422
2 Bandulan Sawah 10,105
Fasilitas Umum 0,290
3 Bandungrejosari Sawah 2,110
Sawah 2,172
4 Karangbesuki Permukiman 0,398
Sawah 0,005
5 Merjosari
Permukiman 0,000
Permukiman 0,062
Sawah 0,593
Sawah 1,007
6 Mulyorejo
Sawah 0,596
Tegalan 1,086
Permukiman 0,084
Total Luas Aset Pemerintah Kota Malang di BWP Malang Barat 28,85
Sumber : Bappeda Kota Malang, 2015
Menyikapi masih adanya kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan RTH di Kota
Malang, maka Pemerintah Kota Malang menyusun rencana pengembangan RTH yang
tertuang dalam dokumen Roadmap Land Banking. Dalam dokumen tersebut, terdapat dua
jenis RTH yang menjadi fokus, yaitu antara lain (i) Taman Kota dan Hutan Kota dan (ii)
Sempadan berupa sempadan mata air, sempadan KA, dan sempadan sungai. Pembagian
rencana pengembangan RTH di Kota Malang secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel
4.17.
Tabel 4. 16
Rencana Pengembangan berdasarkan jenis RTH dan BWP
Jenis RTH
No Nama BWP Hutan Kota
Sempadan Sempadan Sempadan
Total dan Taman
Sungai KA Mata Air
Kota
1 Malang Timur 131,76 84,81 46,95 - -
2 Malang Tenggara 330,48 239,09 79,76 11,63 -
3 Malang Utara 68,15 - 63,77 - 4,38
4 Malang Timur Laut 58,15 - 48,73 9,42 -
99
Jenis RTH
No Nama BWP Hutan Kota
Sempadan Sempadan Sempadan
Total dan Taman
Sungai KA Mata Air
Kota
5 Malang Barat 41,27 - 41,27 - -
6 Malang Tengah 14,80 - 7,05 7,75 -
Total 644,61 323,90 287,53 28,80 4,38
Sumber: Roadmap Landbanking Kota Malang, 2015
Berdasarkan rencana pengembangan tersebut, maka luasan RTH di Kota Malang
mendapatkan tambahan sebesar 644.61 Ha, yang terbagi kedalam 323.90 Ha Hutan Kota
dan Taman Kota, serta 287,53Sempadan. Adapun dengan adanya perencanaan tersebut,
luasan total untuk hutan kota dan taman kota telah memenuhi kebutuhan penduduk di Kota
Malang.
Tabel 4. 17
Potensi Pengembangan Aset BWP Kota Malang
Lokasi Aset Tanah Pemerintah Kota Malang
No. Nama BWP yang Dapat Dikembang Per Kelurahan
Luas (Ha)
Total Luas Aset Tanah Pemkot Malang yang Dapat Dikembangkan 46,87
Sumber: RAKH Kota Malang, 2017
Berdasarkan hasil analisis, lahan potensial yang memiliki luasan paling tinggi
antara lain MTG-Bumiayu-1, MTG-Bumiayu-2, MT-Cemorokandang-1, MTL-Arjosari-1,
MU- Merjosari-1, TA-A Tlogomas. Sedangkan luasan paling tinggi dimiliki oleh TA-D-
Tlogowaru seluas12.62 Ha. Penamaan lokasi menggunakan kode BWP dan nama
kelurahan dimana lahan tersebut berada. Pemberian nomor menunjukkan jumlah lahan
pada satu kelurahan tertentu.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hierarki jalan yang melintasi lokasi lahan,
diketahui bahwa mayoritas lahan potensial terletak pada hierarki lokal, yaitu sebesar 36
lokasi. Selanjutnya, hanya terdapat 6 lokasi lahan potensial yang dilintasi oleh jaringan
jalan dengan kategori jalan kolektor. Namun, lokasi lahan potensial yang dilalui oleh jalan
arteri ternyata cukup banyak, yaitu sejumlah 24 titik lokasi.
