Anda di halaman 1dari 15

PENGADILAN PAJAK

(KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK - KOMPETENSI PENGADILAN


PAJAK - SEJARAH PENGADILAN PAJAK)

Dosen Pengampu : H. Deni Nuryadi SH.,MH & Maharani Nurdin SH.,MH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pajak

Disusun Oleh :

Maharani Dwi Lestari 2010631010103

Melisa Elisabeth Munthe 2010631010110

Michael Hamonangan 2010631010112

Rakean Bagus A 2010631010214

Widya Clarasita Firdaus 2010631010158

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobil alamin, pertama-tama kami panjatkan puji syukur


kehadirat Allah SWT. Karena berkat limpahan nikmat dari-Nya lah kami
menyelesaikan penulisan makalah yang bejudul “Pengadilan Pajak (Kedudukan
Pengadilan Pajak - Kompetensi Pengadilan Pajak - Sejarah Pengadilan pajak)” ini
dengan baik. Shaolawat serta salam juga kami limpah curahkan kepada nabi
Muhammad SAW, kepada para keluarganya, para sahabatnya, dan mudah-mudahan
sampai pula pada kita semua sebagai umatnya aamiin. Makalah ini kami susun
untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum,
Universitas Singaperbangsa Karawang. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada bapak H. Deni Nuryadi SH.,MH. & Maharani Nurdin SH.,MH Selaku dosen
pengampu mata kuliah Hukum Pajak yang telah membimbing kami dalam
penyusunan makalah ini. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu atas penyusunan makalah ini sehingga makalah
ini dapat selesai tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa pada penulisan
makalah ini masih banyak sekali kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna
untuk itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan agar makalah
ini dapat menjadi lebih sempurna.

Karawang, 3 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

PENGADILAN PAJAK ................................................................................................ 1


KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................. 4
Latar Belakang .............................................................................................. 4
Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
Tujuan Penelitian........................................................................................... 4
Manfaat Penelitian......................................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................... 4
2.1 Kedudukan Pengadilan Pajak ....................................................................... 4
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak mempunyai peranan yang sangat dominan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan
sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk
pengeluaran pembangunan, oleh karena itu bermacam macam upaya dilakukan
untuk menarik pajak dari masyarakat, namun demikian dalam penarikan pajak harus
dilakukan hati-hati dan memenuhi rasa keadilan. Pembebankan pajak kepada
masyarakat yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan masyarakat akan enggan
membayar pajak. Namun bila terlalu rendah pembangunanpun tidak akan berjalan
karena dana yang kurang.
Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus
memenuhi persyaratan yaituPemungutan pajak harus adil, Pengaturan Pajak harus
berdasarkan Undang-Undang, dan dalam Sistem pemungutan pajak saat ini adalah
selfassessment system yaitu sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitug, melaporkan hutang pajaknya yang tertuang dalam
Surat Pemberitahuan (SP), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya.
Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi
dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan pemeriksaan pajak. Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 1(yang selanjutnya
disebut dengan UU Kekuasaan Kehakiman) Pasal 25 menyatakan bahwa Peradilan
dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha negara, dan
pada sisi lain kedudukan Pengadilan Pajak menurut UU Pengadilan Pajak Pasal 2
mengatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari
keadilan terhadap Sengketa Pajak sehingga dalam hal ini terjadi ketidaksinkronan
UU Pengadilan Pajak dengan UU Kekuasaan Kehakiman.2
Sehingga pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi
pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Hal ini menunjukkan
bahwa status kompetensi dari kedudukan pengadilan pajak, sebagai lembaga
peradilan yang menjalankan fungsi yudisial dan juga menjalankan fungsi esekutif
yang dapat mengakibatkan tidak ada kemandirian dalam memutus perkara.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan pengadilan pajak dalam sistem peradilanIndonesia?
2. Bagaimana kompetensi pengadilan pajak di Indonesia?
3. Bagaimana sejarah pengadilan pajak di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan adapun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah menjelaskan pengarturan dari pengadilan pajak
dalam peradilan di Indonesia beserta kompetensi dan sejarah awal mula peradilan
pajak di Indonesia.

