Anda di halaman 1dari 7

kurasi n kegiatan mengelola benda-benda dalam ekshibisi di museum atau galeri (KBBI)

https://www.sridianti.com/teknologi/apa-pengertian-kurasi.html

Kurasi adalah bidang usaha yang terlibat dalam perakitan, pengelolaan, dan penyajian beberapa jenis
koleksi. Kurator galeri seni dan museum, misalnya, meneliti, memilih dan memperoleh karya untuk
koleksi lembaga mereka dan mengawasi interpretasi, dan pameran.

Dalam konteks TI (teknologi informasi), ada beberapa jenis kurasi yang berbeda tetapi sering tumpang
tindih. Ini termasuk:

Kurasi data – Pengelolaan data sepanjang siklus hidupnya, mulai dari pembuatan dan penyimpanan awal
hingga saat diarsipkan atau menjadi usang dan dihapus.
Kurasi digital – Pengelolaan segala jenis data digital, melalui penggunaan perangkat lunak dan teknologi
digital lainnya.
Kurasi konten – Pengawasan atas koleksi konten Web yang diatur di sekitar tema atau area subjek
tertentu.
Kurasi sosial – Pengawasan kolaboratif dari koleksi konten Web yang diselenggarakan di sekitar jenis
konten. Pinterest, misalnya, adalah situs kolaborasi untuk berbagi dan mengatur gambar.
Kata “kurasi” dalam TI mengacu pada proses-proses untuk memilih, memelihara, dan menyimpan aset
digital. Secara umum, ini dapat merujuk pada semua jenis aset digital termasuk teks, gambar, video,
multimedia, atau bahkan jenis konten teknologi lainnya, seperti posting digital yang tidak diformat atau
kepingan media yang kaya, atau item perangkat keras fisik kecil.

Jenis kurasi khusus dan umum dijumpai di TI. Salah satunya adalah kurasi konten – di sini, profesional TI
bekerja untuk mengumpulkan jenis media digital atau “konten” tertentu dan melestarikannya untuk
generasi mendatang atau menyimpannya untuk pengambilan di masa mendatang. Selain bekerja
dengan file teks dan jenis dokumen file tertentu, kurator juga dapat bekerja dengan potongan digital
yang lebih abstrak, seperti posting Facebook atau Twitter atau posting media sosial serta jenis
komunikasi digital lainnya yang mungkin tidak ada dalam file tertentu format. Masalah dengan kurasi
melibatkan pemformatan yang konsisten, pemeliharaan sistem penyimpanan, dan sebaliknya
mengembangkan rencana terperinci untuk mencari tahu apa yang harus disimpan dan bagaimana cara
menyimpannya.

Kurasi Pameran Seni Rupa


https://kumparan.com/kabar-harian/kurasi-pameran-seni-rupa-pengertian-dan-fungsinya-
1xOV6nZYX6q/full

Mengutip dari buku Modul Seni Budaya oleh Suhendar, kurasi pameran merupakan pemaparan
informasi karya seni rupa dari berbagai aspek mulai dari fisik, visual, fungsi, dan desain. Kurasi ini
menjadi salah satu wujud dari kritik seni.
Kurasi pameran seni rupa biasanya dituliskan oleh kurator seni rupa, guru seni budaya, hingga pihak
yang berbakat menulis kritik seni. Seorang kurator bertugas menganalisis faktor keunggulan seni yang
dipamerkan. Dengan begitu, pengunjung memperoleh bahan pembanding untuk mengapresiasi karya
seni yang diamati.
Informasi yang ditulis bertujuan untuk memudahkan pengunjung dalam memahami materi maupun
mengetahui makna objek yang dipamerkan. Misalnya, dari aspek konseptual, aspek visual, aspek teknik
artistik, aspek estetik, aspek fungsional, maupun aspek nilai seni, desain, atau kria yang dipamerkan.
Melalui kurasi pameran seni rupa, pengunjung tidak kebingungan saat melihat objek seni tertentu.
Artikel atau tulisan kurasi pameran seni rupa dimuat dalam katalog pameran, sehingga isinya menjadi
topik bahasan menarik untuk diskusi yang dilaksanakan.
(ZHR)

Apa itu Kurator Seni?


