PENDAHULUA
N
2
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.2.7 Penatalaksanaan
Dalam menentukan penatalaksanaan katarak diperlukan pemeriksaan secara
menyeluruh pada bagian anterior dan posterior mata, salah satunya yaitu dengan
menentukan derajat kekeruhan katarak. Penentuan derajat kekeruhan pada katarak
secara gold standar dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi Lens Opacity
Classification System III (LOCS III) yaitu dengan melihat gambaran pada saat
pemeriksaan slit-lamp dan menggunakan pencahayaan retroiluminasi (Gambar 1.1).
Klasifikasi ini memberikan gambaran derajat kekeruhan pada tiap struktur lensa atau
dapat juga menggunakan klasifikasi Buratto (Tabel 1.1)3,5
3
Tabel 1.1 Grade scale of nucleus hardness5
1. Indikasi Optik
Terdapat penurunan tajam penglihatan hingga mengganggu
kegiatan sehari-haripasien.
2. Indikasi Medis
Pada beberapa keadaan di bawah ini, katarak perlu dioperasi segera, seperti:
- Katarak hipermatur
- Glaukoma sekunder
- Uveitis sekunder
- Dislokasi/Subluksasio lensa
- Benda asing intra-lentikuler
- Retinopati diabetika
- Ablasio retina
3. Indikasi Kosmetik
Apabila pasien menginginkan kembalinya warna pupil menjadi hitam,
walaupun harapan visus membaik sangat kecil.
Beberapa jenis tindakan operasi katarak yang dapat dilakukan, yaitu ekstraksi katarak
intrakapsular (ICCE), ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE), Manual small incision
cataract surgery (SICS) dan teknik fakoemulsifikasi.5,7,8
1. Ekstraksi Katarak Intrakapsular (ICCE)
Tindakan ini dilakukan dengan cara mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul
dengan menggunakan cryoprobe dan dikeluarkan melalui insisi di superior kornea yang
lebar. Indikasi dilakukannya tindakan ICCE salah satunya pada usia muda. Tindakan
ICCE sangat menguntungkan pada pasien dengan keadaan subluksasi lensa, lensa
brunescent, dislokasi lensa, atau katarak dengan eksfoliasi. Tindakan ICCE ini tidak
diindikasikan pada pasien dengan myopia tinggi, sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan
adanya vitreus pada segmen anterior.3,7
2. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (ECCE)
Tindakan ECCE yaitu mengeluarkan isi lensa dengan merobek kapsul lensa anterior,
sehingga semua bagian lensa dapat keluar melalui insisi yang telah dilakukan.
Komplikasi pada tindakan ECCE lebih sedikit dibandingkan dengan ICCE. Tindakan
4
ECCE diindikasikan pada pasien dengan implantasi lensa intraokular sekunder, katarak
dengan nukleus yang mengeras, atau sebagai konversi pada saat terdapat kegagalan
teknik manual SICS dan fakoemulsifikasi.
3. Manual Small Incission Cataract Surgery (SICS) dan Fakoemulsifikasi Tindakan SICS
Merupakan tindakan yang dikembangkan dari ECCE dengan melakukan insisi pada
daerah limbus. Penjahitan luka insisi pada SICS bergantung pada kebutuhan saat operasi.
Tindakan SICS setara dengan fakoemulsifikasi dalam hal kualitas bedah, astigmat lebih
kecil, evaluasi setelah operasi yang singkat, dan kenyamanan pasien. Tindakan
fakoemulsifikasi sekarang ini merupakan tindakan gold standar, yaitu dengan
mengeluarkan lensa menggunakan alat ultrasonik pada insisi yang kecil di kornea,
sehingga tidak memerlukan luka penjahitan. Tindakan ini disebutkan dapat dilakukan
pada semua kasus. Akan tetapi terdapat kontraindikasi relatif yaitu pada keadaan pupil
kecil yang sulit dilatasi, nukleus yang sangat keras, subluksasi atau dislokasi lensa, serta
edema berat pada kornea. Teknik fakoemulsifikasi ini menghasilkan insidensi komplikasi
yang rendah, penyembuhan yang cepat dan rehabilitasi visual yang singkat.
2.2.9 Komplikasi Katarak
Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi preoperatif, intraoperatif,
postoperatif awal, postoperatif lanjut, dan komplikasi yang berkaitan dengan lensa
intra okular (intra ocular lens, IOL).3
A. Komplikasi preoperative
1) Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan (ansietas) akibat
ketakutan akan operasi. Agen anxiolytic seperti diazepam 2-5 mg dapat
memperbaiki keadaan.
2) Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid dan/atau
gliserol. Kasus ini dapat ditangani dengan pemberian antasida oral untuk
mengurangi gejala.
3) Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes antibiotik topical
preoperatif, ditangani dengan penundaan operasi selama 2 hari.
4) Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan
menggunakan tonometer Schiotz. Penanganannya berupa pemberian salep
antibiotik selama satu hari dan diperlukan penundaan operasi selama 2 hari.
B. Komplikasi intraoperative
1) Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses penjahitan.
5
2) Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau selama
insisi ke bilik mata depan.
3) Cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan lensa; dapat
terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti keratom.
4) Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
5) Lepas/ hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi
akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik ECCE.
C. Komplikasi postoperatif awal
Komplikasi yang dapat terjadi segera setelah operasi termasuk hifema,
prolaps iris, keratopati striata, uveitis anterior postoperatif, dan endoftalmitis
bakterial.
D. Komplikasi postoperatif lanjut
Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic postoperative
endophtalmitis, Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio retina,
dan katarak sekunder merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah
beberapa waktu post operasi.
E. Komplikasi yang berkaitan dengan IOL
Implantasi IOL dapat menyebabkan komplikasi seperti uveitis-
glaucoma- hyphema syndrome (UGH syndrome), malposisi IOL, dan
sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).
2.2.10 Prognosis
Prognosis katarak sangat bergantung pada derajat keparahan serta
intervensi yang dilakukan yang akan berpengaruh pada kualitas hidup
pasien. Jika katarak tidak ditangani dan dibiarkan untuk berprogresi,
katarak dapat menyebabkan kebutaan fungsional.
6
DAFTAR PUSTAKA
1. Tamsuri. (2020). Konsep Penyakit Katarak. Mi, 5–24.
2. Detty, A. U., Artini, I., & Yulian, V. R. (2021). Karakteristik Faktor Risiko Penderita Katarak.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(1), 12–17. https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i1.494
3. Astari. (2018). Katarak: Klasikasi, Tatalaksana, dan Komplikasi Operasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 2018. Cermin Dunia Kedokteran, 45(10), 2018.
http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/584%0Ahttp://103.13.36.125/index.php/
CDK/article/download/584/362
4. Utami, N. M. S. (2022). Asuhan Keperawatan Ansietas dengan Implementasi Tehnik Relaksasi
Benson pada Pasien Pre Operasi Katarak di Ruang Bedah Rumas Sakit Mata Bali Mandara
Provinsi Bali Tahun 2022. Politeknik Kesehatan Denpasar Jurusan Keperawatan Prodi
Profesi Ners, 8.5.2017, 2003–2005.
5. Arifani, A. F. (2018). Lensa dan Katarak. DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL
RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG, 1(3), 3–20.
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=sph&AN=119374333&site=ehost-
live&scope=site%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.neuron.2018.07.032%0Ahttp://dx.doi.org/
10.1016/j.tics.2017.03.010%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.neuron.2018.08.006
6. Hargiyati, E. A. (2020). Laporan Asuhan Keperawatan Gerontik Ibu W Dengan Katarak Di
Dusun Genitem Wilayah Kerja Puskesmas Godean 1 Yogyakarta. Jurnal Kesehatan, 6(6), 9–
33. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1134/4/4. Chapter 2.pdf
7. Hafizuddin, M., & Che, B. (2016). Uuran dan Bentuk Hidung pada Suku Batak (Vol. 25, Issue
3). FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
8. Kemenkes RI. (2018). PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
KATARAK PADA DEWASA (Issue 1).