Anda di halaman 1dari 9

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian


Penelitian mengenai analisis determinan kejadian Carpal Tunnel Syndrome
(CTS) pada petani penyadap pohon karet di desa Karang Manik kecamatan
Belitang II kabupaten OKU Timur tahun 2016, data yang dikumpulkan adalah
data primer dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Penulis menyadari
terdapat keterbatasan peneliti baik dari segi kemampuan, waktu, serta sarana,
beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, keterbatasan-
keterbatasan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Salah satu instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
tidak baku yang dibuat oleh peneliti namun telah lulus uji validitas, dimana
jawaban dari kuesioner sangat bergantung pada ingatan dan kejujuran petani
(responden) sehingga dapat menyebabkan bias informasi.
2. Observasi langsung pada faktor pekerjaan berupa postur tangan dan gerakan
berulang pada pergelangan tangan, hanya dilakukan pada satu waktu sehingga
penilaian hanya berdasarkan saat itu, kemungkinan bahwa gerakan tersebut
bukanlah gerakan yang paling sering dilakukan, untuk itu sebaiknya bagi
peneliti selanjutnya saat menentukan posisi janggal pada tangan dilakukan
dalam waktu yang cukup lama.

6.2 Pembahasan
A. Hubungan Usia Dengan Kejadian CTS (Carpal Tunnel Syndrome)
Hasil penelitian pada petani penyadap pohon karet di desa Karang Manik
menyatakan pada hasil uji statistic diperoleh nilai p value=0,057, hal ini
menyatakan ada hubungan yang bermakna secara statistic antara usia dengan
kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Tabel 5.7 diketahui perhitungan risk
estimate dengan nilai RP=1,905, artinya petani yang berumur ≥30 tahun
mempunyai risiko untuk mengalami kejadian CTS 1,905 kali lebih besar
dibandingkan dengan petani yang berumur <30 tahun.

44 Universitas Sriwijaya
45

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kurniawan dkk (2008) yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia dengan
CTS dengan nilai (p=1,000). Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Darno (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dengan usia pada pemetik daun teh, dimana
diperoleh nilai (p=0,038), begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningrum dkk (2013) yang menyatakan ada hubungan antara usia dengan
CTS pada pekerja pelinting jenang dengan nila (p=0,057).
Menurut Hobby (2005) mengatakan bahwa CTS biasanya mulai dirasakan
pada usia 20-60 tahun. Dengan meningkatnya usia seseorang maka dapat
menyebabkan penurunan kapasitas fisik, Carpal Tunnel Syndrome (CTS) semakin
meningkat dengan bertambahnya usia (Pakasi, 2005). Ada beberapa jenis
pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan umur, terutama yang berhubungan
dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Biasanya pekerja yang memiliki umur
yang lebih muda memiliki penglihatan dan pendengaran yang lebih tajam, gerakan
yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang kuat. Usia seseorang berbanding
langsung dengan kapsitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya
pada usia 25 tahun. Pada usia 50-60 tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%
dan kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak 60% (Darno, 2011).
Diketahui hasil penelitian dengan petani penyadap pohon karet di desa
Karang Manik mayoritas usia ≥30 tahun menunjukkan bahwa sebagian petani
berada pada usia yang memiliki resiko tinggi terjadinya CTS. Upaya yang dapat
dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir timbulnya CTS pada petani
yaitu dengan lebih memperhatikan waktu istirahat, mengurangi penekanan
ekstrem pada bagian pergelangan tangan, dan melakukan sedikit olahraga
(stretching) di sela-sela jam kerja agar pekerja dapat meregangkan otot yang
tegang. Hasil penelitian ini, didukung oleh teori dan penelitian sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

