Anda di halaman 1dari 17

FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERCERAIAN PERKAWINAN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM STUDI PENGADILAN AGAMA


KAB. LAMPUNG TENGAH TAHUN 2023

PROPOSAL TESIS
(Diajukan Untuk Memenuhi Perencanaan Ujian Wawancara Pasca Sarjana
UIN Raden Intan Lampung)

Oleh:
TOMY ERWANSYAH

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1444 H/2023
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………..I
DAFTAR ISI …………………………………………………………….II
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul…………………………………………………………...3
B. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...3
C. Identifikasi dan Batasan Masalah………………………………………….5
D. Rumusan Masalah ……………………………………………………..5
E. Tujuan Penelitian …………………………………………………….5
F. Manfaat Penelitian ……………………………………………………..6
G. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan………………………………..6
H. Metode Penelitian …………………………………………………….7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perceraian …………………………………………………….9
B. Dasar Hukum Perceraian ……………………………………………..9
C. Pengertian Cerai Gugat ……………………………………………10
D. Akibat Hukum dan Hak-hak Istri Dalam Cerai Gugat …………………..12
E. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ……………………………15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul
Penegasan judul ini dilakukan untuk menghindari kesalah pahaman maksud dari
judul tesis , maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan secara singkat istilah-
istilah yang terdapat dalam judul ini “faktor yang menyebabkan perceraian
perkawinan dalam perspektif hukum islam studi Pengadilan Agama kab.Lampung
Tengah tahun 2023
”.Istilah sebagai berikut:
1. Perceraian adalah putusnya ikatan dalam hubungan suami isteri berarti putusnya
hubungan perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami
isteri dan tidak lagi menjalani kehidupan Bersama dalam suatu rumah tangga.
2. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Pengadilan agama adalah peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara perdata
tertentu dan mengenai golongan tertentu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan judul
skripsi ini merupakan sebuah penelitian untuk mengungkap dan mengkaji faktor
yang menyebabkan perceraian perkawinan dalam perspektif hukum islam studi
Pengadilan Agama kab. Lampung Tengah tahun 2023.1

B. Latar Belakang Masalah


Setiap manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan pasti
mendambakan agar keluarga yang dibinanya dapat berjalan secara harmonis dan
selalu diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal senada sebagaimana ditegaskan
Sulistyo (1998:13), dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa: “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dari pendapat di atas dapat diketahui
bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir dan bathin antara suami istri, yang
dilakukan secara sah, untuk membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
2

1
Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian. Bandung: Tarsito Gunarsih, D.S. 1993. Hak dan Kewajiban Suami
Istri. Surabaya: Bina Ilmu
2
Matandang, Armansyah. 2014. Faktor- Factor Yang Menyebabkan Perceraian Dalam Perkawinan. Jurnal ilmu
pemerintahan dan sosial politik 2 (2) (2014) (141-150)

