Anda di halaman 1dari 17

DALANG G30S 1965 “SOEKARNO”

MAKALAH SEJARAH INDONESIA TAHUN AJARAN 2023-2024

Makalah ini di susun sebagai tugas dan bahan disukusi


Mata pelajaran Sejarah Indonesia

Guru Pembimbing :
Rudy Heriady, S.Pd.,M.M

Disusun Oleh
Kelompok 2 :
 Mila Rosa
 Abdul Hidayatullah
 Ahmad Rafly
 Citra Amelia
 Dila widianti
 Hendi
 Moch Aden
 Muhamad Fahlana
 Rendi

SMA NEGERI 1 CISOLOK


Jl. Raya Cikelat KM. 03, Wangunsari, Cisolok, Kab. Sukabumi
Tahun 2023

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan makalah ini bisa dilakukan dengan lancar
dan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Guru mata pelajaran
Sejarah Indonesia, Rudy Heriady,S.Pd.,M.M atas bimbingannya dalam
penyusunan makalah ini.

Makalah berjudul “DALANG G30S 1965; SOEKARNO” ini disusun


sebagai tugas dan bahan diskusi mata pelajaran Sejarah Indonesia. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi penulis dan juga bagi
para pembaca.

Terima kasih kepada seluruh teman-teman dan keluarga yang mendukung


proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari makalah yang kami susun ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Cisolok, 22 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Teori G30S; SOEKARNO.........................................................................2

B. Fakta Fakta Bahwa Memang Soekarno Dalang Dibalik Peristiwa G30S..2

BAB III PENUTUP..............................................................................................13

A. Kesimpulan..............................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan 30 September (G30S) adalah sebuah peristiwa berlatar


belakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30
September hingga 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan gugurnya tujuh
jenderal yang jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama
di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Topik tulisan ini adalah bermaksud membuktikan bahwa memang


benar Soekarno dalang G30S dan bukan sekedar bertanggung jawab dalam
kedudukannya sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Dalam hal
ini, bukti-bukti yang ditemukan setelah peristiwa G30S pada dasarnya
memang membuktikan bahwa Soekarno mendalangi G30S.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori G30S; SOEKARNO

Teori G30S ini dikemukakan oleh Anthony Dake dan John Hughes
yang bermula pada asumsi bahwa Soekarno ingin melenyapkan kekuatan
opsi yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD terhadap dirinya.

Teori ini berdasarkan pada kesaksian seorang pilot asal India, Shri
Biju Patnaik. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah
malam, Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh
seakan tahu bahwa akan ada ‘peristiwa besar’ besok.

G30S adalah skenario yang dirancang Sukarno untuk melenyapkan


kekuatan pihak oposisi yang sebagian besar adalah golongan angkatan
darat. Selain itu, Sukarno dinilai memanfaatkan hubungan baiknya dengan
PKI guna mencapai tujuan tersebut.

B. Fakta Fakta Bahwa Memang Soekarno Dalang Dibalik Peristiwa

G30S

Pertama, berdasarkan kesaksian salah satu korban G30S, yaitu


Jenderal AH Nasution dalam buku berjudul: “Peristiwa 1 Oktober 1965,
Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution,” terbitan Narasi, halaman
29, ditemukan fakta bahwa Panglima Angkatan Udara Omar Dhani telah
memberikan laporan kepada Soekarno pada tanggal 28 dan 29 September
1965 bahwa ada gerakan dari unsur-unsur perwira muda angkatan darat
untuk menindak Dewan Jenderal. Namun Soekarno tidak melakukan apa-
apa. Pengetahuan Omar Dhani mengenai akan berlangsungnya gerakan
G30S ini diperkuat dengan wawancara Omar Dhani dengan tim penyusun
buku putih TNI AU atau AURI berjudul Menyingkap Kabut Halim 1965,
bahwa Omar Dhani sesungguhnya telah menerima informasi dari Letkol
Udara Heroe Atmodjo akan ada gerakan menculik Dewan Jenderal dan
membawa mereka menemui Soekarno (halaman 225-227). Hal ini juga

2
diperkuat oleh buku pledoi Omar Dhani, berjudul "Tuhan, Pergunakanlah
Hati, Pikiran dan Tanganku" halaman 58:

“Secara serius dilaporkan bahwa akan ada gerakan di lingkungan


Angkatan Darat. Gerakan itu akan menjemput para jenderal Angkatan
Darat, termasuk anggota Dewan Jenderal, untuk dihadapkan langsung
kepada Bung Karno. Gerakan ini akan dilakukan oleh para perwira muda
yang mendapat dukungan dari bawahan serta para pegawai sipil…”

Informasi ada gerakan G30S yang diperoleh dari Heru Atmodjo,


salah satu anggota gerakan sengaja tidak dilaporkan Omar Dhani kepada
Ahmad Yani, selaku panglima angkatan darat dan target G30S. Hal ini
diakui Omar Dhani sendiri: "...oleh karena Heru unsur pimpinan intel
AURI, sebagai Panglima AURI sudah pasti saya harus percaya penuh
kepadanya. Info tersebut tidak saya sampaikan kepada angkatan lain sebab
ini merupakan urusan internal Angkatan Darat."

Kedua, Setelah peristiwa G30S, Soekarno terus menerus menolak


menindak orang-orang yang nyata-nyata terlibat dalam G30S seperti
Brigjend Soepardjo, DN Aidit, Omar Dhani dan lain-lain dengan alasan
terbunuhnya 7 jenderal, Ade Irma Suryani yang masih kecil dan korban
lain adalah sekedar “Een rimpel in de oceaan van de revolusi," atau
sekedar persoalan kecil seperti buih ombak di lautan luas. Sebaliknya
Soekarno justru bertahan di Halim, yang menjadi markas G30S dan
mengumpulkan pemimpin ABRI ke Halim. Bukan itu saja, tapi Soekarno
ternyata memiliki informasi dengan jelas mengenai apa yang terjadi ketika
para jenderal dibawa ke Lubang Buaya, seperti diutarakan oleh Brigjend
Sucipto:

“Berkatalah Soekarno antara lain kepada Pak Cipto: ‘Cip,


kekejaman-kekejaman PKI yang termuat dalam surat-surat kabar itu
semuanya tidak benar. Tahukah kamu bahwa penembakan terhadap
Jenderal Suprapto, adalah atas putusan dari semacam pengadilan rakyat di
Lubang Buaya dan dilaksanakan dengan baik dan sopan. Para Jenderal
sebelum ditembak matanya ditutup dahulu dengan kain, dan sebelum

3
menembak para penembaknya minta maaf lebih dahulu karena terpaksa
melakukan itu demi revolusi."

Mendengar cerita Bung Karno itu, dan mungkin karena terdorong


emosinya, maka bagaikan seorang hakim bertanya kepada seorang
tertuduh, segera Pak Cip menanya kepada Presiden, dari siapa beliau
mendengar atau mengetahui, hal ini. Presiden mencoba mengelakan
pertanyaan Mayjend Sucipto itu dengan mengatakan agar Pak Cip jangan
begitu emosional.

Bukti lain bahwa anggota G30S melaporkan semua hal mengenai


gerakan kepada Soekarno juga didapat dari pernyataan Kolonel Abdul
Latief, pemimpin pasukan yang membunuh anak bungsu Jenderal AH
Nasution:

"Saya selalu mentaati dan melaporkan segala sesuatu mengenai


peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 kepada Presiden."

Pada faktanya, Soekarno sama sekali tidak sedih dengan peristiwa


G30S dan hal ini semakin ditunjukan ketika dia tidak menghadiri
permakaman korban G30S dan tingkahnya dalam tayangan TVRI pada
hari meninggalnya Ade Irma Suryani tanggal 6 Oktober 1965 di mana
Soekarno malah bergurau dengan wartawan, merokok, bersikap tenang
dan tertawa terbahak-bahak seolah tidak terjadi apa-apa di Indonesia
melukai hati rakyat (Surat Ratna Dewi Soekarno tanggal 6 Oktober 1965).

Ketiga, dari bahan-bahan pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat


ditemukan kesaksian ajudan Soekarno bernama, Brigjend Sugandhi
mengenai pembicaraannya dengan Sudisman, DN Aidit dan Soekarno
pada tanggal 27 Oktober 1965 dan 30 September 1965. Pembicaraan
tersebut mengenai temuan Sugandhi mengenai gerakan di beberapa
kampung yang membuat sumur dan bagaimana Sudisman mengajak
Sugandhi bergabung dengan PKI. Selanjutnya DN Aidit berusaha
menenangkan Sugandhi dengan mengatakan bahwa PKI tidak bermaksud
coup melainkan sekedar memperbaiki kerusakan yang disebabkan Dewan

4
Jenderal dan mengenai gerakan ini sudah diketahui semuanya oleh
Soekarno. Ketika Sugandhi memberitahu Soekarno tentang PKI mau coup,
Soekarno malah menjawab:

“Kamu (Sugandhi) jangan PKI-phobi (dengan nada marah)..kamu


tahu Dewan Jenderal? Kamu hati-hati kalau ngomong…Wis, kowe ora
campur, diam saja kamu. Kowe wis dicecoki Nasution ya?”

Pada dasarnya pihak angkatan darat dari awal sudah


menyimpulkan bahwa tidak mungkin Soekarno tidak tahu rencana gerakan
G30S. Ini seperti isakan tangis Mayjend Mursid ketika bertemu dan
memeluk AH Nasution tanggal 3 Oktober 1965 dan mengatakan: "Bapak
[Soekarno] mesti tahu..."

Keempat, setelah D.N. Aidit dalam pelarian dan menjadi buronan,


Soekarno justru berkomunikasi secara rahasia dengan D.N. Aidit melalui
surat. Dengan melacak jalur surat tersebutlah akhirnya Angkatan Darat
berhasil menemukan lokasi persembunyian D.N. Aidit. Salah satu surat
DN Aidit kepada Soekarno tertanggal 6 Oktober 1965 mengkoroborasi
pernyataan Brigjend Soegandhi bahwa Soekarno sudah tahu dan merestui
G30S sekaligus membuktikan D.N. Aidit dan PKI adalah pemain pasif
dalam G30S.

“Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang


yang berpakaian Tjakrabirawa…Di situ saya diberi tahu bahwa akan
diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal.
Tanggal 1 Oktober saya diberitahu bahwa tindakan terhadap Dewan
Jenderal itu sudah berhasil. Saya bertanya, “Apakah sudah dilaporkan
kepada PYM [Paduka Yang Mulia Soekarno]. Dijawab sudah dan beliau
merestui.”

“Tanggal 1 Oktober saya diberitahu: Pak Aidit sekarang juga harus


ke Jateng dengan plane yang sudah disediakan oleh Pangau [Panglima
Angkatan Udara Omar Dhani]. Harap usahakan supaya Yogyakarta dapat
dijadikan tempat pengungsian Presiden…”

5
(Dokumen No. 1, Surat Aidit kepada Presiden Soekarno tanggal 6
Oktober 1965, Victor M. Fic, ibid).

Pernyataan DN Aidit di atas diperkuat oleh pengakuan Mayor


Bowo, dan Jenderal Mursyid.

Mayor Bowo adalah bekas ajudan Jaksa Agung Sutardio dan salah
satu perwira binaan Biro khusus PKI, yang turut hadir dalam pertemuan
rahasia antara Soekarno dan orang-orang kepercayaannya di Istana
Tampaksiring Bali tanggal 25 September 1965 di mana Soekarno
menyatakan dia akan memiliki gawean besar. Menurut rencana dia akan
memanggil Letjend Ahmad Yani di hadapan para Waperdam dan panglima
angkatan lain pada tanggal 28 September 1965 di Istana Negara dengan
tujuan menuntut pertanggung jawaban atas Dokumen Gilchrist, dan
Dewan Jenderal. Selanjutnya Ahmad Yani akan dituduh sbg penghianat
bangsa, diculik dan diajukan ke Mahkamah Militer bertempat di Kompleks
PU Halim (Soegiarso Soerojo, ibid, halaman 360 - 361).

Sedangkan Mayjend Mursyid adalah salah satu deputi Ahmad


Yani, yang pada tanggal 23 September 1965 menemui Soekarno dan
mengatakan bahwa benar ada sejumlah jenderal yang menentang
kebijakan Soekarno: "Perintah Bung Karno kepada saya untuk mengecek
kebenaran pati-pati AD yang tidak loyal pada Bapak telah saya kerjakan.
Ternyata memang benar bahwa jenderal-jenderal yang Bapak sebutkan itu
tidak menyetujui politik Bapak dan tidak setia pada Bapak." (Antonie
Dake, ibid, halaman 274).

Kelima, Dalam instruksi D.N. Aidit kepada seluruh CBD PKI


tanggal 10 November 1965 terungkap bahwa terdapat perjanjian rahasia
antara Soekarno dan Republik Rakyat China yang mengawali keterlibatan
PKI dalam G30S. Perjanjian rahasia ini juga melibatkan Soebandrio dan
pasca kegagalan G30S, ternyata Soekarno telah menghianati PKI. Akibat
penghianatan tersebut, DN Aidit menyampaikan bahwa bila Soekarno dan
Soebandrio terus menghianati PKI maka PKI akan mengumumkan

6
perjanjian rahasia yang dibuat dengan Soekarno dan hal ini berarti lonceng
kematian dan kehancuran bagi Soekarno dan Soebandrio.

Keenam, Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno pada saat G30S


terjadi memberikan kesaksian di Teperpu bahwa setelah Soekarno sampai
di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, dia menepuk-nepuk bahu Brigjend
Soepardjo dan mengatakan: “Je hebt goed gedaan, Kenapa Nasution kok
lolos?” (Anda telah melakukan dengan baik. Kenapa Nasution kok lolos?)

(Lihat lampiran berupa Berkas Acara Pemeriksaan atas nama


Bambang Widjanarko di Antonie C.A. Dake, Sukarno File, Kronologi
Suatu Keruntuhan)

Selain itu, menurut keterangan Bambang Supeno, Komandan


Batalyon 530/Para, pasukan G30S, bahwa pada kesempatan lain setelah
Soepardjo membuat laporan, Soekarno meluapkan kemarahan dan
menampar Soepardjo seraya mengucapkan umpatan serta rasa kesalnya,
"jenderal tai...mengapa kita bisa kalah?"

Bambang Widjanarko juga bersaksi bahwa pada tanggal 23


September 1965, Soekarno memanggil Jenderal Saboer, Sunarjo dan
Soedirgo untuk memberi perintah menindak jenderal-jenderal yang tidak
loyal.

Ketujuh, Di Mubes Teknik bertempat di Istora Senayan tanggal 30


September 1965, Bambang Widjanarko bersaksi menyerahkan kepada
Soekarno sepucuk surat dari Letkol Untung yang dititipkan melalui Sogol
Djauhari Abdul Muchid. Setelah itu Soekarno membaca surat tersebut di
beranda luar, mengangguk-anggukan kepala dan masuk kembali ke tempat
duduk. Peristiwa ini terjadi hanya satu jam sebelum Letkol Untung dan
pasukan G30S/PKI melancarkan operasi mereka.

Keterangan Bambang Widjonarko bahwa Soekarno menerima surat


dari Letkol Untung dibenarkan oleh Mangil Martowidjojo, Komandan
DKP Tjakrabirawa, pengawal pribadi Soekarno:

7
"...begitu menerima surat dari Sogol, Bapak memberi isyarat ingin
ke belakang. Beliau segera saya antar, diiringi Pak Saelan dan Bambang
Widjanarko. Di depan toilet suratnya dibuka. Sesudah selesai dibaca,
langsung disimpan dalam saku baju pakaian seragam Panglima Tertinggi
yang malam itu beliau pakai. Saat itu Untung memang hadir di Senayan.
Bersama anak buahnya, mereka bertugas mengawal Presiden. Saya tidak
pernah lupa, Kolonel Saelan malam itu marah kepada Untung karena salah
satu pintu Istora tidak dijaga dengan tertib..."

Setelah itu Soekarno berpidato dan mengutip bagian dari Bagavad


Gita pada bagian dialog Krishna kepada Arjuna supaya tidak ragu-ragu
menjalankan tugas negara dan membunuh siapapun yang menjadi
lawannya di medan perang sekalipun orang itu adalah saudaranya sendiri.
Kutipan pidato dimaksud diambil dari buku Revolusi Belum Selesai,
Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap
Nawaksara, halaman 44:

“Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, engkau ini ksatria. Apa


tugas ksatria? Tugas ksatria adalah berjuang. Tugas ksatria adalah
bertempur kalau perlu. Tugas ksatria adalah menyelamatkan,
mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar, di sana
itu engkau punya saudara sendiri, engkau punya tante sendiri, engkau
punya guru sendiri ada di sana, tetapi jangan lupa tugasmu sebagai ksatria.
Mereka hendak menggempur negara Pandawa, gempur mereka kembali.
Itu adalah tugas ksatria. Kerjakan engkau punya kewajiban sebagai ksatria.
Karmane, fadikaraste, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau punya
kewajiban, tanpa menghitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu
kerjakan!”

Kedelapan, beberapa saksi yang diperiksa menyatakan bahwa pada


tanggal 4 Agustus 1965, Letkol Untung dipanggil Soekarno ke tempat
tidurnya dan disaksikan oleh Brigjend Sabur. Pada kesempatan itu,
Soekarno menanyakan kepada Letkol Untung kesiapannya mengambil
tindakan kepada Djenderal-djenderal yang tidak loyal. Letkol Untung

8
menyanggupi. Hal ini juga diungkap Bono alias Walujo, orang ketiga
dalam Biro Khusus PKI. Bahwa setelah menghadap Soekarno itu, Untung
segera bertemu Bono, yang mana kemudian Bono melaporkan kepada
Sjam, dan Sjam kepada DN Aidit.

Jenderal tidak loyal dimaksud adalah jenderal angkatan darat yang


dituding sebagai Dewan Jenderal yang menurut rumor yang disebar oleh
Soebandrio dan BPI, mau melakukan kudeta terhadap Soekarno:

"Soebandrio sangat aktif menyebarkan isyu Dewan Jenderal --


sebuah isyu yang menurut pengakuan di kemudian hari, ia peroleh dari
Kepala Staf BPI Brigjen Pol Sutarto...Isyu tersebut sejalan dengan
penyebarluasan apa yang ia sebut sebagai Dokumen Gilchrist, di dalam
mana disebuttkan adanya our local army friends...Tapi Ladislav Bittman,
bekas Kepala Departemen Dinas Intelijen Cekoslovakia, menulis dalam
The Deception Game bahwa pemerintahan Praha menjalin hubungan yang
kuat dengan Soebandrio."

Kesembilan, Hasil temuan intelijen Amerika, CIA, dalam sebuah


dokumen rahasia yang sudah dilepas ke publik karena mendapat status
declassified menyimpulkan bahwa dari hasil temuan intelijen ditemukan
dalang besar G30S adalah Soekarno.

Kesepuluh, penulis Dokumen Gilchrist yang dijadikan alasan


pembenar bagi Soekarno mempercayai rumor Dewan Jenderal ketimbang
ucapan Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani di Istana Tampak
Siring, Bali, adalah penulis pidato resmi kepresidenan, yaitu Carmel
Budiardjo.

Masih banyak bukti lain, misalnya, yang menyebar isu Dewan


Jenderal ke publik untuk pertama kali adalah BPI pimpinan Soebandrio,
seorang Soekarnis tulen. Demikian pula adalah Soebandrio yang mengaku
memperoleh salinan Dokumen Gilchrist dan menyebarnya ke anggota
delegasi Konferensi Asia Afrika di Aljazair dan kemudian dimuat oleh
surat kabar Mesir.

9
Adapun mengenai motivasi Soekarno membunuh jenderalnya
sendiri adalah karena pada dasarnya dia menganggap para jenderal
angkatan darat itu tidak loyal. Indikasi tersebut didapat Soekarno dari
doktrin baru angkatan darat yang dipelopori oleh Ahmad Yani dan
Nasution mengenai “bahaya dari utara,” atau negara RRC yang menjadi
bahaya utama Indonesia dan bukan Amerika Serikat membuat Soekarno
murka karena doktrin tersebut berlawanan dengan garis politik Soekarno
khususnya mengenai NEFOS, OLDEFOS dan NEKOLIM. Kemarahan
Soekarno diungkap di depan umum dalam acara di Istana Tampak Siring,
Bali, tanggal 6 Juni 1945, dengan mengatakan ada jenderal-jenderal pethak
yang telah menentang dirinya. Kemarahan itu kembali ditunjukan pada
pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1965 yang ditulis oleh Njoto dan
Carmel Budiardjo, antara lain:

"Meski kamu jenderal pada masa perjuangan masa kemerdekaan,


tetapi kalau hari ini kamu mengacau Nasakom, anti persatuan nasional,
anti Nasakom, ...pasti aku tendang keluar.."

Keraguan Soekarno terhadap loyalitas Ahmad Yani sudah mulai


dirasakan Yani sejak pertengahan tahun 1963 ketika Yani menyampaikan
hal tersebut kepada AH Nasution.

Ketakutan Soekarno mungkin semakin menjadi setelah Presiden


Aljazair, Ben Bella digulingkan Kolonel Boumedienne, Panglima
Angkatan Darat atas dukungan dari CIA, Dinas Rahasia Amerika Serikat
pada 20 Juni 1965.

Lalu, di mana Soeharto? Dalam kesaksiannya kepada Mahkamah


Militer, Latief membeberkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto.

“Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka


tidak kami jadikan sasaran” kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan
30 September:

Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang


kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

10
Langkah ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh
Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya
Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat. Latief mengaku sudah beberapa kali
mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal. Menurut
Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu. Bahkan di
malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang
menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta. Soeharto sendiri
mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun ia
memberikan kesaksian yang berganti-ganti. Dalam wawancara dengan Der
Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot
Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Mengapa Soeharto Tidak diculik dan dibunuh? Soeharto


tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy
yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas. Namun
katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan
membunuhnya saat itu juga. "Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena
saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata
Soeharto. Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak
sempat berinteraksi.

Akan tetapi, pada hari G30S terjadi, Soekarno justru tidak berada
di tempatnya.

Lalu, di mana Soekarno ketika G30S terjadi? Soekarno tidak


berada di Istana Merdeka

Menurut pernyataan salah satu ajudan Soekarno, yaitu Kolonel


Bambang Widjanarko, ketika G30S terjadi, Presiden Soekarno sedang
tidak berada di tempat.

Pada 30 September 1965 sekitar pukul 23.00, Kolonel Bambang


memohon petunjuk Soekarno apakah akan ada perubahan acara pada
keesokan hari, yaitu tanggal 1 Oktober 1965.

11
Bambang menyebutkan, salah satu jadwal Bung Karno pada 1
Oktober 1965 adalah bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Leimena dan
Pangad Jenderal Ahmad Yani.

Akan tetapi, keesokan paginya, setelah acara gladi resik peringatan


HUT ABRI di Parkir Timur Senayan, Bambang tidak menemukan
Presiden Soekarno di Istana Merdeka.

Belakangan, ia mendengar dari Kolonel Sumirat dan AKBP


Mangil Martowidjojo (sesama pengawal Presiden) mengenai keberadaan
Bung Karno. "Kemarin malamnya (30 September) Bapak menginap di
rumah Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi), Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto.
Kurang lebih pukul 06.00 Bapak dengan diantar Pak Mangil dan anggota
Kawal Pribadi meninggalkan rumah Ibu Dewi menuju Istana Merdeka,"
tulis Bambang.

Dalam perjalanan menuju Istana Merdeka, Soekarno berpindah


haluan ke rumah istri keduanya, Haryati, yang berada di Slipi.
Perpindahan tujuan itu dilakukan karena Bung Karno mendapat kabar
bahwa Istana Merdeka telah dikepung pasukan tak dikenal. Mengenai
keberadaan pasukan tak dikenal itu juga diungkapkan Bambang dalam
bukunya.

Menurut Bambang, pada pagi hari 1 Oktober 1965, Istana Merdeka


dikelilingi pasukan bersenjata lengkap dengan kain berwarna kuning
melingkar di leher. Dari Slipi, Bung Karno kemudian mendapatkan saran
agar mengungsi ke Halim Perdanakusuma. Terkait hal ini, Bambang
mengaku tidak tahu saran itu berasal dari siapa. "Saya tidak tahu benar
siapa yang menyarankan itu dan bagaimana proses sebelum saran itu
disampaikan," tulis Bambang.

Sesampainya di Halim Perdanakusuma, Bung Karno diterima


Panglima Angkatan Udara Omar Dhani, dan ditempatkan di rumah
seorang perwira tinggi. Soekarno tiba di Halim Perdanakusuma sekitar
pukul 09.00 pagi untuk menemui perwakilan yang hendak menemuinya di

12
Istana Merdeka beberapa jam sebelumnya. Namun ketika Soekarno tiba di
Halim Perdanakusuma, para jenderal yang akan dihadapkan kepadanya
telah tewas dan mayat mereka dibuang ke sumur dekat lapangan udara.
"Untuk alasan yang masih belum sepenuhnya dapat dipahami, keenam
jenderal yang ditangkap sudah tewas pada saat dia (Soekarno) tiba, tubuh
mereka dibuaang di dasar sebuah sumur terbengkalai di dekat Pangkalan
Angkatan Udara Halim," tulis Bevins.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gerakan 30 September atau disingkat G30S atau Gestapu (Gerakan


September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) yaitu sebuah
peristiwa yang terjadi pada malam tanggal 30 September sampai di awal 1
Oktober 1965 dimana tujuh perwira tinggi militer (jenderal Angkatan
Darat)

G30S 1965 sampai saat ini masih menyisakan misteri yang


membingungkan, dan kejadian tersebut juga masih sangat terasa begitu
menegerikan.

Sejarah panjang yang terjadi di Indonesia membuat bangsa ini


lebih dewasa dalam menyikapi peristiwa yang menjadi catatan sejarah
Bangsa. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian, untuk
menuju pada perubahan ke arah yang lebih baik.

13

Anda mungkin juga menyukai