Anda di halaman 1dari 18

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Pajak Basir, S.H.I., M.H.

KONSEP PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK DAN

REFORMASI PERPAJAKAN

OLEH :

Alfajar Ahmad Abujibril 12120711726

Amanda Nadya 12120721735

Intan Permata Sari 12120723158

Luthfi Asif Ahmad Rafi 12120712267

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Konsep Peradilan Dalam Hukum Pajak dan Reformasi
Perpajakan”

Pada kesempatan ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Basir, S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Pajak

2. Rekan-rekan di kelas B Jurusan S1 Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

3. Semua pihak yang telah memberi bimbingan dan dukungan kepada kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kami penulis maupun bagi pembaca.

Pekanbaru, November 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Peradilan Dalam Hukum Pajak .......................................................................... 2
B. Reformasi Pajak ................................................................................................. 6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga) ditegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Oleh karena itu, hukum merupakan sarana utama yang oleh bangsa
itu disepakati sebagai sarana untuk mengatur kehidupannya. Hal ini berarti bahwa
setiap tindakan dan akibatnya yang dilakukan oleh semua pihak di negara ini, harus
didasarkan atas hukum, sehingga seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan
bernegara harus berdasarkan norma-norma hukum.

Dalam sebuah negara hukum peranan dari lembaga-lembaga peradilan sangat


diperlukan demi tercapainya sebuah supremasi hukum. Upaya penegakan hukum ini
diterapkan diberbagai bidang, dan salah satunya adalah di bidang Perpajakan untuk
memberikan keadilan sebagai akibat timbulnya permasalahan antara subjek pajak
(rakyat) dengan pemungut pajak (pemerintah) atau dapat pula disebut sebagai
sengketa pajak. Dari hal tersebut maka dibentuklah Pengadilan Pajak melalui
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Peradilan Dalam Hukum Pajak?
2. Bagaimana Reformasi Perpajakan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan


mengenai Peradilan dalam hukum pajak dan reformasi pajak bagi para pembaca
khususnya mahasiswa S1 Ilmu Hukum.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Dalam Hukum Pajak

Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan adminitrasi yang bersifat


khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan
administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus
administrator (pejabat admintarsi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah
seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan
diberlakukan hukum publik atau hukum admintrasi. Hukum administrasi umumnya
berupa sanksi administrasi, baik berupa bunga, denda, tambahan pokok pajak,
maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus. Sanksi administrasi berkaitan dengan
masalah-masalah ketidak taatan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban seperti
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tapi tidak
benar dan tidak lengkap.

1. Pengadilan Pajak
Pengadilan Pajak adalah termasuk dalam lingkungan peradilan tata usaha
negara, yang sesuai Pasal 27 ayat (6) Undang-Undang KUP, bahwa badan peradilan
pajak diatur dengan undang-undang. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
adalah Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 yang berlaku mulai 12 April 2002,
yang disingkat dengan UU Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak sesuai Pasal 2 UU
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa
Pajak.
Sengketa Pajak sesuai Pasal 1 huruf 5 UU Pengadilan Pajak adalah sengketa
yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak
dengan pejabat yang berwenang, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukannya banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk atas gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2
Tempat kedudukan Pengadilan Pajak sesuai Pasal 3 UU Pengadilan Pajak adalah
pada ibu kota negara, yaitu di Jakarta. Sedangkan tempat sidang Pengadilan Pajak
sesuai Pasal 4 (1) UU Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan
apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Dan tempat sidang dimaksud
ditetapkan oleh ketua, yaitu di Jakarta atau dapat di tempat lainnya.1

2. Gugatan
Dalam bidang pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002, wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan.
Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002
diberikan batasan sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan
yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.2 Masalah Penagihan Pajak tersebut telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Mengenai upaya hukum gugatan tersebut
dalam undang-undang tentang Penagihan Pajak dengan surat Paksa diatur dalam
Pasal 37. Menurut undang-undang ini gugatan yang diajukan ke Badan Peradilan
Pajak adalah gugatan penanggung pajak terhadap Pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang.3
Wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan baik terhadap
keputusan berkaitan dengan penagihan pajak maupun terhadap hal lain di bidang
pajak sepanjang diperkenankan oleh paraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengajuan gugatan ditujukan ke Pengadilan Pajak dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Untuk pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak diberikan batas waktu
selama 14 hari. Artinya hanya dalam batas waktu 14 hari itu terhadap pelaksanaan
penagihan pajak dapat digugat di Pengadilan Pajak. Apabila ternyata setelah lewat 14
hari tersebut berlalu tanpa ada gugatan, dengan sendirinya dianggap wajib pajak atau

1
Djoko Muljono, HUKUM PAJAK konsep, aplikasi, dan penuntun praktis, Yogyakarta :
ANDI, 2010, hlm. 243
2
Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 92
3
Ibid, hlm. 93

3
penanggung pajak menerima dan menyetujui adanya tindakan penagihan itu. Namun
demikian, batas waktu pengajuan gugatan yang 14 hari itu dapat disimpangi apabila
alasan yang menguatkan penyimpangan itu berada di luar kemampuan wajib pajak
atau penanggung pajak atau sering disebut sebagai force majeure.4

3. Banding
Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya hukum
lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Banding diajukan
terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang, misalnya berkaitan dengan
keputusan atas Upaya hukum keberatan. Akan tetapi harap dipahami di sini bahwa
yang dinamakan upaya hukum banding (beroep) tidak sama persis dengan upaya
hukum banding pada Peradilan mum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara. Hal
tersebut adalah karena dalam Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha
Negara, yang dinamakan upaya hukum banding merupakan upaya hukum pada
Pengadilan Tingkat II. Artinya sengketa hukum itu telah diberi putusan oleh lembaga
pengadilan pada tingkat sebelumnya. Jadi perkara yang sudah diputus oleh
Pengadilan Tingkat I, karena oleh salah satu atau kedua pihak yang bersengketa
dianggap kurang memuaskan, maka perkara itu diajukan ke Pengadilan Tingkat II.
Dalam Pengadilan Tingkat II tersebut dilakukan pemeriksaan secara
menyeluruh, karena pada prinsipnya pemeriksaan sengketa pada Tingkat Banding di
Peradilan umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara itu adalah pengulangan
terhadap proses pemeriksaan pada Pengadilan Tingkat I, jadi yang dipermasalahkan
adalah putusan dari Pengadilan Tingkat I. 5 Sementara, banding yang ada dalam
konteks Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap keputusan yang menurut peraturan di bidang pajak dapat
diajukan banding. Sebagai contoh, terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.6

4
Ibid, hlm. 94
5
Ibid, hlm. 87
6
Ibid, hlm. 88

4
4. Peradilan Pidana di Bidang Pajak
Dalam berbagai undang-undang yang mengatur pajak, di dalamnya terdapat
ketentuan-ketentuan yang memberikan ancaman pidana di bidang pajak. Ketentuan
tersebut berada baik dalam Undang-Undang tentang Ketentuan umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) maupun dalam undang-undang yang lain. Pada Undang-Undang
tentang KUP, ketentuan yang mengatur ketentuan pidana terdapat dalam Bab VIlI,
yaitu dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 43.7 Dari ketentuan tersebut dapat dipahami
unsur-unsur dari tindak pidana perpajakan itu, yakni:
a. Tidak adanya perbuatan yang diwajibkan seperti tidak menyampaikan SPT,
atau adanya perbuatan yang dilarang seperti memperlihatkan pembukuan
yang palsu;
b. Berada dalam kaitan dengan masalah pajak
c. Dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja;
d. Secara melawan hukum; tidak memenuhi kewajiban hukum,
ataupun melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum;
e. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.8

Perkara yang berpangkal pada tindak pidana di bidang perpajakan masuk


menjadi kompetensi dari pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Dalam hal
ini, apabila terjadi tindak pidana di bidang perpajakan maka penyelesaiannya
dilakukan melalui peradilan pidana yang ditangani secara berjenjang dari Pengadilan
Negeri. 9 Sebagai landasan berpijak dalam penyelesaian perkara pidana di bidang
perpajakan selain menggunakan hukum formal Undang-Undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, juga menggunakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kedua ketentuan tersebut menggunakan asas lex specialis derogat lex


generalis, di mana sepanjang tidak ditentukan secara khusus dalam ketentuan pajak,
dalam hal ini KUP, maka yang berlaku adalah ketentuan KUHAP.10 Terhadap apa

7
Ibid, hlm. 173
8
Ibid, hlm. 174
9
Ibid, hlm. 179
10
Ibid, hlm. 180

5
yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri menyangkut tindak pidana di bidang
pajak, upaya hukumnya dapat dilakukan baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut
umum. Secara umum, upaya hukum dapat dibagi menjadi dua, yakni upaya hukum
biasa yang meliputi banding maupun kasasi, dan upaya hukum luar biasa yang
meliputi kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.11

B. Reformasi Pajak

Reformasi pajak adalah perubahan sistem perpajakan yang menyeluruh


termasuk pembenahan administrasi perpajakan, pebaikan regulasi, dan peningkatan
basis pepajakan. Reformasi pajak (tax reform) dilakukan karena pemerintah
menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983 dan
sebelumnya) adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan stuktur dan organisasi pemerintah
yang berdasarkan Pancasila, dan tidak lagi sesuai perkembangan ekonomi yang
selama ini berlaku di Indonesia.

1. Reformasi Pajak 1983


Sebelum reformasi pajak tahun 1983, besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak (WP) ditetapkan oleh negara melalui Kantor Inspeksi Pajak. Dengan
semakin banyaknya jumlah WP serta semangat sebagai bangsa yang telah merdeka,
sistem penetapan besarnya pajak yang terutang oleh Kantor Inspeksi Pajak diubah ke
sistem self assessment (WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak
penghasilan yang terutang). Sejalan dengan itu, Kantor Inspeksi Pajak diubah
menjadi Kantor Pelayanan Pajak. Sedangkan untuk meningkatkan daya saing
ekonomi Indonesia pada khususnya dan menunjang ekspor pada umumnya, serta
untuk meningkatkan efektivitas kontrol masyarakat dalam pemungutan pajak tidak
langsung, PPn (Pajak Penjualan) diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Selain 2 (dua) perubahan yang amat signifikan ini (self assessment dan PPN), tarif

11
Ibid, hlm. 183

6
PPh juga diturunkan dari 45% ke 35% dan struktur tarif pajak penghasilan
disederhanakan untuk WP orang pribadi ataupun WP perusahaan. Reformasi pajak
1983 ini dinilai berhasil khususnya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan
menaikkan perannya dalam APBN. Sayangnya reformasi 1983 ini ditangani
konsultan-konsultan asing, meski sebenarnya tenaga-tenaga dalam negeri mampu
menanganinya, jika saja diberi kesempatan dan kepercayaan.

2. Reformasi Pajak 1994


Tanpa mengurangi substansi reformasi pajak 1983, reformasi perpajakan
1994 dan 1997 merupakan konsekuensi logis atau lanjutan sebagai hasil dari evaluasi
pelaksanaan reformasi sebelumnya, khususnya pelaksanaan prinsip self assessment.
Sudah menjadi sifat WP di negara manapun untuk berupaya menghindari atau
mengecilkan kewajiban pajaknya. Bedanya, di negara-negara maju umumnya, upaya
upaya tersebut dijalankan WP dengan memanfaatkan peluang-peluang legal yang
tersedia serta perencanaan pembayaran kewajiban pajak yang baik (healthy tax
planning). Sedangkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, upaya
penghindaran dan pengecilan pajak ditempuh dengan upaya yang legal maupun
ilegal. Sementara sifat atau perilaku petugas pemungut pajak di negara maju
umumnya lebih disiplin dan bersih dibandingkan dengan pegawai pajak di negara
berkembang yang umumnya justru aktif mencari peluang memperkaya diri dengan
menyalahgunakan kewenangannya.
Dengan menyadari perilaku WP dan aparatur pajak yang umumnya belum
terpuji (kurang jujur) itu, efektivitas pelaksanaan prinsip self assasesment, yakni WP
menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang, sedikit banyak agak terganggu.
Reformasi 1994 antara lain dimaksudkan untuk menjaga efektivitas pelaksanaan
prinsip self assessment, yaitu dengan meminimalkan interaksi aparatur pajak dengan
WP. Selain itu, reformasi 1994 dimaksudkan untuk menerapkan seluas mungkin PPh
Final sepanjang syarat-syaratnya bisa terpenuhi, mampu meningkatkan penerimaan
pajak, dan bisa menutup kebocoran yang terjadi.
Reformasi pajak 1994 ini meliputi perubahan pada 4 (empat) undang-undang
yaitu;

7
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 5 Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Untuk lebih mewujudkan prinsip-prinsip pemungutan pajak seperti


disebutkan di atas, reformasi perpajakan tahun 1994 ini memberikan landasan hukum
yang lebih tegas untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan tarif PPh
yang lebih progresif. Sebagai penajaman dari prinsip kesederhanaan dan prinsip
kepastian hukum, definisi atau cakupan dari subjek pajak dan obyek pajak, beserta
pengecualian-pengecualiannya diberikan penegasan yang lugas agar terhindar dari
multitafsir dalam pelaksanaannya. Faktor utama keberhasilan reformasi 1994 ini
terletak pada 4 hal, yaitu;

a. Dukungan luas masyarakat sebagaimana yang terjadi pada reformasi


perpajakan 1983;
b. Penyederhanaan metode pengenaan pajak dan pemberian kepastian hukum
sehingga dirasakan lebih mudah dan adil;
c. Semakin sempitnya ruang penyelundupan pajak;
d. Tidak ada unsur politisasi pajak atau semangat mencari popularitas politik
atau propaganda dari kebijakan atau reformasi pajak sehingga praktis tidak
menimbulkan hal yang kontroversial atau kontraproduktif dalam
pelaksanaannya.

8
Di bidang PPN, setelah 9 tahun diberlakukan (1985 s/d 1993) dirasa perlu
untuk menyempurnakan dan menata kembali berbagai isu pokok seperti :

a. Cakupan obyek pajak, saat dan tempat PPN terutang;


b. PPN yang tidak dipungut atau dibebaskan oleh negar;
c. PPN atas kegiatan membangun sendiri;
d. PPN atas penyerahan barang yang menurut tujuan semula bukan untuk
diperjualbelikan;
e. Restitusi PPN.

Sedangkan reformasi pajak 1994 dalam PBB hanya meliputi 2 aspek, yaitu:

a. Diperkenalkannya besarnya NJOP tidak kena pajak untuk setiap WP-PBB,


yaitu sebagai perwujudan keadilan bagi WP dengan harta tertentu (sedikit),
tidak dikenakan PBB.
b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding PBB ke badan peradilan
pajak sebagaimana jenis-jenis pajak lainnya.

3. Reformasi Pajak 1997


Reformasi pajak 1997 merupakan bagian dari reformasi pajak 1994 sehingga
prinsip, dasar, dan tujuannya sama dengan reformasi pajak 1994. Rentang waktu 3
tahun ini semata-mata karena faktor antri menunggu giliran pembahasan di
pemerintahan ataupun di DPR. Sebenarnya reformasi pajak 1983 dan 1994 telah
mampu meningkatkan peran penerimaan pajak dalam APBN menjadi di atas 70%,
dengan tulang punggung utamanya dari PPh dan PPN. Sedangkan reformasi pajak
1997 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paket reformasi pajak 1994, telah
mengesahkan 5 buah undang-undang yaitu:
a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP).
b. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.

9
c. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa.
d. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP).
e. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kelima undang-undang tersebut di atas
dimaksudkan sebagai penyempurna reformasi pajak 1983 dan 1994
khususnya untuk menertibkan penerimaan negara di tingkat pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, serta untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.

4. Reformasi Pajak Pasca 1997


Setelah reformasi pajak tahun 1997, perubahan-perubahan masih terus
berlangsung baik dalam peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan,
reorganisasi Ditjen Pajak, maupun modernisasi informasi teknologi. Perubahan-
perubahan pasca tahun 1997 ini telah kehilangan arah atau sasaran yang ingin dicapai
karena bersifat asal-asalan dan sekedar trend politik dalam era reformasi. Banyak
yang berpendapat perubahan-perubahan pasca tahun 1997 lebih Reformasi Pajak Di
Indonesia dilatarbelakangi motif politik atau ingin meninggalkan “kenangan” atau
sekadar cara untuk memperpanjang jabatan. Salah satu contoh mencolok dari
politisasi pajak dalam reformasi pasca 1997 dapat dilihat dari ambisi menambah
jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari dibawah 1 juta menjadi minimal 10
juta NPWP. Padahal penambahan jumlah NPWP belum tentu berarti penambahan
jumlah WP, apalagi penambahan besarnya pajak yang diterima negara.
Oleh karena itu, peningkatan jumlah NPWP yang mencapai lebih dari 10 kali
lipat tersebut tidak diikuti dengan penambahan riil jumlah WP ataupun peningkatan
penerimaan pajak yang signifikan. Peningkatan penerimaan pajak yang terjadi adalah
peningkatan normal atau rutin. Hal ini bisa dijelaskan karena sebagian besar NPWP
baru tersebut berasal dari PNS/militer/polisi/pejabat negara yang pajaknya
ditanggung negara. Penambahan NPWP juga berasal dari karyawan yang selama ini
pajaknya telah dibayar melalui pemotongan gaji/upah oleh majikan /tempatnya

10
bekerja. Sebagian lagi berasal dari mereka yang terpaksa diberi NPWP atau
mengambil NPWP karena keperluan sesaat padahal mereka bukan atau tidak akan
menjadi subjek pajak yang efektif. Selain perubahan BPHTB seperti yang telah
diuraikan sebelumnya, pokok-pokok perubahan yang terakhir adalah :
a. Perubahan Undang-Undang KUP yang mulai berlaku tahun 2008, meliputi
antara lain, perubahan sistem keberatan dan banding, syarat-syarat bukti
permulaan yang diperingan, dan ancaman 11 sanksi bagi pegawai pajak yang
diperberat.
b. Perubahan pada Undang-Undang PPh yang mulai berlaku tahun 2010 di
mana tarif PPh diturunkan dan tidak lagi progresif, bahkan cenderung regresif
karena WP emiten dikenakan tarif khusus yang lebih rendah dari tarif pajak
WP lainnya. Sebenarnya untuk menurunkan tarif PPh sampai dengan
serendah-rendahnya 25% tidak diperlukan lagi perubahan Undang-Undang
PPh karena dalam Undang-Undang PPh telah ditetapkan bahwa pemerintah
berwenang menurunkan tarif PPh dari 30% menjadi serendah-rendahnya
25%.
c. Perubahan Undang-Undang PPN yang mulai berlaku April 2010 yang antara
lain mengatur Restitusi PPN dan Barang Kena Pajak (BKP).

Di samping perubahan inti pada undang-undang dibidang perpajakan,


reformasi pajak pasca 1997 ini juga meliputi perubahan-perubahan suplemen, yakni
reorganisasi, IT, dan remunerasi khusus bagi pegawai Ditjen Pajak yang
menimbulkan kecemburuan dari PNS pada umumnya. Semua perubahan-perubahan
ini sempat dijadikan barang propaganda oleh unit tertentu pemerintah sebagai proyek
percontohan reformasi birokrasi. Meski belum dilakukan evaluasi atau penelitian
sukses tidaknya reformasi pasca 1997, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa reformasi
ini tidak mengenai sasaran. Indikasi tersebut dapat dilihat dari hal-hal di bawah ini:

a. Ide-ide perubahan pasca 1997 datang dari pihak asing (Bank Dunia dan IMF)
dan dikerjakan oleh konsultan-konsultan asing. Idealnya ide perubahan
datang dari pihak Indonesia dan dikerjakan oleh tenaga-tenaga Indonesia.

11
b. Biaya perubahan yang amat mahal yang umumnya bersumber dari dana
pinjaman Bank Dunia.
c. Target penerimaan pajak pada umumnya tidak tercapai, kecuali tahun 2008
yang tertolong karena pemasukan dari sunset policy yang pada hakekatnya
adalah semi pengampunan pajak.
d. Tax ratio yang justru cenderung turun (11%-12%).
e. Pembayaran-pembayaran pajak fiktif yang terus terjadi yang tidak tertangkap
oleh sistem baru yang mahal itu. Pembayaran pajak fiktif diketahui dari
laporan WP atau masyarakat.
f. Dalam pemeriksaan pajak, aparatur pajak masih tetap Reformasi Pajak Di
Indonesia menggantungkan pada data yang diserahkan WP.
g. Distribusi beban pekerjaan di lingkungan Ditjen Pajak yang semakin timpang
akibat reorganisasi yang salah arah atau asal berubah.
h. Semakin banyaknya skandal atau kasus-kasus korupsi pajak.
i. Software data WP yang kabarnya kini dikuasai pihak konsultan pajak swasta
yang berpotensi melanggar prinsip kerahasiaan data WP ataupun untuk tujuan
penyalahgunaan lainnya.
j. Adanya kontroversi di masyarakat dan keluhan-keluhan pegawai (yang tidak
mencuat) di lingkungan Ditjen Pajak bahwa mereka telah dijadikan objek
politisasi dan komersialisasi.

Berbeda dengan reformasi pajak 1983 dan 1994 yang menekankan pada
penurunan dan penyederhanaan tarif PPh dan struktur lapisan yang kena pajak,
namun reformasi pajak pasca 1997 justru bekerja sebaliknya. Bahkan reformasi pajak
pasca 1997, karena bermuatan politis, membedakan lagi tarif PPh antara WP orang
pribadi dengan WP badan hukum, yang berarti mengganggu prinsip netralitas dalam
pemungutan pajak ataupun perilaku pilihan WP.12

12
Fuad Bawazier, REFORMASI PAJAK DI INDONESIA, dalam jurnal legislasi Indonesia,
Volume 8 No. 1 April 2011, hlm. 2-12

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan khusus yang dibutuhkan


karena spesialisasi dan diferensiasinya dalam menangani sengketa administrative
keputusan tata usaha negara berupa Sengketa Pajak. Pengadilan Pajak merupakan
Pengadilan Khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara disebutkan dalam
Pasal 27 ayat (2) UU KUP, penjelasan Pasal 27 ayat (I) UU Kekuasaan Kehakiman,
dan penjelasan Pasal 9A UU PTUN. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD
1945, hanya ada empat lingkungan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung
sebagai pelaku kekuasaan Kehakiman, salah satunya peradilan tata usaha negara.
Karena Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan Khusus yang berada di dalam
lingkungan peradilan tata usaha negara, maka Pengadilan Pajak juga berada di bawah
Mahkamah Agung.

Pajak adalah sumber terpenting penerimaan negara, dan oleh karena itu,
reformasi pajak harus dilaksanakan secara objektif dengan target dan sasaran yang
jelas. Reformasi pajak juga harus memperhatikan aspek keadilan, daya saing
ekonomi di dalam negeri ataupun dengan negara-negara pesaing, kelancaran dan
kemudahan dalam pelaksanaannya, serta dengan biaya yang efisien. Reformasi pajak
tahun 1983, tahun 1994, dan tahun 1997 pada umumnya dinilai berhasil dan bebas
dari muatan politik. Keberhasilan ini dapat diukur dari tercapai atau tidaknya target-
target penerimaan pajak, tax ratio, dan penerimaan masyarakat WP terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya, reformasi pajak pasca 1997 lebih
bernuansa propaganda politik, dikerjakan dengan biaya yang amat mahal oleh
konsultan asing, tetapi tidak atau belum memberikan indikasi keberhasilannya.

13
B. Saran

Kami sebagai penulis makalah ini, menyarankan kepada para pembaca agar
mencari sumber lain mengenai perpajakan, khususnya materi mengenai peradilan
dalam pajak dan reformasi pajak agar lebih memahami dan semakin luas
wawasannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bawazier, Fuad. 2011. REFORMASI PAJAK DI INDONESIA. dalam jurnal legislasi


Indonesia. Volume 8 No. 1

Muljono, Djoko. 2010. HUKUM PAJAK konsep, aplikasi, dan penuntun praktis.
Yogyakarta : ANDI

Pudyatmoko, Y. Sri. 2004. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak.


Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

15

Anda mungkin juga menyukai