Universitas Sriwijaya
46

B. Hubungan Jenis Kelamin Dengan CTS (Carpal Tunnel Syndrome)


Hasil analisis bivariat diperoleh p value=0,011, maka dapat disimpulkan ada
hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian Carpal Tunnel
Syndrome (CTS). Perhitungan risk estimate diperoleh nilai RP=0,394, artinya
petani yang berjenis kelamin perempuan mempunyai risiko 0,394 kali lebih besar
untuk mengalami kejadian CTS dibandingkan dengan petani yang berjenis
kelamin laki-laki.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rudi
(2007) yang menyatakan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan CTS
dengan nilai (p=1,000). Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Erfian (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dengan jenis kelamin dan diperoleh nilai
(p=0,008), begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Mukti (2015) yang
menyatakan ada hubungan antara jenis kelamin dengan CTS pada pekerja
pelinting jenang dengan nila (p=0,077).
Mattioli dkk (2008) menyatakan Carpal Tunnel Syndrome (CTS) lebih
mempengaruhi perempuan dari laki-laki, yaitu 3,6 kali lipat lebih besar
dibandingkan laki-laki. Prevalensinya CTS lebih besar terjadi pada wanita sebesar
3:1 dari pada pria. Hal ini disebabkan ukuran Carpal Tunnel pada wanita lebih
kecil dari pada pria. Keadaan tertentu, misalnya pada kehamilan, penggunaan pil
kontrasepsi, dan pada masa menopause, prevalensinya sedikit bertambah
(Harahap, 2007). Sheila (2010), menjelaskan bahwa adanya perbedaan hormonal
pada wanita, terutama saat wanita hamil dan menopause. Saat hamil disebabkan
oleh retensi cairan yang sering terjadi selama kehamilan, yang menempatkan
tekanan tambahan pada terowongan karpal dan menyebabkan gejala. Namun
beberapa wanita tidak mengalami gejala sampai setelah melahirkan dan awal
menyusui. Menyusui sementara menurunkan kadar hormon steroid alami, yang
mempertinggi potensi peradangan selain itu juga disebabkan oleh perbedaan
anatomi tulang karpal, dimana tulang pergelangan tangan pada wanita secara
alami lebih kecil sehingga menciptakan ruang yang lebih ketat di mana saraf dan
tendon harus lulus. Sedangkan perubahan hormon menopause dapat menempatkan
perempuan pada risiko lebih besar untuk mendapatkan Carpal Tunnel Syndrome

Universitas Sriwijaya
47

(CTS) karena struktur pergelangan tangan membesar dan dapat menekan pada
saraf pergelangan tangan (Haque, 2009).
Penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa petani penyadap pohon karet yang
berjenis kelamin perempuan lebih berisiko untuk terkena CTS dibandingkan
dengan petani yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian pada petani
penyadap pohon karet di desa Karang Manik kecamatan Belitang II mayoritas
berjenis kelamin perempuan menunjukkan bahwa hampir seluruh petani yang
diteliti memiliki resiko tinggi terjadinya kejadian CTS. Hasil penelitian ini,
didukung oleh teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
usia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian Carpal
Tunnel Syndrome (CTS).

C. Hubungan Masa Kerja Dengan Kejadian CTS (Carpal Tunnel


Syndrome)
Hasil analisis bivariat diperoleh p value=0,013, maka dapat disimpulkan ada
hubungan bermakna antara masa kerja dengan kejadian Carpal Tunnel Syndrome
(CTS). Perhitungan risk estimate diperoleh nilai RP=2,321, artinya petani yang
memiliki masa kerja ≥20 tahun mempunyai risiko 2,321 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian CTS dibandingkan dengan petani yang memiliki masa kerja
<20 tahun.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningrum dkk (2013) yang menghasilkan bahwa tidak ada hubungan antara
masa kerja dengan kejadian CTS pada pelinting jenang (p=0,484). Sebaliknya
hasil dari penelitian Pratiwi dkk (2013) menunjukkan kesesuaian bahwa ada
hubungan antara masa kerja dengan kejadian CTS dengan nilai (p=0,047). Begitu
juga pada penelitian Mukti AP (2015) yang menyatakan ada hubungan antara
masa kerja dengan kejadian CTS diperoleh (p=0,002).
Ali (2006) menyatakan dengan peningkatan masa kerja pada tangan
menunjukkan adanya pekerjaan berulang yang dilakukan oleh tangan dalam
jangka waktu yang lama, dengan peningkatan jumlah tahun kerja menunjukkan
risiko lebih tinggi untuk terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Fung dkk
(2007) mengidentifikasi bahwa semakin sering fleksi atau ekstensi yang

