Tadabbur Al-Fatihah (2023) - Emha Ainun Nadjib
Tadabbur Al-Fatihah (2023) - Emha Ainun Nadjib
Tanddabur Al-Fatihah
Emha Ainun Nadjib
Page ii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Saya sangat kagum dan respek dengan produktivitas pemikirannya yang tampak dari
begitu banyak puisi dan juga buku-bukunya.
Tidak semua seniman, budayawan, dan penyair memiliki kemampuan seperti dia.
Mungkin dia memiliki karunia khusus dari Allah.
Kelebihannya, dia adalah intelektual yang independen dan tidak terjebak dalam politik
kekuasaan. Konsistensi sikapnya hingga kini tetap dipertahankan. Artinya, dia tetap
mengambil sikap oposan dalam situasi politik apa pun.
Page iii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Qori’ Kepahitan
Tulisan ini diambil dari buku Ian L. Betts, Jalan Sunyi Emha, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Dia adalah sosok pribadi yang menggoreskan perannya di tengah masyarakat plural,
bermodalkan kepribadian yang kuat.
Kuat dalam berprinsip, tahan menghadapi cobaan hidup sepahit-pahitnya. Takut hanya
kepada Allah dan hanya mengharap Ridha Allah, luas pergaulan tanpa pilih-pilih,
khususnya para duafa.
Peka terhadap kemanusiaan, tidak suka pemaksaan oleh dan terhadap siapa pun.
Semua orang mempunyai interest untuk menonjolkan diri, cuma cara dan frekuensinya
yang terkadang berbeda-beda. Saya melihat interest untuk ke situ kecil sekali dan
prosesnya amat sangat wajar sekali, tetapi hasilnya maksimal.
Page iv
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Aku lega sekaligus gembira sekarang ini. Lega, karena lebih dari setengah tahun aku
dan Cak Nun menguras waktu, tenaga, pikiran dan perasaan, untuk menggarap
album Perahu Retak ini. Gembira? Ya, karena bisa kembali berkarya, yang kali ini
berkolaborasi dengan Cak Nun.
Di kertas ini, aku tuliskan sedikit tentang proses pertemuan kami. Pada mulanya adalah
kata-kata Perahu Retak. Adalah naskah drama Cak Nun di mana kata-kata Perahu
Retak itu sebagai judulnya. Aku suka kata-kata itu.
Kami lalu bertemu, berdiskusi, hingga akhirnya menjadi bersahabat. Di sinilah aku
menemukan sesuatu yang jauh lebih luas dari yang selama ini pernah aku temui.
Andaikan saja Cak Nun itu lautan, maka aku hanya bertemu dengan salah satu
pantainya saja. Lautan itu mungkin sudah sering dilayari oleh orang lain. Tetapi dengan
melayari lautan Cak Nun, aku merasakan kegairahan tersendiri, yang timbul dari
pikiran-pikirannya yang luas, jujur, berani dan mbeling.
Yang terjadi kemudian adalah kerjasama. Cak Nun membuatkan syair Perahu Retak,
dan aku bikin lagunya untuk aku nyanyikan. Kerja bareng ini tidak berhenti di satu syair
saja. Kami teruskan dan jadilah album Perahu Retak Sembilan syair, sembilan lagu dan
sembilan nyanyian.
Aku lihat cinta dan kasih sayang Cak Nun yang tertuang di syair-syairnya. la berbisik
tentang sesuatu yang paling hakiki di hati nurani setiap orang. la bergumam tentang
kasih sayang pada sesama manusia. la bicara cinta pada bangsa dan tanah airnya. Ia
teriakkan puja-puji pada Tuhan.
Kegembiraan ini juga tidak lepas dengan hadirnya Toto Tewel yang mengerjakan
penataan musiknya, lewat kejernihan pikiran. Aku suka cara kerjanya. Teliti dan tak
pernah puas. Konsep ‘musik kampung’–dia menyebutnya begitu–yang ditawarkannya
untuk dituangkan dalam penataan musik di album Perahu Retak ini pun, aku suka.
Sederhana dan tidak terlalu memanfaatkan canggihnya teknologi.
Aku berharap lagu-lagu dalam album Perahu Retak ini bisa menjadi nyanyian hati siapa
saja.
Page v
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Gelisah
Gelisah itu hal yang lumrah dan jamak bagi Emha atau Cak Nun. Sahabat karibnya
sejak kecil. Jika kegelisahan memuncak tak ada yang memberi tawaran maka terapi
jiwanya adalah mlungker di atas tikar sambil mendengarkan lagu-lagunya Ummi
Kultsum atau qiroah-nya Syeikh Abdul Basith dari recorder. Teknologi belum secanggih
sekarang.
Sedangkan lapar baginya adalah makanan sehari hari. Sehari paling makan sekali.
Siangnya atau malamnya makan kalau ada yang njajakke. Itu berlangsung bertahun-
tahun. Bila makan pun menunya sederhana. Nasi pecel tempe goreng sama krupuk.
Kalau tak ada cukup nasi “dikrawu”. Nasi anget dicampur parutan kelapa diberi garam.
Itu sudah mengantarkannya fly, ekstase. Satu kebiasaan yang tak hilang sampai
sekarang itu rokok kretek sama ngopi. Nasgitel atau nasgideng yang penting kopi.
Mestinya dia yang cocok juga jadi bintang reklame kopi.
Tidak usah repot jika sewaktu-waktu Engkau kepingin menghampirkan Cak Nun ke
rumahmu. Menu misonabe, sukiyaki, shabu shabu, dan sea food sama sekali tak ada
bayangan. Sate kambing saja bagai barang mewah yang sulit digapai. Maka dalam
puisinya “Aku Seorang Gelandangan” makan di Malioboro cukup dengan gudeg tempe.
Minumnya susu jahe. Bukan gudeg telor atau ayam. Minumnya bukan susu, bir atau red
wine, white wine. Tapi cukup teh jahe.
Pernah suatu hari salah seorang kawan akrabnya yang satu profesi “gelandangan”
Malioboro dan sama-sama memiliki pandangan yang sama bahwa sate itu makanan
surganya orang kaya ke jalan Pasar Ngasem dekat Kadipaten Wetan. Mereka
serempak jalan kaki dengan gagah membayangkan sate yang konon warung sate di
situ tidak hanya kondang rasane. Tapi juga tersohor penjualnya yang hitam
manis semplohoy.
Tapi ketika selesai makan hendak membayar mereka saling berpandangan. Sama-
sama tidak ada yang bawa uang. Yang ngajak pun hanya katawa-ketiwi. “Loh, aku
cuma ngajak. Bukan mbayari.” Demi persatuan dan kesatuan, Eko Tunas (penyair,
sastrawan yang kini tinggal di Banyumanik Semarang) perlahan-lahan melepas arloji
yang baru beberapa bulan diterimanya sebagai oleh-oleh saudaranya dari Jerman.
Mereka pun segera pulang sambil tertawa akrab tak ada dendam. Selamatlah NKRI.
Nasib Kelaparan Hari Ini.
Kegelisahan yang menimpa Cak Nun hari ini tampaknya cukup bikin bingung. Mondar-
mandir memendam sesuatu yang tak diucapkan. Bukan perkara sate atau lapar.
Setelah didesak baru bicara perlahan, “Jika nganggur pinjam mesin ketikmu sebentar”.
Kami saling berpandangan. Mesin ketik baginya adalah dapur bagi hidup sehari hari.
Saya sangat paham. Mesin ketiknya pasti sedang sekolah di Pegadaian dekat
Mapolresta Ngupasan.
Page vi
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Tik tak tik tak sampai pagi entah sudah berapa judul mengalir dari sebelas jarinya.
Sepertinya tak ada kertas yang dibuang karena salah. Belum ada tipe ex atau cara
men-delete seperti sekarang ini.
Cak, sekarang mesin ketiknya masihkah ada? Sudah lulus atau masih sekolah? Mesin
ketik kecil Brother warna putih tulang itu tinggal kenangan. Saksi bisu menghadirkan
beribu tulisan.
Anwar Hudaya
Page vii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
DAFTAR ISI
TADDABUR :
Tentang Emha Ainun Nadjib (i-vii)
1. Kedaulatan Artifisial Manusia (1)
Page viii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Page ix
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Page x
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Page xi
Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta
Tadabbur (1)
Kedaulatan Artifisial Manusia
ِ ِ ۡس ِم ٱ
Dari ayat pertama Surat Al-Fatihah
Allah Maha Berdaulat atas semua itu. Kalau wacana dan literasi
manusia dalam kehidupannya, dalam politik sampai peradaban,
dituturkan kata kedaulatan — maka itu artifisial, hanya “ayang-
ayang”, tidak sejati.
Tadabbur (2)
Kanjeng Nabi Yo Sambat
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ ِ
(Al-Fatihah ayat 1)
Tidak ada tools, tidak ada sarana, tidak ada cara atau alat pada diri
saya untuk memastikan bahwa Tuhan dekat kepada saya. Ikhtiar
saya untuk ber-“taqarrub” kepada Allah tidak bermakna bahwa
Allah pasti juga “qarib” kepada saya. Mungkin terkadang sesekali,
atau sekilas rasa, seperti terdapat sekelebatan anggapan bahwa
Tuhan dekat kepada saya. Tetapi bisa jadi itu anggapan subyektif
dan sedikit “besar kepala”.
ُ ََ ُ َ َ ََﱠ
الع ْ د إ ﱠ ِش ْ ا تق ﱠ ْ ت ِإل ْ ِه ِذ َراعا إذا تقرب
“Apabila seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, maka
niscaya Aku mendekat kepadanya sehasta” (dst)
Rumus dasarnya jelas: Allah Maha pasti, manusia tidak pasti. Allah
maha tak terbatas, manusia sangat terbatas. Allah mutlak,
manusia relatif.
Tadabbur (3)
Ma adroka ma Rahman
Wama adroka ma Rahim?
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ
َ ِٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ﱠ
(Al-Fatihah 1-3)
Seburuk apapun hidup saya dan seberapa hina pun wajah saya di
hadapan manusia, dunia, dan Indonesia, sedalam-dalam derita
dan kesengsaraan jiwa hingga ke lubuk terendah dan tersembunyi
— tetap memulai setiap langkah dengan “Bismillahir-Rahmanir-
Rahim”. Kemudian ajeg mengkristalkan segala pengalaman hidup
dengan “Alhamdulillahi Rabbil’alamin”. Untuk akhirnya, tidak bisa
tidak, tidak ada pilihan lain: senantiasa meneguhkan kembali “Ar-
Rahmanir-Rahim” di keseluruhan hati dan kesadaran tanpa sisa.
Tadabbur (4)
Apa Iya Allah Cuek Sama Kita
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ
َ ِٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ﱠ
(Al-Fatihah 1-3)
َ ُ ۡ َ ۡ ُ َُُۡۡ َ ۡ َ ٗ ﱠ ﱠ
َو َمن َيت ِق ٱ َ َ ۡج َعل له مخرجا و رزقه ِمن ح ث
ُ ٗ ﱠ َ َ َ ُ َ ۡح َ س
ب ؕ َو َم ۡن ﱠيت َو ۡل ع ا ِ ف ُه َو َح ۡس ُ ه ؕ ِان ا َ َ ِالغ ِ
َۡ ۡ َ َۡ َ َ َ ُ ﱢ
ٍء قدرا ا ۡمر ٖه ؕ قد جعل ا ِل ل
“Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, Dia
menganugerahinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.
Sesungguhnya Allah menjadikan setiap urusan-Nya tercapai.
Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu”.
Tapi kok belum gol juga? Berdoa sampai meniren selalu beluuuum
saja dikabulkan. Tidak ada tanda-tanda, gejala atau indikator
apapun. Tidak ada Malaikat datang membawa titipan pertolongan
dari Allah, atau tiba-tiba ada segebog uang di laci almari.
Tadabbur (5)
Ati-ati Lé:
Tidak Ada Syafaat Lho!
