Anda di halaman 1dari 27

PROGRAM STUDI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MANAJEMEN PRAKTIK KEFARMASIAN


SISTEM DISTRIBUSI DI RUMAH SAKIT, PUSKESMAS, DAN PBF

OLEH :

NAMA : RAFIKA KAMAL

NIM : 151 2023 0095

KELAS : C1.2

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
1. Jelaskan sistem distribusi di berbagai substansi, RS, Puskesmas, dan PBF ?
SISTEM DISTRIBUSI DIBERBAGAI SUBSTANSI :

A. SISTEM DSITRIBUSI DI RUMAH SAKIT


Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana,
personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi
penderita dalam kegiatanpenyampaian sediaan obat beserta informasinya
kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat
yang telah di-dispensing IFRS ke daerah tempatperawatan penderita dengan
keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal,
waktu dan metode pemberian dan ketepatan personel pemberi obat kepada
penderita serta keutuhan mutu obat (Siregar, 2004)
1. Sistem Distribusi Obat Untuk Pasien Rawat Inap/Tinggal
Pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk penderita
rawat tinggal (PRT), yaitu:
a. Sistem distribusi obat resep individu sentralisasi Resep individu
adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan
sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut yang disiapkan
dan didistribusikan dari IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada
resep/order atas nama PRT tertentu melalui perawat ke ruang
penderita tersebut (Siregar, 2004).
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan
di-dispencing dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS,
kemudian order/resep tersebut di proses sesuai dengan kaidah “cara
dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada
penderita tertentu”. Keuntungan (Siregar, 2003) :
- Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga
dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat
berkaitan dengan obat penderita.
- Memberi kesempatan interaksi professional antara apoteker-
dokterperawat- penderita.
- Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas
perbekalan.
- Mempermudah penagihan obat penderita.
Keterbatasan/ kerugian (Siregar, 2003) :
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada
penderita.
- Jumlah kebutuhan personil di IFRS meningkat.
- Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk
penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat.
- Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan
pada waktu penyiapan konsumsi.
2. Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock)
Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, semua obat
yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali obat yang
jarang digunakan otau obat yang sangat mahal. Persediaan obat di ruang
dipasok oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personil IFRS memeriksa
persediaan obat di ruang, lalu menambah menambah persediaan obat yang
persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali .
Obat yang di-dispensing dibawah sistem ini terdiri atas obat penggunaan
umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh
dan order obat yang harus dibayar sebagai biaya obat. Obat penggunaan
umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan
oleh PFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih
luka, larutan antiseptik, dan obat tidur.
Biasanya obat ini dibayar sebagai bagian dari biaya pelayanan perawatan.
Obat yang harus dibayar tersedia pada tiap unit perawat dan penderita yang
menggunakannya akan membayarnya sebagai biaya obat (Siregar, 2003).
Definisi dari sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah
tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis
dokter pada order obat, yang disiapkan dari persdiaan di ruang oleh perawat
dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari persediaan yang langsung
diberikan kepada penderita di ruang itu (Siregar, 2003).
Keuntungan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991) :
- Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita.
- Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS.
- Pengurangan penyalinan kembali order obat.
- Pengurangan jumlah personil IFRS diperlukan.
Keterbatasan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991):
- Kesalahan obat sangat meningkat karena order obat tidak dikaji
oleh apoteker. Di samping itu, penyiapan obat dan konsumsi
obat dilakukan oleh perawat sendiri, tidak ada pemeriksaan
ganda.
- Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas
ruangan yang sangat terbatas. Pengendalian persediaan dan
mutu, kurang diperhatikan oleh perawat. Akibatnya
penyimpanan yang tidak teratur, mutu obat cepat merosot, dan
tanggal kadaluarsa kurang diperhatikan sehingga sering terjadi
sediaan obat yang tak terpakai karena telah kadaluarsa.
- Pencurian obat meningkat.
- Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
- Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas
penyimpanan obat yang sesuai disetiap daerah perawatan
penderita.
- Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani
obat.
- Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat.
Keterbatasan/kelemahan sistem distribusi obat persediaan lengkap di
ruang sangat banyak. Oleh karena itu, sistem ini hendaknya tidak digunakan
lagi. Dalam sistem ini tanggung jawab besar dibebankan pada perawat, yaitu
menginterpretasi order dan penyiapan obat, yang sebetulnya adalah
tanggung jawab apoteker. Sekarang telah diperkenalkan sistem distribusi
obat desentralisasi yang melaksanakan sistem persediaan lengkap di ruang,
tetapi dibawah pimpinan seorang apoteker. Jika sistem desentralisai ini
dilakukan, maka banyak kekurangan dari sistem distribusi obat persediaan
lengkap diruang akan dapt diatasi (Siregar, 2003).
3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang
Rumah sakit.
Yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan distribusi resep/order
individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan
yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan
oleh PFT dengan masukan IFRS dan dari pelayanan keprawatan. Sistem
kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat
yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak
penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang relatif
murah, mencakup obat resep atau obat bebas.
Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004):
- Semua resep/order individual dikaji langsung oleh apoteker.
- Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker –
dokter – perawat – penderita.
- Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita.
- Beban IFRS dapat berkurang.
Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004):
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada
penderita (obat resep individu).
- Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang).
4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS)
Sistem distribusi ini menggunakan istilah dosis unit yang digunakan di
rumah sakit berhubungan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk
mendistribusikan kemasan tersebut. Obat dosis unit adalah obat yang diorder
oleh dokter untuk penderita, terdiri atas satu atau beberapa jenis obat yang
masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah yang
dikonsumsi saja. Sistem distribusi obat dosis unit adalah metode dispensing
dan pengendalian obat yang dikoordinasi IFRS dalam rumah sakit. Akan
tetapi, unsur berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit, yaitu obat
dikandung dalam kemasan unit tunggal, didispensing dalam bentuk siap
konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan
dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita pada
setiap waktu (Siregar dan Amalia, 2004).
Sistem distribusi obat dosis unit dapat dioperasikan dengan salah satu
dari 3 metode dibawah ini, yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan
kondisi suatu rumah sakit. Sistem tersebut yaitu (Siregar dan Amalia, 2004
dan Anonim, 1991) :
- Sistem distribusi obat dosis unit dapat diselenggarakan
secara sentralisasi. Sentralisasi dilakukan oleh IFRS sentral
ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah
sakit secara keseluruhan. Artinya, dirumah sakit itu mungkin
hanya satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa
daerah perawatan penderita.
- Sistem disteribusi obat dosis unit desentralisasi dilakukan
oleh beberapa cabang IFRS di sebuah rumah sakit. Pada
dasarnya sistem distribusi obat desentralisasi ini sama dengan
sistem distribusi persediaan lengkap di ruang, hanya saja
sistem distribusi obat desentralisasi ini dikelola seluruhnya oleh
apoteker yang sama dengan pengelola dan pengendalian oleh
IFRS sentral.
- Dalam sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi
dan desentralisasi, biasanya hanya dosis mula dan dosis
keadaan darurat dilayani cabang IFRS sentral. Kalau sistem
distribusi obat yang telah diurai sebelumnya dikenal sebagai
sistem tradisional, maka sistem distribusi obat dosis unit ini
termasuk sebagai sistem yang terbaru, meskipun sistem ini
telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Kelemahan
dari sistem distribusi ini adalah kebanyakan rumah sakit lambat
menerapkannya, karena sistemini memerlukan biaya yang
besar dan juga memerlukan penigkatan jumlah yang radikal
daristaf apoteker, apabila dibandingkan dengan sistem
tradisional
(Anonim, 1991).
Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991):
- Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan
penderita membayar hanya obat yang dikonsumsinya saja.
- Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah
disiapkan oleh IFRS, jadi perawat mempunyai waktu lebih
banyak untuk merawat langsung penderita.
- Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan
menginterpretasikan resep/order dokter dan membuat profil
pengobatan penderita (P-3) oleh apoteker, dan perawat
memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsikan.
Jadi sistem ini mengurangi kesalahan obat.
- Peniadaan duplikasi order obat yang berlebih dan pengurangan
pekerjaan menulis di unit perawat dan IFRS.
- Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh
penderita.
- Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS.
- Meningkatkan penggunaan personel profesional dan
nonprofesional yang lebih efisien.
- Mengurangi kehilangan pendapatan.
- Menghemat ruangan di unit perawat dengan meniadakan
persediaan ruah obat-obatan.
- Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
- Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS dirumah sakit
secara keseluruhan. Sejak dari dokter menulis resep/order
sampai penderita menerima dosis unit.
- Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket
dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan
tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi penderita. Halini
mengurangi kesempatan salah obat, juga membantu dalam
penelususran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat.
- Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat
bertambah baik.
- Apoteker dapat datang ke unit perawat/ruang penderita untuk
melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan
kepada tim sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan
penderita yang lebih baik.
- Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
- Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan
obat menyeluruh.
- Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban
kerja IFRS dan penjadwalan staf.
5. Sistem Distribusi Obat Desentralisasi
Pelayanan Farmasi dessentralisasi terbukti selama ini merupakan suatu
rencana pelaksanaan penting guna mencapai keamanan dan keefektifan
penggunaan obat bagi penderita (Siregar dan Amalia, 2004).
Keuntungan (Siregar dan Amalia,2004) :
- Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsikan pada pasien.
- Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik.
- Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan
perawat.
- Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang
diterapkan untuk penyerahan obat kepada penderita melalui
perawat.
- Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan dan dapat berbicara
dengan penderita secara efisien.
- Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter da
perawat.
- Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk
digunakan penderita berkurang, karena tugas itu lebih banyak
dilakukan oleh personel IFRS desentralisasi.
- Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan
penderita dicapai lebih efektif.
- Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat
dikembangkan dan diberikan secara efisien.
- Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik obat dan studi
assesment mutu terapi obat penderita.
Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004) :
- Semua Apoteker praktik klinik harus cakap bekerja secara
efektif dengan asisten apoteker dan teknisi
- Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan
distribusi dan pelayanan klinik.
- Waktu yang digunakan untuk bukan distribusi obat tergantung
pada ketersediaan asisten apoteker bermutu dan
berkemampuan teknisi.
- Pengendalian inventori obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit
karena anggota staf berpraktik dalam lokasi fisik yang banyak.
- Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan pustaka
informasi obat, ” laminar air flow”, lemari pendingin, rak obat
dan alat untuk meracik.
- Jumlah dan ketakutan penderita menyebabkan beban kerja
distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personil
dalam.
Persyaratan Sistem Distribusi Obat untuk penderita Rawat Tinggal :
Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif sangat tergantung
pada desain sistem distribusi obat yang didisain dan dikelola baik harus didapat
mencapai berbagai hal sebagai berikut (Siregar, 2004) :
1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara.
2. Mutu dan kondisi obat/tetap stabil dalam seluruh proses distribusi.
3. Kesalahan obat minimal dan memberi keamanan maksimum pada
penderita.
4. Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat minimal.
5. Efisiensi dalam penggunaan sumber, terutama personel.
6. Pencurian dan/atau hilang dapat minimal.
7. IFRS mempunyai akses dalam semua tahap proses distribusi untuk
pengendalian, pemantaun dan penerapan pelayanan farmasi klinik.
8. Terjadinya interaksi profesional dokter-apoteker-perawat-penderita.
9. Pemborosan dan penyalahgunaan obat minimal.
10. Harga terkendali.
11. Peningkatan penggunaan obat rasional.
2. Sistem Distribusi Untuk Penderita Rawat Jalan.
Lingkungan fisik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan bukan
merupakan faktor utama mengingat bahwa pelayanan kesehatan ini diberikan
kepada pasien yang rawat jalan, dan bukan yang dirawat di RS. Pasien rawat jalan
berbeda dalam banyak hal dengan pasien rawat inap, pasien yang dirawat di rumah
sakit selalu dalam lingkungan yang secara rutin diawasi dimana tanda-tanda penting
yang terjadi juga dicatat secara rutin, pengobatan dijadwal dan diberikan oleh tenaga
medis tedidik yang profesional, dan pasien ditempatkan pada suatu tempat yang
khusus; sebaliknya pasien rawat jalan biasanya berad dalam lingkungan yang tidak
terkontrol sehingga tanda-tanda penting yang terjadi diaantara waktu kunjungannya
ke klinik tidak dicatat, dan kadang-kadang mungkin obat yang digunakan pasien tidak
teratur.
Dengan demikian jelas bahwa masalah yang berkaitan dengan pengobatan
yang dihadapi oleh pasien rawat inap di Rumah Sakit. Pasien rawat jalan seringkali
harus bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri. Di samping obat-obat yang
ditulis pada resep, pasien juga mungkin menggunakan obat lain yang dibeli dari
Farmasi luar atau dari para pengecer obat lain. Juga mungkin pasien menggunakan
obat yang diperoleh dari anggota keluarga atau temanFarmasis harus menyediakan
pelayanan farmasi yang diperluas yaitu memberikan informasi kepada pasien agar
lebih mengerti tentang obat-obat yang mereka gunakan (Anonim, 1991).
Secara umum, pedoman pelayan farmasi untuk pasien rawat jalan di rumah
sakit mencakup (Satibi,2014):
1. Perencanaan; pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan harus dipimpin
oleh seorang apoteker yang berkompetensi, memiliki pengalamn dalam
praktek dan manajemen farmasi, yang bertanggung jawab menentukan
sasaran juangka panjang dan pendek, mengembangkan rencana, hingga
laboran yang berkaitan dengan pencapaian sasaran.
2. Pengelolaan staf; personil yang ditugaskan untuk pasien rawat jalan
memiliki pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi
tugas mereka, jumlah personel dan jadwal kerja staf diatur sedemikian rupa
agar dapat memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit.
3. Pengelolaan Unit Pelayanan Penderita Ambulatori (UPPA); UPPA sebagai
cabang dari IFRS harus selalu dipantau pengelolaanya oleh IFRS sentral
mengenai pelayanan, pengelolaan keuangan, serta kepatuhan pada standar
yang berlaku.
Persyaratan fasilitas dan peralatan (Satibi,2014) :
a. Apotek RS harus memiliki lokasi yang mudah dicapai oleh pasien. Ruangan
dan peralatan dalam jumlah dan jenis yang memadai untuk melaksanakan
fungsi profesional dan administrasi.
b. Tersedia ruangan bersifat pribadi untuk konsultasi, serta ruangan dan sumber
yang memadai untuk pelayanan informasi obat.
c. Sebaiknya memiliki sumber pengolahan data yang telah memadai atau
berkomputerisasi untuk memudahkan dalam mengakses.
d. Harus menyediakan ruang tunggu yang nyaman bagi penderita.
Persyaratan pengolahan resep (Satibi,2014) :
a. Dispensing dilakukan oleh apoteker atau dibawah pengawasan apoteker.
b. Apoteker harus mengkaji ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute pemberian,
serta jumlah obat.
c. Etiket ditulis secara benar, lengkap, dan jelas.
d. Obat harus disiapkan tepat waktu dengan cara akurat.
e. Pemberian informasi atau edukasi pada pasien baik secara lisan atau tertulis.
Apoteker harus memastikan pasien menerima dan mengerti semua informasi
yang diperlukan untuk penggunaan obat yang tepat.
Pedoman operasional lain :
a. Penetapan jam kerja sesuai dengan kebutuhan pasien rawat jalan.
b. Ketaatan pada formularium rumah sakit. Sistem Farmasi Satu Pintu
(Satibi, 2014).

Pelayanan “Farmasi Satu Pintu” :


Berarti tanggung jawab pelayanan kefarmasian sepenuhnya dilakukan oleh
farmasi rumah sakit (RS) atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Yang dimaksud
dengan sistem satu pintu menurut UU No. 44 tahun 2009 pasal 15 ayat 3 adalah
bahwa rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium pengadaan, dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan
farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan
kepentingan pasien. IFRS memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab
terhadap obat yang beredar di RS, serta dalam pengelolaan perbekalan farmasi,
berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna, berkewajiban
melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah
sakit.
Proses pelaksanaan sistem pelayanan kefarmasian satu pintu, meliputi
(Satibi ,2014) :
a. Pemahaman tentang tanggungjawab kepada pihak internal IFRS bahwa Instalasi
Farmasi bertanggung jawab atas semua obat yang beredar di rumah sakit.
b. Commitment Building : Memberikan yang terbaik untuk pelanggan, pelayanan
bebas kesalahan (Zero Defect), pelayanan bebas copy resep (terlayani semua di
rumah sakit).
c. Membangun kekuatan internal RS terhadap pesaing farmasi dari luar dan
mewujudkan keterikatan terhadap pelayanan farmasi RS dengan penyediaan
dana gotong royong seluruh jajaran RS.
d. Pemberdayaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).
e. Penerapan sistem formularium RS.
f. Penerapan satu SOP (Sistem Operasional Pelaksanaan) penulisan resep.
g. Resep wajib dikirim ke IFRS untuk dilakukan skrining dan validasi.
h. Penerapan SIM (Sistem Informasi Manajemen) farmasi.
Tujuan Pelayanan Farmasi Satu Pintu (Satibi, 2014) :
a. Menghindari resep keluar, dengan cara memiliki outlet apotek ditiap lantai,
menggunakan sistem “jemput resep”, fasilitas antar untuk jarak tertentu, bekerja
sama dengan poli rawat jalan.
b. Meningkatkan pendapatan IFRS dan Rumah Sakit, sehingga meningkatkan
kesejahteraan pegawai.
c. Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum,
rawat jalan Askes, rawat inap umum/Askes, obat operasi dan pelayanan obat
masyarakat miskin dan sistem Jaminan Kesehatan nasional (JKN).
d. Meminimalisasi pemberian obat yang tidak tepat waktu, dan meminimalisasi
medication error untuk keamanan dan keselamatan pasien.
e. Peningkatan pelayanan farmasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga
dapat memenuhi kebutuhan yang ditetapkan, dan memuaskan harapan
konsumen.
f. Obat tersedia pada harga yang kompetitif dan memberi manfaat bagi RS.
Adapun metode lain yang bisa diterapkan untuk mencegah resep keluar dari IFRS
selain dengan pemilihan sistem distribusi yang tepat dan sistem satu pintu
adalah (Satibi ,2014) :
a. E-pescribing (peresapan elektronik) Yaitu penggunaan komputer dan/atau
personal digital assistants (PDAs) untuk menulis resep.Penerapan sistem ini di
rumah sakit diyakini cukup efektif dalam upaya mencegah resep keluar dari
rumah sakit yang bersangkutan. Dengan diterapkannya sistem ini maka pasien
akan menebus resep hanya di apotek rumah sakit tersebut. Agar tidak
mengurangi hak-hak pasien maka pasien tetap menerima resep dalam bentuk
print out bersamaan dengan dispencing obat. Metode e-prescribing, selain
meningkatkan keterjaringan pasien membeli obat di IFRS juga mampu menekan
angka kejadian medication error sampai 60%. Menekan kejadian medication
error dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) menjadi
hal yang paling utama dibanding pertimbangan lainnya.
b. Pembayaran terpadu Yaitu biaya dokter, biaya laboratorium, radiologi dan obat
serta biaya yang lainnya dijadikan satu dengan mendirikan depo farmasi dan
loket pembayaran disekitar poloklinik di rumah sakit. Keuntungan dari strategi ini
adalah lebih praktis dan efektif dalam mencegah resep keluar, serta biaya
operasional yang dibutuhkan lebih kecil.
c. Jemput resep Yaitu adanya tenaga kerja dari IFRS yang bertugas mengambil
resep dari dokter praktek di poliklinik untuk dibawa ke IFRS dan dilayani disana.
Dapat juga dilakukan oleh perawat masing-masing poliklinik yang mengantarkan
resep ke IFRS. Namun, sistem ini kurang etis karena melanggar hak pasien
dalam menebus resep, selain itu juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih
banyak. Upaya yang dilakukan agar tidak melanggar hak pasien adalah dengan
tetap menawarkan kepada pasien apakah resep yang diterima akan dibeli di
farmasi rumah sakit atau di apotek yang lain. Keputusan untuk membeli obat
dimanapun tetap menjadi hak sepenuhnya pasien.
d. Membangun outlet farmasi setiap lantai Salah satu faktor dalam keputusan
pasien membeli obat di RS adalah kemudahan akses ke apotek/instalasi farmasi.
Dalam upaya mendekatkan obat dengan pasien dapat dilakukan dengan
membangun outlet tiap lantai di RS. Metode ini jelas membutuhkan fasilitas dan
tenaga farmasi yang lebih banyak, namun pasien lebih mudah dalam
memperoleh obatnya (Satibi, 2014).
e. Bekerjasama dengan poliklinik (pasien rawat jalan) Instalasi Farmasi RS
sebagai salah satu unit bisnis RS.

B. SISTEM DISTRIBUSI OBAT DI PUSKESMAS


Pelayanan medis di Puskesmas merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan pekerjaan Kesehatan dan memegang peranan
penting dalam meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi uitama Puskesmas, yaitu
sebagai pusat promosi kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat
pelayanan kesehatan dasar, termasuk pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat (Permenkes RI, 2016).
Yang dimaksud dengan pendistribusian adalah suatu kegiatan
penyerahan dan pengeluaran sediaan obat secara menyeluruh dan teratur untuk
memenuhi kebutuhan sub unit/satelit yang ada, baik subunit pelayanan
kesehatan dalam lingkungan Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas
keliling, serta Posyandu dan Polindes. Pendistribusian dapat dilakukan dengan
metode individual prescribing, floor stock, Unit Dose Dispensing (UUD), ataupun
kombinasinya sesuai dengan kondisi subunit yang ada. Adapun tujuannya yaitu
untuk memenuhi kebutuhan obat disetiap sub unit pelayanan kesehatan yang
ada di wilayah kerja Puskesmas dengan waktu, jumlah dan mutu yang terjamin
(Permenkes RI, 2016). Adapun pendistribusian obat berupa kegiatan
pengeluaran dan pengiriman obatobatan yang bermutu, terjamin keabsahannya,
tepat jenis dan jumlah serta kebutuhan unit-unit pelayanan Kesehatan terpenuhi
secara merata. Siklus pendistribusian obat yang dilakukan di Puskesmas harus
mengikuti prosedur tetap yang ada. Langkah distribusi dimulai dari dinkes,
kemudian menyalurkannya ke Puskesmas, atau ke Posyandu. Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam Penentuan jumlah dan jenis obat, seperti :
jumlah kunjungan, pola penyakit pasien, sisa stok pada akhir bulan, dan upaya
kesehatan di Pustu yang dilaksanakan pada bulan tersebut melalui kegiatan
pokok.

C. DISTRIBUSI OBAT DI PBF


Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat
dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam penanganan produk rantai dingin maka dibutuhkan perlakuan
khusus dalam penanganan produk tersebut agar tetap aman, berkhasiat, dan
bermutu. Dalam CDOB, hal-hal yang harus diperhatikan pada produk rantai
dingin dimulai dari penerimaan barang datang, penyimpanan, hingga pengiriman
barang sampai tiba di tempat pelayanan atau outlet.
Produk-produk sediaan farmasi, frozen food, dan produk berumur pendek
sangat sensitif terhadap kelembapan, suhu, dan intensitas cahaya sehingga
dibutuhkan perhatian khusus dalam pengelolaan lingkungannya (Ilyod, et. al.,
2017). Berdasarkan peraturan BPOM nomor 6 tahun 2020 tentang Pedoman
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), PBF harus memiliki sertifikat CDOB
CCP guna menjamin kualitas dari produk rantai dingin yang di distribusikan
sehingga khasiatya tetap terjaga (Sembiring, 2021). Suhu pendistribusian dan
penyimpanan CCP harus dipertahankan pada suhu 2-8oC (WHO, 2015).
Penyimpanan dan transportasi CCP yang kurang tepat adalah salah satu faktor
produk kehilangan mutunya (Manitoba, 2013).
Berdasarakan peraturan BPOM nomor 6 tahun 2020 tentang Pedoman
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), PBF harus menerapkan CDOB dalam
melakukan setiap kegiatan pendistribusian sehingga PBF harus memiliki
peraturan internal yang tercantum dalam SOPnya terkait Penanganan Vaksin
atau CCP yang ditanganinya sesuai dengan CDOB dan salah satunya adalah
peraturan dalam penyaluran. Peraturan yang dimaksud harus mencakup baik
dari personil hingga fasilitas dan kendaraan. Personil yang menangani produk
CCP harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu khususnya pengemudi dalam
transportasinya. Pengemudi harus mengetahui prosedur yang harus dilakukan
ketika keadaan yang tidak diinginkan. Tiap Penyaluran produk harus mematuhi
sebagai berikut
a. FEFO (First Expire First Out), produk yang tanggal kedaluwarsanya lebih pendek
harus lebih dahulu dikeluarkan.
b. FIFO (First In – First Out), produk yang lebih dulu diterima agar lebih dulu
didistribusikan
c. Untuk vaksin yang memiliki indikator, misalnya vaksin dengan VVM (Vaksin Vial
Monitor) dan kondisi indicator sudah mengarah atau mendekati ke batas layak
pakai (atau posisi VVM menunjukkan warna lebih gelap), maka vaksin tersebut
harus dikeluarkan terlebih dahulu walaupun tanggal kedaluwarsanya masih
panjang.
d. Setiap pengeluaran produk harus dicatat pada form catatan bets pengiriman
yang isinya meliputi tujuan pengiriman, jenis barang, jumlah, nomor bets, dan
tanggal kedaluwarsanya
e. Dalam faktur/surat pengantar barang harus mencantumkan tujuan pengiriman,
jenis barang, jumlah, nomor bets, dan tanggal kedaluwarsanya.
f. Untuk pengiriman vaksin harus menggunakan kontainer yang sudah tervalidasi
atau vaccine carrier yang memenuhi standar pengiriman vaksin.

Dalam penerapannya metode FEFO digunakan untuk produk-produk yang memiliki


tanggal kadaluwarsa atau expired date sedangkan metode FIFO akan digunakan untuk
produk-produk yang tidak memiliki tanggal kadaluwarsa. Hal ini berlaku pada saat
penyiapan barang-barang sebelum akhirnya disalurkan. Dalam penerapan
pengangkutan ke dalam kendaraan, metode yang digunakan yaitu LIFO (Last In First
Out). Metode Last In First Out digunakan dalam penyusunan barang di kendaraan agar
barang yang dapat mudah dikeluarkan pada saat penyaluran ke outlet-outlet farmasi
sehingga barang di dalam kendaraan sehingga driver tidak harus mengeluarkan seluruh
isi dalam kendaraan.
Dalam pengiriman produk CCP, diperlukan tempat penyaluran atau kontainer khusus
yang digunakan dimana dapat menggunakan sterofoam maupun cooler box yang diberi
termostat di luar dengan sensor di dalam kontainer. Cooler box juga harus disimpan
dan termostatnya dapat terlihat oleh driver agar apabila terjadi penyimpangan suhu
seperti penaikan suhu yang umumnya terjadi maka driver dapat segera membeli es
untuk mendinginkan kembali kontainer. Dalam penanganan produk CCP, driver tidak
boleh panik dan harus segera menangani produk apabila terdapat penyimpangan suhu
sesuai dengan pelatihan khusus yang telah dilakukannya. Setelah sampai di outlet
farmasi maka driver harus menyampaikan kepada outlet terkait penanganan dari
produk rantai dingin tersebut.
Selain personil dan kendaraan, terdapat fasilitas yang harus diperhatikan diantaranya
termostat dimana termostat harus dikalibrasi minimal 1 tahun sekali. Dalam mendukung
keberhasilan dalam penyaluran produk rantai dingin yang aman, bermutu, dan
berkhasiat maka proses penyaluran harus dilakukan validasi untuk memastikan bahwa
proses pengiriman yang dilakukan telah sesuai dengan persyaratan dan ketentuan
CDOB. Kegiatan validasi dilakukan 1 tahun sekali dari pengemasan produk,
ukuran cooler box yang digunakan, dan jumlah serta ice pack yang digunakan. Setelah
dilakukan pengemasan pada produk rantai dingin maka produk akan dikirim ke tempat
terjauh dari ekspedisi yang dilakukan. Hal ini akan dilakukan dalam 3 kali pengulangan
dan hasil dari suhu terus dimonitoring dari keberangkatan hingga ekspedisi kembali.
Apabila terdapat hasil di luar dari persyaratan maka harus segera dilaporkan dan
validasi harus diulang kembali. Dalam penanganan CCP, semua kegiatan harus
didokumentasikan walaupun proses pengirimannnya seperti proses pengiriman produk-
produk reguler. Namun dalam produk rantai dingin terdapat tambahan yaitu berita acara
pengiriman yang digunakan sebagai dokumentasi monitoring suhu dari produk sebelum
dikirimkan hingga produk sampai di tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003, Farmasi Klinik, PT Elek Media Komputindo, Kelompok Gramedia,


Jakarta

Badan POM RI. 2020. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman
Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).

Lloyd J, Cheyne J.The origins of the vaccine cold chain and a glimpse of the future. Vaccin
[Internet].2017;35(17):2115–20.Available from:http://dx.doi.org/10.1016/j.vaccine. 2016.
11.097

Satibi. (2015). Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Sembiring, D. 2021. Evaluasi Pelaksanaan Pendistribusian Cold Chain Product (CCP) oleh
Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Kota Bandung SembirinG. Majalah Farmasetika.
Majalah Farmasetika, 6(4), p. 300=309. Available at:
https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/article/view /34822/16159 (Accessed: 28 Februari
2023).

World health organization. How to monitor temperatures in the vaccine supply chain. World Heal
Organ [Internet]. 2015;31. Available from: https://apps.who.int/iris/handle/
10665/183583.
JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA : JKKI

VOLUME 10
No. 03 September • 2021 Halaman 112-119

Artikel Penelitian

TASK SHIFTING DALAM PENDISTRIBUSIAN OBAT DI RUMAH SAKIT


DARURAT PENANGANAN COVID-19 WISMA ATLET KEMAYORAN
TASK SHIFTING IN THE DISTRIBUTION OF DRUGS IN COVID-19 EMERGENCY HOSPITAL
WISMA ATLET KEMAYORAN

Dandung Ruskar1,2,6*, Mochamat Helmi2,3, IDK Widana1, Tjahja Nurrobi2,4, Tugas Ratmono2,4,5
1
Fakultas Keamanan Negara, Prodi Managemen Bencana, UniversitasPertahanan
2
RS Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran
3
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
4
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
5
Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Yani
6
Lembaga Farmasi TNI Angkatan Laut Drs.Mochamad Kamal

ABSTRAK
Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini menyebabkan surge of capacity termasuk dalam jumlah tenaga kefarmasian.
Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran (RSDC WAK) mempunyai kapasitas menampung
pasien dengan jumlah yang cukup besar sehingga membutuhkan perhatian khusus dalam ketersediaan tenaga farmasi.
Akibat dari keterbatasan jumlah tenaga farmasi di RSDC WAK membuat Task Shifting dalam pelayanan kefarmasian
menjadi penting untuk dapat dilakukan. Dalam hal ini pendistribusian obat kepada pasien COVID-19 yang seharusnya
dilakukan oleh tenaga farmasi dilimpahkan kepada tenaga perawat. Apabila sistem ini tidak disertai dengan pembekalan,
pengetahuan dan keterampilan khusus, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kesalahan dalam pendistribusian obat
yang akan berpotensi menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Kajian ini memberikan gambaran tentang Task Shifting yang
terjadi di RSDC WAK, kemudian melalui analisa literatur untuk menjelaskan bagaimana implementasi yang sebaiknya terjadi.
Kata Kunci: Pendistribusian Obat; Keterbatasan tenaga farmasi; Pelayanan Kefarmasian; Task Shifting.

ABSTRACT
The recent COVID-19 pandemics cause a surge of capacity in the number of pharmaceutical personnel. The Emergency Hospital
Wisma Atlet Kemayoran can serve a large number of COVID-19 patients. Therefore, attention needs to be made to provide the number
of personnel. Due to the limited number of pharmacy personnel in this hospital making Task Shifting in pharmaceutical services is an
important factor to consider. In this regard, the distribution of drugs to COVID-19 patients that should be done by pharmacy personnel
is delegated to nurses. However, if Task Shifting is not equipped with special knowledge and skills, it may have the possibility of
errors in the distribution of drugs that may worsen the quality of health services. This study aimed as an overview of Task Shifting
that occurred in this hospital and performed literature analysis to discuss how the implementation of Task Shifting should work.
Keywords: Drug Distribution; Limited pharmacy personnel; Pharmaceutical Services; Task Shifting.

PENDAHULUAN pasien positif virus corona, usia rentan, dan


fasilitas kesehatan yang kurang memadai (2).
Berawal dari kota Wuhan-Tiongkok pada bulan Dalam menangani para pasien yang positif
Desember 2019 sampai saat ini, pandemi Corona terinfeksi COVID-19, pemerintah juga dihadapkan
Viruses Disesase 2019 (COVID-19) secara global dengan para tenaga medis yang ikut terpapar
belum juga menunjukkan penurunan prevalensi. bahkan harus gugur saat bertugas menangani
Dari data Komite Penanganan COVID-19 dan pandemi. Tanggal 04 Januari 2021, tim mitigasi
Pemulihan Ekonomi Nasional berdasarkan laman Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mencatat
dari World Health Organization (WHO) pada tanggal sepanjang tahun 2020 sebanyak 504 tenaga medis
4 Januari 2020 menyebutkan sebaran COVID-19 di Indonesia meninggal akibat terpapar COVID-19.
secara global sudah melintasi 222 negara dengan Dari jumlah tersebut sebanyak 237 adalah dokter,
jumlah pasien terkonfirmasi sebanyak 83.715.617 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker,
jiwa dan meninggal sebanyak 1.835.901 jiwa. dan 10 tenaga lab medik. Kematian tenaga medis
di Indonesia tercatat yang paling tinggi di Asia
Sedangkan di Indonesia sebanyak 772.103 jiwa
dan masuk 5 besar di dunia (3). Berdasarkan
pasien positif dengan angka kematian sebanyak penelitian yang dilakukan oleh Mashabi S (2020)
22.911 jiwa dimana Jakarta sebagai Ibu Kota dengan judul “Riset FKUI : 83 Persen Tenaga
negara masih menempati urutan nomor 1 sebaran Kesehatan Alami Burnout” menyebutkan bahwa
COVID-19 tertinggi di Indonesia (1). Tingginya tenaga laboratorium, perawat, apoteker, bidan,
tingkat kematian di Indonesia dipengaruhi oleh dokter gigi dan dokter spesialis paling banyak
keberadaan penyakit penyerta yang dimiliki oleh mengalami Burnout tingkat sedang (4).

112 • Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI

Pengoperasian Rumah Sakit Darurat Penanganan HASIL DAN PEMBAHASAN


COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran (RSDC WAK)
yang diresmikan pada tanggal 23 Maret 2020 oleh Sistem Distribusi Logmed RSDC WAK
Presiden Joko Widodo merupakan salah satu Sistem distribusi obat untuk penderita rawat inap
upaya Pemerintah dalam menangani dan menekan yang diterapkan pada suatu rumah sakit berbeda-
sebaran pandemi COVID-19. Rumah sakit ini pada beda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit
awalnya diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lain, hal tersebut biasanya tergantung pada
kesehatan kepada 3000 pasien COVID-19 dengan kebijakan rumah sakit, kondisi dan keberadaan
gejala ringan sampai dengan sedang (5). Tetapi fasilitas fisik, personel dan tata ruang suatu rumah
pada saat ini, RSDC WAK diharuskan untuk mampu sakit (8). Kegiatan pendistribusian logmed untuk
merawat pasien berat akibat sukarnya mekasanakan pasien rawat inap yang dilakukan di bagian Instalasi
proses rujukan. Pada tanggal 04 Januari 2021 jumlah Farmasi RSDC WAK, berdasarkan pengamatan
pasien yang dirawat di RSDC Wisma Atlet sebanyak menggunakan sistem distribusi kombinasi antara
3889 pasien dari 4424 tempat tidur (87,90%) (6). sistem distribusi floor stock di gudang logmed
Diambil dari laporan RSDC Wisma Atlet Kemayoran, dan sistem distribusi resep perorangan (individual
jumlah tenaga kesehatan yang tersedia tanggal 04 prescribing) di rawat inap. Sistem distribusi floor
Januari 2021 sebanyak 2073 orang yang merupakan stock dilaksanakan melalui mekanisme satu pintu
gabungan dari Lembaga, TNI/Polri, dan relawan lain. secara sentralisasi untuk permintaan yang berasal
Dari 2073 tenaga kesehatan yang tersedia, dari dalam dan dari luar lingkungan RSDC WAK.
114 diantaranya adalah tenaga farmasi dengan Sistem distribusi floor stock dari dalam lingkungan
38 apoteker dan 76 tenaga teknis kefarmasian RSDC WAK dilaksanakan melalui sistem
(TTK). Tenaga kesehatan terbesar adalah amprahan dan surat permohonan permintaan
tenaga perawat dengan jumlah 1424 perawat. yang ditujukan kepada kepala IFRS/apoteker
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) yang kompeten sedangkan permintaan dari luar
Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan lingkungan RSDC WAK dilaksanakan melalui
Kefarmasian, ratio jumlah apoteker terhadap pasien surat permohonan permintaan yang ditujukan
rawat inap adalah 1 apoteker untuk 30 pasien rawat kepada koordinator RSDC WAK.
inap (7). Keterbatasan jumlah tenaga farmasi di Sistem amprahan ditujukan untuk memenuhi
Wisma Atlet pada akhirnya mendorong penerapan permintaan kebutuhan yang berasal dari unit/bagian
metode Task Shifting dari tenaga farmasi kepada di dalam tower perawatan yang dilaksanakan secara
profesi keperawatan terutama dalam melakukan terkoordinir berdasarkan satuan waktu dan dikelola
pendistribusian logistik medis (logmed) kepada oleh TTK dibawah supervisi apoteker yang berada
pasien. Kedaruratan penggunaan Task Shifting di gudang logistik obat dan alkes. Jenis logmed yang
tanpa koordinasi, pembekalan pelatihan dan dilayani melalui sistem amprahan adalah logmed
keterampilan akan berpotensi besar menimbulkan selain obat, yaitu berupa alkes dan BMHP. Sistem
medication error. Berdasarkan latar belakang amprahan diajukan dalam buku defecta yang akan
di atas, maka dalam penulisan ini penulis akan dilayani setelah mendapatkan persetujuan dari
mendeskripskan implementasi Task Shifting yang Apoteker Penanggung Jawab (APJ) gudang alkes.
terjadi antara tenaga farmasi dengan tenaga perawat Alur distribusi di dalam lingkungan RSDC WAK dapat
dan potensi Medication Error yang dapat terjadi dilihat dalam gambar 1. Permohonan permintaan
bila dilaksanakan tanpa strategi yang baik dalam logmed yang berasal dari luar lingkungan RSDC
memberikan pelayanan kesehatan di RSDC WAK. WAK diajukan dalam bentuk surat permohonan
khusus yang ditujukan kepada Kepala Koordinator
METODE KAJIAN RSDC Wisma Atlet dengan kepala IFRS sebagai
Kajian ini bersifat desktriptif dengan metode tembusan.
kualitatif observasional. Untuk menggambarkan
proses Task Shifting yang terjadi antara tenaga
farmasi dan tenaga perawat di RSDC WAK. Data hasil
observasi kemudian dikaji berdasarkan studi literatur
yang diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang sistem distribusi logistik farmasi di Rumah
Sakit dan Task Shifting antar tenaga kesehatan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
terkait pandemi COVID-19 beserta medication error
yang ditimbulkan akibat implementasi yang tidak
diikuti dengan strategi lain yang baik. Gambar 1. Alur distribusi floor stock RSDC WAK

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021 • 113
Task Shifting dalam Pendistribusian Obat: Dandung Ruskar., dkk.

Selain itu, terdapat penempatan trolly karena dikelola langsung oleh apoteker yang
emergency (TE) di sejumlah lantai masing- dibanrtu oleh tenaga teknis kefarmasian. Sistem
masing tower perawatan dan emergency kit (EK) distribusi obat di rawat inap awalnya menggunakan
yang berada di apotek rawat inap pusat. Trolly sistem distribusi unit dispensing dose untuk
emergency adalah sarana untuk menyimpan dan mencegah resiko kehilangan obat dan kesalahan
mengangkut peralatan vital dan obat-obatan yang dalam pemberian obat ke pasien. Akan tetapi
mungkin diperlukan dalam kode biru (emergency dengan pertimbangan kecepatan dan efisiensi
cardiac) ke lokasi darurat (9). Daftar isi logmed dalam memberikan pelayanan kesehatan akhirnya
yang ada di TE dan EK berdasarkan koordinasi disepakati menggunakan sistem individual
antara dokter, perawat dan apoteker. Pemenuhan prescribing untuk 3(tiga) hari ke depan dengan
logmed yang umumnya berupa live saving baik menggunakan bantuan tenaga perawat (Task
diajukan melalui surat permintaan permohonan Shifting) dalam pendistribusian langsung kepada
dan ditujukan kepada kepala IFRS. TE dan EK pasien. Pengawasan ketat dalam pengambilan
disiapkan dan dikendalikan oleh bagian gudang obat oleh perawat, pencatatan dan pelaporan
logistik medis yang ditempatkan di beberapa lantai riwayat pengobatan pasien oleh IFRS masih tetap
tiap tower. TE dan EK merupakan perpanjangan rutin berjalan. Dan saat ini sudah terbantu dengan
bentuk sistem distribusi floor stock di ruang rawat adanya sistem komputerisasi di apotek rawat inap
inap diluar amprahan. Akan tetapi pengelolaan untuk mempermudah proses pelaksanaannya.
TE dan EK secara ideal masih menjadi salah satu Task Shifting pendistribusian obat kepada tenaga
kendala yang dihadapi oleh IFRS dikarenakan perawat ini juga didasarkan atas adanya kebijakan
keterbatasan sarana yaitu berupa ketersediaan RSDC WAK yang berlaku yang memberikan
jumlah trolley dan ketersedian obat, alkes dan keterbatasan gerak kepada pasien COVID-19
BMHP untuk ditempatkan di masing-masing untuk tidak melakukan aktivitas lain diluar kamar
trolley. perawatan kecuali ada instruksi lebih lanjut
Sistem pendistribusian kepada pasien di sehingga pasien dilarang untuk mengambil obat
Apotek Rawat Inap dilakukan melalui sistem sendiri di apotek rawat inap.
resep perorangan (individual prescribing) yang
Task Shifting Distribusi Obat RSDC WAK
diresepkan untuk kebutuhan selama 3 (tiga)
hari ke depan secara sentralisasi. Alur distribusi Suatu hal yang berubah pada saat ini adalah
Apotek Rawat Inap RSDC WAK dapat dilihat pada pelayanan kefarmasian yang awalnya berorientasi
gambar 2. pada obat telah bergeser menjadi orientasi pada
pasien, yang mengacu kepada pharmaceutical
care, kegiatan pelayanan kefarmasian yang
awalnya terfokus pada pengelolaan obat berubah
menjadi pelayanan yang komprehensif atau
menyeluruh dengan tujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Sebagai akibat dari pergeseran
orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan
perilaku untuk dapat melakukan interaksi langsung
dengan pasien (10).
Jumlah tenaga farmasi yang aktif di RSDC
Gambar 2. Alur distribusi Apotek Rawat Inap RSDC WAK WAK berjumlah 114 personel yang terdiri dari 38
Melalui observasi di lapangan dapat diketahui apoteker dan 76 TTK. Dari 114 personel farmasi
bahwa apotek rawat inap RSDC WAK dapat tersebut, 100 personel diantaranya merupakan
melayani resep rata-rata sebanyak 1600-1700 tenaga farmasi yang melakukan pekerjaan
resep dalam sehari. Jumlah tenaga farmasi yang kefarmasian di apotek rawat inap dengan 30
berada di apotek rawat inap sebanyak 100 personel apoteker dan 70 TTK. Bila melihat PMK Nomor
terdiri dari 30 apoteker dan 70 TTK. Dalam sehari 72 tahun 2016 tentang ratio kebutuhan apoteker
bekerja dalam tim yang terbagi dalam 3 (tiga) shift di rawat inap dimana 1 apoteker untuk 30 pasien
pelayanan. Pemilihan sistem distribusi kombinasi rawat inap (7) tentunya angka tersebut sangat
antara floor stock dengan individul prescribing jauh dari ideal. Dengan jumlah pasien RSDC
sesuai dengan PMK Nomor 72 tahun 2016 (7). WAK sebesar 3889 pasien maka seharusnya
Penerapan sistem floor stock di gudang logmed membutuhkan apoteker sebesar 130 personel
ditujukan untuk mempermudah lalu lintas logmed untuk di rawat inap saja. Hal ini berarti 1 apoteker
dan sekaligus mempermudah pengawasan, di apotek rawat inap RSDC WAK bekerja 4-5x lipat
pengendalian dan administrasi atas ketersediaan dari idealnya.

114 • Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI

Meningkatnya kebutuhan akan nakes dalam farmasi dengan tenaga perawat terlihat saat alur
jumlah pasien yang terus meningkat akan dimana perawat ruangan memberikan obat secara
menurunkan mutu pelayanan kesehatan yang langsung kepada pasien.
diterima oleh pasien. Sehingga harus diupayakan Task Shifting dapat membantu mengatasi
jalan alternativ terbaik untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kesehatan saat ini namun
ini yaitu melalui Task Shifting (11). Menurut WHO, Task Shifting bukan jawaban untuk dapat
metode alih kerja (Task Shifting) dapat diartikan menyelesaikan krisis tenaga kerja kesehatan (12)
sebagai metode kerja sama tim antar tenaga s. Lebih lanjut, Task Shifting sebenarnya dapat
kesehatan (nakes) dalam memberikan pelayanan meningkatkan permintaan kebutuhan akan nakes.
kesehatan dimana terdapat pendelegasian tugas Hal ini terjadi karena nakes bersangkutan memiliki
dari profesi nakes yang satu kepada nakes lain tanggung jawab lebih yaitu menjadi pelatih dan
yang berbeda profesi (12). Dalam situasi krisis supervisor sebagai tugas tambahan disamping
SDMK yang terjadi, untuk tetap mempertahankan tugas pokoknya dalam memberikan pelayanan
mutu pelayanan kesehatan yang diberikan maka kesehatan secara langsung kepada pasien (15).
Task Shifting bisa menjadi strategi alternatif yang Kekurangan SDMK farmasi dan mungkin juga
dapat disebut sebagai strategi kelangsungan kekurangan SDMK yang lain bukan merupakan
hidup (11). Menurut penelitian yang dilakukan oleh hal yang baru, ditambah juga dengan gugurnya
Fulton dkk (2011) memberikan kesimpulan bahwa nakes dalam upaya menangani pasien COVID-19.
Task Shifting adalah alternatif kebijakan yang Tentunya hal ini harus menjadi agenda tersendiri
menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi dan bagi Pemerintah untuk mengatasi krisis ini.
produktifitas pelayanan kesehatan, meningkatkan Mengingat pandemi COVID-19 masih berlangsung
jumlah layanan yang diberikan dengan kualitas maka sebaiknya implementasi Task Shifting harus
dan biaya tertentu. Dan untuk meningkatkan mutu dilakukan sambil menunggu terpenuhinya SDMK
pelayanan, keterampilan perlu dievaluasi dengan yang baru yang mana juga membutuhkan proses
menggunakan desain penelitian yang ketat dan waktu yang panjang. Untuk itu penerapan
untuk dapat memperkirakan dampak pada hasil Task Shifting dalam jangka waktu yang panjang
kesehatan pasien, kualitas pelayanan, dan biaya harus membutuhkan strategi yang berkelanjutan.
(13). Terlepas dari standar kebutuhan nakes untuk
Administration Error di RSDC WAK
memberikan pelayanan kesehatan, kebutuhan
untuk melakukan alih kerja (Task Shifting) Pada hakekatnya pelayanan Kefarmasian
dari nakes kepada tenaga biasa tidak dapat harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis
dipungkiri. Task Shifting kepada kader kesehatan, Kefarmasian dan Tenaga Teknis Kefarmasian
sukarelawan dan konselor terbukti mengurangi yang melakukan Pelayanan Kefarmasian harus
beban kerja staf klinik dan memberikan kontribusi di bawah supervisi Apoteker (7). Keterampilan
pelayanan kesehatan yang lebih merata seorang apoteker dalam pengelolaan sediaan
khususnya untuk daerah terpencil (14). farmasi akan menentukan keberhasilan suatu
Semenjak awal beroperasinya RSDC WAK, apotek dalam menyediakan sediaan farmasi
pendistribusian obat ke pasien sudah dilakukan yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat.
oleh tenaga perawat. Koordinasi antara bagian Kesalahan pengobatan (medication error) dapat
farmasi dengan bagian perawat mulai terbentuk terjadi pada 4 fase, yaitu kesalahan peresepan
dua bulan setelahnya. Dimana saat itu kepala (prescribing error), kesalahan penerjemahan
bagian keperawatan menyetujui untuk membantu resep (transcribing error), kesalahan menyiapkan
melakukan distribusi obat kepada pasien. Dalam dan meracik obat (dispensing error), dan
upaya untuk tetap selalu konsisten dalam menjaga kesalahan penyerahan obat kepada pasien
mutu pelayanan kesehatan yang terbaik, cepat (administration error) (16). The United States
dan efisien kepada pasien ditengah keterbatasan National Coordinating Council for Medication
SDMK dan lonjakan jumlah pasien tentunya Error Reporting and Prevention mendefinisikan
harus dipikirkan strategi alternativ terbaik. medication error sebagai setiap peristiwa yang
Sehingga akhirnya salah satu kegiatan pelayanan dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau
kefarmasian dalam pengelolaan logmed yaitu menyebabkan penggunaan obat yang berbahaya
pendistribusian obat kepada pasien di rawat inap kepada pasien saat obat berada dalam kendali
didelegasikan kepada profesi kesehatan yang profesional perawatan kesehatan, pasien, atau
lain yaitu tenaga perawat. Proses Task Shifting konsumen (17)with substantial and increasing
yang terjadi antara tenaga farmasi dengan tenaga medication use comes a growing risk of harm (1.
perawat dalam pendistribusian obat ke pasien Epidemiologi distribusi administration error
di rawat inap RSDC WAK dapat dilihat pada menunjukkan bahwa sebagian besar kesalahan
gambar 5. Kegiatan Task Shifting antara tenaga ini disebabkan oleh kelalaian dosis (42%) atau

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021 • 115
Task Shifting dalam Pendistribusian Obat: Dandung Ruskar., dkk.

kesalahan pada administrasi waktu (50%) Sistem distribusi obat memiliki peranan penting
(18). National Patient Safety Agency di Inggris terhadap capaian terapi pengobatan pasien rawat
mengungkapkan bahwa kesalahan administrasi inap di suatu rumah sakit. Bentuk kegiatannya
pengobatan terjadi pada 50% dari semua sederhana, akan tetapi berakibat fatal bila terjadi
administrasi obat-obatan di rumah sakit (19). Di kelengahan dan ketidakpedulian atas kegiatan
Amerika Serikat, administering errors terjadi pada tersebut. Administration error memiliki dampak
5 sampai 20% dari semua administrasi obat, signifikan pada pasien dalam hal morbiditas,
dengan biaya sistem kesehatan tambahan $ 380 mortalitas, kejadian obat terlarang, dan lama
juta dan diperkirakan membahayakan setidaknya tinggal di rumah sakit. Selain itu, ini meningkatkan
1,5 juta pasien per tahun, dengan adanya sekitar biaya untuk dokter dan sistem kesehatan (24)
400.000 efek samping yang dapat dicegah (20). untuk itu kontrol dan pengawasan ketat atas
Administration errors di Afrika Timur umum terjadi kegiatan pendistribusian obat harus dimonitor
dan tingkat kesalahannya berkisar antara 9,4 dan di evaluasi secara rutin dan berkelanjutan.
sampai 80% dari semua administrasi pengobatan Meskipun beberapa kejadian administration error
(21)Medline, Pubmed, the British Nursing Index yang terjadi di rawat inap RSDC WAK seperti
and the Cumulative Index to Nursing & Allied obat hilang, salah pasien, salah pemberian dan
Health Literature. The search strategy included all komunikasi buruk sudah dapat diatasi dengan
ages and languages. Inclusion criteria were that sistem komputerisasi diharapkan untuk tetap
the studies assessed or discussed the incidence melakukan monitoring dan evaluasi baik terhadap
of medication errors and contributory factors to sistem komputerisasi dan potensi kejadian lain.
medication errors during the medication treatment Keterbatasan sarana dan prasarana, dimana letak
process in adults or in children. Results: Forty-five apotek rawat inap yang cukup jauh dari jangkauan
studies from 10 of the 15 Middle Eastern countries tenaga perawat yang berbeda tower juga harus
met the inclusion criteria. Nine (20 %. Prevalensi dipertimbangkan dan dicari solusi yang tepat.
administration errors di Jimma, Ethiopia di dalam Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya
unit perawatan intensif (ICU) dan bangsal anak- bahwa faktor penyebab terjadinya administration
anak masing-masing menunjukkan 51,8 dan error yaitu beban kerja yang tidak seimbang,
90,8% (22). gangguan dalam bekerja, edukasi yaitu tidak
Dalam perjalanan waktu memang dijumpai tepat, kondisi lingkungan yaitu jarak unit farmasi
beberapa kejadian yang tidak diharapkan tidak memudahkan tenaga kesehatan dalam
terhadap pelaksanaan Task Shifting tersebut. pemberian harus setidaknya bisa menjadi bahan
Sejauh ini, diantara kejadian tersebut tidak ada pertimbangan pihak RSDC WAK untuk melakukan
yang berpotensi menurunkan mutu pelayanan antisipasi dan pencegahan.
karena hanya cukup diatasi dengan penerbitan
Manajemen Resiko Task Shifting Distribusi
SOP dan kontrol pengawasan. Adanya masukan,
Obat di RSDC WAK
saran dan informasi dari semua bagian sangat
memberikan masukan tentang upaya untuk WHO menegaskan bahwa pelaksanaan Task
mengatasi kejadian serupa agar tidak terulang. Shifting harus dilaksanakan bersamaan dengan
Dibantu dengan sosialisasi dan pembekalan strategi lain yang dirancang untuk meningkatkan
ilmu praktis oleh bagian pendidikan dan latihan jumlah total tenaga kesehatan di semua bagian,
(diklat) sangat membantu untuk meningkatkan dalam hal ini adalah sistem Check and Balances
safety dari kegiatan Task Shifting ini. Intuisi, (25). Sistem check and balances adalah sistem
inisiatif, pengalaman dan loyalitas dari para nakes kontrol dan keseimbangan tanggung jawab
juga memberikan kontribusi yang sangat berarti sehingga tidak terjadi pemusatan tanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari salah satu unsur. Sistem kontrol dilaksanakan
di RSDC WAK sehingga probabilitas potensi dalam bentuk monitoring dan evaluasi dan sistem
kejadian atau peristiwa yang dapat membahayakan keseimbangan dilaksanakan dalam bentuk
pasien dan nakes sangatlah minim. Menurut Ramli pelatihan untuk meningkatkan keterampilan.
(2010), berdasarkan Tingkatan Resiko menurut Meskipun Task Shifting dapat berguna dalam
AS/NZS 4360:2004 maka kejadian yang tidak situasi tertentu dan terkadang dapat meningkatkan
diharapkan tersebut termasuk dalam kategori Low tingkat perawatan pasien, Task Shifting juga
Risk (23). Penilaian ini didasarkan atas frekuensi membawa risiko yang signifikan. Pertama dan
kejadian yang hanya 1 (satu) kali dan dengan yang terpenting adalah terjadinya kemungkinaan
segera diatasi dengan penerbitan SOP setempat terdapat resiko penurunan kualitas perawatan
dilanjutkan dengan sosialisasi dan koordinasi terhadap pasien, terutama jika terdapat Task
kepada kepala bagian terkait lalu monitoring serta Shifting dalam memberikan penilaian secara medis
evaluasi terhadap pelaksanaannya. dan mengambil keputusan diagnosa. Secara

116 • Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI

nyata pasien dirawat oleh petugas kesehatan yang Shifting harus dikembangkan dan dikendalikan
kurang terlatih, sehingga terdapat kemungkinan dibawah koordinasi dan pengawasan profesi yang
permasalahan terkait mutu profesionalisme yang bersangkutan (15). Keterlibatan bagian farmasi
terlibat, termasuk berkurangnya kontak dengan dalam bagian diklat RSDC WAK juga masih
pasien, layanan kesehatan yang terbagi dan belum maksimal diberdayakan sepenuhnya. Oleh
tidak efisien, kurangnya respon dan tindak lanjut karena itu, pihak RSDC WAK untuk mempunyai
yang tepat, kesalahan diagnosis dan kesalahan sasaran dan program khusus dengan melakukan
pengobatan serta ketidakmampuan untuk kolaborasi antara bagian farmasi, bagian diklat,
menangani komplikasi dan keadaan darurat (15). bagian penelitian dan bagian keperawatan dengan
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mafigri untuk bekerja sama melakukan pembekalan
et al (2012) yang berjudul “Task Shiftingfor pengetahuan dan pelatihan, pengawasan
tuberculosis control: a qualitative study of dan evaluasi berkelanjutan sehingga mutu
community-based directly observed therapy in pelayanan secara rutin dan konsisten dapat
urban Uganda” menyimpulkan bahwa strategi terus dipertahankan. Pelaksanaan Task Shifting
pelaksanaan Task Shifting kepada tenaga non dalam jangka panjang membutuhkan kebijakan
kesehatan yang sudah dibekali dengan pelatihan yang berkelanjutan, untuk itu harus diperhatikan
bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan dengan benar dan tepat melalui kajian hasil
yang profesional, memberikan hasil tingkat analisa, pelaporan hasil monitoring dan evaluasi
kesembuhan pasien yang tidak jauh berbeda terhadap pelaksanaan Task Shifting dalam jangka
(26). Hal serupa disampaikan oleh Okyere,E panjang.
(2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Is task-
shifting a solution to the health workers’ shortage KESIMPULAN
in Northern Ghana?” menyimpulkan bahwa selain
Task Shifting antara tenaga farmasi dengan
pelatihan, adanya pengawasan yang memadai
tenaga perawat dalam pendistribusian obat di
bagi tenaga kesehatan sangatlah penting dalam
rawat inap RSDC WAK sudah berjalan dengan
rangka meningkatkan keahliannya sebelum tugas
baik akan tetapi masih harus ditingkatkan upaya
tambahan tersebut ditugaskan kepada mereka
lebih lanjut untuk menindaklanjuti Task Shifting
agar mutu dan kualitas pelayanan kesehatan tidak
tersebut melalui monitoring dan evaluasi.
terganggu (27)Ghana. Methods Data was collected
Task Shifting juga bukan solusi atas keterbatasan
through field interviews. A total of sixty eight (68.
jumlah nakes dan tidak dijadikan sebagai alasan
Sebelum Task Shifting dilaksanakan, sebaiknya
untuk penghematan biaya. Ada atau tidak ada Task
dilakukan tinjauan ulang terlebih dahulu tentang
Shifting, pihak RSDC WAK tetap harus memenuhi
kemampuan RSDC WAK dan target sasaran
kekurangan SDMK yang ada. Meskipun kebutuhan
pelayanan yang akan dicapai. Setelah itu lakukan
SDMK Task Shifting tidak sebesar dengan tidak
analisa terhadap ketersediaan, keterampilan dan
melakukan Task Shifting.
pengalaman dari SDMK yang tersedia, lakukan
Dalam situasi kedaruratan pelayanan dengan
juga seleksi siapa saja yang dapat melaksanakan
krisis tenaga SDMK, pelaksanaan Task Shifting
Task Shifting. Selanjutnya lakukan studi atas
merupakan pilihan terbaik sebagai jawaban
resiko pelaksanaan dan upaya menurunkan resiko
atas permasalahan tersebut. Akan tetapi Task
Task Shifting terhadap kasus yang ada. Apabila
Shifting juga memberikan resiko tersendiri yang
memang diperlukan Task Shifting, agar pihak
pada akhirnya bisa menurunkan mutu pelayanan
RSDC WAK mengeluarkan kebijakan dan aturan
kesehatan apabila tidak ditangani dengan baik.
terkait pelaksanaan Task Shifting di lingkungan
Task Shifting bisa memicu kejadian
RSDC WAK. Setelah itu rencanakan pelatihan
administration error yang berdampak signifikan
yang tepat dalam waktu singkat dan sosialisasikan
terhadap morbiditas dan mortalitas. Analisa studi
kegiatan Task Shifting kepada pasien jika
resiko terhadap pelaksanaan Task Shifting harus
memang diperlukan. Kemudian lakukan studi
menjadi pokok pikiran utama. Untuk itu diperlukan
untuk mengetahui keuntungan, manfaat, kendala
keterlibatan semua bagian pelayanan kesehatan
dan kerugian dalam pelaksanaan Task Shifting
agar bisa memberikan masukan dan saran serta
sehingga dapat diambil suatu kesimpulan apakah
kerja sama untuk penyelenggaran di lapangan di
pelaksanaannya dapat dipertahankan atau harus
RSDC WAK
dihentikan.
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa
SARAN
pelaksanaan Task Shifting distribusi obat sudah
berjalan dengan baik melalui pembekalan, Saran yang dapat disampaikan dari penulisan
pendidikan, pelatihan dan pengawasan. ini kepada pihak pengelola RSDC WAK dalm
Berdasarkan rekomendasi dari WMA, Task pelaksanaan Task Shifting distribusi obat adalah :

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021 • 117
Task Shifting dalam Pendistribusian Obat: Dandung Ruskar., dkk.

1) Pihak RSDC WAK memberikan legalitas dalam 8. Admin. Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit.
bentuk keputusan atas pelaksanaan Task Shifting Kumpulanartikelfarmasi.com [Internet]. 2018
distribusi obat bila memang Task Shifting menjadi Jun 26 [cited 2021 Jan 16];1–1. Available from:
solusi alternativ; 2) Lebih memberdayakan bagian http://kumpulanartikelfarmasi.com/2018/06/
diklat RSDC WAK untuk memberikan edukasi sistem-distribusi-obat-di-rumah-sakit/
dan pelatihan singkat terhadap pelaksanaan Task 9. Rendra Y. Trolly Emergency. slideshare.net
Shifting distribusi obat; 3) Keterlibatan Instalasi [Internet]. 2017 Oct 28 [cited 2021 Jan 16];1–
Farmasi RSDC WAK sebagai supervisi dan 26. Available from: https://www.slideshare.
pendamping bagian diklat dalam memberikan net/yusrendra/trolly-emergency
edukasi dan pelatihan terkait Task Shifting 10. RI M. PMK Nomor 73 Tahun 2016 tentang
distribusi obat; 4) Meningkatkan peran apoteker Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
dalam kegiatan farmasi klinis sebagai kontrol dan Standar Pelayanan Kefarmasian DI Apot. 2016;
monitoring terhadap pelaksanaan Task Shifting 11. Aithal A, Aithal PS. Task Shifting - An alternative
distribusi obat dan kajian resikonya; 5) Untuk survival strategy for health care organizations.
penentuan kegiatan dalam Task Shifting yang lain J Sci Res Mod Educ. 2017;2(2):34–48.
yang beresiko tinggi seharusnya tidak didelegasikan 12. WHO. Task Shifting. Global Recomendations
kepada profesi tenaga kesehatan lain dan harus and Guidelines. World Heal Organ. 2008;
melalui koordinasi dari profesi terkait. 13. Fulton BD, Scheffler RM, Sparkes SP, Auh EY,
Vujicic M, Soucat A. Health workforce skill mix
DAFTAR PUSTAKA and task shifting in low income countries: A
review of recent evidence. Human Resources
1. Gugus Tugas Percepatan Penanganan
for Health. 2011.
COVID-19. Data Sebaran Covid-19. Data
14. Bemelmans M, Van Den Akker T, Ford N,
Sebaran. 2020.
Philips M, Zachariah R, Harries A, et al.
2. Ilpaj SM, Nurwati N. Analisis Pengaruh
Providing universal access to antiretroviral
Tingkat Kematian Akibat Covid-19. J Pekerj
therapy in Thyolo, Malawi through task shifting
Sos. 2020;
and decentralization of HIV/AIDS care. Trop
3. Rini RAP. Kematian Tenaga Medis di Indonesia
Med Int Heal. 2010 Dec;15(12).
Peringkat 5 Besar di Dunia, 504 Nakes
15. World Medical Association. WMA Resolution
Meninggal Akibat Covid-19. TribunNews.com
on Task Shifting from the Medical Profession.
[Internet]. 2021 Jan 3 [cited 2021 Jan 15];1–3.
J Interprof Care [Internet]. 2009 Apr [cited
Available from: https://www.tribunnews.com/
2021 Jan 16];25(October):26–32. Available
nasional/2021/01/03/kematian-tenaga-medis-
from: https://www.wma.net/policies-post/
di-indonesia-peringkat-5-besar-di-dunia-504-
wma-resolution-on-task-shifting-from-the-
nakes-meninggal-akibat-COVID-19
medical-profession/
4. Mashabi S. Riset FKUI: 83 Persen Tenaga
16. Adrini T M, Harijanto T, Woro U E. Faktor-faktor
Kesehatan Alami “Burnout.” Kompas.com.
yang Mempengaruhi Rendahnya Pelaporan
2020;
Insiden di Instalasi Farmasi RSUD Ngudi
5. Makdori Y. HEADLINE: Wisma Atlet
Waluyo Wlingi. J Kedokt Brawijaya. 2015;
Kemayoran Jadi RS Darurat Penanganan
17. WHO. Medication errors [Internet]. Medication
Corona Covid-19, Bagaimana dengan
Error :TechnicalSeriesonSaferPrimaryCare.2016.
Daerah? Liputan6.com [Internet]. 2020 Mar 25
1–24 p. Available from: https://apps.who.int/iris/
[cited 2021 Jan 15];1–4. Available from: https://
bitstream/handle/10665/252274/9789241511643-
www.liputan6.com/news/read/4209977/
eng.pdf;sequence=1
headline-wisma-atlet-kemayoran-jadi-rs-
18. Fontan JE, Maneglier V, Nguyen VX, Loirat
darurat-penanganan-corona-covid-19-
C, Brion F. Medication errors in hospitals:
bagaimana-dengan-daerah
Computerized unit dose drug dispensing
6. Ihsanuddin. Rumah Sakit Penuh, RSD Wisma
system versus ward stock distribution system.
Wisma Atlet Pun Harus Antre untuk Rujuk
Pharm World Sci. 2003;
Pasien Covid-19 Gejala Berat. Kompas.com
19. Cousins D, Dewsbury C, Matthew L, Nesbitt
[Internet]. 2021 Jan 4 [cited 2021 Jan 15];1–1.
I. NPSA safety in doses: medication safety
Available from: https://megapolitan.kompas.
incidents in the NHS: the fourth report of
com/read/2021/01/04/15562311/rumah-sakit-
the patient safety observatory. … , 2007,
penuh-rsd-wisma-atlet-pun-harus-antre-
Rep No PSO [Internet]. 2007 Aug [cited
untuk-rujuk-pasien
2021 Jan 19];4:1–72. Available from: http://
7. RI M. PMK Nomor 72 tahun 2016 tentang
data.parliament.uk/DepositedPapers/Files/
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
DEP2008-1788/DEP2008-1788.pdf
Sakit. 2016.

118 • Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI

20. Aspden Philip, Wolcott Julie A., Bootman 24. Popescu A, Currey J, Botti M. Multifactorial
J. Lyle CLR. Preventing medication errors: Influences on and Deviations from Medication
Committee on Identifying and Preventing Administration Safety and Quality in the
Medication Errors. Metas de Enfermería. Acute Medical/Surgical Context. Worldviews
2007. Evidence-Based Nurs. 2011 Mar;8(1):15–24.
21. Alsulami Z, Conroy S, Choonara I. Medication 25. WHO. Task shifting to tackle health worker
errors in the Middle East countries: A shortages. Geneva WHO. 2007;
systematic review of the literature. Vol. 69, 26. Mafigiri DK, McGrath JW, Whalen CC. Task
European Journal of Clinical Pharmacology. shifting for tuberculosis control: A qualitative
2013. p. 995–1008. study of community-based directly observed
22. Agalu A, Ayele Y, Bedada W, Woldie M. therapy in urban Uganda. Glob Public Health.
Medication administration errors in an 2012;
intensive care unit in Ethiopia. Int Arch Med. 27. Okyere E, Mwanri L, Ward P. Is task-shifting
2012; a solution to the health workers’ shortage in
23. Ramli S. Pedoman Praktis Manajemen Northern Ghana? PLoS One. 2017;
Resiko. dian rakyat. 2010. 156 p.

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 10, No. 03 September 2021 • 119

Anda mungkin juga menyukai