Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penegakan hukum atas pelanggaran lalu lintas dikenakan kepada
pelanggarnya melalui pemberian surat bukti pelangaran (Tilang) peraturan lalu
lintas. Penindakan dengan Tilang dapat dikategorikan penegakan hukum yang
bersifat upaya paksa (coercive). Upaya paksa itu diikuti dengan menyitaan
barang bukti, Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor
(STNK), maupun kendaraannya. Pelanggar wajib membayar denda kepada
Negara melalui bank. Besaran denda tersebut ditentukan oleh pengadilan yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Penegakan
hukum dengan upaya paksa yang dilakukan oleh polisi sebenarnya untuk
membangun budaya tertib lalu lintas dalam bentuk pencegahan, pelayanan,
kepastian, dan edukasi.1
Peningkatan pelanggaran lalu-lintas menjadi tantangan baru bagi pihak
Kepolisian untuk mampu menerapkan sangsi yang mendidik namun tetap
memiliki efek jera. Salah satu cara untuk menekan pelanggaran adalah dengan
melakukan sanksi administratif (Tilang) yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
Namun yang terjadi selama ini sistem Tilang sering disimpangkan oleh oknum
sipil dan oknum anggota polisi untuk saling berkompromi agar kepentingan
masing-masing bisa tercapai tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, sehingga
setiap tindakan pelanggaran yang dilakukan masyarakat hanya dicatat dalam
surat Tilang dan terinfentarisir di divisi Administrasi Tilang kemudian
dilakukan sanksi, dan hanya sampai pada tingkat pencatatan akhir, sehingga
ketika terjadi pengulangan pelanggaran oleh orang yang sama tidak ada
peningkatan sanksi yang berarti. Seharusnya sistem Tilang yang dilakukan
harus bisa dikelola dengan baik sehingga dalam setiap pelaksanaannya
membuahkan efek jera bagi masyarakat pelanggar lalu lintas. Maka sistem
informasi setiap pelanggaran oleh para pengendara di jalan raya harus dapat
menjadi dasar penindakan pelanggaran dalam tahapan selanjutnya, artinya
1
Chryshnanda Dwilaksana, 2011. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan
Dengan Polisi ? Sebuah Catatan Harian. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
(YPKIK), Jakarta, hlm. 114.

1
2

informasi pelanggaran yang pernah dilakukan setiap orang harus selalu


teridentifikasi oleh setiap anggota polisi yang melakukan Tilang.2
Sehubungan dengan penegakan hukum atas pelanggaran lalu-lintas
dikenakan kepada pelanggarnya melalui pemberian surat bukti pelangaran
(Tilang), Kepolisian mengeluarkan tindakan baru dalam penegakkan tertib lalu-
lintas bernama E-Tilang (Tilang elektronik). Berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung No. 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas Berbasis Elektronik, E-Tilang adalah digitalisasi proses
Tilang, dengan memanfaatkan teknologi, diharapkan seluruh proses Tilang akan
lebih efisien dan efektif juga membantu pihak Kepolisian dalam manajemen
administrasi. Kepolisian Republik Indonesia menerapkan sistem E-Tilang, proses
Tilang ini dibantu dengan pemasangan kamera CCTV (Closed Circuit Television)
di setiap lampu merah untuk memantau keadaan jalan.
Rekaman CCTV adalah suatu media yang dapat digunakan untuk memuat
rekaman setiap informasi yang dapat dilihat, dan didengar dengan bantuan
sarana rekaman CCTV. Rekaman CCTV dijadikan sebagai alat bukti yang
sistemnya menggunakan kamera video untuk menampilkan dan merekam gambar
pada waktu dan tempat tertentu dimana perangkat ini terpasang yang berarti
menggunakan sinyal yang bersifat tertutup, tidak seperti televisi biasa yang
menggunakan broadcast signal. 3
Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mengalami
peningkatan pesat seiring dengan bertambahnya peningkatan alat transportasi
bermotor, demikian halnya juga terjadi peningkatan pelanggaran lalu lintas.
E-Tilang adalah proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang
memakai sistem teknologi dan komunikasi. Sistem E-Tilang akan
menggantikan sistem Tilang manual yang menggunakan blanko/surat Tilang,
di mana pengendara yang melanggar akan dicatat melalui aplikasi yang
dimiliki personel Kepolisian.
Untuk mencapai sebuah proses Tilang yang relevan, maka perlu adanya
sebuah sistem informasi yang didukung oleh sebuah perangkat lunak berbasis
2
Rahardian IB, Dian AK. 2011. Program Aplikasi Berbasis Wap Untuk Peningkatan
Akuntabilitas Sistem Tilang Pelanggaran Tata Tertib Lalu Lintas Di Wilayah Polres Majalengka.
Jurnal Online ICT-STMIK IKMI Vol 1-No. 1 Edisi Juli 2011, hlm. 43
3
Herman Dwi Surjono, 2006. Pengembangan Pendidikan TI di Era Global, Pendidikan
Teknik Informatika FT UNY, Yogyakarta, hlm. 18.
3