Lokasi yang terlayani jaringan jalan arteri antara lain MU-Jatimulyo-1, MU-
Jatimulyo-2, MTL-Polowijen-3, MTL-Polowijen-4, MTL-Polowijen-5, MTL-Purwantoro-
1, MTL-Purwantoro-2, MTL-Pandanwangi-1, MTL-Pandanwangi-2, MTL-Arjosari-2, MT-
Sawojajar-3, MT-Sawojajar-4
Tabel 4. 19
Hiraki Jalan Lahan Potensial RTH Kota Malang
No. Kelurahan Kode Lokasi Hirarki Jalan
1 Bandulan MB-Bandulan-1 Lokal
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 Lokal
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 Lokal
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 Lokal
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 Lokal
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 Lokal
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 Lokal
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 Lokal
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 Lokal
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 Kolektor
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 Kolektor
12 Buring MTG-Buring-1 Lokal
13 Buring MTG-Buring-2 Lokal
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 Arteri
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 Lokal
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 Lokal
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 Lokal
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 Arteri
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 Arteri
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 Arteri
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 Lokal
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 Lokal
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 Arteri
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 Arteri
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 Lokal
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 Lokal
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 Arteri
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 Arteri
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 Lokal
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 Lokal
106
pusat Kota Malang dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu jarak > 7 km terhadap pusat kota,
jarak 3,5-7 km dari pusat kota, dan jarak < 3,5 km terhadap pusat kota sesuai yang tertera
pada tabel 4.20
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa hanya terdapat 7 lahan yang
memikliki jarak > 7 km dari pusat kota. Mayoritas lahan, yaitu dengan total sebanyak 48
titik memiliki jarak diantara 3,5 km hingga 7 km dari pusat kota. Sehingga jumlah lahan
yang berada pada jarak < 3,5 km dari pusat kota adalah sebesar 11 lahan.
Tabel 4. 20
Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota
No. Kelurahan Kode Lokasi Jarak Terhadap Pusat Kota
1 Bandulan MB-Bandulan-1 < 3,5 km
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 < 3,5 km
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 < 3,5 km
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 3,5 < …. < 7 km
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 3,5 < …. < 7 km
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 3,5 < …. < 7 km
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 3,5 < …. < 7 km
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 3,5 < …. < 7 km
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 3,5 < …. < 7 km
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 < 3,5 km
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 3,5 < …. < 7 km
12 Buring MTG-Buring-1 3,5 < …. < 7 km
13 Buring MTG-Buring-2 < 3,5 km
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 < 3,5 km
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 3,5 < …. < 7 km
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 3,5 < …. < 7 km
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 3,5 < …. < 7 km
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 < 3,5 km
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 < 3,5 km
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 3,5 < …. < 7 km
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 3,5 < …. < 7 km
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 3,5 < …. < 7 km
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 3,5 < …. < 7 km
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 3,5 < …. < 7 km
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 3,5 < …. < 7 km
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 < 3,5 km
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 3,5 < …. < 7 km
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 < 3,5 km
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 < 3,5 km
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 3,5 < …. < 7 km
31 Arjosari MTL-Arjosari-2 3,5 < …. < 7 km
32 Arjosari MTL-Arjosari-3 3,5 < …. < 7 km
108
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa lokasi berikut merupakan lahan potensial
yang lokasinya dekat dengan pusat kota, yaitu MB-Bandulan-1, MB-Tanjungrejo-1, MB-
Tanjungrejo-2,MTG-Bumiayu-1,MTG-Buring-2,MTG-Mergosono-1,MT-Kedungkandang-
1, MT-Lesanpuro-1, MT-Sawojajar-2, MT-Sawojajar-4, MT-Sawojajar-5.
Gambar 4. 24 Peta Skoring Kedekatan Lahan Potensial RTH terhadap Pusat Kota
109
110
113
114
115
116
Seluruh lahan potensial ternyata melimiki arahan pola ruang permukiman. Namun
secara realita, walaupun sudah termasuk arahan kawasan budidaya permukiman, tidak
menutup kemungkinan apabila lahan dapat dikonversi menjadi RTH. Hanya saja jika
dalam lingkup penelitian ini, arahan kawasan budidaya tidak mencapai nilai yang optimal
dikarenakan dalam parameter disebut bahwa lahan yang arahan utamanya sebagai RTH
yang mendapat skor tertinggi.
Tabel 4. 22
Tabel Fungsi Lahan Potensial RTH
No. Kelurahan Kode Lokasi Arahan Pola Ruang (Fungsi Lahan)
dari kegiatan utama dan ketersediaan sarana pendukung. Karena itu, kawasan perkotaan
biasanya menjadi pusat dari BWP. Untuk bisa mengetahui cakupan lokasi, maka
ditentukan jarak radius dari Pusat BWP, atau Sub-Pusat BWP.
Terdapat tiga interval radius antara lain Jarak > 1000 m dari pusat kota, Jarak 500
m- 1000 m dari pusat kota, serta Jarak < 500 m dari pusat kota. Dari hasil analisis, terdapat
31 lokasi yang memiliki jarak > 1000m terhadap pusat kawasan perkotaan. Sejumlah 24
lokasi memiliki jarak diantara 500 – 1000 m terhadap pusat perkotaan. Sehingga terdapat
11 lokasi dengan jarak < 500 m dari pusat kawasan perkotaan.