3
Karena perkawinan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga
yang kekal bahagia, sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa
ada unsur paksaan dari pihak manapun Dalam mencapai keluarga yang bahagia
ditempuh upaya menurut kemampuan masing-masing keluarga. Namun demikian,
banyak juga keluarga yang gagal dalam mengupayakan keharmonisannya, impian
buruk akan terjadi yaitu timbulnya suatu benturan “perceraian” yang tidak pernah
mereka harapkan.
Perceraian adalah putusnya ikatan dalam hubungan suami isteri berarti putusnya
hubungan perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami
isteri dan tidak lagi menjalani kehidupan Bersama dalam suatu rumah tangga.
Dampak perceraian mengakibatkan timbul berbagai masalah antara lain pecahnya
keluarga tersebut dari ikatan tali perkawinan, hubungan kekeluargaan menjadi
renggang dan dampak yang paling berat yang nyata akan dialami oleh anak yang
merupakan buah hati dari perkawinan itu sendiri. Hal senada sebagaimana
dikemukakan Rukmana (1992:23) : Oleh karena perkawinan mempunyai maksud
agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan
yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat
dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun istri benar-benar menghargai satu sama lain. Berdasarkan
observasi sementara di lokasi penelitian, penulis melihat bahwa angka perceraian
dikalangan masyarakat sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
wanita memiliki status janda, maupun pria yang memiliki status duda, dan
umumnya mereka yang memiliki status tersebut, bukan bercerai karena ditinggal
mati oleh salah satu diantara keduanya, namun mereka bercerai hidup dalam arti
kata keduanya masih hidup lalu memutuskan untuk mengakhiri ikatan perkawinan.
Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang terus menerus
menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran menyebabkan
bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan. Pertengkaran yang
meluap-luap menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus memicu perceraian.
Penyebab perceraian juga dipicu maraknya pernikahan di bawah umur. Pernikahan
di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi pernik-pernik pertikaian
yang mereka jumpai3.
Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) di Kabupaten Lampung Tengah selama
tiga bulan terakhir sejak Agustus 2020, faktor dominan terjadinya perceraian
pasangan suami istri di Kabupaten Lampung Tengah akibat adanya pihak ketiga

3
Matandang, Armansyah. 2014. Faktor- Factor Yang Menyebabkan Perceraian Dalam Perkawinan. Jurnal ilmu
pemerintahan dan sosial politik 2 (2) (2014) (141-150)

4
dan tidak adanya tanggung jawab. Untuk tingkat pendidikan pasangan suami istri
(pasutri) yang diputus bercerai di Pengadilan Agama di Kabupaten Lampung
Tengah sebagian besar adalah lulusan SD. Salah satu solusi untuk membantu untuk
tidak terjadinya perceraian adalah dengan mengharap perhatian dan bantuan BP4
yang ada didaerah ini, sebab bagaimanapun jika perceraian itu tetap terjadi maka
dampaknya sangat besar terhadap hubungan kekeluargaan antara kedua pihak
maupun terhadap keberlangsungan pendidikan anak.4

C. Identifikasi Dan Batasan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dapat diidentifikasi masalah
yang terjadi sebagai berikut:
1. Banyaknya perceraian dalam pernikahan di Kabupaten Lampung Tengah
2. Faktor dominan terjadinya perceraian pasangan suami istri di Kabupaten
Lampung Tengah akibat adanya pihak ketiga dan tidak adanya tanggung jawab

Pembatasan masalah berdasarkan identifikasi masalah, maka penulis


membatasi masalah sebagai berikut:
1. Banyaknya perceraian dalam pernikahan di Kabupaten Lampung Tengah
2. Faktor dominan terjadinya perceraian pasangan suami istri di Kabupaten
Lampung Tengah akibat adanya pihak ketiga dan tidak adanya tanggung jawab

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada sub fokus penelitian diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa banyak terjadi perceraian dalam pernikahan di Kabupaten Lampung
Tengah?
2. Bagaimana prespektif hukum islam terhadap perceraian dalam pernikahan di
Kabupaten Lampung Tengah?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan proposal tesisi ni adalah:
1. Untuk mengetahui faktor terjadi perceraian dalam pernikahan di Kabupaten
Lampung Tengah
2. Untuk mengetahui prespektif hukum islam terhadap perceraian dalam
pernikahan di Kabupaten Lampung Tengah

4
Matandang, Armansyah. 2014. Faktor- Factor Yang Menyebabkan Perceraian Dalam Perkawinan. Jurnal ilmu
pemerintahan dan sosial politik 2 (2) (2014) (141-150)

5
F. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. Menambah kekayaan khasanah ilmu pengetahuan dan khususnya bagi penulis
umumnya bagi yang membaca dengan pandangan hukum islam tentang
perceraian.
b. Dapat dijadikan referensi dalam memperoleh informasi tentang pandangan
hukum islam tentang perceraian.
c. Dapat mengembangkan kemampuan berkarya dengan daya acuan sesuai
dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki supaya menjawab permasalahan yang
timbul secara objektif melalui ilmu ilmiah khususnya permasalahan yang
berkaitan pandangan hukum islam tentang perceraian.
2. Secara Praktis
Memberikan kontribusi pemikiran sebagai bahan perlengkapan
penyempurnaan bagi studi selanjutnya, khususnya mengenai pandangan
hukum islam tentang perkawinan.5

G. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Sebuah penelitian memerlukan dukungan dari hasil-hasil penelitian yang telah
ada sebelumnya. Hasil penelitian yang relevan dimaksud untuk mengetahui
penelitian mutakhir terkait dengan topik serta menunjukan posisi penelitian
yang sedang dilakukan diantara penelitian yang telah dilakukan.
1. “Faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam perkawinan ” Jurnal
ini ditulis oleh Armansyah Matondang. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang mengakibatkan terjadinya perceraian di Desa
Harapan Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dengan mewawancarai
informan sebanyak 30 orang kepala keluarga yang beragama islam dengan
menggunakan random sampling. Penelitian ini menjelaskan bahwa faktor-
faktor yang menyebabkan perceraian dalam rumah tangga di Desa Harapan
Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi antara lain yakni faktor usia
muda, faktor ekonomi, faktor belum mempunyai keturunandan faktor
suami sering berlaku kasar menjadi penyebab terjadinya perceraian di Desa
Harapan. Akibat yang terjadi dari perceraian di Desa Harapan Kecamatan
Tanah Pinem Kabupaten Dairi adalah hilangnya kasih sayang anak dan
renggangnya hubungan keluarga antara pihak istri dan suami.6

5
Antara Ali, M. 1982. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Arikunto, S. 1996.
Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
6
Matandang, Armansyah. 2014. Faktor- Factor Yang Menyebabkan Perceraian Dalam Perkawinan. Jurnal ilmu
pemerintahan dan sosial politik 2 (2) (2014) (141-150)

6
H. Metode Penelitian
Metode adalah cara tepat untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian
ini, peneliti harus menggunakan metode dalam penelitian agar tercapainya
tujuan penelitian ini. Beberapa metode tersebuat antara lain adalah sebagai
berikut: 7
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Disebut
penelitian lapangan karena penelitian ini dilakukan dengan mengenali data
yang bersumber dari lapangan dimana data yang diperoleh dilapangan itu
menjadi data primernya.
b. Sifat Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang mendeskripsikan
dan penafsiran data yang akan menggambarkan secara umum subjek yang
diteliti mengenai fakta, sifat, ciri-ciri serta hubungan diantara unsur-unsur atau
fenomena tertentu.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang di pakai dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur
yang nampak dalam suatu gejala pada objek penelitian alat pengumpulan data
yang digunakan cara mengamati dan mencatat secara sistematik, gejala gejala
yang diselidiki. Metode observasi ini digunakan untuk mendapatkan data hasil
pengamatan. Observasi sendiri adalah alat pengumpulan data yang harus di
lakukan secara cermat, jujur, obyektif dan terfokus pada data yang akan
dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini.
b. Wawancara
Wawancara yaitu dengan mewawancarai kepala pengadilan agama di
Pengadilan Agama Kabupaten Lampung Tengah, Pelaksaan wawancara di
lakukan dengan tujuan untuk megetahui faktor terjadi perceraian dalam
pernikahan di Kabupaten Lampung Tengah dan mengetahui perspektif hukum
islam terhadap perceraian dalam pernikahan di Kabupaten Lampung Tengah.
Wawancara ini di lakukan untuk mengetahui lebih mendalam tenang
permasalahan yang di teliti, sehingga memperoleh imformasi yang sebenarnya
dalam penulisan skripsi penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi peneliti didapat dengan cara pra riset sebagai upaya untuk
mengumpulkan data-data awal di Pengadilan Agama Kabupaten Lampung

7
Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian. Bandung: Tarsito Gunarsih, D.S. 1993. Hak dan Kewajiban Suami
Istri. Surabaya: Bina Ilmu