jaringan atau website yang memungkinkan penyebaran informasi kepada setiap


anggota Kepolisian secara realtime. Rekaman CCTV (Clossed Circuit
Television) bisa digunakan untuk menindak pelanggaran lalu lintas melalui
sistem E-Tilang sesuai dengan Pasal 272 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan “Untuk mendukung
kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan
dapat digunakan peralatan elektronik”.
Data pelanggaran lalu-lintas berdasarkan bukti pelanggaran elektronik
yang terekam CCTV di wilayah Satlantas Polresta Banyumas, sejak bulan
Januari sampai dengan Oktober 2019 terdapat pelanggaran sebanyak 99
(sembilan puluh sembilan) kasus, dan dari 99 (sembilan puluh sembilan) kasus
tersebut semua telah dikirimi surat ke alamat masing-masing pelanggar, namun
yang datang ke Satlantas Polresta Banyumas hanya 5 (lima) orang dan yang
lainnya sebanyak 93 (sembilan tiga) orang tidak datang, sedangkan yang 1
(satu) suratnya dikembalikan karena pemiliknya telah pindah alamat. (Sumber
Satlantas Polresta Banyumas, Oktober 2019)
Masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai adanya E-Tilang
sehingga perlunya sosialisasi yang lebih gencar dan merata kepada masyarakat.
Pengaturan baru tentang mekanisme penyelesaian perkara lalu-lintas hadir
pasca dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 12 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Berbasis Elektronik,
berbagai wilayah mulai memberlakukan E-Tilang secara bertahap, salah
satunya adalah yang telah diberlakukan di wilayah hukum Polresta Banyumas.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, penulis
bermaksud untuk melakukan penelitian tentang penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas berbasis elektronik yang dirumuskan dalam judul :
EFEKTIVITAS PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU
LINTAS BERDASARKAN BUKTI PELANGGARAN ELEKTRONIK
SEBAGAI IMPLEMENTASI ASAS CEPAT, SEDERHANA, BIAYA
RINGAN (Studi di wilayah Polresta Banyumas).
B. Perumusan Masalah
4

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan


permasalahan penelitian ini yaitu:
1. Apakah penerapan E-Tilang dengan menggunakan rekaman CCTV dalam
penyelesaian perkara pelanggaran lalu-lintas sudah efektif sesuai dengan asas
cepat, sederhana biaya ringan ?
2. Apa yang menjadi penghambat dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas berdasarkan bukti pelanggaran elektronik ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan perumusan masalah
tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini pada pokoknya adalah :
1. Menganalisis penerapan E-tilang dengan menggunakan rekaman CCTV dalam
penyelesaian perkara pelanggaran lalu-lintas, efektif sesuai dengan asas cepat,
sederhana biaya ringan
2. Menganalisis penghambat dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas berdasarkan bukti pelanggaran elektronik

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun
praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi penulis
dalam bidang penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas dan memberikan
sumbangsih pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta
masukan peneliti-peneliti dimasa mendatang khususnya yang berhubungan
dengan pelaksanaan sistem E-tilang.
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, sebagai bentuk informasi bagi
masyarakat, memberikan masukan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi para
penegak hukum di wilayah hukum peradilan di Indonesia yang berhubungan
dengan pelaksanaan sistem E-tilang.
E. Kerangka Teori
5

1. Pelanggaran Lalu Lintas


Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,
terutama di kota besar yang memiliki banyak aktivitas dan banyak
penduduk. Selain itu sistem transportasi merupakan hal yang krusial dalam
menentukan keefektifan suatu kota. Banyak sekali kasus pelanggaran lalu
lintas di jalan raya yang dilakukan oleh pemakai jalan yang cenderung
mengakibatkan timbulnya kecelakaan dan kemacetan lalu lintas yang
semakin meningkat. Pelanggaran lalu lintas mayoritas berupa pelanggaran
dalam hal marka, rambu lalu lintas dan lampu pengatur lalu lintas seperti
larangan berhenti, parkir di tempat-tempat tertentu, menerobos lampu
merah, tanpa surat dan kelengkapan kendaraan, dan lain-lain.
Pelanggaran tersebut terjadi justru pada jam-jam sibuk dimana
aktivitas masyarakat di jalan raya meningkat. Perkembangan jumlah
kendaraan bermotor di Indonesia mengalami peningkatan pesat seiring
bertambahnya peningkatan alat transportasi bermotor demikian halnya juga
terjadi peningkatan pelanggaran lalu-lintas. Latar belakang inilah yang
membuat Kepolisian menetapkan peraturan E-Tilang yang diharapkan dapat
membantu penanganan kasus pelanggaran lalu-lintas dan pungutan liar
yang belakangan ini marak terjadi seiring dengan pertumbuhan moda
transportasi.
Pelanggaran lalu-lintas tidak dapat dibiarkan begitu saja karena
sebagian besar kecelakaan lalu-lintas disebabkan karena faktor manusia
pengguna jalan yang tidak patuh terhadap peraturan lalu-lintas. Namun
masih ditemukan penyebab di luar faktor manusia seperti ban pecah, rem
blong, jalan berlubang, kemacetan lalu-lintas, volume kendaraan yang tinggi
melalui ruas jalan tertentu, kondisi jalan, infrastruktur jalan yang kurang
memadai dan lain-lain.4
Bukti pelanggaran atau di singkat dengan Tilang adalah denda yang
di kenakan oleh polisi kepada pengguna jalan yang melanggar peraturan.
Para pengguna jalan seringkali melanggar peraturan yang telah ditetapkan

4
Junef Muhar, 2014. Perilaku Masyarakat Terhadap Operasi Bukti Pelanggaran
(Tilang) Dalam Berlalu Lintas, E-Jurnal Widya Yustisia52 Vol.1 Nomor 1 Juni 2014, hlm. 53.
6

oleh Undang-Undang lalu-lintas. Tilang diharapkan mampu menangani


permasalahan berlalu lintas. 5
Masalah pokok pelanggaran lalu-lintas sebenarnnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor tersebut mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Seseorang yang melanggar peraturan lalu-lintas,
bukanlah selalu seorang penjahat. Seorang pengemudi yang melanggar lalu-
lintas adalah seseorang yang lalai di dalam membatasi penyalahgunaan hak-
haknya. Pemasangan rambu yang tepat untuk memperingati pengemudi bahwa
didepanya terdapat tikungan yang berbahaya akan dapat mencegah terjadinya
kecelakaan.
Selain itu pendidikan bagi pengemudi juga merupakan salah satu cara
dalam menangani para pelanggar lalu lintas. Sekarang ini masyarakat sudah
mulai sadar dengan adanya sekolah mengemudi. Sekolah mengemudi
merupakan suatu lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah
menghasilkan pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam
mencegah terjadinya kecelakaan lalu-lintas. Kalau tidak maka kemungkinan
besar akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian benda atau
hilangnya nyawa seseorang. 6
2. Pengertian E-Tilang
Tilang elektronik yang biasa disebut E-Tilang ini adalah digitalisasi
proses Tilang, dengan memanfaatkan teknologi diharapkan seluruh proses
Tilang akan lebih efisien dan juga efektif juga membantu pihak Kepolisian
dalam manajemen administrasi. E-Tilang ini merupakan aplikasi yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat dimana bisa tahu biaya yang harus dibayar
secara langsung. Setelah tercatat di aplikasi, pelanggar bisa memilih pakai
E-Tilang di aplikasi atau manual.
Aplikasi dikategorikan kedalam dua user, yang pertama yaitu pihak
Kepolisian dan yang kedua adalah pihak kejaksaaan. Pada sisi Kepolisian,
sistem akan berjalan pada komputer tablet dengan sistem operasi Android
sedangkan pada pihak kejaksaan sistem akan berjalan dalam bentuk website,

5
Ibid., hlm. 54.
6
M. Karjadi, 2001. Kejahatan Pelanggaran dan Kecelakaan, Politeia, Bogor, hlm. 66
7

sebagai eksekutor seperti proses sidang manual. Aplikasi E-Tilang tidak


menerapkan fungsi sebagai pengantar untuk membayar denda ke Bank /
Panitera karena mekanisme melibatkan form atau kertas Tilang, pada
E-Tilang form atau kertas bukti pelanggar tidak digunakan, aplikasi ini
hanya mengirim reminder berupa ID Tilang yang menyimpan seluruh data
atau catatan Polisi mengenai kronologis Tilang yang akan diberikan kepada
pengadilan atau kejaksaan yang memiliki website dengan integrasi database
yang sama. 7
3. Pengertian Rekaman CCTV (Closed Ceircuit Television)
Closed Circuit Television (CCTV) merupakan sebuah perangkat
kamera video digital yang digunakan untuk mengirim sinyal ke layar
monitor di suatu ruang atau tempat tertentu. Hal tersebut memiliki tujuan
untuk dapat memantau situasi dan kondisi tempat tertentu secara real time,
sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan atau dapat dijadikan sebagai
bukti tindak kejahatan yang telah terjadi. Pada umumnya CCTV sering kali
digunakan untuk mengawasi area publik seperti : bank, hotel, bandara, toko,
pabrik maupun pergudangan. Bahkan pada perkembangannya, rekaman
CCTV sudah banyak dipergunakan di dalam lingkup rumah pribadi.8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, rumusan Pasal 1 angka 4 menyebutkan
“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya”. Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan

7
Subhave Sandhy, Suwarto H, Arie Q. 2016. Aplikasi Tilang Berbasis Android.
Universitas Ilmu Pakuwan Bogor, hlm. 7
8
Herman Dwi Surjono, 2011. Membangun Course E-Learning Berbasis Moodle. UNY
Press, Yogyakarta, hlm. 19.
8

“Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik


yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik”.
Sehubungan dengan pengertian “Dokumen Elektronik” dan “Sistem
Elektronik” tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa rekaman CCTV
(Closed Circuit Television) merupakan alat bukti yang sah, sehingga dapat
dipakai sebagai alat bukti.
4. Efektivitas dan Penegakan Hukum
Efektif berasal dari bahasa inggris yaitu “effective” yang berarti
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik, atau dapat didefenisikan
sebagai ketetapan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Secara
etimologis, kata efektif sering diartikan sebagai mancapai sasaran yang
diinginkan (producing desired result), berdampak menyenangkan (having a
pleasing effect), bersifat aktual, nyata (actual dan real). 9
Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa berdasarkan teori
efektivitas, efektivitas mengandung arti keefektifan, pengaruh/efek
keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban. Membicarakan efektivitas
hukum untuk menanggulangi kejahatan, tentunya tidak terlepas dari
penganasilaan terhadap karakter 2 (dua) variabel yang terkait, yaitu
karakteristik/dimensi dari ”objek/sasaran yang dituju” dan karakteristik dari
”alat/sarana yang digunakan” (perangkat hukum pidana).10
Maksud dari penegak hukum sebagai faktor penegakan hukum
adalah dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah
satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum menurut pendapat J.E.
Sahetapy sebagai berikut:

9
I Nyoman Sumaryadi, 2005. Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra
Utama, Jakarta, hlm.4
10
Barda Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya, Bandung.
hlm. 85
9

“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum


bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam
kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusi
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan
terlibat, harus diaktualisasikan”. 11

Sehubungan dengan masalah penegakan hukum, Sudarto memberi


pengertian ”sebagai perhatian dan pengharapan perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum yang sungguh-sungguh (on recht in actu) maupun
perbuatan-perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht
12
in potentie)”. Penegakan hukum di bidang hukum pidana di dukung oleh
alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan
hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksud di sini ialah
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang
peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain
ketentuan-ketentuan hukum acara pidana, Undang Undang Kekuasaan
Kehakiman, Undang Undang tentang Kepolisian, Undang Undang tentang
Kejaksaan dan Gestichtenreglement. 13
Proses penegakan hukum di Indonesia diselenggarakan oleh suatu
badan yaitu kekuasaan kehakiman yang pada akhirnya semuanya bermuara
ke Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman harus merupakan
constitusional protected right. Oleh karena itu, penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman tidak boleh terpengaruh oleh kondisi politik yang selalu
berubah-ubah.14
Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat
terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu

11
J.E. Sahetapy, 2016. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Grafika Pustaka, Jakarta,
hlm. 65.
Sudarto, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 111.
12

13
Ibid., hlm. 112.
14
Edi Setiadi, 2004. Pemberdayaan Peran dan Kompleksitas Interaksi Advokat dalam
Proses Penegakan Hukum untuk Mewujudkan Keadilan. Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum
UNDIP, Semarang. hlm. 97.
10

menjadi kenyataan. Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu:
a. Kepastian Hukum (rechtssicherheit) : Hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum
dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah
yang harus berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang: fiat justicia
et pereat mundus (meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan)
itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang, yang berarti seorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu.
b. Manfaat (zweckmassigkeit) : Masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka
pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat dan
kegunaan bagi masyarakat. Jangan karena hukum dilaksanakan atau
ditegakkan justru akan timbul keresahan di dalam masyarakat.
c. Keadilan (gerechtigkeit) : Merupakan salah satu tujuan hukum yang
utama di samping kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan
(Zwckmassigkeit). Keadilan sendiri berkaitan erat dengan pendistribusian
hak dan kewjiban. Di antara sekian hak yang dimiliki manusia, terdapat
sekumpulan hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa, yang disebut dengan hak asasi manusia. Itulah sebabnya
masalah filsafat hukum yang kemudian dikupas adalah hak asasi manusia
atau hak kodrati manusia. 15
Pemikiran tentang penegakan hukum adalah sangat erat kaitannya
dengan pemikiran tentang efektivitas peraturan perundang-undangan atau
hukum yang berlaku. Ini berarti pemikiran-pemikiran ini biasanya diarahkan
pada kenyataan apakah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
ada benar-benar berlaku atau tidak. Dalam teori efektivitas hukum dikatakan
bahwa efektif tidaknya hukum akan sangat tergantung pada faktor substansi
(peraturan itu sendiri), faktor struktur (aparat penegak hukum) dan faktor

15
Sudikno Mertokusumo, 2009. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta, hlm. 145
11

kultur (masyarakatnya). Ketiga faktor tersebut bersama-sama atau sendiri-


sendiri akan mempengaruhi efektif tidaknya suatu hukum.16
Untuk memahami efektif tidaknya berlakunya hukum di dalam
masyarakat, terhadap komponen-komponen sistem hukum sebagaimana
tersebut di atas, Lawrence M. Friedman mengemukakan sebagai berikut :
a. Struktur, yaitu yang bergerak di dalam mekanisme, misalnya di dalam
lembaga peradilan strukturnya membedakan peradilan umum, pengadilan
administrasi, pengadilan agama, pengadilan militer, dengan pembagian
kompetensi masing-masing. Komponen struktur ini diharapkan untuk
melihat bagaimana hukum memberikan pelayanan terhadap penggarapan
bahan-bahan hukum secara teratur.
b. Substansi, yang termasuk dalam komponen ini adalah ketentuan-
ketentuan dan aturan-aturan hukum, yang tertulis dan tidak tertulis.
Setiap keputusan yang mengandung doktrin, keputusan pengadilan,
keputusan pembuat undang-undang dan keputusan yang dikeluarkan oleh
badan-badan pemerintahan.
c. Kultur, yang terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap yang melekat dalam
budaya bangsa. Nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat itulah yang
dapat dipakai untuk menjelaskan apakah atau mengapa orang
menggunakan atau tidak menggunakan proses-proses hukum untuk
menyelesaikan sengketanya.17
Masalah efektivitas penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas
berdasarkan bukti pelanggaran elektronik pada dasarnya merupakan studi
tentang penegakan hukum yang di dalamnya mengkaji masalah bekerjanya
hukum yaitu hukum yang mengatur tentang penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas berdasarkan bukti pelanggaran elektronik. Dalam
membahas efektivitas penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas
berdasarkan bukti pelanggaran elektronik, digunakan teori tentang
bekerjanya hukum sebagaimana dikemukakan William J. Clambliss dan
Robert B. Seidman. Bekerjanya hukum dalam masyarakat, menurut
pendapat yang disampaikan oleh William J. Clambliss dan Robert B.
Seidman, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo secara teoritis
penjelasannya dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :

16
Sidik Sunaryo, 2005. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Muhammadiah, Malang, hlm. 10
17
Ibid.,hlm. 14
12

Kekuatan-kekuatan
sosial dan personal

Lembaga
Pembuat Peraturan

Umpan balik

Umpan balik Norma


Pemegang peran

Lembaga
Penerap Peraturan
Aktivitas
Penerapan

Kekuatan-kekuatan sosial
Kekuatan-kekuatan sosial dan personal lainnya
dan personal lainnya

Memperhatikan bagan tersebut di atas, maka terhadap bagan dapat


dijelaskan bahwa dalam bekerjanya hukum dalam masyarakat terdapat 3
(tiga) komponen utama yang mendukung bekerjanya hukum tersebut, yaitu;
a. Lembaga Pembuat Undang-undang,
b. Lembaga Penerap Peraturan; dan
c. Pemegang Peran.
Bekerjanya hukum bukanlah sesuatu yang netral, akan tetapi
merupakan sesuatu yang kompleks karena di sana terdapat pertentangan
kepentingan kekuasaan sosial politik yang akan mempengaruhi penegakan
hukum. Dari ketiga komponen dasar tersebut William J. Clambliss dan
Robert B. Seidman, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo
menjelaskan sebagai berikut :

a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang


pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak;
Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan–
peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi–sanksinya, aktivitasnya dari
13

lembaga–lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan


sosial, politik dan lain- lainnya mengenai dirinya;
b. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respon terhadap peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada
mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan
sosial, politik dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik
yang datang dari para pemegang peranan.
c. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi -
sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik,
ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik
yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi. 18

Berdasarkan pendapat William J. Clambliss dan Robert B. Seidman


tersebut, maka dapat disebutkan bahwa bekerjanya hukum menitikberatkan
pada penegakan hukum dari aturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh negara, sehingga melibatkan penegak hukum resmi seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Yang ditegakkan tidak
lain adalah hukum negara (state law). Di samping itu bekerjanya hukum
terkait dengan proses yang harus dilalui untuk mewujudkan keinginan
hukum menjadi kenyataan. Hukum bekerja melalui lembaga atau instansi
penegak hukum, maka masalah lain yang terkait adalah persoalan
manajemen dan organisasi serta tujuan dari institusi penegak hukum
dimaksud. Aktor dari semua proses penegakan hukum tersebut adalah
manusia, baik sebagai penegak hukum maupun sebagai rakyat biasa.
Keterlibatan manusia mutlak diperlukan karena hukum hadir untuk manusia
bukan sebaliknya.
Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa tujuan dari setiap
organisasi adalah untuk mencapai sasaran-sasaran yang dikehendaki dengan
kualifikasi produktivitas serta kepuasan, atau gabungan dari keduanya,
tergantung dari kegiatan yang dijalankan oleh organisasi yang bersangkutan,
dalam hal ini (Satlantas). Untuk mencapai tujuan tersebut maka unsur-unsur
organisasi itu dioperasionalkan, yang memaparkan diri dalam wujud
bergeraknya organisasi tersebut. Aktivitas untuk mengkoordinasi unsur-

18
Satjipto Rahardjo, Tanpa tahun. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan
Sosiologis). Sinar Baru, Bandung, hlm. 70
14

unsur tersebut disebut sebagai pengelolaan organisasi. Aktivitas inilah yang


bertanggung jawab terhadap karya, pertumbuhan dan kelangsungan hidup
organisasi. Selama organisasi itu bekerja ia berhadapan pula dengan
masalah lingkungan yang harus diterima dan diperhitungkannya, berupa
lingkungan-lingkungan sosial, politik, manusia, ekonomi serta teknologi. 19
5. Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 atar (2) Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970 Jo. Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar
pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas:cepat,
tepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak betele-tele dan berbelit-belik.
Apalagi jika kelambatan penyelesaian kasus peristiwa tindak pidana itu
disengaja, sudah barang tentu merupakan perkosaan terhadap hukum dan
martabat manusia.20 Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas
peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, antara lain tersangka atau
terdakwa “berhak”:
a. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik;
b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;
d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.21
Hak mendapat pemeriksaan segera ini diatur dalam Pasal 50
KUHAP. Tentang asas sederhana dan biaya ringan dijabarkan dalam
KUHAP seperti yang diatur sebagai berikut:

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi


yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian
sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
(Pasal 98);
b. Banding tidak dapat dimintakan terhadap putusan dalam “acara cepat”;
c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi
pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan dari
prinsip mempercepat dan menyederhanakan proses penahanan;

19
Ibid., hlm. 71.
20
Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 52
21
Ibid., hlm. 53
15

d. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata


member makna penyederhanaan penanganan fungsi dan wewenang
penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih
atau overlapping, dan saliang bertentangan.

Dalam membicarakan asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya


ringan perlu juga disinggung ketentuan Pasal 67 KUHAP. Demi untuk
terciptanya kepastian hukum dan memenuhi tuntutan asas peradilan yang
cepat terhadap putusan pengadilan tingkat pertama “tidak dapat dimintakan
banding”, jika putusan itu berupa:
a. Putusan bebas (vrijspraak), dan
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van
rechsvervolging).22
Bentuk pemeriksaan cepat dalam Herziene Inlands Reglement (HIR)
dikenal dengan istilah perkara rol. Pemeriksaan dengan acara cepat juga
berpedoman pada pemeriksaan acara biasa dengan pengecualian tertentu.
Pasal 210 KUHAP berbunyi: “Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu
tidak bertentangan dengan Paragraf ini”.23
Bagian Kesatu yang dimaksud dalam Bab XVI adalah mengenai tata
cara pemanggilan terdakwa, saksi atau ahli. Sedangkan bagian Kedua
merupakan bagian yang mengatur sengketa mengadili dan bagian Ketiga
merupakan bagian yang mengatur tata cara pemeriksaan. Dengan demikian,
pemeriksaan dengan acara cepat pada dasarnya merujuk pada pemeriksaan
dengan acara biasa.
Sama halnya dengan pemeriksaan acara singkat, dalam pemeriksaan
acara cepat Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu yang khusus
digunakan untuk memeriksa perkara Tindak Pidana Ringan. Berdasarkan
Pasal 206, Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk
mengadili perkara dengan acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan.
Berikut ini adalah bagan prosedur pemeriksaan dengan acara cepat.
Pada pemeriksaan dengan acara cepat, prosedur pelimpahan dan
pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh
22
Ibid., hlm. 54
23
Andi Hamzah, 2007. KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Cet.15. Jakarta, hlm. 318.
16

penuntut umum. Ketentuan ini sedikit bereda dari prosedur pemeriksaan


dengan acara biasa maupun singkat. Dengan adanya ketentuan khusus ini
maka ketentuan umum yang mengatur kewenangan penuntut umum dalam
hal penuntutan dikesampingkan. Oleh sebab itu, dalam prosedur
pemeriksaan dengan acara cepat penyidik mengambil alih wewenang
penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum. Berdasarkan Pasal 205 ayat
(2) KUHAP, penyidik “atas kuasa” penuntut umum melimpahkan berkas
perkara langsung ke pengadilan dan berwenang langsung menghadapkan
terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang
pengadilan. Maksud “atas kuasa”. Menurut penjelasan Pasal 205 ayat (2)
KUHAP dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan "atas kuasa" dari
penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum. Dalam hal penuntut
umum hadir, tidak mengurangi nilai "atas kuasa" tersebut”. 24

F. Orisinalitas Penelitian
Penelitian tesis dengan berjudul “Efektivitas Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas Berdasarkan Bukti Pelanggaran Elektronik Sebagai
Implementasi Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan (Studi di wilayah Polresta
Banyumas)”, ini sebagai penelitian yang baru dan merupakan gagasan orisinal
dari penulis, karena belum pernah dilakukan penelitian dalam topik dan
permasalahan yang sama.
Sehubungan dengan efektivitas penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas berdasarkan bukti pelanggaran elektronik, berikut adalah beberapa hasil
penelitian yang pernah membahas tentang permasalahan dimaksud dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :

No. Penyusun Judul Tesis Kesimpulan tesis Perbedaan dengan


Tesis Tesis Penulis
1. J. Juliadi, Pelaksanaan Kesimpulan hasil Perbedaan dengan
tilang elektronik penelitian tesis yang di tesis penulis adalah:
2018
24
Ibid., hlm. 392
17

(E-tilang) susun oleh J. Juliadi, Bahwa tesis penulis


terhadap yaitu : fokusnya tentang
pelanggaran lalu penerapan E-Tilang
lintas (Studi di a. Proses tilang dengan
Satlantas Polres elektronik (E- menggunakan
Mataram) tilang) secara rekaman CCTV,
keseluruhan tidak bukan E- tilang
jauh berbeda yang hanya untuk
dengan tilang biasa pembayaran denda
hanya saja dalam
seperti ditulis oleh J.
system E-tilang
Juliadi.
pembayar denda
tidak dilakukan
secara manual dan
data pelanggaran
dimasukkan dalam
perangkat
elektronik.

b. Kendala-kendala
yang dihadapi
Satlantas Polres
Mataram dalam
pelaksanaan system
tilang elektronik (E-
tilang) yaitu :
terjadinya
kesalahan server
dan data error, dan
kurangnya
pemahaman tentang
E-tilang dari
masyarakat.

2. Yudi Perspektif Proses tilang Perbedaan dengan


penerapan E- dengan memasang tesis penulis adalah:
Muhammad
tilang dengan kamera CCTV Bahwa tesis yang
Irsan, 2018 menggunakan (Clossed Circuit penulis susun untuk
rekaman CCTV Television) jika para mengetahui
(Clossed Circuit pengendara yang penerapan E-Tilang
Television) melintas di area yang dengan
(Studi Kasus Di telah terpasang menggunakan
Wilayah Bandar CCTV ini terindikasi rekaman CCTV
Lampung) melakukan (Clossed Circuit
pelanggaran, maka Television) dalam
secara otomatis penyelesaian
CCTV akan
perkara pelanggaran
menangkap gambar
lalu-lintas sudah
pelanggar lengkap
dengan plat nomor
efektif sesuai
kendaraan yang dengan asas cepat,
digunakan saat sederhana biaya
ringan.
18

melakukan
pelanggaran sehingga
mudah untuk dilacak.
Pelanggar yang
melakukan
pelanggaran lalu
lintas akan di catat
oleh petugas melalui
aplikasi yang sudah
tersedia pada
smartphonnya.
System aplikasi
yang dinamakan E-
tilang ini lalu
mengeluarkan pasal
pelanggaran dan
denda maksimal yang
harus di bayar oleh
pelanggar. Setelah
angka keluar si
pengendara dapat
langsung membayar
melalui teller ATM
BRI, ATM Bersama,
ataupun SMS/
internet Bankink
setelah pembayaran
selesai, pengendara
dapat menunjukkan
bukti bayar kepada
polisi lalu mengambil
kembali SIM atau
STNK yang disita
oleh petugas

3. Fairus Inovasi program Inovasi E-tilang di Perbedaan dengan


Salsabila, elektronik tilang Poles Kediri dapat tesis penulis adalah:
2018 (E-tilang) dalam diterima oleh Bahwa tesis yang
meningkatkan masyarakat, khususnya penulis susun untuk
pelayanan masyarakat pelaku mengetahui
publik di pelanggar lalu lintas. penerapan E-Tilang
Kepolisian Hal tersebut dapat dengan
Resort (Polres) dilihat dari faktor menggunakan
Kediri keberhasilan inovasi rekaman CCTV
yaitu faktor leadership (Clossed Circuit
yang menunjukkan Television) dalam
adanya peran dan penyelesaian
tanggung jawab
perkara pelanggaran
pemimpin (Kapolres
lalu-lintas sudah
Kediri) yang telah
memotivasi
efektif sesuai
bawahannya untuk dengan asas cepat,
sederhana biaya
19

menciptakan inovasi ringan.


E-tilang.

Anda mungkin juga menyukai