Tabel 4. 23
Tabel Lokasi Lahan Potensial RTH pada Kawasan Perkotaan
Jarak Terhadap Pusat Kawasan
No. Kelurahan Kode Lokasi
Perkotaan
1 Bandulan MB-Bandulan-1 500 < … < 1000 m
2 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-1 > 1000 m
3 Tanjungrejo MB-Tanjungrejo-2 > 1000 m
4 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-1 > 1000 m
5 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-2 > 1000 m
6 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-3 > 1000 m
7 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-4 > 1000 m
8 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-5 > 1000 m
9 Arjowinangun MTG-Arjowinangun-6 > 1000 m
10 Bumiayu MTG-Bumiayu-1 > 1000 m
11 Bumiayu MTG-Bumiayu-2 > 1000 m
12 Buring MTG-Buring-1 500 < … < 1000 m
13 Buring MTG-Buring-2 500 < … < 1000 m
14 Mergosono MTG-Mergosono-1 > 1000 m
15 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-1 > 1000 m
16 Tlogowaru MTG-Tlogowaru-2 > 1000 m
17 Cemorokandang MT-Cemorokandang-1 > 1000 m
18 Kedungkandang MT-Kedungkandang-1 > 1000 m
19 Lesanpuro MT-Lesanpuro-1 > 1000 m
20 Lesanpuro MT-Lesanpuro-2 500 < … < 1000 m
21 Madyopuro MT-Madyopuro-1 < 500 m
22 Madyopuro MT-Madyopuro-2 < 500 m
23 Madyopuro MT-Madyopuro-3 500 < … < 1000 m
24 Madyopuro MT-Madyopuro-4 500 < … < 1000 m
25 Sawojajar MT-Sawojajar-1 500 < … < 1000 m
26 Sawojajar MT-Sawojajar-2 500 < … < 1000 m
27 Sawojajar MT-Sawojajar-3 < 500 m
28 Sawojajar MT-Sawojajar-4 > 1000 m
29 Sawojajar MT-Sawojajar-5 > 1000 m
30 Arjosari MTL-Arjosari-1 500 < … < 1000 m
119
123
124
4.8 Penentuan Bobot dalam Prioritas Kriteria Lahan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Persepsi Stakeholder
A B C D E F G H Eigen Vector
H 0.02 0.01 0.01 0.04 0.04 0.01 0.04 0.03 0.03
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Berikut adalah perhitungan pembobotan faktor dalam kriteria lahan ruang terbuka
hijau publik dari sudut pandang ahli 2 adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 30
Matriks Perbandingan
A B C D E F G H
A 1.00 3.00 5.00 7.00 0.50 3.00 0.17 1.00
B 0.33 1.00 3.00 5.00 0.14 1.00 0.12 1.00
C 0.20 0.33 1.00 2.00 0.14 1.00 0.12 0.30
D 0.14 0.20 0.50 1.00 0.17 0.25 0.12 0.20
E 2.00 7.00 7.00 6.00 1.00 4.00 1.00 3.00
F 0.33 1.00 1.00 4.00 0.25 1.00 0.17 2.00
G 6.00 8.00 8.00 8.00 1.00 6.00 1.00 8.00
H 1.00 1.00 3.00 5.00 0.33 0.50 0.12 1.00
Jumlah 11 21.53 28.5 38 3.53 16.75 2.82 16.53
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 31
Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector
A B C D E F G H Eigen Vector
Tabel 4. 32
Perhitungan Nilai Konsistensi
Indikator Awal Akhir Awal*Akhir
A 11.00 0,128928 1,41821
B 21.53 0,064462 1,38788
C 28.50 0,035388 1,00857
D 38.00 0,022952 0,87216
E 3.53 0,246081 0,86866
F 16.75 0,066075 1,10675
G 2.82 0,361041 1,01814
H 16.53 0,075073 1,24095
λ Maksimum 8,92132
C.I 0,131617183
C.R 0.09334552
Sumber: Hasil Analisa, 2018
A B C D E F G H
E 3.00 0.20 0.33 0.33 1.00 0.20 0.11 0.33
F 5.00 1.00 1.00 5.00 5.00 1.00 0.11 3.00
G 9.00 5.00 5.00 5.00 7.00 7.00 1.00 7.00
H 5.00 0.20 0.33 3.00 3.00 0.33 0.11 1.00
Jumlah 36 8.8 9.19 22.66 27.33 10.93 2.04 19.86
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 35
Perhitungan Bobot Relatif dan Eigen Vector
Eigen
A B C D E F G H
Vector
A 0.028 0.02 0.02 0.01 0.012 0.018 0.054 0.01 0.02
B 0.139 0.11 0.11 0.22 0.183 0.091 0.098 0.25 0.15
C 0.139 0.11 0.11 0.13 0.11 0.091 0.098 0.15 0.12
D 0.083 0.02 0.04 0.04 0.11 0.018 0.098 0.02 0.05
E 0.083 0.02 0.04 0.01 0.037 0.018 0.054 0.02 0.04