7
Tengah dan berupa foto-foto yang penulis dapatkan ketika melakukan
wawancara sebagai bukti dalam penulisan tesis penelitian ini.
3. Pengolahan Data
Dari data yang diperoleh seluruhnya kemudian bahan dalam penelitian ini
diolah dan dianalisis dengan menggunakan suatu cara pengolahan data yang
diantaranya sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data
Merupakan cara yang dilakukan oleh penulis untuk mengoreksi terkait terkait
dengan kelengkapan data yang sudah dikumpulkan, kevaliditasan data yang
telah diperoleh tersebut dan relevansinya dari data-data diperoleh berdasarkan
studi literatur yang berkaitan suatu penelitian.
b. Rekonstruksi Data
Yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis dan mudah untuk
dipahami dan diinterpretasikan.
c. Sistematisasi data
Merupakan cara yang ditempuh oleh penulis dalam menempatkan yang
menurut data atau kerangka sistematika bahasa berdasarkan pada kronologi
masalah yang diperoleh dalam penelitian tersebut.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif induktif.
Teknik analisis data deskriptif induktif yaitu penelitian yang di maksud untuk
menjelaskan tesis mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian faktor
terjadinya perceraian dalam perkawinan dalam perspektif hukum islam. 8

8
Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian. Bandung: Tarsito Gunarsih, D.S. 1993. Hak dan Kewajiban Suami
Istri. Surabaya: Bina Ilmu

8
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Perceraian
Pengertian Perceraian Perceraian merupakan putusnya ikatan dalam hubungan
suami istri berarti putusnya hukum perkawinan sehingga keduanya tidak lagi
berkedudukan sebagai suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama
dalam suatu rumah tangga. Cerai dalam kamus besar bahasa indonesia adalah pisah,
putus hubungan sebagai suami istri atau lepasnya ikatan perkawinan. Inilah
pemahaman umum terkait dengan istilah cerai. Perceraian bukanlah kesepakatan
oleh karena itu, perceraian perkawinan tidak boleh didasarkan pada adanya
kesepakatan untuk bercerai. Perceraian merupakan pintu darurat atau alternatif
terakhir yang bisa dipilih untuk menyelesaikan persengketaan dalam perkawinan.
(Dr.Djoko, 2016): Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan hukum saja di
antara beberapa alasan hukum yang di tentukan dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Jadi,
secara yuridis, alasan-alasan hukum perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam
arti suami istri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan salah satu
alasan hukum saja. Selain itu, enumeratif, dalam arti penafsiran, penjabaran dan
penerapan hukum secara lebih kongkret tentang masing-masing alasan hukum
perceraian merupakan wewenang hakim di pengadilan. (Syaifuddin, 2014): 9

B. Dasar Hukum Perceraian


Dasar hukum perceraian dapat ditemui dalam al-Qur’an banyak ayat yang berbicara
tentang masalah perceraian. Diantaranya ayat-ayat yang menjadi landasan hukum
perceraian adalah firman Allah SWT:

‫ن قها فإ ل ح ۡبَع د م ن ل ل ت ل ف ط قها ي ت َ َا ج ن ن إَف ۡغي َه ًجا ۡزو ن ك ح ت ت‬


ۡ ٢٣٠ ‫ل ل ط جنا ح ف هما ن عا أ‬
‫علَي ا إ ما أن ظن ل ح دو د ي قي ك ٱل ۡ ل ح دو د وتل ن ها ي ب‬
‫ٱل ل ق ي مو ن ۡعل ي ۡوم‬
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum Allah. Itulah hukumhukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. AlBaqarah ayat 230).
(RI, 2014) .

9
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

9
C. Pengertian Cerai Gugat
Cerai gugat adalah tuntutan hak ke pengadilan (bisa dalam bentuk tulisan atau lisan)
yang di ajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya. Penggugat adalah
istri yang mengajukan perceraian, dan Tergugat adalah suami. Gugatan diajukan
oleh pengugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang, yang memuat
tuntutan hak yang didalamnya mengandung sengketa dan merupakan suatu
landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam
gugatan ada istilah penggugat dan tergugat. Penggugat ialah orang yang menuntut
hak perdatanya ke muka pengadilan perdata. Penggugat bisa satu orang badan
hukum atau lebih, sehingga ada istilah penggugat I, penggugat II, penggugat III dan
seterusnya. Lawan dari penggugat disebut tergugat. Dalam hal tergugat pun bisa
ada kemungkinan lebih dari satu orang/badan, sehingga ada istilah tergugat I,
tergugat II, tergugat III dan seterusnya. Gabungan penggugat atau gabungan
tergugat disebut dengan kumulasi subjektif. Dan idealnya dalam perkara di
pengadilan ada penggugat dan tergugat. Inilah peradilan yang sesungguhnya
(jurisdictio contentiosa). Dan produk hukum dari gugatan adalah putusan
pengadilan. (Dr.Mardani, 2009: 43)
Tata cara perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan ketentuannya diatur dalam
pasal 39 sampai pasal 41. dan dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 14 sampai 36.
Dalam suatu perkawinan apabila antara suami dan isteri sudah tidak ada kecocokan
lagi untuk membentuk suatu rumah 10tangga atau keluarga yang bahagia baik Lahir
maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan
persidangan ke pengadilan ( pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan) (Sarwono, 2011: 65) 2.2 Dasar Hukum Cerai Gugat Dalam
konteks hukum islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda
dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/175. Jika dalam UUP dan PP
9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oelah suami atau istri,
mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri yang
terdapat dalam pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “gugatan perceraian diajukan
oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama, yang didaerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
suami tanpa izin suami.” Gugatan perceraian dapat diterima oleh tergugat
pernyataan atau tidak sikap mau lagi kembali kerumah kediaman bersama (Pasal
132 ayat [2] KHI) Dasar hukum: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
TENTANG Perkawinan 2. Peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Intruksi presiden No.1

10
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

10
Tahun 1991 tentang penyebarluasan Komplikasi Hukum Islam 2.3 Prosedur Cerai
Gugat Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat. Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar
Negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dari
isi pasal diatas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama perubahan
kewenanagn relatif Pengadilan. Kalau dalam Peraturan Pemerintah permohonan
diajukan suami ke Pengadilan yang meliputi tempat tinggalnya sendiri, sedang
gugatan diajukan isteri ke Pengadilan di tempat tinggal suami, maka dalam
Undang-Undang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1) dan pasal 73 ayat (1)
dipindahkan ke Pengadilan yang meliputi tempat tinggal bersama yang disepakati.
Kedua, dipertahankan bahkan semakin dipertegas adanya pembedaan prosedur
perceraian antara cerai talak dengan cerai gugat. Dalam KHI Pasal 136 disebutkan
tentang prosedur cerai gugat di Pengadilan Agama:11
a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan
Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.
b. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat, Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
d. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu, sesuai dengan KHI
Pasal 137.
Pada saat proses pemanggilan para pihak apabila tempat kediaman tergugat tidak
jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di
Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Pengumuman
melalui surat kabar atau mass media dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua, dengan

11
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

11
tenggang waktu antara panggilan kedua dan hari persidangan sekurang kurangnya
tiga bulan. Apabila setelah dilakukan pemanggilan secara patut namun tergugat
juga tidak hadir maka gugatan dapat diterima tanpa hadirnya tergugat kecuali
gugatan tersebut tidak beralasan pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh
hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau
surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian
perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan
tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Pada sidang
pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya. Namun untuk kepentingan pemeriksaan suami atau isteri
mewakilkan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Mengenai putusan gugatan perceraian diatur dalam KHI Pasal 146 bahwa:
1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(Soemiyati, 2011: 64). 12

D. Akibat Hukum dan Hak-hak Istri Dalam Cerai Gugat


Akibat Hukum dari Cerai Gugat Perceraian adalah bagian dari dinamika rumah
tangga, adanya perceraian karena adanya perkawinan meskipun tujuan perkawinan
bukan perceraian, tetap perceraian merupakan sunnatullah meskipun penyebabnya
berbeda-beda. Bercerai dapat disebabkan oleh kematian suaminya, dapat pula
karena rumah tangganya tidak cocok dan pertengkaran selalu menghiasi perjalanan
rumah tangga suami isteri, bahkan ada pula yang bercerai karena salah satu dari
suami atau isteri tidak lagi fungsional secara biologis. Kata “cerai” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti (kata kerja), pisah atau putus hubungan sebagai
suami isteri; talak perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup.
Menurut istilah, gugatan berasal dari kata gugat yang mendapatkan akhiran,
sehingga menjadi gugatan. Gugatan sendiri mempunyai pengertian untuk memulai
dan menyelesaikan perkara perdata yang diantara masyarakat, salah satu pihak
harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada Pengadilan. Sebagaimana
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “gugat” yaitu (kata kerja) dakwa;
adukan (perkara), nuntut mendakwa, mengadukan (perkara): jika hendak anda
harus membawa bukti-bukti yang sah, menuntut (janji,dsb) membangkit-
bangkitkan perkara yang sudah-sudah, mencela dengan keras atau menyanggah.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa cerai gugat adalah pisah atau
putusnya hubungan suami isteri karena adanya gugatan atau tuntutan yang diajukan

12
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

12
oleh pihak suami atau isteri kepada Pengadilan Agama disertai adanya alasan-
alasan yang jelas (Soemiyati, 2011: 83). 13Dalam konteks hukum islam (yang
terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam
Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Jika dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau isteri,
mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh isteri
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “Gugatan
perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya wilayah tempat tinggal penggugat kecuali kristeri meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin suami” Gugatan perceraian ini baru dapat diterima
apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke
rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat 2 KHI). Namun dalam istilah Fiqih cerai
gugat dikatakan sebagai Fasakh. Fasakh secara bahasa membatalkan atau
mengangkat. Istilah fasakh dalam perspektif Fiqih berbeda dengan yang
berkembang di Indonesia. Fiqih madhhab menilai apabila inisiatif tersebut dari
isteri atau suami yang tidak menggunakan hak talak akan tetapi diputuskan oleh
hakim maka disebut dengan Fasakh26. Pada asasnya Fasakh adalah hak suami atau
isteri, akan tetapi dalam pelaksanaanya lebih banyak dilakukan oleh pihak isteri dari
pada pihak suami. Hal ini disebabkan karena Agama Islam telah memberikan hak
talak kepada suami. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 tepatnya Pasal 73 ayat (1) Tentang Peradilan Agama yang mengatakan bahwa
cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat. Dapat dikatakan bahwa cerai gugat yaitu gugatan yang diajukan oleh
isteri terhadap suami. Nantinya isi amar putusan Hakim Pengadilan Agama adalah
menjatuhkan talak 1 (satu) “bain sughra” dari tergugat kepada penggugat. Dalam
cerai gugat pihak suami tidak mengucapkan ikrar talak di hadapan Pengadilan
Agama karena yang meminta cerai adalah isteri. Suami juga tidak diwajibkan
memberi nafkah iddah dan mut’ah kepada isteri. Dalam praktik di Pengadilan
Agama, baik dalam cerai talak maupun cerai gugat isteri dapat mengajukan
permohonan kepada Hakim Pengadilan Agama untuk meminta nafkah lalu yaitu
nafkah yang tidak diberikan suami kepada istri. Menurut Bustanul Arifin
menyatakan bahwa suami isteri memiliki fungsi dan tanggung jawab masing-
masing yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu yaitu tercapainya kebahagian
rumah tangga dan keluarga atau terwujudnya rumah tangga yang sakinah

13
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

13
mawaddah dan rahmah. Tidak itu saja, hubungan kedudukan tersebut juga
mengandung rasa keadilan sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan dalam
menghadapi perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat. Peceraian
adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum
yang diberi akibat hukum. Percerain menimbulkan akibat hukum putusnya
perkawinan. selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2.4.2
Hak-Hak Istri dalam Cerai Gugat Dalam Hukum Islam isteri menjadi tanggungan
dari suaminya selama dalam masa iddah. Apabila dalam perceraian itu isteri tidak
bersalah, maka isteri dapat memperoleh biaya hidup selama dalam masa iddah yaitu
90 hari. Pengaturan hakhak isteri pasca perceraian juga diatur dalam Undang-
Undang perkawinan Tahun 1974, ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah
bercerai itu dalam Undangundang perkawinan diatur dalam pasal 41.
a) Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan
suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna
sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang
diterima tidak bergantung pada masa iddah yang dijalaninya, tetapi bergantung
pada bentuk perceraian yang dialaminya.
b) Isteri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak diterimanya
dikelompokkan kedalam tiga macam: 1) Isteri yang di cerai dalam bentuk talak
raj’iy, hak yang diterimnya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum
dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga
tempat tinggal. 2) Isteri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra
ataupun bain kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sapakat, bahwa dia
berhak atas nafkah dan tempat tinggal. 3) Hak isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya. Dalam hal isteri dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa
dia berhak atas nafqah dan tempat tinggal, namun bila isteri tidak dalam keadaan
hamil ulama beda pendapat. 14
Sebagian ulama diantaranya imam Malik, al-syafi’iy dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa isteri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal, dan sebagian ulama
diantaranya imam Ahmad berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat yang tidak
hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Adapun setelah perceraian
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri (Pasal 41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas
isteri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu

14
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

14
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas
isterinya, kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
2) benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul
3) Memberi nafkah kepada isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah
4) dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
5) Melunasi mahar yang masih terutang dan apabila perkawinan itu qabla al
6) dhukul mahar dibayar setengahnya
7) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun 15

E. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan merupakan sesuatu perbuatan yang tidak diinginkan oleh setiap orang.
Begitu juga dalam Islam tidak menghendaki adanya tindak kekerasan. Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia istilah kekerasan di artikan sebagai perbuatan
seorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera / matinya orang /
menyebabkan kerusakan fisik / barang orang lain (Nasional, 2008: 677). Sedangkan
Pasal 1 ayat 1 UU-PKDRT menjelaskan pengertian kekerasan dalam rumah tangga
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesensaraan atau penderitaan secara Fisik, Seksual Psikologis, atau Pelantaran
Rumah Tangga termasuk ancaman melakukan pemaksaan, atau Perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Keterangan
“Terutama Perempuan” dalam Pasal di atas menunjukan bahwa perempuan
mendapatkan penekanan khusus dalam undang-undang ini. Sebab kekerasan dalam
rumah tangga dapat mengenai siapapun yang menjadi anggota keluarga baik suami,
istri, anak, maupun mereka yang bekerja dalam rumah tangga tersebut. Memang
dalam kenyataannya tindak kekerasan dalam rumah tangga lebih sering dilakukan
laki-laki terhadap perempuan, khususnya suami terhadap istri. (Rubiyatmoko,
2008: 66). Peristiwa yang tidak di inginkan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda
bagi setiap orang, ada yang tidak menerima, namun ada juga yang justru bangkit
dan bahkan mendapatkan hal-hal yang luar biasa ditengah-tengah kesedihan yang
di alaminya (Maisyarah, 2012: 17). Dengan demikian menurut hemat Penulis,
secara garis besar kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang
menyebabkan adanya kerusakan secara fisik mapun non fisik dalam lingkup
keluarga. 2.6 Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagaimana dijelaskan

15
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

15
dalam Pasal 5 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga. Ada Empat Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu :
1. Kekerasan Fisik Kekerasan Fisik sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 bahwa : “
Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan sakit, Jatuh sakit, atau luka
berat.
2. Kekerasan Psikis Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan penderitaan psikis pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual Meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. Serta
pemaksaaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan oranglain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
Pemaksaan seorang suami terhadap seorang istri dengan memaksa termasuk bentuk
kekerasan. Begitu juga termasuk pemaksaan seorang bapak terhadap anaknya
melakukan hubungan seksual juga termasuk kekerasan.
4. Pelantaran Rumah Tangga Pengertian Pelantaran Rumah Tangga dalam Undang-
Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga No.23 tahun 2004 tidak
dijelaskan dengan jelas, namun Salim dan Erlies Septiana Nurbani mengemukakan
pendapat mengenai pengertian penelantaran rumah tangga, bahwa pengertian
penelantaran rumah tangga merupakan kegiatan yang tidak memberikan kehidupan,
perawatan, ataupun pemeliharaan kepada orang yang menurut hukum merupakan
kewajiban yang bersangkutan (Salim, 2014: 109). 16
Perempuan saat ini sudah tidak memiliki ruang tersisa untuk merasa aman.
Keluarga yang di anggap tempat meraih kebahagiaan dan merasa aman justru
menjadi tempat penyiksaan bagi mereka yang mengalami tindak kekerasan oleh
suaminya. Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal
sudah biasa terjadi. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, bahkan
memaki merupakan hal yang umum terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Kejadian-kejadian inilah yang memicu ketidak harmonisan di antara anggota
keluarga (Jayanti, 2009: 40). Seringkali permasalahan seperti ini masih di anggap
dalam lingkup privat. Sehingga sebagian orang tidak ingin ikut campur dalam
rumah tangga seseorang.

16
Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana Mengatasi
Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka

16
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A.Y. 1996. Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa
dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka
Antara Ali, M. 1982. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung:
Angkasa Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Aznin, A. 1995. Kesehatan Dalam Keluarga: Dalam Nasehat Perkawinan dan
Keluarga. Yogyakarta: Kanisius Cark, P.J., 1991. Wanita dan Keluarga.
Kepenuhan Jati Diri Dalam Perkawinan dan Keluarga. Yogyakarta: Kanisius
Daradjat, Z. 1991. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang 1991. Peranan Agama
dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung
Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian. Bandung: Tarsito Gunarsih, D.S. 1993. Hak
dan Kewajiban Suami Istri. Surabaya: Bina Ilmu
Maria. 1990. Jika Benturan Melanda Perkawinan, Dalam Nasehat Perkawinan dan
Keluarga. Jakarta: BP4 Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik 2 (2)
(2014): 141-150 150
Matandang, Armansyah. 2014. Faktor- Factor Yang Menyebabkan Perceraian
Dalam Perkawinan. Jurnal ilmu pemerintahan dan sosial politik 2 (2) (2014)
(141-150)
Mustafa, F. 1991. Kesehatan Jiwa Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat.
Terjemahan Dr. Zakiah Dardjat. Jakarta: Bulan Bintang
Tjiptoherijanto, P. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia Dalam Rangka
Globalisasi, Rineka Cipta: Jakarta Pidarta, M, 1997. Landasan Kependidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Rukmana, N. 1992. Tuntunan Praktis Perkawinan. Jakarta: Penebar Swadaya
Subekti. Cet XXI. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa Sudarshono.
1989. Perceraian Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta: Gramedia
Sumardi, M. 1985. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali
Undang-Undang Perkawinan. UU No. I Tahun 1974. Surabaya: Tinta Mas Undang-
Undang Perkawinan. PP No.9 Tahun 1975. Surabaya: Tinta Mas Waskita.
Yulius. 1989. Membina Rumah Tangga Bahagia. Jakarta: Bina Aksara Burgerlijk,
W. 1992. Kitab-Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita
Zuhdi, M. 1994. Masail Fiqhiyah. Jakarta. Haji Masagung

Anda mungkin juga menyukai