Kompas.com - 30/03/2022, 10:30 WIB

Semua orang menganggap bahwa pekerjaan dalam dunia seni hanya seniman saja. Namun, sebenarnya
masih banyak pekerjaan yang terlibat dalam dunia seni. Dari semua pekerjaan dunia seni, ada salah satu
pekerjaan yang biasanya ditemui di museum atau galeri seni, yaitu kurator seni. Pengertian kurator seni
Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kurator merupakan pengurus atau pengawas harta
benda yang penting, pengawas dari perguruan tinggi, atau pengurus atau pengawas museum. Namun,
jika lebih spesifik lagi, kurator seni merupakan orang yang bertugas dalam persiapan pameran seni atau
acara kesenian yang lain, seperti pengarahan sampai penyeleksian. Biasanya, pekerjaan ini dilakukan
secara berkelompok atau membentuk tim, tetapi tidak jarang melakukannya secara individu. Baca juga:
Jenis Kritik Karya Seni Rupa Tugas kurator seni Dilansir dari situs Galeri Indonesia, kurator seni memiliki
tugas yang harus dijalani, yaitu: Menganalisis bagaimana perkembangan seni di Indonesia maupun
internasional. Melakukan pertimbangan dalam seleksi karya seni yang layak masuk ke dalam pameran.
Membantu dalam penentuan tata pameran tetap, bagian dokumentasi, dan kebijakan dalam mengolah
koleksi. Mengadakan kerja sama dalam bidang edukasi maupun melakukan apresiasi terhadap dunia
seni pada masyarakat. Perkembangan kurator seni di Indonesia Berdasarkan jurnal Seni dan Kurasi di
Perguruan Tinggi Seni (2017) oleh Jim Supangkat, kemunculan pekerjaan kurator seni di Indonesia
dimulai pada tahun 1990. Awalnya, pekerjaan kurator sama sekali tidak kenal dan bukan pekerjaan yang
mampan. Oleh karena itu, mereka yang bekerja sebagai kurator pada saat itu disebut sebagai kurator
independen. Kurator independen pada saat itu lebih berfokus pada seni kontemporer, tetapi ketika
masuk tahun 2000-an awal, para kurator independen mulai dipercayakan untuk mengurus pameran seni
yang ada di Indonesia. Tidak hanya seni kontemporer saja, tetapi berbagai macam seni lainnya. Seiring
perkembangan pekerjaan kurator seni di Indonesia, pekerjaan kurator mulai diakui sebagai pekerjaan
yang sangat berperan dalam dunia seni sampai ke kancah internasional. Namun, pekerjaan ini masih
minim informasi dan jarang terdengar di masyarakat umum, hanya lingkup dunia seni saja.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa itu Kurator Seni?", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/skola/read/2022/03/30/103000169/apa-itu-kurator-seni-.
Penulis : Feiren Dina Junita
Editor : Serafica Gischa

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Kurator
oleh: IACC ADMIN | Seni Rupa | 6 Tahun lalu

Oleh Galam Zulkifli

Secara etimologis Istilah kurator (curator) berasal dari bahasa yunani, berati merawat dan
menyembuhkan (cure) atau peduli (care). kemudian dalam The Consice Oxford Thesaurus (1995)
mengacu pada keeper, custodian, conservation., guardian, caretaker, stewart yang dapat diartikan orang
yang menangani pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, memperhatikan, menjaga,
membenahi, sampai menyuguhkan kembali sesuatu artefak/ objek. Kegiatan kurasi pertama-tama
dikenal di dunia barat (Eropa dan Amerika Utara) di museum-museum nonseni rupa seperti museum
sejarah, museum biologi yang mengoleksi spesies-spesies binatang yang ada, perpustakaan, dan
museum antroplogi.