F 0.139 0.11 0.11 0.22 0.183 0.091 0.054 0.15 0.13
G 0.25 0.57 0.54 0.22 0.256 0.64 0.49 0.35 0.42
H 0.139 0.02 0.04 0.13 0.11 0.03 0.054 0.05 0.07
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Tabel 4. 38
Peringkat Faktor Berdasarkan Pembobotan
Eigen Eigen Eigen
Indikator Rata-rata Peringkat
Vector 1 Vector 2 Vector 3
Luas Minimum RTH 0.02 0.13 0.02 0.058 6
Aksesibilitas RTH 0.07 0.06 0.15 0.096 3
Kedekatan RTH terhadap
0.06 0.04 0.12 0.072 5
Pusat Kegiatan
Pengawasan Stakeholder
0.05 0.02 0.05 0.044 8
Terkait
Fungsi Lahan 0.33 0.25 0.04 0.203 2
Lokasi pada Kawasan
0.09 0.07 0.13 0.096 4
Perkotaan
Status Lahan 0.34 0.36 0.42 0.374 1
Komposisi Lansekap/Ruang
0.03 0.08 0.07 0.058 7
Hijau
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Kuesioner AHP diberikan kepada 3 ahli dalam bidang tata kota. Hasil dari
kuesioner AHP tersebut menunjukkan bahwa secara runtut, kriteria terpenting dalam
mengasses pontensi lahan untuk pembangunan RTH adalah : (i) status lahan, (ii) fungsi
lahan, (iii) aksesibilitas rth, (iv) lokasi pada kawasan perkotaan, (v) kedekatan terhadap
pusat kegiatan,
(vi) luas minimum rth, (vii) komposisi lansekap ruang hijau dan (viii) pengawasan
stakeholder terkait. Hasil dari eigen factor akan dikalikan dengan masing-masing variabel
133
yang melekat pafa lahan untuk mendapatkan pembobotan yang sesuai dengan kaidah
penelitian. Untuk mempermudah penghitungan, eigen factor yang didapatkan dikalikan
dengan 100.
4.9 Perhitungan Nilai Kriteria Lahan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Malang
4.9.1 Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial Ruang Terbuka Hijau
Untuk mempermudah penilaian, 66 lokasi yang tersaring diberikan kode yang
lokasi sesuai dengan BWP dan kelurahan tempat lahan tersebut berada. Sesuai dengan
parameter yang ditetapkan, interval skor untuk luas lahan minimum terdiri dari 3 kelas
yaitu luas lahan
5.000 <…< 9.000 m2 mendapat skor 1, 9.000 <…< 24.000 m2 mendapat skor 2, sedangkan
Luas lahan > 24.000 m2 mendapatkan skor 3. Berdasar parameter maka presentasenya
adalah 40,9% Skor 1, dilanjut 30,3% Skor 2, dan 28,8% Skor 3. Hasil analisis hirarki
proses (AHP) menunjukkan eigen vector sebesar 0.058. Tabel 4.39 menunjukkan hasil
kalkulasi eigen vector dengan skor luasan lahan.
Tabel 4. 39
Hasil Penilaian Luas Minimum Lahan Potensial RTH
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 1 5.77 5.77
2 MB-Tanjungrejo-1 1 5.77 5.77
3 MB-Tanjungrejo-2 1 5.77 5.77
4 MTG-Arjowinangun-1 1 5.77 5.77
5 MTG-Arjowinangun-2 1 5.77 5.77
6 MTG-Arjowinangun-3 3 5.77 17.31
7 MTG-Arjowinangun-4 2 5.77 11.54
8 MTG-Arjowinangun-5 2 5.77 11.54
9 MTG-Arjowinangun-6 1 5.77 5.77
10 MTG-Bumiayu-1 3 5.77 17.31
11 MTG-Bumiayu-2 3 5.77 17.31
12 MTG-Buring-1 3 5.77 17.31
13 MTG-Buring-2 2 5.77 11.54
14 MTG-Mergosono-1 1 5.77 5.77
15 MTG-Tlogowaru-1 3 5.77 17.31
16 MTG-Tlogowaru-2 2 5.77 11.54
17 MT-Cemorokandang-1 3 5.77 17.31
18 MT-Kedungkandang-1 1 5.77 5.77
19 MT-Lesanpuro-1 2 5.77 11.54
20 MT-Lesanpuro-2 1 5.77 5.77
21 MT-Madyopuro-1 2 5.77 11.54
22 MT-Madyopuro-2 1 5.77 5.77
23 MT-Madyopuro-3 1 5.77 5.77
24 MT-Madyopuro-4 1 5.77 5.77
134
dikalikan dengan skor yang diberikan untuk masing-masing kategori pada variabel
kedekatan lahan dengan pusat kota. Berdasar parameter maka presentasenya adalah 16.7%
Skor 1, dilanjut 72.7% Skor 2, dan 10.6% Skor 3. Hasilnya, terdapat 9 lokasi yang letaknya
pada radius paling dekat dengan pusat Kota Malang yang berada di Kecamatan Klojen.
