Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Matematika adalah pembelajaran yang sampai saat ini menjadi
momok atau dianggap sulit bagi kebanyakan siswa mulai dari jenjang
sekolah dasar sampai sekolah menengan atas. Hsal tersebut beralasan
karena matematika banyak memuat perhitungan dan juga rumus-rumus.
Padahal pembelajajaran matematika sangat berguna bagi kehidipan sehari-
hari.

Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir,


menyusun pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti. Hudojo (2005)
menyatakan, matematika sebagai suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit
dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang mereka oleh Piaget,
diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD belum
mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat
diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD
dengan benda konkret.
Guru sekolah dasar dituntut untuk menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan dan juga bermakna agar siswa tidak bosan dan menenangi
pembelajaran matematika.
Berdasarkan hasil evaluasi belajar siswa menunjukkan nilai yang
rendah, tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran Matematika
kurang dari apa yang diharapkan oleh guru. Hanya ada 7 siswa dari 21
siswa atau 23,8% yang mencapai nilai diatas 67,00. Motivasi dan minat
siswa dalam mata pelajaran Matematika juga cenderung menurun, siswa
kurang aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mengakibatkan
nilai evaluasi yang rendah.
1. Identifikasi Masalah
a. tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran Matematika kurang
dari apa yang diharapkan oleh guru.
b. Motivasi dan minat siswa dalam mata pelajaran Matematika juga
cenderung menurun
c. Berdasarkan hasil evaluasi belajar siswa menunjukkan nilai yang
rendah, siswa kurang aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

2. Analisis Masalah
a. Guru terlalu banyak didepan kelas berceramah
b. Tidak adanya media / alat perga pembelajaran
c. Pendekatan yang dilakukan guru terhadap siswa kurang sesuai.

3. Alternatif dan Prioritas Pemecahan Masalah


Untuk mengatasi hal tersebut diatas peneliti akan melakukan kegiatan
Penelitian Tindakan Kelas pada siswa kelas III SDN 1 Sidorahayu yang
menekankan pada peningkatan hasil belajar pada mata pelajaran
Matematika melalui model Realistic Mathematics Education (RME).

B. Rumusan Masalah
“Apakah penggunaan model pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) dapat meningkatkan hasil belajar Matematika materi
Mengidentifikasi Bangun Datar Berdasarkan Sifatnya pada siswa kelas IV
SDN 1 Sidorahayu?”

C. Tujuan Penelitian Perbaikan Pembelajaran


Untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) terhadap pembelajaran matematika kelas III
di SDN 1 Sidorahayu.
D. Manfaat Penelitian Perbaikan Pembelajaran
1. Bagi Siswa
a. Menambah semangat belajar
b. Mendapatkan pengalaman baru dalam belajar matematika
c. Mendapatkan pembelajaran yang bermakna
2. Bagi Guru Kelas
a. Memperbaiki pembelajaran terutama pelajaran matematika
b. Mendapatkan pengalaman mengajar dengan model pembelajaran
baru
c. Meningkatkan profesionalitas sebagai guru
3. Bagi Sekolah
Sekolah yang gurunya sudah mampu membuat inovasi / perubahan maka
perbaikan pembelajarannya memberi kesempatan yang besar bagi guru
dan sekolah untuk berkembang.
4. Bagi Pembaca
Menambah wawasan dalam dunia pendidikan
Menambah referensi untuk melakukan penelitian
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar


Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir,
menyusun pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti. Hudojo (2005)
menyatakan, matematika sebagai suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit
dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang mereka oleh Piaget,
diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD belum
mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat
diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD
dengan benda konkret.
Tentunya dalam mengajarkan matematika di Sekolah Dasar tidak
semudah dengan apa yang kita bayangkan, selain siswa yang pola pikirnya
masih pada fase operasional konkret, juga kemampuan siswa juga sangat
beragam. Hudojo (2005) menyatakan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam mengajarkan matematika di tingkat sekolah dasar yaitu
sebagai berikut:

