Anda di halaman 1dari 9

BAB I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi parasit yang masih menjadi

masalah kesehatan dunia, terutama di negara-negara beriklim tropis termasuk

Indonesia. Malaria masih menjadi salah satu penyebab kematian baik pada orang

dewasa maupun anak-anak. Menurut laporan malaria World Health Organization

(WHO) tahun 2010, perkiraan jumlah kasus malaria di dunia pada tahun 2009

mencapai 225 juta kasus. Mayoritas kasus terjadi di wilayah Afrika (78%),

selanjutnya Asia Tengara termasuk Indonesia (15%), kemudian daerah Mediteranian

Timur (5%). Jumlah kematian karena penyakit malaria secara global pada tahun 2009

mencapai 781.000 kematian, dengan 91% terjadi di Afrika, 6% terjadi di Asia

Tenggara termasuk Indonesia, dan 2% terjadi di Mediteranian Timur (WHOa, 2010).

Indonesia termasuk salah satu dari 10 negara di Asia Tenggara yang tergolong

daerah endemis tinggi, dengan penyebaran penduduk 13% yang tinggal di daerah

high transmission ( ≥1 kasus per 1000 populasi), 31% penduduk tinggal di daerah low

transmission (0–1 kasus per 1000 populasi) dan 56% penduduk tinggal di daerah

yang bebas malaria (WHOa, 2010).

Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia.

Berdasarkan Annual Parasite Incidence (API), Indonesia bagian Timur masuk dalam

stratifikasi malaria tinggi. Beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera,

termasuk stratifikasi malaria sedang. Untuk wilayah Jawa dan Bali, masuk dalam

1
2

stratifikasi malaria rendah, meskipun masih terdapat beberapa desa yang menjadi

fokus malaria tinggi. Bila dilihat per provinsi dari tahun 2008 – 2009, Nusa Tenggara

Timur (NTT) termasuk 3 provinsi yang memiliki API berada diatas API Nasional

2,47 per 1000 penduduk, selain provinsi Papua dan Papua Barat (Kemenkes, 2011).

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Provinsi NTT tahun 2006-2010, API

Provinsi NTT tidak menunjukan penurunan yang signifikan. Pada tahun 2010 API

provinsi NTT sebesar 29 kasus per 1000 penduduk dengan total jumlah kasus di

seluruh kabupaten sebanyak 136.715 kasus dengan spesies yang dominan adalah

Plasmodium falciparum.

Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten dengan jumlah kasus

malaria yang cukup tinggi di Propinsi NTT. Pada tahun 2010, Kabupaten Kupang

dengan jumlah penduduk 282.762, ditemukan sediaan positif malaria sebanyak 1.924

sediaan dengan Annual Parasite Incidence sebesar 7 kasus per 1000 penduduk

(Kemenkes NTT, 2010). Bila dibandingkan dengan kabupaten yang lain, Kabupaten

Kupang merupakan salah satu dari 6 kabupaten dengan API terendah di Propinsi

NTT. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya presentase sediaan darah yang

diperiksa, yaitu hanya sebesar 3,2%. Presentase ini tidak sebanding dengan jumlah

malaria klinis yang cukup banyak ditemukan di semua puskesmas di Kabupaten

Kupang yaitu sebanyak 12.797 kasus dengan spesies plasmodium yang ditemukan

yakni P. falciparum dan P. vivax (Kemenkes NTT, 2010).


3

Menurut WHO tahun 2010, dalam Global Report on anti malarial drug

efficacy and drug resistance 2000-2010, klorokuin masih menjadi drug of choice

terapi P.vivax untuk daerah dimana klorokuin (CQ) masih efektif digunakan.

Kegagalan terapi pada hari ke-28 atau sebelumnya dan/atau kegagalan profilaksis

telah diamati di Afganistan, Brazil, Kamboja, Kolombia, Guyana, Etiopia, India,

Indonesia, Madagascar, Malaysia (Borneo), Myanmar, Pakistan, Papua New Guinea,

Peru, the Republic of Korea, Solomon Islands, Thailand, Turkey, Sri Lanka, Vanuatu

dan Viet Nam. Akan tetapi studi konfirmasi mengenai kebenaran adanya resistensi

terhadap klorokuin di daerah-daerah ini masih sangat diperlukan. Karena alasan ini

maka penyebaran resistensi klorokuin belum sepenuhnya jelas (WHOb, 2010).

Dalam pedoman pengobatan malaria oleh WHO tahun 2010, anti malaria yang

direkomendasikan sebagai terapi uncomplicated malaria vivax adalah klorokuin (CQ)

atau golongan Artemisinin-based Combination Therapies (ACTs) untuk daerah

dimana resistensi terhadap CQ telah diketahui, dengan penambahan primakuin

selama 14 hari untuk mencegah terjadinya kekambuhan (WHOc,2010).

Sebenarnya, WHO sejak tahun 2001 telah merekomendasikan ACTs sebagai

first-line treatment untuk pengobatan uncomplicated P. falciparum malaria walaupun

pengobatan malaria dengan klorokuin, juga masih digunakan pada beberapa daerah

sebagai first-line treatment, karena harganya yang relatif murah, aman, ditoleransi

dengan baik, serta dapat digunakan sebagai terapi malaria pada bayi dan ibu hamil

(Ratcliff, 2007; Sutanto, 2009).


4

Laporan paling awal tentang kasus resistensi terhadap obat anti malaria,

datang dari Brazil ketika ditemukan kegagalan mengobati kasus malaria falciparum.

Pada akhir tahun 1950 kegagalan k1orokuin untuk pengobatan P. falciparum

ditemukan hampir bersamaan di Thailand, Kolombia dan Amerika Selatan. Beberapa

tahun kemudian, resistensi klorokuin terhadap P. falciparum telah menyebar

keseluruh dunia. Di Indonesia, laporan pertama adanya resistensi terhadap klorokuin,

ditemukan di Kalimantan Timur dan Irian Barat pada tahun 1975. Sejak saat itu,

kejadian resistensi klorokuin mulai dilaporkan menyebar dengan cepat di seluruh

kepulauan Indonesia (Ebisawa, 1975; Syafruddin et al., 2002). Penelitian yang telah

dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dan

lembaga penelitian lainnya, telah menemukan adanya resistensi P. vivax terhadap

klorokuin di daerah Bangka dan Papua (Depkesa, 2008). Sutanto et al. (2010) telah

melakukan penelitian mengenai evaluasi efek terapi klorokuin terhadap P. vivax di

daerah Lampung Sumatera Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa insidensi resistensi

klorokuin kumulatif 28 hari terhadap P. vivax adalah sebanyak 43% (95% CI: 0.2715

- 0.6384).

Pada tahun 2004 Kementrian Kesehatan Indonesia tidak menganjurkan lagi

klorokuin sebagai terapi lini pertama untuk malaria dan menggantikannya dengan

ACTs (Depkes RI, 2006).

Penelitian mengenai adanya resistensi klorokuin terhadap P. vivax di NTT,

telah dilakukan oleh Sutanto et al. pada tahun 2002. Penelitian ini dilakukan di
5

Kepulauan Alor dengan angka insidensi resistensi klorokuin kumulatif 28 hari

terhadap P. vivax adalah sebesar 56% (Sutanto, 2009). Penelitian mengenai resistensi

P. vivax terhadap klorokuin khususnya di Kabupaten Kupang NTT belum pernah

dilakukan, dan sampai sekarang klorokuin masih digunakan pada beberapa pelayanan

kesehatan di daerah ini.

Beberapa fakta di atas menunjukan bahwa, pengendalian malaria masih

menjadi tantangan. Hal ini semakin menjadi tantangan, akibat adanya peningkatan

resistensi Plasmodium terhadap obat anti malaria. Penelitian mengenai adanya

resistensi terhadap obat anti malaria, sangat diperlukan demi tercapainya keberhasilan

terapi malaria, serta memberikan pertimbangan mengenai obat anti malaria yang

tepat, yang dapat digunakan sebagai obat dalam program pengendalian malaria yang

direkomendasikan pemerintah. Penelitian ini dilakukan, untuk membandingkan efek

terapi klorokuin yang diduga telah resisten di Kabupaten Kupang NTT, dibandingkan

dengan dihidroartemisinin piperakuin (DHP) yang merupakan salah satu ACTs yang

direkomendasikan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia, sebagai terapi Malaria

vivax uncomplicated di Indonesia.

I.2. Perumusan Masalah

Malaria masih menjadi masalah kesehatan di NTT termasuk di Kabupaten

Kupang sebagai lokasi penelitian. Artemisinin based combination therapy (ACTs)

sejak tahun 2004 direkomendasikan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia dan telah

digunakan sebagai terapi lini pertama di Kabupaten Kupang. Akan tetapi pada
6

beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kupang, klorokuin masih

digunakan sebagai obat anti malaria. Penelitian mengenai perbandingan efek terapi

klorokuin dengan DHP sebagai terapi yang direkomendasikan pemerintah, belum

pernah dilakukan di Kabupaten Kupang. Berdasarkan latarbelakang ini, dapat

dirumuskan masalah yaitu, apakah ada perbedaan efek terapi antara DHP

dibandingkan dengan efek terapi klorokuin.

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan efek terapi antara DHP dan klorokuin baik secara

klinis maupun parasitologis.

I.3.1. Tujuan Khusus

Membandingkan angka kesembuhan dan kegagalan terapi (Early Treatment

Failure, Late Clinical Failure, Late Parasitological Failure dan Adequate

clinical dan parasitological response) pada terapi DHP dibandingkan dengan

terapi klorokuin pada pasien malaria vivax uncomplicated.

Membandingkan respon klinis berupa : kejadian demam, fever clearance time

(FCT), gejala yang muncul setelah minum obat dan ada tidaknya kejadian

malaria berat antara terapi DHP dibandingkan dengan terapi klorokuin.


7

Membandingkan respon parasitologis berupa: kepadatan parasit, ada tidaknya

gametosit, dan parasite clearance time (PCT) antara terapi DHP dan

klorokuin.

I.4. Keaslian Penelitian

Penelitian ini bertujuan, untuk mengetahui perbedaan efek terapi antara DHP

dan klorokuin, di daerah Takari Kabupaten Kupang NTT, dengan metode kuasi

eksperimental.

Penelitian lain yang melihat efek terapi klorokuin terhadap P. vivax, juga

pernah dilakukan oleh Sutanto et al. (2010) di Lampung Sumatera Selatan. Hasil

penelitian ini menunjukan angka kegagalan terapi sebesar 65%. Sutanto et al. (2009)

juga melakukan penelitian mengenai efek terapi klorokuin terhadap P.vivax di

Kepulauan Alor NTT. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa angka kegagalan terapi

pada hari ke-28 sebesar 56%.

Penelitian dengan metode open label Randomized Control Trial (RCT)

mengenai efek terapi klorokuin terhadap P. vivax, juga pernah dilakukan di Irian Jaya

oleh Taylor et al. (2001). Taylor membandingkan efek terapi klorokuin saja,

doksisiklin saja, dengan kombinasi klorokuin dan doksisiklin. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa, angka kesembuhan pada kelompok kombinasi

klorokuin/doksisiklin sebesar 70.6%, doksisiklin sebesar 33.3% dan klorokuin

sebesar 29.4%.
8

Penelitian penting lainnya, yang juga membandingkan efek terapi DHP

dengan klorokuin sebagai terapi P. vivax juga pernah dilakukan oleh Awab et al.

(2010) di Afganistan. Awab et al. menggunakan metode open label RCT dan hasilnya

sangat berbeda dengan penelitian lainnya, yaitu bahwa tidak ada perbedaan bermakna

parasite clearance dan fever clearance setelah 48 jam antara kelompok DHP dan

klorokuin, serta angka kesembuhan pada hari ke-28 pada kedua kelompok terapi

sama yaitu sebesar 100%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, klorokuin masih

efektif digunakan sebagai terapi malaria vivax uncomplicated, khususnya di daerah

Afganistan.

Penelitian mengenai efek terapi DHP terhadap P. vivax, juga pernah dilakukan

oleh Ratclif et al. (2007). Penelitian ini membandingkan efek terapi DHP dengan

ACTs yang lain yaitu artemeter lumefantrin (AL), di Papua Selatan. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa angka kegagalan terapi pada hari ke-42, pada kelompok DHP

berbeda bermakna dibandingkan angka kegagalan terapi pada kelompok AL. Angka

kegagalan terapi pada hari ke-42, untuk kelompok DHP sebesar 19% sedangkan, pada

kelompok AL sebesar 43% ( 95% CI 2·2–4·1, p<0·0001).

Penelitian sejenis dengan metode RCT juga dilakukan oleh Hasugian et al.

(2007). Hasugian et al., membandingkan efek terapi DHP dengan dengan ACTs yang

lain yaitu artesunat amodiakuin (AAQ) terhadap P. vivax di Papua Selatan. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa angka kegagalan terapi pada hari ke-42 pengobatan
9

sebesar 45% (95% CI, 36%–53%) pada kelompok terapi AAQ, dan 13% untuk

kelompok DHP (hazard ratio, 4.3; 95% CI, 2.5–7.2; p <.001).

I.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti & dunia pendidikan: penelitian ini dapat memberikan informasi

ilmiah mengenai perbandingan efek terapi dihidroartemisinin piperakuin dengan

klorokuin.

2. Bagi klinisi dan pelayanan pesehatan: penelitian ini memberikan informasi

mengenai terapi yang lebih efektif dan mengetahui apakah klorokuin masih

efektif dapat digunakan sebagai anti malaria khususnya di Kabupaten Kupang

NTT.

3. Bagi pemerintah: memberikan informasi yang dapat digunakan untuk evaluasi

penggunaan ACTs dalam hal ini dihidroartemisinin piperakuin dan klorokuin di

Kabupaten Kupang NTT.

Anda mungkin juga menyukai