Perhitungan rinci mengenai variabel kedekatan lahan dengan pusat kota dapat dilihat pada
Tabel 4.42.
Tabel 4. 41
Hasil Penilaian Kedekatan Lahan Potensial terhadap Pusat Kota
54.5% Skor 1, dilanjut 33.3% Skor 2, dan 12.1% Skor 3. Hasil dari perkalian skor dan eigen
vector dapat dilihat dalam Tabel 4.43.
Tabel 4. 42
Hasil Penilaian Pengawasan Stakeholder Lahan Potensial
No. Kode Lokasi Skor Bobot Nilai Sesudah Pembobotan
1 MB-Bandulan-1 2 4.36 8.73
2 MB-Tanjungrejo-1 1 4.36 4.36
3 MB-Tanjungrejo-2 1 4.36 4.36
4 MTG-Arjowinangun-1 1 4.36 4.36
5 MTG-Arjowinangun-2 1 4.36 4.36
6 MTG-Arjowinangun-3 1 4.36 4.36
7 MTG-Arjowinangun-4 1 4.36 4.36
8 MTG-Arjowinangun-5 1 4.36 4.36
9 MTG-Arjowinangun-6 1 4.36 4.36
10 MTG-Bumiayu-1 1 4.36 4.36
11 MTG-Bumiayu-2 1 4.36 4.36
12 MTG-Buring-1 1 4.36 4.36
13 MTG-Buring-2 1 4.36 4.36
14 MTG-Mergosono-1 1 4.36 4.36
15 MTG-Tlogowaru-1 1 4.36 4.36
16 MTG-Tlogowaru-2 1 4.36 4.36
17 MT-Cemorokandang-1 2 4.36 8.73
18 MT-Kedungkandang-1 2 4.36 8.73
19 MT-Lesanpuro-1 2 4.36 8.73
20 MT-Lesanpuro-2 2 4.36 8.73
21 MT-Madyopuro-1 1 4.36 4.36
22 MT-Madyopuro-2 2 4.36 8.73
23 MT-Madyopuro-3 2 4.36 8.73
24 MT-Madyopuro-4 2 4.36 8.73
25 MT-Sawojajar-1 2 4.36 8.73
26 MT-Sawojajar-2 1 4.36 4.36
27 MT-Sawojajar-3 2 4.36 8.73
28 MT-Sawojajar-4 2 4.36 8.73
29 MT-Sawojajar-5 2 4.36 8.73
30 MTL-Arjosari-1 1 4.36 4.36
31 MTL-Arjosari-2 2 4.36 8.73
32 MTL-Arjosari-3 1 4.36 4.36
33 MTL-Balearjosari-1 2 4.36 8.73
34 MTL-Balearjosari-2 2 4.36 8.73
35 MTL-Balearjosari-3 1 4.36 4.36
36 MTL-Balearjosari-4 1 4.36 4.36
37 MTL-Blimbing-1 2 4.36 8.73
38 MTL-Pandanwangi-1 2 4.36 8.73
39 MTL-Pandanwangi-2 2 4.36 8.73
140
149
150
Pusat Fungsi Kawasan Status Komposisi
No. Kode Lokasi Luas Hirarki Stakeholder Total
Kota Lahan Perkotaan Lahan Lansekap
25 MT-Sawojajar-1 5.77 9.64 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 170,03
26 MT-Sawojajar-2 11.54 9.64 21.68 4.36 20.32 19.12 74.71 17.29 178,67
27 MT-Sawojajar-3 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 74.71 17.29 198,87
28 MT-Sawojajar-4 5.77 28.91 21.68 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 186,98
29 MT-Sawojajar-5 5.77 9.64 21.68 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 167,70
30 MTL-Arjosari-1 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 139,85
31 MTL-Arjosari-2 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 74.71 17.29 204,64
32 MTL-Arjosari-3 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 143,64
33 MTL-Balearjosari-1 11.54 9.64 7.23 8.73 20.32 9.56 74.71 11.53 159,02
34 MTL-Balearjosari-2 11.54 9.64 7.23 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 168,57
35 MTL-Balearjosari-3 5.77 9.64 7.23 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 130,65
36 MTL-Balearjosari-4 5.77 28.91 7.23 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 149,92
37 MTL-Blimbing-1 17.31 28.91 14.46 8.73 20.32 28.67 37.35 17.29 173,05
38 MTL-Pandanwangi-1 5.77 28.91 14.46 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 179,75
39 MTL-Pandanwangi-2 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 9.56 74.71 17.29 185,52
40 MTL-Polowijen-1 17.31 19.28 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 149,49
41 MTL-Polowijen-2 5.77 19.28 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 137,95
42 MTL-Polowijen-3 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
43 MTL-Polowijen-4 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
44 MTL-Polowijen-5 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
45 MTL-Purwantoro-1 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
46 MTL-Purwantoro-2 17.31 28.91 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 149,57
47 MTL-Purwodadi-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 128,31
48 MTL-Purwodadi-2 5.77 28.91 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 157,15
49 MTL-Purwodadi-3 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 74.71 17.29 195,08
50 MTL-Purwodadi-4 11.54 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 37.35 17.29 157,72
Pusat Fungsi Kawasan Status Komposisi
No. Kode Lokasi Luas Hirarki Stakeholder Total
Kota Lahan Perkotaan Lahan Lansekap
51 MU-Dinoyo-1 5.77 9.64 14.46 13.09 20.32 19.12 112.06 17.29 211,75
52 MU-Jatimulyo-1 17.31 28.91 14.46 8.73 20.32 19.12 37.35 17.29 163,49
53 MU-Jatimulyo-2 11.54 28.91 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 153,36
54 MU-Merjosari-1 17.31 9.64 14.46 8.73 20.32 9.56 37.35 17.29 134,66
55 MU-Merjosari-2 17.31 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 130,30
56 MU-Merjosari-3 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 37.35 17.29 137,87
57 MU-Tlogomas-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 19.12 37.35 17.29 128,31
58 MU-Tulusrejo-1 5.77 9.64 14.46 4.36 20.32 28.67 74.71 17.29 175,23
59 MU-Tunjungsekar-1 11.54 9.64 14.46 4.36 20.32 9.56 37.35 17.29 124,53
60 TA-Merjosari 5.77 9.64 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 202,19
61 TA-Tunggulwulung 5.77 19.28 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 204,60
62 TA-A-Tlogomas 17.31 19.28 14.46 13.09 20.32 19.12 112.06 17.29 232,93
63 TA-Pandanwangi 17.31 28.91 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 233,01
64 TA-B-Lesanpuro 17.31 9.64 14.46 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 213,73
65 TA-C-Tlogowaru 17.31 9.64 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 206,50
66 TA-D-Tlogowaru 17.31 9.64 7.23 13.09 20.32 9.56 112.06 17.29 206,50
Sumber: Hasil Analisa, 2018
151
152
Penelitian ini memiliki total 66 data. Sehingga dalam penelitian ini, banyaknya kelas
yang didapatkan adalah :
𝐾 = 1 + (3.332 𝑥 𝐿𝑜𝑔1066)
𝐾 = 1 + (3.332 𝑥 1.819543936)
𝐾 = 1 + 6.004494987
𝐾 = 7.004494987 ~ 7
3. Interval kelas
Interval kelas/panjang kelas adalah selisih antara data terbesar dengan data terkecil
dibagi dengan banyaknya kelas, dapat dirumuskan :
𝑟
𝑝=
𝑘 ………….(4-5)
Dalam penelitian ini, interval kelas yang ditemukan adalah sebesar :
114.25
𝑝=
7
𝑝 = 16.31
153
155
156
Gambar 4. 31 Peta Lokasi Kelas Prioritas BWP Malang Utara
Gambar 4. 32 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Timur Laut
157
158
Gambar 4. 2 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Timur
Gambar 4. 3 Peta Lokasi Prioritas Kelas BWP Malang Tenggara
159
160
Berdasarkan perhitungan dalam Gambar 4.19, dapat diketahui jika luas 20%
kebutuhan RTH publik berdasar wilayah perkotaan sebesar 2.221,6 Ha, dengan
ketersediaan telah mencapai 1.634,35 Ha dan kekurangan mencapai 587,25 Ha. Dalam arti
kata, pemenuhan RTH publik perkotaan telah mencapai 14.71% dari wilayah perkotaan
dan perlu penambahan sebesar 5.29% jika dipersentasekan.
Jumlah lahan kosong potensial untuk dapat dikembangkan menjadi RTH publik di
Kota Malang adalah sebesar 126,1 Ha atau setara 1,14% jika dihitung berdasar wilayah
perkotaan. Dengan adanya pernambahan tersebut, maka total pemenuhan RTH di Kota
Malang dapat diasumsikan berada pada angka 15,85%. Oleh karena itu, masih dibutuhkan
4.15% agar luasan RTH publik perkotaan mencapai presentase 20% wilayah perkotaan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar
4.35.