1. Siswa
Mengajar matematika untuk sebagian besar kelompok siswa
berkemampuan sedang akan berbeda dengan mengajarkan matematika
kepada sekelompok kecil anak-anak cerdas, sekelompok besar siswa
tersebut perlu diperkenalkan matematika sebagai suatu aktivitas
manusia, dekat dengan penggunaan sehari-hari yang diatur secara kreatif
(oleh guru) agar kegiatan tersebut disesuaikan dengan topik matematika.
Untuk siswa yang cerdas, mereka akan mudah mengasimilasi dan
mengakomodasi teori matematika dan masalah-masalah yang tertera
dalam buku teks.
2. Guru
Ada dua orientasi guru dalam mengajar matematika di SD sebagai
berikut:
a. Keinginan guru mengarah ke kelas sebagai keseluruhan dan sedikit
perhatian individu siswa baik reaksinya maupun kepribadian. Biasanya
mereka membatasi dirinya ke materi matematika yang distrukturkan ke
logika matematika. Mengajar matematika berarti mentranslasikan
sedekat-dekatnya ke teori matematika yang sama sekali mengabaikan
kesulitan yang dihadapi siswa.
b. Guru tidak terikat ketat dengan pola buku teks dalam mengajar
matematika. Ia mengajar matematika dengan melihat lingkungan sekitar
bersama-sama dengan siswa untuk mengeksplor lingkungan tersebut.
Kegiatan matematika diatur sedekat-dekatnya dengan lingkungan siswa
sehingga siswa terbiasa terhadap konsep-konsep matematika.
3. Alat Bantu
Mengajar matematika di lingkungan SD, harus didahului dengan benda-
benda konkret. Secara bertahap dengan bekerja dan mengobservasi,
siswa dengan sadar menginterpretasikan pola matematika yang terdapat
dalam benda konkret tersebut. Model konsep seyogianya dibentuk oleh
siswa sendiri. Siswa menjadi “penemu” kecil. Siswa akan merasa
senang bila mereka “menemukan”.
4. Proses Belajar
Guru seyogianya menyusun materi matematika sedemikian hingga siswa
dapat menjadi lebih aktif sesuai dengan tahap perkembangan mental,
agar siswa mempunyai kesempatan maksimum untuk belajar.
5. Matematika Yang Disajikan
Matematika yang disajikan seyogianya dalam bentuk bervariasi. Cara
menyajikannya seyogianya dilandasi latar belakang yang realistik dari
siswa. Dengan demikian aktivitas matematika menjadi sesuai dengan
lingkungan para siswa.
6. Pengorganisasian Kelas
Matematika seyogianya disajikan secara terorganisasikan, baik antara
aktivitas belajarnya maupun didaktiknya. Bentuk pengorganisasian yang
dimaksud antara lain adalah laboratorium matematika, kelompok siswa
yang heterogen kemampuannya, instruksi langsung, diskusi kelas dan
pengajaran individu. Semua itu dapat dipilih bergantung kepada situasi
siswa yang pada dasarnya agar siswa belajar matematika.

B. Pengertian Hasil Belajar


Implementasi dari belajar adalah hasil belajar. Berikut di
kemukakan defenisi hasil belajar menurut para ahli

1. Dimyati dan Mudjiono (2006) hasil belajar adalah hasil yang dicapai
dalam bentuk angka-angka atau skor setelah diberikan tes hasil belajar
pada setiap akhir pembelajaran. Nilai yang diperoleh siswa menjadi acuan
untuk melihat penguasaan siswa dalam menerima materi pelajaran.
2. Djamarah dan Zain (2006) hasil belajar adalah apa yang diperoleh siswa
setelah dilakukan aktifitas belajar.
3. Hamalik (2008) hasil belajar adalah sebagai terjadinya perubahan tingkah
laku pada diri seseorang yang dapat di amati dan di ukur bentuk
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat di artikan
sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik
sebelumnya yang tidak tahu menjadi tahu.
4. Sudjana (2005) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar.

C. Model Pembelajaran RME (Realistic Mathematics Education)


1. Pengertian
Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang
dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer menjelaskan bahwa
RME dapat digolongkan sebagai aktivitas yang meliputi aktivitas pemecahan
masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika
realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber
munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau
kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang
bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh
Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk
RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan
Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya matematika
harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan
relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai
kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang
ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan
kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan
melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama
matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi
fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau
“matematisasi” (Freudental,1968) dalam http://www.karyatulisku.com
Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik
mempunyai beberapa karakteristik dan komponen sebagai berikut. 1. The use
of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika
realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa
dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa. 2.
Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya
permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk
model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke
tingkat abstrak. 3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa),
artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada
sumbangan gagasan siswa. 4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses
pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
siswa dengan lingkungan dan sebagainya. 5. Intertwining (terintegrasi dengan
topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda dapat
diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu
konsep secara serentak.

2. langkah – langkah model pembelajaran matematika realistik


di dalam proses pembeajaran matematika (Waraskamdi.2008)
adalah:
a. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa)
b. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran
c. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga
siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakn
d. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut
e. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan
f. Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya,
menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain;
dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau
terhadap hasil pelajaran.

3. Kelebihan model pembelajaran matematika realistic


Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau
kelebihan dari model pembelajaran matematika realistik, yaitu:
a. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang
jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan
kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi
manusia.
b. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang
jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian
yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak
hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang
jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau
masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang
satu dengan orang yang lain.
d. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang
jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses
pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus
menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk
menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna
tidak akan tercapai. (Suwarsono.2001)

4. Kelemahan

Kesulitan dalam implementasi model pembelajaran matematika


realistik Kesulitan-kesulitan model pembelajaran matematika realistik ,
yaitu:

a. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang


berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal
atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan
syarat untuk dapat diterapkannya PMR.

b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat


yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak
selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang
dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus
bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

c. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa


menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau
memecahkan masalah.

d. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa


agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

(https://modelpembelajaran1.wordpress.com/2016/02/22/sintak-
model-pembelajaran-matematik-relistik/)

Anda mungkin juga menyukai