Anda di halaman 1dari 97

Daftar Isi

Judul : Warkop Asoy Mati Dem Asak Top

Penulis: Arif Agung

Disalin Cover: Arif Holy

Editor: Musa Firdaus

Genre: humor

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan pertolongan-Nya sehingga buku esai
jurnalistik berjudul Warkop Asoy Mati Dem Asak Top hadir di tangan pembaca.

Sebagai Pilar Ke-empat Pembangunan, pers telah andil menjaga marwah bangsa, bahkan sejak NKRI
berdiri. Karya-karya wartawan juga ikut mewarnai detak pembangunan negeri ini. Pemerintah
melaksanakan pembangunan, media mengawal agar rencana pemerintah tetap lurus sampai tujuan.

Buku Warkop Asoy Mati Dem Asak Top ini sebuah cermin rupa-rupa kisah mulai buah kebijakan
pemerintah hingga ikon sosial yang menjadi asupan bergizi bagi jiwa dan pikiran. Meski ada satire,
anekdot dan humor jenaka dalam buku ini, goalnya tetap sama: setia pada tujuan.

Saya terus menantikan karya-karya wartawan Indonesia, di Sumsel dan Muba. Tentu kita semua
sepakat, menghimpun pemikiran menjadi buku adalah peninggalan baik dan penting bagi generasi
mendatang.

Musi Banyuasin, April 2023

H Apriyadi Mahmud

Pj Bupati
PERSEMBAHAN

Lebih 25 tahun menjadi wartawan di Jakarta, Palembang, Aceh, Musi Banyuasin, mempertemukan saya
dengan banyak nara sumber yang telah memperkaya batin.

Mayoritas dari mereka menjadi sahabat yang menggembirakan dan menginspirasi.

Terimakasih Pj Bupati Muba H Apriyadi Mahmud, Kadin Kominfo Muba, Herryandi Sinulingga, Ketua PWI
Sumsel, DR Firdaus Komar, Ketua PWI Muba, Kurnaidi, ST, Disbun Muba, Dispusip Muba, Medco E&P,
PDAM Tirta Randik dan PT Ziora Galang Media yang telah mewujudkan buku ini sehingga ada di tangan
pembaca.

Luapan hormat dan tabik untuk para pihak yang baik seperti Ahmad Toyibir, Sunaryo, M Imron, Yudi
Suhendra, Musa Firdaus, dr Azmi, Firdaus l Dine yang terus mendukung penuh penerbitan buku ini.

Di Srimulat ada Basuki, Timbul, Kadir

Mengusir duka menjadi gembira

Sebagai umat yang setia takdir

Manusia hanyalah saksi Kekuasaan Tuhan di dunia

Salam hormat,

Penulis
Membaca Warkop Asoy Mati Dem Asak Top (untuk halaman belakang di bawah foto penulis)

WARKOP ASOY Mati Dem Asak Top adalah warung kopi yang asoy. Umum mengenal asoy dengan arti
asyik, gila, ciamik dan suit-suit lah. Di Sekayu, ibu kota Kabupaten Musi Banyuasin, Muba (+-3/4 jam
berkendara dari Plembang Bumi Laskar Sriwijaya) maknanya beda. Tas plastik, lazim disebut tas kresek,
itulah kantong asoy: serba bisa membawa semua barang dan enak ditenteng kemana-mana. Tas kresek
memang asoy banget untuk membawa lauk, nasi bungkus, duit segepok, hingga kupon BLT hehe.

Saking kesengsem dengan tas kresek yang kantong asoy, saya mewadahi guyonan, kelakar, canda,
pasemon, unen-unen, dan segala yang asoy di sekitar saya. Di Jawa ada guyon parikeno, di Sekayu ada
kelakar suek-suek jadilah.

Dimana dilafalkan dimano oleh Wong Palembang, eh orang Sekayu menyebut dimane. Semua yang
berakhir 'a' dalam bahasa Indonesia 'dibaca 'o' oleh Wong Palembang dan di Sekayu jadi 'e' kayak aksen
betawi. Namun ada beberapa kata dibaca sama baik di Palembang maupun di Sekayu semisal kuda,
dibaca kudo oleh Wong Palembang, begitupun di Sekayu. Bukan dibaca kude hehehe.

Warkop asoy ditopang tokoh Bik Em yang aslinya bernama Mak Mudah ( mak= kayak/seperti, mudah=
gampang), Wak Mad atau madai (madai= bener nih?) dan Mas War yang wartawan ya amplop eh ya
ampun.

Bik Em, adalah tuan warkop asoy yang selalu menampung wong miskin, yang duitnya cekak, yang hobi
ngutang tiap makan. Hematnya, Bik Em berprinsip daripada menambah pusing orang miskin kayak Wak
Mad dan Mas War yang gajinya selalu habis ( seringkali dak gajian ) sebelum bulan baru datang,
mendingan menampung keduanya. Dengan begitu, Bik Em tetap bisa asyik bergoyang seolah dunia
tanpa masalah. Sedangkan Mas War dan Wak Mad bisa makan gratis. Untungnya buat Bik Em? Melihat
orang susah berubah lahap saat diberi makan bikin nalar dan naluri perempuan ini menegang. Bukankah
mengolok-olok, mengkritik juga butuh energi? Haha.

----------------

Arti dan makna (kata, istilah serta peribahasa) dalam WARKOP ASOY

Bagi pembaca yang tidak familiar dengan frasa, kata dalam bahasa Musi ( Sekayu-Muba) disajikan
beberapa arti kata dan istilah di awal sebelum tulisan kelakar Warkop Asoy. Penyajian kata, frasa, istilah
beserta arti dan makna semata demi kenyamanan dan jangkauan pembaca. Kata dan istilah yang
dipaparkan hanya yang ada dalam tulisan Warkop Asoy dan tidak disusun menggunakan kaidah kamus
bahasa.
Arti terjemahan mengacu pada pemakaian sehari-hari warga Muba (Sekayu) terkini. Beberapa istilah
mengalami perluasan makna menyesuaikan konteks kekinian mengingat kenyataan semua manusia
terhubung secara real time di semua zona waktu dunia lewat teknologi internet.

Sejumlah istilah merupakan hasil wawancara dengan tokoh adat Muba DR Yusman Haris (alm) dan H
Rozali Harom (alm) pada kurun waktu tahun 2005-2008. Beberapa makna kata dan istiilah juga
menyesuaikan perilaku, kebiasaan generasi mutaakhir sehingga mengalami pelebaran makna secara
kontekstual.

Selamat membaca

Penulis.

A.

Abang: merah, Abang bibo,: pemulas bibir, Bibo abang: bibir merah

Ambek: ambil

Ade: ada

Andam: parah

Ajo: ajar. Diajo, diajar. Bajo, belajar.

Ansab, Angsab : payah, merana, meradang

Antan, Antanan: urusan. Suek Antanan, Bodo amat.

Agek, gek : nanti

Alangke: Alangkah

Ape, ngape: apa, kenapa

Asek: Seolah

Anyot: tenggelam

Awak: kamu

Ayo: air, beayo-ayo, basah, main air. Kayo: ke sungai (musi).

B.

Bak: Bapak, Bak ngen umak: bapak ibu

Balak: sial, apes. Boleh balak,: mendapat sial.


Belagak: cakep.

Basing: terserah, asal. Ngomong basing:Asal bicara.

Besok: besar, Besok suap dai mekan= pengeluaran melebihi pemasukan

Bayo, mbayo, mayo, mayoe: bayar, yang membayar. Sape nak mayoe: siapa yang akan bayar?

Bongen: pasir. Main bongen, rekreasi ke pantai

Budi, mudi, tabudi: bohong, berbohong, dibohongi

Bujang : lajang, bujang lapuk, perjaka tua

Buyan: bodoh

Busik: main, bermain. Busik lore, bermain-main, bersendau-gurau

Buntu: bokek, kosong, tak punya ( uang). Buntu akal: tak bisa berpikir

Berasan: mohon bantuan, minta tolong

Beno: benar

Bibo: bibir

Boleh: mendapat

Boyok: bokong

C.

Cagak: tegak, berdiri

Calak: lihai bersiasat, sok pintar

Carek, secarek: cara, secara

Ceto : jelas

Cugak: kecil hati, kecewa

Cuko: kuah pempek

Cuko para: airpempek

Cumbam: muka masam

D.
Dan: dahan

Dak, idak: tidak

Dem: sudah

Dengen: adem, tenang banget. Ai dengen dem cair TPP: Ai adem habis cair tunjangan penghasilan.

Dewek: sendiri

Dian: durian

Dingen: dengan

Dughai: duri

E.

Endak, hendak: ingin, mau

Ejang, ngejang: curang, mencurangi

Enggan: tak sudi, tak mau

G.

Galek: segala

Galak: mau, sering. Galak makan, suka makan. Galak pening, suka/ sering stres

Gunek: guna

Gancang: cepat. Gancanglah sukak: cepatlah ke sini.

H.

Hal: masalah. Namek hal: ada masalah apa

I.

Idop: hidup

Igek: juga

Ije, berije: usaha, berusaha

Ikak: ini

Irup: hirup
J.

Jaku: ujo ku, kataku

Jat, jahat: buruk, jelek. Jat akal, pikiran jelek.

Jela: iya benar. Jela beno, benar sekali.

K.

Kalu: barangkali

Kade, dakade, kadedak: gak ada, gak kan ada, pastilah. Kade ku mudi, nggak mungkin aku bohong.
Kadedak pening kawan tu, pasti puyeng kawan itu.

Kapak, kapakku, dikapak: tikam, kutikam, ditikam

Katik: tak ada

Kerne: karena

Kendak: kehendak

Ketui: ketahuan, terlihat.

Kitek: kita

Kudo: kuda

Konop, bekonop: main belakang, bersiasat

L.

Ladas: puas

Lade: telah ade, sudah ada.

Lale, melale, nglale: menoleh

Lapo: lapar

Laju, melaju: lanjut, sikat, berjalan. Dee jangan basing tetah. Lajuke nian gek: jangan banyak omong
sembarangan, kusikat nanti.

Lali: lupa
Lemak: enak, nikmat

Luwat, meluat: kesal, jengkel

M.

Malak: bosan

Manak: mumpung,

Maseh: masih

Mak, mecak, pecak: seperti

Mangken: maka

Madai: masak, sungguh, serius. Madai suek sen awak sugih. Masak ( sungguh, serius) nggak punya uang,
kan kamu kaya.

Mane, kemane: mana, kemana

Mekan, rai: wajah, raut muka

Mecot: ingkar. Dak olah mecot, selalu oke, suceng.

Men/mon: kalau. Men aku, kalau aku

Milu: ikut

Mikut: terikut

Melok, tepelok: ikut, ikutan

Mikak, mak ikak, mak ini: begini

N.

Nak : akan, mau

Nga: kau

Ngape: mengapa, kenapa

Ngelik: lihat

Ngen: dengan

Ngentol: numpang. Ngentol idop, numpang hidup

Ngate: ngejek
Njuk, ngenjuk: memberi

O.

Olah: pernah. Dak olah, tak pernah

Oleh: boleh, mendapat, karena

P.

Pacak: bisa

Padek: hebat

Pakam: mantab

Pecak: seperti

Pulek: pula, juga

R.

Raga: agak

Rami: ramai

Rasie: rahasia

S.

Same: sama

Sare: sengsara, parah banget

Saje: sengaja, dak saje tidak sengaja

Sen : duit, uang

Sek: kan, sek die tahu, kan dia tahu

Selak; doyan, lahap

Sego: susah

Suek: tak ada

T.

Tabik, setabik: hormat, Tari Setabik ( tari sambut khas Muba) dipentaskan untuk menjamu tamu
terhormat.
Tangeh: jauh, mustahil, susah. Masih tangeh awak jadi bupati, masih jauh kamu jadi bupati

Tagan: bandar, pasangan

Tapan: wadah, tempat

Terti: mengerti

Teka: hingga

Telaboh: terjatuh

Tido, tiduk: tidur

Tubuk: aku, saya

Tujah: tusuk

U.

Ujo: ujar

Ulo, ngulo: makelar, mendapat dari

Ughang, wang: orang

Unde, ngunde: bawa, membawa

SATU

Telaboh di Lobang Same: Monumen Kegagalan

Dang asyik tidok panas, Bik Em seketika telaboh, tejungkal lalu tegak dewek. Idak sakit, malu bae lah tue
masih mimpi anu. Ia rupanya sedang bosan. Hari itu Warkop Asoy miliknya sepi sejak pagi hingga siang.
Tak mau tua oleh sepi dewekan Bik Em minom ubat tidur. "Sape tahu mimpi warkop ku rami pembeli,"
doa Bik Em sebelum melingkar di amben.

Yang lebih nyesek, saat tebangun dak saje, eh munyi pulek siaran radio yang raga tau perangi die.

“Hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama”.
"Aii, ngate ku pulek barang rongsok kak," Bik Em nak matike radio tapi masih ungau. Radio berterus
munyi..

"Pepatah ini mengandung makna bahwa dalam hidup, kita harus belajar dari pengalaman, hanya orang
bodoh yang mengulang kesalahan yang sama. Bikin panas kuping dan satire memang, tetapi faktanya,
banyak orang melakukan kesalahan yang sama, berulang kali karena malas mengambil pelajaran dari
kesalahan."

"Dem ai meluwat nia nga radio! Nga kak mesin ape manusie? De dulu, bukan omongan itu! "

Entah apa masih mimpi atau ngigau dalam tidur namun itulah kelakuan Bik Em, marah, tak henti
merepeti benda mati. "Dikateke barang suek nyawe, nga pacak munyi. Nah besokku nia nga suare!"
Sekali lagi, entah Bik Em dang tidur atau mimpi. Bukannya mematikan radio tapi justru membesarkan
volume suara.

"Dunia juga di Indonesia punya ribuan monumen demi menghormati jasa perjuangan para pahlawan.
Monumen dibuat untuk misi olahraga, sejarah, politik, sosial, geografis, budaya, dan ekonomi.
Monumen selalu berisi peringatan atas keberhasilan dan kemuliaan. Pendengar yang budiman, jarang
kita menjumpai monumen yang memperingati kegagalan, kekalahan, dan kebodohan. Padahal sebuah
kekalahan dan kegagalan justru lebih banyak dijumpai daripada kemenangan dan keberhasilan."

Bik Em mulai sadar sepenuhnya dari tidur. Kesialan dan keadaan warkop nya yang sepi seolah mendapat
amunisi buat pelampiasan. "Nah ikak iye, mulai menarik mulut bibik radio kak. Yang gagal monumen ke
pulek. Lajukelah!"

"Namek Bik raga semangat nian. Hari la nak petang, kopike dulu kalau," Tiba-tiba Mas War datang,
duduk persis depan mekan bibik kitek.

"Oi Mas ambek dewek men nak minom, makan, gratis galek harini. Kepalang suek pembeli dari pagi.
Lajulah ku nak nyimak radio."

Siaran radio makin tajam berisi.

"Kita berusaha mengangkat apa-apa yang baik, tanpa pernah mengingat yang buruk. Kita dimanjakan
dengan keberhasilan semu, dengan hadirnya banyak monumen. Tapi tahukah pendengar, kegagalan
pembangunan, kekerasan seksual terhadap anak, kemiskinan akut yang terus meningkat, dan kini di
depan mata, menjelma peristiwa besar di negeri ini. Bukankah ini yang patut kita monumenkan?"

"Nah Bik brentilah. Matikelah radio tu. Dak lame lagi pasti penyiar tu nak ngateke tubuk.”
"Nee.. Mas terti ape nga, raga pakam. Dengo ye, mengenang keburukan tu bukan berarti ndak ngulang
dan mengagungkennye. Tapi sebagai bahan renungan sekaligus koreksi mangken tak jatuh di lobang
same. Paham?"

"De ao basing nga Bik. BTW, nian ape gratis galek makanan minuman hari kak?"

"Nah dinjuk gratis nanye. Untung ku manusie pacak njawab. Tepeci nga nanye gedung serba guna ape
rumah pintar lokak pening."

"Nah kan, nah kan, Bik stop, stop brentilah ngateke ughang!"

Wassalam..

DUA

Milu Menang: Ikut Hore

Bomi guncang kerne Bik Em ladas begoyang. Nak aghai angat, fajar, petang, nak lampu padam,
benderang, pokok Bik M dak brenti goyang.

"Namek kabar Bik, raga gembira, ape dang milu kontes goyang tige aghai tige malam?

“Aiii kendaklah wong, Mas War. Nak milu mikir bomi gek pening bae, sek ku dak terti ujung pangkalnye
kemane. Nak milu naek gerbong palak masinisnye dak kenal. Taruklah kenal, gek dak pulek agam. Pingin
tawe takut diomongke gile. Tapi kalau sedih gek ujo kawan dak tuju. Dem lah, mare. Yang pasti ku idak
ganggu ughang. Lemaklah begoyang sek boyok-boyok ku nia!” ucap Bik Emsante pecak dak suek yang
ngutang.

“Alangke dalam omongan bibik kitek, Wak Mad. Ngelik mekannye jela beno die kak dak suek perhatian
lagi ngen tubuk,” simbat Mas War

“Ai lemakla tu, Mas. Retinye kitek bebas ngembat kacepan, pempek dll-nya tanpa takut masuk itungan
bon,” sante pulek Wak Mad komentar.

“Hehehe, akor Wak. Tapi payo mulut bae ngentam pempek tu. Kade kantong baju milu makan. Njuk
minum pulek kantong tu. Mada’I saku kecik maktu penoh nia pempek!” ledek Mas War sambil nyoroke
ayo bono ke saku Wak Mad yang penuh ngen pempek.
Kelakar Mas War tedengo oleh Bik Em. Bibik kitek spontan brenti goyang dan langsung ngegas. "Oi kamu
bedue ladas nia makan. Gaya cak Sultan kasnye cawa bae. Melantak pempek cak juragan ternyate
ngutang. Plis, boleh ngebon asak dak banyak tingkah."

Demi mendengar auman Bik Em, bomi Warkop Asoy adem, tentram, tanpa huru-hara, hening seketika.
Namun justru karena tenang, sepi tulah laju Mas War dan Wak Mad linglung. Selu, dengan gaya
pantomim, tanpa bunyi kedue sohib tu diam-diam ngantongi segalek makanan ke dalam saku baju dan
celane. Bik Em yang merhatike kelakuan due kanti buntu tu senyom di kolom. Akal malaikatnye nimbul.

“Nah nga bedue, mentang ku dang asyik laju dak mandangku lagi ek! Ape nga pikir ku dak paham namek
gawe nga! Mun idak ngutil, ngebon, pastilah ngurumpi,” sergap Bik Em.

Kedua karib itu hendak menjelaskan duduk masalahnya,namun Bik M buru-buru memotong.

“Dak usahlah kalian ngomong, ku la tahu mun nga tu dak tuju ngen ku. Dak ape, ku bae yang peduli
dengan dirimu. Oi dem dasar nasib wong baik hati. Yang penting tubuk pacak nuruti kendak ati dewek
jadilah.”

“Ngape mitu Bik?” tanye Mas War dan Wak Mad barang.

“Nak tahu bae ape tahu nia? Mikak lah ketui, la ceto galek, la terasek iwaknye. Palak pasar kitek carek
mimpinnye asoy, perhatian, galak busik lore, galak ngandon tempat wong miskin. Teka warungku boleh
cipratannye pulek. Segalek yang nga makan la dem bayo galek, lade yang mbayonye. Kak nah carek milu
menang!”

“Aih Bik ujo idak milu urusan dunio. Ngomong idak kenal palak pasarnye, dak tahu ujung pangkalnye
ngape laju dak konsisten tu!” kesal Mas War bertanye.

“Aiii payah nia ngomong ngen wang buntu. Dee cak-cak milu rami bae. Makanlah bae. Dinjuk makan
gratis kok pening. Biarlah uwong bae mas pening. Kamu ladas-ladaske bae.”

Begitulah Bik M, tuan warkop asoy ini selalu agam menampung wong miskin, yang duitnya cekak, yang
hobi ngutang tiap makan, yang dak paham urusan dunio oleh akalnye buntu. Daripada nambah pusing
lihat orang miskin kayak Wak Mad dan Mas War yang gajinya ludes duluan sebelum bulan habis, Bik Em
memilih sok asyik nampung keduanya makan sambil cari hiburan.

Wassalam..

TIGA
Suek Hal: No Problemo

Bik Em memandangi Mas War yang duduk di pojok kursi Warkop Asoy. Dari cara duduk dan
penampakan wajah yang tertekuk, sesuatu nampaknya sedang melanda Mas War. Ditambah gesture Bik
Em yang kalem makin jelas ada beban menindih lanang itu.

"Jangan dak dubah carek bepikir tu. Mudah nia nga klebu men suek pandangan, lemah, cuek apelagi
pesimis. Jaman mikak, banyak wang ngajak klebu. Sekali nga nyebarke hal buruk saat tulah galek yang
buruk datang," jo Bik Em kepada Mas War.

Tak ada respon dari Mas War. Bik Em tak menyerah. Segelas kopi disodorkan kepada tamu sekaligus
pelanggan tetap Warkop Asoy.

"Mas, kamu harus membiarkan hal-hal positif membimbing kamu, bukan yang negatif. Jangan biarkan
dirimu berkubang dalam perenungan pesimistis. Berhentilah mencari berita buruk atau melebih-
lebihkan yang negatif. Ganti pikiran negatif dengan pernyataan positif tetapi realistis yang menginspirasi
kamu untuk mengambil tindakan. Singkirkan pengaruh negatif."

Mas War tak bergeming. Ia makin tertunduk, duduk nyangkung bagai patung. Wajahnya terjepit di
kedua pahanya. Kopi tak diminum. Pelan Bik Em menggeser duduk, mendekati lanang yang menurutnya
sedang dirundung malang.

"Mas, agar idop tenang, sebarkelah kebaikan dan belas kasih. Mulai dari yang kecik. Itu akan ngasilke
kebaikan, yo buat wang lain apelagi buat nga dewek. Aku nah, oleh neman meluruh Wak Mad, nga, idop
terasek nikmat, bahagia. Mudah Mas men galak. Senyum, nraktir, mbayo utang, rajin nyicil. Asal itu
dilakukan maka energi positif datang. Perhatikan energi yang kamu pancarkan. Jangan berharap bisa
menarik energi baik bila kamu sendiri lebih sering mengeluarkan energi negatif. Maka dari itu mulai
perhatikan energi yang kamu pancarkan. Apakah memancarkan rasa damai, tenang dan bahagia? Atau
apakah kamu lebih emosi dan penuh kesedihan? Fokuskan energi kamu pada hal-hal yang positif."

Entah apa yang terjadi. Bik Em hari itu nampak sangat peduli dengan keadaan Mas War, pelanggan setia
yang lebih sering ngebon ketimbang bayar kontan. Mas War setali tiga wang. Lanang tu terkenal banyak
bicara, mulutnya senantiasa lincah, tapi hari itu ia membisu. Tubuhnya lunglai. Hanya sekali gerakan
terjadi. Usai duduk nyangkung kini dia setengah miring, tubuhnya tersender di dinding warung.

Untungnya Bik Em selalu berlebih energi. Ia membuka HP, membacakan sekian kata motivasi untuk
kebaikan Mas War. Bik Em pun menyalurkannya terus ke Mas War. "Energi positif penting disalurke.
Niat, pikiran harus baik mangken ngasilke perbuatan baik. Energi positif sangat membantu mewujudkan
cita-cita. Misalnya, jika ingin naik pangkat, bergaullah secara intens dengan orang yang sudah naik
pangkat. Energi positif secara otomatis akan mengimbas ke kitek. Jika ingin sukses dalam usaha,
belajarlah secara intens kepada mereka yang sukses. Jadi, untuk menarik energi positif, kita harus
berpikir positif. Caranya: kita harus yakin, memiliki kemauan keras, semangat tinggi dan rasa percaya
diri. Energi yang baik dapat meningkatkan perasaan bahagia, menghilangkan perasaan cemas dan
meningkatkan komunikasi. Sementara energi buruk menghasilkan perasaan perselisihan, konflik, dan
bahkan kebencian. Maka dari itu penting sekali untuk menarik energi yang baik dan menolak yang
buruk. Energi negatif dapat mengganggu perasaan bahagia dan menguras kepuasan kamu. Mungkin ada
orang-orang di sekitar yang meracuni kebahagiaan kamu secara keseluruhan, dengan kritik terus-
menerus yang menjatuhkan atau malah mendapati diri kamu mengikuti kebiasaan buruk mereka."

Tiba-tiba Wak Mad nyale tuk melihat ketelatenan bibik warung kepada temannya,"Luar biasa. Ai
bolehlah nga Bik. Sabar, perhatian, telaten nia ngen Mas War. Aku nah nuntut die dari seminggu getang.
Kilo kulu nuntut die kak. Wajar nian men sekarang tidok ngedur, " Teriak Wak Mad yang mendadak
nongol di depan Warkop Asoy.

"Tidok? Ai bebeno Wak. Jingok nah, badan layu, suek tenage, teduduk, teseler di sikak. Kalau sakit die
Wak?"

"Suek suek sakit.. Men sakit ati ao."

Bik Em penasaran. Ia sudah pidato panjang lebar kerne peduli. "Madak i Wak tidok die. Oleh kecapekan
ape? Mindahke gunung, ngedok waduk, ape ngecat langit?"

"Bukan galeknye. Die dang bajo nyebar kebaikan. Die lah seminggu beno pidato siang malam jualan hal
baik. Dang mikak die dicari banyak pejabat, plisi jugek jaksa. Nasehatnya dikagumi, Mas War pacak bikin
baik suasana lebih-lebih dari pesulap. Ini nah pesan berantai yang bikin Mas War kondang. Kalimatnya
dikutip banyak nian kalangan. Ikak contohnye. Wak Mad menyodorkan HP. Tulisannya, "Di dalam tubuh
kita tersimpan sumber energi yang tak terbatas. Setiap energi yang keluar dari tubuh kita, baik energi
positif maupun energi negatif-tidak pernah hilang dari muka bumi ini. Jika energi positif yang keluar
maka yang akan kembali adalah energi positif. Sebaliknya, energi negatif yang kita pancarkan akan
kembali ke kita juga. Menolong orang lain yang sedang memerlukan bantuan membuat tubuh kita
memancarkan energi positif yakni tindakan positif berupa kebaikan. Energi positif kebaikan ini tak akan
hilang. Ia akan kembali. Meski ini bukan jadi prioritas ; karena menolong maka kita berharap ditolong di
lain waktu. Bukan. Namun energi kebaikan toh akan memancar ulang. Bentuknya bisa sama, akan
datang pertolongan ke kita, atau kebaikan dalam bentuk lain.Perubahan bentuk energi positif/ kebaikan
tadi bisa berupa ketenangan jiwa, keselamatan hidup, kebahagiaan hati, penghargaan dari orang lain
dan bahkan pahala dari Tuhan."

Bik Em menelan ludah. Ia sangat akrab dengan isi pesan di HP Wak Mad. Itulah deretan kalimat yang ia
baca setiap pagi untuk pedoman tindakannya. Ia sungguh tak menyangka, kalimat itu ternyata tulisan
Mas War. Ia tak terima, perasaannya campur aduk, malu-malu marah. Ia gebrak meja hingga Mas War
bangun tiba-tiba.

