PENDAHULUAN
Bayi yang baru dilahirkan sudah mempunyai susunan saraf yang lengkap akan tetapi
fungsinya belum sempurna. Hal ini disebabkan karena susunan saraf belum mencapai
kelompok neuron di seluruh susunan. Jumlah neuron yang menyusun saraf tidak bertambah
tetapi juluran neuron masing-masing akan bertambah dan neurit-neuritnya akan dilengkapi
Perkembangan motorik tercapai dalam waktu 2 tahun. Dalam masa itu susunan saraf
sudah boleh dikatakan mencapai integritasnya secara anatomik. Tetapi dalam masa itu
berbagai faktor yang tidak mempunyai hubungan dengan penyakit-penyakit neurologis dapat
mengganggu dan menghambat proses maturasi susunan saraf, seperti misalnya berat badan
lahir rendah, prematuritas, gizi kurang baik dalam masa enam bulan pertama kehidupan,
kekurangan rangsangan sensorik, misalnya karena ibu tidak menyusui dan tidak
menghiraukan.
anak. Selain itu, penyakit-penyakit umum yang bersifat infeksi dan defisiensi makanan dalam
gangguan struktural yang berarti pada susunan saraf. Hambatan dan gangguan dalam
perkembangan itu dapat dicurigai oleh orangtua si bayi, yang kemudian menjadi alasan untuk
membawanya ke dokter.
1.2 Tujuan Penulisan
Diharapkan dengan penulisan laporan ini penulis ataupun pembaca dapat lebih
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Inspeksi
malformasi, trauma fisik, dan kejang. Pada bayi dengan riwayat kejang harus diperhatikan
lebih teliti dan lama, karena kejang pada neonatus berbeda dengan pada bayi dan anak. Pada
keadaan normal bayi cukup bulan lebih sering tidur, rata-rata pada hari pertama tidur selama
17 jam. Perhatikan pada waktu istirahat, pada neonatus normal dengan masa kehamilan 32-40
minggu akan terlihat seperti gambar. Abduksi pada paha, fleksi pada sendi anggota gerak
(siku, panggul, dan kaki), simetris kanan dan kiri. Pada bayi lahir sungsang kadang-kadang
agak lain dengan tungkai tetap lurus. Pada neonatus dengan masa kehamilan 25-30 minggu
Pada neonatus dengan masa kehamilan 25 minggu atau lebih, apabila dalam keadaan
istirahat semua anggota geraknya dalam posisi ekstensi berarti tidak normal. Sikap frog leg
(Gambar) berarti pasien tidak nomal. Kedua tungkai abduksi penuh sedemikian rupa sehingga
bagian lateral paha terletak di atas tempat periksa, demikian pula lengannya, fleksi pada siku
dengan bagian dorsal tangan menmpel di atas tempat periksa, dan telapak tangan menghadap
Ubun-ubun besar dan sutura diraba secara lembut. Tentukan ukurannya dan
ketegangannya. Pemeriksaan dilakukan pada waktu pasien tenang, tidak boleh pada waktu
bangun dan menangis, dilakukan dengan satu atau dua jari. Bila sutura lebar, ubun-ubun
besar tegang dan membonjol, mungkin ada tekanan intrakranial meninggi, seperti pada
hidrosefalus. Ubun-ubun besar yang tegang tidak selalu abnormal, tetapi mungkin juga
normal karena adanya edema, molding yang berlebihan, perdarahan subgaleal atau bekas
infus yang salah. Ubun-ubun besar sudah menutup. Sutura menutup terdapat pada
digoyang-goyang secara lembut. Pasien yang sadar akan membuka mata, mengerutkan muka,
menangis, dan menggerakkan anggota geraknya. Bayi dengan masa kehamilan 34 minggu
tetap bangun selama pemeriksaan. Bayi dengan masa kehamilan 28-33 minggu hanya bangun
sebentar kemudian tidur lagi, dan bayi dengan masa kehamilan 25- 27 minggu lebih sukar
lagi emmbangunkannya. Bila tidak dapat dibangunkan, dan tidak ada kerutan muka dan
Tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi sadar, apatik/letargi, somnolen, sopor, dan koma.
bangunnya
tertidur kembali
Sopor : Pasien dapat dibangunkan dengan rangsang sakit, kemudian tidak sadar
kembali. Gerakan tarikan tungkai (withdrawal reflex) tidak dianggap, tapi yang
dimaksud dengan bangun disini berupa kerenyutan muka, gerakan umumu, atau
keduanya
Koma : Pasien tidak dapat dibangunkan sama sekali walaupun dalam rangsang sakit
Ada keadaan yang disebut jitteriness/tremulousness, yakni gerakan gemetaran pada anggota
gerak dan rahang: keadaan ini dapat dibedakan dengan kejang dengan monitoring EEG atau
dengan kriteria klinis berupa; tidak adanya gerakan bola mata, tidak ada perubahan
pernapasan, timbulnya dapat diprovokasi, dan gerakan berhenti bila anggota gerak
Pemeriksaan neurologis ini harus dilakukan pada saat bayi tenang dan beristirahat.
Bayi normal dan sebagian bayi SMK BKB tanpa gangguan lain dapat diperiksa secara akurat
pada jam-jam pertama kehidupan. Namun pada bayi-bayi lain hal ini baru dapat dilakukan di
akhir hari pertama kehidupan, dan bagi sebagian lain baru pada hari kedua atau ketiga. Selain
itu bayi yang depresi, asfiksia, mengalami kerusakan neurologis, atau berada dalam keadaan
sakit, sulit diperiksa secara akurat kapan saja penilaian dilakukan. Pemeriksaan neurologis ini
sebagai alat untuk menentukan umur kehamilan seringkali tidak praktis saat kita
membutuhkannya.
1.Postur
Bayi pada posisi supine dan dalam keadaan tenang, nilai adalah sebagai berikut :
2.Jendela Siku-siku
Tangan fleksi pada pergelangan. Beri cukup tekanan untuk mendapatkan posisi
sefleksi mungkin. Sudut antara eminensia hipotenar dan bagian anterior lengan
dibawah diukur dan dinilai menurut gambar. Jangan memutar pergelangan tangan.
perubahan yang maksimum. Sudut antara dorsum kaki dan bagian anterior kaki diukur
4. Rekoil Lengan
Posisi bayi terlentang, fleksikan lengan bawah secara penuh selama 5 detik, kemudian
ekstensikan secara penuh dengan cara menarik tangan dan melepaskannya. Nilai
5.Rekoil Kaki
Posisi bayi terlentang, pinggul dan telapak kaki fleksi penuh selama 5 detik,
kemudian ekstensikan dengan menarik kaki dan lepaskan. Nilai reaksinya sebagai
berikut :
1 = Fleksi sebagian
2 = Fleksi penuh kurang (pada pergelangan kaki dan pinggul kurang dari 90
derajat)
6. Sudut Poplitea
Posisi bayi terlentang dan pelvis terletak mendatar pada permukaan tempat
pemeriksaan, kaki fleksi pada paha dan paha difleksikan penuh menggunakan satu
tangan. Dengan tangan yang lain kaki diekstensikan dan sudut yang didapat dinilai.
7. Perasat Tumit Telinga
Posisi bayi terlentang, pegang kaki bayi dengan satu tangan dan gerakkan ke arah
kepala sedekat mungkin tanpa melakukan paksaan. Pertahankan pelvis mendatar pada
8. Tanda syal
Posisi bayi terlentang, pegang tangan bayi dan tarik melintasi leher sejauh mungkin
1 = Siku diantara linea axillaris anterior yang berlawanan dan garis tengah toraks
9. Keterlambatan Kepala
Posisi bayi terlentang, raih lengan bawah proksimal dari pergelangan tangan dan tarik
dengan lambat untuk menempatkan bayi pada posisi duduk. Nilai sesuai hubungan
Posisi bayi pronasi dan dada bersandar pada telapak tangan pemeriksa, angkat bayi
Pemeriksaan saraf otak pada neonatus agak berbeda dengan pada anak dan orang
dewasa. Tidak usah urut mulai saraf otak I dan seterusnya, tetapi mana yang lebih dahulu
dapat dilakukan lebih dahulu. Pada waktu pasien bangun, mengernyutkan muka dan
menangis perhatikan mata dan sudut mulutnya untuk memeriksa saraf otak VII. Pada paresis
saraf fasialis akan terlihat mulut moncong ke sisi sehat, mata tidak dapat menutup dan lipatan
nasolabialis hilang pada sisi yang paresis. Pada waktu menangis dan membuka mulut
perhatikan lidah dan langit-langit untuk emmeriksa saraf otak XII dan IX. Pada lidah
perhatikan ukurannya dan gerakkan simetris atau asimetris, apakah ada fasikulasi (saraf otak
XII). Pada langit-langit perhatikan gerakan arkus farings dan uvula. Pada paresis saraf IX
Pada pasien yang sudah bangun diusahakan agar tetap bangun selama pemeriksaan
saraf otak dengan jalan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengisap. Refleks rooting
diperiksa dengan menyentuhkan ujung jari di sudut mulut pasien, maka pasien akan
menengok ke arah rangsangan dan berusaha memasukkan ujung jari tersebut ke mulutnya,
kalau ujung jarinya dimasukkan ke dalam mulutnya 3 cm akan diisap, dan disebut refleks
isa[. Pemeriksaan refleks rooting dan refleks isap digunakan untuk menentukan kelainan
saraf otak V, VII, XII. Reaksi refleks rooting sempurna terjadi pada bayi dengan umur
reaksinya tidak selalu konstan, kalau diperiksa satu kali pada hari pertama pasca lahir
mengisap mata pasien biasanya terbuka secara spontan, dan pada saat itu kesempatan untuk
memeriksa pergerakan bola mata untuk menilai saraf III, IV, dan VI. Doll's eye maneuver
dilakukan dengan memutar kepala pasien ke kiri dan kanan untuk menilai gerakan bola mata
ke lateral. Pada waktu kepala diputar ke satu sisi, maka akan terjadi deviasi mata ke
kontralateral. Doll's eye maneuver juga dapat digunakan untuk memeriksa saraf VIII bagian
vestibular. Pemeriksaan saraf VIII bagian pendengaran sukar dilakukan secara obyektif,
tetapi pada bayi- bayi yang kalau ada suara keras menjadi kaget atua berkedip atau
pendengaran yang lebih teliti dipergunakan pemeriksaan elektrofisiologi (brain stem auditory
evoked response).
Refleks pupil sebenarnya ada tetapi sukar dinilai, karena kalau ada cahaya neonatus
segera akan menutup mata dan sukar dibuka lagi. Pada waktu mata terbuka segera perhatikan
apakah pupilnya isokor/ anisokor. Penciuman (saraf I) pada neonatus sukar diperiksa secara
objektif, tetapi menurut beberapa ahli sebenarnya penciuman sudah ada, hal ini terbukti
apabila tercium bau yang menyenangkan akan menghentikan aktivitasnya. Penglihatan (saraf
II) sukar diperiksa secara obyektif, tetapi penglihatan sebenarnya sudah ada. Dapat diperiksa
dengan cahaya atua benda-benda berwarna merah yang digerak- gerakkan di depannya. Pada
waktu ada cahaya pasien berkedip atau menutup mata. Tes penciuman dan pengecap kurang
Perkembangan sistem saraf pusat pada bayi dapat dinilai dengan pemeriksaan
otomatisme infantil, biasa disebut refleks primitif. Refleks-refleks ini berkembang selama
dalam kandungan, umumnya muncul setelah lahir, dan menghilang pada umur tertentu.
Kelainan pada refleks-refleks ini menandakan penyakit neurologis dan mengindikasikan
Asimetris
neonatus. Pemeriksaan refleks withdrawal, refleks rooting, sentuhan dan rangsang sakit yang
Pemeriksan dilakukan dengan mengobservasi aktivitas bayi, melihat apa yang bayi
tersebut telah bisa lakukan. Pastikan bayi dalam keadaan sadar dan tidak rewel atau gelisah.
motorik seperti gerakan lengan dan tungkai, otot wajah, gerakan okular, penilaian suara, serta
Mata dan kepala dpat mengikuti rangsang visual dalam sudut toleh sebesar 90°.
Dapat mengamati tangan sendiri dan memandang wajah orang yang menjenguknya.
memasukkannya ke mulut.
gerak. Sikap bayi dapat mencerminkan adanya nyeri, fraktur, paresis, dan gangguan tonus
otot.
Tindakan yang pertama dilakukan ialah pemeriksaan tonus otot. Dalam menggerak-
gerakan lengan dan tungkai bayi secara pasif hendaknya tidak menggunakan tenaga kasar dan
dengan si bayi akan memberikan hasil yang sesuai. Tonus otot diperiksa dengan manipulasi
sendi besar dan ditentukan derajat tahanannya. Gerakkan setiap sendi-sendi besar untuk
menilai ada tidaknya spastisitas atau flasiditas. Peningkatan maupun penurunan tonus dapat
menandakan penyakit intrakranial. Pada balita dan bayi uji tonus otot dengan cara pronasi
dan supinasi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, dan dorsofleksi dan plantar fleksi
Pada lengan, pemeriksaan dilakukan dengan memegang pergelangan tangan bayi dan
menggoyang-goyangkan lengan bawahnya. Bila tonus otot tinggi maka tangan tidak akan ikut
bergoyang secara luwes, melainkan kaku dan bersikap mengepal. Uji hipoteonia yang sensitif
pada anggota gerak atas ialah dengan tanda pronator, yaitu pasien diminta angkat tangan,
maka akan terjadi hiperpronasi ke arah luar telapak tangan yang hipotonia disertai fleksi pada
siku (Gambar).
B. Pemeriksaan Kekuatan Otot
perhatikan jalannya, larinya, pada waktu bermain pasien disuruh mengambil bola. Dari
Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal, dan
biasanya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan
otot hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan
kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhan
saja. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah tergantung. Ia diminta
untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa menahan gerakan-gerakannya
(kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan anggota badan yang diuji tetap di
(kekuatan statik).
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai
100% sampai 0%, ada yang menggunakan huruf (N = normal; G = Good; F = Fair, P = Poor;
5 = Normal
4 = Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan
3 = Dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak dapat
2 = Dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak
1 = Terlihat atau teraba ada getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan anggota
Pemeriksaan kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh
mengangkat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan anak
disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak berjabat tangan dan disuruh pronasi dan
supinasi sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain. Pada uji ini
kekuatan otot yang diperiksa harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya yang
kontralateral.
C. Uji Kordinasi
Terdapatnya gangguan kordinasi sebenarnya sudah dapat terlihat pada waktu anak
meraih mainan, waktu merobek kertas, mengikat tali sepatu atau mengancingkan baju. Untuk
anak yang sudah mengerti, uji kordinasi dapat dilakukan dengan uji jari ke hidung atau tumit
ke tulang kering.
Pada uji jari ke hidung, anak disuruh melihat contoh lebih dahulu, kemudian disuruh
melakukannya sendiri, yaitu disuruh meluruskan satu tangan (abduksi), kemudian disuruh
menyentuh ujung hidungnya dengan jari tangan yang baru diluruskan tadi, kemudian ganti
dengan tangan yang lain. Uji mula-mula dilakukan dengan mata terbuka, kemudian dengan
mata tertutup. Pada gangguan kordinasi kasar pada kelainan serebelum sudah terlihat pada uji
dengan mata terbuka, yaitu tidak dapat menyentuh ujung hidung dengan tepat. Pada
gangguan ringan seperti pada kelainan kolumna posterior medula spinalis, kesalahan baru
terlihat pada uji dengan mata tertutup. Tetapi perlu diingat bahwa kordinasi halus baru
berkembang baik pada anak yang telah berumur 4-6 tahun, sehingga pada anak yang kecil
dapat menyentuh 1-2 inchi dari ujung hidung masih dianggap normal. Pada uji tumit ke
tulang kering, setelah diberi contoh, anak disuruh meletakkan tumit kaki ke atas tulang kering
tungkai lainnya, dan sebaliknya. Uji ini juga dikerjakan dengan mata terbuka dan tertutup.
Pada uji Romberg pasien disuruh berdiri pada kedua kakinya yang dirapatkan sambil
menutup mata. Uji positif apabila pasien kemudian bersandar atau jatuh ke satu sisi. Pada
kelainan/lesi satu sisi serebelum pasien akan jatuh ke sisi lesi. Pada lesi serebelum di daerah
tengah akan menyebabkan pasien jatuh ke belakang atau depan. Pada kelainan di serebelum
uji Romberg akan positif baik dengan mata terbuka maupun tertutup, sedangkan pada
kelainan kolumna posterior medula spinalis hanya positif pada tutup mata. Pada pasien
dengan gangguan kordinasi baik karena kelainan sereblum maupun karena kelainan sensori
A. Refleks Superfisial
goresan yang membentuk segi empat (belah ketupat) dengan titik-titik sudut di bawah xifoid,
di atas simpisis dan kanan kiri umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan. Pada
bayi kurang dari 1 tahun refleks ini belum ada; pada anak dengan poliomielitis atau anak
Refleks kremaster diperiksa dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam
keadaan normal testis akan naik di dalam kanalis inguinalis. Refleks kremaster yang negatif
terdapat pada lesi medula spinalis misalnya pada lesi medula spinalis misalnya polimielitis.
Pada bayi normal di bawah 6 bulan dan anak di atas 12 tahun refleks ini dapat negatif.
Pemeriksaan refleks tendon pada bayi hasilnya bervariasi karena jalur kortikospinal
belum berkembang sempurna. Oleh karena itu, makna diagnostiknya sangat kecil kecuali
respon yang ekstrim. Sama halnya dengan orang dewasa, refleks yang asimetris menandakan
Teknik yang digunakan untuk membangkitkan refleks tendon sama dengan teknik
yang digunakan pada orang dewasa. Penggunaan palu refleks digantikan dengan jari telunjuk
Refleks trisep, brakhioradialis, dan abdominal sulit dibangkitkan pada umur <6 bulan.
Refleks anal telah ada sejak lahir dan penting untuk diperiksa bila dicurigai adanya lesi
medula spinalis. Tidak adanya refleks anal menandakan tidak adanya inervasi otot sfingter
eksterna akibat abnormalitas medula spinalis misalnya karena anomali kongenital (misal
spina bifida), tumor, atau trauma. Refleks Babinski positif terhadap stimulasi plantar (ibu jari
kakidorsofleksi dan jari lain mengembang) dapat ditemukan pada bayi normal hingga umur 2
tahun.
Refleks engkel dengan cara mengetuk tendon Achilles seringkali tidak menimbulkan
respon. Untuk itu dapat digunakan metode lain, dengan cara menggenggam maleolus oleh
satu tangan lalu mendorsofleksikan engkel secara tiba-tiba. Respon terhadap manuver ini bisa
berupa fleksi plantar ritmis berulang (ankle clonus), normalnya hingga 10 kali
(unsustainedankle clonus).Bila kontraksi yang timbul terus berlanjut (sustained ankle clonus)
Refleks tendon dalam pada anak biasanya diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela
dan achilles. Pada refleks biseps akan terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps diketuk;
pada refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps diketuk.
Refleks patella (knee jerk) diperiksa dengan mengetuk tendon patela, normal akan
terjadi ekstensi sendi lutut. Pada refleks Achilles terjadi fleksi plantar kaki tendon Achilles
diketuk. Pemeriksaan harus dilakukan dengan pasien dalam keadaan santai, lebih baik bila
dokter mengajak bicara pasien agar ia tidak menyadari pemeriksaan. Pada bayi dan anak kecil
ketukan cukup dilakukan dengan jari tangan, pemukul refleks hanya dipakai pada anak besar.
Dibandingkan refleks kanan dan kiri. Refleks tndon dalam akan meninggi pada lesi upper
motor neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia atau tumor batang otak. Hiporefleksi terjadi
pada lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi dan beberapa kelainan metabolik.
C. Refleks Patologis
Terdapat berbagai perasat untuk memeriksa terdapatnya refleks patologis, tetapi
hanya dikemukakan yang sering dilakukan pada bayi dan anak. Refleks Babinski dilakukan
dengan menggores permukaan plantar kaki, mulai dekat tumit ditarik ke atas sepanjang sisi
lateral telapak kaki dan menyilang ke medial seperti pada gambar. Bila positif akan terjadi
reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain.
Refleks ini normal pada bayi sampai umur 18 bulan, bila masih terdapat pada umur 2-2 1/2
Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan tulang kering dengan jari- jari digeser
ke arah bawah, dan apabila positif akan terajadi reaksi seperti refleks Babinski. Refleks
Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, dan reaksi positif seperti refleks
Babinski. Refleks Gordon dilakukan dengan memencet betis, dan reaksi positif seperti refleks
Babinski.
Refleks Hoffman dilakukan dengan menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau
ketiga pasien ke bawah. Bila positif akan terjadi fleksi ibu jari dan jari ketiga atau kedua.
Tanda Hoffman juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal (upper motor neuron), tetapi
Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan
cepat dan kuat, ditahan sebentar sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain
ditekan kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan lemas. Klonus
patela juga dapat ditimbulkan dengan cara fleksi pada lutut, satu tangan pemeriksa
memegang tungkai di atas lutut, tangan lain di bawah lutut (distal lutut), kemudian tangan
yang distal digerakkan secara cepat ke arah proksimal, maka akan teraba atau terlihat
kontraksi dan relaksasinya tungkai. Klonus sering menyertai setiap keadaan dengan
Pemeriksaan sensori yang tepat sangat sukar dilakukan pada anak, dan pada bayi atau
toddler hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Pada anak yang berumur 6 tahun ke atas baru
dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan yang
sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu cara yang akan dikerjakan pada pasien.
Pemeriksaan fungsi sensorik pada bayi hanya dapat dilakukan secara terbatas. Yang
harus diperhatikan ialah reaksi bayi atas stimulasi. Pemeriksaan dimulai dengan persepsi
rangsang raba. Anggota gerak, wajah, dan badan digores dengan seutas kapas. Anggota gerak
yang terangsang akan ditarik (menjauhi sumber rangsang), tetapi wajah yang diraba akan
Pemeriksaan sensasi nyeri dilakukan dengan cara menyentil telapak tangan atau kaki.
Hendaknya jangan menggunakan benda tajam untuk pemeriksaan ini. Perhatikan adanya
penarikan atau perubahan ekspresi wajah. Bila rangsang nyeri diikuti perubahan ekspresi
wajah atau bayi menjadi menangis tetapi tanpa penarikan bagian yang dirangsang, maka
Pada pemeriksaan sensoris anak terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
yakni :
a. Uji Sentuhan
Sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa dan anak disuruh
Ditunjukkan lebih dahulu dengan mata pasien terbuka dan anak diminta membedakan ujung
jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup mata, kemudian uji dilakukan di
kulit tangan, kaki, pipi, rahang, dan anak kembali disuruh membedakan ujung jarum yang
jari kaki, serta maleolus lateral dan medial. Pasien boleh membuka mata, tetapi tidak boleh
d. Uji Posisi
Sambil menutup mata, anak disruh mengatakan apakah jari tangan/ kakinya
e. Uji Stereognosis
Dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang sudah dikenal yang
diletakkan di tangannya, misalnya kain, kancing baju, kunci atau peniti. Pasien mengenal
benda tersebut dari ukurannya, kelenturannya dan bentuknya. Kalau atereognosis negatif
disebut astreognosis yang biasanya berhubungan dengan adanya lesi di daerah lobus
parietalis.
f. Uji Grafestesia
Setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian pasien disuruh menutup
mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol yang dikenal pasien di telapak tangan
atau lengan bawah pasien, dan pasien diminta menebaknya. Apabila tidak dapat menebak
disebut disgrafestesia.
Pemeriksaan saraf kranial pada anak dapat dilakukan walaupun diperlukan trik-trik
khusus dalam cara pemeriksaannya yang berbeda dengan orang dewasa. Abnormalitas saraf
kranial menandakan adanya lesi intrakranial seperti pendarahan atau malformasi kongenital.
A. Pemeriksaan Saraf Kranialis pada Bayi
1. N. Olfaktorius
Uji penciuman (sensasi bau) dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 5-6
tahun, dengan melakukan uji pada setiap lubang hidung secara terpisah (salah satu lubang
hidung ditutup), dengan mata tertutup. Bahan uji yang paling baik ialah bahan uji yang
menimbulkan bau yang tidak merangsang dan sudah dikenal oleh pasien. Fungsi nervus ini
2. N. Optikus
Uji saraf otak II terdiri atas uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan pemeriksaan
seseorang, serta kemampuannya mengambil mainan dan mengikuti benda yang bergerak.
Refleks kedip dan memejamkan mata bila ada benda yang mendadak bergerak ke arah
mata menunjukkan visus baik, tetapi ini hanya terjadi pada anak yang sudah berumur 1 tahun
ke atas. Reaksi ini tidak timbul pada bayi yang berumur 4 bulan ke bawah, dan timbul kira-
kira pada 50% bayi normal berumur 5 bulan. Uji penglihatan yang canggih dilakukan dengan
alat evoked potential, yaitu visual evoked response (VER). Pemeriksaan perimetri dilakukan
dibuat gelap serta kesabaran pemeriksa. Untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap sinar,
pasien diminta melihat gambar di dinding yang berlawanan dengan pasien. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan tanpa midriatikum untuk melihat reaksi pupil. Kalau terpaksa (pupil
pasien dalam keadaan miosis) dapat dipergunakan midriatikum setelah reaksi pupil diperiksa
lebih dahulu. Mula-mula dipergunakan sinar redup pada oftalmoskop sambil dijelaskan
kepada pasien mengenai cara pemeriksaan. Setelah itu mulai dipergunakan lensa + 20 untuk
memeriksa kornea dan lensa apakah terdapat ulserasi, opasitas, dan katarak. Kemudian
pergunakan lensa 0 pada oftalmoskop untuk memeriksa retina dan papil N. Optikus,
perhatikan fokus pada makula dan kelainan-kelainan makula dan sekitarnya. Perhatikan
ukuran, pulsai dan distribusi pembuluh darah retina, terdapatnya deposit abnormal,
Uji yang sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji akomodasi
dan refleks cahaya. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan, baterai atau alat
garis tengah, kemudian juga diagonal. Hal ini dilakukan juga pada masing-masing mata
Uji akomodasi dilakukan dengan menyuruh pasien melihat benda yang digerakkan
mendekat dan menjauh, diperhatikan pupil pasien apakah mengecil bila melihat dekat serta
membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan dengan cara menanyakan kepada pasien
apakah melihat satu atau lebih mainan yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri, atas
Paralisis saraf otak III akan menyebabkan mata yang terkena akan berdeviasi ke
lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan
akomodasi. Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu pasien melihat ke
bawah terjadi sedikit strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat ke
bawah, sehingga mengalami kesukaran waktu menuruni tangga, sering disertai kepala miring.
Paralisis saraf otak VI paling sering terjadi, ditandai oleh strabismus konvergens dan
pengunyah, yaitu maseter, pterigoid, dan temporalis. Bagian sensoris mempersarafi daerah
wajah dan setengah kulit kepala bagian depan. Cabang oftalmikus mempersarafi kuadran
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji perasaan (sensori) dengan
mengusapkan kapas, menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau dingin di daerah
wajah kuadran atas, tengah dan bawah. Uji lain ialah terhadap refleks kornea dan rahang. Uji
refleks kornea dilakukan dengan kain kasa atau kapas yang bersih yang disentuhkan pada
kornea pasien, bila saraf otak V intak, maka mata akan berkedip. Refleks rahang (jaw jerk)
dilakukan dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit, kemudian letakkan jari di
tengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari tangan lainnya atau dengan
pengetuk refleks, normal dagu akan terangkat. Lesi saraf otak V unilateral akan menyebabkan
rahang miring ke sisi yang paretik, hal ini disebabkan oleh karena kelemahan ipsilateral otot
pterigoid. Uji perasaan (sensori) sukar dilakukan pada anak, yang mudah dilakukan ialah uji
refleks kornea.
5. N. Fasialis
Parasis N. VII perifer menyebabkan pasien tidak dapat mengerutkan dahi ke atas,
tidak dapat memejamkan mata, dan tidak dapat menaikkan sudut mulut pada sisi saraf yang
paresis. Pada tipe sentral hanya terkena otot-otot wajah bagian bawah, sehingga sudut mulut
turun ke bawah, lipatan nasolabialis mengurang atau menghilang, dan fisura palpebra
bertambah. Otot dahi yang mendapat dua pertiga lidah bagian depan juga terganggu.
Pemeriksaan untuk saraf otak VII dilakukan dengan menyuruh pasien tersenyum,
meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta refleks kornea dan uji pengecap
(sensori pengecap). Bila terdapat paresis N. VII, akan terlihat mulut pasien moncong ke sisi
yang sehat, dan mata pada sisi lesi tidak dapat menutup dengan rapat (lagoftalmus). Uji
sensori pengecap dilakukan dengan meminta pasien menjulurkan lidah, pemeriksa memegang
ujung lidah dengan kain kasa dan meletakkan gula atau garam atau asam sitrat atau kina.
Lidah harus tetap di luar sampai uji sensori pengecap selesai, dan pasien diminta
6. N. Akustikus
Saraf otak ini terdiri atas N. Koklearis untuk pendengaran dan N. Vestibularis untuk
keseimbangan. Uji pendengaran sebenarnya sudah dapat dilakukan pada waktu wawancara,
yaitu reaksi pasien terhadap suara. Pada anak kecil uji pendengaran dapat pula dilakukan
dengan bel, pada anak besar dengan diminta menirukan bisikan, bunyi jam atau dengan garpu
tala. Alat uji pendengaran yang paling akurat adalah dengan alat evoked potential yaitu
kedua telinga.
Uji keseimbangan pada bayi dapat dilakukan dengan memegang pasien vertikal
berhadapan dengan pemeriksa, kemudian diputar beberapa kali searah jarum jam, dan
berlawanan arah jarum jam. Perhatikan matanya, pada bayi normal matanya melirik ke arah
putaran diikuti dengan nistagmus cepat kembali. Pada waktu putaran dihentikan akan terjadi
sebaliknya.
Uji keseimbangan juga dapat dilakukan dengan uji kalorik. Pasien dibaringkan
liang telinga selama 30 detik, maka pada anak sadar akan terjadi nistagmus kasar ke arah
telinga yang diuji tanpa deviasi mata. Pada pasien dengan kesadarn menurun akan terjadi
deviasi mata ke sisi yang sama dan nistagmus ke kontralateral. Pada pasien dengan koma
akan terjadi deviasi tonik ke sisi sama tanpa nistagmus, dan pada koma yang dalam tidak ada
perubahan pada mata sama sekali. Uji kalorik tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
perforasi membran timpani, dan pada telinga dengan sumbatan serumen, harus dibersihkan
7. N. Glosofaringeus
Pemeriksaan saraf otak ini ditujukan untuk menilai kelainan yang timbul, berupa:
Hilangnya refleks muntah (gag reflex)
Disfagia ringan
Hilangnya sensori pada faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah bagian
belakang
Hipersalivasi
8. N. Vagus
Gangguan saraf otak ini berupa gangguan motor, sensori dan vegetatif. Gangguan
motor berupa berupa afonia (siklus menghilang), disfonia (gangguan suara), disfagia
(kesukaran menelan, biasanya kalau minum kembali melalui hidung), spasme esofagus,
paralisis palatum mole (refleks muntah negatif dan palatum sisi yang sakit tidak dapat
terangkat pada waktu bersuara). Gangguan sensori berupa nyeri dan parestesia pada faring
dan laring, batuk, sesak napas dan pseudoasma. Gangguan vegetatif berupa bradikardi,
9. N. Aksesorius
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji kemampuan untuk mengangkat bahu
dan memutar kepala melawan tahanan pemeriksa. Pasien tidak dapat mengangkat bahu yang
10. N. Hipoglosus
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji untuk menilai kekuatan lidah dengan
menyuruh pasien menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari
tangan pemeriksa. Perhatikan deviasi lidah pada waktu dijulurkan, lidah akan deviasi ke sisi
A. Kaku Kuduk
Terdapatnya rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat, antara lain
pemeriksaan kaku kuduk, tanda Brudzinski I, Brudzinski II dan Kernig. Jangan dikacaukan
perasat-perasat tersebut dengan refleks patologis yang menunjukkan terdapatnya lesi upper
motor neuron.
Kaku kuduk (nuchal rigidity). Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan,
sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif (Lihat
gambar). Tahanan juga terasa apabila leher dibuat hiperekstensi diputar atau digerakkan ke
samping. Kadang-kadang kaku kuduk disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, keadaan
juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,
keracunan timbul, dan artritis reumatoid, tetapi pada meningitis (rangsang meningeal)
pemeriksaan kaku kuduk cukup dengan menekuk leher ke depan dan ke belakang.
B. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada
pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien difleksikan ke
dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal maka kedua tungkai
bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut (Gambar).
C. Tanda Brudzinski II
Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan lebih jelas apabila pada waktu fleksi
Penekanan pada kedua pipi atau tepat dibawah os zigomatikus, respon fleksi pada
E. Tanda Brudzinski IV
Penekanan pada simphisis pubis, respon fleksi pada tungkai pada sendi lutut dan
tungkai.
F. Tanda Kernig
Pemeriksaan tanda Kernig ini ada bermacam-macam cara, tetapi yang biasa
dipergunakan ialah pada pasien dalam posisi telentang dilakukan fleksi tungkai atas tegak
Dalam keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih 135 derajat
terhadap tungkai atas (Gambar). Pada iritasi meningeal ekstensi lutut secara pasif ini akan
menyebabkan rasa sakit dan terdapat hambatan. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Sidharta, P., Pemeriksaan Neurologik Pada Bayi dalam Tata Pemeriksaan Klinis Dalam
Soetomenggolo TS & Ismael S., Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: IDAI.
2000
Szilagyi P., Techniques of Examination for Newborns and Infants: The Nervous System
dalam Bates’ Guide to Physical Examination abd History, Edisi ke-9, Lippincott Williams &
World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi
Jakarta. 2009