Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320298822

Aturan Topologi untuk Unsur Perairan dalam Skema Basis Data Spasial
Rupabumi Indonesia

Conference Paper · May 2016

CITATION READS

1 4,081

3 authors, including:

Danang Budi Susetyo Aji Putra Perdana


Badan Informasi Geospasial Badan Informasi Geospasial
32 PUBLICATIONS 34 CITATIONS 26 PUBLICATIONS 40 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PENYUSUNAN PROTOTYPE BASISDATA NAMA RUPABUMI INDONESIA View project

Topographic Mapping Acceleration Research View project

All content following this page was uploaded by Danang Budi Susetyo on 10 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ATURAN TOPOLOGI UNTUK UNSUR PERAIRAN DALAM
SKEMA BASIS DATA SPASIAL RUPABUMI INDONESIA
Danang Budi Susetyo, Dini Nuraeni, Aji Putra Perdana
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim – Badan Informasi Geospasial (BIG)
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
Email: danang.budi@big.go.id

ABSTRAK

Topologi digunakan untuk memodelkan hubungan spasial antara kelas fitur dalam suatu dataset dan
memastikan fitur tersebut konsisten dalam perilaku dan hubungan spasialnya. Aturan topologi
memungkinkan kita untuk menentukan dan mendefinisikan hubungan spasial antar fitur sesuai
kebutuhan. Dalam skema basis data spasial rupabumi Indonesia, aturan topologi merupakan bagian dari
upaya untuk menjamin kualitas data rupabumi. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-undang No.4
Tahun 2011 mengenai Informasi Geospasial (UU IG), pasal 2 butir e yang menyebutkan Informasi
Geospasial (IG) diselenggarakan berdasarkan asas keakuratan yang berarti bahwa penyelenggaraan IG
harus diupayakan untuk menghasilkan Data Geospasial (DG) dan IG yang teliti, tepat, benar, dan
berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Aturan topologi yang diterapkan telah mengalami perubahan seiring perkembangan kebutuhan dan
teknologi perangkat lunak SIG (Sistem Informasi Geografis). Tujuan dari penelitian ini adalah
mengkaji penentuan aturan topologi untuk unsur perairan yang tepat dalam skema basis data rupabumi.
Aspek yang menjadi pertimbangan dalam penentuan aturan topologi mencakup tiga hal, yaitu
kebutuhan untuk proses generalisasi digital, penyusunan gasetir, dan penyajian kartografis.
Generalisasi berkaitan dengan panjang segmen, toponim berkaitan dengan posisi titik hulu-muara bagi
penyusunan gasetir, dan kartografi berkaitan dengan penyajian informasi unsur perairan dalam peta
secara kartografis. Hasil dari penelitian ini adalah rekomendasi aturan-aturan yang mengakomodir tiga
aspek tersebut dan implementasinya.

Kata Kunci: topologi; basisdata RBI; perairan; generalisasi; toponim; kartografi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pasal 7 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial menyebutkan