Kurator Dalam Seni Rupa

Pada awal sejarahnya, Kurator bekerja untuk penataan koleksi museum. Entah itu koleksi barang
bersejarah, atau artefak seni dan budaya. Seiring dengan perjalan waktu, pekerjaan kuratorial juga
merambah ke ranah seni rupa.

Kurator dalam seni rupa ibarat manager atau supervisor yang bertugas mengamati dan menganalisis
perkembangan seni rupa, mem-pertimbangkan dan men-seleksi, mengumpulkan, menata, bahkan
menentukan barang apa saja yang boleh ditampilkan dalam museum atau pameran seni, membantu
museum atau galeri untuk mengadakan pameran tetap, sistem pendokumentasian dan kebijakan
pengelolaann koleksi, melakukan kerjasama, bimbingan, edukasi, dan apresiasi seni rupa melalui
kegiatan-kegiatan galeri, jadi prisnsipnya dalam ruang lingkup seni rupa, Kurator bekerja ibarat seorang
produser sekaligus sutradara di dunia film. Seniman bisa saja membuat karya yang menurutnya dia
hebat. Tapi jika Kurator tidak menginginkan karya itu dalam pameran, maka karya itu tidak akan
ditampilkan.

Adanya “diskriminasi” tentang penampilan karya seni, kemudian merangsang kemunculan Kurator
independent. Tapi ternyata Kurator independent tidak memiliki jaringan yang luas dan terpaksa
mengadopsi pola kerja Kurator mainstream. Hal ini memunculkan kekecewaan mendalam dan kemudian
memunculkan istilah artist-curator, dimana sang seniman itu sendirilah yang berperan ganda sebagai
Kurator.

Kurator asal Perancis Keren Detton memang mengakui kerja kuratorial di Eropa pun sampai sekarang
sebenarnya berbeda-beda. Ketika praktik kuratorial berkembang begitu pesat, seni rupa tak bisa lagi
hanya dipahami dari teori-teori tentang seni rupa an sich. Di Eropa kemudian berkembang apa yang
disebut critical curatorial studies, yang mengadopsi kajian-kajian dalam filsafat seni dan juga cultural
studies. Bahkan, belakangan, menurut Jim Supangkat, kerja kuratorial menjadi sangat interdisipliner
dengan berkembangnya kajian-kajian feminisme, sosial-politik, dan kebudayaan. Kerja kurasi kemudian
lebih berorientasi pada masalah-masalah multikulturalisme. “Zaman ini disebut sebagai curation on
the move…,”

Kurator Seni Rupa Indonesia

Sementara mengenai kapan ada kurator di Indonesia beserta tikungan kuratorial dan ekspansi
kuratornya, Agung Hujatnikajennong mengatakan bahwa hal itu sebenarnya adalah ranah yang sangat
gelap. Berikutnya Agung mencoba menawarkan satu perspektif yang menurutnya juga masih harus diuji.

Dalam bukunya yang berjudul “Past Peripheral”, Patrick D. Flores mengatakan bahwa tahun 90-an
adalah masa ketika pameran-pameran besar Internasional mulai melihat Indonesia dan banyak
melibatkan seniman-seniman Indonesia. Seiring itu kemudian muncul orang-orang yang menyebut diri
mereka sebagai kurator pada masa ini. Salah satu pameran yang cukup penting untuk melihat
munculnya kurator di Indonesia adalah pameran Asia Pacific Triennial (APT) yang melahirkan sosok Jim
Supangkat pada tahun 1992. Namun sebelum Jim Supangkat, Patrick D. Flores juga menyebut nama
Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo sebagai kurator serta menjelaskan kenapa ia memasukkan ke
dua nama itu.

Jika melihat patokan Patrick D. Flores yang memposisikan Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo
sebagai kurator pertama yang muncul di Indonesia pada tahun 1988, maka sejarah kekuratoran,
menurut Agung, bisa dilihat dari sejarah ruang seni, dan ruang seni di Indonesia memiliki sejarah yang
lebih panjang dari apa yang dituliskan oleh Patrick. Praktik pameran, kekuratoran sebagai exhibition
making sudah ada sejak mulai ada pameran di Indonesia, mungkin sejak Sudjojono membuat pameran
Persagi di Toko Buku Kolff pada tahun 1938, dan bisa dikategorikan ke dalam beberapa model.