1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PASAL 25 NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PASAL 2 NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Manfaat Penelitian
1. Mengetahui sistem pengaturan pengadilan pajak yang berlaku di Indonesia
2. Mengetahui kompetensi peradilan pajak di Indonesia
3. Mengetahui sejarah pengadilan pajak di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

Kedudukan Pengadilan Pajak

Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun2009


Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pengadilan pajak alangkah baiknya bisa menjadi lembaga peradilan yang
menangani di masalah administrasi perpajakan yang bisa sama dengan pengadilan
khusus lainnya yang ada di pengadilan umum, walaupun pengadilan pajak berada
di pengadilan tata usaha negara. Kedudukan pengadilan pajak berada di bawah
seutuhnya di Mahkamah Agung agara bisa lembaga yang mandiri yang tidak
berpijak antara pemerintah dan Mahkamah Agung. Tahun 2002 telah
diberlakukan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu peradilan yang independen
dalammenyelesaikan sengketa perpajakan.

Pengadilan pajak, sebagai peradilan pengganti BPSP (Badan Penyelesaian


Sengketa Pajak) berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 yang
dicabut dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Keberadaan
Pengadilan Pajak tersebut menjadi sebuah polemik. Sebagai badan peradilan yang
menjalankan kekuasaan kehakimanbagi wajib pajak atau penanggung pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2
UU Pengadilan Pajak menjadi sebuah tanda tanya. Pengadilan pajak sebagaimana
kedudukannya dinyatakan dalam Pasal 2 UU Pengadilan Pajak “… badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman …” Maka untuk itu perlu
dikaji, sebagai negara hukum yang menganut paham pemisahaan kekuasaan dan
prinsip “checks and balances”, kekuasaan kahakiman menjadi sangat penting.
Kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Bab IX (sembilan) UUD NRI
1945 dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.” UU Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah
mengalami beberapa perubahan. Dalam Perubahan terakhir UU Kekuasaan
Kehakiman lebih menegaskan kedudukan dan kewenangan para pelaku
Kekuasaan Kehakiman. Sebagaimana diketahui bahwa pelaku kekuasaan
kehakiman diatur Bab III UU kekuasaan kehakiman. Pelaku kekuasaan kehakiman
dalam Pasal 18 UU Kekuasaan Kehakiman mengapdosi Pasal 24 ayat (2) UUD
NRI 1945 yakni Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah MahkamahKonstitusi.

Sebagai badan peradilan, kedudukan Pengadilan Pajak di dalam UU


Pengadilan Pajak, tidak ada satu pasal atau ketentuan apapun yang menjelaskan
posisinya sebagai pengadilan khusus. Dalam Pasal 2 menyatakan bahwa
“pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak.” Ini artinya bahwa UU pengadilan pajak dengan UUD
NRI 1945 Pasal 24 ayat (2) tidak sinkron, karena dalam UUD NRI 1945
menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan
dibawahnya berserta Mahkamah Konstitusi adalah bersifat limitatif atau tetap
artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain itu. Ketentuan
yang ada pada Pasal 2 UU Pengadilan Pajak walaupun tidak konkret disebutkan
namun dapat dipahami kehendak pasal tersebut adalah menginginkan adanya
peradilan pajak secara mandiri sebagaimana Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang sama-sama
berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikerenakan
Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi
keberadaannya, disamping itu karakteristik proses penyelesaian sengketa yang
berbeda dengan peradilan lainnya.
Berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Pengadilan
Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus sengketa pajak. Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin
tegaknya keadilan melalui penerapan Undang- undang dan kitab Undang-undang1
dalam penegakan hukum dalam ringkup Pengadilan dilakukan oleh hakim
memiliki prinsip independensi, Ketidakberpihakan, intergitas, kesetaraan,
kecakapan dan kesaksamaan.2

Perjalanan pengadilan pajak dalam pelaksanaan peradilan Indonesia sangat


berbeda dengan pengadilan niaga, pengadilan anak, pengadilan tindak pidana
korupsi, pengadilan hubungan industri, dan pengadilan hak asasi manusia.
Dispensasi atau perbedaan dalam penanganan perkara pada umumnya, tapi masih
masuk dalam ranah Makamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 Tentang Peradilan Umum.

Kedudukan Pengadilan Pajak adalah sebagai Pengadilan khusus di bawah


Peradilan Tata Usaha Negara. Dilhat dari segi objek Pengadilan Pajak (sengketa),
maka sengketa pajak memiliki karakteristik yang sama dengan sengketa tata usaha
negara meskipun berbeda secara substantif. Ditegaskan lebih lanjut dalam UU
Kekuasaan Kehakiman Pasal 27 ayat (1)jo UU PTUN Pasal 9 ayat (1).

1
Asshiddiqie Jimly. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta; Rajawali Pers.313
2 Id. 317
Kompetensi Pengadilan Pajak
Istilah kompetensi berasal dari bahasa latin di abad menengah
“competentia”, yang berarti “hetgen aan iemend toekomt” yaitu apa yang menjadi
wewenang seseorang. Dalam bahasa Indonesia istilah itu sering diterjemahkan
dengan kewenangan, kekuasaan atau hak, yang dikaitkan dengan badan yang
menjalankan kekuasaan kehakiman.
Jadi kompetensi itu merupakan pemberian kekuasaan, kewenangan atau hak
kepada badan dan atau pengadilan yang melakukan peradilan. Hal itu penting agar
suatu permohonan gugatan yang disampaikan kepada badan atau peradilan dapat
diperiksa dan diputus oleh badan yang berwenang.
Wewenang atau kekuasaan pengadilan tercakup dua hal yaitu :
1. Attributie (pemberian), yaitu apakah Pengadilan Negeri pada umumnya
(dan) bukan lain macam pengadilan atau badan kekuasaan (yang) berkuasa
memeriksa perkara semacam yang dimaksudkan dalam permohonan
gugat;
2. Distributie (pembagian), apakah Pengadilan Negeri yang disebut dalam
permohonan gugat (dan) bukan Pengadilan Negeri lain (yang) berkuasa
memeriksa perkara tertentu, yang dimaksudkan permohonan gugat.
Kompetensi absolut oleh R. subekti dan R. Tjitrosoedibio sebagaiamana
dikutip oleh Sjahran Basah diberi arti sebagai uraian tentang kekuasaan atau
wewenang sesuatu jenis pengadilan. Sedangkan kompetensi relatif ialah
menetapkan pembagian kekuasaan diantara badanbadan pengadilan dari satu
jenis.
a) Kompetensi absolut
Seperti umumnya diketahui, sebuah institusi pengadilan mempunyai
kompetensi (kewenangan mengadili) absolut. Yang dimaksud kompetensi absolute
adalah kewenangan suatu lembaga pengadilan untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa atau persoalan hukum tertentu apabila dihadapkan dengan
kewenangan dari lembaga pengadilan dari lembaga peradilan lainnya yang
mempunyai wilayah hukum sama.
Dalam kaitannya dengan Kompetensi absolut Pengadilan Pajak, Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur hal ini dalam
dua pasal, yakni Pasal 31 dan Pasal 32.
Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan
bahwa Pengadilan Pajak Mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan
memutus sengekta pajak. Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) Undang-

undang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya berwenang
memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara menurut Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak menyatakan bahwa:
(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,
Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan
hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam siding-sidang
Pengadilan Pajak.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Ketua.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut maka jelaslah kompetensi Pengadilan
pajak adalah memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Dalam menyelesaikan
sengketa pajak ini Pengadilan Pajak memiliki kewenangan dalam dua macam
upaya hukum, yaitu Gugatan dan Banding.
Selain mengenai banding dan gugatan seperti diatas, yang juga menjadi
kewenangan absolut Pengadilan Pajak adalah melakukan pengawasan terhadap
kuasa hukum kepada para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak.

b) Kompetensi Relatif
Berbeda dari kompetesni absolut yang menghadapkan kewenagan
mengadili dari suatu pengadilan dengan kewenangan mengadili dari suatu
pengadilan dengan kewenangan mengadili dari lingkungan peradilan lain, maka
kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili pengadilan dari
lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang berbeda. Dalam
kaitan hal tersebut, kedudukan dan wilayah hukum dari sebuah lembaga
pengadilan memegang peranan yang sangat penting. Untuk Pengadilan Pajak
sendiri mengenai hal ini diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak.
Pasal 3 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak menyatakan
bahwa : “ Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak
yangberkedududkan di ibukota Negara.”
Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa “Sidang Pengadilan Pajak dilakaukan
di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat
lain.”
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa : “tempat sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Ketua.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan
Pengadilan Pajak adalah ibukota Negara, yaitu Jakarta. Tetapi apabila melihat
ketentuan Pasal 3 UU PP dan dibandingkan dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4
UU BPSP terdapat perbedaan. Pasal 3 ayat 1 UU BPSP menyatakan bahwa :
“Dengan Undang-undang ini dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang
berkedudukan di ibu kota negara dan apablia dipandang perlu dapat dibentuk
Badan Penyelsaian Sengketa Pajak yang tingkatnya sama dengan tempat lain.”
Sementara Pasal 4 UU BPSP menyatakan bahwa: “Sidang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak dilakukan ditempat kedudukan atau di tempat kedudukan atau di
tempat lain dalam daerah hukumnya.
Apabila melihat ketentuan Pasal 3 UU BPSP maka dapat dimungkinkan
terjadinya suatu kompetensi relative, yaitu antara BPSP yang berkedudukan di
ibukota Negara dengan BPSP di tempat lain yang tingkatannya sama. Sementara
dalam ketentuan UU PP tidak membuka kemungkinan adanya pembukaan
Pengadilan Pajak di tempat lain yang setingkat dengan yang di Jakarta maupun
yang merupakan pengadilan di bawahnya.
Sejarah Pengadilan pajak
Pengadilan pajak berperan sebagai wadah untuk mencari keadilan dan
pemulihan hak hak bagi pihak-pihak yang bersengketa. Melihat pentingnya peran
pengadilan pajak maka wajib pajak perlu memahami perkembangan, kewenangan,
kedudukan, ruang lingkup, fungsi, ketentuan pembuktian, hingga proses beracara
di pengadilan pajak.

1. Institusi Pertimbangan Pajak


secarahistoris, upaya penyelesaian sengketa pajak telah ada sejak lama, bahkan
sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintah telah memprediksikan terkait
adanya sengketa pajak sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu,
sebagai solusi timbulnya sengketa pajak maka didirikan Institusi Pertimbangan
Pajak (IPP) pada 1915.
Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk mempertahankan hak-hak
wajib pajak dan otoritas pajak di bidang perpajakan. Pembentukan tersebut
tertuang dalam Staatsblad No.707/1915. Pihak-pihak yang tergabung dalam
institusi ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan para ahli perpajakan.
Institusi ini hanya berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan
pertimbangan bahwa kota ini menjadi pusat perdagangan. Perkembangan penting
selanjutnya adalah ketika diundangkannya Staatsblad 1927 No.29 yang
menggantikan Staatsblad No.707/1915. Perubahan penting dari peraturan tersebut
terkait jabatan Ketua IPP yang digantikan dari Menteri Keuangan ke Wakil Ketua
Mahkamah Agung Hindia Belanda.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa berbagai perubahan yang
mempengaruhi keberadaan IPP. Akan tetapi, keberadaan institusi ini tetap
dipertahankan dan diatur dalam aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Dengan diaturnya dalam konstitusi, IPP masih berlaku hingga pemerintah
Indonesia melakukan peninjauan kembali pada 1959. Dengan diundangkannya
UU No.5/1959 tentang Pengubahan 'Regeling Van Het Beroep In Belastingzaken',
dibentuklah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).

2. Majelis Pertimbangan Pajak


MATERI yang tertuang dalam UU No.5/1959 sebenarnya tidak banyak
perbedaan dengan Staatsblad 1927 No.29 karena hanya mengatur mengenai istilah
dan sebutan. Selain itu, ada penegasan bahwa MPP memiliki kedudukan sebagai
pengadilan administratif. Dengan terbentuknya majelis ini maka kewenangan
untuk memeriksa dan memutus permohonan banding atas keberatan yang diajukan
oleh wajib pajak melekat pada MPP.

3. MPP tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa pajak pusat, tetapi juga
pajak daerah. Setelah MPP terbentuk, sengketa pajak yang terus menumpuk
dapat diselesaikan di bawah kepemimpinan Soerjono Sastrohadikoesoemo. Saat
itu, penggunaan nama MPP dianggap kurang sesuai karena menimbulkan
intepretasi yang salah terkait fungsi badan ini yang hanya bertugas memberikan
pertimbangan tanpa memutus perkara. Namun, sebutan MPP masih terus
digunakan hingga didirikannya Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
melalui UU No.17/1997 tentang Badan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
BPSP
Dibentuk untuk menggantikan tugas tugas MPP yang dianggap sudah tidak
memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa
pajak. Dalam Pasal 2 UU No.17/1997 ditegaskan mengenai kedudukan BPSP
sebagai Badan Peradilan Pajak yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 27 UU
No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
BPSP mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus
sengketa pajak. Tugas dan wewenang tersebut berada di luar tugas dan wewenang
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selain memeriksa dan
memutus permasalahan sengketa pajak, BPSP juga berwenang untuk
menyelesaikan sengketa kepabeanan dan cukai. Adanya perluasan kewenangan
BPSP dari MPP, anggota badan ini berasal dari pemerintah, para ahli perpajakan,
pengusaha, dan ahli di bidang kepabeanan dan cukai. Dimasukannya materi
terkait kepabeanan dan cukai dikarenakan saat itu UU Kepabeanan dan UU Cukai
sudah diundangkan pada 1995.
Melihat kedudukan BPSP saat itu, ada yang mengusulkan pembentukan badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemerintah
membentuk Pengadilan Pajak melalui UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak.

4. Pengadilan Pajak
Saat ini, pengadilan pajak merupakan bentuk dari pengadilan khusus yang
berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) 2. Menurut
Pasal 2 UU No.14/2002, definisi pengadilan pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak
yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pembentukan pengadilan pajak
ini mempunyai tiga pertimbangan penting.
-Pertama, peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman atas
bidang perpajakan. Selain itu, otoritas pajak juga semakin sadar akan pelaksanaan
pemerintah yang baik (good governance).
-Kedua, semakin dibutuhkan wadah untuk menyelesaikan sengketa pajak dengan
prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana.
-Ketiga, dibutuhkan badan peradilan yang dapat memeriksa dan mutus sengketa
pajak yang menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap

2
DDTC, Pengadilan Pajak dari masa ke masa . 2017, jum’at 18 Agustus https://news.ddtc.co.id/begini-
sejarah-pengadilan-pajak-19466
Penyelesaian Sengketa Pajak.
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting. Hukum pajak sendiri
adalah peraturan yang mengatur tentang perpajakan dan hubungan negara dengan orang
atau badan wajib pajak, tujuannya memperjelas dan mempertegas prosedural pajak. Sejalan
dengan teori kepatuhan hukum, ketertiban hukum sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesadaran masyarakatnya. Oleh sebab itu, artikel ini akan membahas tentang peranan
hukum pajak dan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kepatuhan pajak sebagai
upaya mewujudkan kesejahteraan. Menggunakan metode deskriptif, pengkajian dilakukan
dengan pendekatan konseptual melihat ketentuan UU dan ilmu hukum lainnya. Penelusuran
dan analisis dilakukan berdasarkan studi dokumen kepustakaan dan literatur hukum.
Ketegasan dan keadilan hukum pajak yang dibersamai dengan kesadaran masyarakat
berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan jumlah penerimaan pajak
yang akan digunakan untuk pembangunan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.

B. Saran
Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar, sehingga memiliki peran yang sangat
penting bagi pembangunan nasional. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan tindakan
terhadap para penunggak pajak. Pelaksanaan gijzeling terhadap wajib pajak yang tidak
kooperatif hendaknya dilakukan secara tegas baik dari peraturannya maupun dari aparat
penegak hukumnya mengingat banyak sekali wajib pajak yang tidak melunasi hutang
pajaknya.

Penerapan gijzelingseharusnya dilakukan secara intensif kepada para penunggak pajak yang
memang benar - benar memiliki hutang berjumlah besar, karena akan memiliki efek positif
terhadap penerimaan pajak. Selain itu, sidat gijzelingyang memaksa ini akan memberikan
dampak positif yaitu bisa meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak
sebagai bentuk kewajiban terhadap negara.

Anda mungkin juga menyukai