"Marah itu mengeluarkan energy negative. Seperti sifat energi yang bakal kembali ke kita, di saat kita
memancarkan kemarahan yang bermakna energy negatif, sungguh kita sedang memberikan kesialan
dalam hidup," kata Mas War santai sambil mengelap kedua mata. Pelan, Mas War neguk kopi di
depannya.

"Saya berdoa untuk semua pelanggan Warkop Asoy, pengemis dipinggir jalan, anak sekolah, tukang
sapu jalan, nak yatim-piatu yang sangat membutuhkan bantuan, para pemimpin, tuan warung makan,
tuan Warkop Asoy, agar selalu dilimpahi rejeki, tetap sehat, mendapatkan kenyamanan, hidup lurus,
selamat fi dunya wal akhiroh. Makasih nian Bik nasihatnya. Walau itu boleh ngulo dariku tapi jelas kamu
lulus telah menyebarkan kebaikan. Tapi men galak nian jangan mace pesan tulisan bae. Gek kuajo nga
khusus soal energi kebaikan ini."

Bik Em langsung balik kanan, masuk ke dapur Warkop Asoy. Ia duduk, buka HP dan menulis pesan: entah
jin apa yang sedang merasuki lanang tu!

Wak Mad dan Mas War senyum bahagia di deretan bangku Warkop Asoy. Wassalam..

EMPAT

Mpod-empotan : Orang Bodoh yang Pintar

Bik Em, santai di warkop asoy miliknya. Siung Pemkab Muba baru menguing, tanda jam istirahat kantor
tiba. Alamat tak lama lagi para pegawai negeri jajan ke warung Bik Em.

"Mumpung masih sepi, sendirian tanpa pelangganan, kitek nerai alat podcast anyar. Tes, satu-dua-tiga,
check low, check hi....dang mikak banyak wang lum terti bahwa orang bodoh itu ternyata pintar. E..
ehem... tes, satu-dua-tiga...wang bodoh cuman sikok sebabnye yolah oleh enggan bajo. Sebab bajo tu
sukar. Wang yang menghindari kesukaran berarti pintar. Jadi orang bodoh ternyata pintar.... "

"Kalau orang yang tak mau mikir Bik?"


"Ah jaran, kudo, ai Mas jangan ngageti. Muncul tanpa ba bi bu langsung ngomong. Temesan nian aku
Mas."

"Hahaha... Ku nak siaran podcast pulek Bik."

Tanpa aba-aba Mas War yang mendadak nongol langsung maju depan mikropon. "Kamera la on, bik?
Sound, oke? Baiklah. Nah Bik, kalau orang yang disuruh-suruh melakukan a, b, c, laju galek masuk
kategori pintar atau bodoh?"

"Ai Mas. Yang makini masuk golongan wang batuah.

" Ngape mitu? Bukannye die same be suek prinsip? Batuah pe die?"

"Nah... Nga nanye, kunyawab laju protes, panamek maksud. Jadi makini Mas. Sampeyan mikir dak kalau
wang ngebon tiap hari, makan, minum sampai kenyang tapi ngutang terus dak olah tepikir nak bayar-
bayar itu lemak? Oleh idak mikirke bayar hutang, hidup Mas War nyaman kan, beruntung kan, senang
kan. Ape dak batuah namenye. Paham kan? Mas senang, gembira kan? Jangan ao, ao bae. Cubo kalau
sekali be kamu tu tepikir bayar hutang, pasti pening. Benar kan? Jadi Mas tu mikir dak? Idak? Pantesan
senge terus, tawe terus. Kerne kamu tu dak olah mikir. Belanje sembako mahal, minyak naik terus,
sampeyan ngutang dak dem-dem. Aku nah mikirke modal pening."

"Yo santai bae Bik. Men pening istirahat, tutup atau rekreasi, healing, main bongen ape busik ke Musi."

"Namek, istirahat? Nga nak makan ape? Suek warung laen galak nerime nga ngutang. Nah ini kan bukti
idak mikir. Santai, basing tetah. Tulah sampeyan nian Mas!"

Bik Em dan Mas War saling jawab saling kontani, tegas dan keras. Kedua penjual dan pembeli itu saling
teriaki. Bik Em ngegas, Mas War mantah. Keduanya bertengkar hebat sampai nangis tejerit. Kedatangan
Wak Mad pun tak mereka hiraukan. Namun Wak Mad dak kurang akal. Ia pun teriak, keras dan lantang.
Mekik-mekik sampai nyemulung bombai.

"Huwaaa....Jadi Bik, kalau Mas War tetap santai dan menganggap semua yang diperintahkan kepadanya
tak ada masalah. Brati die bijak, nurut, baik hati dan tidak sombong. Sare Bik nuntut manusie makini
jaman sekarang. Tergolong langka. Mas War layak diusulke ke Madam Tussaud mangken dibikin patung
lilin. Huwaaa..."

Mendengar Wak Mad yang nongol dengan teknik muncul mencuri perhatian, Mas War dan Bik Em diam
seketika. Keduanya bingung tiba-tiba muncul manusia nangis mekik-mekik tanpa alasan jelas.

"Lah yek. Ternyata mudah misahke wang berantem sampai nangis. Ku cak ecak nangis laju mereka
brenti nangis. Hahaha."
Melihat Wak Mad hadir dan sok pintar, Bik Em yang sempat bengong sesaat tadi nambah gas. "Jadi,
kalau mau santai dan tetap merasa nyaman, jangan pernah berpikir, pasti untung. Cuek bebek lah maka
kalian bungah. Di kehidupan sosial sekarang banyak yang cuek: disuruh ke kiri atau ke kanan oleh si
angon bebek tetap laju, merasa aman dan nyaman. Hoi, kalian, Mas War dan Wak Mad, terti Kamus
Besar Bahasa Indonesia? Tahu arti cuek? Sebelas due belas macam nga bedue tulah. Yolah, yang masa
bodoh, acuh, tak peduli, dan tak mau tahu urusan orang. Apakah sedang pening, buntu atau lapang."

"Ai Bik, jelek-jelek makini aku ni juara bertahan. Bertahan dai godaan dan dari uyokan. Kamu tu belajar
yang tuntas. Masakke nian ilmu tu. Di kelas nian belajar, jangan di warung buruk makini. Masa bodoh,
cuek itu sekilas memang negatif, jelek. Tapi aku ni oleh cuek dan masa bodoh dak olah mikirke wang lain
termasuk kamu ade rahasianye. Pernah dak aku nanye berape hutang? Pernah dak janji-janji nak bayar?
Idak kan? Aku tahu kalau nanye pasti kamu pening. Saje ku nian dak galak ganggu kamu, dak galak nian
tahu urusan kamu mangken idak merugike kamu, paham?"

Wak Mad diam. Bik Em nahan komentar. Ia merasa kesal tapi malas manjangke urusan. Hubungan
ketiganya, penjual dan pelanggan ini memang kerap angat-angat tai ayam. Kadang angat kadang cair
nian. Bik Em nyeduh kopi untuk memecah suasana. Ia menuju meja podcast. Kamera on, sound oke.

"Ini kopi spesial. Untuk mencapai manis tak perlu roasting green bean ukuran dark. Cukup light atau
light to medium. Juga tak perlu kompor membara pol hingga didih air 100 derajat up. Agar dapet seger,
harum, fruity, asem dan karamel juga tak harus ngoyo nggrinder sampai halus kayak bubuk. Ukuran
butiran pasir cukup. Suhu didih 83 sampai 90 derajat celcius sudah sip."

Tak mau kalah Mas War mendekati Bik Em. "Emm. Emm... Test check low, check hi, satu-dua-tiga... Asak
jangan neman rajin ngitung duit wang laen idop pasti ceria berbunga-bunga. Di segelas kopi arabica
wine Semendo ini ada semua rasa. Begitu mudah cara Tuhan bikin kita memujaNya.... Tes satu-dua-
tiga... Barokahnya nggak pernah mikir saya santai dan tak menganggap ada yang salah. Oke? Oke..?
Semua suka?!

Wassalam.

LIMA

Nuntut Kanti: Pansos


Mas War nekat menerobos Warkop Asoy. Sekali lompat deretan bangku dan meja terlewati. Kakinya
langsung nrajang pintu warkop, gubrakk! Sekali tendang jebol. Ia bergegas masuk, Bik Em tak ada.

Persis kelakukan Mas War, Wak Mad pun jumpalitan, salto demi mengejar Bik Em. Keduanya galau, dua
cs-an ini cinta setengah mati. Mereka 11-12 balapan menyatakan cinta kepada Bik Em, bos Warkop Asoy
yang barusan menang pilihan palak pasar. Pokoknya nak nikah samo Bik Em. Palak pasar yang sedang
randik-randiknya. Sen ade, jabatan dapat, tongkrongan nyaman. Inilah alasan kedua lanang itu cinta nak
matilah dengan Bik Em.

"Tak tau diri, tik aguk, nglunjak. Dak pacak dinjuk rai nian. Awak pengangguran!"

Itulah puncak komunikasi yang terjadi antara Bik Em-Mas War-Wak Mad. Setelahnya, adalah berita tak
sedap. Video Bik Em kemek di talang viral. Bik Em yang baru itungan bulan makai jengkol tanda pangkat
palak pasar meradang. Ia melawan balik.

"Kemek ku nian, talangku nian. Ngape nga mideoke nyebar ke pulek. Harga diri saya kini tercoreng. Dem
tu pasal ikak la bahas tuntas. Katik masalah lagi. Ngape nga bedue tega nyebarke. Ku tau tabiat kalian
yang sok susah payah mbantuku, datang usai jalanku jadi palak pasar tinggal nunggu waktu. Kuhargai
itu. Wahai pahlawan kesianganku, srigala berbulu domba, maaf aku gak bisa nerima kalimat i love you
mu untukku. Bye..."

Japrian Bik Em itu sampai ke meja sekuriti pasar induk. Berbarengan dengan aduan Mas War dan Wak
Mad yang dlayangkan kepada kepala hansip pasar yang dipimpin Bik Em, palak pasar debutan.

"Lah. Men soal cinto berasan bae. Jangan siru nian mecak perkara kriminil begini. Mada'i pasal cinta
ditolak laju nrajang galek aturan. Nak ngebuk mekan lawan laju ancur sepasar-pasar angat. Cinto mati
bawak lah sampai mati tapi jangan matike jalan ayang yang menolak cinta kalian. Dee,..lanang letoy,
memalukan."

Itulah jawaban kepalak hansip kepada Mas War dan Wak Mad. Perkaranya jadi gamblang dan
benderang. Inspirasinya jelas, latarnya juga ceto. Cinta ditolak, video kemek di talang diviralkan.

Bik Em duduk santai di Warkop Asoy miliknya. Ia berdendang riang sambil ngelap jengkol tanda pangkat
jabatan palak pasar. Bibonye yang abang makin cetar. Ia buka HP, isinya... "Mas War dan Wak Mad
buron. Selain lari dari kejaran aparat keduanya juga lari dari kenyataan. Kedua csmu kena pasal
menyebarluaskan Uneg Uneg Ide Terlarang."
Bik Em bersiul.

Wassalam..

ENAM

Akal Kidas: Si Dungu Bernyali Abal-abal

"Ai gile nian. Rubuh ku Mas!"

"Jadi, barape nian abes?"

"Banyak Mas."

"Banyakke ape?"

"Ai susah sebutnye gek temesan. Mane nga dak terti di sen."

"Nah dem, awak yang teriak sare. Ujo abes galek harte. Susah berurusan ngen wang kurang kak.
Batindak tu makai ikak (nunjuk dahi) same ikak (nunjuk dada). Nyali ade men itungan matah lokak klebu.
Sebaliknye itungan masuk men suek nyali idak jadi barang tu. Nga jangan-jangan, lah dak pandai
berhitung, nyali kambing pulek."

Mas War kesal. Ngopi belum, eh. Bik Em sudah bikin gara-gara. Padahal, Mas War langsung datang
ketika Bik Em japri: Mas, dimane. Sikaklah. Penting.

"Galak nian ngurungke gawe. Tubuk nak matilah becepat sikak. Aii kasnye kene kolah bae. Dem, ilang
galek laju tajuran."

"Ai Mas. Gaya nga kak. Namek sek ilang? Ngurungke gawe? Gawe ape nian nga? Awak pengangguran.
Ngulo tula pacak."

"Bik buruk-buruk mikak, ku ade gaji. Sudah tu nga kan manggilku. Kopi ape, pempek ape. Bukannye
njamu tamu tapi malah ngate."

"Oi Mas. Ikak ni warung bukannye panti asuhan. Mbayo men nak ngopi."
"Lah ao, tapi nga kan ngundangku dalam hal ikak. Tamu brati dang mikak ku tu."

"Aish, suek suek Mas."

Dalam kondisi obrolan panas, Wak Mad datang. Tanpa pandang situasi, lantang bicara, "Ada barang?
Hehe, kak nah sen. Bik, kopi segelas. Pempek tolong yang angat-angat. Mas, kamu santai bae, bibik kitek
masih menerima hutangan terkhusus buat kamu."

Mas War dan Bik Em diam. Mau marah tapi itu Wak Mad yang otaknya kurang. "Yolah Wak. Lemak nian
wang mecak kamu. Dak olah pening. Beruntunglah meski se canting kurang mon dang mikak," Bik Em
tak kuasa menahan kesal.

"Lho, what happened Bik? Nga raga esmosi seolah dak dapat jatah lemak?" Hehehe. Kelakar Bik, jadi
namek halnye. You, Nas War kok melamun aja, ada masalah?"

Tak ayal, Mas War pun buka suara. Ia ceritakan dirinya belum ngopi belum makan dipanggil Bik Em.
Bukannya ditawari yang enak eh, justru ditumpahi serapah. Bik Em senada menceritakan gaya Mas War
yang bersih sok hebat padahal dirinya sedang curhat oleh dilanda masalah. "Oh begitu. Oke. Sudah
benderang. Kopi mane? Ai lambat nia Bik."

Lalu Bik Em menceritakan kehilangan modal hingga ratusan juta. Yang bikin kesal pagi bagi uang eh
malamnya justru dicampakkan. "Bayangke Wak. Sikok wang sejuta. Ade wang saratus. Brati lah ratus
juta. Itu sen panjar. Buat ngiket mangken idak mecot. Biar tak mindahke dukungan ke calon lain. Nah
tadi pagi kutambah dobal jadi due ratus juta. Malamnye sikok dak metu suare. Dasar penjahat galek!"

Baik Mas War dan Wak Mad terperangah. Keduanya baru paham kenapa Bik Em emosi tinggi. Jumlah
ratusan juta, uang yang tak pernah terbayang di otak keduanya. Sekali ini dua sahabat ini betul-betul
prihatin dan jatuh iba,”Ya Allah Bik... Balak nian Bik. Kalau boleh tau, namek rencana kamu berikutnya?
Nak melapor, mintek balikke sen atau ade ide lain?"

Bik Em membisu. Kini giliran Wak Mad merayu. "Sebagusnye kitek ambek langkah yang same lemak,
win-win solutions. Jangan gegabah, tak perlu basing trajang. Sebab lapor plisi ikak barang abu-abu. Nah
senianan agek terbongkar gawe salah."

Wajah Bik Em terlihat merona. Bukan merah oleh amarah yang tadi tapi ia merasa tersanjung.
Terpesona dengan perhatian pelanggan setianya.
"Mas, Wak. Terimakasih saran dan dukungannye. Ku tenang nian sekarang. Dan ku lade jalan keluar atas
situasi ikak... "

"Alhamdulillah, bik.. Namek jalan keluo tu?"serempak keduanya antusias.

"Jadi,.. Aku batalke bae rencana tu..."

"Bik....! Batal? Jadi belum kejadian? Masih rencana?"

"Aoo..Wak, Mas. Rencana nak nyalon. Maju jadi raje...de urung baelah."

"Dem, dem... Gile nian nga. Oi besok uap nia nga. Tula men otak korengan."

Wassalam..

TUJUH

Fool Nian alias Buyan: Dungu

Rai ngabang, bibo cetar, mulut monyong. Pagi-pagi Bik Em la meluwing... Antara marah, berdoa, atau
ngumpat dak jelas. Tapi yang pasti tidak sedang kumur-kumur.

"Loyak beno sekali ni. Dak pacak balen nie. Kawan ngaki die bekreto. Turun tebing pulek. Memang
kendak wang tu nie, kene surung mecak ngiring buaye ke lubuk. Mitulah nie lanang. Aii, jangan be
telaboh."

"Panjang pol kamu mreben Bik. Namek halnye. Santai, dakke urung bomi beputar, tangeh ngarepke
matahari nimbul di kidul. De dulu, kak na pelanggan la sejam lum tawari kupi."

Suara Mas War menyadarkan Bik Em. Dia tak menyangka sedari tadi ada orang di Warkop Asoy
miliknya.

"Ya Allah Maaas. Maaf. Dak tahu nian ku nga ade situ?" Namek, kopi ape? Suek ngebon mikak. Dang
buntu!"

"Jadi dak telek? Ape ku patung? Ai pagi-pagi ngajak kerok caknye! Kak nah sen. (Mas War menunjukkan
dompet sambil sedikit ngluoke isi klepe). Kopi susu. Yang panas, manis, kental."
Bik Em geleng-geleng kepala.

"Lain nie carek wang baru boleh sen. Gayamu Mas. Nak mbayo utang ape?"

Warkop Asoy meriah di pagi yang tadinya terlalu cerah bagi Bik Em. Suasana berubah gembira tatkala isi
klepe Mas War penuh lipatan sen kelir abang.

"Waw, cepek galek sen tu. Sikak lime ikok.

Mas War tak mencabut selembar seratusan, tak langsung bayar. Diputarnya, dimainkan layaknya mau
nyawer biduan."

Duit seratus ribu nomplok di pundak Bik Em dan campak di telapak tangan.

"Gile!"

Sambil melipat duit seratus ribu dari Mas War, Bik Em tawe.

"Jadi gini loh Mas. Tadi tu aku dang ngapal dialog buat peran cameo di sinetron yang akan diputar pas
pelantikan palak pasar bulan depan. Meski cuman nongol suaranye tapi ku nak belajar nian, serius nian
mangken penonton pacak tebayang mekan pemerannye. Pacak membayangkan wajahku yang, cantek,
pintar, karismatik. Apa lagi, em.. menawan. Jadi itu dialog dari kamar mandi. Ceritanya saya, Susannah,
name tine tu. Sedang kesal oleh perbuatan suaminya yang banyak duit. Suami tu memang kalau ngasih
uang tidak cemekek an. Buanyak, sekali ngasih belanja bulanan bisa dipakai untuk pengaji setahun."

"Dak masuk akal. Mane ade tine marah ngen laki oleh digaji besok. Aii skenario ape. Jingokan dak mutu."

"Oi Mas, bukan soal enjukan sen belanje yang besok Susannah marah. Taoi oleh hal die sak boleh
kelegho umah. Kan gile."

"Buat ape pulek metu, jalan-jalan ke mall atau kondangan. Kalau malu lanang tu jalan barang nga."

"Susannah Mas. Name tine tu. Bukan ku. Ikak pelam, sinetron. Mas bukan kejanyataan sehari-hari. Ai da
nyimak tapi komentarnya asak mangap."

Akhirnyaa Mas War ndiam. Ia nyerah. Matanya melotot. Mane Bik kopi tu. Sen dambek minum dak
metu. Sigap Bik Em geser tempat duduk di samping Mas War.

"Ai mitu be marah. Dak asyik."

Mas War mengeluarkan laptop. Ia membuka office dan membuka sebuah file. Sebuah naskah skenario.
Ia membaca pelan sambil ketak-ketik. Sepertinya ia sedang menulis atau mengedit tulisan. Mulutnya
komat-kamit.
"Loyak beno sekali ni. Dak pacak balen nie. Kawan ngaki die bekreto. Turun tebing pulek. Memang
kendak wang tu nie, kene surung mecak ngiring buaye ke lubuk. Mitulah nie lanang. Aii, jangan be
telaboh."

Duar! Bik Em nepak meja. "Oi Mas, maling nga. Itu dialog ku. Ku la ngapal saeian ni. Ngape nga
malingnye. Balage kitek. Begoco nie sekali kak.”

Mas War cuek. Ia melanjutkan dialog itu.

"... Duar. Nah selesai beno. Lidah lum kering nga boleh balak . Makmane asek e? Lemak ape lemak
nian??"Mas War juga nggebrak meja. Sekali ini Bik Em neter.

"Kak nah, sumber yang nga apalke. Sajeku nia lewat wang lain ngenjuk naskah tu ke nga. Mangken nga
serius mangken idak nuntut bayaran. Kapan nga tahu soal berape jumlah sen tu, pasti ribut."

Bik Em maluan. Dia baru tahu sahabat sekaligus pelanggan setia nya ternyata sungguh loyal

"Nah Bik, kalimat nga tambah ke dikit beban emosi, terus jelas ngomongnye. Las-lasan jangan kumur-
kumur. Meski dialog itu memang diucapkan dari kamar mandi. Bla bla bla..... "

Bik Em nyaris tumban. Ia baru tahu Mas War ada dibalik stori ini. Dan dia juga kesal sebab ide cerita itu
dari kisah nyata: seorang guru merogol anak muridnya buang masih SD.

"Kireku lame dak muncul oleh sibuk shooting video komedi. Kasnye kene barang lemak. Makmane lemak
ape lemak nian? " Sudah pas lum dialog ku tu. Kuulangi ye, "makmane lemak ape lemak nian?

"De Bik. Aku ke sini baru nak ngomong. Skenario yang tokoh nga tu la dambek plisi. Untuk keperluan
bukti pemeriksaan. Lanang tu nyapu murid oleh dang main sinetron-sinetronan. Eh telaju antu. Mitu
Bibik ku. La tau lum judul sinetronnya?

Fool Nian, atau base kitek Bodoh Pol alias Buyanfull.

Wassalam..

DELAPAN

Masih Mak Lame: Bukan Grup Baru


Taon baru hati lame. Kira-kira inilah kalimat tepat buat menggambarkan suasana hati Bik Em, tuan
Warkop Asoy yang bibonye selalu abang,

"Fare well party uji urung digelar ganti taon tadi," tanya Mas War kepada Bik EM, di pagi cerah 1 Januari
2023.

"Ai Mas, mugola taon baru men tabiat masih mak lame suek gunek."

"Bukan soal suek dak suek Bik. Jangan jauh igo memvonis. Aku tu cuman nanye ngape pesta akhir tahun,
farewell due ribu due due idak digelar."

"Ao,.. Taroklah digelar. Trus namek peran nga. Ape laju noke, jadi bos besak? Per-peran bae kitek. Utang
tu nah. Mada'i taon la baganti bon masih numpuk."

Mas War ngecut. Pelan ngirup kopi. Tangannya meraba pempek depan mekan. Pempek dos nyaris
masuk mulut.

"Oii, inget-inget makan tu. Gek nyapu pempek lime ngaku sikok."

Pempek mendarat ke mulut Mas War. Kaget bin malu tuduhan Bik Em yang selalu benar, ia langsung
menelannya kontan-kontan.

"Nah langsung telannnye pulek. Awak ngutang terus...Pantas bae neman abes jualanku. Dem rubuh.. "

Mas War kalem. Ia kembali meraba tagan depan rai. Ketemu gelas itam. Cepat-cepat diteguknye.
"Waiiiii. Masam. Pedas! "

Bik Em ngikik. Ia terlalu lincah buat Mas War yang kelolodan pempek. Saat itulah Bik Em nuko gelas kopi
Mas War dengan cuko.

Sebuah teriakan dari jauh menggaung. "Oii, tokeku. Namek kabar?"

Dialah Wak Mad, cs Mas War yang kalau dijumlah cuman 11-12 bae bon di Warkop Asoy. "Whats Up?"
Oke galek? Raga serius caknye bahasan due ribu due tige ikak. Makmane, sape kire-kire?"

"Oii jolor. Banyak nian tanye. Sikok bae. Mas War nah, dak abes bahasan. Wat wot, apen apen, lajuke
gek! Sikak kopi nah."

Wak Mad marasa surprise. Tumben Bik Em ramah. Ia melirik kopi yang disodorkan Bik Em dan langsung
di-lheb. "Pih.., masam! "

Kali ini gantian Mas War ngakak sambil kayang.


"Dem kitek sudahi bae bahasan ikak. Kitek undur. Kelah Bik Em senang. Repot beurusan ngen betine
sugih. Ngate dak dem-dem. Tula men suek cita-cita. Taon la beganti hati masih mak lame. Dak maju."
Mas War pamit. Wak Mad ikut bubar.

Bik Em melangu. Cak ada beban berat di palaknye.

"So what? Namek halnye kalau ku masih mak lame. Lum pacak carek baru?"

Wajah Bik Em terpaku di lembaran kertas di dinding warungnye. Ia masati logo di kepala surat. Lalu
menurun membaca pelan nama-nama yang tercantum di nomor urut.

"Kak iye!"

Bik Em menggarisbawahi dan men-stabilo sebuah nama di kertas berkop logo terkenal.

Wassalam..

SEMBILAN

Neman Begantung Manusie: Lupa Tuhan

Mas War menghadapi kopi pagi di Warkop Asoy. Bik Em pemilik warung duduk di balik pintu dapur.
Kepalanya menyembul di jendela, matanya menatap pelanggan sekaligus kanti beribut, Mas War. Bibik
kitek diam menguping kalimat yang disuarakan si pelanggan sepagian sampai siang.

"Bersikap simpati kepada lawan dikira gak tegas. Lembut pada perusak dituduh idak melawan. Tidak
menghukum orang yang memusuhi dicap penakut. Nameklah kendak die...

Padahal, semua hati, niat, sikap itu adalah kekuasaan Tuhan, mudah bagi Tuhan membolak-baliknya.
Yang sekarang kawan besok musuh, yang kini menjahati lusanya baik sekali. Repot beno..."

"Beuuu... Raga lain tetah pagi ni. Lemak ape kopinye, bubuh ape? Nah se ceret nia buat nga. Bila kurang
coroke bae Mas," Bik Em menyapa cak perhatian. Tapi yang disentil cuek.

"Di tengah kehidupan sosial yang serba duniawi, tidak tegas itu boleh, sebab semuanya bisa terjadi
karena Tuhan menghendaki. Tegas karena teliti dalam pengetahuan sangat perlu dan terhormat. Nabi
Muhammad saja ditegur Tuhan dan tak harus tegas sebab semuanya urusan Tuhan, wilayah Tuhan."

"Oi, oi oi. Mas, Mas.. Sadarrr, banguun..!"


"Nah dem kene nian Mas War kak. Ai balak. Mas, kalau dang ketenggoran tolong jangan di sikak. Ikak ni
warung bukannye ape!"

Mas War tak begeming. Ia fokus pada buku yang dibacanya. Sesekali menghirup kopi.

"Wai Bik, dak sie-sie bajo ke Jawe. Mamas kitek mikak lah ngalim mecak ulama," simbat Wak Mad yang
selalu nongol tanpa suara mecak demit.

"Dak ape. Alhamdulillah men mitu. Kireku lah beguyur kene Wak kanti nga tu. Maklum musim kemarau
panjang mikak men dak sabar lokak boleh hal. Dem tu.. "

"Dem ape Bik?" Wak Mad memotong.

"Ciri uhang lah mikir akhirat tu oleh kebutuhan dunio lah penoh. Nah die, sen suek, umah ngontrak,
gawe mane betemu, hutang lum bayo, kade lah mikirke akhirat," tandas Bik Em emosi.