Universitas Sriwijaya
48

berkelanjutan dari pergelangan tangan dapat meningkatkan risiko Carpal


Tunnel Syndrome (CTS). Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya studi yang
menyatakan bahwa pengulangan dan eksposur gabungan dari kedua kekuatan dan
pengulangan dapat menimbulkan risiko dua kali lipat terhadap terjadinya Carpal
Tunnel Syndrome (CTS) (Barcenilla dkk, 2012).
Masa kerja pada petani penyadap pohon karet di desa Karang Manik disini
diartikan sebagai waktu yang telah dijalani petani bagian penyadap pohon karet
(bukan pengangkut ataupun penimbang) terhitung tahun mulai bekerja sampai
dengan saat dilakukan pengambilan sampel. Masa kerja merupakan faktor risiko
yang sangat mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan risiko terjadinya
keluhan kejadian CTS, terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan
kekuatan kerja yang tinggi. Semakin lama petani bekerja dengan postur yang
janggal dan ditambah dengan masa kerja yang lama, risiko untuk terjadinya
keluhan CTS pun semakin berat. Oleh karena itu, petani sebaiknya memperbaiki
postur tubuh terutama bagian tangan mereka saat bekerja dan mengurangi beban
saat melakukan aktivitas penyadapan pohon karet. Hasil penelitian ini, didukung
oleh teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa masa kerja
merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian Carpal
Tunnel Syndrome (CTS).

D. Hubungan Lama Kerja Dengan Kejadian CTS (Carpal Tunnel


Syndrome)
Hasil analisis bivariat diperoleh p value=0,412, maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan bermakna antara lama kerja dengan kejadian CTS.
Perhitungan risk estimate diperoleh nilai RP=1,480, artinya petani yang memiliki
lama kerja <8 jam dapat berisiko 0,692 kali lebih besar untuk mengalami kejadian
CTS dibandingkan dengan petani yang memiliki lama kerja ≥8 jam.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Darno (2011) yang menghasilkan bahwa ada hubungan antara lama kerja dengan
kejadian CTS pada pemetik daun teh (p=0,006). Sebaliknya hasil dari penelitian
Kurniawan dkk (2008) menunjukkan kesesuaian bahwa tidak ada hubungan antara
lama kerja dengan kejadian CTS dengan nilai (p=0,913). Begitu juga pada

Universitas Sriwijaya
49

penelitian Wahyuningrum (2013) yang menyatakan tidak ada hubungan antara


lama kerja dengan kejadian CTS diperoleh (p=0,372).
Tidak adanya hubungan antara lama kerja dengan kejadian Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) dikarenakan petani penyadap pohon karet melakukan pekerjaan
dengan waktu kerja yang yang tidak ditentukan dalam arti petani bekerja tidak
harus bekerja selama 6-8 jam perhari, namun petani bekerja dengan kemampuan
mereka dalam aktivitas penyadapan pohon karet, kemudian petani bekerja
tergantung dengan cuaca, jika cuaca sedang hujan maka para petani penyadap
pohon karet tidak bekerja, dan lama kerja petani tergantung banyaknya batang
pohon karet yang di sadap. Biasanya petani mulai bekerja menyadap pohon karet
dimulai dari subuh hingga siang hari tergantung dengan kesanggupan dalam
meyadap pohon karet.
Hasil dari pengamatan pada petani penyadap pohon karet lama kerja 6-8 jam
belum tentu berarti petani telah bekerja sekian lama namun dari hasil pengamatan
para petani penyadap pohon karet terlihat melakukan jeda (istirahat spontan) saat
menyadap pohon karet disela-sela waktu bekerja. Selain itu, beberapa petani
membawa bekal berupa makanan dan minuman saat bekerja dan melakukan
istirahat di sela-sela waktu kerjanya. Istirahat akan memberikan kesempatan pada
tubuh melakukan pemulihan. Pada saat bekerja, otot mengalami kontraksi atau
kerutan dan saat istirahat terjadi pengendoran atau relaksasi otot.

E. Hubungan Postur Tangan Dengan Kejadian CTS (Carpal Tunnel


Syndrome)
Hasil analisis bivariat diperoleh p value=0,017, maka dapat disimpulkan ada
hubungan bermakna antara risiko postur tangan petani penyadap pohon karet
dengan Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Perhitungan risk estimate diperoleh nilai
RP=2,076, artinya petani yang memiliki tingkat risiko tinggi pada postur tangan
dengan sudut ≥45o mempunyai risiko 2,076 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian CTS dibandingkan dengan petani yang memiliki postur tangan dengan
sudut <45o.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardyan P
Mukti (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara postur tangan dengan