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ ِ
َ ٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ِح ِمٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ﱠ
ﱢ
َم ٰ ِل ِك َي ۡو ِم ٱلدين
(Al-Fatihah 1-4)
ََْ ُ ْ َُ َ
آمنوا أن ِفقوا ِم ﱠما َرزقنا ْم َ ا أ ﱡي َها ال ِذين
َ ْ َ
ِم ْن ق ْ ِل أن َ أ ِ َ َي ْو ٌم َب ْي ٌع ِف ِه
َ ُ ُ ُ َ ُ َ ٌ َ َ َ ََ ٌ ُ ََ
و خلة و شفاعة وال ِافرون هم الظ ِالمون
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah limpahan rizki-
Ku sebelum datang hari di mana tak ada jual beli, tidak ada lagi
persahabatan yang akrab, serta tidak pula ada syafaat. Mereka
yang ingkar kepada-Ku itulah yang dhalim.”
Lho jadi bagaimana ini kok tidak ada syafaat? Padahal dari ribuan
Kiai dan hampir semua pembawa acara pengajian kita selalu
mendengar: “Agar kita memperoleh syafaat kelak di Hari Kiamat”
dengan penuh keyakinan. Lha ini pernyataan Allah, Sang Maliki
Yaumiddin, sangat transparan dan tegas: “wala syafa’atun”….
Mampus dong kita.
Tadabbur (6)
Bargaining Power kok ke Allah
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ ِ
َ ٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ِح ِمٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ﱠ
ﱢ
َم ٰ ِل ِك َي ۡو ِم ٱلدين
(Al-Fatihah 1-4)
َ
أ ْو َ ا ُ ت َعا ِإ ُمو َ ْبن: ﷲ َعل ْ ِه َو َسل َم ُ ال َصَ َو َق
َ َ َ َْ ْ ْ َ َ ْ ُ َ: ُ َ َْ َ َ ْ َ ﱠ
ض ِ قضا ِ ْ َول ْم ِعمران علي ِهما الس م ا مو من لم ير
ْ ِ َ ْص ْ َع َ َ ْ َول ْم َ ْشك ْر َن ْع َما ْ َفل َ ْخ ُ ْج ِم ْن َب ْ أ ْر
ِ ِ ِ
َ َ ُ ْ ْ
ْ َو َسما ْ ول طلب له ر ا ِسواَ َ َ
ِ ِ
“Allah Ta’ala memberikan wahyu kepada Musa bin Imran As : “Hai
Musa, siapa yang tidak ridha dengan ketetapan-Ku dan tidak
sabar dengan ujian-Ku (bala’) dan tidak mau mensyukuri nikmat-
Ku maka keluarlah dari bumi-Ku dan langit-Ku lalu carilah Tuhan
selain Aku. (Hadits Qudsi).
Nah Lo! Atau kita bahasakan sendiri: Kalau tidak sepakat dengan
yang diputuskan oleh Allah, ya Ente saja yang mengganti jadi
Tuhan.
َ َ َ ب ل ْم إ ﱠن الذ
ين َ ْست ِ ُ ون َع ْن َ َو َق
ْ ال َرﱡ ُم ْاد ُعو أ ْس َتج
ِ ِ ِ
َِ ُ َْ َ َ َ
َون َج َه ﱠن َم َداخ ن
ِ ِع اد ِ س دخل
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
Tadabbur (7)
Takbiran Untuk Nan Maha Sendirian
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ ِ
ُ
َ ٱل َح ۡمد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ِح ِم ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ﱠ
ﱢ
َم ٰ ِل ِك َي ۡو ِم ٱلدين
ُ اك َ ۡس َتع َ ﱠ َ َُُۡ َ ﱠ
ِ ِ ِإ اك نع د و
(Al-Fatihah 1-5)
ًْ ً َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ
ﷲ ُ َرة َوأ ِص ِ ﷲ أ ُ ك ِب ا والح ْمد ِ ِ ك ِثـ ا وس ْ حان
ُ ﱢ ْ ُ َ َ ُ ﱠ َ َ ﱠ
ﷲ َو ن ْع ُ د ِإ ِإ ﱠ ُاه ُمخ ِل ِص ْ َ له الد ْي َن َول ْو كر َه إله ِإ
َ َ َ َ ْ َ َ َ ﱠ َ َ َ
إله ِإ ا ُ َو ْحد ُه َصدق َوعد ُه َون َ َ ع ْ د ُه،ال ِاف ُر ْون
ُ، َ َ إل َه إ ﱠ ا ُ َوا ُ أ،اب َو ْح َد ُه َ َََ َ ُ َْ ُ َ َﱠ
َ اﻷ ْح َز
ِ وأعز جنده وهزم
ُ
ا ُ أ َ ُ َو ِ ِ ال َح ْمد
Ada peneguhan 4 (empat) janji Allah. Kalimat “Shadaqa wa’dah,
wa nashara ‘abdah, wa a’azza jundah, wa hazamal ahzaba
wahdah”. (1). Allah bersungguh-sungguh dengan janji-Nya. (2)
Allah menolong hamba-hamba-Nya. (3) Allah meninggikan derajat
para prajurit-Nya. (4) Allah memporakporandakan semua musuh-
musuh-Nya secara sendirian”.
Kalau kita terkait dengan Bapak dan Ibu, jasa beliau berdua
membuat kita terikat untuk “birrul walidain”, berbuat baik kepada
keduanya. Demikian juga semua manusia hidup pada posisi saling
terkait di antara sesamanya, dengan alam serta dengan Allah
sendiri. Pemerintah terikat kewajiban untuk benar dan adil atas
Lha Allah tidak berada pada posisi untuk harus benar, wajib baik,
tidak boleh tidak adil dst. Tidak ada yang punya posisi atau apalagi
kekuatan untuk mengikat-Nya. Allah Maha Berdaulat untuk
mengkiamatkan, menghancur-leburkan bahkan meniadakan
seluruh alam semesta dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya sekarang
juga atau setengah jam lagi atau kapanpun saja Ia berminat untuk
itu.
Tetapi Allah Maha Benar, Maha Baik, Maha Adil. Itu semua
dorongannya bukan keterikatan dengan pihak lain. Melainkan
demi dan karena diri-Nya sendiri.
Tadabbur (8)
Bolehkah Allah Ingkar Janji?
melarang Allah berbuat benar atau salah, baik atau buruk, mulia
atau hina serta apapun?
َ ْ ﱠُ ْ ُ َﱠ َ َ ﱠ
ِ و ِمن النا س من قول امنا ِ ا
ۗ َ ََْ ﱠ َ َ
◌ ِ ف ِا ذا ا ْو ِذ َي ِ ا ِ َج َع َل ِفتنة النا س ك َعذا ِب ا
ۗ ﱠ ﱠ ُ َ َ
◌ َول ِ ْ َجا َء نـ ْ ٌ ﱢم ْن ﱠ ﱢر ك ل َ ـق ْول ﱠن ِانا كنا َم َع ْم
َ ْ س ا ُ ا ْعل َم َما ْ ُص ُد ْور ال ٰعلم َ ْ ا َولـ
ِ ِ ِ ِ
“Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, ‘Kami
beriman kepada Allah,’ tetapi apabila dia disakiti (karena dia
beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu
sebagai siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu,
Juga jangan lupa siapa tahu mungkin semua ikhtiar yang sudah
kita lakukan itu — misalnya — belum memenuhi syarat taqwa.
Kualitasnya, kekhusyukannya, kelengkapannya, akurasinya. Juga
mungkin bukannya “tidak dikabulkan”. Siapa tahu itu “belum”
saja. Atau mungkin sudah dikabulkan, tapi fakta kabulnya yang
kita belum paham, juga belum tahu di mana dan kapan.
Pengetahuan kita tentang apa yang berlangsung dalam kehidupan
lebih kecil dibanding sebutir pasir di padang sahara, meskipun
andaikan kita Ulama besar atau cendekiawan kuadrat.
Tadabbur (9)
Mengabdi Tidak Sama
dengan Menyembah
Atau bisa juga jangan-jangan ada dosa kita entah yang mana yang
menghalangi kabulnya ikhtiar itu. Atau memang belum waktunya,
karena bahkan siapa tahu Allah merencanakan tidak hanya solusi,
tapi juga keindahan dan berkah yang lebih dahsyat.
Manusia tidak bisa memastikan itu, tapi manusia juga tidak bisa
menyimpulkan bahwa tidak begitu. Posisi manusia hanya
menerima apa adanya, ikhlas kepada qadla dan qadar, nerimo ing
pandum. Kemudian berikhtiar dan berharap. Di atas pengharapan
itu paling-paling ada husnudhdhon atau sangka baik kepada Allah
dan akhirnya pol ya keyakinan.
Atau ternyata kita belum punya mutu batin atau kualitas kejiwaan
yang membuat Allah memperhatikan kita.
Tadabbur (10)
Dituhankan dan Menuhankan
Tetapi jangan besar kepala dulu. Ada fakta bahwa dalam rentang
sejarah tertentu, pihak yang dituhankan tetap selamat dan jaya-
jaya saja. Juga rakyat yang menuhankan. Justru yang berlaku “nahi
munkar” terhadap penuhanan atas selain Allah, malah
dihancurkan, dan tidak sedikit yang kemudian memang benar-
benar hancur.
Jadi, kalau Anda mau hancur maka hancurlah. Tapai kalau Anda
tidak mau, ya jangan mau.
Tadabbur (11)
Suka-Suka Tuhan lah
Rentang waktu hidup ini bukan hanya sepanjang usia kita. Bukan
hanya terbatas pada satu dua dekade atau era dalam perjalanan
Negara. Bahkan tidak sekedar sepanjang ada dunia dan alam
semesta. Kapan sesuatu bisa disimpulkan sebelum tiba pada batas
akhir rentang perhitungan waktunya?
Yang lalim tetap jaya, yang melawan harus siap dipralaya. Dan itu
bisa membuat yang dituhankan maupun yang menuhankan akan
besar kepala, merasa benar, dan semakin mantap menjalankan
kelalimannya.
Tadabbur (12)
ﱢ
َم ٰ ِل ِك َي ۡو ِم ٱلدين
َ ﱠ َ َُُۡ َ ﱠ
ُ اك َ ۡس َتع
ِ ِ ِإ اك نع د و
(Al-Fatihah: 4-5)
PATRAP LIMA:
1. Menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengabdi
kepada kebersamaan.
2. Bangsa Manusia Beradab.
3. Kesatuan Seluruh Rakyat sebagai satu Bangsa.
4. Musyawarah Perwakilan Yang Bijaksana.
5. Keadilan Menyeluruh.
sifat-Nya. Itu pun sifat Tuhan yang disadari paling utama bukanlah
ke-Esa-annya, melainkan kekuasaan-Nya.
Tadabbur (13)
Al-Fatihah Kusyoko Koeswoyo
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ ِ
َ ٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ﱠ
(Al-Fatihah: 1-3)
Ini bukan kritik. Juga bukan soal benar salah, apalagi halal haram.
Ini hanya ungkapan tentang intimitas batin pada diri setiap orang.
Tadabbur (14)
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلضال ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و
ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 7)
Yok bukan santri dan tidak punya latar belakang budaya Islam.
Tetapi ia memasuki Al-Fatihah dengan jiwa merdeka dan hati
universal. Penghayatannya diungkapkan melalui pilihan nuansa
lagu, notasi nada yang sama sekali tidak ada anasir
keberlebihannya.
Kalau mau tahu persis sesuatu, mengerti akurat tentang apa saja
sebagaimana “qadar”nya, saya dan siapapun tidak punya potensi
atau kemungkinan untuk itu. Allah menegaskan: “Anta la ta’lam
wa Ana a’lam”. Engkau tidak tahu dan Aku tahu.
Tadabbur (15)
Malapetaka, Sengsara, Goncangan
َ َ َ ۡ
ٱه ِدنا ٱل ﱢ َ ٰ ط ٱل ُم ۡست ِق م
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡم ِ َ ٰ ط ٱل ِذ
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلض ل ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 6-7)
َ َ ﱠ ُ ﱠ
َو ِم َن الناس َم ْن ﱠ ق ْو ُل ا َمنا ِ ا ِ ف ِا ذا ا ْو ِذ َي
ۗ َ َ َ َ َ ََْ ﱠ
◌ ِ اب ا ِ ذ ع ك اس الن ِ ا ِ جعل ِفتنة
“ Taddabur Hari ini “ (CAKNUN.COM) 40
Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta
ۗ ﱠ ﱠ ُ َ َ
◌ َول ِ ْ َجا َء نـ ْ ٌ ﱢم ْن ﱠ ﱢر ك ل َ ـق ْول ﱠن ِانا كنا َم َع ْم
َ ْ س ا ُ ا ْعل َم َما ْ ُص ُد ْور ال ٰعلم َ ْ ا َولـ
ِ ِ ِ ِ
Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, ‘Kami beriman
kepada Allah,’ tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman)
kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai
siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu, niscaya
mereka akan berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kamu.’
Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada
semua manusia?” (QS. Al-‘Ankabut:10)
Ada sih juga sedikit rasa terhibur. Bahwa andaikan kita diuji, itu
karena Allah menggolongkan atau mengakui kita sebagai orang
yang beriman.
َ َُْ َ ُ َﱠ ُ ْ ْ ْ ُ َ َ ﱠ
آمنا َوه ْم ُ فتنون اس أن ُي َ وا أن َ قولواأح ِسب الن
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji
lagi?”. (Al-‘Ankabut: 2).
َﱠ ُ َْ ْ ُ
أ ْم َح ِس ْ ت ْم أن تدخلوا ال َجنة
َ َ َ َ
ۖ ين خل ْوا ِم ْن ق ْ ِل ْم َول ﱠما َ أ ِت ْم َمث ُل ال ِذ
ُ ﱠ ْ
َم ﱠست ُه ُم ال َ أ َس ُاء َوال ﱠ ُاء َوزلزلوا
ُ َُ َ
آمنوا َم َعه ول َوال ِذينُ الر ُسول ﱠ َ َح ﱠ ٰ َ ُق
ٌ َم َ ٰ َن ْ ُ ا ۗ أ َ إ ﱠن َن ْ َ ا ِ َق
ب ِ ِ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-
orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka
dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-
macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Tadabbur (16)
Ayo Masuk Zona Bahagia Maiyah
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡمِ َ ٰ ط ٱل ِذ
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلض ل ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 6-7)
ٗۡ َ َ َُ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ ٗ ﱠ
ادون فقهون قو قوما
“Kaum yang hampir-hampir tak mengerti perkataan”.
Tadabbur (17)
Jangan Ikut Abu Nawas Masuk
Nerakakakaka…
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡمِ َ ٰ ط ٱل ِذ
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلض ل ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 6-7)
Kita menawari teman “Ikut cikar saya aja”. Ketika dia naik Mercy
EQS kita, dia manggut-manggut kagum kepada cikar atau gerobag
kita. Besoknya dia berdebat dengan temannya yang bilang itu EQS
Mercy, dia bersikeras itu gerobak atau cikar, bahkan gledekan.
Kalau kita bilang bahwa kita hanya rakyat kecil atau orang tataran
bawah, lantas mereka memperlakukan kita benar-benar sebagai
wong cilik dan berkasta rendah.
Rupanya sekarang ini kalau kita kaya harus bilang bahwa kita kaya,
karena responden kita tidak punya parameter untuk menandai
kita kaya atau tidak. Semakin banyak orang yang tidak mengerti
bedanya rendah hati dengan rendah diri. Kalau kita bilang bahwa
kita tidak sekolah, mereka langsung berpikir kita orang bodoh.
Kalau Abu Nawas bilang “Lastu lil-Firdausi ahla”, “aku bukan
penghuni Sorga”, orang berkesimpulan bahwa Abu Nawas masuk
neraka.
Abu Nawas “fa in tathrud faman narju siwaka”, terus kita kabari
teman-teman bahwa Abu Nawas diusir oleh Allah. Gak ngunu Dul.
Itu retorika tawadldlu’. Dan Allah tidak mengusir siapapun keluar
bumi dan alam semesta-Nya. Semua makhluk ciptaan-Nya di hilir
waktu kelak dihimpun di sorga atau neraka.
Semakin banyak orang yang tidak mengerti sindiran, tak paham di-
bombong, di-lulu, di-gunggung. Padahal hanya oleh kita sesama
manusia. Bagaimana bisa mencerdasi “istidraj” Allah.
Kita tidak bisa apa-apa. Hanya meniru solusi dari Allah untuk
menyampaikan “Salamun ‘alaikum la nabtaghil jahilin”. Itu pun
saya tidak tega mengartikannya. Ya udah ini saja:
ۖۡ ۡ َ ۡ َ
م لنا أع َم ٰ لنا َول ۡم أع َم ٰ ل
ۖ َ ََ َ َ
ُ َ ۡج َم ُع ُح ﱠجة َب ۡ ننا َو َ ۡ ن ُم ٱ
ُ َب ۡ َن َن ۖا َو ل ۡ ِه ٱل َمص
ِ ِ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak ada perdebatan antara kami dengan kamu. Allah
mengumpulkan kita semua dan kepada-Nya mau tidak mau kita
kembali”. (Ash-Shura : 15)
Tadabbur (18)
Bunuh Emha
Kalau itu dirimu, tidak perlu “Bunuh Emha”. Sebab toh ia tidak ada
padamu, ia tidak pernah exsist dalam dirimu. Yang menyala dalam
batinmu adalah munculan khayal dan bayang-bayang yang
diproduksi oleh subjektivitas “syarri hasidin idza hasad”-mu,
stigma negatif yang diperlukan oleh kepentingan pemihakan
politik dan darurat kebutuhan nafkah hidupmu.
ُ َ َ َ ُ ْ
َو َم ْن َ دع َم َع ا ِ ِإلها آخ َر ﻻ ُب ْرهان له ِ ِه
َ ُ ْ ُ ﱠ َْ ُ َ ﱠ
ف ِإن َما ِح َسا ُ ه ِعند َرﱢ ِه ِإنه ﻻ ُ ف ِلح ال ِاف ُرون
“Siapa menyembah Tuhan yang bukan Allah, tidak ada dalil atau
argumentasinya, dan di tangan Allah perhitungan atasnya”. Dan
yang mengambil keputusan kufur itu jangan menyangka akan
mendapat keuntungan. Allah “la yuflihul kafirun”.
Tadabbur (19)
Allah Meluaskan
Manusia Menyempitkan
“Maghdlub” dan “dhollin” itu ibu atau induk dari berbagai macam
gejala dan fakta perilaku manusia yang istilahnya berbeda-beda
bergantung bidangnya. Bisa secara mental dan psikologi, bisa
budaya dan keadaban, bisa sosial dan politik, bisa apa saja
“akhlaq” atau “khuluq”-nya manusia.
Tadabbur (20)
“Jimat” Al-Fatihah
melainkan muatan hajat yang lebih tinggi atau lebih abstrak dari
itu.
Kata jimat berasal dari kata ‘adhimah. Artinya keagungan. Allah al-
‘Adhim adalah Allah Yang Maha Agung. Kosakata “agung” itu
mengandung banyak dimensi: kebesaran, kehebatan, ketinggian,
kedahsyatan dan atau keunggulan.
Tadabbur (21)
“Klenik” Al-Fatihah
Tadabbur (22)
“Akik” Al-Fatihah
Saya pribadi sangat menyukai batu akik dan selalu memakai cincin
berakik. Karena saya sangat mengagumi keindahan qadha qadar
Allah yang membuat batu menjadi begitu indah dan berkilau
sesudah diendapkan sekian ratus tahun di tanah.
Bahkan “la haula wala quwwata illa billah”, tidak kuasa dan tidak
ada kekuatan kecuali hanya dari dan milik Allah. “Illa billah” saja.
Titik. Tidak “illa bi-Muhammad”, “illa bi-Jibril”, “illa bi-Iblis”, “illa
bi-Presiden” atau siapapun dan apapun lainnya.
Tadabbur (23)
3-1-3: Kerja Sama Seimbang
Allah dengan Hamba-Nya
َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ ﱠ ُ ْ ﱡ ْ َ ْٓ ْ ﱠ ُ ْ ْٓ َ ﱠ
اح ِسب الناس ان ي وا ان قولوا امنا وهم فتنون
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji
lagi?” (Al-Ankabut: 2)
Bahkan secara logis dan rasional kita harus menjaga asumsi atau
menghindari rasa angkuh, misalnya karena merasa telah berbuat
baik maka kita meyakini akan menjadi penghuni Sorga.
َ َ َﱠ ُ َْ ْ ُ
ا ْم َح ِس ْ ت ْم ان تدخلوا ال َجنة َول ﱠما َ أ ِت ْم ﱠمث ُل ال ِذ ْي َن خل ْوا
ُ ُ ﱠ ْ َ
ِم ْن ق ْ ِل ْم ۗ َم ﱠست ُه ُم ال َ أ َسا ُء َوال ﱠ ا ُء َوزلزل ْوا َح ﱣ َ ق ْو َل
ْ َ َٓ ﱠ ْ َ ٰ َ ٗ َ َُْ َ ْ َ ُ ْ ُ ﱠ
ِ الرسول وال ِذين امنوا م َعه م ن ُ ا ِ ۗ ا ِان ن َ ا َ
ق ْ ٌب
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-
orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka
dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-
macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-
Baqarah: 214)
Tadabbur (24)
“Gua” Alfatihah
Sebagaimana udara dan air yang pertama dipakai oleh Nabi Adam
dan Ibunda Hawa untuk cuci muka dan mandi, adalah juga udara
dan air yang sekarang kita pakai untuk bikin perusahaan air
minum. Mungkin mereka semua kelak turut hadir di hadapan
Malaikat tentang apa yang mereka persaksikan dari perilaku
kapitalisme dan konsumtivisme kita.
Tadabbur (25)
“Semoga Allah
Menghancurkan Mulutmu”
ُ ۚ َْ َ ِ َس ﱠب َح
الس ٰم ٰو ِت َو َما ِ ا ْرض َوه َو ال َع ْ ُز ال َح ِك ْ ُم
ﱠ ا
ِ ِم
“Bertasbih kepada Allah semua apa yang ada di langit dan bumi;
dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Hashr:
1).
Semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, tapi dari
kalangan manusia terdengar suara yang berbeda dan sikap yang
lain. Kalau kita melakukan wawancara kepada manusia, di level
dan segmen manapun, pasti jawabannya mencerminkan “sabbaha
lillahi”. Tetapi kalau kita menyaksikan atmosfer budaya dan politik
manusia, yang berlangsung sangat banyak yang sebaliknya.
َ ََ ُ َ ُ َ ْ
ال ِذ ْي َن َ ذك ُر ْون ا َ ِق َ اما ﱠۚوق ُع ْودا ﱠوع ُجن ْ ِ ـ ِه ْم َو َ تف ُر ْون
ۚ ً َ َ ٰ َ ْ َ َ ََﱠ ْ َ ْ َ الس ٰم ٰو
ْ َخلق ﱠ
ِ ت وا رض ر نا ما خلقت هذا
اط َِ
ُِ ْ ٰ َ َِ َ َ َ َ ﱠ
س حنك ف ِقنا عذاب النار
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Tadabbur (26)
Apa Password Wifi
di Gua Hira
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡمِ َ ٰ ط ٱل ِذ
(Al-Fatihah: 7)
Wifi, misalnya dari Mobily, STC, Zain atau bahkan Etisalat, apa
pula password-nya. Mungkin raufurrahim, huruf kecil semua,
yakni dua gelar Nabi dari Allah.
Lha wong kita yang pada dasarnya tidak konsern dan tidak punya
komitmen serius terhadap Tuhan saja berani bikin baliho pamer
wajah yang kita puji sendiri: “Mandiri, kreatif”, “Jujur, sederhana”,
“Mengabdi masa depan rakyat” dan macam-macam kalimat-
kalimat “mbagusi” lainnya. Dewasa ini kita menjalani hidup
dengan kemudahan-kemudahan yang luar biasa terutama dalam
hal komunikasi dan informasi. Dari awal-awal IT hingga Artificial
Intelligence yang kini mulai marak. Kita bisa kontak Ibu atau istri
kita sambil jongkok mencet-mencet keyboard gadget di
WC. Nglilir dari tidur tengah malam kita bisa video call dengan
pacar kita. Serta beribu jenis dan wilayah kemudahan lainnya,
yang mewah dan mentakjubkan.
Tadabbur (27)
Kerapuhan Psikologis
dan Wudlu Kehidupan
َ َ َ ۡ
ٱه ِدنا ٱل ﱢ َ ٰ ط ٱل ُم ۡست ِق م
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡم ِ َ ٰ ط ٱل ِذ
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلض ل ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 6-7)
َ ۡ َ َ
ين أن َع ۡمت َعل ۡي ِه ۡمِ َ ٰ ط ٱل ِذ
“Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka”.
(Al-Fatihah: 7).
َ ُ َ َ ْ َ ﱡ
ۗ َوِان ت ُعد ْوا ِن ْع َمة ا ِ ت ْح ُص ْوها
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan
sanggup menghitungnya.” (An-Nahl: 18).
Tadabbur (28)
“Ruh” itu Bahasa Arab yang digunakan oleh wahyu Allah. Jadi
bukan orang Arab yang menuturkannya, Subjeknya adalah Allah,
yang bahkan Maha Subyek. Pasti berbeda jika dibanding dengan
orang Arab yang berbahasa Arab dan mengucapkan kata “ruh”.
Apakah “jiwa” itu terjemahan dari kata “ruh”? Apa beda antara
“jiwa”, “nyawa”, “sukma”? Atau “batin” saja yang tampaknya
lebih sederhana. Tetapi apakah “ruh” itu “batin”? Apakah ucapan
hari raya “Maaf Lahir Batin” bisa diganti dengan “Maaf Lahir
Ruh”?
َۙ ْ ُ ﱠ ً ُ َ ْب َ َر
ب ۛ ِف ْ ِه ۛ هدى للمت ِق ُ ذ ٰ ل َك ال ٰت
ِ ِ
“Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa”. (Al-Baqarah: 2).
Oo apa berangkat dari ini saja ya. “Perjumpaan Taqwa dengan Al-
Fatihah”. Tetapi segera saya dicegat oleh diri saya sendiri yang
menohokkan pertanyaan: “Emangnya taqwa itu apa?” Takut.
Banyak Kiai bilang taqwa itu takut. Lho, kalau gitu ayat ini gimana
dong:
َ ُ ْ َ ُ َ َ ُ َ ْٓ ﱢ
ࣖ اب
ِ ق ع
ِ ال د ِا اخاف ا ۗوا ش ِد
Setan berkata: “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan
Allah sangat keras siksa-Nya”. (Al-Anfal: 48)
Tadabbur (29)
Awas, Waspada
Selalu Ada Allah
Yang resmi, misalnya menurut Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari
“taqwa” adalah mentaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya.
Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya tanpa
ada pengingkaran (kufr) di dalamnya.
Ilustrasi “duri” pada Sayyidina Umar ibn Khattab dan Abu Hurairah
perlu diproyeksikan oleh siapapun yang mendengar atau
membaca dialog itu. Misalnya dari “duri” itu orang bisa menarik
konteksnya ke “waspada”. Tetapi sekali lagi, semua upaya
memahami taqwa di atas memang muatannya semua merupakan
kandungan taqwa.
Tadabbur (30)
Waspada Sanad
Demikian juga setiap atau seluruh persentuhan kita dengan isi Al-
Qur’an atau muatan hadits, orang lain tidak akan menagih sanad
kepada kita. Hanya saja kalau kita mengutip ungkapan sahabat
Nabi umpamanya Umar ibn Khattab, Abu Hurairah atau siapapun,
harus kita jelenterehkan urutan-urutan informasinya dari siapa ke
siapa ke siapa sampai ke kita.
Tadabbur (31)
Berbeda juga ketika kita dalam keadaan sehat wal afiat atau
sedang sakit. Bahkan Al-Fatihah rasanya tidak sama ketika kita
kanak-kanak dulu, kemudian remaja lantas dewasa, dibandingkan
dengan tatkala usia sudah senja.
Tadabbur (32)
Sawang Sinawang Al-Fatihah
Allah itu Maha Tak Terhingga dan setiap firman-Nya pun tak
terhingga. Setiap ayat-Nya, kata pilihan-Nya, bahkan mungkin
huruf-Nya, bermakna tak terhingga. Kita sesama manusia maupun
sesama makhluk Allah lainnya hanya bisa “sawang-sinawang”
dengan bekal rendah hati satu sama lain, kemudian
Tentu saja kita tidak mungkin tahu apakah itu juga berlaku bagi
Malaikat Jibril dan para Malaikat lainnya. Tetapi Jin yang pernah
lulus menjadi Imam dan Pinunjul di antara semua Malaikat,
akhirnya di-Iblis-kan oleh Allah, karena khilaf dan sembrono
menyangka “bersujudlah kepada Adam” adalah “menyembah
Adam”, Sehingga Si Kanzul Jannah alias Al-Khasyyi’, Arraki’,
Assajid itu dikutuk oleh Allah sampai hari kiamat.
kan oleh Allah karena “rumangsa bisa”. Sok tahu. Tidak tanya-
tanya dulu. Kontan saja menolak perintah Allah untuk bersujud
kepada Adam.
Tadabbur (33)
Alfatihah Mukibat Mujaer
Juga rukun Islam yang lain. Sebab itu 100% bersumber dari Allah.
Bukan Nabi Muhammad atau siapapun yang mengarang “kalimah
syahadat”, tatacara dan bacaan shalat lima waktu, ide
posisi takbiratul aihram, ruku’, sujud dan duduk tahiyat, serta
segala regulasi tentang shalat-shalat sunnah.
Puasa itu pada bulan apa di tahun Hijriyah, delapan ashnaf siapa
saja, pergi haji kita ke mana. Itu bukan karangan Malaikat Jibril,
Nabi Ibrahim atau Kanjeng Nabi Muhammad, melainkan
ketentuan langsung dari Allah swt. Siapapun selain Allah tidak
berhak mengambil keputusan, dan kita tidak boleh ngarang-
ngarang.
Lebih dini lagi urusan itu juga tidak berlaku untuk bayi yang tanpa
pengetahuan sanad mengerti persis bahwa ia harus keluar dari
perut Ibunya dengan tahu persis pula jalannya. Tampaknya logis
kalau tradisi sanad ilmu Islam tidak bersentuhan dengan “’allamal
insana ma lam ya’lam”. Allah mengajari manusia segala sesuatu
yang ia tidak atau belum tahu.
ُ ٰ َ ْ ً ُ ٰ َ َ َ َ َ
ف َو َجدا ع ْ دا ﱢم ْن ِع َ ِادنا ات ْ نه َر ْح َمة ﱢم ْن ِعن ِدنا َو َعل ْمنه ِم ْن
ُ ﱠ
لدنا ِعلما
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Tadabbur (34)
ٰ ﱠ ً ُ ُ ُ ْ ْ َ َ َ
ش ْه ُر َر َمضان ال ِذ ٓي انز َل ِف ْ ِه الق ْران هدى للناس َو َ ﱢ ن ٍت
ۚ َُْ َ ٰ ُ َ ﱢ
◌انِ من الهد ى والفر
ق
“Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda” (Al-Baqarah:
185).
Dan itu semua bukan prestasi Maiyah atau titik-titik tumpu sanad
di penggalan manapun, melainkan merupakan kuasa kasih sayang
Allah Swt.
ُ َ َ َ َ َ ﱠ
ت ْه ِد ْي َم ْن ا ْح َب ْ ت َول ِ ﱠن ا َ َي ْه ِد ْي َم ْن ﱠ شا ُء َۚوه َو ِانك
َ
ِ ال ُم ْهت ِد ْي َن ا ْعل ُم
“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada
siapapun yang (meski) kau cintai. Tetapi Allah yang menghidayahi
siapa saja yang Ia kehendaki. Ia Maha Mengetahui siapa yang
layak diberi petunjuk”. (Al-Qashash; 56).
Tadabbur (35)
Dan kita ngertinya ruang yang terbatas, ruang dengan batas yang
memisahkan di dalamnya dengan yang di luarnya, meskipun kita
tidak mampu mengukur di mana batasnya. Tetapi di luar batas itu
kita bayangkan tetap ruang. Kita tidak bisa membayangkan
sesudah garis terakhir dari ruang: lha di luar itu apa? Kita hanya
bisa membayangkan bahwa di luar batas ruang pastilah juga ruang
yang lain atau berikutnya. Kalau tidak ruang di luar batas ruang,
otak kita tidak bisa mengidentifikasikannya.
َ ٱلس َح َر ُة َس ٰ جد
ين َوألق َ ﱠ
ِ ِ ِ
“Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan
bersujud”. (Al-A’raf: 120).
Tadabbur (36)
pernah ada tanpa Bapak Ibu kita. Mari berterima kasih kepada
para leluhur Bangsa Jawa, yang mewariskan takdzim yang sangat
panjang kepada nasab atau sanad kelahiran: Bapak Ibu tidak ada
tanpa Kakek-Nenek, Buyut, Canggah, kemudian terus ke asal
mula hingga 18 generasi: Wareng, Udheg-udheg, Gantung
Siwur, Gropak Senthe, Debog Bosok, Galih Asem, Gropak
Waton, Cendheng, Giyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Me
nya-menya, Trah Tumerah.
Lebih afdhal kalau kita juga memilih menikmati luasan dari makna
sanad. Misalnya Rasulullah Muhammad Saw. adalah sepenuhnya
sanad kehidupan kita untuk mencapai ridla dan keselamatan di
hadapan Allah Swt. Kanjeng Nabi adalah sandaran hidup kita
dunia akhirat. Di dalamnya terkandung klausul syafaat atau hak
prerogatif beliau untuk menyelamatkan kita.
َ َ ْ
ُ َت َ َ َ ْ َ َ َ ﱡ
اب ا ِ ُم ْعت َم ِدي اسن ِدي أن ا ِإمام الرس ِل
“Wahai pemimpin para Rasul sanadku, engkaulah pintu Allah
sandaran nasibku.”
Dan masih panjang lagi ungkapan cinta dan harapan kita kepada
beliau. Bahkan anak-anak muda yang kita sering meremehkannya
dengan menganggap mereka sebagai anak-anak budaya pop yang
budayanya dangkal, menunturkan syair dalam lagunya:
Tadabbur (37)
(Al-Fatihah: 1-7)
Sudah valid. Sudah tak ada keraguan lagi. Al-Fatihah sudah sah,
sudah melewati ujian dan memenuhi semua persyaratan
metodologis akademis historis bahwa semua ummat manusia
dianugerahi oleh Allah Swt. mutiara untaian ratna mutu manikam
rohaniah yang tiada tandingannya, yang bernama Al-Fatihah.
Tentu saja wahyu Ibu Qur`an itu dititipkan atau melalui kekasih
kita bersama Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Seakan-akan Allah
men-tanazzul-kannya kepada dan untuk kita semua. Dan memang
maksud Allah wahyu Al-Fatihah itu diperuntukkan bagi kita semua
ummat manusia, bahkan juga ummat Jin. Kita sendiri merasa
seolah-olah masing-masing kita dirahmati Allah dengan diwahyui
Al-Fatihah. Kita secara sangat personal dan penuh intimitas serta
kemesraan jiwa kita semua dan sendiri-sendiri menerimanya
sebagai ungkapan cinta dan rahmat dari Allah Swt.
Tadabbur (38)
(Al-Fatihah: 1-7)
“Apakah seekor harimau yang sudah tua, yang tidak lagi punya
kekuatan untuk berburu dan kalah dari harimau-harimau yang
lebih muda, sehingga harimau tua itu akhirnya mati kelaparan,
namun tiba-tiba Sang Rahman Sang Rahim menciptakan kejadian
ajaib yang membuat ia tidak mati kelaparan?”
ْبن َ أ ْو َ ا ُ َت َعا إ ُمو: ﷲ َعل ْ ه َو َسل َم ُ ص َ ال َ َو َق
ِ ِ
َول ْم ْ ض َق َضا َ َ ا ُم ْو َ َم ْن ل ْم َي ْر: الس َ ُم ان َعل ْيه َما ﱠ َ َْ
ِعمر
ِ ِ ِ
ْ ِ َ ْص ْ َع َ َ ْ َول ْم َ ْشك ْر َن ْع َما ْ َفل َ ْخ ُ ْج ِم ْن َب ْ أ ْر
ِ ِ ِ
ْ ب ل ُه َر ا ِس َوا ْ َو َس َما ْ َول َ ْطل
ِ ِ
َ ب ف ۛه ُه ٗدى لل ُم ﱠتقَۛ ۡ َ َ ُ َ
ر ب ٰ ت ٱل
َ َٰ
ك ذ ِل
ِ ِ ِ ِ
ﱠ ۡ َ َٰ َ َ َ ﱠ
َ ۡ ت أ ۡ ِد ۡم َوأ ﱠن ٱ َ ل
س ِ ظ ٖم لل َع ِب ِد ذ ِلك ِ ما قدم
Tadabbur (39)
(Al-Fatihah: 1-7)
َ ِ َ َح ْو َل َو َ ُق ﱠو َة إ ﱠ ا
َ الع ﱢ
الع ِظ ْ ِم ِ ِ ِ
“Tidak ada kuasa dan tidak ada daya kecuali milik atau pada Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”
Tadabbur (40)
Gerbang Al-Fatihah
(Al-Fatihah: 1-7)
Ini bukan kebenaran ilmu, ini fakta cinta. Tentu subjektif, berlaku
pada kita-kita saja, dan tidak harus dibenarkan atau diakui oleh
siapapun. Dan kita dilarang memaksakan rasa nikmat subjektif itu
kepada siapapun. Maka juga sangat diperlukan perdebatan, kritik
atau penolakan. Andaikan ada persetujuan dan penerimaan pun
silakan menikmatinya sendiri secara personal saja.
Kita ini “khalifah fil Ardl”, tapi prestasi peradaban kita adalah
semakin canggih merusak kehidupan di bumi dan lihai dalam hal
menumpahkan darah, pembunuhan karakter, pengasingan atas
siapa saja yang mengemban kebenaran. Kita seolah-olah sengaja
menjadi follower dan supporter Malaikat yang kemudian di-Iblis-
kan oleh Allah karena membangkang pada perintah Allah untuk
bersujud kepada Adam yang manusia.
ٗۖ َ َ َۡ ﱢ َٓ َ َ َ ۡ َ
ل ِ ٱﻷرض خ ِل فةٞ ال َرﱡ ك ِلل َمل ٰ ِئك ِة ِإ َج ِاع
ۡ وِذ ق
ُ ﱢ ُ ۡ َ َ
قال ٓوا أت ۡج َع ُل ِف َيها َمن ُ ف ِسد ِف َيها َو َ ۡس ِفك ٱلد َما َء
َۖ ُ َ َ ۡ ُ ُ َ ﱢ ُ َ ۡ َ َ ُ َ ﱢ
ونحن سبح ِ حم ِدك ونقدس لك
َ َ َ َ َ ﱢ
ال ِإ ٓ أ ۡعل ُم َما ت ۡعل ُمون ق
Tadabbur (41)
(Al-Fatihah: 1-7)
Pada tadabbur sebelum ini ada kalimat “Ummat manusia abad ke-
21 ini terlalu “kemproh” semesta jiwanya untuk pantas
mengucapkan pernyataan itu”. Mohon jangan tanggapi secara
ٗۖ َ َ َۡ ﱢ َٓ َ َ َ ۡ َ
ل ِ ٱﻷرض خ ِل فةٞ ال َ ﱡر ك ِلل َمل ٰ ِئك ِة ِإ َج ِاع
ۡ وِذ ق
“Manusia itu adalah umat yang satu. Maka Allah mengutus para
Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” (Al-Baqarah: 213)
ۚ ُ ََ ََ ٗ َ َۡ َ
ٱعت ِص ُموا ِ َح ۡ ِل ٱ ِ ج ِم عا و تف ﱠرقواو
ُ َ ۡ ُ ََ َ ُ َ َ
ين تف ﱠرقوا َوٱختلفوا َو ت ونوا ٱل ِذ
ُۚ َ ﱢ ُ
ِم ۢن َ ۡع ِد َما َجا َءه ُم ٱل َب ن ٰ ت
مٞ اب َع ِظ ٌ َوأ ْو َل ٰٓ ئ َك ل ُه ۡم َع َذ
ِ
Meskipun bagi Maiyah dan kita semua hal itu amatlah sulit dan
dalam banyak hal hampir mustahil. Dan itu membuat Maiyah
tidak bisa dipahami atau tidak bisa diterima oleh masyarakat dan
Negara yang terlanjur melihat segala sesuatu secara padatan atau
materiil.
Itu membuat Maiyah tidak laku, tidak viral, tidak kondusif untuk
ikut berkuasa.
Tadabbur (42)
(Al-Fatihah: 1-7)
Bahkan bumi ini dihuni secara “resmi” dalam pola persepsi hingga
era modern — oleh ummat yang berbeda-beda: Ummat Islam,
Ummat Kristiani, Ummat Budha, Ummat Hindu dan banyak lagi.
ۖۡ ٞ ۡ َ ُ َ ُ َ ُ ۡ َ َ
ك ِتب عل م ٱل ِقتال وهو كره ل م
ۖ َ ُ ٗ َ ُ َ َ
ل ۡمٞ ۡ َوع َ ٰٓ أن ت َرهوا ش ۡي ٔ ا َوه َو خ
ۚ ٞ َ ُ ٗ َ ُ َ
َوع َ ٰٓ أن ت ِح ﱡبوا ش ۡي ٔ ا َوه َو ّ ل ۡم
َ َ َ ُ
َوٱ ُ َ ۡعل ُم َوأنت ۡم ت ۡعل ُمون
Dan rasanya apa yang barusan saya tuturkan itu mustahil terjadi.
Tidak bisa kita bayangkan ada Presiden, Menteri, Sidang Kabinet
dan Rapat Parlemen, apalagi pertemuan Konglomerat, yang
mendasari musyawarahnya dengan prinsip itu. Kalimat itu
terdengar saja pun rasanya belum pernah kita alami.
Tadabbur (43)
Al-Fatihah Al-’Alamin
(Al-Fatihah: 1-7)
Dari warna dasar merah saja ada merah Indian, koral terang,
salmon, salmon gelap, salmon terang, crimson, merah bata,
merah tua dll. Dalam putih ada salju, embun madu, mintcream,
azure, aliceblue, ghostwhite, putih asap, seashell, beige, oldlace,
putih flora, ivory, putih antik, linen, lavender blush, mystirose dll.
Kita kenal 16 juta warna sejak awal-awal komputer.
Itu baru yang bisa ditangkap oleh mata kasat manusia. Belum
pluralitas keindahan yang tampak oleh mata burung. Belum
mosaik sorga jannatunna’im. Sungguh Al-Fatihah Al-’Alamin.
Tadabbur (44)
(Al-Fatihah: 1-7)
Semakin hari semakin kita temukan indikasi dan bukti bahwa kita
manusia bukan saja tidak mampu menjalankan amanah “inni
ja’ilun fil ardli khalifah*, bahkan gagal “menjadi diri kita sendiri”
sebagaimana yang Allah titahkan.
َ ۡ ُ
ان ٱل َ ۡح ُر م َد ٗادا ل ل َم ٰ ت َر ﱢ
ِ ِ ِ ق ل لو
َ َ َ َۡ ُ ۡ َ َ َ
نف َد ل َم ٰ ُت َر ﱢ
ِ لن ِفد ٱل حر ق ل أن ت
ٗ َ ۡ َۡ
َول ۡو ِجئنا ِ ِمث ِل ِهۦ َمددا
Sangat terang benderang oleh ayat ini bahwa kalau kita mencucup
asupan dari Rahim Ibu “Al-Fatihah” dan “menyelami samudera Al-
Qur`an”, maka itu berarti kita sedang memasuki ruang makna
yang tak terhingga. “Walau ji`na bimitslihi madada”.
ُ ُ َ َ َ
ش ۡه ُر َر َمضان ٱل ِذ ٓي أنز َل ِف ِه ٱلق ۡر َءان
ۚ َ ُ َ َ ﱠ ٗ ُ
هدى للناس َو َ ﱢ ن ٰ ٖت ﱢم َن ٱل ُهد ٰى َوٱلف ۡرق ِان
ُ َٓۡ َ َٰ َ ۡ ُ َ
اق َو ِ ٓ أنف ِس ِه ۡمِ ف ٱﻷ ِ ِ س ـ ِـهم ءاي
ا ن
َ َﱢ ُۗ ﱠ ُ َ ﱡ َ
َح ﱠ ٰ َي َب ﱠ َ له ۡم أنه ٱلحق أو لم ِف ِب ك
َ ۡ َ
ٌ َ َ َ ُ ﱠ
أنهۥ ع ٰ ﱢل ۡ ٖء ش ِه د
Apalagi alam dan segala isinya adalah ayat-ayat Allah. Apalagi diri
kita ini sendiri dengan semua muatan dan mekanisme serta
algoritma fisik maupun kejiwaannya adalah ayat-ayat Allah.
Tadabbur (45)
(Al-Fatihah: 1-7)
ُ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ۡ
َو ِ ذ أخذ َرﱡ ك ِم ۢن َب ِ ٓ َءاد َم ِمن ظ ُهور ِه ۡم ذ ﱢرﱠ ت ُه ۡم َوأش َهده ۡم
ُ َ َۛ ۡ َ ۛ َ ۖ ُ ُ َ
ع ٰٓ أنف ِس ِه ۡم أل ۡست ِب َ ﱢ ْم قالوا َ ٰ ش ِهدنا أن تقولوا َي ۡو َم
َ ٱلق َ ٰ َمة إ ﱠنا ك ﱠنا َع ۡن َه ٰ َذا َغ ٰ فل
ِِ ِ ِ ِ
َ ُ َ َ ﱠ َ
أ َو َ ۡعل ُمون أن ٱ َ َ ۡعل ُم َما ُ ِ ﱡ ون َو َما ُ ۡع ِلنون
ۗ َْ ْ َ ٰ ٰ ﱠ َ َ ْ ُ َ ْ َ ﱠ
َض َوا ُ َ ص ْ ٌۢ ما
ِ ِ ِان ا علم غ ب السمو ِت وا ر
َ َ
ت ْع َمل ْون
َ ﱠ ُ َ ﱠ
ِإن َرﱠ ك ه َو ٱلخل ٰ ُق ٱل َع ِل ُم
Tadabbur (46)
(Al-Fatihah: 1-7)
Maka mungkin yang selama ini kita pahami sebagai akal, ilmu,
pengetahuan, komunikasi, informasi dan memori, sesungguhnya
jauh lebih luas dan multi-dimensional dibanding yang kita
Dan Allah, terserah Ia mau pakai wasilah atau tidak, mau pakai
jarak dan perantara atau tidak, Maha Sanggup melakukannya
sekehendak-Nya.
ُ َ َ َ َ َ ﱠ
ت ْه ِد ْي َم ْن ا ْح َب ْ ت َول ِ ﱠن ا َ َي ْه ِد ْي َم ْن ﱠ شا ُء َۚوه َو ِانك
َ
ال ُم ْهت ِد ْي َن ِ ا ْعل ُم
Tadabbur (47)
(Al-Fatihah: 1-7)
Di antara kita mungkin ada yang menjawab lugu: “Lho kami tidak
tahu apa-apa. Bukan kami yang bicara itu. Bukan kami yang
bersaksi. Bukan kami yang merekayasa dialog itu. Bahkan bukan
kami yang bikin Janin. Kami cuma menjalani gagasan Allah. Jadi
bukan kami yang bertanggung jawab. Fakta dasar kejadian ini
adalah Allah, sehingga Pak Nakir silakan menginterogasi Allah
langsung”.
Dari soal-soal kecil kita dibangunkan dari tidur, dikasih tahu lewat
saraf-saraf di badan bahwa kita berhajat buang air besar,
Tadabbur (48)
ٞ وه ۗا إ ﱠن ٱ َ ل َغ ُف
ٞور ﱠرح م َ ُ ۡ ُ َ
ص ح ت ٱ
ََ ۡ
ة مع ن واد
َ َُ ﱡ
و ِ ن تع
ِ ِ ِ ِ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu
tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-
benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
“Bertasbih kepada Allah semua apa yang ada di langit dan bumi;
dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:
1)
Tapi nggak apa. Toh Allah “yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Kita “tidak kuat derajat” untuk tak terbatas dan tidak kerdil.
Seringkali kita menemukan suatu pengalaman atau keadaan di
mana lebih enak tidak tahu daripada tahu. Lebih nikmat lemah
daripada kuat. Kalau lemah, kita punya peluang untuk berlindung
َ ۡ َ ﱠ َ ۡ َ َۡ َ إ ﱠن َخلق ﱠ
ٱلس َم ٰ َ ٰو ِت وٱﻷرض وٱخ ِتل ِف ٱل ِل وٱلنهار
ٰ ۡ
َ ۡ ِ ْ ُ َِ ٓ َ ِ ﱢ
ٰ َ
ﻷ ٰ ٍت ﻷو ِ ٱﻷل ِب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran :190)
Kita saling terbuka satu sama lain. Forum kita merdekakan seluas-
luasnya. Kita tidak takut tampak bodoh. Kita tidak malu kalau
tidak mengerti sesuatu. Kita tidak “keminter” sehingga menutupi
banyak hal dalam komunikasi kita demi menghindarkan posisi
tampak bodoh.
Tidak apa-apa kita bodoh. Yang Maha Pandai adalah Allah Swt.
Yang penting kita terus “Sinau Bareng”, belajar, belajar, dan
belajar. Kita adalah pembelajar kehidupan. Kita adalah
“muta’allimul hayat”. Kita adalah santrinya Kanjeng Nabi, para
pembelajar kehidupan. Kita adalah hamparan makhluk-makhluk
buta yang memohon pancaran “nur” dari Allah Swt.
Tadabbur (50)
Kita kagum kepada para Mujtahidin Dunia, dari James Watt yang
menginvensi Mesin Uap hingga Christoper Sholes yang merintis
pengadaan Mesin Ketik. Dari C. Marconi, JJ Baird dan CF Jenkins
yang membuat kita menikmati media-media canggih. Dari H
Lippersey hingga Weeler dan Claude.
atau Dasim dan Walhan yang memvirusi dan meracuni jiwa kita
lewat gadget yang kita pegang tiap saat, lewat layar teve dan
macam-macam media lainnya. Belum
lagi Abyad, Khanzab, Jalbanur, Hudavus, Biter atau Mansud yang
jauh lebih berbahaya.
ُ ََ ْ َ
َ ٰ َم ْع َ ٱل ِج ﱢن َو ِٱﻹ س ِإ ِن ْٱستط ْعت ْم
ُ ُ َ َْ نف ُذوا م ْن أ ْق َطار ﱠ ُ َ
ٱلس َم ٰ َ ٰو ِت َوٱﻷ ْرض فٱنفذوا ِ أن ت
ٰ َ ُ ﱠ َ ُ َ َ
ُ
تنفذون ِإ ِ سلط ن
“Wahai kalian semua jin dan manusia, jika kamu sanggup
melintasi dan menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka
tembuslah. Kalian tidak dapat menembusnya kecuali dengan
sulthon.” (Ar Rahman: 33)
Karena kita awam maka kita hanya mendengar orang kasih tahu
bahwa al-’alamin itu plural atau jamak dari al-’alam.
Jadi Rabbul’alamin mestinya adalah Tuhannya alam-alam atau
semesta-semesta yang jumlah dan besarnya tidak terhitung
oleh hisab otak manusia, alias tak terhingga.
Tadabbur (51)
Kita tidak punya legacy dan ekspertasi, tidak berani serta tidak
berniat membantah atau mengkritik pernyataan Hawking itu.
Hanya saja kita mengetahui referensi yang berbeda dan kita
mempercayainya.
Tadabbur (52)
Tetapi kita bukan scholars. Kita tidak terpelajar secara ilmu dan
disiplin akademik. Kita tidak terdidik di Universitas apapun kecuali
Universitas Maiyah yang cair, super liberal, dan agak abstrak. Kita
hanya dikasih tahu idiomatik Qur`ani tentang “laisa kamitslihi
syai`un” dan “walam yakun lahu kufuwan ahad”.
ُ یع ٱل َ ص س م ۡثلهۦ َ ۡ ء ࣱ◌ ۖ◌ َو ُه َو ﱠ
ُ ٱلسم ۡ
ِ ِ ِِ ِ َ ل
“Tiada satu pun yang sama dengan Allah. Dan, Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surat Asy-Syura 11)
ُۢ ُ ُ
َول ۡم َ ن لهۥكفوا أ َحد
“ Taddabur Hari ini “ (CAKNUN.COM) 189
Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta
ُ َ ُ َ َُُۡ ۡ ُ
ون ٱ ِ َما َ ۡم ِلك ل ۡم ِ د ن مِ ون قل أتع د
َ ّٗ ا َو َ َنف ٗعا َوٱ ُ ُه َو ﱠ
ُ ٱلسم
يع ٱل َع ِل ُم
ۚ ۡ
ِ
“Katakanlah: Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah,
sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak
(pula) memberi manfaat? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 76)
Tadabbur (53)
“Billahirrahmanirrahim”
ٱلر ِح ِمٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠۡسم ٱ ِ ﱠ
ِ
َ ِٱل َح ۡم ُد َر ﱢب ٱل َع ٰ لم
ِ ِ ِ
ٱلر ۡح َم ٰ ن ﱠ
ٱلر ِح ِم ﱠ
ﱢ
َم ٰ ِل ِك َي ۡو ِم ٱلدين
ُ اك َ ۡس َتع َ ﱠ َ َُُۡ َ ﱠ
ِ إ اك نع د و
َ ۡ ُ َِ ٰ َ ِ ۡ َ ﱢ
ٱه ِدنا ٱل ط ٱلمست ِق م
ۡت َعل ۡيهم َ ۡ َۡ َ َ
ِ ِ َ ٰ ط ٱل ِذين أنعم
َ ۡ ۡ ََ ﱠ
َ ٱلض ل ُ ۡ َ َۡ
وب علي ِهم و ِ ض غ ٱلمغ
(Al-Fatihah: 1-7)
Bukan, sekali lagi, sekadar alam atau alam semesta yang membuat
para ahli tafsir menerjemahkan “Rabbul ‘alamin” menjadi
misalnya “Tuhan semesta alam”. Karena kita awam maka kita
hanya mendengar orang kasih tahu bahwa al-‘alamin itu plural
atau jamak dari al-‘alam. Jadi Rabbul’alamin mestinya adalah
Tuhannya alam-alam atau semesta-semesta yang jumlah dan
besarnya tidak terhitung oleh hisab otak manusia, alias tak
terhingga.
Tetapi justru karena itu kita sadar dan mengaku bukan ilmuwan
atau Ulama. Kita hanya manusia hidup. Kita hanya makhluk yang
dibikin ada dan hidup oleh Sang Khaliq. Kemudian dibimbing
bahwa satu-satunya yang tepat untuk kita lakukan dalam
menjalani hidup ini adalah menyembah dan menghamba kepada
Allah.
Atau semua yang kita tuturkan itu mungkin juga tidak benar.
Bahkan sejatinya kita dan semua manusia tidak akan pernah
benar-benar bisa mengerti idiom “Sidratul Muntaha” suatu
“tempat” tatkala beliau diisra`-mi’rajkan, di mana Malaikat Jibril
tidak diperkenankan oleh Allah untuk mencapainya bersama
Rasulullah Muhammad Saw.
ۡ ً َ ۡ َ
َولقد َر َء ُاه ن ۡزلة أخ َر ٰى
ٰ َ ند ِس ۡد َرة ٱل ُم َنتَ
ِع
ِ
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul
Muntaha.” (An-Najm 13-14).
Kalau Sidratul Muntaha itu berada masih dalam ruang, dan berarti
ada koordinat di mana Rasulullah bertemu dengan Allah —
bagaimana mungkin ilmu fisika kita merumuskan bahwa Allah
Yang Maha bisa mungkin diwadahi oleh suatu koordinat.
Tadabbur (54)
Atau coba di antara kita yang masih aktif di bangku kuliah atau di
kampus pada umumnya, mohon diajukan dua pertanyaan kepada
Pak Dosen, Doktor, Profesor, kalau perlu kepada Pak Dekan atau
Pak Rektor.
َ ْ َ ْ َ َ َ َْ ْ َ َ َُْ ﱠﱠ
ِ اق ِ َسن ِده عن ج ِابر بن ع ْ ِد ا ِ و َقد اخ ج ع د الر
ز
ْ ت َ ا َر ُس ْو َل ا ِ أ ُ ُ َ
َ اﻷ ْنصار ﱢي َر َ ا ُ َع ْن ُه َما ق
ِِ ل}ق : ال
َْ َ ُ َ َ َ ْ
وا ّ ْ اخ ِ ْ ِ ْ َع ْن ا ﱠو ِل ْ ٍء خلقه ا ُ ق ْ َل اﻷش َ ْاء
ﱠ َ ُ َ َ َ ُ ﱠ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ﱢ:َ َ
قال ا ج ِابر ِإن ا خلق ق ل اﻷش ِاء نور ن ِ ك محم ٍد
ُ
َص ا ُ َعل ْ ِه َو َسل َم ِم ْن ن ْور ْه
َ َق:ال
:ال َ َو َق ْد َو َر َد م ْن َحد ْ ث أ ْ ُه َ ْ َر َة َر َ ا ُ َع ْن ُه ا ﱠنه َق
ِ ِ ِ
َ ْ الن ﱢي ْ ُ ﱠ َ ﱠ: ْ َ َ ْ َِ ُ َ ُ َر ُس ْو
ِ ِ ل و ا ت ن ك م ل س و ه ِ لع ا ص ِ ا ل
ُ َ
آخ َره ْم ِ ال َ ْع ِث
ِ الخل ِق َو
ْ َْ ََ َْ
َوقد َ لغنا ِ ْ اﻷ َح ِاد ْ ِث ال َمش ُه ْو َرة
ْ ﱡ ُ َ ُْ ُْﱠ ﱠ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُ َ ﱡ
الص ْو َرة هذ ِهِ ْ
ِ أ َن اول َ ٍء خلقه ا هو النور المود
ع
َ ْ ُ
فن ْو ُر هذا ال َح ِب ْ ِب ا ﱠو ُل َمخل ْو ٍق َب َرز ِ ال َعال ْم
Itu bagian dari ikhtiar forum-forum Maiyah puluhan tahun
untuk nawaitu semacam belajar dan mempelajari pola perilaku
Allah. Tidak berarti kita sanggup mencapai isi pikiran, kemauan
dan instruksi Allah, melainkan sejauh dalam batas pengetahuan
dan kesadaran kita sebagai manusia. Mengacu pada sifat-sifat-
Nya, asma-asma-Nya, adegan-adegan yang Allah kisahkan,
mentadabburi segala bentuk informasi dari Allah. Kita tidak
menolak atau sinis kepada black hole, tapi Nur Muhammad jauh
lebih mendasar secara hakiki penciptaan serta lebih dini jika kita
anggap waktu itu berlangsung linier.
ُ َ ُ َ َُ َ َ َ ﱠ
ول لهۥكن ف َ ون ِإن َما أ ۡم ُر ُه ٓۥ ِإذا أ َراد ش ۡي ا أن ق
“Sungguh niscaya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Ia
bersabda kepadanya: Jadilah!, maka terjadi dan menjadilah
ia.” (Ya Sin: 82)
Tadabbur (55)
ُ ُ َ َ َ
ش ۡه ُر َر َمضان ٱل ِذ ٓي أنز َل ِف ِه ٱلق ۡر َءان
ۚ َ ُ َ َ ﱠ ٗ ُ
هدى للناس َو َ ﱢ ن ٰ ٖت ﱢم َن ٱل ُهد ٰى َوٱلف ۡرق ِان
Kita pasti tidak tahu itu. Kita pasti tidak berani memastikan.
Apalagi kaum Maiyah itu umumnya hanya wong cilik, karyawan
atau satpam, tukang ojek, kuli pasar, pelajar mahasiswa yang
kurang pandai, atau pokoknya awam-awam biasa.
Sehingga apapun yang kita ucapkan di sini, tidak akan ada yang
mempercayainya, bahkan tidak akan ada yang merasa perlu untuk
membacanya atau mendengarkannya. Karena kita tidak
punya legacy atau ekspertasi di bidang Ilmu maupun Agama.
Tadabbur (56)
bisa bingung, tidak ada jalan yang benar-benar lurus. Bahkan jalan
tol pun ada bengkok-bengkoknya meskipun sedikit. Maka perlu
asosiasi konteks dan nuansa, tidak bisa berhenti pada kognisi-
materiil.
Ayat itu dan ayat apapun bisa merangkum atau minimal terkait
dengan beribu-ribu tema atau subtema apapun lainnya. “As-
shirath al-mustaqim” adalah presisi arah yang menjadi pedoman
setiap buah pikiran manusia, setiap keputusan perilaku manusia,
setiap tindakan individu, gerakan sosial, manajemen
pemerintahan, langkah peradaban dan apa saja dalam kehidupan
ummat manusia. Demikianlah “Presisi arah ke Allah”
mengejawantah ke “Qawwamuna Lillah”.
Kalau dari ragam teks wirid dan dzikir itu, bisa diidentifikasi ada
yang datar-datar saja, berkaitan dengan persoalan-persoalan
umum dan awam yang lumrah-lumrah saja. Ada yang bobotnya
berat. Ada yang kualitasnya “nggegirisi”. Bahkan ada yang
terasosiasikan sebagai semacam peluru atau rudal yang dahsyat,
yang bahkan logis untuk sampai berakibat sakit keras atau
kematian.
ۡ َۡ َ ُ َو ُه َو ٱ
ٱلس َم ٰ َ ٰو ِت و ِ ٱﻷرض
ﱠ
َ ُ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ َ ِۡ َ ۡ ُ ﱠ
علم ِ م وجهر م و علم ما ت ِسبون
“Dan Dialah Allah, yang disembah di langit maupun di bumi. Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu
lahirkan dan mengetahui pula apa yang kamu usahakan.” (Al-
An’am: 3)
ُۗ ُ
ن ل ۡ َرﱠ َنـ إ ﱠن َك َت ۡعل ُم َما ُن ۡخ َو َما ن
ع
َ ﱠ ََ ۡ َۡ ِ ۡ َ ِ َ َ ۡ َِ َ َ
وما خ ع ٱ ِ ِمن ٖء ِ ٱﻷرض و ِ ٱلسم ِء ٰ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang
kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi
maupun yang ada di langit.” (Ibrahim: 38)
َ ﷲ َر ﱢب َ َ ُ ْ َ ُ َ َ ﱠ
الع ْرش ِ س ْ حان، ِإله ِإ ﷲ الح ِل ْ ُم ال ُم
َ َ ُْ َ ْ َ ْ َ َ ﱢ ُ ْ َ
ات َر ْح َم ِتك ِ َ أسألك م َو ِج، الع ِظ م الحمد ِ ِ رب الع َال ِم
ْ َ
َ َ َ َ ْ َ َ ََ َ
الس َمة ِم ْن ﱢل و ﱠ،َ الغن ْ َمة م ْن ﱢل ب ﱟر
ِ ِ و، وعز ِائم مغ ِفرتك
ُ َ ْ ْ َ ََ ْ ِ َْ ﱠ َ َ َْ ُ ََ َ ِ ﱠ َﱠ
و هما ِإ فرجته، ِإث ٍم تدع ِ ذن ا ِإ غفرته
َ ْ الراحم َ َ ْ َ ََْ َ َ ﱠ َ ً َ َ ََ
ِ ِ و حاجة ِ َ لك رضا ِإ قض تها ا أرحم ﱠ
Rasulullah Saw. datang pada kami dan berkata, siapa saja yang
sedang dalam kesulitan atau ada permohonan untuk Allah Swt.
hendaklah dia wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa: “Tidak
ada yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Penyayang
lagi Maha Pemurah. Maha Suci Allah, Tuhan Arsy yang Perkasa.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu sarana rahmat dan ampunan-Mu, manfaat
setiap amal kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Aku
memohon kepada-Mu untuk tidak meninggalkan dosaku
melainkan Engkau mengampuninya, atau kesusahan apa pun
tetapi Engkau menghilangkannya, atau segala kebutuhan yang
menyenangkan-Mu tetapi Engkau memenuhinya”.
Lalu kata beliau: “Mintalah apa yang diinginkan di dunia ini dan
akhirat nanti.” (HR Ibnu Majah).
Itulah salah satu “anak” yang berasal dari “rahim” Al-Fatihah, yang
mindset utamanya adalah “Bismillahirrahmanirrahim” dengan
hikmah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
ْ َ َ ْ َْ َُ ْ َ َ َ ﱢ
س حان ر اﻷع و ِحم ِد ِه
Pasti ada presisi makna yang terukur padanya. Tapi manusia
hanya bisa menggapai-gapai sebatas keterbatasannya yang
dijatahkan oleh Allah Swt. Dan untuk macam-macam perbedaan
atas penggapaian makna itu manusia tidak bisa saling
menyalahkan atau merasa mengungguli. Mungkin karena latar
belakang itulah maka posisi kita mengucapkan dua narasi
kesadaran itu adalah ruku’ dan sujud. Bukan ketika sedang berdiri
tegak sesudah Takbiratul Ihram.
Apa saja, siapa saja, di mana saja, kenapa saja, bagaimana saja,
kapan saja atau tidak ada apa siapa kenapa bagaimananya serta
tidak ada kapannya, awal dan akhirnya. Termasuk yang kasat
mata, kasat telinga, yang maya, yang batin, yang rohani, yang
Kita hanya bisa bersangka baik, lila legawa oleh informasi Allah.
Kita hanya bisa percaya pokoknya an’amta alaihim.
ُ َ ٗ ُ َ ۡ َ
ين َ ذك ُرون ٱ َ ِق َ ٰ ٗما َوق ُعودا َ َوع ٰ ُجن ِ ـ ِه ۡم ٱل ِذ
ۡ َ َ
َو َ َتف ُرون خلق ﱠ َ
ٱلس َم ٰ َ ٰو ِت َوٱﻷ ۡرض
َ ﱠ َ َ َ ۡ ِ َ َ ٰ َِ َ ٰ ٗ ُ ۡ َ ٰ َ َ َ َ َ َ َ ﱠ
ر نا ما خلقت ه ذا ِط س ح نك ف ِقنا عذاب ٱلنار
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali-Imran:
191)
َ ۡ َ ﱠ َ ۡ َ َۡ َ إ ﱠن َخلق ﱠ
ٱلس َم ٰ َ ٰو ِت وٱﻷرض وٱخ ِتل ِف ٱل ِل وٱلنهار
ٰ ۡ
َ ۡ ِ ْ ُ َِ ٓ َ ِ ﱢ
ٰ َ
ﻷ ٰ ٖت ﻷو ِ ٱﻷل ِب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal.” (Ali-Imran: 190)
Dan itu membuat pemaknaan kita terhdap setiap serpih ayat Al-
Fatihah menjadi membeku dan tidak punya energi ijtihadiyah.
Semoga kisah kecil berikut ini bisa menjadi contoh tajam dari
manusia yang menempuh “as-shirathal mustaqim”.
Kalau yang bikin tanah adalah manusia, maka manusia pula yang
menciptakan bumi, berarti bulan, matahari, semua anggota tata
surya, galaksi-galaksi, alam-alam semesta yang tak terhitung
keluasan dan jumlahnya, juga ciptaan manusia. Berarti manusia
itu sangat hebat dan dahsyat.
ُ َ ﱠ ُ َ َ َ َ ُ ۡ
َو َمن َ دع ۚ َم َع ٱ ِ ِإل ٰ ها َءاخ َر ُب ۡره ٰ َن لهۥ ِ ِهۦ ف ِإن َما ِح َسا ُ هۥ
َ َ ُ ۡ َ ُ ﱠ َ
ِعند َرﱢ ِه ٓۦ ِإنهۥ ُ ف ِلح ٱل ٰ ِف ُرون
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah,
padahal tidak ada suatu argumentasi apapun padanya tentang
itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Al-
Mu’minun: 117)
Dalam ucapan Idul Adlha kemarin teman kita itu menulis: “Thanks
for this, Cak. Selama berberapa tahun sebagai seorang muallaf,
konsep “qurban” dan prakteknya adalah sesuatu yang sulit untuk
“diterima”. Kata2 ini bantu… terima kasih dan selamat Eidul
Adha”.
ٌۖ َ َ ﱢ َ ﱢ َ َ
َو ِ ذا َسألك ِع َ ِادى ع ف ِإ ق ب
ۖ َ َ َ ُ َ َۡ َ ﱠ
انِ ب دعوة ٱلداع ِۡإذا ُ دع أ ِج
وا ن مؤ ُ َفل َ ۡس َتج ُيبوا َول
ي
ِ ِ َ ِ ُ ُ ۡ َِ ۡ ُ َ
لعلهم يرشدون
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku
kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa
kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan
beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”
(AlBaqarah: 186)
Hikmah Lombok
dan Kearifan Lokal
Dan itu semua bukanlah yang terjadi serta bukan jenis keputusan
yang diambil oleh pesepakbola kita. Kita menjadi tahu bahwa
kebijaksanaan perilaku dan hikmah kehidupan tidak bisa
dipastikan hanya dimiliki oleh muslim alim saleh, oleh Kiai, Ustadz,
Ulama madzhab atau Mursyid Thariqat. Bisa jadi orang awam
biasa, tukang becak, bahkan pengemis, berkemungkinan memiliki
kebijaksanaan hidup yang pada kasus-kasus tertentu melebihi
tokoh-tokoh spiritual atau pemimpin-pemimpin masyarakat.
Sejak tulisan tadabbur sebelum ini, inti kasusnya adalah soal “tahu
diri”. Mungkin sekali manusia ini punya kecenderungan berupa
semacam penyakit jiwa: bahwa semakin ia pandai, kaya, berkuasa
atau memiliki keunggulan dan kehebatan di antara sesama
manusia — ia semakin tidak tahu diri.
Gembira Bernegara
Mungkin sanad dan nash yang kita pakai adalah firman Allah:
َْ ََ
الساى َل ف تن َه ْر
َوا ﱠما ﱠ
Sekarang kalau kita sadar posisi kita selama ini tidak memenuhi
“as-shirathal mustaqim”, mari kita sebagaimana pesepakbola kita
“putar balik mobil kita di Cirebon untuk balik ke Surabaya. Besok
kita ke Jakarta lagi dengan penghayatan yang baru”.
َْ َ َْ ٌ َْ ُ َْ َ َ َْ
ࣖ ِ س لنفس ش ْي ا َۗوا ْم ُر َي ْو َمى ٍذ يوم تم ِلك نف
َ َ َ َۖ ﱠ َ ﱠ َ َ َ َ
قالوا ُس ۡ َح ٰ نك ِعل َم لنـ ِإ َما َعل ۡمتنـ ِإنك أنت ٱل َع ِل ُم
ٱل َح ِك ُم
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 32)
Sudah pasti tidak mungkin tidak ada kaitan konsep dan makna
antara dan dalam urutan sejumlah potongan narasi firman itu.
Apakah mungkin itu berarti limpahan ilmu dari Allah kepada
hamba-Nya diniscayakan atau dipersyaratkan oleh kesucian?
Apakah Allah menganugerahkan ilmu hanya kepada hamba yang
suci? Apakah ilmu berkompatibilitas dan berelevansi dengan
kondisi suci? Dengan kadar dan gradasi yang berbeda-beda?
Tentu juga suci dan kesucian dalam arti yang hakiki dan
substansial pada pandangan Allah. Tidak terbatas pada
kesucian fiqhiyah, secara hukum atau syar’iyah, di mana hadats
kecil dinetralisir dengan wudlu dan hadats besar dibatalkan
dengan mandi besar.
Karena yang maha tahu hanya Allah, sedangkan kita hanya tahu
sangat terbatas. Maka setiap ilmu dan gerakan kebudayaan di
muka dalam kehidupan manusia, jangan keburu bernafsu
dengan kemerdekaan, sebelum mematangkan pengetahuan dan
kesadaran tentang batasan dan keterbatasan.
َ ۡ َ ۡ َ َ ُ َ
َ خافون َرﱠ ـ ُهم ﱢمن ف ۡو ِق ِه ۡم َو َ ف َعلون َما ُيؤ َم ُرون
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka
dan melaksanakan hanya apa yang diperintahkan.” (An-Nahl:
50)
Adapun kita yang orang biasa dan awam, merespons itu semua
secara bersahaja juga. Yang penting langkah kita sebagai manusia
kita upayakan semaksimal mungkin lebih mendekat menuju Allah
dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya. Bagaimana
menjalani hidup yang lebih baik, lebih benar, lebih indah, lebih
tepat, lebih bijaksana, syukur mendekat ke kesucian, supaya bisa
membangun frekuensi jiwa yang berjodoh dengan ilmu, hidayah
dan tuntunan Allah. Semoga meskipun kadarnya tidak tinggi, tapi
pencapaian kesucian kita membuat jiwa kita diperkenankan untuk
menjadi wadah ilmu dari Allah.
Kita tidak dicatat oleh sejarah. Kita tidak populer. Kita tidak viral.
Bahkan sangat sering disalahpahami, diejek, diremehkan, dinista,
dan dihina. Kita tidak menangis karena itu dan tidak meringkuk
dalam derita oleh itu. Alhamdulillah kita berbahagia, setiap
Dan kita tidak mampu merasa tepat arah perjalanan kita tanpa
meneguhkan kembali ideologi paling akar dari kehidupan, “Iyyaka
Karena kita berada di luar kehebatan World 4.0 sekarang ini. Kita
berada di luar kalangan Khulafaur Rasyidin Global Dunia dan
Negara. Kita hanya berkumpul rutin “Sinau Bareng” agar berlatih
taqwa secara Al-Fatihah dan Al-Qur`an, agar membiasakan diri
hidup secara Al-Fatihah dan Al-Qur`an.
Kita belajar untuk tidak menjadi golongan yang “sok tahu”. Dan
kita sudah terbiasa dan tidak keberatan dikepung oleh jenis atau
kelas masyarakat seperti ini. Al-Muthabbina Fillah sudah puluhan
tahun “Sinau Bareng” tidak hanya belajar dan mempelajari
kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Tapi juga kebijaksanaan dan
kesucian. “Subhanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana”.
Menyadari bahwa kesucian diri lah yang mewadahi ilmu-ilmu dari
Allah yang menyelamatkan masa depan ummat manusia. Bukan
mencelakakan dan memecah-belah.
َ ََ ُ َ َ
فل ﱠما ُسوا َما ذ ُروا ِ ِهۦ فت ْحنا َعل ْي ِه ْم
َ َ َ
أ ْب َ ٰو َب ﱢل ْ ٍء َح ﱠ ٰٓ ِإذا فر ُحوا ِ َم
َ ُ َ َ ًَْ َ ْ َ ُ
أوت ٓوا أخذن ٰ ُهم َ غتة ف ِإذا هم ﱡم ْ ِل ُسون
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah
diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-
pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
Dan kita semua merasa baik dan aman-aman saja mengurung diri
di dalam kesempitan itu. Agar tidak susah-susah membenahinya
atau mentepatkannya, kita seperti cenderung menjadi “katak yang
bersembunyi di dalam tempurung” zaman. Kita menjadi
masyarakat “katak menempurung”.
Sesungguhnya aku ini Allah, tiada ilah selain Aku, Barang siapa
yang tidak bersabar atas cobaan-ku, tidak bersyukur atas segala
nikmat-ku serta ”Tidak rela terhadap keputusanku”. Maka
hendaklah ia keluar dari kolong langit dan bumi-Ku dan mencari
tuhan selain Aku.
Kita tidak berasal dari apapun dan siapapun selain Allah, dan tidak
kembali kepada apapun dan siapapun kecuali Allah. Itu sangat
Kalau kita kembali ke tema ilmu dan kesucian, maka mungkin saja
ragam ilmu-ilmu tinggi yang dicapai oleh ummat manusia yang
kagum-kagum dan takkjub-takjub sendiri atas apa yang mereka
sangka mereka yang menciptakannya, ternyata sesungguhnya
amat sangat remeh di hadapan kemahaan Allah. “Wama utitukum
minal ‘ilmi illa qalila”.
Mungkin karena itu kita merasa aman dan lebih tenang ketika
bershalawata:
Monopoli Al-Qur`an
Kita dididik sejak kecil untuk melakukan shalat. Kita dilatih untuk
menghadap kepada Allah secara personal dan privat. Meskipun
untuk kemashlahatan mu’amalah Allah memberi nilai plus kalau
Tokoh kita, Imam atau Mursyid kita, Kiai di garis depan ummat
kita, juga Presiden atau Syaikhona dan apapun penampakan
kecenderungan pemberhalaan dalam tradisi budaya kita, harus
kita tolak kalau beliau-beliau menuhankan diri. Yang karena
memang Tuhan, maka beliau menjadi berhala. Minimal kita yang
memberhalakan.
ۡ َ ۡ َ ۡ َ َۚ َ ۡ ُ َ ُ َ َ َ َ َ ﱠ
ِ ند غ ٱِ أف يتدبرون ٱلق َرءان ولو ان ِمن ِع
ٗ ۡ ُ
ل َو َجدوا ِف ِه ٱخ ِتل ٰ فا ك ِث ٗ ا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau
kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa:
82)
ُ ُ َ َ َ
ش ۡه ُر َر َمضان ٱل ِذ ٓى أنز َل ِف ِه ٱلق ۡر َءان
ۚ َ ُ َ َ ﱠ ً ُ
هدى للناس َو َ ﱢ ن ٰ ٍت ﱢم َن ٱل ُهد ٰى َوٱلف ۡرق ِان
“Bulan Ramadlan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).”
(Al-Baqarah :185)
Tentu saja Kaum Cendekiawan dan para Ulama kita yakini lebih
memiliki kecanggihan intelektual maupun spiritual untuk
Apa benar asumsi ini, kita tidak mengerti persis. Wallahu a’lamu
bis-shawab. Sedangkan pun semesta makna “ihdinas shirathal
mustaqim” memang mungkin jauh lebih luas dibanding setriliun
jagat raya.
Siapakah yang tidak mengenal budayawan sekaligus sastrawan Emha Ainun Najib
(Cak Nun)? Beliau memang dikenal sebagai budayawan yang paling menyukai
gamelan.
Untuk mengenal lebih dekat siapa Emha Ainun Najib atau Cak Nun, berikut ini akan
diterangkan berkenaan dengan biografi Emha Ainun Najib. Silahkan baca ulasannya
hingga selesai agar Anda mendapatkan informasinya secara lengkap.
Muhammad Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib terlahir di
Jombang, 27 Mei 1953. Figur yang sering dipanggil dengan Cak Nun ini adalah anak
ke-4 dari 15 bersaudara. Beliau adalah putra dari seorang petani yang bernama MA.
Lathif (alm).
Cak Nun pernah mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, tetapi
beliau keluar dari pondok Gontor karena di tahun ke-3 studinya beliau melakukan
perlawanan karena menganggap kurang bagusnya mekanisme yang berjalan di pondok
pada saat itu.
Page ii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Saat di Yogya, beliau sempat hidup menggelandang selama5 tahun, antara tahun 1970
sampai tahun 1975 di sekitar Malioboro. Pada periode 5 tahun itu, beliau belajar sastra
ke Umbu Landu Paranggi, seorang sastrawan dan sufi yang hidupnya misteri dan tidak
banyak dijumpai orang.
Umbu Landu Paranggi pulalah yang menjadi satu diantara figur yang paling dikagumi
beliau dan mempengaruhi perjalanan hidupnya sampai sekarang ini.
Emha Ainun Najib memulai kariernya sebagai pengasuh rubrik Ruangan Sastra di
sebuah surat kabar, Yogyakarta pada tahun 1970. Selanjutnya, beliau menjadi
wartawan / redaktur di harian yang sama pada 1973-1976.
Awalnya, Emha Ainun Najib pernah menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan
saat ini menjadi pemimpin group gamelan Kyai Kanjeng. Emha Ainun Najib juga sering
menulis puisi dan kolom di sejumlah media baik lokal maupun nasional.
Emha Ainun Najib juga sering berkeliling Nusantara dan Luar Negeri bersama group
Gamelan Kyai Kanjeng nya, dan minimal dia dan Kyai Kanjeng dapat tampil 10-15 kali
dalam sebulan.
Sampai saat ini, Suami dari mantan artis (penyanyi) Novia Kolopaking ini juga setia
mengadakan acara Selamatan Cinta semenjak 1990-an di Taman Ismail Marzuki
bersama Jemaah Maiyah.
Selamatan Cinta hanya satu dari komunitas silaturrahim kemanusiaan dan kebudayaan
yang dibungkus dengan ide enteng, terbuka, nonpartisan, dan ajang kesenian lintas
gender.
Adapun acara beliau dan Jemaah Maiyah dengan ide sama juga menjadi jadwal reguler
bulanan di beberapa kota yang lainnya.
Page iii
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Di bidang kesenian, Emha Ainun Najib juga aktif di teater, film, mengeluarkan buku, dan
menulis puisi. Di teater, beliau aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan beberapa
repertoar dan pertunjukan sinetron.
Di bidang seni pentas dan kepenyairan, Emha Ainun Najib juga pernah mengikuti
beberapa lokakarya dan Festival Internasional di beberapa negara, seperti lokakarya
teater di Filipina pada 1980, International Writing Program di Kampus Iowa, Amerika
Serikat pada 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda pada 1984,
dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada 1985.
Emha Ainun Najib menikah dengan Novia Kolopaking, seorang aktris dan vokalis pada
tanggal 22 Maret 1997. Pernikahan mereka dikaruniai 4 (empat) orang anak, yakni
Ainayya Al Fatihah (alm), Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah
Rampak Mayesha.
Saat sebelum menikah dengan Novia Kolopaking, Emha pernah menikah dengan
Neneng yang selanjutnya berpisah. Dalam pernikahan pertama kalinya itu Emha
memiliki seorang putra yang bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang lebih
dikenal dengan Noe, penyanyi group band Letto.
Emha Ainun Najib yang sering memakai perangkat alat musik gamelan memiliki ciri
khas kedaerahan saat tampil di Luar negeri, membuat Indonesia makin dikenal di luar
negeri dengan kesenian-kesenian daerah dan musik yang unik.
Karena itu, Emha Ainun Najib dapat mengharumkan nama Indonesia sampai ke luar
negeri. Tidak hanya telah mengharumkan Indonesia pada tingkat internasional, tetapi
juga beberapa karya musiknya, pentas, dan karya tulis puisi dan essainya sangat
bermanfaat untuk perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Emha Ainun Najib mulai populer dan dikenal masyarakat sejak merilis ulang single “Ilir-
Ilir dan Shalwat Badar”. Beliau juga dikenal aktif di dunia teater dan sastra sehingga
mampu menelurkan berbagai macam karya sejak 1980-an.
Page iv
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
1980 : Keajaiban Lik Par (bercerita tentang eksploitasi rakyat di era modern)
1982 : Mas Dukun (bercerita tentang gagalnya lembaga yang dipimpin secara modern)
1989 : Geger Wong Ngoyak Macan (bercerita tentang pemerintahan Soeharto), Patung
Kekasih (bercerita tentang pengkultusan)
1990 : Santri-santri Khidir (bersama teater Salahudin dan seluruh santri Gontor sebagai
pemain), Lautan Jilbab (dipentaskan serentak di Surabaya, Makassar, dan Yogya).
1992 : Perahu Retak (tentang zaman Orde baru Indonesia dengan situasi konflik pra-
kerajaan Mataram), Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, dan Duta dari Masa Depan.
2008 : Tikungan Iblis (dipentaskan di Jakarta dan Yogyakarta bersama Teater Dinasti)
2012 : Nabi Darurat Rasul AdHoc (bersama Teater Perdikan dan Letto)
2011: Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (menulis skenario film bersama Viva Westi).
Page v
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
1994 : Markesot Bertutur Lagi, Gerakan Punakawan, Indonesia Bagian Penting dari
Desa Saya, Sudrun Gugat
1995 : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Budaya Tanding, Titik Nadir Demokrasi
1996 : Opini Plesetan, Surat Kepada Kanjeng Nabi, Bola-Bola Kultural, Tuhanpun
Berpuasa
1997 : Demokrasi Tolol Versi Saridin, Kita Pilih Barokah atau Azab Allah, Iblis
Nusantara Dajjal Dunia
1998 : 2,5 jam Bersama Soeharto, Mati Ketawa Cara Refotnasi, Kiai Kocar-Kacir,
Ziarah Pemilu Ziarah Politik Ziarah Kebangsaan, Keranjang Sampah
2001 : Menelusuri Titik Keimanan, Hikmah Puasa 1&2, Segitiga Cinta, Kitab
Ketentraman, Trilogi Kumpulan Puisi
2008 : Kagum Pada Orang Indonesia , Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha
Ainun Najib
Semoga segala apa yang telah beliau sumbangankan untuk bangsa Indonesia dapat
bermanfaat untuk kita semua. Sekian informasi yang disampaikan mengenai biografi
Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Karyanya.
Page vi
Dicopy dari : Emha Ainun Nadjib Official Website - Dikelola oleh Progress, Yogyakarta 2023
Page vii