Sebelum Kemerdekaan, Jeanne de Haaxman pernah membawa karya-karya Gauguin, Matisse, dan Van
Gogh ke Indonesia untuk pertama kalinya dan dipamerkan di Bataviasche Kunstkring Jakarta pada tahun
1938. Kemudian pada tahun 50-an, seperti yang ditulis oleh Claire Holt dalam bukunya, disebutkan
nama Dullah sebagai proto-kurator. Saat itu Indonesia tidak memiliki museum, namun koleksi yang
dibangun oleh Soekarno dan ditempatkan dalam satu tempat serta ditata sedemikian rupa menunjukkan
bahwa pengkoleksian sudah ada dan terlembaga. Saat itu Dullah bertindak sebagai penasihat untuk
Soekarno dan juga sebagai konservator.

Menurut Kuss Indarto (httpa//news.indonesiakreatif.net/:::news.indonesiakreatif.net ) Banyak


perhelatan pameran seni rupa yang memakai bingkai kuratorial dan bersifat kompetitif nyaris selalu
direaksi oleh publik seni rupa sendiri dengan pandangan minor yang berbau penolakan. Seolah hadirnya
kurator dan bingkai kuratorial yang ditawarkan dengan serta-merta hendak menjadi “algojo” yang
sewenang-wenang meminggirkan (kelompok) seniman tertentu dan memunculkan (kelompok) seniman
tertentu lainnya berlandaskan kedekatan emosional, kelekatan sosial, jaring-jaring koncoisme dan
sebagainya. Dugaan adanya praktik nepotisme hampir selalu menjadi titik dasar persoalan dalam praktik
kerja kurator(ial).

Asumsi ini tentu cenderung cukup menyesatkan, meski tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan.
Minimalnya upaya mediasi serta sosialisasi akan pentingnya kurator berikut bingkai kuratorial dalam tiap
perhelatan seni rupa-lah yang menjadi kunci atas asumsi-asumsi miring tersebut. Selama ini
pemahaman atas praktik kerja kuratorial seolah sekadar dipahami sebagai EO (event organizer) seni
rupa yang berorientasi sempit seperti hanya mengarah ke upaya komersialisasi seni(man) semata, atau
kerja-kerja parsial sebatas menyeleksi karya pameran, bahkan diasumsikan hanya sebatas menulis kata
pengantar dalam katalogus pameran.
Padahal, praktik kerja yang selalu diupayakan dibangun oleh kurator adalah mencoba membuat disain
pameran secara komprehensif. Dalam disain ini seorang kurator menentukan intellectual framework
(kerangka kerja intelektual), yakni gagasan dan basis pemikiran yang menjadi titik berangkat untuk
memproyeksikan pameran terhadap target yang akan dituju. Intellectual framework itu berasal dari dua
kemungkinan.

Pertama, berangkat dari riset, survei atau pembacaan kurator tentang tema dan problem tertentu
(sosial, politik, budaya dan sebagainya) yang kemudian diimajinasikan untuk diturunkan (derivasikan)
dalam praktik kerja visual seniman. Dari sinilah kemudian kurator memiliki hak sepenuhnya untuk
memilih karya seni atau seniman yang sesuai dengan intellectual framework. Dalam tahap ini sangat
dimungkinkan kurator menyeleksi karya yang tidak sekadar indah dan bagus dengan parameter estetik
saja, melainkan juga menempatkan karya yang menarik sebagai subyek untuk menyuarakan persoalan
tertentu. Teks visual diberi konteks persoalan. Atau dalam istilah Direktur Apexart-Curatorial Program,
New York, Steven Rand (2002), dikatakan bahwa: “Seseorang bisa menunjukkan seniman dan karya
seninya, sedang kurator (mestinya) bisa menunjukkan karya seni dan konteksnya”. Dalam level ini,
pemahaman kurator terhadap teori dan sejarah seni, karya yang artistik, berikut kemampuannya dalam
displaying karya diasumsikan telah cukup paripurna.
Kemungkinan kedua, berasal dari artefak karya seni yang sudah ada atau tersedia dengan
kecenderungan tertentu untuk kemudian dibaca ulang oleh kurator dengan beragam kemungkinan
modus, sistem dan perspektif pembacaannya. Pada titik inilah kreativitas seorang kurator diuji untuk
lebih jauh menggaungkan artefak karya seni tersebut. Upaya membongkar dan mensubversi sistem
(pe)makna(an) yang telah menjadi mainstream atas karya tersebut sangat dimungkinkan terjadi.
Misalnya eksposisi tubuh-tubuh dan potret diri perupa Nurkholis atau Agus Suwage dalam kanvas-
kanvasnya, tidak lagi hanya bisa sebagai sebungkah praktik narsisisme, melainkan dapat juga dikerangkai
secara konseptual sebagai subyek perlawanan terhadap dominasi praktik kuasa konsumsi. Belum lagi
ihwal pemajangan karya yang dilakukan tidak di galeri melainkan di kafe, misalnya, dimungkinkan akan
mampu menciptakan ruang diskursif yang lebih kompleks.

Dalam proses implementasi atas modus kuratorial seperti ini, kurator tidak secara arbitrer (sewenang-
wenang) melakukan kerja kuratorialnya, tetapi tetap mengedepankan seniman sebagai pokok soal
(subject matter) dan sumber utama gagasan. Dengan demikian pola kerja yang simbiosis mutualistik
kurator-perupa menjadi agenda terdepan. Proses komunikasi yang intens dan setara menjadi lebih
penting – seperti diungkapkan oleh kurator Whitney Museum, AS, Lawrence Rinder (2002) –
ketimbang bekal teori yang dipahami oleh kurator dari buku yang tidak akan banyak berguna tanpa
inisiatif untuk terus-menerus melihat karya seni dan peka melihat ruang-ruang baru yang spesifik.Di
sinilah ada titik temu yang relevan dari pandangan kurator Judith Tannenbaum yang memberi
penegasan bahwa tiap pameran perlu nyali dari sang kuratornya untuk menghadirkan garis kuratorial
yang penuh nilai curiosity, contradiction, collaboration, and challenge (dalam tulisan “C is for
Contemporary Art Curator”, Art Journal, 1994). Curiosity (rasa ingin tahu) mengandaikan kegelisahan
kurator untuk mendalami lebih lanjut karya dan praktik kerja seniman; contradiction (kontradiksi)
mengandaikan pentingnya membenturkan nilai kontras antara yang mainstream dan yang hidden
(tersembunyi), yang beredar dalam praksis dan teori; collaboration (kolaborasi) mengandaikan kerja
kuratorial merupakan praktik kerja yang disemangati oleh praktik kolaborasi yang egaliter; dan challenge
(tantangan) yang mengandaikan pentingnya progres yang dinamis sebagai sebuah tantangan utama.

Macam Kurator Seni Rupa

1. Kurator Independent
Kurator independen adalah seseorang yang bekerja menyelenggarakan suatu pameran baik di dalam
atau luar negeri. Kurator ini karya seni atau desain yang secara utuh ia yang menentukan tema tertentu.
Dengan ini kurator mengetengahkan satu realitas dari berbagai realitas kesenian atau desain yang
menurutnya menarik. Misalnya seorang kurator independen mengadakan sebuah pameran dengan
tema “Alam” maka karya-karya yang boleh ikut dalam pameran tersebut adalah karya yang
bertema alam.

Seorang kurator independen secara secara administratif tidak masuk ke dalam suatu lembaga formal-
museum seni atau galeri seni. Ia menyelenggarakan suatu pameran karena diundang atau atas inisatif
sendiri. Dana pameran pameran ia proleh dari satu atau sejumlah perusahaan atau institusi yang
sanggup mendukungnya. Tidak sedikit semula kurator independen bekerja di sebuah musium atau galeri
seni, kemudian melepaskan diri menjadi kurator independen untuk mendapatkan kebebasan dalam
kuratornya.