Universitas Sriwijaya
50

CTS diperoleh hasil (p=0,004) dengan rata-rata 19,80o dengan nilai sudut paling
tinggi 40o dan nilai sudut terendah adalah 0o. Namun pada penelitian yang
dilakukan oleh Rudi (2007) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara
postur tangan dengan CTS dengan nilai (p=0,692), begitu juga pada penelitian
Fitriani (2012) menunjukkan tidak ada hubungan antara postur tangan dengan
kejadian CTS (p=0,873).
Postur tangan adalah salah satu permasalahan dalam ergonomi. Pada
ergonomi banyak membicarakan tentang analisis sikap kerja dan postur kerja.
Dimana sikap kerja dan postur kerja yang tidak alamiah dapat mengakibatkan
keluhan gangguan otot, saraf, dan tulang (rangka) akibat pekerjaan yang ekstrem.
Sehingga hal ini dapat menyebabkan menurunnya produktivitas kerjanya dan
menambah biaya untuk kompensasi keluhan gangguan otot, saraf, dan tulang
(rangka) (Tarwaka, 2011). Posisi kerja statis dan postur tangan tidak ergonomis
pada bahu, lengan, dan pergelangan tangan dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan peradangan pada jaringan otot, syaraf, maupun keduanya.
Pembengkakan tersebut akan menekan saraf medianus tangan sehingga bisa
menimbulkan CTS. Fleksi dan ekstensi, fleksi yaitu posisi pergelangan tangan
yang menekuk ke arah dalam dan membentuk sudut ≥45o (Wichaksana dkk,
2002).
Semakin tinggi nilai gerakan extension pada pergelangan tangan petani
penyadap pohon karet maka keluhan akan semakin tinggi dan besar sudut
pergelangan tangan pada petani sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan pekerjaan-
pekerjaan yang dilakukan juga sangat bervariasi. Gerakan extension paling tinggi
ditemukan pada proses penyadapan pohon karet yang berumur tua () sehingga
petani harus menggunakan galah (kayu tambahan pada pisau sadap) yaitu
mencapai 40o-45o dan paling rendah pada penyadapan pohon karet yang berumur
muda yaitu sebesar 0o-30o. Untuk keluhan pada petani penyadap pohon karet
umumnya mengeluhkan nyeri dan kesemutan pada pergelangan tangan dan daerah
lengan. Namun, petani penyadap pohon karet mengaku jika dipijat dan
diistirahatkan sebentar maka nyeri sudah teratasi. Sehingga mayoritas petani
hanya mengeluhkan keluhan-keluhan ringan.

Universitas Sriwijaya
51

Hasil penelitian ini, didukung oleh teori dan penelitian sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa postur tangan merupakan salah satu faktor risiko yang
dapat menyebabkan kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

F. Hubungan Gerakan Berulang Dengan Kejadian CTS (Carpal Tunnel


Syndrome)
Hasil analisis bivariat diperoleh p value=0,036, maka dapat disimpulkan ada
hubungan bermakna antara gerakan berulang (repetitive motion) dengan kejadian
Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Perhitungan risk estimate diperoleh nilai
RP=1,918, artinya petani yang memiliki frekuensi aktifitas berulang ≥30 kali
dalam 30-60 menit mempunyai risiko 1,918 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian CTS dibandingkan dengan petani yang memiliki frekuensi aktifitas
berulang <30 kali dalam 30-60 menit.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mukti (2015) dan Pratiwi dkk (2013) yang menunjukkan tidak ada hubungan
antara gerakan berulang dengan CTS dengan hasil (p=0,203) dan (p=0,176). Pada
penelitian Wahyuningrum dkk (2013) menyatakan tidak ada hubungan antara
gerakan berulang dengan CTS dengan nilai (p=0,112). Sebaliknya hasil penelitian
dari Darno (2011) dan Kurniawan dkk (2008) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan antara gerakan berulang dengan CTS dengan hasil (p=0,006) dan
(p=0,013). Adapun penelitian dari Erfian (2015) yang menunjukkan ada
hubungan antara gerakan berulang dengan CTS.
Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan beberapa kali
terjadi repetitive motion dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan otot terjadi
karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus menerus tanpa
memperolah kesempatan untuk relaksasi (Bridger, 1995). Aktifitas berulang
adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Keluhan otot terjadi
karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus, tanpa
memperoleh kesempatan untuk melakukan relaksasi (Peter Vi, 2000 dalam
Tarwaka dkk, 2004).
Frekuensi yang terlampau sering akan mendorong kelelahan (fatigue) dan
ketegangan pada pergelangan tangan. Ketegangan pada pergelangan tangan dapat

Universitas Sriwijaya
52

dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang digunakan untuk peregangan
otot. Dampak gerakan berulang akan meningkat bila gerakan tersebut dilakukan
dengan postur tangan janggal dan beban yang berat. Hasil penelitian ini, didukung
oleh teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
berulang merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian
Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai