Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bayi yang baru dilahirkan sudah mempunyai susunan saraf yang lengkap akan tetapi

fungsinya belum sempurna. Hal ini disebabkan karena susunan saraf belum mencapai

kedewasaan, masih harus memperlancar dan memperluas hubungan antar kelompok-

kelompok neuron di seluruh susunan. Jumlah neuron yang menyusun saraf tidak bertambah

tetapi juluran neuron masing-masing akan bertambah dan neurit-neuritnya akan dilengkapi

dengan selubung mielin.

Perkembangan motorik tercapai dalam waktu 2 tahun. Dalam masa itu susunan saraf

sudah boleh dikatakan mencapai integritasnya secara anatomik. Tetapi dalam masa itu

berbagai faktor yang tidak mempunyai hubungan dengan penyakit-penyakit neurologis dapat

mengganggu dan menghambat proses maturasi susunan saraf, seperti misalnya berat badan

lahir rendah, prematuritas, gizi kurang baik dalam masa enam bulan pertama kehidupan,

kekurangan rangsangan sensorik, misalnya karena ibu tidak menyusui dan tidak

menghiraukan.

Hal-hal tersebut dapat menghambat perkembangan motorik, sensorik, dan mental

anak. Selain itu, penyakit-penyakit umum yang bersifat infeksi dan defisiensi makanan dalam

tahun pertama kehidupan dapat menghambat perkembangan anak tanpa menimbulkan

gangguan struktural yang berarti pada susunan saraf. Hambatan dan gangguan dalam

perkembangan itu dapat dicurigai oleh orangtua si bayi, yang kemudian menjadi alasan untuk

membawanya ke dokter.
1.2 Tujuan Penulisan

Diharapkan dengan penulisan laporan ini penulis ataupun pembaca dapat lebih

memahami mengenai pemeriksaan-pemeriksaan fisik neurologis pada bayi dan anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Neonatus

2.1.1 Inspeksi

Jangan memegang/merangsang pasien, tetapi cukup diperhatikan . Perhatikan adanya

malformasi, trauma fisik, dan kejang. Pada bayi dengan riwayat kejang harus diperhatikan

lebih teliti dan lama, karena kejang pada neonatus berbeda dengan pada bayi dan anak. Pada

keadaan normal bayi cukup bulan lebih sering tidur, rata-rata pada hari pertama tidur selama

17 jam. Perhatikan pada waktu istirahat, pada neonatus normal dengan masa kehamilan 32-40

minggu akan terlihat seperti gambar. Abduksi pada paha, fleksi pada sendi anggota gerak

(siku, panggul, dan kaki), simetris kanan dan kiri. Pada bayi lahir sungsang kadang-kadang

agak lain dengan tungkai tetap lurus. Pada neonatus dengan masa kehamilan 25-30 minggu

lengan fleksi, tetapi tungkai mungkin fleksi atau ekstensi.

Pada neonatus dengan masa kehamilan 25 minggu atau lebih, apabila dalam keadaan

istirahat semua anggota geraknya dalam posisi ekstensi berarti tidak normal. Sikap frog leg

(Gambar) berarti pasien tidak nomal. Kedua tungkai abduksi penuh sedemikian rupa sehingga

bagian lateral paha terletak di atas tempat periksa, demikian pula lengannya, fleksi pada siku

dengan bagian dorsal tangan menmpel di atas tempat periksa, dan telapak tangan menghadap

ke atas di samping kepala.


2.1.2 Pemeriksaan Kepala

Ubun-ubun besar dan sutura diraba secara lembut. Tentukan ukurannya dan

ketegangannya. Pemeriksaan dilakukan pada waktu pasien tenang, tidak boleh pada waktu

bangun dan menangis, dilakukan dengan satu atau dua jari. Bila sutura lebar, ubun-ubun

besar tegang dan membonjol, mungkin ada tekanan intrakranial meninggi, seperti pada

hidrosefalus. Ubun-ubun besar yang tegang tidak selalu abnormal, tetapi mungkin juga

normal karena adanya edema, molding yang berlebihan, perdarahan subgaleal atau bekas

infus yang salah. Ubun-ubun besar sudah menutup. Sutura menutup terdapat pada

kraniosinostosis. Pengukuran lingkaran kepala dan transluminasi dilakukan belakangan agar

tidak membangunkan pasien.

2.1.3 Pemeriksaan Kesadaran


Pasien dibangunkan dengan memegang dadanya dengan ibu jari dan telunjuk sambil

digoyang-goyang secara lembut. Pasien yang sadar akan membuka mata, mengerutkan muka,

menangis, dan menggerakkan anggota geraknya. Bayi dengan masa kehamilan 34 minggu

atau lebih sekali bangun akan

tetap bangun selama pemeriksaan. Bayi dengan masa kehamilan 28-33 minggu hanya bangun

sebentar kemudian tidur lagi, dan bayi dengan masa kehamilan 25- 27 minggu lebih sukar

lagi emmbangunkannya. Bila tidak dapat dibangunkan, dan tidak ada kerutan muka dan

gerakan anggota gerak berarti abnormal dengan kesadaran menurun.

Tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi sadar, apatik/letargi, somnolen, sopor, dan koma.

 Apatik : Pasien mudah dibangunkan tetapi sukar mempertahankan keadaan

bangunnya

 Somnolen : Pasien dapat dibangunkan dengan rangsang tidak sakit (dengan

menggoyang-goyang dada), tetapi reaksinya lambat, dan hanya sebentar kemudian

tertidur kembali

 Sopor : Pasien dapat dibangunkan dengan rangsang sakit, kemudian tidak sadar

kembali. Gerakan tarikan tungkai (withdrawal reflex) tidak dianggap, tapi yang

dimaksud dengan bangun disini berupa kerenyutan muka, gerakan umumu, atau

keduanya

 Koma : Pasien tidak dapat dibangunkan sama sekali walaupun dalam rangsang sakit

Ada keadaan yang disebut jitteriness/tremulousness, yakni gerakan gemetaran pada anggota

gerak dan rahang: keadaan ini dapat dibedakan dengan kejang dengan monitoring EEG atau

dengan kriteria klinis berupa; tidak adanya gerakan bola mata, tidak ada perubahan

pernapasan, timbulnya dapat diprovokasi, dan gerakan berhenti bila anggota gerak

difleksikan secara pasif


2.1.4 Pemeriksaan Fisik Neurulogis untuk Menentukan Usia Kehamilan

Pemeriksaan neurologis ini harus dilakukan pada saat bayi tenang dan beristirahat.

Bayi normal dan sebagian bayi SMK BKB tanpa gangguan lain dapat diperiksa secara akurat

pada jam-jam pertama kehidupan. Namun pada bayi-bayi lain hal ini baru dapat dilakukan di

akhir hari pertama kehidupan, dan bagi sebagian lain baru pada hari kedua atau ketiga. Selain

itu bayi yang depresi, asfiksia, mengalami kerusakan neurologis, atau berada dalam keadaan

sakit, sulit diperiksa secara akurat kapan saja penilaian dilakukan. Pemeriksaan neurologis ini

sebagai alat untuk menentukan umur kehamilan seringkali tidak praktis saat kita

membutuhkannya.

1.Postur

Bayi pada posisi supine dan dalam keadaan tenang, nilai adalah sebagai berikut :

 0 = Lengan dan kaki ekstensi

 1 = Fleksi ringan atau sedang panggul dan lutut

 3 = Fleksi penuh pinggul dan lutut

 4 = Fleksi penuh lengan dan kaki

2.Jendela Siku-siku

Tangan fleksi pada pergelangan. Beri cukup tekanan untuk mendapatkan posisi

sefleksi mungkin. Sudut antara eminensia hipotenar dan bagian anterior lengan

dibawah diukur dan dinilai menurut gambar. Jangan memutar pergelangan tangan.

3. Dorsofleksi Pergelangan Tangan


Kaki fleksi pada pergelangan tangan dengan tekanan yang cukup untuk mendapatkan

perubahan yang maksimum. Sudut antara dorsum kaki dan bagian anterior kaki diukur

dan dinilai. Jangan memutar pergelangan tangan

4. Rekoil Lengan

Posisi bayi terlentang, fleksikan lengan bawah secara penuh selama 5 detik, kemudian

ekstensikan secara penuh dengan cara menarik tangan dan melepaskannya. Nilai

reaksinya sebagai berikut :

 0 = Tetap dalam keadaan ekstensi atau gerakan random

 1 = Fleksi tidak penuh atau sebagian

 2 = Segera kembali ekstensi penuh

5.Rekoil Kaki

Posisi bayi terlentang, pinggul dan telapak kaki fleksi penuh selama 5 detik,

kemudian ekstensikan dengan menarik kaki dan lepaskan. Nilai reaksinya sebagai

berikut :

 0 = Tidak ada respon atau fleksi ringan

 1 = Fleksi sebagian

 2 = Fleksi penuh kurang (pada pergelangan kaki dan pinggul kurang dari 90

derajat)

6. Sudut Poplitea

Posisi bayi terlentang dan pelvis terletak mendatar pada permukaan tempat

pemeriksaan, kaki fleksi pada paha dan paha difleksikan penuh menggunakan satu

tangan. Dengan tangan yang lain kaki diekstensikan dan sudut yang didapat dinilai.
7. Perasat Tumit Telinga

Posisi bayi terlentang, pegang kaki bayi dengan satu tangan dan gerakkan ke arah

kepala sedekat mungkin tanpa melakukan paksaan. Pertahankan pelvis mendatar pada

permukaan tempat pemeriksaan.

8. Tanda syal

Posisi bayi terlentang, pegang tangan bayi dan tarik melintasi leher sejauh mungkin

melewati bahu yang berlawanan. Diperbolehkan menahan bahu dengan jalan

mengangkatnya melintas tubuh. Nilai sesuai dengan lokasi siku :

 0 = Siku mencapai linea axillaris anterior yang berlawanan

 1 = Siku diantara linea axillaris anterior yang berlawanan dan garis tengah toraks

 2 = Siku berada pada garis tengah toraks

 3 = Siku tidak mencapai garis tengah toraks

9. Keterlambatan Kepala

Posisi bayi terlentang, raih lengan bawah proksimal dari pergelangan tangan dan tarik

dengan lambat untuk menempatkan bayi pada posisi duduk. Nilai sesuai hubungan

kepala dengan badan selama perasat :

 0 = Tidak ada tanda dukungan kepala

 1 = ada tanda-tanda dukungan kepala

 2 = Mempertahankan kepala pada posisi anteroposterior yang sama dengan tubuh

 3 = Cenderung untuk mempertahankan kepala ke depan


10. Suspensi Ventral

Posisi bayi pronasi dan dada bersandar pada telapak tangan pemeriksa, angkat bayi

dari permukaan tempat pemeriksaan dan nilai sesuai dengan postur.

2.1.5 Pemeriksaan Nervus Kranialis

Pemeriksaan saraf otak pada neonatus agak berbeda dengan pada anak dan orang

dewasa. Tidak usah urut mulai saraf otak I dan seterusnya, tetapi mana yang lebih dahulu

dapat dilakukan lebih dahulu. Pada waktu pasien bangun, mengernyutkan muka dan

menangis perhatikan mata dan sudut mulutnya untuk memeriksa saraf otak VII. Pada paresis

saraf fasialis akan terlihat mulut moncong ke sisi sehat, mata tidak dapat menutup dan lipatan

nasolabialis hilang pada sisi yang paresis. Pada waktu menangis dan membuka mulut

perhatikan lidah dan langit-langit untuk emmeriksa saraf otak XII dan IX. Pada lidah

perhatikan ukurannya dan gerakkan simetris atau asimetris, apakah ada fasikulasi (saraf otak

XII). Pada langit-langit perhatikan gerakan arkus farings dan uvula. Pada paresis saraf IX

akan terlihat arkus sisi paresis tertinggal.

Pada pasien yang sudah bangun diusahakan agar tetap bangun selama pemeriksaan

saraf otak dengan jalan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengisap. Refleks rooting

diperiksa dengan menyentuhkan ujung jari di sudut mulut pasien, maka pasien akan

menengok ke arah rangsangan dan berusaha memasukkan ujung jari tersebut ke mulutnya,

kalau ujung jarinya dimasukkan ke dalam mulutnya 3 cm akan diisap, dan disebut refleks

isa[. Pemeriksaan refleks rooting dan refleks isap digunakan untuk menentukan kelainan

saraf otak V, VII, XII. Reaksi refleks rooting sempurna terjadi pada bayi dengan umur

kehamilan 28 minggu reaksinya lambat dan tidak sempurna. Pemeriksaan refleksrooting

reaksinya tidak selalu konstan, kalau diperiksa satu kali pada hari pertama pasca lahir

hasilnya negatif belum tentu abnormal.


Pemeriksaan refleks menelan dilakukan untuk memeriksa saraf IX dan X. Pada waktu

mengisap mata pasien biasanya terbuka secara spontan, dan pada saat itu kesempatan untuk

memeriksa pergerakan bola mata untuk menilai saraf III, IV, dan VI. Doll's eye maneuver

dilakukan dengan memutar kepala pasien ke kiri dan kanan untuk menilai gerakan bola mata

ke lateral. Pada waktu kepala diputar ke satu sisi, maka akan terjadi deviasi mata ke

kontralateral. Doll's eye maneuver juga dapat digunakan untuk memeriksa saraf VIII bagian

vestibular. Pemeriksaan saraf VIII bagian pendengaran sukar dilakukan secara obyektif,

tetapi pada bayi- bayi yang kalau ada suara keras menjadi kaget atua berkedip atau

menghentikan kegiatan motornya agaknya pendengarannya baik. Untuk pemeriksaan

pendengaran yang lebih teliti dipergunakan pemeriksaan elektrofisiologi (brain stem auditory

evoked response).

Refleks pupil sebenarnya ada tetapi sukar dinilai, karena kalau ada cahaya neonatus

segera akan menutup mata dan sukar dibuka lagi. Pada waktu mata terbuka segera perhatikan

apakah pupilnya isokor/ anisokor. Penciuman (saraf I) pada neonatus sukar diperiksa secara

objektif, tetapi menurut beberapa ahli sebenarnya penciuman sudah ada, hal ini terbukti

apabila tercium bau yang menyenangkan akan menghentikan aktivitasnya. Penglihatan (saraf

II) sukar diperiksa secara obyektif, tetapi penglihatan sebenarnya sudah ada. Dapat diperiksa

dengan cahaya atua benda-benda berwarna merah yang digerak- gerakkan di depannya. Pada

waktu ada cahaya pasien berkedip atau menutup mata. Tes penciuman dan pengecap kurang

berguna, sedangkan pemeriksaan saraf XI sukar dilakukan pada neonatus.

2.1.6 Pemeriksaan Refleks Primitif

Perkembangan sistem saraf pusat pada bayi dapat dinilai dengan pemeriksaan

otomatisme infantil, biasa disebut refleks primitif. Refleks-refleks ini berkembang selama

dalam kandungan, umumnya muncul setelah lahir, dan menghilang pada umur tertentu.
Kelainan pada refleks-refleks ini menandakan penyakit neurologis dan mengindikasikan

investigasi lebih intensif. Kelainannya dapat berupa:

 Tidak ada pada umur yang sesuai.

 Tetap ada lebih lama dari normalnya.

 Asimetris

 Berhubungan dengan postur atau gerakan tertentu (posturing / twitching)


2.1.7 Pemeriksaan Sensibilitas

Pemeriksaan sensibilitas jarang merupakan bagian pemeriksaan neurologis pada

neonatus. Pemeriksaan refleks withdrawal, refleks rooting, sentuhan dan rangsang sakit yang

menyebabkan bayi menangis dapat dipakai sebagai uji sensibilitas.

2.2 Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Bayi dan Anak

2.2.1 Pemeriksaan Status Mental

Pemeriksan dilakukan dengan mengobservasi aktivitas bayi, melihat apa yang bayi

tersebut telah bisa lakukan. Pastikan bayi dalam keadaan sadar dan tidak rewel atau gelisah.

Sewaktu observasi, selain menilai perkembangan juga mulai memperhatikan aktivitas

motorik seperti gerakan lengan dan tungkai, otot wajah, gerakan okular, penilaian suara, serta

reaksi dan kewaspadaan bayi.

Bayi normal memperlihatkan tahap-tahap perkembangan sbb:

1. Pada usia 2 bulan:

 Kedua tangan dalam sikap mengepal.

 Bila ditengkurapkan kepala dapat diangkat selama beberapa detik.

 Mata dan kepala dpat mengikuti rangsang visual dalam sudut toleh sebesar 90°.

 ‘Terkejut’ bila ada bunyi yang keras dan tiba-tiba.

 Dapat mengeluarkan suara sepatah-sepatah.


2. Pada usia 3 bulan:

 Kedua tangan sesekali terbuka (tidak selalu mengepal)

 Dapat sejenak mengepal benda yang disodorkan ke tangannya.

 Dapat memperhatikan sesuatu yang diperlihatkan kepadanya dan mengikuti dengan

mata dan kepala ke segala arah.

 Dapat tersenyum dan bereaksi bila diajak bicara.

 Dapat mengamati tangan sendiri dan memandang wajah orang yang menjenguknya.

3. Pada usia 4 bulan:

 Bila didudukkan dapat menegakkan kepalanya.

 Menunjukkan kecenderungan mengambil segala sesuatu di sekitarnya dan

memasukkannya ke mulut.

 Kepala tergerak untuk mencari sumber bunyi/suara.

 Dapat tertawa secara spontan.

4. Pada usia 5-6 bulan:

 Dapat mengangkat kepala sewaktu berbaring telentang.

 Dapat membalikkan badan.

 Bila tengkurap, dapat mengangkat kepala dan badan.

 Dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya.


 Dapat duduk dengan sedikit bantuan.

5. Pada usia 7-8 bulan:

 Dapat membanting benda di atas meja atau lantai.

 Menunjukkan kecenderungan untuk mendekati orang-orang.

 Sudah bisa bilang: da-da...da-da...

6. Pada usia 9-10 bulan:

 Bisa duduk tanpa bantuan

 Dapat mengangkat badannya untuk duduk

 Bisa berdiri, tapi belum bisa berjalan.

 Bisa melambai-lambai tangannya sambil bilang: da-da...da-da...

 Bisa minum dari gelas/cangkir dengan bantuan.

7. Pada usia 11-12 bulan:

 Berjalan dengan dituntun

 Dapat memegang dengan jari-jarinya.

 Dapat mengeluarkan 2-4 kata yag berarti.

 Mengerti perintah-perintah sederhana

 Bila didandani anak sudah menunjukkan kooperasi yang sesuai.


8. Pada usia 13-15 bulan:

 Sudah bisa berjalan sendiri tapi mudah jatuh.

 Bisa mencoret-coret dengan kapur atau pensil.

 Bisa menunjuk sesuatu yang diminta.

9. Pada usia 18 bulan:

 Bisa naik kursi atau bangku.

 Bisa melempar-lemparkan bola.

 Sudah mengenal bagian-bagian tubuhnya.

 Bicara dengan 1-2 kata dan mulai menunjukkan kecerdasan.

10. Pada usia 24 bulan:

 Sudah pandai berjalan, lari, jongkok, dsb.

 Bisa naik tangga dengan lincah.

 Mengutarakan pikirannya dengan kalimat yang terdiri dari 3-4 kata.

 Bisa membalikkan halaman buku satu demi satu.

 Bisa menyusun 4-6 balok kubus.

2.2.2 Pemeriksaan Motorik

A. Pemeriksaan Tonus Otot


Observasi motorik ditujukan pada posisi saat istirahat dan gerakan keempat anggota

gerak. Sikap bayi dapat mencerminkan adanya nyeri, fraktur, paresis, dan gangguan tonus

otot.

Tindakan yang pertama dilakukan ialah pemeriksaan tonus otot. Dalam menggerak-

gerakan lengan dan tungkai bayi secara pasif hendaknya tidak menggunakan tenaga kasar dan

menjaga jangan sampai bayi menangis. Melakukan pemeriksaan sambil bermain-main

dengan si bayi akan memberikan hasil yang sesuai. Tonus otot diperiksa dengan manipulasi

sendi besar dan ditentukan derajat tahanannya. Gerakkan setiap sendi-sendi besar untuk

menilai ada tidaknya spastisitas atau flasiditas. Peningkatan maupun penurunan tonus dapat

menandakan penyakit intrakranial. Pada balita dan bayi uji tonus otot dengan cara pronasi

dan supinasi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, dan dorsofleksi dan plantar fleksi

pergelangan kaki, dapat pula dengan memegang otot yang diperiksa.

Pada lengan, pemeriksaan dilakukan dengan memegang pergelangan tangan bayi dan

menggoyang-goyangkan lengan bawahnya. Bila tonus otot tinggi maka tangan tidak akan ikut

bergoyang secara luwes, melainkan kaku dan bersikap mengepal. Uji hipoteonia yang sensitif

pada anggota gerak atas ialah dengan tanda pronator, yaitu pasien diminta angkat tangan,

maka akan terjadi hiperpronasi ke arah luar telapak tangan yang hipotonia disertai fleksi pada

siku (Gambar).
B. Pemeriksaan Kekuatan Otot

Sebelum melakukan pemeriksaan formal perhatikan posturnya pada waktu berdiri,

perhatikan jalannya, larinya, pada waktu bermain pasien disuruh mengambil bola. Dari

pengamatan ini sudah didapat diambil kesimpulan keadaan motornya.

Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal, dan

biasanya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan

otot hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan

kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhan

saja. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah tergantung. Ia diminta

untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa menahan gerakan-gerakannya

(kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan anggota badan yang diuji tetap di

tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan yang yang dilakukan pemeriksa

(kekuatan statik).
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai

100% sampai 0%, ada yang menggunakan huruf (N = normal; G = Good; F = Fair, P = Poor;

T = Trace dan O = Zero), ada yang menilai dengan angka 5-0

 5 = Normal

 4 = Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan

tahanan secara simultan

 3 = Dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak dapat

menggerakkan anggota badan untuk melawanan tahanan pemeriksa.

 2 = Dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak

dapat melawan tahanan pemeriksa

 1 = Terlihat atau teraba ada getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan anggota

gerak sama sekali

 0 = Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali

Pemeriksaan kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh

mengangkat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan anak

disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak berjabat tangan dan disuruh pronasi dan

supinasi sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain. Pada uji ini

kekuatan otot yang diperiksa harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya yang

kontralateral.

C. Uji Kordinasi
Terdapatnya gangguan kordinasi sebenarnya sudah dapat terlihat pada waktu anak

meraih mainan, waktu merobek kertas, mengikat tali sepatu atau mengancingkan baju. Untuk

anak yang sudah mengerti, uji kordinasi dapat dilakukan dengan uji jari ke hidung atau tumit

ke tulang kering.

Pada uji jari ke hidung, anak disuruh melihat contoh lebih dahulu, kemudian disuruh

melakukannya sendiri, yaitu disuruh meluruskan satu tangan (abduksi), kemudian disuruh

menyentuh ujung hidungnya dengan jari tangan yang baru diluruskan tadi, kemudian ganti

dengan tangan yang lain. Uji mula-mula dilakukan dengan mata terbuka, kemudian dengan

mata tertutup. Pada gangguan kordinasi kasar pada kelainan serebelum sudah terlihat pada uji

dengan mata terbuka, yaitu tidak dapat menyentuh ujung hidung dengan tepat. Pada

gangguan ringan seperti pada kelainan kolumna posterior medula spinalis, kesalahan baru

terlihat pada uji dengan mata tertutup. Tetapi perlu diingat bahwa kordinasi halus baru

berkembang baik pada anak yang telah berumur 4-6 tahun, sehingga pada anak yang kecil

dapat menyentuh 1-2 inchi dari ujung hidung masih dianggap normal. Pada uji tumit ke

tulang kering, setelah diberi contoh, anak disuruh meletakkan tumit kaki ke atas tulang kering

tungkai lainnya, dan sebaliknya. Uji ini juga dikerjakan dengan mata terbuka dan tertutup.

Pada uji Romberg pasien disuruh berdiri pada kedua kakinya yang dirapatkan sambil

menutup mata. Uji positif apabila pasien kemudian bersandar atau jatuh ke satu sisi. Pada

kelainan/lesi satu sisi serebelum pasien akan jatuh ke sisi lesi. Pada lesi serebelum di daerah

tengah akan menyebabkan pasien jatuh ke belakang atau depan. Pada kelainan di serebelum

uji Romberg akan positif baik dengan mata terbuka maupun tertutup, sedangkan pada

kelainan kolumna posterior medula spinalis hanya positif pada tutup mata. Pada pasien

dengan gangguan kordinasi baik karena kelainan sereblum maupun karena kelainan sensori

(kolumna posterior medula spinalis) akan mengalami ataksia.


2.2.3 Pemeriksaan Refleks

A. Refleks Superfisial

Refleks dinding abdomen diperiksa dengan menggores kulit abdomen dengan 4

goresan yang membentuk segi empat (belah ketupat) dengan titik-titik sudut di bawah xifoid,

di atas simpisis dan kanan kiri umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan. Pada

bayi kurang dari 1 tahun refleks ini belum ada; pada anak dengan poliomielitis atau anak

dengan lesi sentral atau piramidal refleks ini negatif.

Refleks kremaster diperiksa dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam

keadaan normal testis akan naik di dalam kanalis inguinalis. Refleks kremaster yang negatif

terdapat pada lesi medula spinalis misalnya pada lesi medula spinalis misalnya polimielitis.

Pada bayi normal di bawah 6 bulan dan anak di atas 12 tahun refleks ini dapat negatif.

B. Refleks Tendon Dalam

Pemeriksaan refleks tendon pada bayi hasilnya bervariasi karena jalur kortikospinal

belum berkembang sempurna. Oleh karena itu, makna diagnostiknya sangat kecil kecuali

didapatkan respon yang berbeda dibandingkan pemeriksaan sebelumnya atau didapatkan

respon yang ekstrim. Sama halnya dengan orang dewasa, refleks yang asimetris menandakan

adanya lesi di saraf perifer atau segmen spinalis.

Teknik yang digunakan untuk membangkitkan refleks tendon sama dengan teknik

yang digunakan pada orang dewasa. Penggunaan palu refleks digantikan dengan jari telunjuk

atau jari tengah.

Refleks trisep, brakhioradialis, dan abdominal sulit dibangkitkan pada umur <6 bulan.

Refleks anal telah ada sejak lahir dan penting untuk diperiksa bila dicurigai adanya lesi
medula spinalis. Tidak adanya refleks anal menandakan tidak adanya inervasi otot sfingter

eksterna akibat abnormalitas medula spinalis misalnya karena anomali kongenital (misal

spina bifida), tumor, atau trauma. Refleks Babinski positif terhadap stimulasi plantar (ibu jari

kakidorsofleksi dan jari lain mengembang) dapat ditemukan pada bayi normal hingga umur 2

tahun.

Refleks engkel dengan cara mengetuk tendon Achilles seringkali tidak menimbulkan

respon. Untuk itu dapat digunakan metode lain, dengan cara menggenggam maleolus oleh

satu tangan lalu mendorsofleksikan engkel secara tiba-tiba. Respon terhadap manuver ini bisa

berupa fleksi plantar ritmis berulang (ankle clonus), normalnya hingga 10 kali

(unsustainedankle clonus).Bila kontraksi yang timbul terus berlanjut (sustained ankle clonus)

harus dicurigai adanya suatu penyakit SSP.

Refleks tendon dalam pada anak biasanya diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela

dan achilles. Pada refleks biseps akan terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps diketuk;

pada refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps diketuk.

Refleks patella (knee jerk) diperiksa dengan mengetuk tendon patela, normal akan

terjadi ekstensi sendi lutut. Pada refleks Achilles terjadi fleksi plantar kaki tendon Achilles

diketuk. Pemeriksaan harus dilakukan dengan pasien dalam keadaan santai, lebih baik bila

dokter mengajak bicara pasien agar ia tidak menyadari pemeriksaan. Pada bayi dan anak kecil

ketukan cukup dilakukan dengan jari tangan, pemukul refleks hanya dipakai pada anak besar.

Dibandingkan refleks kanan dan kiri. Refleks tndon dalam akan meninggi pada lesi upper

motor neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia atau tumor batang otak. Hiporefleksi terjadi

pada lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi dan beberapa kelainan metabolik.

C. Refleks Patologis
Terdapat berbagai perasat untuk memeriksa terdapatnya refleks patologis, tetapi

hanya dikemukakan yang sering dilakukan pada bayi dan anak. Refleks Babinski dilakukan

dengan menggores permukaan plantar kaki, mulai dekat tumit ditarik ke atas sepanjang sisi

lateral telapak kaki dan menyilang ke medial seperti pada gambar. Bila positif akan terjadi

reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain.

Refleks ini normal pada bayi sampai umur 18 bulan, bila masih terdapat pada umur 2-2 1/2

tahun, mungkin terdapat lesi piramidal.

Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan tulang kering dengan jari- jari digeser

ke arah bawah, dan apabila positif akan terajadi reaksi seperti refleks Babinski. Refleks

Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, dan reaksi positif seperti refleks

Babinski. Refleks Gordon dilakukan dengan memencet betis, dan reaksi positif seperti refleks

Babinski.

Refleks Hoffman dilakukan dengan menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau

ketiga pasien ke bawah. Bila positif akan terjadi fleksi ibu jari dan jari ketiga atau kedua.

Tanda Hoffman juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal (upper motor neuron), tetapi

tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.

Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan

cepat dan kuat, ditahan sebentar sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain

pemeriksa yang diletakkan pada fosa poplitea.


Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila patela

ditekan kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan lemas. Klonus

patela juga dapat ditimbulkan dengan cara fleksi pada lutut, satu tangan pemeriksa

memegang tungkai di atas lutut, tangan lain di bawah lutut (distal lutut), kemudian tangan

yang distal digerakkan secara cepat ke arah proksimal, maka akan teraba atau terlihat

kontraksi dan relaksasinya tungkai. Klonus sering menyertai setiap keadaan dengan

hiperrefleksi dan refleks patologis.

2.2.4 Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan sensori yang tepat sangat sukar dilakukan pada anak, dan pada bayi atau

toddler hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Pada anak yang berumur 6 tahun ke atas baru

dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan yang

sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu cara yang akan dikerjakan pada pasien.
Pemeriksaan fungsi sensorik pada bayi hanya dapat dilakukan secara terbatas. Yang

harus diperhatikan ialah reaksi bayi atas stimulasi. Pemeriksaan dimulai dengan persepsi

rangsang raba. Anggota gerak, wajah, dan badan digores dengan seutas kapas. Anggota gerak

yang terangsang akan ditarik (menjauhi sumber rangsang), tetapi wajah yang diraba akan

berbalik ke arah perangsangan.

Pemeriksaan sensasi nyeri dilakukan dengan cara menyentil telapak tangan atau kaki.

Hendaknya jangan menggunakan benda tajam untuk pemeriksaan ini. Perhatikan adanya

penarikan atau perubahan ekspresi wajah. Bila rangsang nyeri diikuti perubahan ekspresi

wajah atau bayi menjadi menangis tetapi tanpa penarikan bagian yang dirangsang, maka

kemungkinan terdapat paralisis.

Pada pemeriksaan sensoris anak terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan

yakni :

a. Uji Sentuhan

Sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa dan anak disuruh

menjawab apakah terasa sentuhan.

b. Uji Rasa Nyeri

Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan jarum yang tajam dan tumpul.

Ditunjukkan lebih dahulu dengan mata pasien terbuka dan anak diminta membedakan ujung

jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup mata, kemudian uji dilakukan di

kulit tangan, kaki, pipi, rahang, dan anak kembali disuruh membedakan ujung jarum yang

tajam dan tumpul.

c. Uji Rasa Vibrasi


Uji dilakukan dengan garpu tala yang bergetar yang ditempelkan pada sendi jari, ibu

jari kaki, serta maleolus lateral dan medial. Pasien boleh membuka mata, tetapi tidak boleh

melihat, kemudian ditanyakan apakah terasa ada getaran.

d. Uji Posisi

Sambil menutup mata, anak disruh mengatakan apakah jari tangan/ kakinya

digerakkan ke atas atau ke bawah.

e. Uji Stereognosis

Dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang sudah dikenal yang

diletakkan di tangannya, misalnya kain, kancing baju, kunci atau peniti. Pasien mengenal

benda tersebut dari ukurannya, kelenturannya dan bentuknya. Kalau atereognosis negatif

disebut astreognosis yang biasanya berhubungan dengan adanya lesi di daerah lobus

parietalis.

f. Uji Grafestesia

Setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian pasien disuruh menutup

mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol yang dikenal pasien di telapak tangan

atau lengan bawah pasien, dan pasien diminta menebaknya. Apabila tidak dapat menebak

disebut disgrafestesia.

2.2.5 Pemeriksaan Saraf Kranialis

Pemeriksaan saraf kranial pada anak dapat dilakukan walaupun diperlukan trik-trik

khusus dalam cara pemeriksaannya yang berbeda dengan orang dewasa. Abnormalitas saraf

kranial menandakan adanya lesi intrakranial seperti pendarahan atau malformasi kongenital.
A. Pemeriksaan Saraf Kranialis pada Bayi

B. Pemeriksaan Saraf Kranialis pada Anak

1. N. Olfaktorius

Uji penciuman (sensasi bau) dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 5-6

tahun, dengan melakukan uji pada setiap lubang hidung secara terpisah (salah satu lubang
hidung ditutup), dengan mata tertutup. Bahan uji yang paling baik ialah bahan uji yang

menimbulkan bau yang tidak merangsang dan sudah dikenal oleh pasien. Fungsi nervus ini

hilang pada trauma cribriform atau tumor di daerah bulbus olfaktorius.

2. N. Optikus

Uji saraf otak II terdiri atas uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan pemeriksaan

fundus (funduskopi). Uji ketajaman penglihatan secara kasar dilakukan dengan

memperhatikan kemampuan pasien mengikuti muka seseorang, responnya terhadap mimik

seseorang, serta kemampuannya mengambil mainan dan mengikuti benda yang bergerak.

Refleks kedip dan memejamkan mata bila ada benda yang mendadak bergerak ke arah

mata menunjukkan visus baik, tetapi ini hanya terjadi pada anak yang sudah berumur 1 tahun

ke atas. Reaksi ini tidak timbul pada bayi yang berumur 4 bulan ke bawah, dan timbul kira-

kira pada 50% bayi normal berumur 5 bulan. Uji penglihatan yang canggih dilakukan dengan

alat evoked potential, yaitu visual evoked response (VER). Pemeriksaan perimetri dilakukan

oleh ahli mata.

Pemeriksaan funduskopi memerlukan oftalmoskop yang baik, ruang yang dapat

dibuat gelap serta kesabaran pemeriksa. Untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap sinar,

pasien diminta melihat gambar di dinding yang berlawanan dengan pasien. Pemeriksaan

sebaiknya dilakukan tanpa midriatikum untuk melihat reaksi pupil. Kalau terpaksa (pupil

pasien dalam keadaan miosis) dapat dipergunakan midriatikum setelah reaksi pupil diperiksa

lebih dahulu. Mula-mula dipergunakan sinar redup pada oftalmoskop sambil dijelaskan

kepada pasien mengenai cara pemeriksaan. Setelah itu mulai dipergunakan lensa + 20 untuk

memeriksa kornea dan lensa apakah terdapat ulserasi, opasitas, dan katarak. Kemudian

pergunakan lensa 0 pada oftalmoskop untuk memeriksa retina dan papil N. Optikus,

perhatikan fokus pada makula dan kelainan-kelainan makula dan sekitarnya. Perhatikan
ukuran, pulsai dan distribusi pembuluh darah retina, terdapatnya deposit abnormal,

pigmentasi abnormal dan adanya pendarahan.

3. N. Okulomotor, N. Troklearis, dan N. Abdusen

Uji yang sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji akomodasi

dan refleks cahaya. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan, baterai atau alat

pengukur lingkaran kepala yang digoyang-goyangkan ke samping, ke atas dan ke bawah di

garis tengah, kemudian juga diagonal. Hal ini dilakukan juga pada masing-masing mata

dengan menutup mata yang lain.

Uji akomodasi dilakukan dengan menyuruh pasien melihat benda yang digerakkan

mendekat dan menjauh, diperhatikan pupil pasien apakah mengecil bila melihat dekat serta

membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan dengan cara menanyakan kepada pasien

apakah melihat satu atau lebih mainan yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri, atas

kanan, bawah kiri dan bawah kanan.

Paralisis saraf otak III akan menyebabkan mata yang terkena akan berdeviasi ke

lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan

akomodasi. Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu pasien melihat ke

bawah terjadi sedikit strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat ke

bawah, sehingga mengalami kesukaran waktu menuruni tangga, sering disertai kepala miring.

Paralisis saraf otak VI paling sering terjadi, ditandai oleh strabismus konvergens dan

diplopia. Ptosis kongenital sering ditemukan, dan diturunkan secara dominan.


4. N. Trigeminus

N. Trigeminus mempunyai fungsi motor dan sensori. Bagian motor mempersarafi

pengunyah, yaitu maseter, pterigoid, dan temporalis. Bagian sensoris mempersarafi daerah

wajah dan setengah kulit kepala bagian depan. Cabang oftalmikus mempersarafi kuadran

atas, cabang maksilaris mempersarafi kuadran tengah, dan cabang mandibularis

mempersarafi kuadran bawah.

Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji perasaan (sensori) dengan

mengusapkan kapas, menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau dingin di daerah
wajah kuadran atas, tengah dan bawah. Uji lain ialah terhadap refleks kornea dan rahang. Uji

refleks kornea dilakukan dengan kain kasa atau kapas yang bersih yang disentuhkan pada

kornea pasien, bila saraf otak V intak, maka mata akan berkedip. Refleks rahang (jaw jerk)

dilakukan dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit, kemudian letakkan jari di

tengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari tangan lainnya atau dengan

pengetuk refleks, normal dagu akan terangkat. Lesi saraf otak V unilateral akan menyebabkan

rahang miring ke sisi yang paretik, hal ini disebabkan oleh karena kelemahan ipsilateral otot

pterigoid. Uji perasaan (sensori) sukar dilakukan pada anak, yang mudah dilakukan ialah uji

refleks kornea.

5. N. Fasialis

Parasis N. VII perifer menyebabkan pasien tidak dapat mengerutkan dahi ke atas,

tidak dapat memejamkan mata, dan tidak dapat menaikkan sudut mulut pada sisi saraf yang

paresis. Pada tipe sentral hanya terkena otot-otot wajah bagian bawah, sehingga sudut mulut

turun ke bawah, lipatan nasolabialis mengurang atau menghilang, dan fisura palpebra

bertambah. Otot dahi yang mendapat dua pertiga lidah bagian depan juga terganggu.

Pemeriksaan untuk saraf otak VII dilakukan dengan menyuruh pasien tersenyum,

meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta refleks kornea dan uji pengecap

(sensori pengecap). Bila terdapat paresis N. VII, akan terlihat mulut pasien moncong ke sisi

yang sehat, dan mata pada sisi lesi tidak dapat menutup dengan rapat (lagoftalmus). Uji

sensori pengecap dilakukan dengan meminta pasien menjulurkan lidah, pemeriksa memegang

ujung lidah dengan kain kasa dan meletakkan gula atau garam atau asam sitrat atau kina.

Lidah harus tetap di luar sampai uji sensori pengecap selesai, dan pasien diminta

menyebutkan bahan uji yang digunakan dengan mata tertutup.

6. N. Akustikus
Saraf otak ini terdiri atas N. Koklearis untuk pendengaran dan N. Vestibularis untuk

keseimbangan. Uji pendengaran sebenarnya sudah dapat dilakukan pada waktu wawancara,

yaitu reaksi pasien terhadap suara. Pada anak kecil uji pendengaran dapat pula dilakukan

dengan bel, pada anak besar dengan diminta menirukan bisikan, bunyi jam atau dengan garpu

tala. Alat uji pendengaran yang paling akurat adalah dengan alat evoked potential yaitu

brainstem auditory-evoked potential (BAEP). Uji pendengaran dilakukan bergantian pada

kedua telinga.

Uji keseimbangan pada bayi dapat dilakukan dengan memegang pasien vertikal

berhadapan dengan pemeriksa, kemudian diputar beberapa kali searah jarum jam, dan

berlawanan arah jarum jam. Perhatikan matanya, pada bayi normal matanya melirik ke arah

putaran diikuti dengan nistagmus cepat kembali. Pada waktu putaran dihentikan akan terjadi

sebaliknya.

Uji keseimbangan juga dapat dilakukan dengan uji kalorik. Pasien dibaringkan

telentang, dan kepala difleksikan 30 derajat, kemudian 10 ml air es disemprotkan ke dalam

liang telinga selama 30 detik, maka pada anak sadar akan terjadi nistagmus kasar ke arah

telinga yang diuji tanpa deviasi mata. Pada pasien dengan kesadarn menurun akan terjadi

deviasi mata ke sisi yang sama dan nistagmus ke kontralateral. Pada pasien dengan koma

akan terjadi deviasi tonik ke sisi sama tanpa nistagmus, dan pada koma yang dalam tidak ada

perubahan pada mata sama sekali. Uji kalorik tidak boleh dilakukan pada pasien dengan

perforasi membran timpani, dan pada telinga dengan sumbatan serumen, harus dibersihkan

lebih dahulu. Uji kalorik dilakukan bergantian pada kedua telinga.

7. N. Glosofaringeus

Pemeriksaan saraf otak ini ditujukan untuk menilai kelainan yang timbul, berupa:
 Hilangnya refleks muntah (gag reflex)

 Disfagia ringan

 Hilangnya sensori pengecap

 Deviasi uvula ke sisi yang baik

 Hilangnya sensori pada faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah bagian

belakang

 Hilangnya konstriksi dinding posterior farings saat bersuara “ah”

 Hipersalivasi

8. N. Vagus

Gangguan saraf otak ini berupa gangguan motor, sensori dan vegetatif. Gangguan

motor berupa berupa afonia (siklus menghilang), disfonia (gangguan suara), disfagia

(kesukaran menelan, biasanya kalau minum kembali melalui hidung), spasme esofagus,

paralisis palatum mole (refleks muntah negatif dan palatum sisi yang sakit tidak dapat

terangkat pada waktu bersuara). Gangguan sensori berupa nyeri dan parestesia pada faring

dan laring, batuk, sesak napas dan pseudoasma. Gangguan vegetatif berupa bradikardi,

takikardi, dan dilatasi lambung.

9. N. Aksesorius

Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji kemampuan untuk mengangkat bahu

dan memutar kepala melawan tahanan pemeriksa. Pasien tidak dapat mengangkat bahu yang

terkena, dan tidak mampu memutar kepala ke sisi yang sehat.

10. N. Hipoglosus

Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji untuk menilai kekuatan lidah dengan

menyuruh pasien menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari
tangan pemeriksa. Perhatikan deviasi lidah pada waktu dijulurkan, lidah akan deviasi ke sisi

lesi dan lidah juga tampak atrofi disertai tremor.

2.2.6 Tanda Rangsang Meningeal

A. Kaku Kuduk

Terdapatnya rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat, antara lain

pemeriksaan kaku kuduk, tanda Brudzinski I, Brudzinski II dan Kernig. Jangan dikacaukan

perasat-perasat tersebut dengan refleks patologis yang menunjukkan terdapatnya lesi upper

motor neuron.

Kaku kuduk (nuchal rigidity). Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan,

sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif (Lihat

gambar). Tahanan juga terasa apabila leher dibuat hiperekstensi diputar atau digerakkan ke

samping. Kadang-kadang kaku kuduk disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, keadaan

ini disebut opistotonus.

Di samping menunjukkan adanya rangsang meningeal (pada meningitis), kaku kuduk

juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,

keracunan timbul, dan artritis reumatoid, tetapi pada meningitis (rangsang meningeal)

pemeriksaan kaku kuduk cukup dengan menekuk leher ke depan dan ke belakang.
B. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada

pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien difleksikan ke

dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal maka kedua tungkai

bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut (Gambar).
C. Tanda Brudzinski II

Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai

lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan lebih jelas apabila pada waktu fleksi

panggul, sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi (Gambar)

D. Tanda Brudzinski III

Penekanan pada kedua pipi atau tepat dibawah os zigomatikus, respon fleksi pada

kedua tungkai pada sendi lutut dan tungkai.

E. Tanda Brudzinski IV

Penekanan pada simphisis pubis, respon fleksi pada tungkai pada sendi lutut dan

tungkai.

F. Tanda Kernig
Pemeriksaan tanda Kernig ini ada bermacam-macam cara, tetapi yang biasa

dipergunakan ialah pada pasien dalam posisi telentang dilakukan fleksi tungkai atas tegak

lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.

Dalam keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih 135 derajat

terhadap tungkai atas (Gambar). Pada iritasi meningeal ekstensi lutut secara pasif ini akan

menyebabkan rasa sakit dan terdapat hambatan. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di

bawah umur 6 bulan.


DAFTAR PUSTAKA

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.

Philadelphia: Elsevier. 2007

Sidharta, P., Pemeriksaan Neurologik Pada Bayi dalam Tata Pemeriksaan Klinis Dalam

Neurologi, Cetakan keempat, Dian Rakyat, Jakarta, 1999.

Soetomenggolo TS & Ismael S., Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: IDAI.

2000

Szilagyi P., Techniques of Examination for Newborns and Infants: The Nervous System

dalam Bates’ Guide to Physical Examination abd History, Edisi ke-9, Lippincott Williams &

Wilkins, New York, 2007.

World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi

Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. World Health Organization.

Jakarta. 2009

Anda mungkin juga menyukai