Peta Rupabumi Indonesia (RBI) merupakan salah satu peta dasar yang menjadi bagian dari
Informasi Geospasial Dasar (IGD). Pasal tersebut menekankan fungsi utama peta RBI sebagai
referensi utama pemetaan di Indonesia. Peta RBI berdasarkan UU IG terdiri atas garis pantai,
hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan
fasilitas umum dan penutup lahan.
Data IGD diperlukan untuk berbagai keperluan analisis spasial. Salah satunya unsur
perairan yang dibutuhkan untuk analisa pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS),
kebencanaan, pengelolaan wilayah dan lain sebagainya, sehingga kualitas data perairan yang
baik dan berkualitas mutlak diperlukan agar berbagai perancanaan pembangunan dapat
berjalan dengan baik.
444
Spesifikasi basis data spasial yang meliputi aspek geometri serta atributnya diperlukan
agar data yang dihasilkan menjadi seragam. Salah satu aspek geometri adalah aturan
hubungan antar objek dalam satu unsur maupun antar unsur, atau dalam bahasa spasial
disebut topologi. Topologi dan geometri jaringan sungai penting untuk mendeskripsikan
bentuk, organisasi, dan fungsi dari Daerah Aliran Sungai/ DAS (Band 1999).
Topologi merupakan hubungan antar fitur yang digunakan untuk menentukan error
spasial dan menjamin karakteristik spasial sehingga dapat digunakan untuk pemodelan
geografis (USGS 2012). Jika topologi dinotasikan sebagai T, dan layer peta dinotasikan
sebagai L dan M, maka T = L x M, dimana L adalah layer utama dan M adalah layer
kontekstual, sehingga dapat dikatakan “sebuah objek memiliki hubungan dengan objek
kontekstual” (Jiang & Omer 2007). Topologi yang baik akan berpengaruh terhadap kualitas
data, salah satunya dalam penggunaan data tersebut untuk analisis spasial.
Penelitian ini membahas spesifikasi topologi unsur perairan data rupabumi Indonesia
(RBI). Spesifikasi tersebut dibuat berdasarkan tiga aspek: generalisasi, toponim, dan
kartografi. Generalisasi berkaitan dengan panjang segmen, toponim berkaitan dengan posisi
hulu dan muara dalam penyusunan gasetir, dan kartografi berkaitan dengan penyajian basis
data tersebut ke tampilan kartografis.
Aturan yang seragam mengenai topologi akan membuat data spasial tersebut menjadi
lebih mudah untuk dikelola dan digunakan untuk berbagai keperluan. Spesifikasi tersebut juga
akan membuat kegiatan pemetaan lebih mudah untuk dilaksanakan dan meminimalisir
subjektivitas antar operator, sehingga dapat meningkatkan kosistensi basis data meskipun
dilakukan dalam tahun dan skala yang berbeda.

METODE

Penelitian ini menggunakan spesifikasi generalisasi, toponim, dan kartografi sebagai dasar
dalam menentukan aturan topologi. Penjelasan masing-masing parameter adalah sebagai
berikut:
1. Generalisasi
Topologi adalah kunci untuk menghasilkan data generalisasi yang baik tanpa merusak
hubungan antar fitur (Hardy 2000). Generalisasi penting untuk digunakan sebagai
parameter karena proses seleksi segmen perairan menggunakan acuan panjang. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Sen & Gokgoz (2012) menyatakan geometri dan topologi
merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam generalisasi unsur hidrografi, dimana
dalam penelitian tersebut geometri berkaitan dengan panjang dan kelokan sungai,
sedangkan topologi menggunakan grafik konektivitas, yaitu sekumpulan titik dalam ruang
matematis yang dihubungkan oleh sekumpulan garis.
Spesifikasi generalisasi mengikuti hasil penelitian yang dilakukan oleh Susetyo &
Perdana (2015). Generalisasi unsur perairan berdasarkan hasil penelitian tersebut
dilakukan berdasarkan panjang minimum, kerapatan sungai, dan luas geometri area
perairan. Panjang minimum memperhatikan nama unsur sungai, yaitu alur sungai dan
sungai satu garis, sedangkan kerapatan sungai memperhatikan jumlah panjang total
segmen sungai per luasan 1 km2.

Tabel 6. Panjang minimum sungai berdasarkan nama unsurnya

Nama unsur Panjang minimal (mm)


Alur sungai 10
Sungai satu garis 5

445
Tabel 7. Panjang minimum sungai berdasarkan kelas kerapatannya

Kerapatan Kerapatan 1:100.000 Panjang minimal


Kelas
1:50.000 (km/km2) (km/km2) (pada skala hasil generalisasi)
Sangat rapat >2,0 >1,0 12mm
Rapat 1,0~2,0 0,5~1,0 10mm
Normal 0,5~1,0 0,25~0,5 8mm
Jarang 0,1~0,5 0,05~0,25 5mm
Sangat jarang <0,1 <0,05 Tidak diseleksi