"Jika manusia selalu begantung wang lain alamat dak caye Tuhan. Seolah banda, sen, kegembiraan
didapat karena usaha dewek. Wang mudah komentar gampang betindak basing oleh pengetahuan yang
cetek. Baru dapat sedikit ilmu dikire paling ngetop. Payah Wak, bibik kitek berobah sejak rejeki dan
kehidupannye mapan," datar Mas War jawab.

"Nah munyi lanang ikak. Ai sudahlah Mas, nga baru ngulo ilmu lah cak kepakaman. Dak caye wang laen
sugih, bebas. Idak nak begantung jadi pulek cuman, hebat nia betetah, lurus nia mikir tapi soal sen, soal
hutang idak mikir. Kamu tu insyaf ape lari dari kenyataan!"

"Hahaha, berhasil Wak. Kitek kembali sukses bikin bibik kitek normal. Idak cak sepagian tadi. Duduk,
palak manjang melongok kido kanan, curiga, nak tau urusan ughang. Mikak die lah normal...!"

Wassalam..

SEPULUH

Legenda Molot Minyak: Ngebor Bumi

Pagi-pagi, Mas War sudah nongkrong manis di lapak Warkop Asoy langganan milik Bik Em. Sambil makan
dan ngopi ia masati motor kesayangannya--Honda Legenda-- yang jadi tunggangan sejak 2003. Ia tak
sendiri. Ada Wak Mad yang lagi nego tuan warkop perihal catatan hutang.
"Ambeklah dulu mumpung ku ade sen. Gek kapan lah laku kulunaske galek bon tu bos," tandas Wak
Mad gagah sambil nyengkam pempek dos.

Bik Em ikhlas tapi tak rela. "Mada'i utang berape mbayo berape. Suek taik-taiknye nian ikak," rutuk Bik
Em sembari secepat kilat nyambar sen depan mekan.

"Eh, btw, namek sek nunggu laku tu Wak?"

-Tuh nah.

"Namek?"

-Tu, Legenda Mas War la tawar wang.

Mas War nglale Wak Mad. Bibo monyongnye masih tinggal. "Ngape Wak mulut mengat-mengot tu.
Nunjuk ape, bibo tu sampai manjang? Kuncit gek!"

-Ternyata sodara-sodari, panen di musim kemarau ade nian. Jengok Mas War na. Adem, ayem nunggu
sen datang.

"What? Mbayo utang?" Bik Em girang.

Dua sejawat, lanang tukang ngutang, melongo sambil nyebil Bik Em.

Santai Mas War ngirup kopi. Ia cagak lalu, " la tau lum? Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin,
Sumatera Selatan, baik perangai nian. Dang mikak nak mintek Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral merevisi Permen Nomor 1 tahun 2008. Tau lum itu Permen ape?

"Suek Mas njual permen. Gule ade," sahut Bik Em.

Mas War nyaris teganggu dengar jawaban Bik Em. Tapi ia merasa tak perlu nanggapi oleh die paham
nalar wang tu galak pendek. "Lum tau nian? Yolah tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan
Minyak Bumi pada Sumur Tua terkait dengan maraknya penambangan ilegal."

"Ngape nak revisi?"

"Sebab, lum tau nian? Karena Permen tersebut la ketinggal jaman. Mikak sumur ade ribuan. Ribuan
pulek ughang yang makan. Kami ingin solusi terbaik terkait illegal drilling. Karena ikak nyangkut
perekonomian warga. Lingkungan pun sare kene limbahnye. 7734 sumur dibor oleh dak lagi ekonomis
bagi Pertaminyak mangkenye ditinggalke... "

Pidatolah Mas War panjang kali lebar. Mulutnya berbuih, tangannya atraktif nunjuk galek arah. Teka
kaki milu nunjuk-nunjuk. Mecak badut dang akrobat. Lanang tu menjiwai betul pidatonya. Karena haus,
ia stop bentar. Pas nglale ke motor, Legenda kesayangannya tiada. Bik Em dan Wak Mad pun juga tiada
batang idungnya. Selembar kertas teklewer parak gelas kopi Mas War.
"Maaf Mas, diriku ngantike Wak Mad. Ade telpon dai bos molot minyak. Jonye akor niago. Galak mbayo
selawe buat Legenda nye.

…..

Ttd

Yang Disayang Tuhan

Bik Em."

-Ya amplop. Kacus!

Wassalam..

SEBELAS

Suek Antanan: Logika Nubuwah

Bik Em ngangguk-angguk melihat Menteri Mahfud MD ngomong soal demokrasi di tivi. Di depannya
sudah duduk Mas War dan Wak Mad, dua pelanggan tetap Warkop Asoy miliknya. Tayangan berdurasi
1:05 detik itu meneror Bik Em. Perempuan lajang, mandiri yang bibonye selalu abang, tokoh idola kita
bersama ini langsung mekik. “Kasus! Ikaklah wajah rupeblek kitek.”

"Republik Bik. Bukan rupeblek. Pagi-pagi lah histeris, namek halnya? Ada apa? Siapa, kenapa, dimana,
kapan, nak diapakan? Jelas dikit betetah tu, ngomong yang urut. Katik prolog suek preambul tau-tau
ngegas. Kopike dulu ape?" santai Mas War mempidatoi bibik kitek.

Tak mau kalah gah, Wak Mad nambahi. "Mulailah idop dengan senyum. Lah dinjuk tidok nyenyak oleh
Tuhan. Sampai mikak maseh diberi rejeki umur, sehat dan belagak. Besyukur bik."

Bik Em sewot. "Oi, Sejahat-jahat aku idak ngutang ek. Mandiri, sen ade. Kalo taulah aku men soal
besyukur. Asak nga bedue ingat. Kalian tu,... ya Allah mohon ampun salahku,.. Ah sudahlah nambahi
dosa bae." Bik Em enggan meneruskan kalimatnya. Ia tahu, sekali dirinya terpancing amarah, duet maut
itu makin ladas ngabisi jajanan, pempek, gorengan, galeknye. Ngutang pulek. Sayangnya, bibik kitek
hanya bisa sebentar menahan diri. Segera ia ngegas lagi. "Mungkin hanya diriku yang tahan ngutangi
kalian. Tapi aku terima. Sape tahu Tuhan dang nguji ku, diberi rejeki dari tukang ngebon. Saya kasih tahu
ya, pinjam, berhutang, membeli itu ade adabnye. Kalau dang banyak sen, bayar kontan dak ape
betingkah gagah sek pembeli adalah raje. Nak pesan yang mewah, ayam, sate, pindang, makan ladas
silahkan. Tapi.. kalau ternyata ngutang ya tahu dirilah sedikit. Lauk tempe, minum ayo bono, yang
standar orang kecillah, yang,.. mohon maaf seperti kalian berdua yang always buntu."

"Eem.. Jadi ngape mekik kalau kamu lebih tahu carek bersyukur?"
"Jadi Mas, aku jelasken kenapa aku daripada mekik tadi. Ternyata demokrasi kita sedang sakit. Des
daripada itu kalian jangan salah bersikap. Mahfud MD dewek yang ngomong. Eh maksudku Mahfud MD
ngomong dewek di tivi. Sori lur, tiap kali saya baca daripada MD selalu inget DM yang pelajaran Bahasa
Indonesia. Jadi sering tebolak-balik. Nah, balik ke bahasan depan tadi, demokrasi kita sakit, tidak sedang
baik-baik saja. Para cukong sudah berhasil membuat politisi sebagai daripada kacung politik."

"Oke apa-nya sudah ada, siapa juga ada, jadi kenapa demokrasi kitek sakit, kapan, dimana, nak ngapoi
kamu ngurusi bik..!

"Sakit karena ujinya, mugolah kamu lihai pidato tujuh jam di podium idak akan menang kecuali ada
cukong di belakang kalian. Nah aku nelek die ngomong di siarannye Najwa Shihab, tanggal 19 September
2022. Entah aslinye pidato dimane dalam rangka ape, dimane, ngen sape, bukan urusan tobok. Yang
pasti ujo die 92℅ pilkada dimenangi calon yang didukung daripada cukong. Soal nak ngapoi, aku nak
ngenjuk tahu kalian ade gunek nonton tivi tu. Pacak nambah pengetahuan, idak buyan, boleh ilmu. Tulah
aku kapan nunggu pembeli sering nonton tivi. Kalian, Mas, Wak pacak pulek. Asak ade tivi dumah."

Mendengar pidato Bik Em yang panjaaang.. Mas War selu saja. Katanya, "Oke deh. Oleh kamu sudah
lihai pelajaran Asdikamba, apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, bagaimana, saya undur. Dan dengan
bangga mengumumkan bahwa Bik Em telah lulus dan menguasai dasar pengumpulan informasi dalam
memecahkan masalah. Ohya, satu lagi omongan Mahfud yang belum kamu sampaikan: kalau Pak
Menteri bilang 92℅maka KPK menyebutkan 84%. Wassalam.

DUA BELAS

Beli Anjing Jual Kuyuk: Maling di Siang Bolong

Bik Em lagi cinta literasi. Lumayan, sambil nunggu Warkop Asoy miliknya bisa baca-baca dan tambah
ilmu. Ia memilih bacaan humor. Judulnya Gelap Tawa Bumi Sriwijaya karya Holyfool. Karena sudah
berumur ia pakai metode baca, ucap, dengar agar isi buku efektif masuk otak. Hari itu, ia tamat satu bab.

"Nah mumpung ada kamu Mas. Aku ingin ngetes ingatan. Pernah dengar kisah Slamet Iman Santoso,
dokter di Rumah Sakit Oemoem Negeri (RSCM sekarang) yang rela jadi penyelundup demi pembiayaan
perjuangan Indonesia melawan blokade ekonomi Belanda era 46-47? Slamet saat itu ditugasi membeli
obat-obatan selundupan dari uang selundupan. Pejuang seperti dirinya yang-- rela menyamar,
mengendap dan melawan hukum--ada banyak. Orang-orang lihai dan bernyali ini mengerahkan segala
kemampuan untuk kedaulatan RI. Diantara mereka ada yang keterusan menjadi pengusaha sukses
sampai sekarang. Pertanyaannya, masih adakah mentalitet seperti ini?"
"Tumben bik, ngomongnye runut, panjang pakai bahasa nasional pulek," canda Mas War.

"Yah namanya belajar Mas. Jadi apa jawabannya?

Mas, saya tidak sedang mengatakan Indonesia penuh pedagang gelap sejak masih berjuang. Melainkan
laku itu masih terjadi saat ini. Mumpung tahun 2023 masih dini mari segarkan ingatan."

Mas War geleng-geleng. Ia tak menyangka bibik warung bisa melek pengetahuan meski baru boleh
ngulo. "Saya kaget. Bukan oleh isi pertanyaan nga Bik. Tapi terpesona.Tapi Bik soal pembangunan, kitek
wang Sekayu, ade istilah 'beli anjing jual kuyuk'. Akai tipu-tipu dalam pembangunan, yolah
melaksanakan pekerjaan yang sama di lokasi sama dengan sedikit dimodifikasi saja di tahun berikutnya.

"Misalnye, Mas?"

"Semisal tahun lalu kamu bangun pedestrian jalan dengan model persegi terus tahun ini kamu bongkar
dan rehab tapi modelnya bulat. Sedangkan bahan, mutu, lokasi sampai pemborongnya sama. Yang
sedikit beda hanya besaran anggarannya; lebih tinggi tahun ini dari sebelumnya. Anehnya kejadian ini
sampai berulang berturut-turut."

"Ai Mas, saya bertanya soal nasionalisme kamu ngate. Jangan nyindir bae nga tu. Pacak nian menilai
awak dak jelas digawe,?" Bik Em ngegas.

"Nah ngegas pulek. Aku ni njawab pertanyaan nga dengan metode kearifan lokal. Yang pasti soal beli
anjing beli kuyuk tu makmane ujo nga? Sekarang kunanye pulek. Apakah pembangunan tersebut
didasari cinta negeri plus keindahan atau kebanyakan uang. Kisah Pak Slamet Iman Santoso versi kamu
ku setuju. Nah setahu saya, pedestrian, trotoar sepanjang jalan kabupaten bukannya sedang kena
banned kompeni Belanda. Mosok bolak-balik dibangun dak dem-dem. Ya tapi aku netahke barang lame.
Men mikak la rengke nian. Jadi ikon bujang gadis buat foto-fotoan.

Wassalam..

TIGA BELAS

Pantang Bekonop: Suceng

Di warkop asoy, tampak Bik M sendirian bersenandung. Iramanya lincah, ngebeat dan pecah. Lalu
senyumnya mengembang.

"Dak e mudah janji tu. Dak gampang pulek mujudkennye. Yang pasti mudah tu jela ngate."
Mulut Bik Em monyong. Tengok kanan kiri, pelanggan lum suek datang. Kali ini bukan saja bibo yg
monyong, badan pun goyang.

"Dee a, dak tuju mare. Asak tahu bae mikak lemak idop di sikak. Sekayu i lop U. I lop blue Sekayu. MUBA
mana tahaaan." Kali ini badannya ikut beputar.

Saat itulah Mas War datang. Wak Mad tahu-tahu lah duduk nyaman. Mulutnya penuh makanan.

"Oi oooi... Tahaaan. Wak jangan basing nelan. Bismillah. Jangan lali ngitung. Gek lime ngaku due makan
tu," sergap Bik M melentik ke Wak Mad. Seketika mulut Wak Mad mangap. Kaku. Tangan satu di mulut,
satunya nyengkam gorengan. Mas War mati langkah. Ia pause. Urung duduk di meja warkop asoy.

"Payo Bik. Jangan rengak igek. Temesan nah. Tentro bukan plisi bukan. Mekik cak ketenggoran.
Kesambet apelah?" Simbat Mas War sambil melompat kecil duduk ke kursi.

"Ai lain nian Bik. Mekan bersih, berseri-seri, wangi. Lapang eee.,"timpal Wak Mad sambil mendorong
masuk makanan ke mulut.

"You! you, ... jangan brisik. La tahu lum kalau idop mikak dak e mecak jaman Jepang. Bukan pulek carek
kuda kepang yang makan beling, mungut puntung di jalanan? No! Hei kamu para petani, pedagang,
tukang ngutang, pengangguran ( nunjuk Wak Mad dan mas War). Besyukur Maas, Waak. Ikak mekan
belipat mak pempek kulit. Cak buntu sepanjangan. Makenye buka matek, telingek, putar otak jangan
putar haluan dak keruan. Belayar terus dak olah belabuh. Sekali nepi nuntut utangan. Maluuu. Pidato
pakam, ngomong juare, ngejatke ughang number one..." Bik M merepet mecak jurkam.

"Bik, bik. Nanye. Sape bagi-bagi sen?" Tanye Wak Mad dan Mas War barang.

"Ya amplop. Eh ya ampuuun. Oooi... Sape pulek netahke bagi-bagi sen? Kamu bedue tu makenye sadar.
Mada i, tidok lum lah mimpi."

"Bukan Bik. Asekku dak olah telek nga senang nian. Boleh kule anyar ape?" Tanya Wad penesan.

"Aidem. Susah ngomong ngen wong buntu. Wak, dengo ye. Miskin boleh, buntu dak ape, suek sen yang
sabar. Tapi jangan menutup hati, buka matek libok-libok. Jengok sekitar. Susah kamu kak, miskin harte
miskin akal pulek. Dem lokak saree," repet Bik manjang.

"Jadi namek Bik? Kamu pulek mecak senang, mekan bahagia tapi mulut mecak wong nagih utang. Ngate
dak dem-dem," sindir Mas War sambil mesan kopi. Tangannye cak-cek, due pempek lebar, masuk
mulut.

"Gancang dikit Bik. Nganjal nah pempek kak di kerongkongan," santai Mas War mesan.

"Nah ini. Sikok lagi. Gayanye slow, sopan tapi ujungnye ngene. Mas, yakin nian mesan sambil ngentak
pempek cak dak be. Ku nanye sekali ni ngutang ape berasan? Men ngebon dem malangke. Carek jual
beli, utang piutang kak ade adabnye, ade aturannye. Gaya mecak juragan kasnye kantong kosong.
Nikmatilah pempek ganjal di kerongkongan tu. Hehe."
Begitulah pagi di Warkop Asoy. Meski tampak saling sindir sejatinya mereka sekawan yang saling
membutuhkan. Dua orang butuh utangan satunya haus perhatian.

Wassalam...

EMPAT BELAS

Pidem: Kelaut Aje

Mas War dan Wak Mad duduk nyangkung di Warkop Asoy, segelas kopi dan kacepan tersedia di depan
keduanya. Ah mecak wong sugih, mereka santai ngopi dan ngobrol pagi. Lalu obrolan berlanjut. Kopi
tiggal setengah, perut kenyang.

"Heran pulek ku. Manelah tukang listrik sikak. Asekku lampu pidem terus. Nemanlah gelap ketimbang
terang. Kapan janji manis nian. Kami perusahaan tak pernah bikin gelap kehidupan. Tugas kami
menerangi jaman. Kasnye? Ape die. Dak sesuai janji," mulai Wak Mad manasi suasana.

"He.eh. terus? Jadi? Maksud nga? Ape mereka ingkar, dak tepat janji, omdo? Makitu Wak?" Sergap Bik
M dak tuju.

"Ade nian Bik. Men di tempatku mitulah. Entah men rumah bupati," sambar Mas War selu.

Dengar dua csnye ngeluh Bik M naik pitam.

"Sebelum aku njawab. Ku nanye nga bedue. Ape kamu terti di rekening? Paham mbayo tagihan? Galak
meli pulsa? Idak kan? Ngomong boleh Mas, ngritik silahkan Wak. Tapi yang seimbang. Jangan basing
pacak, asak galak. Itu namenye nak hebat dewek" ceramah Bik M kepada keduanya.

Setelah Mas War dan Wak Mad tediam lama tanpa bisa jawab namun tetap lahap ngembat kacepan, Bik
M kembali bicara.

"Demlah. Kamu jangan galak tepelok. Lah jelas rumah kamu gelap, lampu dak olah idop oleh dak mayo
tagihan listrik, idak meli pulsa laju nyalahke perusahaan. Pastilah dak e 100 persen wong tu beno
begawe. Mustahillah. Tapi jengok sejarah. Ade peningkatan dak. Idop tambah lemak dak? Men tambah
susah oleh dak galak begawe dak usah bahas igek. Lete namenye."
Berdua lelaki di warkop asoy milik Bik M tertunduk. Diam. Selain malu, keduanya pun tampak mendapat
kebahagiaan. Sejawat ini tahu persis kapan waktu yang tepat buat mengisi perut hingga kenyang. Yaitu
saat Bik M semangat pidato dan ngajo ughang. Waktu seperti inilah kesempatan ngutang sampai
kenyang.

"Ade nian ujo nga tu Bik. Peneng ku nak njawabnye. Dem ku undur Bik. Mekasih," kata Wak Mad.

"Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih mendalam ku pamit pulek Bik," jo Mas War.

"Oi.. oooi. Stop. Agek dulu. Nga bedue tahu nian ye manfaatke peluang. Tobok sibuk ngenjuk tahu kamu
bedue ladas ngembat makanan. Jangan balik dulu sebelum nyatat pengakuan dosa utang dan bb nga,"
kali ini Bik M serius. Mekannya tak lagi berseri.

Dan kedua lelaki itu tak tega. Keduanya berhenti sejenak. Lalu berkata," kan kami nyimak Bik. Ujo nga
buka telinge buka mate, otak dipakai. Biar kamu dak sedih oleh ngajo kami makenye sambil nyimak dan
merhatike kami bepikir. Kak nah men nak idop. Belajar dan bepikir. Ikak hasilnye. Kami nambah ilmu
kenyang pulek. Mekaseh nian Bik untuk hari ini. I lop u, i lop blue Sekayu. MUBA aku padamuuuu.....

Wassalam.

LIMA BELAS

Berpagut di Dahan Rapuh: Salah Pilih Tuan

Bik Em sedikit gundah. Jelang tutup tahun ia dikabari dua temannya--Mas War dan Wak Mad-- akan
dipindahtugaskan. Betapapun, batin Bik Em, dua orang pelanggan itu sudah berkontribusi membesarkan
warung kopi miliknya. Meski sering ngutang, tapi peran keduanya tak terbantahkan: ikut memperkokoh
bisnisnya.

"Punya dua pelanggan yang tukang ngutang saja jadilah. Eh kini mau pindah."
Bik Em ingat betul kala bintangnya anjlok, semua pelanggan lari, hanya Mas War dan Wak Mad yang
setia nongkrong di Warkop Asoy miliknya. Saat orang takut dicap sebagai underbouw Bik Em sadar
orang menghindar darinya, sebab pada perang dagang periode sebelumnya ia tegak di garis lawan. Bik
Em pun sudah merasakan 'buah Dosa' karena ikut bergerak menggunting langkah Kepala Pasar yang kini
menjabat. "Tapi salah apa, punya daya apa sampai dua orang pelanggan yang nyaris tak berguna itu
diorder oleh Kepala Pasar untuk dipindahkan?"

Diakui Bik Em, di warkopnya, orang selalu riang menyambut Mas War dan Wak Mad datang. Selain hobi
kelakar keduanya ringan berbagi informasi. Kadang tentang gosip perselingkuhan, asmara, dan hal
sepele lainnya. Namun ketika keduanya betetah soal pembangunan, pungli, korupsi--yang banyak
ngawurnya--pelanggan lain merasa antusias. Kala ini terjadi, jajanan di warkop Bik Em ludes, laris manis.
Karena kelarisan ini Mas War dan Wak Mad seolah punya privilege buat ngutang.

"Jadi begini..." gumam Bik Em mengingat tiap kali Mas War memulai gosip.

"La tau Lum?"

-Lum!!

"Jadi begini. Dak lame lagi die bakal kene pindah. Jelas ilang lokak."

-Sape? kemane? hal ape?

"Nak dengo dak? Nga diam dulu. Jadi aku la dapat bocoran dari toke pasar. Galek pejabat mulai tukang
tagih, buruh banyu, tukang minyak, palak pajak, palak hansip, teka komandan parkir selesai."

-Selesai makmane? tebuang? oleh ape?

"Selesai. Ade yang oleh toke ade pulek oleh plisi akibat gawe basing. Nanggung nian nasibnye. Tapi itu
gawe wong. Kitek santai bae. Kopi, kopiii."

Begitulah obrolan yang kadang hanya bualan namun tak jarang ada yang mengena. Tentu bukan oleh
kedua kondisi ini Bik Em masgul. Kalau Mas War dan Wak Mad pindah, bakal tak ada suasana gosip di
warkopnya. Tak ada lagi pemandangan pelanggan yang nafsu ngabisi jajajan demi geram oleh cerita Mas
War. Tak ada cerita seru tak ada jajanan yang dibeli pelanggan.

"Sial benar aku. Begayut pada pokok yang lemah. Dua orang yang tak berguna bisa-bisanya menjadi
voter bagi pembeli di warungku. Hina betul diriku."

Wassalam..
ENAM BELAS

Ngulo: Makelar Kasus

"De.. jadilah ku muka warung kopi be. Asak galak begawe rejeki idak kemane," pelan Bik Em membuka
pidato di depan ke dua pelanggan, Mas War dan Wak Mad.

"Jangan mecak kantiku. Bikin merek besok depan umahe ngateke ' Usaha Sampingan. Jual Aneka
Gorengan,' pas kutanye namek usaha utamanye die nyawab galek e. Namek gawe galek e ikak," Bik Em
mulai ngegas.

Mas War dan Wak Mad senyom dikolom. Pipi keduanya melembung oleh penuh makanan.

"Bebeno bae, gawe tu. Mada i pacak galek. Agek nganar. Dakade, dak mungkin, mustahil ada orang bisa
segala pekerjaan "

Kembali Mas War dan Wak Mad senyum. Leher keduanya mengkilat karena sering diurut dari dagu ke
bawah leher. Genggaman kanan dua sejoli itu berminyak oleh gorengan yang numpuk sekali cengkam.
Karena sudah kenyang dan tenggorokan tak lagi sesak makanan, Mas War urun pidato.

" Ngapelah nga ngegas. Umah die nia. Nak dinjuk merek usaha sampingan ape usaha senianan terserah
die. Hek die nia. Yang aneh justru nga Bik. Awak warung kopi asoy tapi gawe nak marah, ngumbas dak
dem dem. Selu bae bik. Rejeki idak kemane," ujo Mas War santai.

"Jadilah Mas bibik kitek kak. Istiqomah. Usaha makinilah tapi soal penampilan dak salah-salah. Baju
rengke, bibo abang, nyanyi pacak, goyang lihai, baik ati serte dak olah itungan ngen kawan," imbuh Wak
Mad selow.

Kedua kanti sewarung-sehutangan ini terus bersahutan. Bahasan mereka melebar, meluas dari harga
getah karet yang mengkeret, tbs sawit yang cuman naik lima ratus perak usai keran eskpor dibuka,
minyak goreng yang harganya kembali mahal, tukang kemplang yang banyak hutang, sampai urusan
dunio Muba sekarang. Saat keduanya asyik ngobrol kayak ahlinya, Bik Em diam, pandangannya jauh
melewati wajah keduanya.
"Mas, Wak tulung nia diam. Awak ade sawit idak, karet suek, sungai zong, usaha nol, gawe ngebon
maseh nak mikirke hek ughang. De dulu. Kalau kamu berdua tidak ikut punya, nggak memiliki apa yang
kalian bahas, untuk apa ikut mikirkenye. Pikirke makmane carek kalian mbayo utang di ku. Mangken tau
idop ni dak semudah cawa profesor. Luwat nia," jerit Bik Em meledak, hujan turun, petir menyambar.

" Mati lampuuuuu," Mas War dan Wak Mad melompat, berlari mencari selamat. Sekencang celeng
menghindari anjing pemburu keduanya melaju,menghilang.

Bik Em yang ditinggal sendirian masih terpikir jawaban temannya yang mengatakan segala kerja bisa.
Tak mau kalah banyak. Bik Em googling dari hp lalu mengetik di papan layar...'sembarang kerja bisa, ahli
semua bidang pekerjaan, bisa bikin betul semua jenis masalah, Apa saja mampu.'

Tring, jawaban ketemu. seolah tak percaya ia mengeja kata di hpnya," Tukang ulo, ngulo ( Palembang.
Makelar/agen pemasaran Indonesia/ Entul (Jawa).

Wassalam..

TUJUH BELAS

Telaju Hantu: Manusia Budak Kebaikan

Bik Em senang hati. Wajahnya sumringah. Sambil beberes meja warungnya ia berdendang-bergoyang.

Sudeh lame kitek di utan

Nebang buluh jadike bilah

Sudeh lame kitek berjuang

Pacak dak pacak ndak jadi tulah

Dari kejauhan datang merapat Mas War dan Wak Mad. Ekor mata Bik Em melirik keduanya. Tanpa
canggung ia mempertontonkan rasa suka rianya. Jika tadi berdendang-bergoyang kini ia melompat salto
dari meja warung ke kursi pelanggan. Begitu kedua pelanggan duduk, Bik Em menawarkan makan
minum. Tak ada muka masam yang biasa ia semburkan kepada keduanya. Namun bukannya mesan
makan minum Mas War justru menyanyi.

Mugolah kitek lum mandi

Lamban patah batang anyot

Mbak mane barang idak jadi

Men bibik kitek neman begayot

Tak mau kalah Wak Mad menyahut

Iluk nia bibik ini

Sambil salto berdendang-bergoyang

dengan senyom sedap dipandang

Pacaklah die mikirke nasib kami

Sek bibik kitek wong dalam nian

Ketiganya ngakak. Suasana Warkop Asoy pecah.

"Sebenok e, Mas ye, Wak ye. Idop dikate mudah, mudah nia. Asak tahu diri dan bukan milu menang di
akhir permainan. Ibaratnye mudah sebut sego kate..."

"Betul bik. Berita yang sesungguhnya adalah kisah yang tak terberitakan. Selalu ada misteri dari sebuah
berita," sahut Mas War cak kepakaman.

"Ai... pidato pulek Mamas kitek. Awak terti dak. Jadi Wak Mad ye, getang tu rami ughang nyelam di
Musi,"lanjut Bik Em.

"Maksudnye?"Tanya Wak Mad.

" Klebu, hahahaha," jawab Bik Em misterius.

"Idak oi. Belore bae. Ikak rahasie ye Wak hehe. Getang tu oleh nekat nyelami kapak mampuslah
beliung," kali ini Bik Em duduk sambil neguk ayo bono angat kuku.
"Maksudnye?" Kembali Wak Mad bertanya.

"Beli kuyuk jual anjing!" jawab Mas War.

"Neee lah teriak salah pulek. Payah Mamas kitek ni. Maksudnye, oleh nak boleh besok, nafsu igek laju
ilang yang lebih beraji. Men carek budak milenial jela lapor polisi ilang hape laju tejual motor, hehe,"
terang Bik Em.

Wak Mad bengong. Wajahnya kaku, mulutnya komat-kamit. Lamat-lamat terdengar ia mengucap," la
beno nia. Idop mestinye sesuai kodrat. Manusia adalah budak kebaikan bukannye budak alus ladas
belinjang qixqixqix......"

Wassalam..

DELAPAN BELAS

Suek Ambikan Nian: Biar Miskin Asal Nekat

Meski Bik Em hanyalah tukang Warkop Asoy tapi niat ingin majunya tinggi. Maklum, setiap awal taon
banyak pegawai ngandon ke warungnya. Namanya pegawai tentu pintar bicara dan berpikir.
Menghadapi pelanggan seperti ini, Bik Em tak mau terlihat ongok-ongok bin bodoh. Agar bisa
mengimbangi obrolan pelanggan, Bik Em diam-diam menambah bahan bacaan.

Tak tanggung-tanggung, Bik Em langsung belajar tiga hal penting arah hidup manusia, yaitu pencinta
kebijaksanaan, pencinta kehormatan, dan pencinta materi. Bik Em mulai paham bahwa perilaku manusia
diperbudak keinginan, emosi, dan pengetahuan.

"Dem sekali ni kapan para pegawai ngopi sambil betetah ilmiah tubuk paham. Semak itulah manusie,
nak pegawai buruh, pejabat same bae," batin Bik Em pede.

Pas bibik kitek merasa lagi pinter-pinternya, datang dua sekawan Mas War dan Wak Mad ke warungnya.
"Ai, kireku para pegawai yang istirahat siang, kasnye kamu bedue yang datang. Dem, kecik igek. Lah
pacak ku ngekar tetah nga bedue. De.. untuk kalian gratis galek makan minom," ujo Bik Em.

Namun tanpa disangka, dua pelanggan setia ini cuek tak menggubris tuan warkop. Kedua kawan same
buntu ini justru asyik ngobrol seolah tak ada orang lain.

"Nga tau Plato Wak?"

"Pluto?"

"Plato, murid Socrates."

"Oh Parto tukang es yo Mas?"

"Aidah salah milih kawan ngobrol tubuk. Jadi mak ini, aku pacak sekolah, belajar di kampus oleh Plato
Wak,.."

"Ooo, namanye Plato, bak kamu yang biayai kuliah? Wajar Plato makitu sek bak nga. Ai kireku ape Mas
raga serius nia.. "

"Oi Wak jangan motong men dak paham.

Bik Em yang tadinya kesal mulai menunjukkan perhatian. Dia mbatin, " Ai.. Mas War kak raga ade
ilmunye."

"Plato adalah inovator, pemikir dan penulis. Oleh utaknye libok dan takut ilmunye ilang die bikin
universitas. Paham e?"

"Ehem... Dan Plato menggolongkan manusie dalam tige kelas, yolah wang bijak, nuntut martabat ngen
sikok lagi cinte materi. Betul Mas? Oke? Hehe sayang ketigenye suek di kamu bedue," simbat Bik Em
memotong omongan Mas War sambil bertolak pinggang.

Mas War kaget, tak menyangka betine tik aguk yang sehari-hari jualan gorengan dan kopi ternyata encer
juga otaknya

"Beuu, luas jugek pikiran nga Bik. Dak sangke nian. Kak nah Wak Mad, tadi ngeluh oleh sedih gara-gara
katik yang ngaguk'inye."

"Wajar Mas, die sedih dan merasek idak dianggap. Sek mitu nie keadaannye. Buntu, suek kendak, dak
olah jelas emosinye, eh idak sekolah pulek. Dem lengkap nia."
Dihina, diejek dan dikatoi tak bikin Wak Mad sakit hati. Ia tetap santai dan tak lupa senyum. Dikit
omongan die,"barokahnye sibuk ngen diriku dewek, ku idak ngusik nga. Singgonye, kamu bedue ngrasek
secure depanku. Gagah dan tidak merasa terancam. Sedang ke aku, pacak makan gratis dan kenyang
haha."

Kompak Mas War dan Bik Em teriak, "woii, itu namenye manak, nak lemak dewek!" Dasar tue baghak.
Tik ambikan nian. Peh bayar bayar. Suek lagi makan gratis sikak!"

Se Warkop Asoy angkat ngakak. Diam-diam saling kagum. Phih!

Wassalam...

SEMBILAN BELAS

Endak Babisik Laju Taceghik: Ngegas Pencitraan

"Dang mikak lah mecak jaman Orba, susah tawe meski kejadian lucu terjadi depan matek.Teka nak
mangap takut boleh hal. Sedangke mahasiswa cuman pacak omong besak, munculke ide sok bijak
padahal terti makna bijak bae idak."

Bik Em, tuan Warkop Asoy makin hari tambah lihai berkata-kata. Di era digital global sehingga segala
info di pusat seketika terpampang di dusun ini bikin Bik Em sibuk jadi pemerhati. Kurang-kurang kini
hobi komentar. Setiap buka media sosial lewat HP, segala peristiwa seolah wajib dikomentari.

"Lah mecak pengamat kondang kamu Bik. Nyahut galek berita. Agek pening," sindir Mas War.

Toh Bik Em cuek. Ia tak menganggap penting omongan pelanggan setianya dan kembali menuliskan
komentar di laman berita nasional yang dibacanya.

"Ikak pulek. Ngateke soal pengetahuan, hobi mencerdaskan bangsa, eh. Die dewek takut pembaruan.
Ibarat hobi menghibur anak yang takut kegelapan tapi dia sendiri takut cahaya. De dulu!"

"Cari berita yang agak masuk urusan dusun kitek, Muba Bik mangken nyambung ngen situasi tubuk,"
pinta Mas War.

"Ade bae. Cuman nga masih idak masuk itungan. Kak nah contohnye ade berita dari KPU yang melarang
ASN aktif dalam kampanye politik. Selain bukan ASN, nga tu pengangguran sejak tujuh turunan. Haha."
"Lah tubuk ngenjuk ide nga ngate. Maksudku carek dusun bahasan tu jangan tinggi igek. Umpama soal
rege minyak, sembako. Yang kire-kire masuk di kebutuhan sehari-harilah."

"Yang makitu masih lum masuk rekap pulek nga. Sek tahunye makan, minom lemak. Ngutang di ku
pulek. Sudah men dak tuju diem bae Mas. Itulah beda status kitek. Nga tu jangan dak ngomong bae.
Mitu lah nia ciri wong dak penting, selalu komentar padahal sok-sok an bae. Kalau ku, tahan komentar
atau ngomong memang ade nia yang nak kusampaikan. Tapi jangan disebarkan. Ikak rasie. Info khusus
buat nga yek!"

Karena dikasih info hanya untuk dirinya, Mas War penasaran dan langsung bertanya-tanya.

"Rasie?"

"Ao. Pelan bae nanyenye. Jangan teriak, ku idak budeg."

"Oke."

"Oke yang mane?"

"Yang info nga tu, Namek hal?"

"Raje!"

"Ngape Raje?"

"Dang boleh hal!"

"Hal? Ape?"

"Banyak."

"Banyak hal?

" Ao."

"Contohnye?"

"Ade."

"Ade ape, korupsi? Melantak budak? Nyapu hutan?"

"Ssst.. Jangan teriak. Bukan."

"Oh Oke. Bukan ek, jadi namek halnye?"

"Yang pasti bukan korupsi. Bukan melantak budak, bukan menjarah hutan."
"Jadi?"

"Ya nggak jadi."

"Maksud nga ape Bik. Muter-muter nggak jelas! "

"Husss.. jangan njerit. Pelan bae ngomongnye."

"Oke, pelan-pelan. Jadi soal ape, raje boleh hal ape?"

"Die dak olah menang betarung."

"Kalah terus? "

"Ao"

"Lawan sape?"

"Tulah masalahnye."

"Ngape?"

"Musuhnye."

"Ao jelah ku nanye sape nian musuhnye pacak ngalahke raje, sape nian?"

"Die tulah."

"Aidem Bik tambah dak jelas. Die dewek?

" Ao musuh diri dewek."

"Buyannye, diri dewek dimusuhi."

"Bukan mitu. Die kak dang berusaha mengendalikan emosi diri, ingin bijak, mangken idak sombong idak
lupa diri. Dengo e, bace kak nah komentar pejabat dalam sebuah tayangan tivi, "Bagi semua orang,
menaklukkan dirinya sendiri adalah yang pertama dan termulia dari semua kemenangan. Kemenangan
pertama dan terbesar adalah menaklukkan diri sendiri.... "

"Ya Allah Bik kireku bos kitek yang kalah betarung. Kasnye masih berita wang laen tula. Macet Bik."

Wassalam..

DUA PULUH
Monoh: Skakmat Petarung Lancung

Bik Em ngakak karena merasa menang dan berkuasa atas pelanggannya. Merasa menang dan betul-
betul juara. Sedangkan Mas War marah, kesal nak matilah. Namun karena segan melawan balik
perempuan, ia melampiaskan dengan makan. Sekali mangap lima pempek masuk mulut. Melihat aksi
Mas War, Bik Em santai. Ia justru menantang agar Mas War bisa bikin prestasi, makan sepuluh pempek
sekali telan. Mendengar omongan itu Mas War manas dan mulai ngegas.

"Bik, kamu baru dikit pacak menang sok hebat. Terti dak, ukuran manusie tu dijingok dari sikapnye saat
punye kekuasaan. Nga, baru tukang gorengan begaya cak bupati. De dulu Bik. Men nak jadi tuan yang
baik bajo dulu jadi hamba yang sopan. Aku ni makan bangku sekolah bukannye idop di emperan."

Bik Em kaget tapi sekaligus bangga. Dia merasa menemukan metode belajar baru dan orisinal, yolah
mencerdaskan orang miskin seperti Mas War cukup dengan menyentil harga dirinya.

"Hahaha, kalau pingin wong miskin galak bepikir mudah nian, sentuh hal sensitif seperti soal duit,
pekerjaan dan hal lain yang menghimpit hidup wong mlarat tu, pasti bereaksi," Bik Em ngakak.

Itulah kesengitan yang terjadi antara Mas War, pelanggan setia makan ngebon versus tuan Warkop
Asoy, Bik Em. Pangkal debat kusir orang-orang tidak penting ini adalah soal 'ukuran manusia yang
ditentukan dari perbuatannya saat punya kekuasaan.' Eh, sayangnya Wak Mad yang ikut duduk di situ
tapi cuman diam melihat debat tanpa juntrungan ini berlangsung.

"Nah Wak, jangan ndiam. Nurut nga nameklah kendak Bik Em kak?" gugat Mas War kepada teman
setianya.

Namun Wak Mad tetap selu tak menjawab. Bahkan saat Bik Em ikut menanyakan pendapatnya atas laku
Mas War, Wak Mad tak begeming. Baru, setelah suasana sepi sekira setengah jam, Wak Mad ambil
suara.

"Sangkan aku ndiam, cuek, sibuk dengan diriku dewek, mangken idak meningke kalian, idak
merepotkan. Jaman mikak, manusia mudah nian nyakiti wang lain. Sebaliknye sego berbuat kebaikan,"
lirih Wak Mad memecah keheningan.

"Nah oleh kamu diam tu salah. Kade kawan ribut kamu cuek," bentak Mas War dan Bik Em bersamaan.

"Tulah kan, laju salah. Awak bedue mintek pendapat. Ai, payah. Cubo ku ndiam idak mbunyi. Jadi makni
Mas, Bik. Yang kamu bahas tu pertama idak penting, kedua idak penting nian. Ngape? Sebab aneh pulek,
politisi bukan, pengamat apalagi, eh. Ribut soal kekuasaan, debat perihal partisipasi politik. Kalu
ketinggian buat otak kalian. Tapi, maaf ye, kalian mintek komentar ku kan? Memang kapan kamu tiarap,
tak peduli atas gawe dunio, siap-siaplah diatur penguasa dunia. Yo tapi sape nga laju nak tegak milu
gawe dunio ni? Hahaa.. '

Mas War dan Bik Em sama sekali tidak tertawa oleh guyonan tidak lucu Wak Mad. Mereka berdua
semakin diam. Suasana kembali hening. Wak Mad lagi-lagi buka suara. "Aku sangkan selu, diam, baik,
bukannye buyan. Buruk-buruk makini ku ade prinsip memperlakukan orang lain dengan adil. Ikak ni
prinsip sangat dasar yang mendasari galek laku idop. Jadi pesanku buat kalian berdue, bersikap
ramahlah, kerne setiap orang yang kamu temui, sedang dalam perjuangan yang berat. Wahahaha."

Mas War dan Bik Em saling pandang. Wajah keduanya tak lagi merah oleh emosi. Ada sunggingan sangat
kecil di ujung bibir kedua orang ini. Mereka paham, dan terhibur oleh omongan Wak Mad. Tapi malu
untuk mengakui...

Wassalam..

DUA PULUH SATU

Belajuan: Jodoh Di Tangan Parpol

Hati Bik Em seperti melayang. Banyak pujian dan ejekan menimpa dirinya belakangan ini. Tak lain karena
ia makin kondang di kalangan simpul kekuasaan bos Pasar. Bahkan Palak Pasar dan cukong mulai melirik
Warkop Asoy miliknya yang makin ramai pelanggan. Diketahui, para pelanggan bukan saja mau nyicip
kopi dan gorengan di warung itu, tapi juga menjadikan Bik Em sebagai idol mereka. Apa pasal? Sebab,
bibik kitek lihai berkata-kata.

"Yak, mari diaturi. Kopi, teh, susu? Yang tak kemari bakal rugi, bukan begitu? Pempek, tempe, tahu. Mari
galek e yang tau yang tau," sapa Bik Em di depan pelanggannya yang mulai ramai. Mas War dan Wak
Mad tampak duduk di sudut Warkop Asoy tak setuju.

"Orang baik tidak membutuhkan hukum untuk memberi tahu mereka agar bertindak secara
bertanggung jawab, sementara orang jahat akan menemukan jalan untuk menghindar," kalimat Bik Em
menggoyahkan pelanggan.
"Namek maksudnye? Awak jual gorengan mecak tukang sulap. Lah pidato pulek," ejek Wak Mad.

"Ao nie," tambah Mas War pendek.

Namun suara kedua orang ini tertelan tepuk tangan dan sorak gembira pelanggan lain.

"Waiii padek nia bibik kitek. Lanjuut Bik."

"Ehem, baiklah. Kitek lanjutkan. Yang tidak baiklah boleh tutup kuping atau pulang sekalian. Ee Em.. Di
jaman penuh taktik ini. Emm ulangi, di tahun politik seperti ini, salah satu hukuman menolak
berpartisipasi dalam politik adalah kita bakal dikuasai dan diperintah oleh orang yang tidak kompeten.
You, you sekalian ikhlas, rela diatur wang dak semeghai? Tidak? Oi cakep. Tahu careknye mangken idak
kejadian?"

Pelanggan kembali tepuk tangan. Mas War dan Wak Mad gusar. Keduanya ambil ancang-ancang buka
suara.

"Pojok buku bukan hiasan. Buat dibaca dan diamalkan. Jangan sok tahu wahai kawan. Jangan sok gaya
dan omong sembarangan," sela Mas War.

Pelanggan riuh bertepuk ramai. Mereka sorak sorai. "Nah laju Mas. Kitek adu sape nian yang tinggi
ilmu,"Wak Mad menyemangati teman karibnya.

"Ah. Dia bukan hamba yang baik, tidak akan menjadi tuan yang baik. Dari carek belajar lah menyimpang.
Sedangkan para suhu sudah memastikan, arah pendidikan yang didapatkan seseorang akan menentukan
masa depan dalam kehidupan," lanjut Mas War.

"Ai, Mas War nga ngateku? Oke, fine. Tahukah kalian siapa Mas War ini? Tak lain lanang buntu tukang
ngebon makan," jawab Bik Em sengit.

"Oi Bik, memang Wartawan lebih paham melakukan sedikit perbuatan. Ibarat budak meranjak tekate
kanji

Ngrasek belagak padahal semu

Hati resah menunggu janji

Padek nian wahai kau penipu.'

Bik Em tak mau kalah. Ia langsung nyambar.


Tawe ngakak di laut musi

Sambil mancing ikan kedak

Apa daya aku yang telah kau maki

Ku nak mikak nga matilah kendak

"Wuuuu. Lajuu," Wak Mad senang dan ngakak.

Sesudah tawa dan sorak Wak Mad tak ada lagi saling simbat. Suasana sepi. Pelanggan lain sejatinya
masih menunggu perang kata-kata itu. Sayang baik Mas War dan Bik Em tak lagi bunyi. Keduanya masih
saling pandang tajam. Tapi nampaknya bukan tatapan perang. Wak Mad si bujang lapuk paham situasi.
Ia pun mencoba menguji perasaan keduanya, lanang betine yang tajam saling maki namun reda penuh
misteri.

Buah apel dimakan sayang

Buah jeruk untuk kondangan

Sudah pegel beradu kesaktian

Daripada merajuk de lajukelah nian

Dua hati jadi satu

Satu malam penuh kenangan

Daripada sekedar indu

Baiklah kamu ke pelaminan

Pelanggan ngakak. Wak Mad tersenyum bangga. Mas War dan Bik Em mecak kena gendam, kelojotan
senang...

Wassalam..
DUA PULUH DUA

Dak Olah Mecot: On Target

"Lah kukateke nia di awal. Carek petani nikmati sebagai tani. Jangan galak silau oleh keadaan liyan. Idop
tani mudah. Tanam pisang panen pisang, tanam padi panen beras. Nah nga, awak pedagang eh, neman
igek tanam budi, laju tabudi," kata Mas War kepada Bik Em, tuan Warkop Asoy langganan.

Bik Em diam. Hatinya geruh. Sekian kali ia kena tipu karena kebaikan dirinya. Bik Em erlalu baik jadi
manusia, begitu Mas War sering menasehati bibik kitek. Tapi kini kondisinya betul-betul drop.

"Padahal Bik. Al Insan Abdul ihsan, manusie tu budak kebaikan. Mecak nga tulah. Tapi berbuat baik
jangan pamrih."

Untung Wak Mad segera nongol. Kalau tidak dijamin Mas War semakin banyak cakap. Sok menasehati
padahal ingin terlihat peduli supaya makan ngopi bisa ngebon. Bik Em sendiri merasa sedikit lega.
Pikirnya, tentu Mas War akan sedikit kikuk menjejalkan petuah basi kepada dirinya yang sedang sedih
hati. Sedangkan Wak Mad, lelaki pucuk 50 tahun alias bujang lapuk ni ngetop oleh sikapnya yang tak
hirau dengan keadaan sekitar. Beban Bik Em nyaris lepas, namun di luar dugaan Wak Mad pun sok-
sokan bijak pula.

'Memang selayaknya-lah perbuatan baik berbalas kebaikan pulek. Kerne hati akan berbalas hati,
perhatian berbalas kasih sayang. Sedangke kepedulian bakal boleh penghormatan. Makitulah pulek
ketulusan pasti bebalas pengorbanan. Hanya orang yang tidak berbudi yang tidak mengenal balas budi,"
selu Wak Mad berpesan.

"Wak jangan nambah pening. Mas War nah dari tadi tetah tanam budi tabudi. Nah nga ngateke wang
dak berbudi, berbudi ape die maksud nga?"

"Anu Bik, sebab manusia adalah hamba kebaikan. Galek wang pasti tunduk oleh neman dibantu, neman
ditolong. Dak caye? Kami nah ngen Mas War, oleh neman kamu njuk ngebon makan, lidah kami jadi
kelu. Galek perbuatan kamu baik tulah di matek kami. Palingan kami mbatin bae hehe. Ade dak kami
ngateke nga jat, buruk perangi, idak kan?"

"Ao, ku tau. Tapi... "

"Tapi ape? Penyebab utama nga merasek sakit tu kerne pingin boleh penghargaan balik. Ade kendak.
Ngolok, idak tulus. Apapun yang terjadi asak lah yakin laju. Jangan pernah nyesal berbuat baik. Kami nah
neman nak berbuat baik ngen kamu tapi apa daya suek sen. Tapi kamu masih baik. Nah ini pacak, ngape
giliran merasek tanam budi ngen toke eh, toke cuek nga laju sakit hati."

"Beno pulek Bik. Jangan-jangan toke dang nguji ketulusan nga. Carek bos lah, bebas nak ngape. Sek die
marah bae ade tunjangan kemarahan pulek."

Mas War dan Wak Mad tak bosan menyemangati Bik Em agar tabah dan tetap semangat. Walaupun
sebenarnya keduanya punya pamrih tersembunyi.

"Kalau kamu loyo... Bik, taruklah kamu masih tegak, aman meski hancur oleh tabudi. Tapi tolong
pandang kami. Ape kamu tega kehilangan kesempatan berbuat baik. Anggap semua orang susah
dipecaye selain kami bedue. Nah berarti tinggal kepada kami kaklah kamu pacak berbuat baik. Mangken
kamu idak dicap dak olah mecot. Kami bersaksi kamu tine suceng, sesuai janji, dak berubah, dak olah
mecot dalam kebaikan. Haha, oke?"

Bik Em, tak ubahnya kebanyakan perempuan. Ia selalu tak kuat dipuji. Ia lemah mendengar kata-kata
dari sahabatnya. "De ao. Oleh kamu lah berhasil ngolok ku. Makan minom sekali kak gratis. Besok bayo."

Suasana Warkop Asoy langsung asyik kembali. Semua senang gembira.

Wak Mad dan Mas War langsung nyambar makanan sekendak hati mereka, menelan semua makanan
dalam satu glek.

"Eh, tapi ingat. Makan minom gratis ini oleh ku menghargai usaha nga bedue merayu ku ye. Walau
garing dan tetap idak ngaruh,"pecah Bik Em seiring suasana hati yang cair.

Wassalam

DUA PULUH TIGA

Perkakas Anyar: Gegar Budaya

Sejak everything goes on electricity Bik Em merombak Warkop Asoy miliknya jadi moderen. Meski
sendirian melayani pelanggan ia sudah menerapkan scan menu dan bayar pakai uang digital. Yah
padahal sih cuman warung kopi dan gorengan. Tapi begitulah bibik kitek selalu berusaha mendahului
jaman.
Di bangku kasir ia kini hobi ketak-ketik kalimat motivasi. "Orang-orang tidak penting alias rakyat jelata
sangat mudah mendapatkan kepuasaan. Mereka bisa sangat gembira hanya karena hal sepele semisal
cerita palsu. Walau berupa cerita palsu, di tangan orang-orang sepele bisa jadi mainan yang bebas dan
radikal, serius, menegangkan bahkan jadi intrik. Orang-orang ini tak peduli pada fakta sebab mereka
menilai asal ada sesuatu yang bisa dipikirkan atau didebatkan saja sudah cukup.Tidak percaya?
Bayangkan saat ini anda menganggur. Maka omong kosong dan debat kusir sesama teman bisa jadi
aktualisasi diri. Setidaknya jika dilakukan rutin dari pagi hingga petang. Dijamin Anda seolah punya
kewajiban yang tak boleh dilewatkan, tak jauh beda dengan rutinitas orang kantoran yang punya jam
kerja eight to five.“

Ting! Bik Em mengirimkan tulisannya kepada dua pelanggannya, Mas War dan Wak Mad yang sedang
ngopi persis di depan Bik Em, di Warkop Asoy tulah.

"Dem loyak beno. Men ngobrol lah makai HP mikak. Mesan, mayo tinggal pencet-pencet macam tulah
pulek. De undur kitek. Payo Wak Mad nuntut warung yang masih carek dusun nia," ajak Mas War sambil
nyangking karibnya keluar warung.

"Dak ape nga undur. Tapi jangan lali mayo ek. Segalek makan minom lade barcode nye, dak pacak
ngebon lagi Mas, Wak," Santai Bik Em berujar tanpa beranjak.

"Nee.. Telek dak tadi la skip ku galek pesanan. Suek kami makan minom sikak, bye!“

Bik Em paham resiko memakai metode anyar. Ia sangat fasih membaca tabiat pelanggan. "Yo dak ape,
sek tugas produsen tu mendidik dan merayu pelanggan. Ok, selamat berjuang di warung sebelah," balas
Bik Em.

Di tengah jalan, Wak Mad menggugat Mas War.

"Mas ngape undur. Suek lagi warung lemak selain di Bik Em. Kitek pelanggan setia. Lah mecak dulur
pulek. Ngulang situ peh."

"Lajulah men ndak. Ku nggan."

"Ngape?"

"Asek dak nyaman lagi. Asing nia carek die melayani kitek. Cak wang lain kitek dibuatnye."

"Lah ujo kamu idop mesti jalan terus sesuai jaman. Bik Em tu temakan omonganmu. Die ngubah carek
jualan mangken kamu senang."

"Tapi gayanya kampungan. Awak baru ngulo cak pakam. Tau kamu? Yang die kirim, tulisan panjang-
panjang tu kan asalnye dariku. Kade die ngirim balik polos nia. Ape dubah dikit, dimodif. Ikak dak, bulet-
bulet kirim balikkeku. Namek maksud."
"Wahahaha mitu yek. Dem dak pacak ngije."

"Tulah nga tu Wak jangan pulek asal mangap.'

Ting! Ting! Tring, ting, ting... HP Mas War diserbu notif. " Aiidah. Ngape lagi!"

"Nyuruh ngulang ape Mas?"

"Basing be. Dari Palak Pasar ini, bukannye bibik tu. Disuruh cek, ngape Bik Em ngirim ke die daftar lelang
jabatan. Ai balak nian ikak. Palak Pasar tu minte daftar harga kopi dan gorengan. Ikak ngirim daftar harga
lelang jabatan. Gile dak?"

"Kwang, Kwang.... carek barang Anyar.." Wak Mad pingsan.

Wassalam..

DUA PULUH EMPAT

Betemu Ruas Dingen Buku: Wani Piro?

Bik Em goyang dak dem² sambil berdendang,"jangan igek milu mikir bomi gek pening, sek ku dak terti
ujung pangkalnye nak kemane. Nak milu naek gerbong palak masinisnye dak kenal. Nak nangguk suek
lokak. Nak tawe gek diomongke gile, nak sedih gek kawan ngelik laju dikateke tebuang. Dem lah, ku dak
peduli. Yang pasti ku nak begawe yang kire-kire idak njahati ughang. Kak lah, begoyang siang-malam sek
boyok-boyok ku nia!” ujo Bik Em santai pecak dak suek hutang.

“Wah, dalam omongan bibik kitek Wak Mad. Puk ngelik mekannye jela beno die kak dak suek perhatian
lagi same tubuk,” simbat Mas War

“Ai lemakla tu, Mas. Retinye kitek bebas ngembat kacepan, pempek dll-nya tanpa takut masuk itungan
bon wakakak,” sante pulek Wak Mad komentar.

“Hehehe, akor Wak. Payo njuk minum pulek saku kak. Mada’I saku kecik maktu penoh nia pempek, biar
dak seret mako siramlah ayo saku kak!” ledek Mas War sambil nyoroke ayo bono ke saku Wak Mad yang
penuh ngen pempek.

“Mas, mas, kalo ngato jangan dalam igek. Mada’I saku kantong galak minum pulek!” gertak Wak Mad.
“Lah, masuk akal Wak. Nga pulek makan tu mulutnye be jangan saku kantong milu makan pulek. Dasar!”
teriak Mas War. Maka, brentilah Bik Em kitek begoyang. Bomi adem, tentram, tanpa huru-hara, hening
deh!

Namun justru karena tenang, sepi tulah laju Mas War dan Wak Mad linglung. Kepalangan tekelik dang
maling pempek, dengan gaya pantomim, tanpa suare, tanpa bunyi kedue sohib tu mbalikke pempek ke
tempat semestinye. Ya di piring di pucuk meja. Bik M yang ngelik kelakuan due kanti buntu laju senyom
di kulum. Timbullah akal busuknye, ngerjoi tulah.

“Nah nga bedue, mentang ku dang asyik laju dak mandangku lagi ek! Ape nga pikir ku dak paham namek
gawe nga! Maling, ngrumpi,” sergap Bik M.

Namun, saat kedua karib itu hendak menjelaskan masalahnya, Bik Em buru-buru memotong. “Dak
usahlah kalian ngomong, ku la tahu mun nga tu dak setuju ngen ku. Dak ape, sape peduli dengan dirimu.
Belagak dak, buntu, jat pulek. Yang penting buat diriku yelah pacak nuruti kendak ati dewek.”

“Ngape mitu Bik?” tanye Mas War dan Wak Mad.

“Soalnye, la ketui, la ceto galek. Palak pasar kitek yang baru kak maseh same. Carek mimpin same,
perhatian, galak busik lore, galak ngandon tempat wong miskin pulek. Dem, kendaklah nga nak makan
ape, pokok sekak lade yang mbayonye hehehe. Kak ye carek wong milu menang!”

“Aih Bik ujo nga idak kenal palaknye, dak tahu ujung pangkalnye ngape laju dak konsisten tu!” kesal Mas
War bertanye.

“Haha, maaf Mas kapan perut lah kenyang, lidah jadi kelu, susah omong. Lajulah makan dem bayo galek.
Goyang terus Mang, asyek!”

Wassalam..

DUA PULUH LIMA

Milu Anyot: Kejahatan Pidana Paling Sempurna

Sepagian Bik Em tak hirau dengan dagangannya. Ia sedang terbawa emosi jiwa. Gara-garanya, sedang
asyik menyimak siaran ulang konser K-Pop di tivi, token listriknya habis. Dia melaung, menjerit kayak
kena pentung petugas trantib pasar yang kerap merazia kedai liar.

Mas War yang melihat tingkah Bik Em, senyum sambil berkata lirih "Awak la tue betingkah mecak budak
lum pecah bulu. Umur dak ngenjuk, nyemulung Bombay pulek."
"Andam beno sekali kak bibik kitek. Ancuur," Wak Mad berucap.

Bukan sekali ini saja Bik Em bertingkah emosian. Sebelumnya, ia juga merepet, ngomel sendirian gegara
menyimak vonis bebas Henry Surya, bos koperasi simpan pinjam Indosurya. "Neh, ngembat 116 triliun
sen rakyat bebas melenggang. Yang sadis, teka Menko Polhukam, Mahfud dak bekutik. Eh ngomong
pulek ikak kasus pelanggaran hukum pidana yang sempurna, baik dari kejaksaan agung, kepolisian, dan
PPATK,” kesal Bik Em yang kala itu juga dibalas Mas War.

"Oi Bik, ngape nak marah tu. Men kecewa, Mahfud kesal pulek."

"Ao tapi ngomong bae. Kita tidak bisa menghindar dari keputusan Mahkamah Agung, kata menghormati
saya ganti menjadi kata tidak bisa menghindar, kade mitu. Awak ngetop."

Mas War hampir ngegas oleh penilaian sepihak Bik Em tapi buru-buru dicegah Wak Mad. " Mas, ssst...
diem bae jangan mbantah omongannye. Gek milu anyot kitek."

"Anyot makmane? Tubuk suek urusannye ngen Indo Surya. Dem tu Bik Em kak basing nilai. Kan pangkal
masalah bukan Mahfud ngape die dak tuju?"

"Mas dem lah. Lebih dak tuju kalau Bik Em ingat ngen utang kitek."

Mendengar kata hutang Mas War tak lagi mendebat tuan Warkop Asoy. Ia lalu memilih menjawab
diplomatis omongan Bik Em.

"Mengikuti aliran sungai Musi yang panjang berliku, dari Bengkulu, Lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin,
Banyuasin hingga Palembang, mengingatkan betapa perkara urus dan usut membutuhkan waktu lama,
panjang dan berbelit."

Mendengar kalimat ini emosi Bik Em sedikit reda. Ia tak menyangka pelanggannya berpendapat sebijak
itu. Bik Em hampir saja memuji Mas War, namun urung demi mendengar lanjutan kalimat lanang itu.

"Tapi sayang rakyat kecil seperti kitek yang idop di doson ade utang kecik la diuber, ditagih dak dem
dem. Padahal hanya pasal utang kopi dan gorengan.... "

Brak! Bik Em nggebrak meja.

"Nga bedue undur lah gancang. Kak nah nyapu nga!"


Bik Em sangat marah dan mengusir Mas War dan Wak Mad. Sebuah sapu WC siap di tangan Bik Em.
Keduanya lari tunggang langgang. Ia melanjutkan omelan nya, "kapan-kapan ku nagih utang due lanang
buntu itu kalau dak tepakse. Awak makan minom gratis sepanjang hayat ngaku susah kene tagihku."

Wassalam..

DUA PULUH ENAM

Nggotoq Embacang Tumban Kuini: Menang Banyak

Beruntung betul Mas War. Ia yang tak banyak keinginan kecuali memenuhi kebutuhan hidup, tanpa
diduga mendapat hadiah sempurna.

"Ai jadilah, tubuk nuntut yang kecik boleh besok. Memang rejeki dak olah tetuko."

Sambil menikmati kopi dan sepiring gorengan, Mas War tampak enjoy sendirian duduk di Warkop Asoy.
Sedangkan tuan warkop, Bik Em sibuk mendengar penyanyi kesayangan Dewa 19 dari HPnya. Sebuah
syair mengalir dari mulut Bik Em mengikuti suara Vierza.. "Cintaku tak harus.. miliki dirimu."

Pagi itu suasana Warkop Asoy sangat cerah hingga penghuninya berseri-seri. Sayangnya suasana mahal
ini hanya sekejap ada. Wak Mad muncul tergopoh-gopoh menghiba, "ya Allah Mas, Bik, rubuh beno.
Dem suek lagi harapan."

Ratapan Wak Mad membuyarkan kenyamanan keduanya. Kesal Mas War dan Bik Em kompak
menjawab, "sikak bukan LBH, jangan ngadu. Men nak kopi ade!"

"Ai alangke bengis kamu, " Wak Mad memprotes keduanya. Ia nyaris meledak tapi nafas tuanya dak
sanggup. Wak Mad ngos-ngosan.

"Mas, Bik... Dengo dulu. Penting," Wak Mad merayu.

"Well, ok, ada yang bisa dibantu?" jawab Bik Em kemayu.

"Sepenting pe die Wak, omongkelah."


Setelah menata nafas, Wak Mad akhirnya bicara. Ia baru saja menyaksikan palak pasar berdebat dengan
seteru lama. Mereka adu mulut parah dan hampir baku pukul hanya pasal ongkos angkat dan angkut.

"Namek yang diangkat dan diangkut tu Wak?" Mas War tak sabar.

"Minyak Mas. Dari ngisi di pangkalan sampai ke lapak pedagang."

"Palak pasar tu ngape ribut ngen wang lame?"

"Sebab wang lame tu la meci lame nian lum ngasil, eh yang dang mikak baru mulai sukses besar."

"Oh, mitu. Saling bonoh dak?"

"Dak. Kan dipisahke."

"Dem. Brati suek masalah men mitu. Soal rejeki ade ngaturnye. Jangan galak buyan Wak."

Wak Mad sangat ingin meneruskan kecemasannya namun Bik Em keburu bicara. "Wak wang beruntung
jangan dimusuhi, kawani bae. Palak pasar mikak betuah nian. Pas ade nangka rubuh die datang. Walhasil
nangguk rejeki besok nian. Duduk sebagai palak pasar bae lah bagus nasib, eh boleh lokak besok pulek.
Jangan nak marah yang lame tu. Omong bae men nak minta jatah."

Warkop kembali asoy. Mas War nyruput kopi, Bik Em kembali bernyanyi.. "Cintaku tak harus, miliki
dirimu... "

Wassalam..

DUA PULUH TUJUH

Dian Duku Limpas, Tegunek Tupak Ambai: Ksatria Terakhir

Bik Em meratapi nasib sambil ngoceh sendirian. Kebetulan Warkop Asoy miliknya sedang sepi
pelanggan. Ia yang biasanya sabar kini tak bisa lagi menahan diri. Bik Em diakui oleh Palak Pasar sebagai
sosok berguna namun selalu menjadi pelengkap penderita. Ciri dirinya diajak kerja lantaran tak ada lagi
orang yang mampu dan bersedia.

"Oii sape tubuk. Mikak lah nian nasib. Kapan wang lain undur, ngilang, dak mampu nah tubuk kene jul.
Tau pulek Palak Pasar kapan gawe susah sego kitek suruhnye. Sedangke lokak lemak kawan nyapunye."
Sambil merepet, ngomel, Bik Em merapikan dagangan. Ia menata meja-kursi, menyapu dan mengelap
berulang-ulang kali. Tingkah aneh Bik Em mencuri perhatian setiap yang lewat. Tak terkecuali Mas War
dan Wak Mad yang melintas. Sebenarnya hari itu Mas War dan Wak Mad sedang tak ingin ngopi. Namun
melihat tuan warkop bertingkah aneh keduanya mampir dan menyapa.

"Aii Bik rajinnye. Itu meja kersi alangke neman dilap. Agek luntur kelir tu," canda Mas War.

"Carek dang rajin Mas. Mitu nia bibik kitek. Teka tubuk pacak kene lap pulek hehe," timpal Wak Mad.

"Jangan ngomong basing. Idak penting nga di lap ape dak, masih kusut jat tulah. Dak usah sok
menghibur. Ku dang ilfil, idak mood kelakar," ketus Bik Em menyambar.

Kedua sahabat ingin meneruskan bercanda namun gelagat Bik Em sungguh tak bersahabat. Perempuan
pemilik warkop itu terus marah-marah.

"Nurut nga bedue, Palak Pasar dang ngajak nian ape jangan dak ngajak bae? Mentang tubuk kecik, suek
pengaruh laju kene pejul terus. Galek yang susah tubuk, giliran lokak.. Aidah idak digaweke tugas,
dijalanke seolah-olah. Tapi ku la paham nian ngen Palak Pasar kak. Kapan dang baik sari pacak nelpon
tige kali. Kapan dang dak butuh kitek japri die tige aghai baru balasnye. Ai susah... "

Melihat Bik Em lemas, lesu darah, Mas War memberanikan diri bertanya pasal apa yang bikin Bik Em
terpuruk parah.

"Itulah carek bos nian. Lain nian carek parak toke. Btw, Nameklah perintah bos sangkan kamu ansap?"

"Biase Mas gawe yang meras otak pasti ku. Yang nyerempet hal ku pulek. Mitu terus betaun ikak."

"Brati kamu tu andalan. Itu tanda toke sayang kamu nian Bik."

"Ai dak perlu disayang igek Mas. Ibarat pameran lukisan idak muji gi asak beli. Lah muji nak matilah tapi
giliran keluo sen undur. Caknye tu la tabiat, kecik nian mandang ku."

Wak Mad yang sedari diam memperhatikan obrolan Mas War dan Bik Em ikut nimbrung.

"Nak sabar nian Bik. Aku nah kapan kumpul dan malam datang, rokok kawan lain abis, baru rokok
lintingan made in aku dewek jadi andalan. Oleh suek lagi rokok mereka akhirnya berebut tembakau
linting hek ku. Mitu kan Bik kire-kire. Memang dak lemak nian, la ngate eh ngambik yang kitek pulek.
Payah model yang cakitu."

"Nah betul. Seratus buat nga Wak. Tubuk lah kene kate tapi suruhnye begawe. Kurang-kurang die yang
minte saran eh kapan kitek njuk jawaban die matahkennye. Nak gile nian."
"Brati kamu tu idak dianggap nian bik!" seru Wak Mad dan Mas War bareng.

"Yes. Intinye tubuk idak dianggap tapi disuruh bagewe!"

"Lah yek. Tapi beno pulek toke tu. Anak buah kerja, bos mrintahnye,"Wak Mad belore.

" AI Wak baru dipuji dikit la nglunjak. Mare nga!"

Seketika kain lap yang sedari tadi dipakai Bik Em mengelap meja dan kursi berpindah nampol wajah
Wak Mad. Sebelum kena imbas, Mas War lari meninggalkan gelanggang.

Wassalam..

DUA PULUH DELAPAN

Walau Ayam Tidak Bakokok, Aghai Dak Urung Siang: Bukan Hil Yang Mustahal

Bik Em mulai bisa mengendalikan diri. Meski tahu hanya dijadikan ban serep oleh Palak Pasar dalam
urusan mengurai macet dan mengkoordinir tukang parkir pasar, dia berusaha menikmati. Bik Em punya
prinsip hidup tetap berguna bagi orang lain, sekecil apapun manfaatnya. Soal mengemban tugas ia juga
sudah bisa menyikapi dengan cerdas. Sebuah pekerjaan, susah - senang tetap harus dikerjakan.
Sendirian atau dibantu kawan tak jadi soal. Ibarat sudah tahu setiap hari harus menimba air untuk
memenuhi bak mandi, sambil ngomel pun bak mandi harus penuh. Bik Em paham, hanya bikin tambah
capek jika kerja sambil marah-marah. Toh tugas harus tetap dirampungkan, makanya ia memilih enjoy.

"Dee mikak lah tubuk. Nak melarang matahari terbit dari Barat sare. Nyuruh politisi brenti akting dak
pacak, berharap rumput jadi putih mustahil. Marah-marah suek hasil. Asak ade tugas guyuri bae. Meski
hasil mbak nunggu nenek balik dai ume dak ape."

Melihat kepasrahan Bik Em Mas War gembira. Perempuan itu tetap sosok sempurna baginya.

"Luar biyasah bibik kitek nah. Diutangi pacak, berasan mudah, eh mikak lah banyak senyum pulek.
Namek kabar Bik? Memang mak itulah, katik yang bantu, gawe masih nak diselesaike Bik. Dem ape gawe
yang ditugaske Palak Pasar?"
"Dem mare dak sudah Mas. Lucu pulek bos kak. Madai suruh mendata pedagang kaki lime tapi hanya
yang ade KTP. Sedangke pedagang rate-rate datang pegi, keluo masuk Muba. Dengan mereka tu
mudah. Teka iuran pasti bayo. Buat ape pulek nuntut yang ade KTP Mas?"

"Nah Bik, lali ape? Denget lagi coblosan. Itu MP men nak tau."

"Mantan Pacar?"

"Wakakakak.. Bukan. Mata Pilih!"

"Lah yek ujo ngetop ngape masih nak MP tu?"

"Aii nanye pulek. Gaweke bae tugas tu. Awas dak dem. Kene gusur warkop kamu."

"Mare ai, meribak e Mas. Ku lah lulus galek tas-tes idop. Sebagai abdi tubuk la di rel komando.
Nggaweke tugas susah senang kujalani sebab itu tanggungjawab. Soal bos tuju dak tuju itu hak raje."

"Mantab. Lah lihai nia nga Bik. Caknye sekolah tu la tuwuk nia. Masak pohon beno."

"Lah sape pulek gurunya. Mecak nga Mas, mugolah ku neman nagih utang situnya santai mak dak bae.
Kade ku ngekaeke hal yang ngarah tubuk. Bos dak senang bos yang undur, hahaha."

"Wai melawannye. Agek nyesel?"

"Carek ku la neman mengarungi laut, hanya wong buyan ngantungke idop kepada makhluk. Ku lah
membojikan idop di tangan Tuhan. Nak ngape nga!"

Mas War menyerah. Ia tahu kalau Bik Em sudah bulat tekad tak perlu lagi didebat. "Yang penting akor
Bik. Ku undur. Besok ye ku mayo utang. Nak nuntut ke Tuhan kalu bae boleh sen sekarung."

"Haha undurlah. Jangan pulek bepikir itu tangeh Mas. Kalau Tuhan menghendaki tak ada hil yang
mustahal!"

Wassalam..

DUA PULUH SEMBILAN

Nutuh Dan Tangiran: Menggali Lubang Kubur Sendiri


Bik Em nonton berita di tivi. Seorang tokoh ormas besar mengancam akan menyeru umat agar
memboikot bayar pajak jika hasilnya terbukti diselewengkan. Ia betepuk tangan mencermati pidato
tokoh yang bicara berapi-api itu.

“Nah kak iye baru beno. Akor nian ku. Nak pemerintah, pemerintahlah, men dak senonoh laju. Tubuk
kecik makini, meski hanya jualan gorengan ngen kopi bayo pajak tiap taon. Malah kalau kercis
kebersihan milu dihitung, tubuk mayo tiap aghai. Hidup dak bayar pajak! Boikot bayar pajak! "

"Hus. Huuus. Slow. Jangan mecak budak, lompat-lompat meja dak keruan. Boleh arisan ape?"

"Ai Mas, pas nian kamu datang. Itu nah bakal ade seruan boikot bayo pajak kalau ketahuan hasilnya buat
foya-foya, diselewengkan oleh tukang pungutnye!"

"Nah lokak ngerok. Pahami baik-baik dan jangan asal teriak. Itu masih tangeh nak mastike ade
penyelewengan. Dem tu penyimpangan mitu pasti oleh oknum bukan galek tukang pungut pajak.
Memang mikak banyak wong sugih lah gile dunia nian, main goco main sikse anak wang. Akibatnye
bapoknye boleh hal. Rusak sekaset, dibuat angsab galek dulurnye, kene pecat kene perikse," Mas War
nimbrung komentar.

"Terserahlah Mas, nak perikse nak pecatnye. Pokok ku tuju men ade nian boikot bayo pajak. Ah tapi
percuma ngomong ngen kamu, dak bakal paham. Janganke mayo pajak teka makan minom ngutang.
Haha.. "

Melihat karibnya terdesak, Wak Mad yang tadinya diam urun bicara.

"Ade galek pelajaran dalam idop ni. Mas War dak perlu malu men dikateke dak olah mayo makan
minum alias ngebon. Brati Bik Em memang baik hati dan suka ngemong. Meluruh wang miskin memang
sare. Apelagi Bik Em jualan eh Mas War ngutang lum mayo nian. Sape tau memang disitulah berkah
rejeki Bik Em. Ngutangi wang miskin.... "

"Hoi, hoooi Wak. Tolong pas ngomong ngutang masukke pulek name nga. Bukan tubuk sughang
ngutang."

"Jela beno Mas, ade nia tubuk milu. Tapi dang mikak cuman nga yang ribut ku dak. Makmane Bik kire-
kire?"

"Haha susah omong Wak."

"Nah susah kan. Sebab Bik Em terti. Sekali die ribut soal hutang rejeki se warung melayang. Carek yang
rame di tivi. Oleh gawe anak, sekeluarga angat boleh hal. Itu namenye memangkas sumber rejeki
dewek. Lah tau Warkop Asoy kak pijakan idop Bik Em makenye die dak bakalan sewenang-wenang.
Takut rubuh hehe."
Sebenarnya Bik Em kesal dan merasa dipojokkan oleh Wak Mad. Ia tahu bujang lapuk ini sedang minta
nyawa sembari nyindir perilakunya. Bik Em hanya membatin,"jangan-jangan Wak Mad ini malaikat yang
sedang menyamar dan sedang menguji kesabaran dirinya."

Tanpa berlama-lama Bik Em langsung menyodorkan kopi dan sepiring pempek di hadapan Wak Mad.
Tidak kepada Mas War. "Khusus buat Wak Mad bebas makan minom sepuasnye. Mas War, nga idak
gratis. Dak boleh ngutang Mas, sorry," tegas Bik Em.

Wassalam..

TIGA PULUH

Takinjak di Dan Mati: Own Goal

Mas War pagi-pagi sudah ngopi di Warkop Asoy milik Bik Em. Sebuah lagu rock lawas Scorpion
kesayangan tuan warung mengalun,...

For you, life is just like chess

If you don't make a move

You'll lose the game like this

Cause you,

you're walking on the edge..

Baik Mas War dan Bik Em tampak betul menikmati. Bik Em bergoyang sambil bersenandung sedangkan
Mas War komat-kamit sembari senyum-senyum. Ia lalu mengangkat gelas kopi. Cara menghirupnya
begitu khidmat kayak suasana pembacaan detik-detik Proklamasi. Keduanya tenggelam dalam suasana
hati masing-masing sampai sang vokalis Klaus Meine merampungkan Walking on the Edge.

Bik Em bergeser ke sebelah Mas War. Dari raut wajah dan gesturnya nampak ada yang hendak
disampaikan. Mas War yang paham gelagat duluan nyambar.
"Alangke pacak bule Jerman muat lagu. Teka cinto bae disimbolkan main catur. Tubuk nah, galek liku
idop memang harus diatur. Salah langkah selesai," ajar Mas War.

"Asak jangan jat akal aman Mas. Sayangnye sampeyan neman ngitung salah orang. Padahal jadi
manusie harus imbang. Boleh betimbang milih kawan tapi cara kita memandang orang lain harus nyata.
Kalau kita menyebut kejelekan orang lain nyata, ya saat menyebutkan kebaikannya juga harus nyata.
Ade galek di tubuk, setiap orang punya dua sisi baik dan buruk. Ya kecuali kamu yang merasa baik terus.
Tapi monggo saja, kan cuman merasek hehe."

"Lah beno pulek Bik. Mandang orang harus nyata mangken idak dikire dang masati setan antu yang idak
tekelik matek, haha."

"Ai pacak nian nga. Bukan,...namek kabar kanti kitek? Jonye dang boleh hal Wak Mad tu. Ade nia ape?
Oya, soal wang Jerman yang lihai bikin lagu tu, sebenok e puyang kitek la ndulu ade istilah dan lebih
mengakar. Yelah takinjak di dan mati."

"Bolehlah kamu Bik, kapan senang hati lancar otak bapikir. Ingatan laju mecak cermin, haha. Btw,
nameklah retinye?"

"Intinye ati-ati niti idop ni. Ade bae pangke nye. Dem tu nak melangkah nak bejalan idak carek Scorpion
tu tapi tetep pandai-pandai nginjaknye. Dulu pahlawan kitek banyak tumbang oleh takinjak ranjau lalu
buum, selesai. Nah balik ke kanti kitek, Wak Mad ujo andam nia die? "

"Nah tu la Bik. Lanang sikok tu dasar bae dak sabar. La domongku di awal jangan neman igek caye
ughang. Ingat kasi trantib pasar? Nah Wak Mad tu milu gawe die nuntut pemilik lapak pasar pinggir
jalan, didata nak didudukke di lapak dalam parak kantor Palak Pasar. Bagus sih, tapi sayang kanti kitek
nerime dan narget sen... "

"Lah yek. La bosan jadi pengangguran kalu die tu Mas sangkan berani melangkah mitu."

"Akibatnye? Mati langkah. Ibarat tegak pucuk ranjau. Sekali ni lebar beno, rubuh. Mane si kasi trantib tu
kabur pulek. Nanggung sughang laju."

Bik Em ndiam. Seolah ada runtuhan besi tank di pundaknya. Ia ikut merasakan beratnya penderitaan
Wak Mad. Lalu ujarnya, "ao nia Mas. Nelek nasib kanti tu, membuktikan puyang kitek memang jagoan.
Ramalan peribahasa tu kene di Wak Mad, selesai oleh takinjak di dan mati. Teperos, dan wasalam.
Jangan ke nginjak dahan mati, tegak lame pucuk dahan idop kaki neter pulek Mas."

"Oi Bik kamu ni. Kawan sakit nga pidato. Tadik nanye kabar, sok prihatin, sok perhatian, kasnye? Cak
sedih tapi bangga pamer istilah sambil tawe. Macet nia nga!"
Merasa dituduh, Bik Em begeser menjauhi Mas War. Ia ingin teriak tapi takut disalahkan lagi. Sebuah
senandung ia gumamkan, "sare ngadepi wang miskin. Sensitif terus. Idak pernah clear memandang
situasi. Payah... "

Wassalam..

TIGA PULUH SATU

Keli Lapo Makan Kanti: Pren Nyapu Pren

Suasana Warkop Asoy meriah. Bik Em tuan warkop lagi merancang gawe. Untuk menambah
kenyamanan pelanggan bibik kitek menyediakan openmic. Pelanggan bebas tampil: mau stand-up
comedy, deklamasi atau baca pantun pun jadi.

"Curhat boleh Bik," tanya Mas War saat melihat tiang mikropon tegak depan warung.

"Hahaha susah jawab pertanyaan wang susah ni. Buat kamu boleh tapi walau curhat pilihannye tetep
pantun, deklamasi, poetry reading atau kelakar stand-up comedy. Syaratnya no SARA no pornografi,"
jawab Bik Em.

"Okay, siap. Boleh mulai sekarang?"

Bik Em mengangkat tangan, menunjukkan jempol ke arah Mas War. "Laju!"

Lah lame kitek berutang

Di Warkop Asoy milik Bik Em

Dakade bande die berkurang

Sek tubuk makan minom dak seberape

"Aii ngolok. Nak gratis terus caknye. Kak iye Ku malasnye," Bik Em merebut mikropon sambil bergaya
artis ibu kota.
Mbak mane ngateke idak seberape

Lantak due lanang hobi ngebon

Mbak mane carek mayo utangnye

Kalau dak begawe kantong kosong

Mas War merebut mikropon kembali

Lamban patah batang anyot

Mbak mane bibik ngateke rugi

Kalau bejualan sambil merengot

Asak kamu tau banyaklah kami makan ati

Bik Em menyahut

Kalu kakak membeli badik

Badik ade di Keluang

Kalu kakak merasa terusik

Datang sikak bayolah utang

Yang awalnya Mas War ingin curhat ternyata justru tuan warkop yang meradang. Ia pun merancang
pantun pamungkas

Kalau kakak membeli badik

Badik ade di dusun brang

Kalu ade ati yang terusik

Pasti bukan kakak sughang


Wak Mad tepuk tangan. Ia ngakak.

De dulu kamu tu de dulu

Oi Mas War, oi Bik Em jadilah nian

Daipade mecak semut dingen seluang

Baiklah kamu ke pelaminan

"Mungkinkah dua orang, satu tuan warkop satunya tukang hutang, satu lanang satu perempuan
berumur lima puluhan bersatu," batin Wak Mad.

"Mungkin," jawabnya. "Asal, tidak terus-terusan berbalas pantun melainkan saling tikam perasaan.
Haha."

Wassalam..

TIGA PULUH DUA

Kerekek Betine Tanjal: Malu-malu Kucing Garong

Sejak banyak peristiwa pejabat yang pamer harta jadi sorotan media, tuan Warkop Asoy, Bik Em merasa
wajib tahu dan kudu paham persoalan. Ia langsung ingat pelanggan setia warkopnya, Mas War. Lanang
itu, meski buruk muka dan miskin tapi ada saja ilmunya.Tepat saat Mas War datang, bibik kitek
langsung memberondongkan pertanyaan. Sedangkan mamas kita cuek karena merasa dibutuhkan.

"Ai penting pertanyaan tu. Kalu duduk ndulu kopike Bik."

Bik Em sudah siap. Segelas kopi buat Mas War langsung ia sodorkan, "aman, lah saje ku nian kopi kamu.
Nah nanye lagi, kan kamu neman bejalan Mas, pasti banyak betemu perangai pejabat negeri kitek?"

"Dikateke kenyang pengalaman jadilah aku ni Bik. Ade bae yang baik dan jahat. Mitulah pulek perangi
pejabat. Ade yang baik tapi memang banyak yang idak semeghai. Galak cak buyan, lali, melali kapan
betemu hal. Sisip dikit milu tawe, mikut ngakak meskipun topeng buruknye dibongkar," jawab Mas War
kepada Bik Em.

"Dakade Mas, masih pacak tawe oleh aibnye dibuka depan publik," gugat Bik Em.

"Lah, Bik itulah fakta. Kitek kalah ngen tumbuhan putri malu alias mimosa pudica yang pemalu beno.
Kene kuwil dikit bae langsung menutup diri. Ade angin kencang batiup nuju batangnye kontan
meringkuk, galek daun melindungi diri. Beda ngen tubuk. Lah nyata dibongkar salah dan dosa eh, masih
tawe-tawe cak dak bae."

Bik Em manggut-manggut. Entah paham omongan Mas War, merasa disindir, hormat atau apalah. Bisa
jadi juga ia ngantuk dengar pidato panjang pelanggan setianya yang wartawan tiga jaman: jaman susah,
susah nian, hingga beno-beno susah, yang sedikit ditanya langsung pamer ilmu, menggurui.

"Ingat Kepala Kapolri periode 1968–1971 Hoegeng Iman Santoso?" tegas Mas War membuyarkan
lamunan Bik Em.

"Taulah. Namenye neman dijadike kelakar soal plisi. Cuman tige plisi baik, patung plisi, plisi tidok dan
Hoegeng haha."

"Ade lagi Bik. Ku nyemulung kapan tingat kisahnye.'

"Ai madai nyemulung ape Hoegeng boleh hal besok?"

"Bukan. Tapi bininye. Wong rumah Hoegeng tu mecak kamulah, pedagang. Merry Roslaeni, jualan
kembang hias buat mantu penghasilan. Nah, sari sebelum Hoegeng dilantik jadi Palak Jawatan Imigrasi
taon 1960, die nyuruh bininye nutup permanen toko kembangnye."

"Ai Mas, brati Hoegeng tu kejam. Alangke tega nyakiti bini yang gigih mantu keluarga tapi justru dipakse
nutup usaha. Besok nian ape gaji dan olehan palak imigrasi tu? "

"Dengo dulu nga tu. Jangan asak mangap. Ade nian memang bu Merry sempat pening oleh disuruh
brenti usaha. Apelagi due laki bini tu paham toko kembangnye selame ikak jadi andalan nutup
penghasilan."

"Terus?"

"Terus Hoegeng njawab tegas; Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan
kembang ke toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya. Nah dengo itu
bininye nangis haru. Mecak ku sekarang nah, netes ayo matek."

"Wai bolehlah, tan miskin retinye Kapolri kak. Men kamu ngape milu nangis, awak lah lame miskin Mas.
Ape menangisi nasib jadi wang miskin Mas haha. "
Mas War nyaris tersinggung dengan omongan Bik Em tapi urung. Meski perempuan ini mulutnya kadang
blong, namun tuan warkop itu paham yang ia kisahkan. "Nak tau tokoh hebat lain dak? Sekali ni seorang
jaksa, yolah Barlop yang name aslinye Baharuddin Loppa. Syahdan, sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan, Lopa sidak ke satu kabupaten. Nah pas jalan balik die kontan nyuruh sopirnye stop
sambil nanye sape ngisi bensin mobil. Pas tau bensin diisi oleh jaksa di kabupaten yang disidaknye die
langsung mutar balik ngulang ndatangi jaksa. Die marah dan nyuruh si jaksa nyedot minyak yang
diisinye. Ku ade sen perjalanan dinas, ujo Barlop."

"Wahahaha dakade Mas. Hoax pasti, ngarang, fiktif ye kisah kak. Alangke pacak kamu Mas."

"Nga tawe ngakak ngrasek tesindir ape memang hobi melakuke salah dan curang. Jangan-jangan selame
jualan nga galak maling timbangan, malsuke rege Bik. Ade wang baik kamu cap hoaks!"

"Bukan soal aku maling Mas. Tapi die kan pejabat tinggi. Suek-suek rumusnye pejabat cakitu nian.
Sekedar minyak bae sampai marah dan nyuruh nyedot. Ai lebay."

"Nah ini. Carek pandang nga kaklah yang jadi pangkal masalah. Pejabatnye nak bubah kamu nguyok,
tawe dak caye."

Bik Em tambah ketawa ngakak. Ia tak habis pikir ada pejabat selurus itu. Di benaknya, semua yang
diceritakan Mas War itu pastilah pencitraan belaka.

"Aii.. de dulu. Nak pencitraan. Sudah rasie umum masuk sekolah, lulus jadi pejabat mayo pakai sen. Suek
yang gratis di dunio ni Mas! Hahahaha."

Mas War hampir emosi dengan tanggapan dan tuduhan Bik Em. Namun ia mampu menguasai diri dan
membalas balik Bik Em. "Bik kamu ladas nian tawe. Gaya tawe tu seolah ngate, nuduh dan dak tuju. Tapi
ngen wang lain bae kamu akting. Sebab aku paham nian. Kamu ngakak, tawa lebar seolah tak ada salah
hanya buat nutupi kenyataan. Oleh malu ketui maling timbangan, ade dak? Hahaha bik, bik. Dee ngaku
bae. Cubo tu, minimal cak tekejut, marah oleh terbongkar aib kamu. Wakakakakakk."

Bik Em langsung bungkam merasakan kebenaran tuduhan Mas War. Layaknya sedang tanding komite
kejuaraan karate, ia kena pukulan ipon. Ia tersender di bangku warkop, berusaha melakukan serangan
balik. Sayang aktingnya terlalu intens. Ia kelewat menjiwai peran dan tetap menolak ketahuan bohong.
"Hehehe, ade nian omongamu Mas. Ade bae wang masih tawe meski aib dibongkar depan publik. Heran
pulek ku ade manusie cak itu. Hahaha."

Mas War maklum tabiat Bik Em. Ia senyum dikulum.


Wassalam..

TIGA PULUH TIGA

Ayam Dambur Tali Dinjak: Dalam Selimut Musuh

Entah kesambet atau ketenggoran, tiba-tiba Bik Em melaung lalu meribin, ngoceh gak karuan di pagi
jelang waktu sarapan. Ia sudah beres membuka warungnya, tatkala gerutuannya kena timpa tawa Mas
War yang menuju meja sudut Warkop Asoy. Di belakangnya, tampak Wak Mad menyusul ke meja Mas
War.

"Oi Mas. Memang idak dilarang tawe tu tapi jingok perasaan kawan. Ladas nian kamu ngekek, tu nah
kawan mribin dak dem dem," tegur Wak Mad selu kepada Mas War.

"Dee Wak dak usah tegoke kian. Asak kanti nga bahagia mare. Tubuk kak carek len pinggir, nelek wang
tawe ladas jadilah. Wang dang bahagia jangan diganggu,"balas Bik Em seolah dapat angin buat
menyentil Mas War.

Mas War tambah keras ngakak. Ia tahu persis saat Bik Em naik emosinya itulah jam tayang buat
ngembat makananan. Begitu pun Wak Mad. Tanpa dikomando keduanya balapan menghabiskan
gorengan. Bik Em membiarkan keduanya berebut saling mendahului makan. Ia segera teringat tabiat
orang-orang yang saat ini mengelilingi Palak Pasar. Persis kayak Mas War dan Wak Mad, manusia segala
rupa akan menghambur datang mengelilingi Palak Pasar begitu tercium aroma enak. Seperti anak ayam
yang berebutan pakan saat tuan ayam melemparkan makanan. Namun Bik Em juga tahu, setelah anak-
anak ayam itu kenyang segera bubar tanpa kesan sambil lalu menebarkan kabar tak sedap ke kandang
lainnya.

Bik Em punya banyak catatan atas ulah orang-orang seperti anak ayam yang menghambur datang saat
ada nikmat di sekitar Palak Pasar lalu memutabalikkan fakta begitu mereka menjatuhkan diri ke pelukan
ke tuan lain yang sedang membagikan kenyamanan. Bik Em pun hafal dan kenyang dengan ujaran fitnah
berbau kompor keji seperti, "aaah, tanggung nian. Ngasih lokak jangan dak bae. Kitek datang oleh
hormat bukan menjilat. Men soal makanan tubuk ade. Ikak, awak lah neman dibantu, didudukkan jadi
Palak Pasar tapi memperlakukan tubuk mecak anak tighai. Ai kerak nian. Bukannye tubuk miskin. Dem
sekali ni rubuh beno die....

Bik Em yang tadi diliputi amarah mendadak sedih. Matanya panas, lalu air mata tumpah ke pipi. Ia
segera menyodorkan semua makanan dan menyajikan kopi buat Mas War dan Wak Mad. Kedua sahabat
yang sibuk makan dan tak hirau oleh kedatangan Bik Em sedikit terganggu. Maklum dua orang buntu ini
selalu waspada saat menghadapi makanan. Meski terlihat fokus di meja namun mata kedua orang ini tak
henti jelalatan secara diam-diam. Dari ekor mata keduanya terlihat pipi Bik Em nyang mengkilat basah
air mata dengan rona kelopak mata merah.

"Nah Mas. Positif ikak. Bibik kitek... "

"Positif? Bik Em hamil?"

"Oi Mas serius. Nangis dio, positif sedih brati."

"Brati ade info pacak disebarkan?"

"Ao Mas. Japrilah mister M, musuh lah loyak. Saatnye ngegas.. "

Bik Em membiarkan kedua pelanggan itu tumpah dalam perasaan sambil menunggu waktu pembuktian.
Bik Em sengaja mengumbar keduanya dalam keleluasaan masuk ke kubu-nya. Ia yakin baik Mas War
maupun Wak Mad bakal terkejut temakan jebakan. Bik Em mengirimkan pesan kepada mister M.

"Due kijang la masuk bubu. Makmane ade dak die kirim kabar keadaan sikak?"

"Ade nian. Barusan japri ngateke nga dang loyak."

Mendengar jawaban ini Bik Em bukannya senang. Padahal sudah selayaknya bibik kitek puas karena
menang dalam permainan. Sebaliknya ia malah menangis. Kali ini diikuti suara memilukan. Ia sangat
sedih, sekian lama menolak percaya akan keculasan dua pelanggan setianya. Namun kini ia
membuktikan sendiri: orang yang baik dan makan di rumahnya ternyata menjadi musuh paling
mematikan. Dan ini nyata.

"Huwaaaa...!" Bik Em melaung-melolong kesakitan.

Wassalam..
TIGA PULUH EMPAT

Makan Kurang Piring, Begawe Lebih Mandau: Mandor Kawat

Bik Em mengaku tidak sedang kesal atau marah tapi selalu curhat kapan pun ketemu pelanggan.
Curhatan yang itu-itu saja dan menyangkut orang-orang yang itu juga.

"Ai sudahlah Mas. Jangankan cuma modal omongan. Lah ceto diperintahkan pimpinan, ade SK panitia,
eh. Kapan saatnya pupuhan mecot. Sedihnye pas idak diajak di acara atau idak kebagian baju panitia
marah nak matilah," serapah Bik Em kepada Mas War yang baru seteguk ngirup kopi di Warkop Asoy
milik Bik Em.

"Ah ngarang kamu Bik. Mane ade men la perintah Palak Pasar ade yang berani cuek. Kamu tu ade
dendam lame kalu sangkan ngateke ughang dak dem dem."

"Serius. Aku ni pelaku, saksi idop. Nyaris setiap HUT RI, HUT Muba kan ade banyak lomba kan. Nah di
situlah dibentuk panitia penanggungjawab lomba ngen acara. Lade galek manusie masuk di kepanitiaan.
Depan toke ao, siap, mantab. Kapan pelaksanaan ngelak. Aku nah neman ketiban sial. Selalu
ketempuhan tahlil. Laju nekop sen acara. Yang dak malu tu, la nolak bayi puluhan eh, pakai gaya bisik-
bisik,ngolok pulek nak berasan. Bik kamu tulah pacak ngatasi sen acara. Kami kak usaha kecik suek sen
buat pupuhan. Kamu baelah, sek toke tau nian kapan urusan mikak kamu tulah yang maju. Ape dak
kesal? Kesal nian. Tapi kapan tubuk malu diam rusak galek laju acara. Mikaklah terus. Jadi men kamu
baru boleh janji, omongan.. de dulu. Lokak mecot bae Mas."

Mas War senyum-senyum melihat gaya Bik Em curhat campur emosi. Bukan karena suka ceritanya
melainkan Mas War menikmati setiap gerakan tangan, tubuh hingga bibir, mata dan mulut Bik Em.

"Ekspresif! " Hehe

"Namek? Oi Mas tubuk serius bukannye belore, melawak mecak badut simpang empat. Nga tu cak dak
tuju, meluwat."

"Ao Bik, serius nian kamu tu. Tapi gayamu bukan cak wang marah melainkan bangga boleh hal. Mekan
tu nah, suek ekspresi wang sedih apelagi susah."

"Oo de dulu mahasku. Kitek balik mahas kanti-kanti yang sok hebat tapi neman mecot tadi. Ade yang
hebat lagi, lah dak galak ngenjuk sen eh, idak nongol begawe pulek. Gaya noke tapi fakta kere. Macet
cet."
"Tapi kujingok panitia mikak lah calak. Bagi kaos dan baju panitia pas acara hahaha."

Mendengar cawa Mas War, Bik Em jadi santai dan sedikit tertawa sedangkan Mas War ngakak panjang.
Saat situasi mulai hangat, Wak Mad datang mendekat, "Wai, bolehlah. Warkop bibik kitek selalu hangat,
pelanggan suka. Kopi bik, jangan manis igek. Raga pait yek. Ade pempek? Gorengkelah mangken sedap
sambil ngirup kupi."

"Aii. Ikak sikok lagi Mas. Gaya dak salah-salah. Kapan wang bagi bea datang, eh. Saatnya kerja bakti
ngilang. Deee dak semeghai Mas."

"Nah, baru dipuji dikit kamu lah salah perasean Bik. "

"Oi Wak, maaf ye ku dak makan olokan. Ape lagi pujian. Dai kamu pulek. Aih, dak level. Suek pengaruh!"

Karena warkop sudah banyak pelanggan, Bik Em menyetop omongannya. Hanya saja ia tak bisa
menghentikan gerak dan gejolak marahnya. Walau tanpa suara, ia masih meluapkan emosi. Jadilah, Mas
War dan Wak Mad pun bicara pakai bahasa isyarat. Keduanya puas, ngakak melihat tingkah Bik Em yang
persis aktor pantomim Jemek Supardi, Didi Petet serta Charlie Chaplin. Kebayangkan betapa norak
Warkop Asoy ni..?

Wassalam.

TIGA PULUH LIMA

Nyelam Kapak Beliung Mampus: Nestapa Budak Slot

"Kalau lah boleh sen pucuk sebatang langsung WD mangken ade modal nongkrong ngopi. Biarlah tubuk
pengangguran tapi jangan sampai kalah banyak. Kawan ngopi, tubuk bejajan pulek. Musuh otw kitek
ngayau jugek. Pokok jangan sampai tejingok sepele nian haha.. "

Wak Mad sendirian mengobarkan cita-citanya. Ia sangat ingin keluar dari kebuntuan nasib sejak
perusahaan tempatnya bekerja tutup. Layaknya eksekutif muda, para milenial yang gemar nongkrong di
cafe sembari membuat rencana bisnis, Wak Mad pun mengambil langkah ini. Di hadapannya segelas
kopi kecil dan piring kosong bekas gorengan tersaji. Ia memegang pena di tangan kanan sedangkan
tangan kiri menenteng lembaran HVS penuh coretan. Bik Em, pemilik Warkop Asoy diam-diam
mengamati gerak-gerik Wak Mad yang sejak datang bicara sendirian.

"Mas sikaklah. Caknye kanti nga butuh pendampingan. Dai tadi ngoceh dak keruan. Ku nak negonye
takut salah paham. Gancanglah!" Bik Em japri ke Mas War segera datang menyelematkan Wak Mad.

"De dulu Bik. Dang tanggung. Ade gawe dikit nah."

"Namek gawe dikit tu? De, tinggalkelah. Kasihan Wak Mad. Gek anyot."

"Aii. Nga galak dak ku mayo utang? Galak kan. Nah men galak ku nuntut sen denget gek situ."

Mendengar hutang bakal dibayar oleh tukang bon yang nyaris belum pernah bayar, Bik Em mengalah. Ia
kembali mengintai Wak Mad yang semakin tinggi mengkhayal.

"Nah ikak ade pesangon dikit. Men sekedar nakuti musuh, meloki gaya kawan dak maju. Harus mucuki
mereka mangken ngetop. Bagusnye galek pesangon dak seberape kak kelajuke buat modal," Wak Mad
bulat menginvestasikan seluruh uangnya yang cekak ke dalam akun judi online nya. "Kapan tembus,
ngengkeng nian sekali kak. Lah capek jadi wang miskin. Kene kate terus, kene uyok terus."

"Maaas. Gawat. Wak Mad lah nekat nian. Sikaklah!" Bik Em tak tega jika Wak Mad rubuh. Bukan takut
kawannya stres melainkan akan tambah jauh lanang buntu yang ngebon di Warkopnya bisa bayar
hutang.

"Jangan dak Mas. Gancanglah sikak!"

Tak ada balasan dari Mas War. Lama sekali sampai Bik Em tak sabar. Ia menelpon Mas War. "Ya halo,
sape kak?" Terdengar jawaban dari HP Mas War. Suaranya asing, Bik Em tak kenal.

"Oi Mas, jangan agak igek. Ku nah, ngape dak jawab japrianku?"

"Oh maaf, orang yang anda maksud sedang tak bisa bicara. Ini petugas. HP ini disita."

"Aii jangan ngolah ye. Kanti nga nah beguyur gile!"

"Maaf Bu, anda mungkin benar tapi salah bicara. Benar sebab pemilik HP ini kini sedang bersama Mas
War. Ia terbukti lari dari kewajiban. Salah karena Anda tak melihat sekitar saat bicara."

"Maksudnye?"

"Telek nah kidau. Nah sudah. Nah kita saling tatap sekarang. Ini nah Mas War mu sedang boleh hal
besok. Sennye abis buat main judi slot. Die tadi minjam di ku, jaminannye HP buruk kak nah. Katanya
akan bayar setelah sampai Warkop Asoy. Minta sama Bik Em pemilik Warkop. Betul ibu yang disapa Bik
Em? Nah silahkan bayar semua tanggungan bapak ini."...

Wak Mad melihat semua kejadian dari meja seberang. Ia becepat menyembunyikan semua coretan
kertas beserta duit pesangon nyang tak seberapa. Diam-diam ia menjauh. Ketika sudah di seberang jalan
ia melesat lari sambil teriak, "tobat selamaaat. Lariiiii..!

Wassalam..

TIGA PULUH ENAM

Bekarang Ayo Dalam: Gagal Landing

Mas War menyimak petuah Bik Em, tuan Warkop Asoy yang lah makan asam garam kehidupan. Sebagai
pedagang kopi dan gorengan, tak seorangpun menampik Bik Em yang lah neman nyicip asin dan masam
cuko pempek, haha.

"Dang banyak tim bayangan mikak, sebaiknye jangan bergerak basing. Harus penuh perhitungan. Siasat
harus sip. Apelagi angin dang batiup ke Jawe. Men nak idop berije!"

"Akor Bik, yakin nian ku. Tapi sikok, ngapelah nga raga dak tuju ngen Wak Mad? Ape die bubah milu jadi
bayangan pulek? Alangke sakti die."

"Die tu awalnye tepelok. Nah mikak la jadi palak pecong tim bayangan.Jingok nah kapan ngopi sikak.
Memang dak olah lagi ngebon. Ngopi, makan pempek bayo kontan. Tapi gaya ngomongnye lah mecak
hebat dewek. Galak dak masuk akal Mas."

"Anu Bik, die tu ade cita-cita nak idop lemak. Maklumi bae kalu. Ku mitulah pulek. Men pacak nak
gintaike nga jadi kepercayaan Palak Pasar. Normal bae kalu Bik setiap orang mendambakan kemajuan."

"Ai pacak nian nga Mas. Mendambakan kemajuan? Ao boleh bae, tapi nak nelek arah angin, jingok
keadaan, pasati kemampuan. Banyak faktor mangken sesuai antara cita-cita dan keadaan, antara mimpi
dan fakta. Wak Mad tu dalam catatan ku lah tige ulang milu kontes Palak Trantib tapi zong terus. Oleh
ngape? Ya, terlalu diburu nafsu. Jelas suek angin naikke layang-layang, jelas dak mungkin Mas!"

"Bukannye die istiqomah Bik. Tetap yakin dan tau diri namun terus berusaha. Baguslah itu Bik."
"Bagus bae dak jadi Mas. Nelek kemampuan otak pulek, dem tu ade dak sen. Juri kontes bukannye nabi
ngen malaikat tapi mak kitek kak lah. Masih manusie yang senang oleh makan kenyang dan barang
bagus."

"Dee mare ah. Terus maksud nga diawal tadi namek Bik? Tim bayangan tu namek gawenye?"

"Nah itu die. Nak ngatur galek jadwal acara mangken pacak ndulu kapan toke ade kendak en printah.
Intinye nak ndulu tau, ndulu paham putaran dunio. Hehehe."

"Terus namek masalahnye men sekedar nak dulu tau?"

"Die tu laju dak ngangap petugas aslinye. Dak sadar ape, di sekeliling toke masih ade ring satu toke."

"Sape tu?"

"Ku nah. Buruk-buruk mikak toke masih pecaye ngen tubuk."

"Kalau maseh dipercaye toke, ngape nga emosi, dak tuju dan jahat ari ngen Wak Mad?"

"Ao, kerne die la macak_macak. Muat jadwal acara toke pulek. Kadang ku malah datang bae di acara
tapi dak e tau duduk pangkalnya."

"Lah, brati Wak Mad tu, masuk ring setengah. Pucuk nga Bik? Wakakakakak... "

Mas War ngakak sampai tubuhnya terguncang. Bik Em merasakan pukulan Mas War. Pelanggan yang
selalu setia menyimak omongannya kini seolah orang lain yang tak dikenalnya. "Ai Mas, jangan-jangan
nga kak timses nye Wak Mad ye? Atau nga masuk pasukan tim bayangan...?"

"Wahahahahaha..... Men tau bik! Nga tu dang payah nian. Sare Bik sekali ni nga. Dak pacak ngije, ayo
dang ndalam mane biduk lah buruk Bik. Dee sabar bae."

Wassalam..

TIGA PULUH TUJUH


Mbak Kemiling Tepi Biduk: Main Aman

Setelah capek menempuh jalan sulit menuju kursi nomor satu Pasar, Bik Em tak lagi hobi akrobat, salto
serta lebih pendiam. Sadar akan kemampuan yang tak seberapa, kini Bik Em main santai, sembari
masang tajur. Sesekali masih berharap angin bertiup bagi nasib yang dipertaruhkan. Ya selain nasib,
memang tak ada harta yang pantas untuk dijadikan hitungan. Warkop Asoy tetap buka dan melayani
semua pelanggan tanpa pandang bulu. Sebab, ia yakin hanya budi baik yang kini masih melekat padanya
dan setidaknya ada saja orang yang menaruh nyawa kepadanya. Ya Mas War dan Wak Mad dua
pelanggan setianya.

"Lain nian bibik kitek. Ibarat bulan tak lagi gerhana, galek urusan dimudahkan nia. Sejak matahari
bersinar terang, ngelik Bik Em, eh hati terasa tenang," canda Mas War.

"Apelagi nak dicari kalau anak ayam sudah bisa makan sendiri, ai Mas lemaklah mak ini, galek urusan
dunio dake sudah digari," sahut Wak Mad.

"Kacang tanah ditanam pagi, disiram due kali pagi petang. Namek pulek nak dicari sek idop cuman ngije
awak sebatang."

"Kacang panjang ditanam parak cabe, kalau nak senang tolong oi berije."

Bik Em senge-senge manja. Lalu katanya. "Sudah? Ape maseh nak munyi. Deee jadilah oii. Neman nian
ngolok sekedar nak makan minom gratis bae. Suek ngebon hari kak. No ngutang yek!" Bik Em memasang
wajah sangar tapi tangannya menyodorkan sepiring gorengan ke meja Wak Mad dan Mas War.

"Aiii ngolok ye. Kami suek sen, ikak gratis ape mbayo haha," Sahut Mas War dan Wak Mad bareng
sembari meraup semua gorengan dalam cengkraman.

"Serius mbayo," jawab Bik Em sambil menarik piring.

"Haha belore oii. Agek lapo nga laju," cepat-cepat Bik Em kembali menyodorkan piring begitu melihat
wajah keduanya memerah malu.

Suasana Warkop Asoy hangat menggembirakan seperti yang sudah berjalan selama ini. Meski sempat
korsleting sebentar dan membuat penghuninya dijauhi pelanggan karena tabiat tuan Warkop yang
jumawa oleh nyaris menang kontes palak pasar. Namun keadaan itu hanya sebentar. Apalagi Bik Em
sadar dirinya hanya boneka cantik yang dipuja-puji dielus kanan-kiri demi memecah belah kekuatan.

"Tapi kami jujur indu Bik. Manelah repetanmu, ocehanmu. Sama boleh makan gratis lemak men kamu
marah. Disajike, dinjuke mikak asek kurang lemak hahaha."
"Aii daripada marah, kesal kamu maseh ladas makan minom gratis lemaklah nya jika sambil tawe. Sek
baik kesal ape senang nga bedue masih nak ngutang. Idak baik marah-marah. Tubuk bukan pimpinan.
Lain kalau tarik menang kontes palak pasar, bebas marah oleh ade tunjangan marahnye. Hahaha."

Wassalam..

TIGA PULUH DELAPAN

Sebiduk Lain Panggau: Banyak Jalan Menuju Koma

Merasa sudah penuh persiapan dan senjata berlipat, Bik Em tampil terang-terangan di segala keramaian.
Tujuannya, siapapun orangnya, kawan atau lawan akan pikir-pikir menghadapinya. Setiap orang ada
masanya, setiap masa ada tokohnya. Bik Em yakin dialah orang yang dimaui jaman. Masalahnya cuma
satu: ia tak habis pikir kenapa semua siasat dan rencananya bocor. Makanya dengan bersikap tegas
begini ia ingin memancing si pembocor keluar dari sarang. Agak jauh di sudut Warkop Asoy tampak dua
sekawan nampak serius. Melihat gesture Mas War dan Wak Mad keduanya positif terlibat cekcok parah.
Dari saling menahan emosi, bicara sopan untuk tak saling menyakiti, diakhiri saling tunjuk dan main
ancam. Bik Em menyimak keduanya sembari pelan mendekati ke meja mereka.

"Mare Mas. Kitek la lame bekanti bukan sekedar bekawan. Lah pecak dulur nian. Tapi soal sikok ni
pecaknye dak pacak diakorke lagi. Asekku galek carek la kujalanke. Ibarat tangan di bawah,lah kulakuke
demi persahabatan kitek. Ngalah, pengertian, minte maaf. Ape lagi? Suek yang lum. Padahal kapan kitek
kompak, akor satu tujuan satu perahu... "

"Ikak parang Wak. Nah leherku. Tebas men ndak."

"Ooi. Nga dulurku nian. Tapi ngapelah nolak. Sekali kak bae ku mintek."

"Wak, Ku dak pacak makse nga milu kendakku. Mitulah sebaliknye. Ambek parang tu mangken dem. Ku
pasrah nyawe ngen kamu."

Bik Em turun tangan melihat kedua sahabatnya nyaris baku bunuh. Tepatnya saling pasrah untuk
menyerahkan nyawa di tangan sahabat.

"Ooi.. Ooi.. Hush. Namek kamu bedue tu. Tubuk yang pening ngape bedue kamu nak pecah bedulur tu.
Dee, sudah pacak lah ku mikirke dunio kak. Bukan bacean kalian. Mantab-mantablah sikak, ngopi dilah.
Asak kamu akor, yang lain biar ku ngatasinnye," lerai Bik Em.

"Tapi Bik, die kak.." sahut Mas War dan Wak Mad bareng.
"Ao paham ku. Kamu, kamu ( menunjuk keduanya) pasti prihatin. Idak rela men ku kene kolah musuh.
Aku yakin kamu bedue teganggu dengan situasi yang kualami belakang tadi. Dak ape, sek ku lah siap
nian."

Kini giliran Wak Mad dan Mas War yang bengong.

"Jadi Bik, kamu paham ek, lanang jolor kak memang meluat?" sahut Mas War.

"Yakin ku, kamu pasti maklum men die sok jual mahal kan Bik?" balas Wak Mad.

Sebelum Bik Em menjawab, Mas War meneruskan duduk pangkal masalah. Bahwa baik dia dan Wak
Mad sekali ini tidak sepakat alias punya kiblat pendirian masing-masing. Selain gengsi mereka merasa
tak baik saling traktir sebab sangat tahu kondisi keuangan masing-masing.

"Aih, ya Allah dem kusut. Kireku nga bedue tu ribut oleh situasi yang kualamai bahwa setiap gerakan dan
langkah yang aku susun bocor. Tadi ku yakin nga bedue pecah kongsi oleh ketui sikok jadi pembocor
galek strategi ku. Kasnye ribut giliran sape mbayo makan sekali ikak. Aii ... Kusut, kusuut. Dem tu sejak
kapan ku ribut sape nak mbayonye. Sek kamu ngutang terus lum olah bayo sampai mikak!"

"Anu Bik, ikak tadi baru rencana sape mbayo kapan kamu nagih utang kami. Baru rencana bae tapi carek
buntu nah. Tapi kalau soal dukung kamu, setuju nian ku. Men Mas War kak nah yang lete. Masih nak
nuntut yang laen."

"Nah ape jaku!" Bik Em meradang, koma.

Wassalam..

TIGA PULUH SEMBILAN

Balamban Batang Bagiling: Nasib Anak Kapak

"Mas, ku nanye. Dikateke buyan mare. Kamu tu kan neman bejalan banyak betemu pejabat, jekse,
tentro, plisi dai yang bintang tojoh sampai suek bintang. Ade dak, beno dak, kapan atasan marah ke
anak buah boleh tunjangan. Singgonye anak buah neman amuknye?"

"Ade bae yang perangai makitu. Tapi marahnye bos tu kebanyakan oleh malu."
"Malu, ngape laju marah?"

"Ao men anak buah malu palingan ndiam, undur atau pacak jadi nangis. Ngape kapan bos malu laju
marah, sebab carek ide wang besok bukan wang kecik yang harus nahan diri sebab malu tu kan soal
harga diri Bik."

"Aolah tapi ngape kalau atasan malu laju marah?"

"Mak ujo nga tadi. Marahnye bos tu dibayo negoro. Ade tunjangan kemarahan."

"Ai bebeno Mas. Kade marah masuk itungan begawe!"

"Hahaha, belore oi. Bos yang galak marah oleh malu tu kerne biar dak malu igek. Minimal idak ditaweke
anak buah. Nah untuk nutupi jangan jadi bahan kelakar die marah duluan."

"Oo. Brati kapan bos marah belum tentu salah anak buah?"

"Oi lah pasti salah anak buah."

"Lah ujo kamu tadi.."

"Bik, Bos tu pasti beno. Yang salah tu ngape galak jadi anak buah. Cubo tuko posisi haha."

Kelakar garing Mas War mestinya tak membuat Bik Em gusar. Namanya kelakar rendah mutu
seharusnya cuekin saja. Sayang Bik Em temakan. Yang bikin lebih kesal eh, ada Wak Mad yang sedari tadi
senyum pepsodent melihat tingkah Mas War yang puas ngerjai dirinya.

"Jangan raga paham Wak. Senyam-senyom, senge-senge dak jelas. Namek nga?"

"Bhuwaahaha. Lah mecak bos nian kamu Bik. Boleh malu dikit langsung marah. Oi Mas telek nah haha."

Tawa gembira Wak Mad tak ada yang nyambut. Ia yang semula berharap ada suasana pecah sebaliknya
hanya sepi mencekam yang mengemuka. Wak Mad putar akal untuk mengembalikan kegembiraan
suasana.

"Tingat dak kamu ngen peristiwa tragis akibat tabiat pimpinan? Kamu bedue lum tue nian. Maseh segar
pasti ingatan. Tau Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo? Nah die lah mesan ngen anak buah agar negoke
pimpinan kalau salah. Dengan Prabowo sikoknye kenal? Jenderal tentro ni tegas ngateke, jika ada anak
buah yang salah itu murni tanggungjawab pimpinan..."Wak Mad sengaja menggantung pidatonya
berharap ada respon dari Mas War dan Bik Em.

Nihil. Hanya tatapan kesal yang ia dapat.


"Ku dak basing tetah ye. Kamu dak tuju mare. Yang pasti men kire-kire ade salah beno tolong njuk tau.
Terus-terang bae dak ape. Jangan malu. Untuk ape pulek malu. Kan kalian tidak mencuri!” Tukas Wak
Mad lagi mencoba menyegarkan suasana.

" Dem dem... Rusak beno Mas. Tolong dijinakke kanti nga kak. Awak tue, dak tau ujung pangkal pekare
nyahut. Untung hanya sejat Tuhan nyiptake makhluk mecak die. Asek ade kembo die, nah lokak tajual
negoro. Pakai nanye kenal dak, tau dak Listyo, Prabowo, die jenderal yang mikak mitu. Tue bae kamu tu
Wak. Bangse sepantar lelap ku nga."

"Anu Bik," Potong Mas War.

"Ngape?"

"Lah pantas nian kamu duduk jadi atasan nggintai Palak Pasar."

"Aih, raga menarik Mas omonganmu. Serius? Jela Mas, sen ku ade, tongkrongan mendukung, pintar ade,
calak jadilah. Hehe berape nomor sepatu Mas?"

"De duluuu.." Wak Mad ngakak.

"Jangan dengo die Mas. Jadi ngape nurut Mas War ku lah pantas duduk Palak Pasar?"

"Sebab kamu lah senang marah-marah kapan sedikit boleh malu."

Prang! Bik Em membanting gelas kopi Mas War dan langsung balik kanan. "Dasar tik aguk galek!"

Wassalam..

EMPAT PULUH

Nangka Rubuh Kambing Datang: Rejeki Angkat Angkut

Bik Em senang. Dua pelanggannya kini sudah ada bisnis tambahan. Artinya hutang mereka selama
betahun di Warkop Asoy miliknya pasti dibayar. Dengan tulus hati Bik Em berdoa buat keduanya. Sudah
dua hari keduanya pamitan tidak ngopi di Warkopnya demi menggeluti ladang baru, pekerjaan anyar
yang mereka jajal.

"Ya Allah, semoga boleh sen nia Mas War kanti Wak Mad. Tarikan lancar, sen aman. Ya Allah."
Belum sudah berdoa muncul dua sekawan itu.

“Ooi Bik, namek kabar?" sapa Mas War dari kejauhan. Wak Mad tampak duluan masuk ke warkop.

"Bik, aman nian. Meski sempat dak boleh jadwal tarikan akhirnye laju pulek sekali kak," Wak Mad
membawa kabar gembira.

"Positif dapat trayek?"

"Alhamdulillah. Mikak sari boleh due rit. Tapi masih mobil kecik. Baru seratus due puluh liter. Maklum
mobil hanya isi due drum."

"Tapi tetap ngemel PK situ?"

"Ooi Bik kalau itu wajib. Malah mikak kami naruh deposit. Kopi ke dulu kali. Hehe."

Sambil menyruput kopi, Wak Mad kembali bercerita. Betapa awalnya susah nian menembus trayek
angkat angkut minyak.

"Kami nak mbeli lagi sare Bik, bayangkelah. Memang gile nian bisnis yang kak."

"Ngape gile, susah? Bahaye?"

"Ai carek nak ngecuk. Tapi memang sip nia. Ade pintunye galek. Jalur umum, khusus, VIP, VVIP ade
galek. Intinye sape mbayo besok, dekeng kuat, trayek akan tarikan lancar jaya. Pasti boleh jalur khusus
ape VIP."

"Brati banyak yang boleh yek?"

"Hahahaha jela. Tapi dak lemak men nak nyebut sape bae yang boleh. Lokak ilang rejeki tubuk hahaha."

Mas War menimpali. Mereka mendapat jalur angkat angkut dan bongkar bukan karena dekengan atau
modal kuat. "Kebetulan sumur kawan meluing terus. Jadi oleh sayang tebuang kami dinjuk jalur.
Memang rejeki idak tetuko. hahaha."

"Alhamdulillah, brati lancar, sen datang, utang lunas kalu."

"Nah itu die Bik. Sen tu ade. Banyak malah. Tapi lum di tangan. Lum bae. Asak dem pegang galek utang
lunas seketike. Kontan."

"Jadi kamu simpan di Bank? Atau langsung buat modal?"


"Ao. Beno. Sementara ikak. Jadilah buat modal cerite sukses dulu Bik. Kelak kalu bae ngasil nian. Boleh
jalur, dapat tarikan, sen lancar. Doa ke Bik usaha kami jalan. Yah sekarang ibarat baru merintis jalan tapi
masih serut."

"Hemmm.... Masih mak lame. Rencana dan baru mau akan. Banyak kalau sekedar agek, kalu, mudah-
mudahan. Maceet..Maceet."

Wassalam..

EMPAT PULUH SATU

Besok Suap dai Mekan: Cermin Kebodohan

Ternyata benar. Orang baru selalu norak. Entah baru belajar, baru bisa atau baru menjajal sesuatu yang
masih baru, jika tidak norak ya minimal wagu dan lucu. Seperti Bik Em, belakangan punya banyak
kelucuan. Jelas-jelas sejak kecil buka puasa makan nasi, ubi atau jagung, eh. Tahun ini sejak Warkop
Asoy miliknya banyak pelanggan asal Timur Tengah tiba-tiba ngomong yang paling afdol dan sempurna
buka puasa yakni makan kurma. Satu lagi, sejak Bik Em doyan membaca, kini dia paling hobi bicara
kerugian negara. Padahal pejabat bukan, auditor jauh, plisi, jakse bukan pulek. Kalau ditarik dari situasi
kebaruannya, yang paling memungkinkan Bik Em masuk kategori baru hobi komentar.

"Jika dikeker sepanjang tahun 2022, kerugian negara dipicu kondisi korupsi di Indonesia memang
semakin mengkhawatirkan. Korupsi terjadi hampir di seluruh sektor pemerintahan, baik lembaga
ekstekutif, legilsatif. Yang paling memilukan bin memalukan, yolah korupsi oleh hakim agung. Dem
lengkap beno. Kitek rakyat yang paling sial sebab prinsip check and balances tige cabang kekuasaan tu
zong dan macet," ucap Bik Em lantang sekaligus menguji pemahaman berita yang baru selesai dibacanya
kepada dirinya sendiri.

Merasa kurang puas dengan ketajaman nalar sendiri, tuan warung ini kembali melakukan ujian mandiri.
Sekali ini soal pendapatan dan pengeluaran. Saking seriusnya, ia hanya mengangguk saja melihat
kedatangan Mas War dan Wak Mad di Warkop Asoy miliknya. Merasa ada yang baru dari tuan Warkop,
kedua pelanggan ini kontan menyimak.

"Jika tiap akhir bulan tak punya uang dipastikan orang tersebut buntu. Mereka ini tak bisa mencegah
laku boros saat menerima gaji dan halu begitu masuk minggu terakhir bulan berjalan. Nah Mas, Wak,
mumpung nga ade. Sekalian dengo yek. Penting nian ikak," sapa Bik Em kepada kedua pelanggan yang
nampak takjub padanya.

"Teruus..Bila Anda adalah salah satu orang yang kehabisan uang dan terpaksa harus memakan mie
instan di akhir bulan, sedangke makannye pun ngutang maka kemungkinan besar Anda adalah salah satu
dari banyaknya wang yang besok suap dai mekan. Nah terakhir, jika hasil cukup maka kecik
kemungkinan ngutang. Utang jadi pilihan terakhir andai sen yang ade tak cukup buat nutup kebutuhan.
Nah Mas, Wak, ade banyak yang kamu bedue pacak ambek baik situasi dan kesulitannye. Paham ...?"

"De ao Bik paham. Kamu nak ngateke kami miskin, tukang ngutang dak terti manajemen keuangan,
boros, besoklah suap dai mekan. Dem paham kami...," Jawab Mas War ngalah namun keburu dipotong
Bik Em.

"Oi Mas, Wak jangan salah. Aku idak ye ngateke nga masuk golongan yang kubace mpai tadi."

"Jadi maksud nga kami ni lain? Istimewa? Jadi kamu idak nguyok kami. Ai tumben Bik baik hati. Hehehe."

"Hemm, jangan mokasih dulu jangan senang dulu. Simak baik-baik carek memahami istilah dan keadaan.
Pertame, yang disebut boros yelah yang abis sen tiap akhir bulan oleh dak pacak nyegah pengeluaran
berlebihan di awal gajian. Makenye abis sen, buntu akhir bulan."

"Nah ao jela kami mitulah Bik."

"Oi bukan. Kamu jelas idak masuk kategori kak. Mane nak dikateke abis sen di akhir bulan sedangke awal
bulan bae suek sen sek idak begaji dan katik pemasukan. Hahaha. Terus ke due dan ketige, yelah kamu
tiap akhir bulan makan mie, ngutang di ku. Parahnye utang lah jadi tumpuan idop kamu. Jadiii... nak
makan mie awal, tengah atau akhir bulan kamu tu masih beutang tulah bukan kepepet kerne abis sen
tapi memang suek sen nian. Makenye idop kamu sungguh bergantung di utang."

"Iyo. Aoo Bik kami paham tergolong yang besok suap dai mekan. Lebih besar pengeluaran daripada
pemasukan. Tapi jangan menghina nian Bik," sopan Mas War dan Wak Mad mohon Bik Em menyudahi
ejekan nya.

"Wakakakak. Mane kamu nak disebut lebih besar pengeluaran dari pemasukan? Gaji suek, sen suek,
makan lancar, ngopi laju, utang numpuk katik yang nagih. Jadi menurut ku nga bedue bukan lagi besok
suap dai makan tapi termasuk manusia istimewa yang besok suap nian suek mekan hahaha,"

Wassalam..

EMPAT PULUH DUA

Ayam Hitam Terbang Malam: Au Ah Gelap


Belum sebentar senang, Bik Em kembali dibuat pening. Gara-garanya, sejak diangkat sebagai kepala
humas pasar justru sering kena salib anak buah. Sejumlah acara Palak Pasar yang mestinya jadi
tanggungjawab Bik Em kerap diambil alih dan dijalankan oleh anak buah.

'Aii Mas, caknye anak buah ni dak terti hirarki. Nak diajo sopan santun lagi retinye," kesal Bik Em
memulai obrolan.

"Lah ngape pening Bik. Bersyukur men ade anak buah pacak begawe mangken tubuk santai. Sek anak
buah sekedar urusan teknis lapangan. Soal kebijakan dan hal prinsip kan balik kamu. Santai bae, jangan
pulek anak buah yang pintar tu dianggap mecak ancaman ooi."

"Ao memang beno Mas. Tapi beno-beno bae. Malu bae kapan palak trantib atau yang lain nanye, Bik
acara ape ikak rada mendadak? Nah oleh tubuk dak tau kan laju malu Mas."

"Oo kalau mitu kejadiannye lain. Brati anak buah tu salah nian oleh idak melapor."

"Nah men tau."

"Jadi sape nian budak tu?"

Bik Em pelan bebisik, "ikak rasie yek. Jangan ngomong yang lain, oke?"

"Siap Bik. Aman. Pecah di perut men soal rasie."

"Kanti nga. Si anu tu nah."

"Haa? Brani die? Awak budak kemarin sore. Kemek lagi lum lurus. Ai melawannye. Dem, dem lokak
anyot die. Ape lah ngomong langsung ngen Palak Pasar kamu Bik?"

"Nah di situ masalahnye Mas. Teka Palak Pasar ngangguki die pulek. Dem timbul malas begawe ku.
Ambek lah galek. Maree."

Mas War ingin melanjutkan obrolan tapi dia sadar Bik Em sedang emosi. Sambil menunggu jeda emosi
Bik Em hilang, dia menyeruput kopi yang sedari tadi belum disenggol sama sekali. Sepuluh menit berlalu,
suasana masih lengang. Lalu Mas War nyanyi.

"Dem Mas suare buruk brentilah nyanyi tambah pening ku."

"Eh, kireku tido Bik raga sepi sedari tadi hehehe,” Mas senang pancingannya termakan. Lalu
sambungnya,” Kan balik-balik bagian Bik. Mugolah die melintang-lintang ngambek gawean nga. Asak
bukan tekdir lepas gula. Ibarat roti lah diteguk bae men idak rejeki temuntah lagi. Santai bae, seluu
bibiku.."
"Nga pacak ngomong selu tu oleh lum olah duduk di posisi tubuk. Sakitnya tuh di sini Mas (sambil nunjuk
ke dada)."

"Wai dalaaam cak nye tuh. Sekarang dibalik capek kandangnye Bik. Ternyate bukan kendak budak tu
melintang-lintang melainkan die menjalankan perintah Palak Pasar. Makmanelah kire-kire?"

"Suek-suek Mas. Yang beno tu yang namenye anak buah bergerak oleh diperintah dan menjalankan
arahan atasan langsung. Bukannye melompat sekendak. Mitulah pulek atasan, pasti mandang anak buah
langsung. Dak mungkin mrintah staf yang posisinye jauuh di bawah. Manajemen moderen Mas. Ai tapi
percuma sek kamu dak terti di manajemen. Mane moderen pulek. De... Lajulah. Beno nga tula. Lajulah
gaweke galek, tubuk nak santai. Alhamdulillah pacak istirahat, tenang... "

"Wakakakak lah kukateke di depan, santai, selu jangan emosi. Nga bae dasar terlalu menghayati
gawean. Ikak urusan dunio galek Bik."

"Ao urusan dunio tapi masih nak dikeruanke mangken dem."

"Jela. Ikak la dem. Asak kamu paham dan terti keadaan. Hahaha."

"De ao Mas. Maree."

Begitulah keseruan Mas War menurunkan tensi Bik Em sampai-sampai tak tahu Warkop Asoy ramai
pelanggan dan keduanya jadi tontonan. Wak Mad yang juga ada di situ tanpa beban ikut nimbrung.

"Kireku kamu bedue siru ape. Kasnye curhat dak jelas. Cubo bahasan tu yang lemak dikit. Semisal kapan
kawin, kapan pesta, atau kabar gembira namek bae lah. Kalau soal pekerjaan pasti ade kesulitan,
tantangan, tapi itu memang wajar. Ade dak Mas? Beno dak Bik?"

"Au ah Wak, gelap!"

Wassalam...

EMPAT PULUH TIGA

Ayam Putih Terbang Siang Hinggap di Reges Daun: Rejeki Mata


Ngopi pagi paling enak disambi ngobrol ngalor-ngidul tanpa juntrung. Mana bayarnya boleh ngutang, eh.
Nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Begitulah, pagi-pagi Mas War dan Wak Mad asyik ngegosip di
Warkop Asoy milik Bik Em.

"Gile nian Wak. Tadi ade kades diinterogasi petugas soal pengeboran minyak liar. Awalnye die nyawab
idak tahu. Lalu oleh didesak terus die njawab basing.

“Caknye tu idak dilarang Pak.”

“Tidak dilarang gimana?” tanye petugas lagi.

“Laah Pak menurutku jela legal. Ngedok di pinggir jalan. Kido kanan banyak tegak warung tiban. Teka
tukang las ade. Mobil wara-wiri siang hari tanpa hambatan, terang-terangan ngangkut-ngangkat minyak.
Kade men dilarang mereka cak idak bae.”

Nah kalau menurut Wak Mad, makmane?"

"Itu sih anu Mas. Kan si kades tu njawab anu... "

"Anu-anu makmane Wak. Dak jelas. Kades tu ngateke molot minyak sumur tue legal oleh dilakuke siang
bolong tanpa maling-maling."

"Nah, lah kamu sebut jelas nian tanpa maling-maling brati boleh Mas. Mon dilarang pasti molotnye dian-
diam, ngangkutnye sembunyi-sembunyi. Bener brati jawaban kades tu."

"Haha, ikak baru beno. Tapi beno-beno bae Wak. Mane ade ngedok harte negoro sekendak idak
dilarang."

"Mitu ek?"

Merasa tak tahu obrolan bakal menuju kemana, kedua sahabat sama pendek pengetahuan ini beralih ke
bahasan lain. Kali ini soal penambang pasir di sungai Musi. Endingnya sama. Sama-sama tak paham inti
masalah. Lalu topik pembicaraan melompat tentang maraknya bom ikan, racun ikan, setrum ikan.
Awalnya agak seru karena keduanya menaksir jika ikan-ikan di sungai Musi dan puluhan sungai
anakannnya diburu secara membabibuta maka generasi mendatang akan kesusahan mengenal baung,
lais, tapa hingga seluang. Mas War cemas anak cucu kelak hanya kenal lewat gambar dan foto jika ikan
dihabisi secara brutal. Wak Mad juga kecewa sebab perilaku manusia tak lagi adil alias mencari ikan
semaunya saja.

"Salah plisi ape salah tubuk ikak Mas? "

"Salah kamu Wak pacak nanye bae."


"Nee.. Kok ku yang salah!"

"Jelas, sebab kitek galek saling nunggu, nanye dak dem-dem sedangke ikan terus abes diburu!"

"Maksud Mas jangan neman igek betanye, kitek, kamu, ku, plisi, warga sekitar Muba angat jangan
meracun, ngebom en nyetrum?"

"Heh, mon tau!"

Kopi di gelas Wak Mad dan Mas War tandas. Sepiring kacepan lebar, pindah ke perut keduanya. Saat
mau nambah orderan kopi, Bik Em lebih dulu nyegak. "Ai bagus ye. Cakep beno. Pagi-pagi la bahas
negoro. Pegawai bukan pejabat bukan sibuk bahas hal yang idak mungkin pacak dipecahkan. De dulu.
Mantab-mantab bae nga bedue tu sikak. Sape tau ade hek lemak datang, tige aghai lagi coblosan, sape
tau boleh bom ape racun amplop calon campak sikak."

"Ish.. Ishh, bibik ni. Ngate nian, jaman mikak mane ade calon ngebom pemilih," bantah Mas War dan
Wak Mad bareng. Saking semangatnya menolak anggapan Bik Em, keduanya tegak dan bicara berapi-api
sambil tolak pinggang. Dasar sial, sebuah amplop di lipatan celana keduanya menyembul dan jatuh. Bik
Em memungutnya seraya berkata, "ade nian suek lagi calon ngebom sen mikak aghai. De buangku bae
amplop kak."

Mas War dan Wak Mad melongo dan kesal campur malu. Namun akting keduanya terlalu mumpuni. "Ao
Bik buangke bae amplop tu. Dasar tik aguk nian para calon ni."

"Caknye ade isinye, jela sen Mas, Wak..nian nak dibuang?"

"Mugolah bik. Lajulah. Buangke lah.... " tampak wajah Mas War dan Wak Mad merah lalu nangis

Wassalam..

EMPAT PULUH EMPAT

Bakijab Same Bute: Yo Ndak Keno Beibeh.

"Untung nian ku, Mas, Wak. Walau lahir dai broyot sugih idak manak dingen diajo belaku baik same sape
bae makhluk tuhan. Jadi soal senang susah di dunio lah lengkap. Galek asek sudem. Tula sangkan ku
muka warung kopi oleh indu suasana saling bebagi. Men soal sen, rejeki , yakin bae itu bagian. Asak
Tuhan menghendaki pastilah mengalir. Apelagi tubuk dak banyak kendak. Sebatas kebutuhan pokok
terpenuhi dem, sisenye jelah buat berbagi."

"Yang susah ku Bik. Lah biase suek kesibukan, eh mikak dang banjir beno. Pagi, siang, petang sampai
malam idak brenti. Dak dem dem ngurusi data pilkada. Jadi mpai mikaklah ku ngrasek susahnye jadi alat
negara. Dibiarkan makin melawan ditegoke kawan. Nah mangken akor laju sekolingan. Oleh sepakat
sekolingan jela tujuan jadi mecot. Meski idak berseberangan tapi cibul dai cita-cita semula."

"Ai sibuk nian brati kamu Mas. Namek maksudnye ngurus data pilkada tu? Ape mikak gawe di KPU? ape
panitia pemilik yang di kecamatan?"

"Hehe mitulah Bik. Ku megang tanggungjawab penting nia sebab ikak langsung ke urat nadi Demokrasi.
Sekali bekonop rusak sekaset."

"Lah tapi tadi ujo kamu galak susah kapan bertemu kawan dewek yang ngajak bersiasat mangken urusan
akor?"

"Yang makitu ade bae Bik. Tapi idak banyak. Dem tu biasanye bukan pemain utama. Carek nuntut
rempesan lah."

Wak Mad yang sejak awal memperhatikan obrolan dua orang itu akhirnya bosan. Bukan oleh mutu
obrolan melainkan bosan untuk menahan diri atas kejadian yang tidak pas.

"Lah kudiamke tapi bukannye malu justru tambah jadi. Mas, de dulu kamu ngomong besak tu. Depan
wang lain bae pamer uap, sebasing tetah ngen wang lain mudah. Depan ku jangan gagah igek. Pacak nga
mudi ke budak, tapi ngen tubuk malu kalu."

Bik Em yang lama tak terlibat konflik segera mengambil jarak dari keduanya. Kalaupun terjadi masalah,
setidaknya, Bik Em tidak berada di tengah dua sahabat itu. Sedang Mas War merasa dapat panggung.
Disinggung Wak Mad bikin dirinya makin yakin bersikap. Ia menarik Bik Em dalam bahasan. "Mumpung
ade saksi, penonton, Bik Em jadi saksi yek. Kak nah Wak Mad wang melawan. Sayang bukan melawan
musuh tapi kawan dewek. Kendakku melawan di luo nah bukan di kandang dewek."

"Wokeh. Nga ngateke ku seolah betindak sekendak dewek idak meloki aturan. Ape aturan mikak lade
perasean singgonye pacak nilai mane salah mane beno. Sedangke nga, mikak mpai bajo aturan. Telek
nah Bik Em, wang sugih lame idak silau keadaan. Baik dan idak sombong."

“Hahaha ku tu masati kamu bedue sejak awal lum terti nian pangkal berbantahan tu. Jadi namek nian
masalahnye?”
“Men masalah tu suek Bik, ciuman Mas War kak nah. Baru mendaftar jadi petugas pemilu lah mecak
yolah nian. Duduk be lum cak sibuk nak matilah.”

“Jadi baru mau akan? Dee Mas daripade ketinggian hayalan tu, kak nah kopi gratis. Hehe.”

Wassalam..

EMPAT PULUH LIMA

Mudah Kate Sego Sebut: Bukan Sim Salabim

Tak seperti biasanya yang lincah dan akrobatik, Bik Em kini tampil kalem cenderung santai. Kelakuan ini
dipicu pengalaman sejak balita Bik Em yang tomboy, lincah hingga hobi panjat memanjat segala arena.
Latar ini membentuk karakter Bik Em dewasa yang responsif, gemar menyambar omongan orang dan
suka nyolot. Tapi itu sudah jadi masa lalu tuan Warkop Asoy. Profilenya yang hanya tukang gorengan itu
sudah dipermaknya semenjak duduk sebagai orang kepercayaan Palak Pasar. Untuk menjaga citra Palak
Pasar ia pun memilih jalan damai dan gembira kepada setiap pelanggannya. Seperti yang
dipraktikkannya saat melihat Mas War duduk sendirian di Warkopnya, tanpa teman.

"Aii pagi-pagi lah menung dewekan suek kanti, ape ndak ngopi Mas?" canda Bik Em, kepada Mas War
yang tetap diam.

"Ai serius nian. Kitek ramike yek. Tebak-tebakan galak? Sekalian ngetes otak masih waras dak, oke? Nah
berikut adalah kalimat tidak biasa. Ku sebutke, Mas merekapnye, ek? Di alam semesta yang penuh
misteri kita harus hidup ala kadalnya, sebab di ulat nadi manusia sudah tertanam prinsip kehati-hatian
yakni selalu unta makan selamat. Jika tidak, bisa segera berakhir di camar mayat. Mari, gajahlah
keselamatan masing-masing di jalan sebab kita tak bisa terbang seperti leletawar. Nah cubo tebak, ade
berape binatang pada kalimat di atas, hayo tebak?"

Diperlakukan layaknya anak kecil yang doyan tebak-tebakan receh, Mas War bereaksi, "de dulu awak lah
tue begaya cak budak alus. Ade dak omongan yang lebih bermutu?" jawab Mas War menantang.

Merasa pancingannya kena Bik Em gembira, "Nah mitu Mas. Pagi tu tawe mangken tejingok syukur lah
dinjuk bernafas gratis, bejalan di bomi Tuhan idak mayo. Ngopi ngutang. Nikmat mane lagi yang kamu
dustakan? Hehe."

"Ai kapan-kapan kamu raga sejuk Bik. Aga la bubah tabiat tu?"
"Bukan bubah Mas tapi inilah aslinye diriku apa adanya ha-ha-ha."

"Nee.. Pakai sok filsafat pulek. Awak paham dak."

Kehangatan pagi di Warkop Asoy makin meninggi hingga datanglah Wak Mad yang mendadak muncul di
TKP. "Suit, suiit. Ai raga laen kelakar kamu bedue ni. Baru boleh budak ape?"

Keruan saja, ceplosan Wak Mad bikin keduanya canggung. "Nee awak tue betetah basing. Tula men dak
makan sekolah," sahut Bik Em jahil.

"Aii, marah ape malu?"

"Maaf ye, marah ngen kamu rugi Wak. Idak level. Malu? Ape ku mencuri? Idak tuh," enteng Bik Em
menimpali.

"Ao ngaku marah dak malu dak tapi lancip nia bibo tu hihi."

Karena obrolan Wak Mad dan Bik Em menjurus panas, Mas War ikutan komentar. Dengan gaya kocak ia
berseloroh dengan logat Jawa medok,"Dem kamu bedue kak nak bebala bae. Ayo coba tebak, saya
orang Jawa ape orang Sekayu?"

Mendengar Mas War bicara bahasa Sekayu logat Jawa medok bikin keduanya ngakak. Lalu Mas War
melanjutkan, "Wak, Bik, la tau lum rasie besok toke kitek? Nak bocorannye dak?"

"Ah gosip ape lagi oii. Dang mikak lemak bahas yang dengen bae Mas," kata Bik Em.

"Ao beno Mas. Kitek bahas makmane carek idop lemak," sambung Wak Mad.

"Tula dengo dulu. Sangkan ku ngajak mahas rasie toke oleh hak lemak nak idop senang. Jadi tau lum
kamu tu? Palak Pasar kitek dang senang ati oleh titik titik.. Ayo tebak, tebak."

"Boleh budak? Tembus arisan? Kene togel? Dapat perahu anyar?" Jawab Bik Em dan Wak Mad
bersahutan asal.

"Salah basing ae jawab. Toke kitek senang kerne boleh... namek ayo, tebak, tebak."

"Dem idak nak tebak-tebak. Oleh ape Mas?"

"Ooi semangat jangan melempem. Toke kitek senang yolah oleh?"

"Asekku yang ade neman nyuruh kitek bebagi tugas meluruh hal, Mas. Toke senang ao, tubuk nah sare.
Rasie ape die,"kesal Wak Mad.
Berbeda dengan Wak Mad, Bik Em mencoba menanggapi bijak. "Ade nian Mas. Ku sebagai anak buah
senang nian pacak meringanke tugas toke. Tapi ngapelah kapan hal balik ke tubuk. Sedangke lokak
lemak wang lain yang kebagian."

"Aii Bik itu bukan njawab rasie tapi curhat namenye. Dem dak maju kamu bedue kak. Kurang tanggap
dengan keadaan. Aku bisikke ek. Toke kitek senang oleh…”

“Oleh ape?”

“Oleh pacak menjaga rahasia. Ibarat dulu duduk pucuk tower mikak lah tegak samping satelit. Jadi, galek
gawe anak buah tau dan paham. Hebatnye, toke cak-cak dak tau kapan para anak buah saling lapor
saling kate. Teka ade anak buah ngadu domba, eh. Toke masih mak dak bae. Walhasil ape?"

"Kok nanye Mas. Nga tu ujo ngenjuk bocoran rasie tapi nanye. Dak masuk akal."

"Walhasil, toke laju tau mane anak buah hobi begawe mane yang besak uap. Hebat kan? Jadi nga dak
usah sok ribut raga ngenjuk masukan ngen toke seolah paling paham. Jangan. Sebab galek informasi
ditangkapnye. Intel pucuk intel toke kitek kak."

Wak Mad tampak gusar. Semua penjelasan Mas War tak satupun yang menguntungkan dirinya. "Jadi
Mas, kalau toke lah senang mak ujo kamu. Lah tau galek tabiat anak buah, trus namek untungnye tubuk?
Itu tu ibarat ngolake anak buah nemenye. Adu domba sisip dikit."

"Hus!" hardik Bik Em. "Sebagai anak buah, nga tu santai bae. Rasie yang dibagi Mas War anggap bae
suek. Tapi diem-diem kitek jadike senjata. Jadi pas ngadap toke kitek dak usah laporan Wak."

"Ngadep kok ndiam. Aneh pulek laju."

"Kan strategi mangken toke dak tau di tabiat kitek wakakakak."

"Oke, oke. Sip. Jadi kitek sepaham ek. Kapan depan toke cak-cak dak tau. Walau dipakse tetep konsisten
ndiam dan idak bocor bahwa toke paham dan tau galek gawe kitek," Senang Mas War menutup cerita
rahasia Palak Pasar.

Akhirnya Wak Mad sepakat dengan Bik Em dan Mas War. Dia berjanji akan tetep cool saat dipanggil atau
menghadap Palak Pasar. Hingga seminggu dirinya berhasil konsisten memegang sikap. Sayangnya lewat
seminggu, saat Wak Mad dipanggil Palak Pasar dan dikroscek perihal tugas mendata pedagang pasar
yang hasilnya jauh berbeda dengan laporan Bik Em, Wak Mad tak bisa diam. Ia terpaksa bicara terus-
terang, “Jadi mikak bos, tubuk lah dengo nian rasie kamu berkat bocoran dai Mas War. Jadi mugolah
kamu pakse ku idak nak njawab. Sebab ujo Mas War kamu lah tau dan paham galek gawe kami. Kalau
dulu kamu duduk pucuk tower mikak teka satelit lah kamu pijak. Jadi aku no comment."
Wassalam..

EMPAT PULUH ENAM

Bodoh Baghak Kanji Melali: Sumpah, Susah Omong Dah!

Bik Em bernyanyi tralala trilili. Hatinya senang bukan kepalang. Sambil menyanyi ia juga menggoyangkan
seluruh badannya. Kadang meliuk bahkan melompat di antara meja dan kursi di Warkop Asoy miliknya.
Dunia seolah dalam genggamannya. Tingkahnya yang eksentrik menyedot perhatian pelanggan di
Warkop Asoy. Hingga memancing Wak Mad iseng komentar.

"Asekku pesan nenek jangan melawan wang benasib ngen gile. Kasnye ade lagi.Jelah jangan melawan
wang buyan yang sok pintar, suek malu pulek. Dem dak sanggup nian tubuk," simbat Wak Mad.

"Ngapelah wang mitu laju bebas norma yek?" timpal Mas War.

"Sebab nalarnye dak penuh. Jadi kapan die ngomong begaung dalam tulah menuhi palak dewek. Dake
mungkin dengo omongan wang hahaha."

Bik Em tak terganggu omongan dua pelanggan setia yang menyindirnya. Ia cuek.

"Makmane? Ade dak die dengo tetah kitek?"

"Ade nia. Dak mungkin pagahnye, sek suare die gamarontang di palaknye."

Namun Mas War dan Wak Mad timbul penasaran. Sekali ini mereka sengaja teriak di depan Bik Em.
Sambil menggerakkan tangan dan kaki, dua sekawan itu akting layaknya orang tak waras. Melihat laku
keduanya Bik Em bereaksi dan berhenti menyanyi. Ia merasa dihina.

"You and you...namek pasal pagi-pagi lah beguyur gile. Kalau ada masalah lapor plisi jangan laju nganar
sikak. Ape nak kupanggilke dinas sosial?" Kesal Bik Em karena keasyikannya terganggu.

"Kamu tula Bik. Tubuk ke sikak oleh nga undang. Ujo nak mahas soal nafsu dan kerakusan manusie. Nah
sekarang kami lade bahan. Dengo ek, jika pedagang hanya punya ambisi menguasai pasar, maka pacak
kene dikte setan. Sisip dikit pedagang rakus tu pacak ketenggoran, kerasukan ambisi dewek, maaf
ngomong pacak gile."

"Ooi kagek dulu. Pedagang memang bepikir mutar sen mangken boleh untung. Kalau nak muang modal,
bagi-bagi sen itu namenye yayasan atau panti asuhan. Nah sedangke, maaf ngomong, pendatang mecak
kamu tu nah galak telio-lio hek ughang. Laju dirasuki ambisi belebih yang di pompa nafsu iri, dengki. Ikak
baru disebut gile Mas."

"Jadi ngape nga tadi benyanyi, joget-joget, memaluke diri dewek, maaf ngomong, mak wang gile tu ape
oleh kerasukan nafsu menang dewek?"

"Aii, cabut omongan tu. Nak nyanyi nak nguling bebas sek ikak warungku nian. Maluke diri dewek? Ape
ku maling, mencuri, ngambek hek ughang? Maaf ek, men sugih tu idak tapi jelas idak kurang. Sen-sen ku
nian, warung-warungku nian. Nak ngape nga. Bukan mecak kamu makan minum ngutang."

"Nah repot men lah emosi. Debat yang masuk akal bae jangan pulek dimasukke ati. Eh, mentang dak
pacak ngimbangi kami."

Begitulah suasana Warkop Asoy, kalau tak ramai bukan asoy namanya. Namun, sekeras dan sedalam
apapun tusukan kelakar hingga pisuhan yang saling mereka sarangkan tak pernah berujung baku pukul.
Bahkan sekedar dendam tak sudah pun tak terjadi. Apalagi adegan latihan ini sengaja direka andai
menghadapi orang bodoh yang ngeyel dan mau menang sendiri. Maklum sejak Indonesia gagal jadi tuan
rumah Piala Dunia U20, banyak orang tak memerlukan alasan untuk emosi dan menyerang orang.

Bik Em selaku tuan Warkop memang menjadikan warungnya sebagai tempat para pelanggan membuang
penat. Dengan santai dan kembali penuh canda ketiganya sepakat menyudahi akting. Lalu Bik Em
pidato,"Jadi la paham nian kan. Melawan wang buyan tu susah. Memang kendak kitek idop tu aman,
nyaman, tentram. Tapi balak kadang datang tanpa diundang. Makmane? Ape nak terus kitek?"

"Jadilah Bik. Mpai latihan be la terasek makan dalam. Ati kene utak luke haha," jawab Mas War puas.

"Ao lah akor nian Bik carek kitek mainke peran. Tapi btw, tubuk latihan terus ade dak kire-kire jadwal
pentasnye? Wakakakakak!"

"Nee kitek belatih tu mangken kebal kapan ngadapi dan betemu sosok mitu. Kapan dak betemu,
dee..alhamdulillah. Jadi kapan tiba saatnya kitek pacak bekelak sekaligus nyerang. Men pacak sekali
tendang ngegol due gawang. Haha, begono Mas."

Wassalam..
EMPAT PULUH TUJUH

Merajuk Ilang Sughang: Gagal Eksis

Sebagai tuan Warkop Asoy, Bik Em paham betul warungnya bukan saja tempat ngopi dan makan tapi
seringkali sudah jadi semacam terminal atau tempat berkumpul banyak orang. Makanya dia pun paham
jika sejumlah pembeli kadang sampai berjam-jam dari buka warung sampai dekat waktu tutup hanya
mesan segelas kopi. Tak lain karena orang merasa nyaman dan betah ngobrol walau hanya modal kopi
segelas. Dan Bik Em merelakan kebahagiaan pelanggannya berlama-lama di warungnya walau tak
banyak belanja. Inilah prinsip yang dipegang Bik Em: berdagang bukan saja cari rejeki melainkan
menambah saudara.

Padahal, tak sedikit bahasan pelanggannya yang tak sedap dan pahit. Malah kebanyakan justru berupa
gosip serta fitnah. Makanya tak sedikit pelanggannya yang kadang hilang atau tak nongol di antara
rombongan ngopinya. Soal ini Bik Em ikut prihatin. Lantaran sedikit gesekan dipicu guyonan ternyata
bikin merajuk. Ia ingat persis kedukaan Mas War akibat satu kawannya gak lagi mau ngopi bareng.

"Bekanti jangan makai perasean gek cinto. Lemak men akor terus. Tepeci dang purek laju benci setengah
mati. Memang ladas, aman, tentram idop dewekan tapi jelas miskin bekal akhirat. Apelagi mutus
silaturahmi, jangan nian. Nah die tanpa pasal tau tau kontan ngilang. Jangan mudah igek merajuk. Lah
banyak contoh oleh minggir nolak kesal laju kebablasan ilang sughang. Meguk menung dewekan laju
gile. Nah lame dak tekabar sekali dapat undangan jelah yasinan," ucap Bik Em mengulang rutukan Mas
War.

Lain waktu Bik Em mendengar gerutuan pelanggan lain yakni Wak Mad, "susah nian men sedikit kesal
laju merajuk. Lemak men budak yang merujuk njuk permen selesai. Ikak, awak tue. Payah men merajuk
tue permen setruk masih dak mempan."

Suatu hari, Mas War dan Wak Mad datang barengan dan kompak ngomel. Pasalnya juga sama: tentang
kawan yang ngilang gegara hal sepele.

"Memang kadang baguslah idop di utan bekawan beruk sekalian. Kapan beruk merajuk de talakkelah sek
namenye binatang. Dak usah tegoke nian."

"Ai kasar Wak omongan tu. Nga tu nyindir ape ngateku nian?"
"Oi Mas, nyindir tu kalau yang disindir merasek. Ngate tu kapan yang disasar ade depan mekan. Nah
sekarang terserah kamu."

"Maksud nga namek Wak. Men nuduh langsung bae."

"Terserah Mas ngartikennye. Ku lah ngomong. Jadi namek tanggapan nga?"

Bik Em langsung teriak melerai. "Ooi kamu bedue bebala ape dang bekule? Cak-cak marah tapi raga
penuh perasean. Haha. Sudah ikhlaske bae dak usah nak pikirke nian. Memang makitulah die."

"Nah dem. Tine kak sekali komen ngajak rusak tula. Ikak ni mahas omongan Wak Mad yang nyasar ku.
Ngateku. Ngajak kerok."

"Ah itu kan perasaan Dik War bae. Ku kan cuman ngomong bukan nuduh nga."

Karena kedua pelanggan itu tak bisa dicegah lagi Bik Em menjauh segera. Ia membanting pintu warung,
membuang telapak meja dan tidur telentang di atasnya. Demi melihat ulah Bik Em dua sekawan itu
langsung menyusul. "Oi Bik merajuk boleh tapi jangan mecak budak, tido telentang pucuk meja.
Bukannye tubuk ni idak teganggu oleh pose nga. Tapi men la gile nian nak dikeruane haha"

Wassalam..

EMPAT PULUH DELAPAN

Bagai Semut Dingen Seluang: Bahaya Laten Komporis

Bik Em merasa sedih melihat dua pelanggan, Mas War dan Wak Mad yang sebelumnya selalu akur dan
rukun tiba-tiba bermusuhan. Asal sedang asyik ngobrol dengan Mas War lalu tak sengaja terselip nama
Wak Mad, langsung saja Mas War sewot. Begitu juga sebaliknya, Bik Em sering merasa bersalah saat
menyebut nama Mas War dan bikin emosi Wak Mad naik. Tuan Warkop Asoy ini tak habis pikir, hal apa
yang membuat keduanya bagai anak anjing dan anak kucing yang setiap kali bertemu selalu ribut.
"Lemak men due cs tu masih budak. Ikak la tue tapi mecak anak anjing dan anak kucing. Keruan kalau
begoco nian. Ikak saling jelit same ngagangi bae. Aih mak beruk musim kawin bae. Hehehe," Tak sengaja
Bik Em ngomong dewekan tak sadar jika Mas War sudah duduk di Warkopnya.

"Mare Bik. Ladas ye nga tawe. Pasti oleh dengo kabar busuk dari Wak jolor kan?"

"Eh, Mas War. Kapan datang, kopi ape teh?" Bik Em pura-pura ramah karena malu.

"Dee dulu. Jangan sok ramah. Namek ujo die ngateke ku?"

"Ai suek Mas yang nguyok nga. Dasar bae ku galak ngomong dewek. Maklum carek lah tue Mas. Jadi nak
kopi ape teh, manis, pahit? Pempek nak digoreng ape debus?"

Semakin Bik Em ramah, semakin besar rasa curiga Mas War. Ia pun mendesak Bik Em mengaku dan
menceritakan hal jelek apa yang dituduhkan kepadanya oleh Wak Mad.

"Asak kamu tau ye. Aku dak ridho dunio akherat. Memang ku dak sugih tapi idak nyolongan. Ku jugek
sadar idak baik hati nian tapi jelas bukan penjahat. Buktinye idak masuk obak."

"Ao Mas, yakin ku. Cuman ngapelah kamu mendadak purek ngen kanti setia Wak Mad. Ape die tu
njahatke nga? Mitnah, iri, kurang senang. Kalau ao nameklah yang bikin iri? Sugih idak, pintar jauh, baik
lum keruan. Nah kalau Wak Mad?"

Tanpa disadari Wak Mad nongol di tengah obrolan keduanya. Meski tak begitu jelas, namun Wak Mad
tahu kedua orang itu sedang membicarakan dirinya. Ia yakin keduanya sedang menyudutkan dirinya.

"Ai lain nian yang lagi ngrumpi. Dak ape lajulah njahati di belakang. Ku idak marah justru bangga.
Setidaknya ku maseh ade wibawa. Buktinye kamu bedue brani ngomong belakang. Dee dak usah cak
kaget itu. Biase bae."

"Eh Wak, ngopi ek? Pempek angat ade nah. Mpai gorengku. Ape yang debus ade pulek."

"Diem ke bae Bik jangan baik igek. Lanang tu agak pekak. Dak terti kitek kitek ape. Jangan pulek takut
Bik, ao. Telek nah mekan lah mecak pece basah. Dak keruan bentuk."

Sebagai tuan warkop,Bik Em tak mau jadi salah. Sebaliknya ia ingin mengembalikan kegembiraan dan
kehangatan selama ini antar keduanya. "Sebentar, sebentar... Kepalang ade kamu bedue. Nameklah
pangkal kalian dak akor?"

Tak ada yang menjawab. Lama sekali warkop asoy lengang. Hingga Bik Em menangis sendirian. Tetap
saja tak ada respon. Sepi makin terasa. Lalu Bik Em ganti tertawa. Tetap saja senyap. Kesal, Bik Em lalu
teriak marah. Sekali ini wak Mad dan Mas War ngakak. Lalu keduanya becepat menghabiskan semua
gorengan, pempek yang disajikan. Kopi tandas, teh kering. Seisi meja ludes seketika.

"Hahahaha Bik. Berhasil jugek kami makan besar setelah lame nian dak boleh ngutang. Kami rindu
marahmu. Kapan marah tiba itulah saatnya kami bebas menyikat yang ada di meja. Makasih yem kami
undur."

Meski keki karena kena jebakan batuan, Bik Em tak marah. Ia justru senang keduanya akur sedangkan
dia bisa memberikan sedekah makan minim gratis kepada dua sabarat buntunya.

Wassalam..

EMPAT PULUH SEMBILAN

Ayo Genggam Dak Lulus: Lelaki Kikir Bersarung Tinju

Bik Em cengar-cengir sendirian di Warkop Asoy miliknya. Hari masih pagi. Pelanggan tak ada. Maklum,
sedang puasa ramadhan. Sambil menanti kalau-kalau ada pelanggan, ia yang belakangan gemar main
aplikasi gambar dan foto tanpa sengaja merampungkan disain gambar andalan: seorang lelaki berbaju
teluk belanga dengan sarung tinju di kedua tangan. Ia membubuhkan catatan di bawah gambar
buatannya: Parak riyaye mendadak banyak petinju.

Karena hingga siang tak seorangpun pelanggan mampir, Bik Em bermaksud menutup Warkopnya.
Hingga datang Mas War tergopoh masuk. Bukan untuk mampir ngopi tentu saja, sebab Mas War
tergolong soleh dan taat beribadah. Kedatangannya tak lain untuk mengingatkan Bik Em agar menutup
Warkopnya dengan tirai selama bulan puasa.

"Nah Bik, mumpung masih hari pertame puase, bagus men kamu krodong ngen kain lapak ini. Mangken
idak menggoda iman."

"Terus ngape nga raga mengas? Ape dikejar kuyuk?"

"Basing ae. Bukan. Ku saje nian datangi galek warung agar menutup sebagaian lapak ngen kain atau
tirai."
“Ai penting nia. Namek gawe nga nyuruh warung nutup cak paling beno bae. Oi Mas, puase tu soal iman
dan niat. Mugolah tekeper ayam goreng depan mekan men niat bulat puase dake tegoda. Entah men
kamu Mas. Tubuk nah, walau buka warung jualan makan minom tetap dak putus puase."

"Buat nga bebas Bik. Ape nak puase ape pecah tengah hari, dak penting nian. Tapi nga harus toleran
ngen wang lain."

Bik Em tak hirau. Ia asyik dengan gambar di HP nya. Sesekali tertawa ngikik. Hingga bikin Mas War salah
sangka.

"Ooi.. Serius dikit Bik kalau ngadepi wang. Mentang nga toke raga sepele nian mandang ku. Trus
ngapelah nga tawe-tawe. Ade yang melawak ape?"

"Hahahaha bukan Mas. Kak nah telek hasil ngambaraku. Dak saje tebuat ikak."

Mas War langsung senyum lihat gambar buatan Bik Em. Seorang lelaki paruh baya berkopiah, berbaju
teluk belanga dengan wajah mirip Wak Mad berpose siap tarung. Kedua telapak tangannya dibungkus
sarung tinju.

"Waii... Alangke padek gambar tu. Kapan-kapan Wak Mad jadi petinju, hehe."

"Tau dak makna di balik wajah relijies ikak?"

"Taulah. Wak Mad siap menyongsong lebaran usai menjalani sebulan penuh puase. Ade dak?"

"Wakakakak. Salah. Madai dak paham Mas!"

"Tangan ngepal belapis sarung..."

"Yolah pasti teka banyu idak tembus. Dake lolos ayo oleh genggaman tangan basarung tinju Mas!
Wakakakak."

Mas War masih bingung dan nyaris naik darah oleh ketawa ngakak Bik Em. Lalu dengan kemayu bibik
kitek menjelaskan, "men arti ayo genggam dak lulus paham kan Mas?"

"Oh ao terti Bik. Yolah pelit nak matilah. Terus namek yang bikin nga ngakak?"

"Hahaha Mas... Aku geli dewek tu oleh mbayangke Wak Mad. Nameklah lanang buntu carek die tekate
pelit? Sedangke sen, harte, bande suek? Ngape pulek ku tagambar mekan die pas iseng-iseng bikin
disain. Oii alangke gerot nga Waak. Pelit tu buat wang sugih ape pejabat teras haha.. "
Bik Em makin ngakak sedang Mas War hanya melongo mengelus dada sembari membatin, "untung,
wajah di gambar Bik Em bukan wajahku. Setidaknye, tubuk idak tejingok buntu dan jat nia depan betine
tuan warung haha."

Wassalam..

Dikirim dari iPad saya

Anda mungkin juga menyukai