2. Kurator Pendamping
Istilah co curator atau kurator pendamping juga muncul dalam wacana seni kontemporer. kurator
pendamping bertugas mendampingi seorang kurator memasuki suatu wilayah yang belum dikenalnya
secara baik untuk memilih beberapa karya dari wilayah itu untuk sebuah pameran besar bersama yang
berjangkauan internasional. Misalnya pameran seni rupa Asia pasifik yang mengikutkan beberapa
negara di Asia. Ini perlu adanya kurator pendamping dari setiap wilayah. Kurator pendamping inilah
nantinya yang mengusulkan kepada kurator karya mana yang layak untuk di pamerkan.

3. Kurator Negara
Istilah ini dipakai dalam satu perhelatan seni yang terdiri dar beberapa negara. Misalnya ketika ada
sebuah perheltan besar seni yang menampilkan karya-karya dari sejumlah negara, semisal, pameran
seni rupa kontenporer negara-negara ASEAN. Biasanya dalam forum ini ada seorang kurator kepala yang
mengkoordinir kurator dari masing-masing negara. Dan kurator wakil negara inilah yang memilih serta
membuat ulasan untuk karya-karya yang dipilih dari negaranya.

4. Kurator Kepala
Kurator kepala adalah kurator dalam kegiatan pameran besar, yang tidak bisa dikoordinir sendiri.
Kurator kepala merupakan pimpinan dari kurator bagian dan kurator wakil negara. Ia memimpin segala
kegiatan dalam suatu kegiatan besar. Meskipun yang memilih karya adalah kurator pendamping dan
kurator wakil negara dalam sebuah pameran besar. Namun yang mengambil keputusan tertinggi adalah
kurator kepala.
5. Kurator Museum
Kurator museum adalah kurator yang bekerja di sebuah museum, baik itu museum sejarah, seni rupa
dan sebagainya. Tugas kurator ini adalah menjaga dan memelihara karya yang ada di museum serta
menyelenggarakan pameran-pameran di museum tersebut. Kurator museum sifatnya tidak bebas, ia
terikat dengan aturan dari museum tersebut, ia juga harus menjaga nama baik museum. Karena kualitas
karya-karya yang ada di museum ditentukan oleh kurator museum tersebut.

6. Kurator Galeri
Kurator Galeri adalah kurator yang bekerja di sebuah galeri seni rupa baik itu galeri nasional maupun
galeri internasional. Kurator galeri sifatnya sama dengan kurator museum, tidak dapat bebas sendiri. Ia
terikat dengan aturan yang ada di galeri tersebut. Tugas kurator galeri adalah menjaga dan memelihara
karya yang ada di galeri, menyelenggarakan pameran-pameran dari luar di Galeri, mempublikasikan dan
memasarkan karya yang dipamerkan di galeri. Tidak semua galeri memiliki kurator, hanya galeri-galeri
tertentu yang memiliki kurator khusus seperti Galeri nasional dan internasional. Sedangkan galeri
daerah jarang memiliki kurator, walaupun ada kurator-nya bekerja sebagai kurator independen.

7. Artist Kurator
Dimana sang seniman itu sendirilah yang berperan ganda sebagai Kurator.

Beberapa Kurator Indonesia :


Hendro Wiyanto, M. Agus Burhan, Sindhunata, M. Dwi Marianto, Tommy F Awuy, Jim Supangkat, Jean
Couteau, Agung Hujatnikajennong, Sudjud Dartanto, Asikin Hasan, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo,
Rain Rosidi, Arif B Prasetyo, Citra Smara Dewi, Rizki A. Zaelani, Suwarno Wisetrotomo, Mike Susanto,
Enin Supriyanto, Kuss Indarto, Taufik Rahzen, Djuli Djatiprambudi, Farah Pranitia Wardani, Alia Swastika,
Wahyudin, Aminuddin MT Siregar, Nurdian Ichsan, Agus Darmawan T, Amir Sidharta, Asmudjo Jono
Irianto.

Anda mungkin juga menyukai