2. Toponim
Parameter toponim berkaitan dengan penempatan titik hulu dan muara dalam penyusunan
gasetir. Posisi dari titik hulu dan muara tersebut juga ditentukan oleh topologi data
perairan, sehingga toponim perlu menjadi parameter yang dipertimbangkan dalam
membuat aturan topologi. Kebenaran informasi mengenai hulu dan muara penting untuk
kebutuhan analisis hidrologi, diantaranya pembentukan DAS dan Sub-DAS, yaitu pada
tahap pembentukan jaringan sungai saat identifikasi hulu-hulu anak sungai / channel head
(Indarto et al. 2008).
Pembuatan titik hulu dan muara menggunakan spesifikasi yang ditetapkan dalam
Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Basis data Daftar Nama Rupabumi di Pusat Pemetaan
Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial tahun 2015. Petunjuk Pelaksanaan
tersebut menggunakan tools Feature Vertices to Point menggunakan perangkat lunak
ArcGIS, dengan menempatkan titik output pada start dan end dari sebuah segmen sungai.
Otomatisasi dalam pembentukan titik-titik gasetir tersebut tentu memerlukan topologi
yang baik, karena jika tidak, maka titik yang dihasilkan akan terbentuk pada lokasi yang
tidak benar.
3. Kartografi
Topologi pada dasarnya lebih berkaitan dengan data digital, sedangkan kartografi terkait
dengan penyajian peta yang umumnya lebih fokus ke produksi peta cetak. Meski
demikian, topologi yang diterapkan untuk data perairan seharusnya membuat data
tersebut mudah untuk disajikan dalam tampilan kartografis. Topologi terkait dengan
kartografi lebih kepada bagaimana segmen-segmen perairan akan ditampilkan, bukan
kepada kebenaran informasi yang dapat diperoleh dari basis data tersebut.
Acuan yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Spesifikasi
Penyajian Peta Rupabumi Skala 1:25.000. Selain itu, digunakan pula sampel peta RBI
cetak sebagai referensi penyajian unsur-unsur perairan pada tahun-tahun sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aturan topologi yang diterapkan dalam pemetaan rupabumi sejak tahun 2014 untuk unsur
garis meliputi tidak boleh overlap (must not overlap / self-overlap), tidak boleh berpotongan
(must not intersect / self-intersect), ujung suatu garis harus snap dengan garis lain (must not
have dangles dan must not have pseudonodes), tidak ada garis yang menumpuk antar unsur
(must not overlap with), dan tidak ada beberapa objek yang direprentasikan dalam satu record
(must be single part). Aturan tersebut terdapat kemungkinan untuk tidak mengakomodir
parameter yang diujikan dalam penelitian ini (generalisasi, toponim, kartografi). Berikut
pembahasan topologi yang diterapkan pada beberapa data untuk tiga parameter tersebut.

446
Generalisasi
Uji kesesuaian aturan topologi yang diterapkan dalam pemetaan RBI dilakukan pada data
unsur perairan hasil generalisasi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Validasi topologi sangat
berpengaruh terhadap hasil generalisasi jika menggunakan parameter panjang, karena akan
berdampak pada jaringan sungai.
Jika merujuk pada aturan topologi di atas, aturan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
panjang adalah must not have dangles dan must not have pseudonodes. Segmen sungai yang
belum memenuhi aturan tersebut akan membuat sungai hasil generalisasi menjadi
menggantung.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait aturan ini adalah pemilihan level sungai untuk
mengidentifikasi hirarki dari segmen sungai pada sebuah jaringan (Sen & Gokgoz 2012).
Pemilihan level sungai yang tidak tepat akan berpengaruh terhadap hasil generalisasi sungai,
yaitu membuat sungai menjadi menggantung.

Gambar 4. Level sungai (Sen & Gokgoz 2012)

Contoh kesalahan yang disebabkan oleh ketidaksesuaian hirarki segmen sungai ditunjukkan
pada gambar di bawah ini. Tahap validasi topologi dalam kegiatan pemetaan rupabumi perlu
memperhatikan pemilihan level sungai, dimana segmen utama seharusnya adalah segmen
terpanjang dalam sebuah jaringan sungai. Penetapan level ini menggunakan acuan nama
rupabumi (toponim) yang didapatkan dari survei kelengkapan lapangan.

1:25.000 1:50.000

Gambar 5. Kesalahan generalisasi akibat pemilihan level sungai yang salah

447
Aturan must not intersect adalah salah satu yang dikaji mendalam dalam penelitian ini.
Beberapa dampak yang diakibatkan oleh aturan must not intersect adalah deteksi error pada
perpotongan segmen perairan serta percabangan sungai di sungai dua garis.
Perpotongan segmen perairan dapat terjadi pada sungai terhadap sungai maupun sungai
terhadap irigasi. Perpotongan antar segmen sungai satu garis dapat terjadi meskipun relatif
jarang. Pertemuan tersebut akan memunculkan deteksi error pada aturan must not intersect.
Pilihan dalam solusi error tersebut adalah split, namun ketika itu diterapkan pada perpotongan
sungai satu garis, maka akan berpengaruh terhadap panjang segmen sungai, sehingga error
tersebut dapat diabaikan (dilakukan exception).
Kemungkinan lainnya adalah perpotongan sungai dengan irigasi, atau pertemuan sesama
unsur irigasi. Seleksi berdasarkan kerapatan tidak hanya mempertimbangkan unsur sungai
saja, namun seluruh unsur yang masuk ke dalam kategori perairan. Hal itu membuat unsur
perairan lain juga tidak boleh terputus di pertengahan segmen, sehingga perlakuan yang sama
seperti unsur sungai juga diberikan pada unsur perairan lainnya, termasuk irigasi.

Gambar 6. Perpotongan sungai dengan irigasi

Selain pertemuan segmen perairan, must not intersect dapat terjadi pada sungai satu garis
yang masuk ke sungai utama berbentuk sungai dua garis, sehingga sungai satu garis tersebut
memotong garis tepi sungai.

Gambar 7. Perpotongan sungai satu garis dan garis tepi sungai

Sejak tahun 2014, sungai satu garis yang masuk ke sungai utama berupa sungai dua garis,
maka sungai satu garis harus diteruskan hingga snap ke garis tengah sungai. Hal itu dilakukan

448
untuk mempertahankan jaringan sungai, yang juga mendukung dalam generalisasi unsur
perairan. Salah satu aturan simplifikasi dalam generalisasi adalah sungai dua garis yang
lebarnya kurang dari 0,5 mm (dikalikan dengan skala output generalisasi) maka sungai
tersebut diubah menjadi sunga satu garis. Solusi yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga
kebutuhan tersebut adalah mengabaikan (exception) error pada kondisi tersebut, dan sesuai
dengan ketentuan topologi dalam pemetaan RBI.

Gambar 8. Hasil simplifikasi menjadi sungai satu garis

Gambar 9. Ketentuan percabangan sungai dalam pemetaan RBI tahun 2016

Aturan topologi lainnya relatif tidak berpengaruh terhadap proses generalisasi, sehingga dapat
langsung diterapkan dalam pemetaan.

Toponim
Kesalahan topologi dalam kaitannya dengan kebutuhan toponim akan berdampak pada
kesalahan penempatan titik gasetir hulu dan muara. Jika metode pembuatan gasetir
menggunakan Feature Vertices to Point, kesalahan dalam aturan must not have dangles dan
must not have pseudonodes juga dapat berakibat kesalahan posisi titik gasetir. Aturan must
not intersect untuk perpotongan segmen perairan juga tidak berbeda dengan generalisasi
(dilakukan exception), karena sebuah segmen sungai yang memiliki nama yang sama
seharusnya tidak boleh terpotong.

449
Gambar 10. Gasetir hulu dan muara sungai pada basis data RBI Kalimantan tahun 2015

Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah ketika ada sungai satu garis yang masuk ke
dalam sungai dua garis. Seperti dijelaskan dalam subbab generalisasi di atas, bahwa sejak
tahun 2014, sungai satu garis yang masuk ke sungai utama berupa sungai dua garis, maka
sungai satu garis harus diteruskan hingga snap ke garis tengah sungai, padahal muara toponim
seharusnya berada di garis tepi sungai dua garis.

Gambar 11. Ketentuan percabangan sungai dalam pemetaan RBI tahun 2016

Kebutuhan tersebut dapat diakomodir dengan mengubah metode pembentukan titik gasetir
muara, dari menggunakan Feature Vertices to Point dengan menempatkan titik di end
menjadi intersect antara sungai satu garis dengan garis tepi sungai. Terkait dengan aturan
must not intersect, sama seperti generalisasi, bagian tersebut juga dapat dilakukan exception.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh ada kesalahan dalam penentuan start dan
end dari sebuah segmen sungai. Kuncinya adalah saat proses digitasi atau stereoplotting,
dengan melakukan capture data mulai dari hulu. Terkait dengan aturan topologi lainnya tidak
berbeda dengan generalisasi, secara dampak tidak berpengaruh langsung terhadap gasetir,
namun tetap harus diperhatikan agar basis data yang dihasilkan memenuhi kualitas yang
diharapkan.

450
Kartografi
Spesifikasi penyajian unsur sungai yang disebutkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
tentang Spesifikasi Penyajian Peta Rupabumi Skala 1:25.000 adalah “sungai dengan lebar
lebih dari 15 meter digambar sesuai dengan bentuk dan skala, sedangkan sungai dengan lebar
kurang dari 15 meter digambar dengan garis tunggal”. Contoh penyajian unsur sungai yang
ditunjukkan dalam SNI tidak menyertakan garis tengah sungai, sedangkan dalam basis data
perairan terdapat garis tengah sungai.

Gambar 12. Penyajian unsur sungai dalam SNI Penyajian Peta RBI

Ketentuan dalam SNI tersebut sesuai dengan penyajian peta RBI yang selama ini dilakukan
oleh Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG. Ketentuan tersebut membuat sungai satu
garis yang masuk ke sungai dua garis menjadi menggantung.

Gambar 13. Sungai satu garis yang menggantung dalam sajian kartografis

Jika pemrosesan kartografi menggunakan representasi di ArcGIS, basis data unsur perairan
tidak perlu diubah dan hanya perlu dilakukan pengaturan unsur apa yang akan ditampilkan.
Garis tengah sungai tetap ada dalam basis data, namun saat disajikan dalam tampilan
kartografis direpresentasikan sebagai hide symbol. Selain itu, dapat dilakukan penghapusan
representasi sungai satu garis untuk segmen yang melewati garis tepi sungai, sehingga sungai
satu garis nampak berhenti di garis tepi sungai. Ketentuan representasi membuat aturan
topologi dapat disesuaikan dengan kebutuhan di luar kartografi.

451
Gambar 14. Penghapusan representasi sungai satu garis

KESIMPULAN

Penelitian ini membahas aturan topologi untuk unsur perairan dalam skema basisdata spasial
rupabumi Indonesia. Parameter yang digunakan mengikuti kebutuhan mendasar yang ada di
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial, yaitu generalisasi
digital, toponim, dan kartografi.
Terkait dengan generalisasi, ada beberapa aturan topologi yang harus diperhatikan. Aturan
yang memiliki pengaruh signifikan terhadap panjang adalah must not have dangles dan must
not have pseudonodes, sehingga pemilihan level sungai untuk mengidentifikasi hirarki dari
segmen sungai pada sebuah jaringan diperlukan agar tidak terjadi sungai menggantung.
Aturan lain yang perlu diperhatikan adalah must not intersect, dimana perpotongan antar
sungai atau irigasi tidak boleh di-split karena akan berpengaruh terhadap panjang segmen
perairan. Aturan must not intersect juga dapat ditemukan pada sungai satu garis yang masuk
ke sungai utama berbentuk sungai dua garis, sehingga sungai satu garis tersebut memotong
garis tepi sungai. Solusi yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga jaringan sungai dalam
kebutuhan generalisasi berupa simplifikasi sungai dua garis menjadi sungai satu garis adalah
mengabaikan (exception) error pada kondisi tersebut.
Kesalahan topologi dalam kaitannya dengan kebutuhan toponim akan berdampak pada
kesalahan penempatan titik gasetir hulu dan muara. Jika metode pembuatan gasetir
menggunakan Feature Vertices to Point, kesalahan dalam aturan must not have dangles dan
must not have pseudonodes juga dapat berakibat kesalahan posisi titik gasetir. Khusus untuk
sungai satu garis yang masuk ke dalam sungai dua garis, kebutuhan tersebut dapat diakomodir
dengan mengubah metode pembentukan titik gasetir muara, dari menggunakan Feature
Vertices to Point dengan menempatkan titik end menjadi intersect antara sungai satu garis
dengan garis tepi sungai. Aturan must not intersect untuk perpotongan segmen perairan juga
tidak berbeda dengan generalisasi (dilakukan exception), karena sebuah segmen sungai yang
memiliki nama yang sama seharusnya tidak boleh terpotong.
Terkait kartografi, pemrosesan dapat menggunakan representasi di ArcGIS, sehingga basis
data unsur perairan tidak perlu diubah dan hanya dilakukan pengaturan unsur apa yang akan
ditampilkan. Ketentuan representasi membuat aturan topologi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan di luar kartografi.

452
UCAPAN TERIMAKASIH (Acknowledgement)
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi
dan Toponim, Badan Informasi Geospasial yang telah memfasilitasi terkait data dan
dokumen-dokumen yang menjadi referensi dalam penelitian ini.

REFERENSI
Badan Informasi Geospasial, 2015. Petunjuk Pelaksanaan Tahapan Penyusunan Basis Data Daftar
Nama Rupabumi.
Badan Standardisasi Nasional, 2010. Spesifikasi penyajian peta rupa bumi – Bagian 2: Skala 1:25.000.
Band, L.E., 1999. Spatial Hydrography and Landforms. Geographical Information Systems, 1, pp.527–
542. Available at: Band1999GIS.pdf.
Hardy, P., 2000. Multi-scale Database Generalisation for Topographic Mapping, Hydrography and
Web-Mapping, Using Active Object Techniques. , XXXIII, pp.339–347.
Indarto et al., 2008. Pembuatan Jaringan Sungai dan Karakteristik Topografi DAS dari DEM-Jatim.
Media Teknik Sipil, (37), pp.99–108.
Jiang, B. & Omer, I., 2007. Spatial topology and its structural analysis based on the concept of
simplicial complex. Transactions in GIS, 11(6), pp.943–960.
Republik Indonesia, 2011. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang
Informasi Geospasial. , (1).
Sen, A. & Gokgoz, T., 2012. Clustering Approaches for Hydrographic Generalization. In GIS Ostrava.
Ostrava.
Susetyo, D.B. & Perdana, A.P., 2015. Kajian Generalisasi untuk Membangun Basisdata Rupabumi
Multi-Skala. In Seminar Nasional Geografi UMS. Surakarta.
USGS, 2012. Digital Database Architecture and Delineation Methodology for Deriving Drainage
Basins , and a Comparison of Digitally and Non-Digitally Derived Numeric Drainage Areas,
Reston, Virginia.

453

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai