Anda di halaman 1dari 6

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Dengan Memurnikan Ketaatan Kepada-Nya


Dalam (menjalankan) Agama

Islam menjaga niat dan memberikan perhatian yang besar serta


menjadikannya ruh amal dan porosnya, dan sebagian ulama
menganggapnya sepertiga dari agama, karena ibadah dilakukan
dengan hati, lisan serta anggota badan, dan niat ada di dalam
hati. Begitu juga sebagian dari mereka menganggapnya sebagai
setengah dari agama, dan mengarahkannya bahwa agama itu
lahiriah yaitu amal, dan batin yaitu niat. Demi Allah, mereka
tidaklah ghuluw akan hal tersebut.

Dalil-dalil syar'i sangatlah banyak tentang perlunya niat yang


ikhlas karena Allah semata, serta membersihkannya dan
memurnikannya dari apa yang merusak atau menyimpang dari
tujuannya, Allah Ta'ala berfirman: {Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.} [Al-Bayyinah: 5]. Ibnu Katsir berkata: "{yang lurus}, Yakni
menyimpang dari kemusyrikan dan menuju kepada tauhid".
Ath-Thabari berkata: "Dengan memurnikan ketaatan kepada-

1
Nya, tanpa mencampur ketaatan kepada Rabb mereka dengan
kesyirikan, dan firman-Nya {Agama yang lurus}, maksudnya
adalah agama yang dengannya Allah mengutus rasul-Nya,
menyandangkan pada diri-Nya dan meridhainya". Dan yang
lainnya berkata: "Agama yang lurus, jalan yang menuju ke surga
yang penuh kenikmatan, dan yang lainnya adalah jalan yang
menuju ke neraka".

Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan seseorang dalam


hidupnya yang tidak membawanya ke surga maupun
asbab-asbabnya; maka akan membawanya ke neraka maupun
asbab-asbabnya, karena manusia di dunia keadaannya adalah
mukmin atau kafir, dan di akhirat, nasib mereka akan sesuai
dengannya, entah ke surga atau ke neraka, dan ikhlas adalah
hakim akan hal tersebut, orang yang ikhlas akan terselamatkan
dan diselamatkan, dan orang yang tidak ikhlas, amalnya menjadi
bagaikan debu yang berterbangan, sebagaimana firman Allah
Ta'ala dalam Surah [Al-Furqan: 23]: {Dan kami hadapi segala
amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.}. Ibnu Katsir berkata,
menjelaskan ayat: "Ini terjadi pada hari kiamat di saat Allah
menghisab amal perbuatan yang telah dilakukan oleh semua
hamba, amal yang baik dan amal yang buruk. Maka Allah
memberitahukan bahwa orang-orang musyrik itu tidak akan
memperoleh sesuatu imbalan pun dari amal-amal perbuatan
yang telah mereka lakukan, padahal mereka menduga bahwa
amal perbuatannya itu dapat menyelamatkan diri mereka.
Demikian itu karena amal perbuatannya tidak memenuhi syarat
yang diakui oleh syariat, yaitu ikhlas dalam beramal karena Allah
atau mengikuti syariat Allah. Setiap amal perbuatan yang
dilakukan tidak secara ikhlas dan tidak sesuai dengan tuntunan
syariat yang diridai adalah batil. Amal perbuatan orang-orang
kafir itu tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat tersebut,
dan adakalanya kedua syarat tersebut tidak terpenuhi sehingga

2
lebih jauh dari diterima". Setelah menyampaikan ucapan para
salaf dalam tafsir firman-Nya: {Bagaikan debu yang
berterbangan}; dia menyampaikan kata-kata yang menakutkan
yang menyentuh hati orang-orang arif dengan berkata:
"Kesimpulan dari perkataan-perkataan ini adalah peringatan
tentang isi ayat tersebut, yaitu bahwa mereka melakukan
perbuatan yang mereka yakini akan menjadi sesuatu, maka
tatkala itu dihadapkan kepada Allah Sang Raja yang Maha
Bijaksana lagi Maha Adil yang tidak menganiaya dan tidak
mendzalimi seorang pun, maka itu sama sekali tidak ada, dan itu
disamakan dengan sesuatu yang tidak bernilai, tercela dan
berserakan, -(bagaikan) debu yang berterbangan, yang mana itu
tidak bernilai sama sekali bagi pemiliknya".

Jadi, renungkanlah betapa beratnya keadaan pada hari


ditampakkan amal kepada Allah, bahwa seseorang melakukan
perbuatan besar dan banyak, yang dia menganggapnya akan
menjadi sesuatu, sementara dalam mizan Allah Subhanahu yang
Haq lagi Adil, ianya seperti debu dan abu yang berterbangan!

Al-Faruq 'Umar -Radhiyallahu'anhu- meriwayatkan bahwa Nabi


-Shallallahu'alaihi wa Sallam- dalam hadits shahih:
(Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya, dan
setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia
niatkan...), As-Suyuthi berkata tentang hadits: "Imam Asy-Syafi'i,
Ahmad bin Hanbal dan lainnya sepakat...bahwa ianya
mengandung sepertiga ilmu, dan beberapa dari mereka berkata:
seperempatnya". [Al-Asybah Wannadzoir]. Ibnul Qayyim
mengomentari hadits tersebut dengan berkata: "Nabi
-Shallallahu'alaihi wa Sallam- telah mengucapkan dua kalimat
yang menyelamatkan dan menyembuhkan, dan di bawahnya ada
perbendaharaan ilmu, dua kalimat itu adalah: (Amalan-amalan
itu hanyalah tergantung pada niatnya, dan setiap orang itu
hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan.). Maka

3
dia menjelaskan pada kalimat pertama bahwa perbuatan itu
tidak terjadi kecuali dengan niat, oleh karena itu tidak ada
perbuatan tanpa niat, kemudian dia menjelaskan pada kalimat
kedua bahwa seseorang tidak akan mendapatkan apa pun dari
perbuatannya melainkan apa yang dia niatkan". [I'lamul
Muwaqi'in]. Oleh karenanya, siapa pun yang berniat dalam amal
dan jihadnya adalah demi mengharap wajah Allah dan
meninggikan kalimat-Nya maka ia akan mendapatkannya, dan
jika niatnya selain itu, maka dia di atasnya (mendapat sesuai
yang ia niatkan).

Tidak mengherankan jika niat dalam Islam menempati posisi


yang begitu tinggi, karena dengan itu agama ditinggikan, bukan
dengan yang lain, karena itu adalah batas pemisah antara tauhid
dan syirik, antara ikhlas dan kebalikannya, serta antara niat
untuk keridhaan Allah dan niat untuk keridhaan hamba-Nya.
Untuk alasan tersebut, -sebagai contoh- Allah Ta'ala
mengkhususkan puasa untuk diri-Nya sendiri di antara amal-amal
lainnya. Dia berkata dalam hadits Qudsi: (kecuali puasa, karena
puasa itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang langsung akan
membalasnya), yang demikian itu tidak lain adalah kerahasiaan
antara hamba dan Rabbnya, dan tidaklah akan dijalankan oleh
hamba kecuali ikhlas karena Allah Ta'ala, maka Allah sendirilah
yang membalasnya.

Di tengah gejolak dan pesatnya peristiwa di seluruh dunia, kaum


Muslimin hendaknya harus banyak tawakuf untuk meninjau
kembali niatnya, memeriksanya, membenahinya, dan meluruskan
nya, serta melihat posisinya di peta peristiwa, di kubu yang
manakah dia berada? Karena dunia memiliki dua kubu besar
yang tidak ada kubu ketiganya, yaitu kubu iman dan kubu kafir.
Negara, kelompok serta individu berbaris dan dibedakan menurut
kedua kubu ini, yang karenanya perang muncul dan pertempuran
pecah di antara mereka.

4
Dan batas pemisah antara kedua kubu tersebut adalah apa yang
telah dibahas sebelumnya tentang konsep niat dan ikhlas karena
Allah Ta'ala, sehingga semua pertempuran yang bertentangan
dengan tauhid, berbenturan dengannya, dan berlawanan
dengannya, adalah pertempuran di jalan thaghut, entah itu
thaghut dalam jenis manusia, hukum, tanah air, atau berhala.
Tidaklah dikatakan berperang di jalan Allah Ta'ala melainkan
yang tujuannya adalah meninggikan kalimat Allah Ta'ala dan
menolong syariat-Nya, dan tidaklah dikatakan beramal di jalan
Allah Ta'ala: hingga sesuai dengan syariat-Nya, mengokohkan
syariat-Nya dan memperjuangkannya. Dan yang tersisa hanyalah
buih yang hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya,
fatamorgana yang dikira oleh orang yang haus adalah air, dan
Allah Ta'ala telah menjelaskan perbedaan antara kedua kubu ini,
Allah Subhanahu berfirman: {Adapun buih itu, akan hilang
sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang
memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.}
[Ar-Ra'd: 17]. Ath-Thabari berkata: "Ini merupakan perumpamaan
yang Allah buat untuk yang benar dan yang bathil, serta yang
beriman kepada-Nya dan yang kafir". Demikian juga Ibnu Katsir,
dengan berkata: Ayat yang mulia ini mengandung dua
perumpamaan, "Tentang keteguhan dan kelestarian perkara hak
dan kepudaran serta kefanaan perkara batil".

Meskipun orang mungkin melihat semua petarung di lapangan itu


sama, mereka semuanya bertarung dan semuanya sama! Namun,
perbedaan di antara mereka seperti perbedaan antara bumi dan
langit! Ya Allah, berapa banyak gerakan dan kelompok yang
mengangkat slogan-slogan jihad selama bertahun-tahun silih
berganti, akan tetapi mereka menjatuhkan panjinya, berten
tangan dengan niatnya, melanggar tujuannya, merusak dan
memutarbalikkan arahnya sehingga menjadi hancur berantakan.

5
Oleh karena itu, mujahid yang bahaya/resiko mengiringi dan
menyertainya hendaknya menjaga niatnya, mengendalikannya,
dan bersungguh-sungguh dalam meluruskannya, sehingga
menjadi poros untuk amal dan jihadnya. Karena jika tidak ikhlas
karena Allah dalam menegakkan syariat-Nya, maka itu adalah
bencana baginya, perjuangannya, penderitaan dan kesulitannya
serta kerja kerasnya semuanya menjadi fatamorgana.
Sebaliknya, jika niatnya ikhlas dan murni karena Allah Ta'ala
semata, maka sungguh amalnya, baik sedikit atau banyak, entah
dalam keadaan aman, mendapat ghanimah ataupun gagal: Itu
semua berpahala dan kebaikan baginya di dunia dan akhirat.
Besarnya keikhlasan menjadi sebab keteguhan, dan besarnya
yang berlawanan dengannya menjadi sebab kemunduran dan
berbalik kebelakang!. Maka perbaharuilah niatmu dan ikhlas-lah
wahai mujahidin, jangan ridha dengan apapun selain menolong
syari'at-Nya dan menjaga sisi Tauhid sebagai tujuan, akhir, dan
niat. Tidaklah sama perang tauhid dengan perang di atas setiap
tanah dan di bawah setiap langit, maka hiduplah di atas Tauhid
dan teguhlah di dalamnya serta matilah di atasnya, sungguh
Allah pasti menolong orang yang menolong (Agama)-Nya.

Artikel An-Naba edisi 385


Kamis, 15 Ramadhan 1444 H

Anda mungkin juga menyukai