14.71%
1.14%
4.15%
80%
Luas Wilayah Perkotaan Ketersediaan RTH Publik Perkotaan Luas Lahan Potensial
Kekurangan Lahan untuk Mencapai Standar RTH Publik Perkotaan
Jika melihat pada Gambar 4.34 terdapat 4.15% luasan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar kebutuhan RTH publik perkotaan, seluas 461.15 Ha. Luas lahan
potensial yang teridentifikasi belum mampu menjawab kekurangan RTH publik perkotaan
di Kota Malang. Dengan batasan bahwa lahan potensial tersebut tidak mengalami alih
fungsi lahan dan bisa dikembangkan secara optimal menjadi Ruang Terbuka Hijau Publik,
merujuk pada dinamika pertimbuhan penduduk bahwa kebutuhan akan RTH Publik akan
meningkat dari tahun ke tahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa penelitian Prioritasi Lokasi Penyediaan Lahan Dalam
Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Publik Perkotaan di Kota Malang, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan data yang dihimpun, menunjukkan bahwa ketersediaan lahan ruang
terbuka hijau publik adalah sebesar 1.634,35 Ha, dimana luasan RTH Publik
sebesar 1.379,47 Ha dan luasan potensi lain berupa sempadan seluas 254,88 Ha atau
jika dihitung hanya memenuhi 14,71% dari 20% kebutuhan RTH Publik kota.
Sehingga untuk memenuhi ketentuan RTH Publik sebesar 20% dari luasan kota
sebesar 2.221,6 Ha, maka Kota Malang masih membutuhkan tambahan 5,29% RTH
atau sebesar 587,25 Ha. Demikian pula apabila standar pemenuhan RTH tersebut
diukur melalui kebutuhan perkapita. Berdasarkan jumlah penduduknya, maka Kota
Malang masih memiliki kekurangan RTH sebesar 668,99 Ha. Penjabaran hasil
sebagai berikut:
a. RTH di Kota Malang 78.7% didominasi oleh makam, disusul dengan 7.1%
merupakan sempadan sungai, 5.4% berupa sempadan SUTT, 2.7% merupakan
jalur hijau, 1.6% sempadan mata air, 1.2% berupa median jalan, 1.1% sempadan
rel KA, 1% Taman kota, 0.5% berupa Taman lingkungan serta 0.4% merupakan
PSU dan hutan kota. Dari pembagian tersebut terlihat bahwa pada dasarnya,
pembagian RTH berdasarkan klasifikasi jenisnya belum proporsional.
b. Kota Malang memiliki total luasan lahan kosong sebesar 264,94 Ha. Ditambah
dengan aset tanah Pemerintah Kota Malang yang dapat dikembangkan seluas
46,87 Ha. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa luasan lahan kosong yang
teridentifikasi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan RTH publik perkotaan.
2. Untuk menilai potensi lahan, dokumen RAKH mencantumkan 8 kriteria yang dapat
dijadikan acuan dalam penyediaan RTH publik, yaitu (i) luasan lahan, (ii) hierarki
jalan, (iii) kedekatan terhadap pusat kegiatan, (iv) pengawasan stakeholder terkait,
(v) fungsi lahan, (vi) lokasi kepada kawasan perkotaan, (vii) status lahan, dan (viii)
komposisi ruang hijau. Untuk mendapatkan hasil yang objektif, dilakukan penilaian
berdasarkan kondisi fisik lahan dengan melakukan observasi lapangan. Berdasarkan
kriteria potensi lahan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
161
162
Jumlah lahan kosong potensial untuk dapat dikembangkan menjadi RTH publik di
Kota Malang adalah sebesar 126,1 Ha atau setara 1,14% jika dihitung berdasar wilayah
perkotaan. Dengan adanya pernambahan tersebut, maka total pemenuhan RTH di Kota
Malang dapat diasumsikan berada pada angka 15,85%. Oleh karena itu, masih
dibutuhkan 4.15% atau setara 461.15 Ha agar luasan RTH publik perkotaan mencapai
presentase 20% wilayah perkotaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5.2 Saran
5.2.1 Pemerintah
1. Karena telah menggunakan kriteria yang selaras dengan dokumen RAKH,
rekomendasi prioritas lahan potensial yang terdapat pada penelitian ini dapat
digunakan sebagai salah satu acuan dalam membuat arahan pengembangan RTH
Publik di Kota Malang.
2. Memperbaharui kriteria dan landasan teori mengenai lahan potensial RTH Publik.
Perlu adanya kajian ulang syarat kriteria lahan ideal secara lebih mendetail,
sehingga lahan yang diakuisi dapat berfungsi efektif dan efisien untuk pemenuhan
RTH di Kota Malang dan tidak berpotensi untuk menimbulkan permasalahan di
kemudian hari,
3. Menyikapi persoalan kurangnya luasan RTH publik dan ketersediaan lahan kosong
yang tidak memadai, pemerintah perlu merumuskan langkah langkah kreatif dalam
pemenuhan RTH Publik di Kota Malang.
5.2.2 Akademisi
Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan pada penelitian ini. Adapun
kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel yang digunakan untuk penelitian ini perlu untuk dikaji secara lebih
mendalam. Karena mengacu pada dokumen RAKH, variabel dapat bersifat tidak
universal dan menjadi tidak ideal untuk diimplementasikan di lokasi lainnya.
2. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dibahas secara rinci mengenai
rekomendasi penyediaan sesuai jenis RTH, oleh karena itu diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai penyesuaian jenis rencana RTH yang dipilih, maka dari itu
kriteria, bobot, maupun nilai sampai stakeholder/expert yang digunakan pasti
berbeda dengan yang telah dicantumkan dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Trananda Pratama dan Indrajati, Petrus Nalivan. 2012. Strategi Pengadaan Lahan
untuk Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung. Disertasi. Institut Teknologi
Bandung.
Anastasia, Shella dan Sulistyarso, Haryo. 2016. Arahan Optimalisasi RTH Publik
Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Jurnal Teknik Its Vol. 5, No. 2.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang. 2015. Peyusunan Rencana Aksi
Pencapaian RTH dan Sistem Informasi Capaian RTH Publik. Malang.Pemerintah
Kota Malang
Black, J.A. (1981), Urban Transport Planning: Theory and Practice, London, Cromm
Budiharjo, Eko. 1995. Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Dan Pembangunan Daerah
Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
DuPisani,J.A.2006.SustainableDevelopment–HistoricalRootsOfThe
Concept. Environmental Sciences, 3(2), 83-96.
Donnelly, J. H., Gibson, J. L., Ivancevich, J. M. 1996. Organisasi Edisi 8 Jilid 1. Jakarta:
Binarupa Aksara.
FAO Of The United Nations. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Sollis Bulletin
Vol 32.
165
166
Ganura, I & Kustiawan, I. Potensi Sediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi . Jurnal Perencanan Wilayah
Hammer, S., Kamal-Chaoui, L., Robert, A., & Plouin, M. 2011. Cities and green growth: a
conceptual framework. OECD Regional Development Working Papers, 2011(8), 1.
Hidayat, Agus & Prabantoro, Gatot. 2004. Memilih Vendor Pengembang Sistem Informasi
Manajemen Menggunakan Metode AHP. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi. Yogyakarta.
Hidayat, Muchtar. 2012. Manajemen Aset (Privat dan Publik). Jakarta : Laks Bang
PRESSindo.
Ikhsanuddin, Nanda Satriana. 2015. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan RTH Publik
Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2015. Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung
Jayadinata, T. Johara. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan. Pedesaan Perkotaan dan
Wilayah. Institut Teknologi Bandung
Kadarman. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi I’ Cet. II. Jakarta: LP3ES
Marimin, M.Sc., Prof., Dr., Ir (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambil. Keputusan Kriteria
Majemuk. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
Nugroho, Hermawan Cahyo, Soesilo Zauhar, & Suryadi. 2014. Koordinasi Pelaksanaan
Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Nganjuk. Jurnal J-
PAL, 5(1) : 12-22.
OECD. 2009. Green Cities: New Approaches to Confronting Climate Change. OECD
Workshop Proceedings. Spain.
Pemerintah Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
167
Pemerintah Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Primadasa, Y., & Amalia, V. (2017). Penerapan Metode Multi Factor Evaluation Process
untuk Pemilihan Tanaman Pangan di Kabupaten Musi Rawas. SISFO 7 Vol 7 No
1, 7.
Rianse, Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi.
Bandung: CV. Alfabeta.
Saaty, Thomas. 1993. The analytic hierarchy process: A 1993 overview. Central European
Journal for Operations Research and Economics. Vol. 2, No. 2, p. 119-137.
Sari, R & Kustiawan, K. 2010. Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik di Kota Pesisir. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 2 no 21, 45.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Swastha, Basu. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapan. Jakarta:
Penerbit Liberty.
Tanan, N & Suprayoga, G.B. 2015. Fasilitas Pejalan Kaki dalam Mendukung Program
Pengembangan Kota Hijau. Jurnal HPJI Vol 1 No 1, 17.
Zoer’aini. 1997. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta : Codesiando.
168